PENYAKIT ENZOOTIC BOVINE LEUKOSIS (EBL) PADA SAPI IMPOR

Penyakit Enzootic Bovine Leucosis (EBL) adalah penyakit infeksius karena virus yang menyerang sapi,  Infeksi virus ini dapat menyerang sapi pada semua umur. Kerugian akibat penyakit ini pada peternakan yaitu mempercepat masa afkir, menurunkan produksi susu atau menurunkan performa reproduksi.


******


Karya Tulis Ilmiah:

 
Deteksi Penyakit Enzootic Bovine Leukosis (EBL)
Pada Sapi Perah Yang Diimpor
Melalui Bandar Udara Soekarno Hatta, Tangerang

Oleh:

Fara Zamzami dan Gigih Ikhtiari Erfianto


ABSTRAK

Enzootic Bovine Leucosis (EBL) adalah penyakit infeksius yang menyerang ternak sapi, disebabkan oleh Retrovirus. Kerugian akibat penyakit ini pada peternakan yaitu mempercepat masa afkir, menurunkan produksi susu atau menurunkan performa reproduksi.  Sebanayak 218 sampel serum yang berasal dari sapi bibit impor asal Australia yang melalui Bandar Udara Soekarno Hatta, Tangerang yang akan dipelihara sebagai sapi perah diuji terhadap keberadaan antibodi terhadap virus penyebab EBL dengan menggunakan metode metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil yang diperoleh adalah sebanyak 91 sampel dinyatakan seropositif dan 127 sampel dinyatakan seronegatif.
Kata kunci : Bandara Soekarno Hatta, ELISA, Sapi bibit impor


PENDAHULUAN

Penyakit Enzootic Bovine Leucosis (EBL) adalah penyakit infeksius yang menyerang ternak sapi, disebabkan oleh Retrovirus (Kurniadhi 2004).  Infeksi virus ini dapat menyerang sapi pada semua tingkatan umur termasuk pada embrio sapi.  Pada umumnya infeksi bersifat subklinis, tetapi pada sapi berumur diatas 3 tahun menunjukkan gejala limpositosis dan terdapat limposarkoma pada organ internal. Secara alamiah infeksi dapat terjadi pada Kerbau air dan Kapibara. Gejala klinis ditunjukkan berdasar pada organ yang diserang.  Sapi yang menunjukkan gejala limposarkoma biasanya mati dengan cepat atau dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan setelah munculnya gejala klinis (OIE 2012).

Agen penyebab EBL dapat dideteksi dengan cara melakukan kultur in vitro dari supernatan yang berasal dari peripheral blood mononuclear cells (PBMC).  Supernatan tersebut diperoleh dari hewan yang terinfeksi.  Hewan terinfeksi dapat diketahui dengan deteksi antigen BLV, PCR atau mikroskop elektron. Metode deteksi antibodi telah dipergunakan secara luas, salah satunya dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Bahan pengujian dengan menggunakan serum atau susu (OIE 2012).

Importasi bibit sapi perah dari Australia berpeluang membawa virus EBL masuk ke Indonesia dan dapat menular pada sapi perah yang ada di Indonesia.  Mengingat dampak dari penyakit tersebut yang menimbulkan kerugian ekonomi terhadap peternakan sapi perah maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap virus EBL pada sapi perah yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno Hatta Tangerang.


TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi           
Bovine leukosis adalah suatu penyakit viral yang di tandai dengan meningkatnya sel-sel leukosit dalam darah terutama sel limfosit.  Hal ini terjadi karena adanya rangsangan oleh agen penyakit pada jaringan limfatik sehingga sel-sel jaringan tersebut mengalami hipertropi (pembengkakan). Karena hipertropi dan ditambah dengan adanya penambahan sel (hiperplasia), maka manifestasi yang tampak berupa pembengkakan jaringan limfatik tersebut. Penyakit ini banyak menyerang sapi. Kambing, domba, babi dan kerbau juga merupakan  hewan yang dapat diserang walaupun kejadiannya lebih jarang (Hasanah 2014).

Family             : Retroviridae
Subfamily        : Orthoretrovirinae
Genus             : Deltaretrovirus
Species           : Bovine leukemia virus

Bovine leukemia penyakit neoplastik yang menyerang sapi diklasifikasikan menjadi  enzootic dan sporadic bovine leukosis. Enzootic Bovine Leukosis (EBL) disebabkan oleh bovine leukemia virus (BLV), yang digolongkan  kedalam genus Deltaretrovirus  yang termasuk dalam famili retroviridae (Kobayashi et al 2014).  Penyakit ini menyerang hewan pada semua usia, meskipun demikian limposarkoma hanya terlihat pada hewan diatas umur 3 tahun. Infeksi biasanya bersifat subklnis, 30-70% sapi yang terinfeksi terlihat adanya limposarkoma dan 0.1-10% hewan terinfeksi menunjukkan adanya bentukan tumor.

