PENYAKIT KE CACINGAN PADA SAPI KERBAU

Penyakit kecacingan secara ekonomi sangat merugikan peternak, apalagi di daerah tropis seperti Indonesia (prefalensi mencapai 70%). Kerugian ekonomi itu akibat adanya gangguan pertumbuhan, penurunan berat badan & kematian. Tingkat kerugian ekonomi ditentukan oleh beratnya tingkat infestasi parasit, kondisi tubuh penderita dan lingkungan.


******


ASCARIASIS
Sinonim: Kecacingan

A.  PENDAHULUAN
Ascariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari famili Ascaridae, genus Toxocara. Selama ini, terdapat 3 (tiga) spesies Toxocara yang sangat penting, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing (anak dan dewasa); T.cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa); serta T.vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6 bulan dan induk). Masing-masing merupakan inang bagi ketiga spesies tersebut.

Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi, terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), sehingga  memicu  larva  yang  tersembunyi  (dormant)  berubah  menjadi  aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta), kemudian menulari anaknya.

Ascariasis menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan akibat adanya gangguan pertumbuhan, penurunan berat badan dan kematian. Tingkat kerugian ekonomi ditentukan oleh berat ringannya tingkat infestasi parasit, kondisi tubuh penderita dan lingkungan.

B.  ETIOLOGI
Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau Neoascaris vitulorum termasuk kelas nematoda yang memiliki kemampuan melintasi hati, paru-paru, dan plasenta. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 15-26 cm dengan lebar (pada bagian badan) sekitar 5 mm, sedangkan yang betina lebih panjang, yaitu berukuran 22-30 cm dengan lebar sekitar 6 mm. Telur cacing ini berwarna kuning, berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-95 x 60-75 µm.

Gambar 1. Telur cacing Toxocara viturolum
Sumber: http://www.rvc.ac.uk/review/ parasitology/ RuminantEggs/ Toxocara.htm

C.  EPIDEMIOLOGI
1.   Siklus hidup
Telur dalam feses tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan plasenta, lalu masuk ke cairan amnion dan ke kelenjar mammae, selanjutnya keluar bersama kolustrum. Cacing T.vitulorum dewasa dapat ditemukan pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Telur T.vitulorum sudah tidak ditemukan dalam feses kerbau antara hari ke 30-120 setelah infeksi yang bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam serum. Kondisi ini diduga karena pada saat itu cacing dewasa telah keluar dari usus.

2.   Sifat Alami Agen
Telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari pada suhu optimal 28-30°C. Perkembangan tersebut, tidak terjadi pada suhu di bawah 12oC. Kendati demikian, apabila berada dalam suhu optimal, telur akan menjadi infektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telur T.vitulorum dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua tahun.

3.   Spesies Rentan
Hewan    yang    peka/rentan    terhadap    infestasi    cacing    T.vitulorum adalah pedet (anak   sapi)   atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan. Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada pedet yang berumur 1-2 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan sangat tahan terhadap infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah telur cacing per gram feses secara signifikan seiring dengan bertambahnya umur hewan.

4.   Pengaruh Lingkungan
Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan terjadi pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di padang penggembalaan oleh pedet penderita. Gangguan persediaan pakan pada musim kering (malnutrisi) dan higenitas lingkungan yang kurang baik semakin memperburuk kondisi hewan sehingga mudah terserang oleh cacing ini.

5.   Sifat Penyakit
Di  Indonesia,  parasit  ini  bersifat  endemis  dan  umumnya  menyerang sapi, pedet dan anak kerbau. Prevalensi pada pedet dibawah umur 3 bulan dilaporkan mencapai 45%.

6.   Cara Penularan
Tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain tertelannya telur cacing secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan melalui kolustrum pada saat menyusu ke induknya.

Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif. Pada hewan menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang tertelan akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif (L3). Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa, tetapi bersembunyi (dormant) dalam berbagai otot/organ tubuh melalui penetrasi dinding usus dan selanjutnya didistribusikan lewat sirkulasi darah.

Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi akan terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), sehingga pada saat inilah larva yang tersembunyi tersebut menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta) dan akhirnya menulari anak yang dikandung.

Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi terutama pada saat pedet berumur 2 hari dan selanjutnya semakin menurun sampai pedet berumur 10 hari. Periode prepaten parasit ini adalah sekitar 21 hari sejak tertelannya larva infektif melalui kolostrum.

7.   Distribusi Penyakit
Prevalensi ascariasis akibat infeksi T.vitulorum pada pedet di Nigeria 61,4-91,1% dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur cacing T.vitulorum dalam fesesnya.

Prevalensi kejadian Ascariasis di Indonesia pada sapi dan kerbau dilaporkan sebesar 76% di Malang dan 68,2 % di Surabaya pada pedet yang berumur kurang dari 2 bulan, 51,4 % pada pedet berumur 2-4 bulan dan 43,4 % pada pedet berumur sekitar 6 bulan. Kejadian ascariasis pada anak kerbau di Kabupaten Subang, Jawa Barat diidentifikasi pada 14 sampel dari 21 sampel feses anak kerbau yang berumur 21-62 hari dengan jumlah telur T.vitulorum antara 100,000-104,000 telur per gram (epg) feses. Infestasi telur T.vitulorum lebih dari 100.000 epg diduga mampu sebagai faktor penyebab kematian pada anak kerbau maupun anak sapi.

D.  PENGENALAN PENYAKIT
1.   Gejala Klinis
Gejala klinis yang umum terjadi pada anak sapi atau anak kerbau adalah diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat, nafsu makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi dalam jangka lama dapat menyebabkan anemia. Keadan ini mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula adanya gejala demam dan batuk, dan jika infestasi semakin parah akan mengakibatkan paralysis, kongjungtivitis, dan opisthotonus. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan secara permanen.

Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada pedet ditentukan dari jumlah telur cacing per gram (epg) feses. Jumlah telur antara 10.000-30.000 epg diklasifikasikan sebagai infestasi sedang. Adapun jumlah epg lebih dari
30.000 termasuk ke dalam kelompok infestasi berat.

2.   Patologi
Infestasi ascariasis tidak memperlihatkan adanya perubahan patologi anatomi yang khas, kecuali ditemukannya cacing pada saluran pencernaan, namun pada infeksi berat dapat terjadi reaksi peradangan pada saluran pencernaan.

3.   Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis dan epidemologis sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan dukungan pemeriksaan laboratorium terhadap feses untuk menemukan dan mengkonfirmasi adanya tetur cacing dalam feses.

4.   Diagnosa Banding
Penyakit yang menimbulkan kekurusan dan diare kronis seperti malnutrisi dan salmonellosis.

5.   Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa feses segar atau feses yang telah diawetkan dalam formalin 10 %.

E. PENGENDALIAN
1.   Pengobatan
Obat berupa anthelmintika, misalnya :
a.   pyrantel dengan dosis 250 mg per pedet tanpa memperhatikan berat badan,
b.   febantel dengan dosis 6 mg/kg berat badan,
c.   levamisole dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan,
d.   piperazine citrate dengan dosis 200 mg/kg berat badan, secara oral,
e.   Eprinomectin (Eprinex) dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap T. vitulorum.

Pengobatan pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab L3 tersembunyi pada otot/organ tubuh. Pemberian anthelmintika yang bersifat sistemik, seperti ivermectin direkomendasikan untuk membunuh larva yang tersembunyi tersebut.

2.   Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pelaporan
Kasus ascariasis tidak wajib dilaporkan ke Dinas Peternakan. Namun, bila memerlukan pertolongan medis secepatnya, sebaiknya disampaikan laporan ke Institusi yang terkait.

b.   Pencegahan
(1)  Hindari menggembalakan pedet pada lahan yang tercemar telur Ascaris atau dengan sapi/kerbau dewasa yang secara historis diketahui menderita ascariasis.
(2)  Pada daerah endemis, peternak dapat memberikan anthelmintika pada pedet yang berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing yang belum dewasa.
(3)  Untuk tindakan pencegahan direkomendasikan untuk melakukan pengobatan secara teratur pada pedet dan menjaga kebersihan kandang.

c.   Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian parasit dilakukan dengan memberikan anthelmintika secara periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing yang belum dewasa. Disamping itu, tindakan ini dapat melindungi pedet dari serangan cacing, sehingga tidak memungkinkan untuk memproduksi telur yang berpotensi mengkontaminasi padang penggembalaan. Pengobatan dapat diulangi pada saat pedet berumur 6 minggu, untuk membunuh cacing dewasa yang belum mati pada saat pengobatan pertama. Siklus hidup parasit ini sangat kompleks, sehingga tindakan pemberantasan sulit dilakukan, terutama pada peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional.

F. DAFTAR PUSTAKA
Avcioglu H, Balkaya I 2011. Efficacy of Eprinomectin against Toxocara vitulorum in Calves. Trop Anim Health. 43(2) : 283-286.
               
Aydin A, Goz Y, Yuksek N, Ayaz E 2006. Prevalence of Toxocara vitulorum in Hakkari Eastern Region of Turkey. Bull Vet Inst Pulawy 50 : 51-54.

Carmichael IH, Martindah E 1996. Mortalities of Buffalo (Bubalus Bubalis) Calves as a PossibleSource of Loss to Indonesia Draught Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.

Gunawan M dan Putra AAG 1982. Surveillance Sapi Bali di Bali : Neoascaris vitulorum pada Pedet.

Laporan  Tahunan  Hasil  Penyidikan  Penyakit  Hewan  di  Indonesia  Periode Tahun 1976-1981, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman 7-15.

Gunawan M 1984. Pengaruh Pengobatan Neoascaris vitulorum dengan Piperazin Citrat pada Pedet di Bali. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1982-1983, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman 1-6.

Holland WG, Luong TT, Nguyen LA, Do TT, Vercruysee J 2000. The Epidemiology of Nematode and Fluke Infections in Cattle in the Red River Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93. 141-147.

Koesdarto S, Uga S, Machfudz S, Mumpuni S, Kusnoto, Puspitawati H 1999. The Prevalence of Toxocara vitulorum in Dairy Cows in Surabaya. Proc. Seminar on Infectious Diseases in the Tropics. TDC Airlangga University, Surabaya. Hlm. 46-49.

OIE 2005. Toxocariasis. Institute for International Cooperation in Animal Biologics Collaborating Center Lowa State University College of Veterinary Medicine. Lowa.http://www.cfsph.iastate.edu.

Roberts JA 1990. Field trials of a single treatment for Toxocara vitulorum in Asia Buffalo (Bubalus bubalis). Buffalo Journal 1 : 113-123.

Roberts JA 1989a The Extraparasitic Life Cycle of Toxocara vitulorum in the Village Environment of Srilanka. Veterinary Research Communications 13 (5) : 377-388.

Roberts JA 1989b Toxocara vitulorum: Treatment based on the Duration of the Iinfectivity of buffalo cow (Bubalus bubalis) for their calves. Journal of Veterinary Pharmachology and Therapy 12: 5-13

Sackey AKB, George JBD, Sale M 2003. Observation on the Age at Initial Infection of Zebu Calves by Toxocara vitulorum in Northern Nigeria. Trop. Vet. 21: 124-128.

Starke-Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller-Seno MC 2001. An Enzyme-Linked Immunosorbent

The RVC/FAO Duide to Veterinary Diagnostic Parasitology http://www.rvc.ac.uk/ review/ parasitology/ RuminantEggs/ Toxocara.htm

Assay (ELISA) for Detection of Antibodies against Toxocara vitulorum in Water Buffaloes. Vet. Parasitol, 97: 55-64.

Syarwani  J  dan  Djagera  M  1984.  Survei  Neoascaris  vitulorum  pada  Anak Sapi  di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1982-1983, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman 11-17.

Trisunuwati  P,  Cornelissen T,  Nasich  1991.  A Parasitological  Study  on  the Impact of Nematodes on the Production of Livestock in the Limestone Area of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ. Wageningen. The Netherlands.

***Dari Manual Penyakit Hewan Mamalia Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: