******
ASCARIASIS
Sinonim: Kecacingan
A. PENDAHULUAN
Ascariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing
nematoda dari famili Ascaridae, genus Toxocara. Selama ini, terdapat 3 (tiga)
spesies Toxocara yang sangat penting, yaitu Toxocara canis yang menyerang
anjing (anak dan dewasa); T.cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa); serta
T.vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6 bulan dan induk).
Masing-masing merupakan inang bagi ketiga spesies tersebut.
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi,
terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of
resistance), sehingga memicu larva
yang tersembunyi (dormant)
berubah menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau
uterus (placenta), kemudian menulari anaknya.
Ascariasis menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan akibat adanya
gangguan pertumbuhan, penurunan berat badan dan kematian. Tingkat kerugian
ekonomi ditentukan oleh berat ringannya tingkat infestasi parasit, kondisi
tubuh penderita dan lingkungan.
B. ETIOLOGI
Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau
Neoascaris vitulorum termasuk kelas nematoda yang memiliki kemampuan melintasi
hati, paru-paru, dan plasenta. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 15-26 cm
dengan lebar (pada bagian badan) sekitar 5 mm, sedangkan yang betina lebih
panjang, yaitu berukuran 22-30 cm dengan lebar sekitar 6 mm. Telur cacing ini
berwarna kuning, berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-95 x
60-75 µm.
Gambar 1. Telur cacing Toxocara viturolum
Sumber: http://www.rvc.ac.uk/review/ parasitology/ RuminantEggs/
Toxocara.htm
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus hidup
Telur dalam feses tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus
halus menjadi larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung,
ginjal dan plasenta, lalu masuk ke cairan amnion dan ke kelenjar mammae,
selanjutnya keluar bersama kolustrum. Cacing T.vitulorum dewasa dapat ditemukan
pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Telur T.vitulorum sudah
tidak ditemukan dalam feses kerbau antara hari ke 30-120 setelah infeksi yang
bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam serum. Kondisi ini diduga
karena pada saat itu cacing dewasa telah keluar dari usus.
2. Sifat Alami Agen
Telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari
pada suhu optimal 28-30°C. Perkembangan tersebut, tidak terjadi pada suhu di
bawah 12oC. Kendati demikian, apabila berada dalam suhu optimal, telur akan
menjadi infektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telur T.vitulorum dapat
bertahan di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua tahun.
3. Spesies Rentan
Hewan yang peka/rentan terhadap
infestasi cacing T.vitulorum adalah pedet (anak sapi)
atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan. Gejala klinis atau kematian
umumnya terjadi pada pedet yang berumur 1-2 bulan. Hewan yang berumur lebih
dari 6 bulan sangat tahan terhadap infestasi cacing ini karena pembentukan daya
tahan tubuh relatif telah sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya
penurunan jumlah telur cacing per gram feses secara signifikan seiring dengan
bertambahnya umur hewan.
4. Pengaruh Lingkungan
Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan terjadi
pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di padang penggembalaan oleh
pedet penderita. Gangguan persediaan pakan pada musim kering (malnutrisi) dan
higenitas lingkungan yang kurang baik semakin memperburuk kondisi hewan
sehingga mudah terserang oleh cacing ini.
5. Sifat Penyakit
Di Indonesia, parasit
ini bersifat endemis
dan umumnya menyerang sapi, pedet dan anak kerbau.
Prevalensi pada pedet dibawah umur 3 bulan dilaporkan mencapai 45%.
6. Cara Penularan
Tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain tertelannya telur
cacing secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan
melalui kolustrum pada saat menyusu ke induknya.
Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif.
Pada hewan menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang
tertelan akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif (L3).
Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa, tetapi bersembunyi
(dormant) dalam berbagai otot/organ tubuh melalui penetrasi dinding usus dan
selanjutnya didistribusikan lewat sirkulasi darah.
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi
akan terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of
resistance), sehingga pada saat inilah larva yang tersembunyi tersebut menjadi
aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta) dan akhirnya
menulari anak yang dikandung.
Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi
terutama pada saat pedet berumur 2 hari dan selanjutnya semakin menurun sampai
pedet berumur 10 hari. Periode prepaten parasit ini adalah sekitar 21 hari
sejak tertelannya larva infektif melalui kolostrum.