Gejala Klinis 
Gejala klinis tergantung dari lokasi tumbuhnya tumor dan biasanya disertai dengan gangguan pencernaan, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, lemah dan kadang kadang disertai dengan manifestasi pada syaraf.  Glandula superfisial membesar dan dapat teraba dibawah kulit dan pada saat palpasi rektal. Pada pemeriksaan post mortem, limpoglandula dan jaringan ditemukan adanya infiltrasi sel neoplastik. Bagian yang terserang biasanya abomasum, paru-paru bagian kanan, usus, hati, ginjal, omasum, jantung, dan uterus.  Sapi yang menunjukkan adanya limpositosis dan adanya perkembangan tumor ditentukan oleh faktor genetik (OIE 2012). Sekitar 29% sapi yang terinveksi BLV menunjukkan adanya limpositosis dan kurang dari 5% menunjukkan adanya perkembangan limposarkoma (Gutierrez et al. 2009).

Menurut Kobayashi (2014) EBL telah dinyakan sebagai penyakit penting dalam perdagangan hewan oleh OIE.  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus pada populasi ternak berakibat terhadap kerugian pada peternakan yaitu mempercepat masa afkir, menurunkan produksi susu atau menurunkan performa reproduksi.  Dampak secara ekonomi akibat virus ini adalah adanya larangan pemasukan ternak, semen dan embrio dari negara yang tertular EBL (Gutierrez et al. 2009).

 Gambar 1 Pembesaran limpa glandula pada sapi (Vetnext 2015)


Gambar 2 Tumor pada jantung



Gambar 3 Limposarcoma pada usus

Epidemiologi Penyakit
BLV diduga muncul di Eropa pada abad ke 19, yang kemudian menyebar ke benua Amerika pada awal abad ke 20.  Importasi ternak dari Amerika Utara ke Eropa menyebabkan penyakit ini kembali ke Eropa.  meskipun beberapa negara dinyatakan bebas dari infeksi BLV (OIE 2012).  Penyebaran BLV diseluru dunia diperkirakan mencapai 89 %, dan sebanyak 83.9% peternakan sapi perah di Amerika terinfeksi BLV pada tahun 1996 dan 2007.  Hal yang berbeda terjadi di beberapa negara, Australia, New Zealand dan beberapa negara Uni Eropa telah berhasil atau hampir berhasil membebaskan negaranya dari BLV (Kobayashi et al. 2014).

Penularan Penyakit
Virus menyebar secara horisontal dalam kawanan dalam satu peternakan atau antar peternakan.  Penularan pada janin dapat terjadi meskipun kemungkinannya sangat kecil.  Sapi terinfeksi apabila terpapar limfosit yang mengandung virus, sekresi dan sekresi.  Infeksi dapat ditularkan melalui darah meskipun dalam jumlah sedikit. Penyakit dapat menular melalui jarum suntik, peralatan tato, peralatan potong tanduk dan palpasi rektal yang menggunakan sarung tangan yang terkontaminasi virus. Susu yang berasal dari sapi terinfeksi dan dikonsumsi oleh anak sapi adalah penyebab penularan yang sering dijumpai.  Anak sapi yang mengkonsumsi kolostrum kurang dari 24 jam dapat terhindar dari infeksi virus ini.  Embrio yang berasal dari induk yang terinfeksi tidak menularkan BLV pada sapi donor dan anak yang dilahirkan (Kirkland dan Rodwell 2005). 

Vektor seperti lalat tabanus dan lalat penggigit lainnya diperkirakan dapat memindahkan virus. Penularan secara vertikal dapat terjadi secara transplasenta, intrapartum karena adanya kontak dengan darah penderita atau postpartum karena mengkonsumsi kolostrum yang terinfeksi. Peralatan yang terkontaminasi oleh darah atau limfosit berpotensi menginfeksi hewan (Merck 2014).

Diagnosis
Infeksi BLV biasanya diketahui dengan mendeteksi antibodi dalam serum atau susu.  Antibodi terdeteksi dalam serum setelah 2-8 minggu infeksi dan bertahan hingga 7 bulan sebelum menghilang. Metode serologis yang sering digunakan untuk mendeteksi hewan terinfeksi adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan agar gel immunodiffusion (AGID). ELISA memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan AGID dan lebih mudah dipergunakan untuk pengujian dalam skala besar. 

Isolasi virus bukan merupakan metode yang digunakan secara rutin.  Pada bebarapa tujuan, isolasi dipergunakan untuk menyidik penyakit pada hewan yang menunjukkan hasil seropositif atau untuk meyakinkan status serologi.  isolasi virus juga diperlukan untuk menyatakan material biologid bebas dari kontaminasi BLV. Screening secara In vivo dan In vitro dapat digunakan untuk isolasi virus tetapi screening secara invivo dengan cara menginokulasi pada domba merupakan metode yang paling sensitif (Kirkland dan Rodwell 2005).

Pengobatan dan Pengendalian
Tidak ada pengobatan untuk penyakit virus atau limposarkoma pada sapi, meskipun penggunaan kortikosteroid secara perenteral dapat meredakan gejala klinis. Program pemberantasan telah dikembangkan tetapi tingkat keberhasilannya masih tergantung dari biaya dan prevalensi penyakit.  Rekomendasi yang umum dipergunakan dalam program pemberantasan BLV adalah 1) mengidentifikasi hewan terinfeksi dengan menggunakan uji serologis, 2) Mengafkir hewan yang menunjukkan hasil seropositif sesegera mungkin, 3) Menguji ulang terhadap kelompok ternak dalam waktu 30-60 hari, 4) Melakukan uji PCR pada pedet dan sebagai uji komplemeter pada kawanan dengan prevalensi rendah, 5) melakukan pengujian ulang dan mengafkir ternakk terinfeksi hingga seluruh kawanan ternak dinyatakan bebas. Pengujian kemudian diulang setiap 6 bulan. Kawanan ternak dinyatakan bebas setelah tidak ditemukannya hasil tes yang positif setelah 2 tahun (Merck 2014).  

Pencegahan
Pembatasan terhadap berpindahnya darah dari ternak terinfeksi ke ternak bebas merupakan prinsip dari pencegahan BLV. Pemeberian kolstrum dari induk yang seronegatif pada pedet juga merupakan cara yang disarankan. Metode pemotongan tanduk dengan dibakar atau dengan cara yang tidak menyebabkan luka sebaiknya diterapkan.  Peralatan yang digunakan untuk kastrasi, tato, ear tagging atau implant harus selalu dibersihkan dan disucihamakan.  Kontrol terhadap lalat tabanus cukup membantu dalam program pencegahan BLV (Merck 2014).

Gambaran EBL di Australia
Hasil monitoring terhadap peternakan sapi perah di Australia pada akhir tahun 2011, menyatakan bahwa 99.9% peternakan sapi perah telah dinyatakan bebas dari EBL.  Pada peternakan sapi potong masih menunjukkan prevalensi EBL yang cukup rendah (AHA 2011).    Meskipun peternakan sapi perah di Australia dinyatakan bebas, pemasukan bibit sapi perah dari Australia tetap diwaspadai terhadap kemungkinan infeksi dari EBL.


MATERI DAN METODE

Alat
Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel berupa jarum venoject, tabung vacutainer, kapas, alkohol, tabung ependorf, box transport, mikropipet.

Sampel
Sampel yang diuji berasal dari sapi perah yang diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta.  Sebanyak 218 sampel diambil dari 218 ekor sapi yang masuk pada tanggal10 Mei 2015.  Tujuan pemasukkan sapi untuk dibudidayakan sebagai sapi perah pengahasil susu oleh perusahaan di daerah Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Serum
Sampel darah diambil melalui vena Coccigea dengan menggunakan vacutainer tanpa anti koagulan.  Tabung yang berisi darah kemudian diletakkan dalam keadaan miring pada tempat teduh dan suhu ruangan untuk memisahkan plasma dan serum darah.  Serum yang telah terpisah kemudian dipisahkan dan di tempatkan dalam tabung ependorf dan dikirim ke laboratorium dalam keadaan dingin.

Pengujian sampel
Sampel serum yang didapat diuji di Balai Besar Veteriner (BBVET) Subang dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Metode ini dipilih karena merupakan uji yang disarankan oleh OIE.  OIE  (2012) menyatakan bahwa Enzyme-linked immunosorbent assay dianjurkan dipergunakan sebagai metode pengujian untuk perdagangan internasional. 


HASIL DAN PEMBAHASAN

Serum
Sebanyak 218 sampel berupa serum didapat dari 218 ekor sapi perah yang diimpor melalui bandara Soekarno Hatta (Tabel 1). Serum merupakan bahan pengujian secara serologis yang dipergunakan untuk mendeteksi adanya reaksi antibodi terhadap BLV.  Pengujian terhadap keberadaan antibodi BLV dilakukan dengan metode ELISA.

Tabel 1 Jumlah serum yang diperoleh

Jumlah Sapi yang diimpor
Serum diperoleh
Keterangan
218
218
Kondisi baik
Layak uji


Pengujian    
Salah satu uji yang secara luas dipergunakan adalah ELISA dengan menggunakan sampel pemeriksaan serum atau susu. Tes ini telah menjadi  dasar untuk menetukan kebijakan pemberantasan yang dijalankan di banyak negara (OIE 2012). Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall yang menggunakan teknik ELISA dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai pelapor/signal. Selanjutnya digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi/antigen dengan menggunakan antibodi/antigen spesifik.Teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi /antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer dan dengan cara menetukan jumlah penambahan kadar antibodi /antigen,sehingga dapat dibuat suatu kurva standard antara kadar antibodi atau antigen yang dapat dihitung berdasarkan absorbansinya (Lubis 2015). 

Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 218 sampel yang diperiksa dengan metode ELISA menunjukkan hasil sebanyak 91 sampel dinyatakan seropositif dan 127 sampel dinyatakan seronegatif (Tabel 2).

Spesimen
Target uji
Metode uji
Pos
Neg
Ket
Serum
Virologi
EBL ELISA
91
127
-

Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa 91 dari 218 sampel dinyatakan seropositif.  Secara prosentase dapat dinyatakan bahwa sapi perah impor yang diuji sebanyak 41,7%.  Hasil ini berbeda dengan hasil pengujian laboratorium yang menjadi satu bagian dari dokumen impor yang menunjukkan bahwa hasil pengujian dengan metode yang sama menunjukkan hasil negatif.  Pengujian terhadap EBL pada sapi impor merupakan persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana tercantum dalam Health Requirment dari Direktorat Jenderal Peternakan.  Australia telah menyatakan bahwa pada akhir tahun 2011 sebanyak 99,9% peternakan sapi perah di negara tersebut telah bebas dari EBL (AHA 2011). 

Tingginya angka seropositif dari hasil pengujian terhadap sapi perah impor tersebut diduga dapat terjadi karena beberapa faktor.  Faktor- faktor itu diantaranya adalah kemungkinan adanya penularan dari sapi di tempat tujuan.  Penyakit EBL di Indonesia pernah dilaporkan terjadi di wilayah Surabaya, Cilacap dan Sukabumi (Ditjennak 2014).  Hasil Surveillance pasif  BVET Lampung menunjukkan secara regional diidentifikasi seropositif Enzootic Bovine Leukosis sebesar 13.36% (BVET 2013).  Keadaan ini menunjukkan kemungkinan adanya infeksi BLV pada sapi yang berada di tempat tujuan.  Faktor risko penularan utama  antar sapi perah menurut (Kobayashi 2014) dapat terjadi antara lain adalah adanya keberadaan serangga penghisap darah dan pemasukkan sapi dara ke peternakan umum. 

Hasil survei yang dilakukan Australia terhadap peternakan sapi perah dinegara tersebut yang menyatakan sebanyak 99,9% bebas EBL juga masih menyisakan sejumlah 0,01% yang belum bebas EBL.  Mengingat jumlah peternakan sapi perah yang sangat banyak di Australia maka ada cukup banyak sapi yang masih belum bebas EBL.  Sampel pengujian untuk survei tersebut juga berasal dari Bulk Milk Testing (BMT) (AHS 2011)

Menurut OIE (2012), pengujian terhadap antibodi BLV dengan menggunakan ELISA merupakan metode yang disarankan dalam perdagangan internasional akan tetapi faktor kesalahan dari uji ini harus tetap diperhitungkan.  Keberadaan antibodi BLV tidak selalu menunjukkan dan mewakili keberadaan virus pada suatu hewan serta adanya periode laten selama beberapa minggu antara infeksi sampai munculnya respon antibodi (Rodriguez et al. 2011). Menurut (Suh et al. 2005) dalam emenetapkan keberadaan EBL dalam suatu populasi sapi perah dapat dinyatakan setelah dilakukan pengujian terhadap ELISA sebanyak tiga kali.


KESIMPULAN

Serum sapi perah bibit yang diimpor melalui bandar udara Soekarno Hatta, Tangerang pada pengujian dengan menggunakan metode ELISA untuk menngetahui keberadaan antibodi BLV penyebab dari EBL menunjukkan hasil sebanyak 91 sampel dinyatakan seropositif.  Hal ini menunjukkan bahwa sapi bibit impor tersebut belum bebas dari virus EBL.


SARAN

Perlu dilakukan pengujian terhadap sapi perah yang berada dilokasi peternakan sapi perah di tempat sapi bibit impor akan dipelihara untuk memastikan bahwa tidak ada penularan infeksi BLV sehingga dapat dicegah penyebarannya terhadap ternak yang akan masuk ke kawasan peternakan. Perlu dilakukan pengujian konfirmasi terhadap sapi yang dinyatakan seropositif.


DAFTAR PUSTAKA

Alvina A. 2007. Deteksi Antibodi Bakteri Gram Negatif (Escherichia coli dan Salmonella sp.) pada Telur Ayam Kampung dengan Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 27.   

[AHA] Animal Health in Australia. 2011. Terrestrial Animal Health in Australia. Chapter 2. 37.
[AHS] Animal Health Surveillance. 2011. Animal Health Surveillance Quarterly Report. 1 January to 31 March 2011 Volume 16 Issue 1. 23-24.

[BVET] Balai Veteriner Lampung. 2013. Uji ELISA Enzootic Bovine Leukosis (EBL). Laporan Tahunan 2013. BVET Lampung. 60.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Enzzotik Bovine Leukosis. Kementerian Pertanian. 18-23.

Suh GH, Lee JC, Lee CY, Hur TY, Son DS, Ahn BS, Kim NC, Lee CG. 2005. Establishment of a bovine leukemia virus-free dairy herd in Korea. J. Vet. Sci.6(3). 227–230

Gutierrez G, Alvarez I, Fondevila N, Politzki R, Lomonaco M, Rodrıguez S, Dus Santos MJ, Trono K. 2009. Detection of bovine leukemia virus specific antibodies using recombinant p24-ELISA. Vet Microbiol 137. 224–234.

Hasanah N. 2014.  VIRUS PENYAKIT (Enzootic bovine leukosis) PADA SAPI  (EBL). [Internet]. [diunduh 2015 Juni 17]. Tersedia pada: https://www.scribd.com/doc/212659726/Paper-Medis-Krima-1-Norma-Virology#download.

Kirkland PD dan Rodwell BJ. 2005.  Enzootic Bovine Leukosis.  Australia and New Zealand Standard Diagnostic Procedures.1-14.

Kobayashi S, Hidano A, Tsutsui T, Yamamoto T, Hayama Y, Nishida T, Muroga N, Konishi M, Kameyama K, Murakami K. 2014.  Analysis of risk factors associated with bovine leukemia virusseropositivity within dairy and beef breeding farms in Japan: A nationwide survey. Research in Vet Scie 96. 47–53.

Kurniadhi P. 2004. Kadar Optimal Agar Noble Stok Lama Untuk Uji Agar Gell Immunodiffusion Enzootic Bovine Leucosis. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2004. 95-98.

Lubis IA. 2015. Laporan Praktikum Teknik Elisa Pemeriksaan Kuantitatif Mannan Binding Lectin (MBL) Pada Plasma Darah. [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 11]. Tersedia pada: http://openwetware.org/images/a/aa/Teknik_Elisa_(_Ichwan_Alamsyah_Lubis_).pdf

Merck. 2014. Overview of Bovine Leukosis. The Merck Veterinary Manual. [Internet]. [diunduh 2014 Desember 29]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/vet/generalized_conditions/bovine_leukosis/overview_of_bovine_leukosis.html?qt=Enzootic%20Bovine%20Leukosis%20&alt=sh

[OIE] Office Internationale des Epizooties . 2012. Enzootic Bovine Leukosis. OIE Terrestrial Manual. Chapter 2.4.11.

Rodríguez SM, Florins A, Gillet N, de Brogniez A, Sánchez-Alcaraz MT, Boxus M,  Boulanger F, Gutiérrez G,  Trono K,  Alvarez I, Vagnoni L  dan Willems L. 2011. Preventive and Therapeutic Strategies for Bovine Leukemia Virus: Lessons for HTLV. Viruses. 3. 1210-1248.

Vetnext. 2015. Bovine Leukosis (Bovine lymphosarcoma, Leukemia, Malignant lymphoma). [Internet]. [diunduh 2015 Juni 17]. Tersedia pada: http://www.vetnext.com/results.php?s=disease&id=73254760997%20126

Catatan:
Penulis 1. Drh. Fara Zamzami Medik Veteriner Madya dan Penulis 2. Drh. Gigih Ikhtiari Erfianto, Medik Veteriner Muda pada Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta. Makalah ini telah di ajukan untuk penilaian angka kredit (DUPAK) di Badan Karantina Pertanian tahun 2015.

Tanpa mengurangi isinya karena alasan teknik penulisan, karya tulis ilmial ini diselaraskan dan diedit ulang oleh drh Giyono Trisnadi.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: