Negara-negara tropis seperti Indonesia merupakan daerah sangat cocok
untuk perkembangan-biakan cacing hati F.gigantica. Prevalensi penyakit tinggi
di Indonesia, misalnya pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah
Istimewa Yogyakarta antara 40-90%, sehingga Fasciolosis di Indonesia merupakan
penyakit yang penting karena sangat merugikan secara ekonomi.
******
FASCIOLOSIS
Sinonim: Distomatosis, Penyakit Cacing Hati
A. PENDAHULUAN
Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit
cacing trematoda Fasciola gigantica maupun F.hepatica, termasuk kelas
Trematoda, filum Platyhelmintes dan genus Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi
dalam parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing
Fasciola yang ada di Indonesia adalah Fasciola gigantica, dan siput yang
bertindak sebagai inang antara adalah Lymnaea rubiginosa. Berdasarkan
penelitian diketahui bahwa siput L.rubiginosa merupakan siput yang resisten
terhadap infeksi mirasidium F.hepatica.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah rasa sakit di
daerah hati, sakit perut, diare, demam dan anemia. Pada sapi dan domba, proses
terpenting adalah terjadinya fibrosis hepatis dan peradangan kronis pada saluran
empedu. Selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan
berat badan. Gejala klinis yang menonjol adalah adanya edema di rahang bawah
(submandibularis) pada hewan ruminansia yang menderita fasciolosis kronis.
Berdasarkan hasil penelitian, dari berbagai hewan ruminansia yang ada
di Indonesia, telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan domba yang
resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat
diturunkan secara genetik.
Di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6
milyar/ tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan,
hilangnya karkas /hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi
susu 10-20 % dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
B. ETIOLOGI
Fasciolosis disebabkan oleh cacing hemaprodit yang cukup besar,
berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara
eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27 x 3-12 mm. Fasciola
hepatica ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30 x 10 mm.
Kedua spesies cacing tersebut bersifat hematopagus /pemakan darah.
F.gigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium
Iebih panjang dengan banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak lebar
dan ujung posterior lancip. Telur Fgigantica berukuran 160-196x90-100 mm, dan
telur F.hepatica berukuran 130-148x60-90 mm.
Gambar 1. F.Hepatica
(Sumber: http://en.wikipedia.org /wiki/ Fasciolosis)
Sifat Agen Penyakit
Penyakit ini terdapat di daerah yang lembab dan basah. F. gigantica
tersebar di daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia, sedangkan F.
hepatica tersebar di daerah dingin dan dataran tinggi di Afrika, Asia,
Australia, Amerika Utara dan Selatan. Penyakit ini sangat penting baik di
negara yang beriklim tropis maupun subtropis, dan sebagai sumber
perkembangbiakan adalah air.
Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang
lembab (dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan apabila berada dalam keadaan
yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria) dapat
bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria yang
menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan apabila berada
di tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab. Selanjutnya metaserkaria
tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat yang panas dan
kering. Cacing dewasa yang terdapat di dalam hati hewan dapat hidup selama 1-3
tahun.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Di dalam tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing
dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama
dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di
seluruh permukaan tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium kemudian berenang
mencari siput Lymnea.
Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea
rubiginosa). Mirasidium setelah berada di dalam tubuh siput selama 2 minggu
berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara
asexual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehinga terbentuk larva
yang banyak. Selanjutnya larva sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa
redia, kemudian larva redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria.
Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan segera
keluar dari siput berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan
misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel,
metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama
pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan
oleh hewan ruminansia, maka kista tersebut dapat menembus dinding usus,
kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa dalam
beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali.
Gambar 2 . Siklus Hidup F.Hepatica
(Sumber: http://www.e-cleansing.com/ parasites/ fasciolosis.html)
2. Spesies Rentan
Spesies rentan adalah sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah,
kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia.
Pada inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda, cacing Fasciola dapat
ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit atau pada organ lain.
Hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan dewasa. Pada sapi
dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing bersifat
akut. Selama cacing muda bermigrasi di dalam parenkim hati, dapat menyebabkan
kematian karena adanya kegagalan fungsi hati dan terjadinya perdarahan. Dampak
infeksi F. gigantica diketahui lebih berat dan lebih infektif pada kambing
dibandingkan pada domba.
3. Pengaruh Lingkungan
Infeksi cacing trematoda pada ruminansia biasanya berhubungan erat
dengan tanaman semiakuatik karena siklus hidupnya mutlak memerlukan inang
antara berupa siput air tawar. Lingkungan yang basah merupakan tempat yang
sesuai untuk perkembangan Fasciola sp. karena perlu induk semang antara siput
air tawar jenis Lymnea. Telur cacing Fasaciola sp. yang masih bercampur dengan
feses tidak akan berkembang menjadi embrio. Suhu udara optimal untuk
perkembangan embrio berkisar antara 22-30 °C.
Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang mencari inang
antara yang cocok, yaitu siput L. rubiginosa, dan daya tahan hidup mirasidium
tidak lebih dari 40 jam. Setelah mirasidium masuk dalam tubuh siput akan
berkembang menjadi sporosista dan redia. Selanjutnya redia memproduksi serkaria
yang akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40 sampai hari ke 55.
Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, maka akan kehilangan ekornya
dan mulai terbentuk substansia kental yang menutupi seluruh permukaan tubuh
(kista). Kista F.gigantica lebih banyak ditemukan menempel pada rumput, tanaman
padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah permukaan air. Selain itu
diketahui bahwa serkaria lebih menyukai tumbuhan air yang berwarna hijau.
4. Sifat Penyakit
Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan ruminansia
besar dapat mencapai 60% dan pada domba 20%.
5. Cara Penularan
Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja menelan metasarkaria
yang menempel pada tumbuhan air/rumput atau air minum yang mengandung
metaserkaria. Di dalam usus manusia, parasit keluar dari kista (ekskistasi) dan
bermigrasi dengan menembus dinding usus dan rongga perut menuju ke hati.
Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam suran empedu. Proses pendewasaan di
dalam hati atau kantung empedu memerlukan waktu 2 (dua) bulan. Telur melewati
saluran empedu menuju usus dan keluar ke tanah atau air bersama dengan feses.
Seluruh siklus hidup memerlukan waktu 5 (lima) bulan.
6. Distribusi Penyakit
a. Kejadian di Indonesia
Indonesia merupakan negara beriklim tropis basah, sehingga sangat
cocok untuk perkembangan-biakan cacing hati F.gigantica. Fasciolosis di
Indonesia merupakan penyakit yang penting dengan kerugian ekonomi yang cukup
tinggi.
Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan di
Daerah Istimewa Yogyakarta antara 40-90%, sedangkan prevalensi penyakit pada domba belum diketahui.
b. Distribusi Geografi
Spesies F.gigantica dan F.hepatica tersebar di seluruh dunia dan
penyebaran F.hepatica lebih luas dibanding F.gigantica. F. gigantica diketahui
merupakan satu-satunya cacing trematoda yang menyebabkan fasciolosis pada hewan
ruminansia di Indonesia.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang
tertelan dan infektifitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan
mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Selain
itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan
perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp.
dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing
biasanya bersifat akut dan fatal.
Bentuk akut:
Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan
hati, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hati. Ternak menjadi lemah, nafas
cepat dan pendek, perut membesar dan rasa sakit.
Bentuk kronis:
F. gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infestasi, gejala yang
nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan
menurun, cepat mengalami kelelahan, membrana mukosa pucat, diare dan edema di
antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan kematian dapat terjadi dalam
waktu 1-3 bulan.
2. Patologi
Lesi yang disebabkan oleh infestasi cacing Fasciola sp pada semua
ternak hampir sama tergantung tingkat infestasinya. Kerusakan hati yang paling
banyak akibat infestasi ini terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infestasi.
Berat ringannya penyakit tergantung pada jumlah metaserkaria yang ditelan dan
infekstifitasnya. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu cacing muda
menembus dinding usus akan tetapi kerusakan yang berat dan peradangan yang
timbul terjadi sewaktu cacing bermigrasi ke dalam parenkim hati dan ketika
berada dalam saluran empedu dan kantong empedu.
Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan migrasi cacing
muda dalam hati yang mengakibatkan perdarahan dalam kapsula hati. Perkembangan
cacing mengakibatkan luka yang makin besar yang akhirnya timbul nekrosis
disertai dengan hiperpilasia saluran empedu, dan adanya gejala ikterus.
Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfestasi kronis secara
histopatologi terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran empedu, serta
fibrosis periportal dan infiltrasi eosinofil, limfosit dan makrofag. Pada
infestasi yang berat mengakibatkan fibrosis, hiperplasia dan kalsifikasi pada
saluran empedu.
3. Diagnosa
a. Diagnosa klinis
Diagnosa berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, maka sebagai
penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultra sonografi (USG).
b. Diagnosa laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan feses, biopsi
hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western blotting.
Pemeriksaan feses untuk deteksi telur cacing terkendala dengan durasi
infestasi F.gigantica, karena telur baru dapat ditemukan setelah 15 minggu
hewan terinfestasi, sedangkan untuk infestasi F.hepatica, telur baru dapat
ditemukan setelah 10 minggu hewan terinfestasi.
Telur yang keluar secara intermiten tergantung pada pengosongan
kantong empedu. Telur Fasciola serupa dengan telur paramphistomum. Telur
Fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum berwarna
keabu-abuan
Uji serologis menggunakan metoda ELISA untuk deteksi antibodi dan
antigen, serta dapat didukung dengan western blotting untuk menggetahui pita
protein Fasciola. Melalui uji ELISA, infestasi dini, yaitu antara 2-4 minggu
sudah dapat terdeteksi.
4. Diagnosa banding
a. Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatitis karena gangguan
nutrisi
b. Migrasi intra hepatik dari
larva Taenia hydatigena
c. Pada bentuk kronis dapat
keliru dengan:
- infestasi cacing saluran
pencernaan lain
- bovine paratubercular
enteritis
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
a. Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba,
dengan daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun
pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan
pertama.
b. Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk
sapi.
c. Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg.
Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali
dalam 1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan
tujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim kemarau
ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan, terutama kolam air,
agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh larva cacing.
Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan
untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada
pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
(1) Melakukan pemeriksaan ternak di rumah potong hewan
(2) Menyampaikan laporan kepada Dinas setempat
b. Pencegahan
Dalam rangka pencegahan, perlu adanya perbaikan tata cara pemberian
pakan pada ternak, yaitu dihindarkan pengambilan jerami yang berasal dari sawah
dekat kandang. Bila terpaksa, jerami tersebut harus diambil dengan pemotongan
minimal 30 cm dari permukaan tanah. Jerami yang berasal dari sekitar pemukiman
atau dekat kandang perlu dikeringkan dengan cara dijemur, minimal 3 hari di
bawah sinar matahari.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Ada 5 (lima) kelompok zat kimia yang dapat digunakan untuk memberantas
Fasciola (fasciolides), yaitu:
(1) Kelompok fenol halogenasi: Bithionol, Hexachlorophene, Nitroxynil
(2) Kelompok salicylanilides: Closantel, Rafoxanide
(3) Kelompok benzimidazoles: Triclabendazole, Albendazole, Mebendazol,
luxabendazole
(4) Kelompok sulphonamides: Clorsulon
(5) Kelompok phenoxyalkanes: Diamphenetide
Pemberantasan inang sementara, yaitu siput air tawar L. rubiginosa
dengan menggunakan molukisida, seperti copper
sulfat. Selain itu, pemberantasan siput secara biologik dapat dilakukan dengan
melepaskan bebek /itik. Namun, sebagai perbaikan tatalaksana dalam beternak,
sebaiknya dihindarkan penggembalaan bebek /itik pada daerah yang tergenang air.
Pemutusan siklus hidup
fasciolosis dapat dilakukan
dengan menghindari menggembalakan ternak pada pagi hari, sehingga ternak
tidak mengkonsumsi ujung
rumput yang masih
basah oleh embun dan kemungkinan mengandung
metaserkaria. Pada manusia, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memasak
daging/hati secara sempurna.
F. DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya dan Ronohardjo 1988. Pengendalian Penyakit pada Ternak
Domba. Hasil Temu Tugas Pengembangan Usaha Ternak Domba di Jawa Tengah, Kendal.
Hal: 16-19.
Boray JC 1978. The Potential Impact of Exotic Lymnaea spp, on Fascioliasis in Australia. J. Vet. Parasitol.
4: 127-141.
Boray JC 1982. Handbook Series in Zoonosis Section C : Parasitic
Zoonotic Vol. Ill. CRC Press inc. Boca Raton, Florida Hal: 71-81.
Boray JC 1985. Fluke in Domestic Animal. Amsterdam Oxford, New York,
Tokyo. Hal : 188-195.
Dumag PU, Batalos JA, Escaider NBC, AN dan Pajudo CE 1976. The
Encysment of F. gigantica Metacercariae on Differrent Pasture Grasses
Edney JM and A Muchlis 1962. Fascioliasis in Indonesian Livestock.
Comm. Vet. 2: 49-62.
Estuningsih SE, G Adiwinata, S Widjajanti dan D Piedrafita 2004.
Pengembangan Teknik Diagnosa Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal
dalam Capture ELISA untuk Deteksi Antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi
dan Toksikologi Veteriner. 20-21 April, Bogor. hlm. 27-43.
Fatima EI-Samani MM,
Mahmoud MT, Fawi AA,
Gamel and Haroun
E M. 2004. Serum
Enzyme Activity and Bilirubin
Concentration in Sheep Experimentally Infected with Fasciola
gigantica J. Comp Path. Vol 95. Hal: 499- 503.
Galloway JH 1974. Farm Animal Health and Disease Control. Lea &
Febiger Philadelphia. Hal: 286
Georgi 1980. Review of Medical Phisiology. Lange Medical Library,
California Hal: 314-319
Hall HTB 1989. Desease and Parasites of Livestock in the Tropics.
21nd Longman. London and New York. Hal:
207-212
Hammond JA and
Sewell MM 1990.
Diseases Caused by
Helminths. In “Handbook on Animal
Diseases in the Tropic” Translated by Sewel, M.M.H dan Brocllesby, D.W.
41th Bailliere TindaIL London, Toronto.
Philadelphia, Sydney, Tokyo, Hal: 119-123.
Hillyer GV 1999.
Immunodiagnosis of Human
and Animal Fasciolosis. In :
Fasciolosis. DALTON, J.P. (Ed.). CAB International. pp. 4435-4447.
Losos GJ 1986. Infectious Tropical Diseases of Domestic Animals.
11s Longman Scientific Technical Hal :
881-894
Mukhlis A 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Daur
Hidupnya di Indonesia. Fakultas Pasca
Sarjana IPB, Bogor
Ogunrinade A 1984.
Infetifity and Pathogenecity
of F. gigantica
in West Africa Dwarf Sheep and
Goats. Trop. Anim. Health. Prod 16: 161-166
Suhardono, Sri Widjajanti, Partoutomo S 1997. Strategi Penanggulangan
Fasciolosis oleh Fasciola gigantica Secara Terpadu pada Ternak yang Dipelihara
di Lahan Pertanian dengan Sistim Irigasi Intensif. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Hal 122-132
Suhardono 1997. Epidemiology and Control of Fasciolosis by Fasciola
gigantica in Ongole Cattle in West Java. thesis. James Cook University of North
Queensland, Australia.
Taylor 1964. Fascioliasis. The Liver Fluke FAO of The Nations
Rome Hal : 11-49
Troncy M 1989. Helminths of Livestock and Poultry in Tropical Africa.
In “ Manual of Tropical Veteriner Parasitology” ( Shah-Fisher. M and Say, R. R
eds). C,A,B International. Hal: 63-74.
Urquhart GM, Armour J, Duncan J, Dunn AM and Jening FW 1998.
Veterinary Parasitology. ELBS Longman. London Hal 100-109.
Wiedosari E and DB Copeman 1990. High Resistance to Experimental
Iinfection with Fasciola gigantica in Javanese. Thin-Tailed Sheep. Vet.
Parasitol.
37: 101-111.
Penulis,
Disadur oleh drh Giyono Trisnadi, Sumber: Manual Penyakit Hewan
Mamalia Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan
Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian
Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar