Penyakit
Jembrana adalah penyakit yang disebabkan oleh virus pada sapi dengan gejala yang
menciri keluarnya keringat darah, terkait ras sapi bali dengan angka kematian
yang tinggi. Dinamakan penyakit Jembrana karena kejadian
pertama penyakit ini adalah di Kabupaten Jembrana Bali. Nama lain penyakit ini
adalah Penyakit Rama Dewa.
A. PENDAHULUAN
Penyakit
Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali,
ditandai dengan demam, peradangan
selaput lendir mulut (stomatitis),
pembesaran kelenjar limfe preskapularis dan prefemoralis dan parotid, terkadang
disertai keringat darah (blood sweating). Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit
ini cukup besar karena mempengaruhi lalu lintas ternak dan hasil olahannya
antar pulau.
B. ETIOLOGI
Penyakit
Jembrana disebabkan oleh retrovirus. Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop
dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA),
berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase, berkembang
biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki 4
protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45. Protein p26 berekasi silang dengan
protein dari bovine immunodefisiency virus (BIV). Virus Jembrana ini selain
memiliki hubungan antigenik dengan
BIV, juga berhubungan dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) , Simian mmunodeficilency Virus (SIV), Feline
Immoundeficiency Virus (FIV), Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis
Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus (EIAV).
C. EPIDEMIOLOGI
1. Sifat
Alami Agen
Virus
Jembrana peka terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap sodium
deosikolat (1:1000). Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang ekstrim
(3.0 dan 12.0). Virus segera mengalami denaturasi jika dipanaskan pada suhu
55°C selama 15 menit. Agen yang terdapat dalam daging yang dipanaskan pada suhu
22-25°C masih infektif selama 36 jam, atau dalam plasma dengan suhu 4°C
infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka waktu yang lebih lama jika
disimpan pada suhu -70°C. Virus dalam plasma yang disimpan pada suhu 4°C selama
24 jam terjadi penurunan titer dari 108 menjadi 102ID /ml. Titer dari agen juga
menurun jika dilakukan proses cair beku (freezing dan thawing) yang cepat pada
suhu -70°C atau penurunan titer yang sama jika dibekukan pada suhu -70°C selama
1 - 2 bulan.
Virus
Jembrana dapat ditumbuhkan pada hewan
percobaan dan in vitro pada biakan sel. Virus dapat tumbuh
pada telur ayam berembrio melalui berbagai rute melalui allantois,
korioallantois, selaput kuning telur dan intravenous. Kematian embrio terjadi
setelah hari ke 4-7. ditandai perdarahan di bawah kulit dari embrio. Demikian
juga telah dicoba pada biakan sel primer seperti sel paru, limpa, ginjal,
testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah perifer, serta Vero
(Vero-E6 dan CV1) (African green monkey), embryonic bovine tubinate (EBTI),
Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa dan baby hamster kidney (BHK21)
tidak menimbulkan cytopathogenic effect (CPE), kecuali dari biakan sel makrofag setelah 2
kali pasase dan dan sel mononuklear setelah 7,14 dan 21 pasase mampu
menimbulkan gejala klinis pada sapi percobaan.
2. Spesies
rentan
Spesies rentan
hanyalah sapi Bali. Pada
infeksi buatan pada
sapi Ongole, persilangan antara sapi Bali dan Ongole, FH (Bos taurus)
dan kerbau (Bubalus bubalis), babi, kambing dan domba menunjukan terjadi
infeksi dengan gejala klinis yang sangat ringan dan di dalam darahnya dapat
dideteksi antibodi. Umur sapi yang paling peka adalah lebih dari 1 tahun (6
bulan - 6 tahun). Umur sapi yang paling muda pernah dilaporkan adalah 4 minggu
dan tertua 9 tahun. Tidak terdapat
perbedaan kepekaan diantara jenis kelamin terhadap penyakit Jembrana.
3. Cara
Penularan
Penularan terjadi
secara horisontal yaitu
kontak langsung antara
sapi sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh
karena dari hewan karier melahirkan pedet yang normal. Pada stadium akut titer
virus JD dalam plasma darah adalah tinggi (108,0 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari penyakit
akut sangat potensial sebagai sumber infeksi karena terjadi viremia yang persisten dan berlangsung selama
60 hari.
