Pertumbuhan
mikroorganisme dalam pangan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa
yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak
makan, apalagi yang berasal dari hewan adalah media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang mengkontaminasi
makanan dapat membahayakan kesehatan manusia, contohnya Shigella sp.
******
SHIGELLOSIS
Oleh:
Platika Widiyani
Pusat
karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Hewani
Badan
Karantina Pertanian
Abstrak
Shigella
sp. merupakan bakteri patogen di usus manusia dan primata penyebab Shigellosis.
Pertama kali ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh ahli mikrobiologi
Jepang bernama Shiga, mengakibatkan invasi epitel kolon dan peradangan usus, dan menyebabkan
diare yang parah. Tingkat kematian akibat shigellosis di Negara maju, kurang
dari 1% dan di negara Timur Tengah sebesar 20 - 25 % (Anonimous, 2010). Kasus
Shigellosis yang terjadi di Indonesia menyebabkan sekitar 10% diare akut pada
anak dan 2% pada usia dewasa. Penyebaran shigellosis sering terjadi secara
kontak orang ke orang. S. dysenteriae serotipe 1 menghasilkan toxin yang
disebut Shiga toksin (STX), yang juga dikenal dengan verotoksin yang akan
menyebabkan keparahan penyakit. Bakteri ini
dapat bertahan hidup dalam berbagai jenis makanan diantaranya salad,
sayuran segar (mentah), susu dan produk susu, daging sapi, kacang, tiram
mentah, ikan serta air yang terkontaminasi. Selain itu, faktor penyebab makanan
yang dimasak dengan pemanasan yang kurang /mentah dapat menyebabkan kesakitan.
Pencegahan yang paling penting adalah dengan menjaga kebersihan pribadi dan
memasak makanan secara sempurna. Pemberian Zink Sulfat dapat memberikan efek
hambayan terhadap pertumbuhan Shigella spp, sehingga zink sulfat sebagai ajuvan
terhadap terapi antibiotik untuk pasien diare, terutama yang disebabkan oleh
bakteri Shigella spp.
Kata
kunci : Shigellosis, shigella, shiga toksin, food borne pathogen
BAB
I. PENDAHULUAN
Pangan
merupakan kebutuhan yang pokok dan essensial bagi manusia, terutama bahan
pangan asal hewan yang memiliki kandungan gizi vitamin dan mineral yang tinggi
dan penting bagi manusia. Bahan pangan yang aman adalah yang tidak tercemar,
tidak mengandung mikroorganisme / bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah
diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak,
serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia.
Pertumbuhan
mikroorganisme dalam pangan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa
yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak
makan, terlebih bahan pangan asal hewan merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang mengkontaminasi
makanan dapat membahayakan kesehatan manusia, salah satu contohnya adalah
bakteri Shigella sp. (Astawan, 2010).
Shigella
sp. merupakan bakteri patogen di usus manusia dan primata penyebab shigellosis.
Pertama kali ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh ahli mikrobiologi
Jepang bernama Shiga, mengakibatkan invasi epitel kolon dan peradangan usus, khususnya S.
dysenteriae serotipe 1 yang menyebabkan diare yang parah. Diperkirakan lebih
dari 300.000 kasus shigellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya.
S.dysenteriae memiliki arti penting karena dapat menimbulkan ancaman kesehatan
masyarakat dan jika tidak diobati dapat menyebabkan kematian penderita,
khususnya di negara-negara berkembang.
Kejadian
Shigellosis di seluruh dunia sebesar 164 juta kasus per tahun dan sebagian
besar terjadi di negara-negara berkembang terutama disebabkan tingkat kesadaran
masyarakat akan kebersihan atau sanitasi yang rendah. Tingkat kematian akibat
shigellosis di Negara maju, kurang dari 1% dan di negara Timur Tengah sebesar
20 - 25 % (Anonimous, 2010).
BAB
II. MATERI DAN METODE
Tulisan
tentang Shigellosis ini di susun berdasarkan studi literatur yang terkait dan
sesuai baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan
artikel yang berkaitan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk ,mengetahui
Shogellosis, patogenesa, toxin shiga, aspek kesehatan masyarakat veteriner,
pengobatan serta pencegahan dan pengendaliannya.
BAB
III. PEMBAHASAN
A. SHIGELLOSIS
Klasifikasi
dari Shigella dysenteriae. adalah sebagai berikut:
Kingdom : Eubacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriaceae
Family : Enterobactericeae
Genus : Shigella
Species :Shigella dysentriae (Anonimous,
2010).
Shigella
sp. termasuk family Enterobacteriaceae, hampir identik secara genetis dengan
Escherichia coli (E. coli) dan terkait erat dengan Salmonella dan Citrobacter.
Bakteri ini menyebabkan disentri basiler dan mengakibatkan invasi epitel kolon serta peradangan usus, khususnya
Shigella dysenteriae serotipe 1 yang menyebabkan diare berdarah.