7. Distribusi Penyakit
Prevalensi ascariasis akibat infeksi T.vitulorum pada pedet di Nigeria
61,4-91,1% dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur
cacing T.vitulorum dalam fesesnya.
Prevalensi kejadian Ascariasis di Indonesia pada sapi dan kerbau
dilaporkan sebesar 76% di Malang dan 68,2 % di Surabaya pada pedet yang berumur
kurang dari 2 bulan, 51,4 % pada pedet berumur 2-4 bulan dan 43,4 % pada pedet
berumur sekitar 6 bulan. Kejadian ascariasis pada anak kerbau di Kabupaten
Subang, Jawa Barat diidentifikasi pada 14 sampel dari 21 sampel feses anak
kerbau yang berumur 21-62 hari dengan jumlah telur T.vitulorum antara
100,000-104,000 telur per gram (epg) feses. Infestasi telur T.vitulorum lebih
dari 100.000 epg diduga mampu sebagai faktor penyebab kematian pada anak kerbau
maupun anak sapi.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang umum terjadi pada anak sapi atau anak kerbau adalah
diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat,
nafsu makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi dalam
jangka lama dapat menyebabkan anemia. Keadan ini mengakibatkan terjadinya
penurunan berat badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam waktu singkat
bahkan berakhir dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula adanya gejala demam
dan batuk, dan jika infestasi semakin parah akan mengakibatkan paralysis,
kongjungtivitis, dan opisthotonus. Anak sapi yang tetap hidup akan mengalami
gangguan pertumbuhan secara permanen.
Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada pedet ditentukan
dari jumlah telur cacing per gram (epg) feses. Jumlah telur antara
10.000-30.000 epg diklasifikasikan sebagai infestasi sedang. Adapun jumlah epg
lebih dari
30.000 termasuk ke dalam kelompok infestasi berat.
2. Patologi
Infestasi ascariasis tidak memperlihatkan adanya perubahan patologi
anatomi yang khas, kecuali ditemukannya cacing pada saluran pencernaan, namun
pada infeksi berat dapat terjadi reaksi peradangan pada saluran pencernaan.
3. Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis dan
epidemologis sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan dukungan pemeriksaan
laboratorium terhadap feses untuk menemukan dan mengkonfirmasi adanya tetur
cacing dalam feses.
4. Diagnosa Banding
Penyakit yang menimbulkan kekurusan dan diare kronis seperti
malnutrisi dan salmonellosis.
5. Pengambilan dan Pengiriman
Spesimen
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa feses segar atau
feses yang telah diawetkan dalam formalin 10 %.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Obat berupa anthelmintika, misalnya :
a. pyrantel dengan dosis 250
mg per pedet tanpa memperhatikan berat badan,
b. febantel dengan dosis 6
mg/kg berat badan,
c. levamisole dengan dosis 7,5
mg/kg berat badan,
d. piperazine citrate dengan
dosis 200 mg/kg berat badan, secara oral,
e. Eprinomectin (Eprinex)
dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap T. vitulorum.
Pengobatan pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab L3
tersembunyi pada otot/organ tubuh. Pemberian anthelmintika yang bersifat
sistemik, seperti ivermectin direkomendasikan untuk membunuh larva yang
tersembunyi tersebut.
2. Pelaporan, Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Kasus ascariasis tidak wajib dilaporkan ke Dinas Peternakan. Namun,
bila memerlukan pertolongan medis secepatnya, sebaiknya disampaikan laporan ke
Institusi yang terkait.
b. Pencegahan
(1) Hindari menggembalakan
pedet pada lahan yang tercemar telur Ascaris atau dengan sapi/kerbau dewasa
yang secara historis diketahui menderita ascariasis.
(2) Pada daerah endemis,
peternak dapat memberikan anthelmintika pada pedet yang berumur 10-16 hari
untuk membunuh cacing yang belum dewasa.
(3) Untuk tindakan pencegahan
direkomendasikan untuk melakukan pengobatan secara teratur pada pedet dan
menjaga kebersihan kandang.
c. Pengendalian dan
Pemberantasan
Pengendalian parasit dilakukan dengan memberikan anthelmintika secara
periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing
yang belum dewasa. Disamping itu, tindakan ini dapat melindungi pedet dari
serangan cacing, sehingga tidak memungkinkan untuk memproduksi telur yang
berpotensi mengkontaminasi padang penggembalaan. Pengobatan dapat diulangi pada
saat pedet berumur 6 minggu, untuk membunuh cacing dewasa yang belum mati pada
saat pengobatan pertama. Siklus hidup parasit ini sangat kompleks, sehingga
tindakan pemberantasan sulit dilakukan, terutama pada peternakan rakyat yang
dikelola secara tradisional.
F. DAFTAR PUSTAKA
Avcioglu H, Balkaya I 2011. Efficacy of Eprinomectin against Toxocara
vitulorum in Calves. Trop Anim Health. 43(2) : 283-286.
Aydin A, Goz Y, Yuksek N, Ayaz E 2006. Prevalence of Toxocara
vitulorum in Hakkari Eastern Region of Turkey. Bull Vet Inst Pulawy 50 : 51-54.
Carmichael IH, Martindah E 1996. Mortalities of Buffalo (Bubalus
Bubalis) Calves as a PossibleSource of Loss to Indonesia Draught Power. Bull.
IPKHI 5(2) : 29-31.
Gunawan M dan Putra AAG 1982. Surveillance Sapi Bali di Bali :
Neoascaris vitulorum pada Pedet.
Laporan Tahunan Hasil
Penyidikan Penyakit Hewan
di Indonesia Periode Tahun 1976-1981, Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman
7-15.
Gunawan M 1984. Pengaruh Pengobatan Neoascaris vitulorum dengan
Piperazin Citrat pada Pedet di Bali. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia Periode Tahun 1982-1983, Direktorat Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman 1-6.
Holland WG, Luong TT, Nguyen LA, Do TT, Vercruysee J 2000. The
Epidemiology of Nematode and Fluke Infections in Cattle in the Red River Delta
in Vietnam. Vet. Parasitol. 93. 141-147.
Koesdarto S, Uga S, Machfudz S, Mumpuni S, Kusnoto, Puspitawati H
1999. The Prevalence of Toxocara vitulorum in Dairy Cows in Surabaya. Proc.
Seminar on Infectious Diseases in the Tropics. TDC Airlangga University,
Surabaya. Hlm. 46-49.
OIE 2005. Toxocariasis. Institute for International Cooperation in
Animal Biologics Collaborating Center Lowa State University College of
Veterinary Medicine. Lowa.http://www.cfsph.iastate.edu.
Roberts JA 1990. Field trials of a single treatment for Toxocara
vitulorum in Asia Buffalo (Bubalus bubalis). Buffalo Journal 1 : 113-123.
Roberts JA 1989a The Extraparasitic Life Cycle of Toxocara vitulorum
in the Village Environment of Srilanka. Veterinary Research Communications 13
(5) : 377-388.
Roberts JA 1989b Toxocara vitulorum: Treatment based on the Duration
of the Iinfectivity of buffalo cow (Bubalus bubalis) for their calves. Journal
of Veterinary Pharmachology and Therapy 12: 5-13
Sackey AKB, George JBD, Sale M 2003. Observation on the Age at Initial
Infection of Zebu Calves by Toxocara vitulorum in Northern Nigeria. Trop. Vet.
21: 124-128.
Starke-Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller-Seno MC 2001. An Enzyme-Linked
Immunosorbent
The RVC/FAO Duide to Veterinary Diagnostic Parasitology
http://www.rvc.ac.uk/ review/ parasitology/ RuminantEggs/ Toxocara.htm
Assay (ELISA) for Detection of Antibodies against Toxocara vitulorum
in Water Buffaloes. Vet. Parasitol, 97: 55-64.
Syarwani J dan
Djagera M 1984.
Survei Neoascaris vitulorum
pada Anak Sapi di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun
1982-1983, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan,
Departemen Pertanian, Jakarta, halaman 11-17.
Trisunuwati P, Cornelissen T, Nasich
1991. A Parasitological Study
on the Impact of Nematodes on the
Production of Livestock in the Limestone Area of South Malang. Interdiciplinary
Res. J. Landbouw Agric. Univ. Wageningen. The Netherlands.
***Dari Manual Penyakit Hewan Mamalia Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9,
Pasar Minggu, Jakarta 12550
******