Telah
diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana merupakan insect born disease, yaitu
penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp dan nyamuk. Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai
penular virus JD di lapangan secara mekanis.
4. Sifat
Penyakit
Kejadian
penyakit cenderung bersifat endemik, tersebar di seluruh kabupaten di Bali,
kejadian paling tinggi adalah di kabupaten Jembrana dan Tabanan, paling rendah
di kabupaten Bangli.
Tingkat
morbiditas dan mortalitas penyakit pada saat wabah yang terjadi pada tahun
1965-1964 adalah tinggi. Pada bulan Desember 1964, tingkat mortalitas 98,8% dan
rata-rata tingkat mortalitas pada tahun 1965, 1966 dan 1967, masing-masing
71.6%, 31.3% dan 38,6%. Wabah berikutnya
yang terjadi di kabupaten Tabanan pada tahun 1971–1972, tingkat mortalitasnya 22,0%,
sedangkan wabah yang terjadi di Lampung yang dikenal sebagai penyakit Rama
Dewa, tingkat kematian kasus atau case fatality rate (CTR) 12,5%
- 71,0% (rata-rata 50%).
5. Distribusi
Penyakit
Kejadian
Wabah penyakit Jembrana belum pernah dilaporkan di luar negeri. Tidak ada laporan
kejadian penyakit ini di seluruh dunia kecuali di Indonesia. Penyakit ini
terkait ras sapi bali.
Di
Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan mewabah di Desa Sangkar agung,
kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pada bulan Desember 1965, kemudian dalam
waktu 8 bulan (Januari sampai Agustus 1965) penyakit dengan cepat menyebar ke
beberapa kabupaten di Bali. Penyakit yang sama juga terjadi di desa Rama Dewa,
Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung pada bulan Mei 1976 yang kemudian
disebut penyakit Rama Dewa. Selanjutnya
juga terjadi di kabupaten Banyuwangi provinsi Jawa Timur pada bulan November
1978.
Tahun
1978-1988 kejadian penyakit Jembrana di Bali bersifat endemik tersebar di 26
kecamatan, kecuali kecamatan Nusa Panida Lembongan dan Ceningan bebas penyakit
Jembrana. Kasus paling banyak terjadi di kabupaten Buleleng, Tabanan dan
Jembrana (Anon, 1989) dan sejak tahun 1989-1995 tidak ada laporan kasus
penyakit ini di Bali. Sapi yang sembuh memiliki antibodi protektif yang
berlangsung lama atau sebagian besar sapi yang peka telah dijual untuk
dipotong. Kejadian penyakit selanjutnya dilaporkan pula di provinsi lain
seperti kasus wabah yang terjadi di Sumatera Barat (1992) dan Kalimantan
(1993) serta secara serologis penyakit
telah tersebar hampir di seluruh Indonesia, seperti Sumatera (Lampung, Sumatera
Barat, Jambi dan Riau), Jawa (Banyuwangi), Kalimantan (Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah) sedangkan daerah lain seperti Madura, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur dan Timor Timur dan Nusa Tenggara Barat (Lombok) negatif
antibodi.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
Gejala klinis
penyakit Jembrana bersifat
konsisten baik pada
kasus alami maupun infeksi buatan, yaitu terjadi demam, depresi, anoreksia
dan pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati). Periode inkubasi pada kasus
alami sangat sulit ditentukan namun pada kasus infeksi buatan dapat diketahui
yaitu antara 2-7 hari. Periode
inkubasinya 2 hari apabila hewan disuntik dengan material yang disimpan dalam
es selama 7 hari. Apabila digunakan material yang disimpan pada suhu -20°C
selama 34 hari. Periode inkubasinya 7 hari (Pranoto dan Pujiastono, 1967) dan
ternyata ada hubungan linier antara jumlah agen yang disuntikkan pada sapi Bali
yang peka dan periode inkubasi adalah bervariasi antara 4,5-12 hari.
Ternak yang
terserang ditandai dengan
demam tinggi (39,5-42°C) kemudian turun ke suhu normal
dan menjadi sub normal saat menjelang kematian. Demam mulai timbul pada hari ke
3 – 7, diikuti dengan konstipasi yang berlanjut dengan diare encer berdarah
serta ternak tampak kurus dan bulu kusam. Kelenjar limfe superfisial
(prescapularis, prefemoralis dan parotid) membesar. Pada infeksi percobaan,
kelenjar limfe mengalami pembesaran sangat hebat terjadi pada hari ke 5 - 7.
Selaput lendir mulut mengalami erosi. Erosi ini dapat ditemukan pada permukaan
dorsal lidah, bibir bawah, gusi, bantalan gigi dan perdarahan bentuk garis
dapat ditemukan pada basis lidah. Akibat erosi selaput lendir tersebut akan
merangsang keluarnya air liur berlebihan (hipersalivasi).
Erosi
juga ditemukan pada selaput lender vagina. Disamping itu konjungtiva meradang
(conjunctival vaso injection) kadang-kadang terdapat klot darah disudut mata
depan dan diikuti dengan keluarnya sekresi air mata (lakrimasi). Pada beberapa
kasus juga ditemukan keringat darah (blood sweating) atau hemohidrosis, dan
dilaporkan ada 93 % kasus keringat darah dari semua kasus yang diamati.
Keringat darah ini dapat diamati di daerah punggung, flank, daerah perut, kaki
dan scrotum. Keringat darah ini terjadi akibat gigitan insek penghisap darah.
Pada kasus percobaan keringat darah ini tidak pernah diamati, oleh karena
ternak-ternak percobaan yang diinfeksi ditempatkan dalam kandang bebas insekta
atau dalam kandang light trap.
Ternak
yang bunting ditandai dengan keguguran. Dilaporkan 49% ternak bunting yang
terserang penyakit Jembrana diakhiri dengan keguguran yang terjadi pada semua
masa kebuntingan.
Gambar:
Gejala keringat darah pada sapi penderita Penyakit Jembrana.
2. Patologi
Pada permukaan
tubuh ditemukan bercak
darah yang meluas
yang disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan
tetap ada selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah
kadang-kadang terdapat klot darah di dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah
kulit tampak pucat, kering dan kadang-kadang berdarah. Namun pada kasus
percobaan tidak pernah ditemukan. Di dalam rongga tubuh terutama rongga perut
dan dada ditemukan cairan serosanguineous sebanyak kurang lebih 5 liter.
Pada sistem
pernafasan ditemukan adanya
perubahan berupa selaput lendir celah dan corong hidung tampak
kongesti dan selaput lendir saluran pernafasan mengalami erosi, kadang
ditemukan pula perdarahan.
Lesi-lesi
di dalam paru tidak pernah tetap. Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak
coklat kegelapan dan densitasnya meningkat. Daerah hepatisasi merah kelabu ini
berukuran kira-kira 1-4cm, kadang-kadang dapat terjadi pada semua lobus. Zona
atelektasis dan bronckopneumonia focal kadang-kadang juga ditemukan. Pada kasus
percobaan, terjadi lesi yang ringan pada paru yaitu 6-30 hari pasca infeksi.
Lobus aterior paru terlihat mengalami konsolidasi, warnanya sedikit kebiruan
dan dibatasi oleh zona emfisema yang warnanya lebih pucat.
Pada sistem
kardiovaskuler,
subepikardium dan subendokardium mengalami perdarahan terutama
dekat apex dan sebelah atas dari otot papilaris. Warna miokordium dan
endokardium difus dan pada epikardium terdapat perdarahan ptekie dan
ekimose. Di samping itu terjadi
perikarditis fibrinous fokal, perdarahan “paint brush” kadang-kadang juga dapat
diamati pada lekukan koroner atas dan kedua ventrikel jantung. Di dalam kantong
pericardium kadang ditemukan cairan agak berlebihan dan pada miokardium juga
ditemukan bintik putih. Pada kasus percobaan perubahan ini biasanya terjadi
pada hari ke 8, 10 dan 15 pasca infeksi.
Pada sistem
Iimfo-hemopoitik didapatkan perubahan pada sumsum tulang terutama tulang
femur proksimal dan jaringan adiposum terlihat lunak dan edematus. Kelenjar Iimfe superfisial servical, subliacal
dan parotidea tampak membesar, pembesarannya dapat mencapai 20 kali dari ukuran
normal. Kelenjar limfe tampak membesar mulai hari ke 6 dan menjadi lebih hebat
pada hari ke 10 dan 15 kemudian kembali normal setelah hari ke 30. Kelenjar limfe hepatika telihat sangat
membesar sedangkan kelenjar limfe mesenterialis sedikit membesar. Bidang
irisannya berwarna coklat kekuningan atau putih keabu-abuan.