1. Karakteristik
Shigella sp.
Shigella
sp. berbentuk batang, non motil, gram negatif, fakultatif anaerob dan non
sporeforming yang biasanya tidak memfermentasi laktosa. Bakteri ini mampu
bertahan hidup dilingkungan yang terkontaminasi dan mampu beradaptasi dengan
keasaman saluran gastrointestinal manusia (Wikipedia, 2010).
Terdapat
empat spesies Shigella sp. yaitu Shigella boydii (18 serotipe), S. dysenteriae
(12 serotipe), S. flexneri (6 serotipe) dan S. sonnei (1 serotipe). S. dysenteriae serotipe 1 dapat menyebabkan
epidemi mematikan di wilayah berkembang dan negara (Melito et all, 2005).
Gambar
1. Morfologi Shigella dysenteriae.
2. Cara
Penularan
Shigella
dysenteriae dapat ditularkan dari penderita ke orang lain melalui fecal oral,
kontak langsung (person to person) maupun kontak tidak langsung dengan feses
penderita (NSW health, 2010; Fitzroy AO, 2008).
S.
dysenteriae sangat toleran garam, tahan asam, pH rendah pada makanan dan dapat
bertahan di berbagai jenis makanan seperti buah, sayuran, makanan siap saji
(Warren et all, 2006).
Oleh
karenanya infeksi S. dysenteriae dapat ditularkan melalui air dan makanan yang
telah terkontaminasi, termasuk didalamnya makanan dengan proses pengolahan yang
tidak steril, makanan mentah, sayuran yang di pupuk dengan pupuk kandang atau
kotoran manusia dan disirami dengan air yang terkontaminasi. Lalat juga dapat
bertindak sebagai sarana transportasi bagi bakteri yang berkembang biak dalam
feses penderita dan kemudian hinggap pada makanan. Shigella sp. mampu bertahan
hidup pada makanan yang dikemas kemas dalam vakum (Siagian, 2002 ; Todar,
2010).
3. Reaksi
Biokimia
Shigella
sp. sebagai organisme non-laktosa dan secara biokimia memfermentasi laktosa
sangat lambat bahkan tidak sama sekali. Selain itu bersifat
lisin-dekarboksilase, asetat, dan mucate negatif (Warren et all, 2006).
Bila
diinokulasi dengan TSI menunjukkan kemiringan asam basa dan memproduksi H2S.
Penambahan reagen Kovac pada tabung SIM biasanya tidak menunjukkan pembentukan
indol. Sementara pada S.flexneri akan menghasilkan asam dan gas dari glukosa
dan S.sonnei menghasilkan manitol. S.dysenteriae dapat memfermentasi glukosa
melalui fermentasi asam campuran, namun tidak menghasilkan gas dan tidak
menghasilkan H2S, phenylalaninedeaminase atau urease (Wikipedia, 2010).
4. Isolasi
Identifikasi
Identifikasi
Shigella sp. dapat dilakukan dengan metode kultur konvensional, metode
imunologi, dan metode mikrobiologi molekuler seperti PCR, microarray
oligonukleotida, dan rep-PCR juga telah dikembangkan untuk pendeteksian dan
identifikasi Shigella sp (Levin, 2009).
Isolasi
Shigella sp. dengan media diferensial selektif (enrichment broth) perlu memperhatikan
mikroba flora normal lain yang ada pada makanan misalnya bakteri coliform dan
Proteus. Penambahan antibiotik novobiocin pada media agar maupun broth terbukti
dapat meningkatkan isolasi S. flexneri dan S. sonnei. Enrichment brooth yang
sering digunakan adalah Selenite-F (SF) dan Tetrathionate (TT) broth. Kedua
broth ini pada awalnya dirancang untuk isolasi salmonella, namun karena
kurangnya media enrichment spesifik untuk Shigella sp. maka digunakan sebagai
enrichment broth bagi bakteri enterik. Media TT broth yang ditambahkan pepton
dengan garam empedu (bile salt) dan sodium tiosulfat dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif dan
Enterobacteriaceae.
Gram
negatif Broth (GN) merupakan broth pepton yang mengandung glukosa dan manitol.
Konsentrasi manitol dalam broth GN lebih tinggi daripada glukosa dan
memfermentasi manitol, seperti Shigella sp. yang memfermentasi manitol.
Sedangkan broth GN desoxycholate yang mengandung sodium dapat menghambat panas
dan menekan Shigella sp. Sehingga GN brooth merupakan media enrichment
alternatif untuk deteksi Shigella sp. dari makanan (Warren et all, 2006).
Menurut
Warren et all (2006) media enrichment karbohidrat rendah seperti Shigella Broth
(SB) yang ditambahkan novobiocin dapat digunakan untuk deteksi / isolasi.
Shigella sp. dapat tumbuh pada pH 4,5 hingga 4,75 dan bertahan hidup pada pH
4,0. Namun SB kurang spesifik dibandingkan TT dan GN broth untuk deteksi karena
tidak mengandung garam empedu atau desoxycholate natrium dan sedikit
karbohidrat sehingga efek PH lingkungan yang rendah tidak terlihat.
Media
agar dengan selektivitas sedang dan rendah untuk isolasi adalah MacConkey Agar
(MAC), Eosin metilen biru (EMB) atau Tergitol-7 (T7) Agar. Diferensiasi dengan
MAC mampu fermentasi laktosa, koloni tampak negatif lactosa competitor. Pada
MAC menghasilkan koloni berwarna bening atau sedikit merah muda, dengan atau
tanpa tepi kasar. Pada EMB menunjukkan koloni tidak berwarna dan pada Agar T7 berwarna kebiruan. Media agar
dengan selektivitas intermediate untuk isolasi adalah Citrate Desoxycholate
Agar (DCA) dan Desoxycholate Lisin Xilosa agar (XLD). Shigella sp menghasilkan
koloni tidak berwarna pada media agar DCA dan XLD. XLD lebih unggul
dibandingkan DCA untuk isolasi, karena pada agar DCA memerlukan waktu inkubasi
48 jam untuk menunjukkan morfologi koloni yang jelas, sementara pada XLD hanya
membutuhkan inkubasi 24 jam. Kekurangan dari D-xylose yang berfungsi sebagai
pembeda pada agar XLD, akan difermentasi oleh beberapa strain S.boydii
sementara pada umumnya Shigella sp. tidak bisa memfermentasi xilosa. Sehingga
beberapa strain Shigella sp. akan tertinggal jika XLD digunakan sebagai agar
media tunggal.
Media
yang sangat selektif antara lain Salmonella Shigella agar (SSA) dan Hektoen
Agar enterik (HEA). Pada media SSA membentuk koloni tidak berwarna dan
translucent, sedangkan pada HEA koloni berwarna hijau (Warren et all, 2006).
Gambar
2. Beberapa media selektif untuk menumbuhkan bakteri enterik
dan
diferensiasi Salmonella dan Shigella dengan E.coli antara
lain
Eosin Metilen Blue (EMB) agar, Agar MacConkey,
Hektoen
enterik (HE) agar dan Salmonella-Shigella (SS) agar.
Metode
lain yang digunakan untuk isolasi dan deteksi Shigella sp. pada makanan adalah
Bakteriologis Analitis Manual (BAM) kultur dari sampel makanan menggunakan
kombinasi enrichment karbohidrat rendah, kondisi anaerob, dan peningkatan suhu
. Singkatnya, 25 g sampel produk makanan ditransfer ke 225 ml Shigella Broth
(SB) yang ditambahkan novobiocin (0.5μg/ml untuk S. sonnei dan 3.0μg/ml untuk
Shigella sp lainnya). Sampel diproses dalam suhu kamar selama 10 menit.
Supernatan dipindahkan kelabu Erlenmeyer pada pH 7,0 ± 0,2 dan ditambahkan 1 N
NaOH atau 1 N HCl. Selanjutnya diinkubasi anaerobik selama 20 jam. Konfirmasi
koloni diuji dengan melihat motilitas, H2S, dekarboksilase lisin, dan
fermentasi sukrosa atau laktosa. Serta menunjukkan hasil negatif untuk semua
uji lanjut isolat reaksi biokimia termasuk adonitol, inositol, laktosa, potasium
sianida, malonat, sitrat, dan salisin. Shigella sp. menunjukkan hasil negatif
untuk semua uji biokimia.
Metode
Imunologi untuk pendeteksian dapat digunakan lateks aglutinasi (LA), enzim
immunoassay (EIA), atau pemisahan immunomagnetic (IMS). LA melibatkan partikel
lateks yang dilapisi dengan antibodi spesifik untuk bakteri target.
Pada
penelitian Shah M. Faruque et al (2002) untuk identifikasi isolasi Shigella sp.
dapat dilakukan dengan PCR yang diarahkan terhadap invasi plasmid atau
pengkodean gen toksin Shiga, didapatkan hasil bahwa sensitivitas PCR lebih
tinggi dibandingkan dengan kultur. Namun isolasi bakteri hidup masih sangat
penting untuk menilai karakterisasi potensi patogen serta kepekaan terhadap antibiotika.
Penggunaan
metode PCR multipleks mampu mendeteksi S. dysenteriae pada 1,0 × 103 cfu/ml
dalam homogenat. Setelah inkubasi 22 jam dalam buffer pepton water PCR
multikompleks mampu mendeteksi S.dysenteriae minimal 1.0 × 101-1,0 × 102 cfu /ml
dalam homogenat.
Selain
itu, isolasi dan identifikasi dapat dilakukan pada sampel air yang difiltrasi
melalui filter membran berukuran 0,22 µ, kemudian di pindahkan ke dalam 100 ml
agar nutrien dan diinkubasi pada 370C selama 6 jam. Selanjutnya di
goreskan/streak ke dalam plate agar XLD dan diinkubasi selama 18-24 jam. Koloni
yang terbentuk berwarna merah hingga merah muda (red headed pink), ditransfer
ke dalam nutrien agar dan diinkubasi kembali selama 24 jam. Seluruh hasil
isolasi Shigella sp. diuji dengan pemeriksaan biokimia dan menunjukkan gambaran
karakteristik memproduksi oksidase, urease, indol, sitrat, mannitol. Analisa
serologis juga dapat dilakukan dengan tes slide agglutinasi dengan antigen poly
A, poly B, C1, C2, C3 dan D. Bila terjadi aglutinasi dengan antigen poly B maka
dapat diidentifikasi sebagai S.flexneri, sedangkan S.sonnei mengalami
aglutinasi dengan antigen D, dan S. dysenteriae mengalami aglutinasi dengan
antigen poly A (Anonimous, 2006).
5. Faktor
Lingkungan dan Suhu
Shigella
sp merupakan bakteri sensitif terhadap panas, tahan asam dan toleran garam yang
dapat menahan tingkat rendah asam organik. S. flexneri menunjukkan pertumbuhan
pada suhu 19, 28, 370C dengan pH 5 ketika diinokulasikan ke Brain Heart
Infusion (BHI) broth. Tetapi ketika diinokulasi
ke BHI broth dengan pH 2, 3, atau 4 pertumbuhannya menurun, serta pada pH 2
tidak terdeteksi 1-3 hari ketika diadakan pada temperatur 190C atau lebih
rendah. Secara umum, peluang tumbuh S. flexneri lebih besar dalam BHI broth
yang diinkubasi pada suhu yang lebih
rendah dan disesuaikan dengan pH lebih tinggi. S. flexneri tahan asam dan
tingkat asam pada makanan mendukung kelangsungan hidup Shigella sp. Warren, et
all (2006) menyatakan bahwa S.flexneri toleran garam dan dapat bertahan hidup
dalam makanan asin seperti sayuran acar, kaviar, acar ikan herring, ham kering
(dry cured ham) dan keju dalam waktu yang lama. Asam organik dapat membantu
dalam inaktivasi Shigella, namun makanan dengan tingkat asam yang rendah dan
disimpan pada suhu rendah mendukung kelangsungan hidup bakteri untuk waktu yang
lama (Warren et all, 2006).
Suhu
pembekuan (-200C) dan pendinginan (40C) merupakan suhu yang mendukung
kelangsungan hidup, tetapi tidak sesuai untuk pertumbuhan Shigella sp.
Berdasarkan
studi yang dilakukan Warren, et all (2006) suhu pertumbuhan S. sonnei dan S.
flexneri adalah 6,1 hingga 47,10C dan 7,9 hingga 45,20C. Shigella sp. dapat
bertahan lama pada suhu -200C atau pada 40C. Proses pasteurisasi tradisional
dan suhu memasak dapat menginaktivasi bakteri ini, salah satu contohnya pada
susu pasteurisasi jumlah S. dysenteriae akan mengalami penurunan pada suhu
82,20C selama 0,0008 detik, sementara S. sonnei dan S. flexneri tidak aktif
dalam waktu 5 menit pada 630 C pada nutrisi broth. Secara umum, Shigella sp.
hidup lebih baik pada suhu dingin dan pada kelembaban relatif tinggi (84%).
6. Gejala
Klinis
Pada
umumnya masa inkubasi infeksi Shigella sp. atau sering disebut dengan
Shigellosis, antara 24 jam sampai 4 hari, tetapi dapat bervariasi dari 12-96 jam sampai dengan 1 minggu untuk S.
dysenteriae. Gejala klinis antara lain diare cair bercampur darah dan lendir,
demam tinggi mendadak hingga mencapai 420C, nyeri perut dan kram selama 1-2
hari pasca infeksi, nausea, vomit, dehidrasi, tenesmus, takokardia dan takipneu
(Anonimous, 2009).
Gejala
Kronis dari infeksi S. dysenteriae serotipe 1 dapat mengakibatkan sindrom uremik hemolitik (HUS) yang ditandai
dengan kejang pada anak-anak karena produksi toksin Shiga dalam tubuh
penderita. Sedangkan infeksi S. flexneri dapat berkembang lebih lanjut menjadi
sindrom Reiter, terutama pada penderita dengan predisposisi genetik tertentu
(genetik marker) HLA-B27. Human Leukosit Antigen B27 (HLA-B27) adalah sebuah
antigen kelas I pada kompleks histocompatability utama (MHC) pada kromosom 6
dan memproduksi antigen mikroba untuk sel T. HLA-B27 juga berhubungan dengan
penyakit autoimun tertentu yang disebut sebagai spondyloarthropathies
seronegatif (Todar, 2010).
Sindrom
Reiter ditandai dengan nyeri sendi, iritasi mata, dan kesakitan saat urinasi.
Pada Sindrom uremik hemolitik dan inflamasi glomerulus ginjal terjadi pada 5-10
% pasien dan mortalitas sindrom uremik hemolitik terjadi hingga 5 % (Warren, et
all, 2006).
B. PATOGENESA
Shigella
sp. merupakan salah satu bakteri penyebab diare pada anak disamping infeksi
oleh bakteri E. Coli dan Campylobacter jejuni di negara berkembang. Kasus
Shigellosis yang terjadi di Indonesia menyebabkan sekitar 10% diare akut pada
anak dan 2% pada usia dewasa. Penyebaran shigellosis sering terjadi secara
kontak orang ke orang disebabkan dosis infeksiusnya rendah (10-100 organisme)
sudah dapat menyebabkan kesakitan. Di daerah tropis yang sering tersering
ditemukan ialah S.dysenteri dan S.flexneri, sedangkan S.sonnei lebih sering
dijumpai di daerah sub tropis atau daerah industri. S.boydii terjadi di seluruh
dunia dengan prevalensi kasur sekitar 4% (Reza R. et all, 2008).
Tertelannya
10-100 Shigella sp. dapat mengakibatkan infeksi dan bertahan terhadap keasaman
sekresi lambung selama 4 jam. Shigella sp. sebagai penyebab diare memiliki 3
faktor virulensi yaitu memiliki dinding polisakarida sebagai antigen halus,
kemampuan menginvasi eritrosit dan proliferasi serta mengeluarkan toksin
setelah menembus sel.
Infeksi
dimulai saat bakteri masuk saluran gastrointestinal kemudian menempel pada
dinding usus dan menghasilkan toksin shiga pada host. Toksin shiga
mengakibatkan degenarasi mukosa usus dan menyebabkan kebocoran darah pada usus.
Selain itu paparan toksin shiga pada mukosa usus dapat mencegah penyerapan
nutrisi dan air, sehingga mengakibatkan dehidrasi (Murphy, ER dan Payne, 2007)
Shigella
sp dapat menginvasi epitel kolon dan mengakibatkan gejala Shigellosis. Terdapat
empat cara invasi Shigella sp. ke dalam
sel epitel antara lain proses masuk ke sel epitel, multiplikasi intraselular,
penyebaran intra dan intercellular serta kematian inang.
Proses
Invasi dikendalikan oleh plasmid virulensi 180 - 220 kDa. Plasmid virulensi
terdiri dari invasi antigen plasmid (IPA), gen yang mengkode empat polipeptida
yang sangat imunogenik (IpaA, IpaB, IPAC, dan iPad). Invasi juga diperantarai
oleh gen virF yang terletak pada plasmid virulensi, dan gen virR yang terletak
pada kromosom. Gen virF mengkodekan protein 30 kDa yang positif mengatur
ekspresi gen-gen IPA dan IcsA (juga
dikenal sebagai Virg). Tidak ditemukan faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi ekspresi gen virF. Shigella sp. yang ditumbuhkan pada suhu 30 0 C tidak
menunjukkan polipeptida Ipa dan non-invasif. Shigella sp. yang tumbuh pada 370C
sangat invasif.
Setelah
bakteri tertelan, Shigella sp. bergerak
dari saluran gastrointestinal ke usus besar dan mentranslokasi hambatan
epitel melalui sel M pada nodul limfoid soliter. Setelah mencapai sel M, sel makrofag
yang terinfeksi akan menginduksi sel apoptosis. Sel makrofag yang terinfeksi
melepaskan interleukin-1β dan mengakibatkan munculnya respon inflamasi.
Setelah
pelepasan dari makrofag, Shigella sp. masuk ke sel enterosit melalui proses
macropinocytosis. Hal ini mengakibatkan membran sel inang berubah bentuk /formasi
menjadi “pseudopodia” dalam volume besar dan membentuk sebuah vakuola. Proses
macropinocytosis memerlukan polimerisasi aktin dan myosin yang akan mengikat
protein aktin. Akibat dari reaksi invasi ini sel epitel akan memproduksi
sitokin pro-inflamasi yang menyebabkan peradangan usus besar.
Proses
selanjutnya setelah tertelan ke dalam sel epitel, Shigella sp. merusak vakuola,
melepaskan sitoplasma sel inang dan berkembang biak dengan cepat. Proses
perkembangbiakan ini membutuhkan nutrisi dari host. Terutama zat besi bebas
(free iron) yang ada dalam darah host (mamalia). Guna mendapatkan zat besi ini,
Shigella sp. mensintesis dan mentransportasikan siderophores aerobactin dan
enterobactin. Enterobactin dihasilkan oleh beberapa tapi tidak semua Shigella
sp., sedangkan aerobactin disintesis oleh S. flexneri, S. boydii dan beberapa
S.sonnei.
Penyebaran
Intra dan antar seluler dikendalikan oleh gen (Virg) IcsA yang terletak di
plasmid virulensi. IcsA gen mengkodekan protein IcsA, yang memungkinkan
motilitas actinbased sehingga dapat menyebar antar seluler. Penyebaran
interselular melalui mekanisme motilitas aktin, Shigella sp. pertama-tama akan
membentuk tonjolan dalam sel yang berdekatan dengan membran. Tonjolan ini
mengakibatkan bakteri tertutup dalam membran vakuola ganda. Penyebaran
interselular berakhir ketika pelepasan membran vakuola ganda dan melepaskannya
ke dalam sitosol sel sekunder.
Proses
awal kematian sel inang melalui metabolik penurunan konsentrasi intraseluler
ATP dengan cepat, meningkatkan piruvat, dan memproduksi laktat. Shiga toxin
(STX) merupakan toxin yang diproduksi oleh S.dysenteriae serotipe 1 namun tidak
berperan dalam kematian awal sel inang (Warren et all, 2006).
Infeksi
akibat shigella sp. dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi pada anak kecil dan
penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (immunosuppresi) dapat
mengakibatkan kematian. Tingkat keparahan penyakit akibat Shigella
sp.bervariasi dan tergantung pada kesehatan individu penderita, pada usia muda
dan tua tingkat keparahan cenderung meningkat. Shigellosis umumnya menginfeksi
anak-anak dibawah umur 10 tahun, dan angka kejadian tertinggi terdapat pada
kelompok umur 1-4 tahun (Anonimous, 2009).
C.
TOKSIN SHIGA
S.
dysenteriae serotipe 1 menghasilkan toxin yang disebut Shiga toksin (STX). STX
juga dikenal dengan verotoksin yang akan menyebabkan keparahan penyakit. Berat
molekul toksin adalah 68.000 dalton dan umumnya menyerang permukaan pembuluh
darah saluran gastro intestinal dan endotelium vaskular. Terdapat tiga
aktivitas biologis dari STX pada tubuh manusia adalah sitotoksisitas,
enterotoxicity dan neurotoksisitas serta penghambatan sintesis protein. Efek
neurotoksik ditunjukkan dengan demam dan sakit perut, efek enterotoxic
mengakibatkan pemblokiran penyerapan nutrisi di usus. Sedangkan efek sitotoksik
ditandai dengan terjadinya invasi toksin kedalam sel epitel usus (Murphy, ER
and Payne, 2007).
STX
merupakan prototipe atau mirip dengan sebagai Shiga-Like Toksin (SLT), dimana
serupa dalam struktur, fungsi dan berbagi situs reseptor yang sama. SLT yang
paling patogen pada manusia adalah E. Coli O157: H7 yang memiliki dua varian
toksin diskenal dengan SLT I dan II (Todar, 2010)
Shiga
toxin terdiri dari dua struktur polipeptida berupa subunit A (32225 MW) dan
lima subunit B (7.691 MW). Sub-unit B merupakan perantara binding/pengikatan
permukaan membran sel reseptor host (Gb3) dan mengandung terminal galaktosa-α
disakarida galaktosa. Subunit A berperan secara enzimatis untuk membelah
N-glikosidik ikatan adenin pada posisi nukleotida 4324 di 28S rRNA dari unit
ribosomal 60s ketika berada di sitoplasma sel inang dan menyebabkan keracunan
host.
Terdapat
dua enterotoksin yaitu enterotoksin shigella 1 (ShET 1) dan shigella
enterotoksin 2 (ShET 2) yang khas dan berperan dalam manifestasi klinis
Shigellosis. ShET 1 hanya terjadi pada isolat S. flexneri dan ShET 2 terdeteksi
di seluruh isolat Shigella sp (Warren et all, 2006).
Toksin
shiga bekerja pada lapisan pembuluh darah, endotelium vaskular, saluran
gastrointestinal dan paru-paru. Sub unit B dari toksin shiga masuk kedalam sel
dan berikatan dengan Gb3. Ketika protein berada dalam sel, sub unit A menonaktifkan
ribosom dengan mengubah komponen RNA ribosom dan akhirnya akan menghentikan
sintesis protein serta kematian sel.
Toksin
ini tidak hanya mempengaruhi saluran gastrointestinal, tetapi juga menyerang
endotelium vaskular glomerulus ginjal, sebagai struktur penyaringan dan kunci
dari fungsi ginjal, dengan rusaknya glomerulus menyebabkan gagal ginjal dan
mengakibatkan terjadinya sindrom hemolitik uremik. Toksisitas STX pada tikus
percobaan (LD50) adalah kurang < 20 mikrogram/kg dengan pemberian intravena
atau intraperitoneal. Tidak ditemukan data mengenai toksisitas menghirup toksin
shiga. Inaktivasi STX dengan cara memberikan perlakuan uap, agen oksidator
seperti pemutih/bleaching, dan agen sterilisasi kimia seperti glutaraldehid
(Todar, 2010).
A
|
Gambar
3. Struktur toksin Shiga
(A = sub unit alfa dan B = sub unit beta)
D. ASPEK
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Makanan
yang sering terkontaminasi Shigella sp. adalah salad, sayuran segar (mentah),
susu dan produk susu, daging sapi, kacang, tiram mentah, ikan serta air yang
terkontaminasi. Sayuran segar yang tumbuh pada tanah yang tercemar Shigella sp.
dapat menjadi faktor penyebab infeksi Shigella sp (Wikipedia, 2010).
Menurut
Fitzroy, AO (2008) Shigella sp. dapat ditularkan melalui fecal oral, kontak
langsung (person to person) maupun kontak tidak langsung dengan feses
penderita. S. dysenteriae yang sangat toleran garam, tahan asam, pH rendah
mengakibatkan bakteri ini dapat bertahan hidup di berbagai jenis makanan
seperti buah, sayuran, makanan siap saji khususnya makanan dengan proses pengolahan
yang tidak steril atau makanan mentah. Proses penanganan, pengolahan makanan
harus memperhatikan higiene pribadi dengan mencuci tangan, pencucian sayuran
atau buah sebelum dikonsumsi, dan penyimpanan makanan sesuai dengan peruntukkan
suhunya dapat mencegah penyebaran infeksi.
Selain
itu transmisi Shigella sp. dapat terjadi apabila meminum air yang
terkontaminasi atau berenang di air kolam renang yang telah terkontaminasi,
menelan sejumlah kecil (antara 50-100) bakteri Shigella sp dapat menyebabkan infeksi
pada balita dan anak-anak dibawah umur 5 tahun.
E. PENGOBATAN
Pengobatan
dasar bagi Shigellosis adalah dengan antibiotik, pilihan obat yang digunakan
antara lain ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, fluorokuinolon,
ciprofloxazine, asam nalidiksat. Menurut Fitzroy (2008) Keempat serotipe
shigella sp. telah resisten terhadap ampicillin sehingga digunakan pilihan
antibiotik lain. S. flexneri, S. boydii dan S. dysenteriae sangat sensitive
jika diobati dengan Aztreonam, gentamicin dan ciprofloxazine.
Trimetoprim-Sulfametoksazol
(Kotrimoksasol) merupakan pilihan efektif untuk Shigellosis. Obat golongan
Sefalosporin generasi ketiga seperti Cefriaxone ataupun Cefixime dapat
diberikan bagi pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap pemberian Kotrimoksasol.
Obat golongan Quinolone generasi pertama (Nalidixic acid) juga efektif bagi
pasien yang alergi terhadap Sulfas dan Sefalosporin (Anonimous, 2009).
Pada
infeksi ringan biasanya akan sembuh dengan cepat tanpa disertai pengobatan
antibiotik. Oleh sebab itu, pemberian antibiotik yang tepat dan selektif dapat
membunuh sekaligus mencegah penyebaran bakteri dan sebaiknya antibiotik
diberikan hanya pada kasus yang lebih parah. Bagi penderita yang telah
mengalami sindrom uremik hemolitik dapat diberikan terapi cairan elektrolit,
monitoring dan memperkuat fungsi ginjal (Todar, 2010).
Pada
umumnya, pasien yang mengalami dehidrasi diberikan cairan rehidrasi parenteral
seperti Ringer Laktat atau Darrow Glukosa guna menggantikan air yang hilang
akibat diare, muntah dan berkeringat. Obat anti spasmodik/spasmolitik tidak
dianjurkan untuk diberikan, karena dapat memperburuk keadaan, menyebabkan
terkumpulnya cairan di lumen usus, dilatasi usus, gangguan digesti dan absorpsi
lainnya. (Anonimous, 2009).
Meskipun
terapi rehidrasi cairan dapat menurunkan mortalitas penderita infeksi diare
secara bermakna, angka kesakitan diare tetap tinggi di negara berkembang.
Masalah infeksi diare yang disebabkan oleh Shigella sp. memberikan dampak yang
besar terhadap nutrisi, terutama pada anak-anak. Interaksi antara diare dan
malnutrisi dapat merupakan hubungan dua arah. Infeksi diare memberikan efek
negatif terhadap status gizi akibat penurunan asupan nutrisi dan absorpsi usus,
peningkatan katabolisme dan pemecahan nutrient yang digunakan untuk sintesis
jaringan dan pertumbuhan. Sementara malnutrisi dapat menjadi predisposisi
terhadap terjadinya infeksi akibat penurunan kemampuan barier proteksi kulit
dan mukosa, serta perubahan fungsi respon imun. Keadaan ini seringkali mengakibatkan
penururunan energi disertai defisiensi mikronutrien. Banyak studi telah
membuktikan bahwa suplementasi zink pada anak dengan diare akut dapat
memperpendek durasinya dan mencegah terjadinya diare persisten, namun efek zink
secara langsung terhadap bakteri enteropatogen penyebab diare belum banyak
dilaporkan (Herwana dkk, 2006). Kemungkinan mekanisme efek antidiare dari
suplementasi zink sulfat sejauh ini dikaitkan dengan perbaikan absorbsi air dan
elektrolit di usus, regenerasi sel epitel usus dan pengembalian fungsinya,
serta peningkatan mekanisme imunologi untuk mengatasi infeksi.
Studi
in vitro yang dilakukan oleh Herwana dkk. (2006) menunjukkan bahwa pada
konsentrasi antara 0,2 hingga 2 mg/mL, zink sulfat dapat menghambat pertumbuhan
bakteri enterik Shigella. Pada spesies yang paling sering dijumpai yaitu S.
flexneri, kadar hambat minimal dari zink sulfat telah terjadi pada kadar yang
paling rendah yaitu 0,2 mg/mL. Pada kadar zink sulfat 1,6 mg/ml, pertumbuhan S.
flexneri dapat dihambat sebesar 100%. Hasil ini konsisten dengan penelitian
yang dilakukan Surjawidjaja et al. yang menyatakan S. flexneri sebanyak 100%
dapat dihambat pada konsentrasi zink sulfat 1,2 mg/mL.(16) Dosis suplementasi
zink yang digunakan pada anak-anak adalah antara 20 mg/hari hingga 25 mg/hari
atau setara dengan 88 mg - 110 mg zink sulfat (ZnSO4.7H2O). Pada suplementasi
zink per oral, absorbsi di usus hanya sekitar 5% hingga 26% saja. Ini berarti
bahwa 74-95% atau 65,1-104,5 mg dari dosis pemberian, tidak mengalami absorbsi
dan akan tertinggal di dalam usus. Jumlah ini akan terdistribusi di dalam lumen
usus. Namun agak sulit untuk menentukan besarnya kadar zink sulfat yang
mencapai segmen usus karena dapat dipengaruhi oleh gerakan usus, asupan dan
retensi air, yang dapat mengubah konsentrasi relatif dari zink sulfat yang
tidak diabsorbsi. Bukan tidak mungkin bahwa konsentrasi zink sulfat yang tidak
diabsorpsi dan tertinggal di dalam usus ini masih cukup efektif untuk
menghambat pertumbuhan Shigella spp. sehingga dapat memberikan perbaikan gejala
klinis penderita diare.
F. PENCEGAHAN
DAN PENGENDALIAN
Pencegahan
dari Shigellosis dapat dilakukan dengan:
-Perilaku
hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah
kontak dengan bahan makanan.
-Mencuci
sayuran/buah-buahan/produk pangan sebelum dimasak atau sebelum dikonsumi.
-Menyediakan
air bersih dan mencegah kontaminasi air dengan feses penderita (sanitasi toilet
yang baik).
-Proses
penanganan, penyimpanan, dan persiapan makanan juga dapat membantu mencegah
infeksi Shigella, makanan dingin harus disimpan dingin dan makanan panas harus
disimpan panas guna mencegah pertumbuhan bakteri.
-Di
Amerika Serikat sedang dikembangkan penelitian terhadap vaksin shigella yang
dengan vaksin lived yang telah dilemahkan.
Beberapa vaksin lived yang telah dilemahkan Shigella, vaksin dari
serotipe berbeda telah terbukti aman, imunogenik, dan efektif terhadap
tantangan strain ganas (Todar, 2010).
BAB
IV. KESIMPULAN
Shigella
sp. merupakan bakteri penyebab foodborne di Amerika Serikat dan negara-negara
berkembang lainnya. Bakteri ini dapat
bertahan hidup dalam berbagai jenis makanan, terutama pada makanan yang
terkontaminasi Shigella sp., makanan yang dimasak dengan pemanasan yang kurang
/mentah. Pencegahan yang paling penting adalah dengan menjaga kebersihan
pribadi dan memasak makanan secara sempurna. Pemberian Zink Sulfat dapat
memberikan efek hambatan terhadap pertumbuhan Shigella spp, sehingga zink
sulfat sebagai ajuvan terhadap terapi antibiotik untuk pasien diare, terutama
yang disebabkan oleh bakteri Shigella spp.
DAFTAR PUSTAKA (Ada Pada Penulis)
Tanpa
merubah maksud dan mengurangi isinya, tulisan telah diedit ulang oleh:
drh.
Giyono Trisnadi
******