Pada kasus
yang akut limpa
mengalami pembesaran yang
konstan, kadang-kadang ukurannya 4 kali dari ukuran normal. Pada infeksi
percobaan, limpa tampak membesar yaitu pada hari ke-2 pasca infeksi dan menjadi
lebih hebat pada hari ke-8 sampai ke 15. Tepinya membulat dan warnanya merah
gelap. Perdarahan fokal kadang-kadang tampak pada permukaannya. Bidang irisan
warnanya merah gelap, menonjol, granules, dan lunak, akan tetapi tidak ada
darah yang keluar dari jaringan. Pada
sapi muda timusnya mengalami perdarahan.
Perubahan
pada saluran pencernaan dapat berupa perdarahan ekimose pada bibir bawah dan
ditemukan erosi pada bantalan gigi depan. Meskipun demikian pada pemeriksaan
lebih lanjut ditemukan perubahan berupa erosi kadang-kadang berbentuk ulser
pada bantalan gigi, membran bukalis bagian lateral, lidah dan palatum. Pada
kasus percobaan, terjadi erosi yang sangat ringan pada dasar bawah lidah dan
ditemukan pada hari ke 6 sampai hari ke 15 pasca infeksi. Ulser ditemukan pada
dorso-lateral lidah. Disamping itu erosi juga dapat diamati pada selaput lendir
faring. Selaput lendir esofagus mengalami erosi bentuk garis yang tak teratur
dengan atau tanpa perdarahan. Selaput Iendir abomasum tampak kongesti, udem,
ulser dan perdarahan petekie. Pada kasus percobaan perdarahan ptekie, edema dan
erosi pada abomasum terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi.
Seluruh
usus kecuali rektum dan bagian belakang kolon mengalami perubahan, selaput
lendir usus kecil, usus besar, sekum,
kolon dan rektum mengalami edem, erosi, hiperemia dan perdarahan ekimose. Pada
beberapa kasus, isi usus terlihat ada bercak darah, kadang-kadang klot darah di
dalam lumennya. Perdarahan juga ditemukan pada membran usus.
Hati
sedikit membengkak warnanya kekuningan dengan tepi yang tumpul. Pembengkakan
hati ini terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi. Kantong empedu umumnya
mengalami dilatasi dan mengandung cairan empedu yang kental berwarna hijau
gelap, cairan jernih atau gelap. Pada selaput lendirnya ditemukan perdarahan ptekie,
ekimose atau perdarahan “paint brush”. Kadang pankreas mengalami perubahan
berupa edem dan perdarahan.
Perubahan
yang terjadi pada ginjal sedikit membengkak dan perdarahan. Disamping warnanya
lebih pucat dan perdarahan ptekie juga ditemukan nodul kecil
berwarna putih keabu-abuan pada korteksnya. Korteks dan medula
mengalami hipermia. Di bagian subserusa kantong kemih terdapat perdarahan
ptekie, ekimose dan perdarahan “paint brush”.
Sepanjang
lekuk otak terlihat mengalami kongesti dan edema. Pada potongan otak warnanya
pucat dan basah.
Perubahan
patologi dari sistem genitalis hanya ditemukan pada prepusium yang terlihat
mengalami ulserasi, perdarahan dan erosi pada vagina.
Perubahan
histopatologis jaringan kulit dan hewan yang menunjukkan gejala “blood
sweating” yaitu ditandai dengan kongesti dan kapiler yang cukup hebat terutama
disekitar sebaceus dan kelenjar keringat. Perdarahan juga ditemukan pada
epidermis dan antara serabut otot. Pembuluh darah limfe mengalami dilatasi. Sel
endotel kapiler dan pembuluh limfe membengkak dan kongesti, inti sel tampak
besar dan bersifat vesikular. Pada kasus yang hebat ditemukan ulser kecil pada
kulit, dikelilingi oleh berbagai tipe sel radang. Pada dasar ulser ditemukan
fibrin dan sel debris. Akumulasi sel mononuklear dan sel plasma dapat diamati di
sekitar arteri kecil di dalam jaringan subkutaneus dan dermis.
Selaput lendir,
septum nasi dan
turbinatus pada sistem
pernafasan tampak hipermis, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik dan
erosi. Lamina propria dari membran mukosa diinfiltrasi oleh netrofil dan sel-sel
mononuklear. Selain itu terjadi pula trombi dan lekostasis dalam pembuluh
darah. Trakhea mengalami kongesti, erosi epitel, edema dan infiltrasi berbagai
jenis sel radang. Pada bronchi, perubahannya sama seperti pada trakhea. Pada
paru perubahannya sangat spesifik yaitu terjadi pneumonia interstitial. Sel
septa mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Beberapa sel terlihat terlepas dan
mengisi lumen alveoli. Sering kali ditemukan badan inklusi baik pada kasus
alami maupun buatan, masing-masing 86.6 dan 89,5%. Sel raksasa (giant cell)
kadang-kadang dapat juga diamati. Septa alveoli juga diinfiltrasi oleh sel
limforetikuler dan sel plasma. Di dalam kapiler dinding alveoli sel endotel
membesar dan proliferasi menyebabkan trombosis yang kemudian disebut
endoteliosis. Namun belakangan ini telah dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop
elektron ternyata bahwa sel mononuklear yang tampak menyumbat lumen kapiler
adalah makrofag intravaskuler.
Sel-sel mesotelial
di dalam beberapa
bagian pleura juga
mengalami hipertrofi, sel-sel ini bentuknya lebih kuboid. Inti sel
membesar dan sitoplasmanya kebiruan.
Sering pula diikuti dengan infeksi sekunder bakterial, ditandai dengan
pneumonia dengan eksudat sero-fibrinous atau sero-purulen. Lumen alveoli
mengandung campuran eksudat seluler dengan berbagai tipe sel seperti netrofil,
limfosit dan histiosit yang menyebar ke area bronkial menghasilkan
bronkopneumonia. Dinding alvieoli tampak menebal dan diinfiltrasi oleh sel
mononuklear yang ukurannya bervariasi. Perubahan ini diikuti dengan
atelektasis. Trombosis dan infark kadang-kadang juga dapat diamati.
Pada
sistem kardioaskuler, subendokardium mengalami perdarahan. Bentuk perdarahan ini
tidak konsisten. Perdarahan subendokardium dan subepikardium juga ditemukan
infiltrasi sel mononuklear di dalam miokardium dari beberapa sapi. Serabut otot
mengalami hialinisasi dan fragmentasi, serta sering ditemukan badan inklusi
seperti pada paru dan jaringan lainnya. Area ini juga diinfiltrasi oleh sel
mononuklear, sel plasma dan histiosit. Sel yang sama juga ditemukan di sekitar
pembuluh darah. Tidak ada perubahan yang dapat diamati di dalam aorta dan
arteri besar lainnya. Infiltrasi sel mononuklear dan sel plasma yang bersifat multifokal
juga dapat diamati di dalam epikardium dan miokardium.
Pada kasus
yang akut, sumsum
tulang sangat hiperplastik. Sel megakaryosit dan eritroid dalam tingkat
perkembangan yang berbeda juga ada. Infiltrasi sel limfoblastik besar yang
bersifat fokal dapat diamati pada berbagai lokasi.
Limpa
mengalami hyperplasia sel limforetikuler dan kerusakan limfositik atau nekrosis
di dalam limpa. Terjadi kongesti dan perdarahan. Sel limforetikuler di dalam
pusat germinal dari folikel limfoid mengalami proliferasi. Sel endotelial di
lapisan sinus kortex dan medula hipertrofi, hiperplasia dan deskuamasi serta
mengisi lumen dari sinus. Juga terdapat makrofag, sel limfoid besar dan sel
plasma di dalam sinus. Kapsul limfoid periarterial disusun oleh sel abnormal
besar dan cordnya diinfiltrasi oleh sejumlah sel limfoid. Hemosiderosis, sel
sinsitial dan badan-badan inklusi sering juga ditemukan.
Kelenjar limfe
mengalami perubahan sama
seperti pada limpa.
Struktur normal tidak terlihat jelas dan pusat germinal hilang atau
berisi sisa sel. Sel retikuler mengalami hiperplasia secara konsisten dan
jumlah limfosit yang dewasa jumlahnya selalu menurun. Piknosis dan karyoreksis
juga ada, disamping itu juga terdapat badan inklusi. Sinus membesar dan diisi oleh sel plasma,
plasmablas, limfosit, makrofag dan retikuler. Sel endotelial yang melapisi
sinus mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Batang medula berisi penuh sel
limfosit dan sel plasma, gambaran mitosis dan giant cell kadang- kadang juga
terlihat. Ditemukan pula adanya infiltrasi sel mononuklear di dalam kapsul dan
trabekula.
Pada timus
terjadi deplesi limfositik
diikuti dengan proliferasi
retikuler. Pada beberapa kasus terdapat sel limfoblastik besar di dalam
medula sedangkan dibagian prifer lobula mengalami atrofi. Pada kasus yang lain
daerah atrofi telah diganti oleh sel limfoblastik besar yang mengalami
proliferasi fokal.
Lidah
mengalami erosi dan ulser. Sel-sel
radang dan fibrin ditemukan pada dasar ulser. Sel epitel yang berdekatan dengan erosi
dan ulser membengkak dan berongga. Pembuluh darah dan limfe di sekitar lesi
mengalami dilatasi dan sel endotel mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Pada
jaringan ikat antara serabut otot lidah terdapat sel plasma dan sel mononuklear
pada tunika propria terjadi edema. Esofagus, rumen, retiktlum, dan omasum
mengalami balooning degeneration dan vakuolisasi sel epitelial dari membran
mukosa. Di dalam lamina propria terjadi kongesti, edema, hipertrofi, hiperplasia
sel endotelial, sedangkan sel radang tidak ditemukan. Lamina propria dari
abomasum diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma dan beberapa netrofil. Sel
endotelial pembuluh darah juga mengalami hipertrofi dan hyperplasia.
Membran
mukosa usus tampak kongesti dan edem, perdarahan biasanya terjadi di dalam membran
mukosa dan serosa. Sel radang terdiri dari limfosit. sel plasma, netrofil dan
eosinofil dapat ditemukan di dalam lamina propria.
Pada
Hati di daerah portalis diinfiltrasi oleh sel limforetikuler. Gambaran mitosis
kadang-kadang terlihat. Glisson sheath juga diinfiltrasi oleh sel mononuklear.
Sel Kupffer membengkak dan sinusoid berisi makrofag. Hepatosit sedikit
mengalami vakoulisasi dan terdapat badan inklusi. Pada kantong empedu terdapat
perdarahan di dalam membran mukosa, dan infiltrasi sel mononuklear dan sel
plasma. Pada pankreas, di dalam jaringan ikat interlobus diinfiltrasi oleh sel
plasma dan sel mononuclear.
Epitel
pada tubulus ginjal mengalami degenerasi dan dilitasi dalam lumennya berisi
sisa protein dan terdapat pula badan inkulasi. Glomeruli sering hiperseluler
dan jaringan ikat interseluler diinfiltrasi oleh sel-sel mononuklear, sel
plasma, histiosit dan kadang-kadang netrofil. Infiltrasi sel tersebut paling
sering melapisi di sekitar pembuluh darah terkadang juga terjadi infark
kortikal. Pada kantong kemih pada jaringan ikat antara serabut otot terdapat
perdarahan.
Pada
organ genital betina tidak ditemukan perubahan, akan tetapi pada yang jantan terdapat penurunan
jumlah spermatozoa di dalam tubulus seminiferus. Sel endotelium pembuluh darah
tampak hipertrofi, terkadang terdapat akumulasi lekosit di dalam lumen pembuluh
darah. Sel kortikal adrenal mengalami degenerasi albuminous dan di dalam medula
terdapat infiltrasi sel limforetikuler dan badan inklusi.
Otak mengalami
kongesti, edema dan perdarahan perivaskular.
Selain itu terdapat infiltrasi sel mononuklear perivaskuler dan gliosis
Kadang juga ditemukan infiltrasi limforetikuler dan edema dari pleksus koroid.
Patologi klinis.
Ternak yang menderita
penyakit jembrana ditandai dengan leukopenia dan
trombositopenia yang konstan kemudian diikuti dengan limfositosis. Selama fase
akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe sel ditemukan pada preparat ulas
darah yaitu sel dengan inti dan sitoplasma yang besar, limfosit medium berinti
ganda, mitosis limfosit, sel plasma dan limfosit besar dan medium dengan
sitoplasma yang mengalami vakoulisasi berisi inti eosinofilik. Pada sapi yang
diinfeksi buatan juga menimbulkan gambaran leukopenia. Perubahan lain telah
ditemukan yaitu terjadi anemia normositik normokromik, sedikit trombositpenia
dan uremia. Total protein plasma menurun terutama pada stadium akhir penyakit.
Level fibrinogen dan kreatinin darah tidak mengalami perubahan nyata dan level
nitrogen urea darah terlihat tinggi (150mg/dl).
3. Diagnosa
Penyakit Jembrana
didiagnosa berdasarkan data
epidemiologi, gejala klinis, patologis, hematologis dan serologis. Genom
RNA virus JD dalam jaringan yang telah diblok dengan parafin dapat dideteksi
dengan teknik in situ hybridization. Pengujian
antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked immunosorbent assay
(ELISA). Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak dapat dideteksi sampai 11-33
minggu pasca infeksi dan tetap dapat dideteksi sampai dengan 59 minggu pasca
infeksi. Teknik yang lebih spesifik seperti Western immunoblotting yang dapat
mendeteksi protein 26K virus JD dalam serum. Protein ini secara konstan dapat
dideteksi pada minggu ke-6 pasca infeksi. Hal ini sesuai dengan munculnya
plasmasitosis dan meningkatnya jumlah IgG.
4. Diagnosa
Banding
Penyakit Jembrana
memiliki gejala klinis
dan patologis sangat
mirip dengan berbagai penyakit viral seperti Malignant Catarrhal Fever
(MCF), Rinderpest, Bovine Viral Diarrhea-Mucosadisease (BVD-MD), Penyakit Mulut
dan Kuku (PMK), Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan penyakit bakterial seperti
Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit parasit darah seperti Surra.
E. PENGENDALIAN PELAPORAN, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
E. PENGENDALIAN PELAPORAN, PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
1.
Pelaporan
Setiap ada
kasus penyakit Jembrana
harus segera dilaporkan
kepada Dinas Peternakan setempat atau instansi yang berwenang di bidang
kesehtan hewan (BPPV/BBV) dengan tembusan surat kepada Direktorat Kesehatan
Hewan untuk segera diambil tindakan.
2. Pencegahan
dan Pengendalian
Tindakan
pencegahan dan pengendalian yang paling
efektif adalah dengan
melakukan vaksinasi. Hewan yang
sakit dapat dipotong
di bawah pengawasan
dokter hewan atau petugas
berwenang di bidang kesehatan hewan.
F. DAFTAR PUSTAKA
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim
1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Budiarso
IT, and S Hardjosworo 1977. Some notes
on jembrana disease of Bali cattle. Hemera Zoa 69 94-102
Chadwick
BJ, RJ Coeleh, GE Wilcox, LM Sammel, and G Kertayadnya 1997. Nucleotide squence
analysis of Jembrana disease virus: A new bovine lentivirus. ACIAR proceeding.
75, 49-60
Chadwick
BJ, M Desport, DMN Dharma, J Brownlie and GE Wilcok 1997. Detection of
Jembrana disease virus
in paraffine embedded
tissue sections by in situ hybridization. ACI~R proceeding, 75. 66-71.
Dennig
HK 1977. The attempted experimental transmission of Jembrana disease to bali
cattle with Boophillus ticks. Hemera zoa 69:77-78.
Dharma
DMN, A Budianto, RSF Campbell, and PW Ladds 1991. Studies on experimental
Jembrana disease in Bali cattle. II. Pathology. J.Comp. Pathol 105:397-414
Dharma
DMN 1993. The pathology of Jembrana disease. PhD thesis. JCU. Australia.
Hartaningsih
N, K Sulistyana and GE Wilcox 1997. Serological test for JDV antibodies and
antibody response of infected cattle. ACIAR proceeding 75,7982.
Kertayadnya
G, S Soeharsoro, N Hartaningsih and GE Wicox, 1997. The phisicochemical
characteristic of a virus associated with Jembrana disease. ACIAR proceeding
75, 43-48. 1
Ramachandran
S 1997. Early iobservation and reasearch on Jembrana disease in Bali and other
indonesian Islands. ACIAR proceedings, 75,5-9. http://herudvm.blogspot.com /2011/02/jembrana- diseases.html. http://www.vetbiomed. murdoch.edu.au /research /virology /lentiv.jpg
Catatan:
Tulisan Saduran, oleh
Drh Giyono Trisnadi, disadur dari Manual Penyakit Hewan Mamalia. Diterbitkan
oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM
No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.
******