BOVINE VIRAL DIARRHEA

Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit pada sapi yang disebabkan oleh virus dengan gejala yang menciri berupa diare encer, berbau busuk berisi mukus dan darah, dengan mortalitas tinggi. Nama lain penyakit ini adalah Bovine Viral Diarrhea - Mucosal Disease (BVD-MD) atau Diare Berdarah Pada Sapi atau Diare Ganas Pada Sapi atau Bovine Virus Diarrhea.

A. PENDAHULUAN

Diare berdarah pada sapi atau Diare Ganas Pada Sapi (DGS) merupakan penyakit viral yang infeksius pada sapi, ditandai stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diare. Laju infeksi penyakit ini pada kebanyakan populasi sapi sangat tinggi, tetapi kejadian klinisnya rendah. Virus ini bersifat teratogenik dan imunosupresif yang banyak didapat pada bentuk penyakit kronis. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk penyakit, yakni bovine virus diarrhea (BVD) dan mucosal disease  (MD), yang secara klinis berbeda, tetapi penyebabnya sama.


B. ETIOLOGI

Virus Diare Ganas (DG) merupakan virus RNA, termasuk anggota genus Pestivirus, famili Flaviviridae. Virus DGS BVD memiliki hubungan antigenik yang mirip dengan virus penyebab Sampar Babi (Hog Cholera). Semua strain virus DGS BVD menunjukkan reaksi silang. Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai tiga macam ukuran. Pertama   berukuran 80 -100 nm, pleomorf, merupakan virion matang yang mempunyai selaput. Kedua berukuran 30 - 50 nm, dan ketiga partikel kecil dengan ukuran 15-20 nm yang dianggap mengandung antigen larut. Diduga virion besar itu pecah dan menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang masing-masing masih tetap infeksius.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Sifat Alami Agen
Virus DGS BVD peka terhadap RNAse dan dapat diektraksi dengan fenol dari virionnya. Partikel virus yang matang peka terhadap ether, kloroform dan pelarut lemak lainnya. Virus juga peka terhadap pH rendah dan segera inaktif pada suhu 56 °C. Virus stabil pada suhu rendah dan dapat hidup bertahun- tahun bila dikeringbekukan dan disimpan pada suhu -70 °C.

2. Spesies Rentan
Sapi merupakan spesies yang peka terhadap DGS BVD. Penyakit sering ditemukan pada sapi umur 6-24 bulan. Hewan berkuku genap lainnya, seperti kambing, domba, kerbau dan rusa  juga rentan terhadap DGS BVD.

3. Pengaruh Lingkungan
Diperkirakan kejadian penyakit meningkat pada musim dingin, dan kasus dapat terjadi baik pada hewan yang dilepas maupun yang dikandangkan. Penyakit DGS BVD lebih umum terjadi pada sapi potong dibanding pada sapi perah. Pada anak sapi, penyakit biasanya terjadi pada umur 6 -10 bulan.

4. Sifat Penyakit
Bentuk penyakit ini sangat variatif. Penyakit dapat berupa diare (39%), radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keguguran (5%). Pada sekelompok ternak yang belum terserang penyakit ini, jika terjadi wabah DGS BVD, morbiditas mencapai 25 % dan mortalitas dapat mencapai 90 - 100 %. Jika penyakit sudah masuk pada satu peternakan, maka kasus baru yang terjadi bersifat sporadik. Pada sapi yang digemukkan, penyakit biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah sapi datang dan bersifat sporadik, hal ini terjadi jika sapi berasal dari peternakan bebas DGS BVD bercampur dengan sapi yang sakit atau sapi pembawa penyakit.

5. Cara Penularan
Penyebaran penyakit terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi feses dan secara aerosol. Walaupun cara utama penyebaran penyakitnya melalui makanan yang tercemar feses, penyakit juga dapat menyebar melalui urin dan leleran hidung hewan sakit. Sapi dapat tertular virus dari domba dan sebaliknya. Sapi dapat menjadi sumber penularan bagi hewan liar yang ada di sekitar peternakan.

6. Distribusi Penyakit
Di Indonesia  penyakit ini pertama  kali  dilaporkan pada tahun 1985 di Sulawesi dan Kalimantan, ketika terjadi wabah berat yang dikenal sebagai wabah diare ganas pada sapi (DGS). Selanjutnya dalam kurun waktu yang tidak lama penyakit ini timbul di tempat lain, baik di pulau Sulawesi ataupun di pulau lainnya.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala klinis
a. Bentuk subklinis
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejalanya meliputi demam yang yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi.

b. Bentuk  akut
Bentuk  akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6 – 24 bulan. Sapi muda kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang DGS bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit berjalan 1-3 minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat setelah 4-10 hari. Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari ke 7-8 setelah percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di alam jarang teramati, gejala klinis yang segera terlihat adalah turunnya produksi susu, kelesuan yang sangat, nafsu makan turun, dan temperatur tinggi 410C kelihatan bersamaan.

Diare biasanya profuse dan berair, berbau busuk berisi mukus dan darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk sebagai akibat nekrosis epitel mukosa. Erosi ini tejadi pada bagian bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut mulut dan lidah. Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti dimasak, dengan epithel nekrosis berwarna abu-abu menutupi bagian dasar berwarna merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak, dan bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada cuping hidung. Jika hewan cepat sembuh, lesi pada mukosa menyembuh dalam waktu 10 - 14 hari, tetap pada DGS kronis  erosi yang baru akan muncul kembali, terutama pada sudut mulut. Biasanya terlihat adanya leleran hidung mukopurulen akibat adanya erosi pada hidung bagian luar dan erosi pada faring. Edema korneal dan Iakrimasi kadang terlihat juga. Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung sangat cepat, dan kematian terjadi pada 5 - 7 hari setelah gejala klinis terlihat. Pada kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2.

Beberapa hewan yang sakit dapat berkembang ke bentuk DGS kronis yang berlangsung sampai beberapa bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut, dan ini nampaknya akibat radang pada teracak (Iaminitis) dan lesi erosif kulit pada celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya. Radang korona kaki (coronitis) dan kelainan teracak akan terlihat pula. Sapi betina bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi, biasanya setelah fase akut terlewati, dan kadang-kadang sampai 3 bulan setelah sembuh, tetapi keguguran ini jarang terjadi.

c. Bentuk sub akut atau kronis
Pada sapi yang bertahan hidup, tetapi tidak   sembuh benar, terlihat diare, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan kering, kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut dan pada kulit.

Pada kasus kronis hewan dapat bertahan hidup hingga 18 bulan, dan selama itu hewan mengidap dengan anemia, Ieukopenia,neutropenia dan lymphopenia (pancitopenia).

d. Bentuk neonatal
Bentuk ini banyak dijumpai pada pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, yang ditandai dengan suhu yang tinggi, diare, serta gangguan pernafasan. Pedet penderita kebanyakan berasal dari induk yang sakit atau induk dengan kekebalan rendah. Infeksi umumnya terjadi pasca kelahiran dan pada infeksi prenatal terjadi sindrom kelemahan pedet dan diikuti dengan diare.

2. Patologi
Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan mata cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi, bercak-bercak atau tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur dengan diameter 1-5 µm. Lesi tersebut terdapat pada moncong, hidung, pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak, kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut paling jelas pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. Lesi yang khas terdapat pada kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun berderet-deret dengan dasar yang berwarna merah.

Abomasum  mengalami  pendarahan,  edema  dan  nekrosis.  Pada  usus halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas ke jaringan limfoid, sehingga menyebabkan  pendarahan ke dalam rongga usus. Perdarahan dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadang- kadang dijumpai pada jaringan bawah kulit, selaput vagina dan epikardium. Kelenjar limfe pada usus biasanya normal atau sedikit udematus, sedang kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar.

Secara   histopatologik   tampak   perubahan   yang   mendasar   berupa degenerasi sel. Di tempat yang mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat dengan lapisan basal mengalami degenerasi hidropik, membengkak dan akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada abomasum tampak kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada Iamina propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau pendarahan, serta infiltrasi leukosit.

Pada usus halus perubahan yang nyata terjadi pada peyer petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar menjadi cystic. Jaringan limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal center, populasi limfosit berkurang secara menyolok dan dapat pula terjadi pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami perubahan dapat dijumpai pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang sering menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada usus halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum yang bervariasi dari radang kataral sampai radang nekrotik.

3. Diagnosa
Secara klinis dan patologik anatomik tidak mudah ditetapkan, oleh karenanya diagnosa yang pasti dapat dilakukan dengan uji serologik dan isolasi virus dengan kultur jaringan. Pada stadium demam, virus dapat diisolasi dari leukosit, limpa, kelenjar limfe, selaput lendir dan usus halus. Isolasi biasanya dilakukan dengan kultur jaringan sel lestari yang berasal dari ginjal embrio sapi (Mardin Darby Bovine Kidney), jaringan limpa dan testis dengan ditandai cytopathogenic effect (CPE) (tipe patogenik) dan ada yang non CPE (non patogenik). Virus diidentifikasi dengan uji virus neutralization (VN) atau dengan fluorescene antibody technique (FAT). Diagnosa kawanan ternak dapat dilakukan dengan pasangan serum dengan  complement fixation test (CFT).

4. Diagnosa Banding
Secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF). MCF merupakan penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang mata dan radang saluran pencernaan.

Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine rhinotrachetis  (IBR), tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa erosi pada mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa adalah penyakit jembrana pada sapi bali.

5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan yang dapat diambil adalah darah, urin, lendir dari hidung atau mulut pada stadium akut. Bahan lain yang mengandung virus yang dapat diambil waktu nekropsi adalah limpa, sumsum tulang kelenjar limfe dan usus. Bahan-bahan tersebut diambil secara steril dan dikirim sesuai dengan pengiriman bahan untuk isolasi dan identifikasi virus.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan
Tidak ada pengobatan secara khusus. Pengobatan dapat dilakukan secara sistematis untuk mencegah, mengurangi infeksi sekunder dan mengurangi kekurusan yang melanjut. Makanan diganti dengan makanan yang lunak tapi bergizi (konsentrat).

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Yang utama  adalah  kebersihan  lingkungan  dan  alat- alat kandang. Kelompok sapi yang sakit diisolasi dan dilarang dipindahkan ke kelompok sapi yang sehat. Pemasukan sapi atau spesies rentan dari negara tertular harus  bebas dari penyakit ini. Vaksin yang dibuat dari virus yang dipasasekan pada  kelinci atau vaksin yang dibuat dari sel kultur ginjal sapi sangat efektif,   tetapi sering timbul komplikasi sesudah vaksinasi. Vaksin yang dibuat dari virus yang dibiakkan  pada sel ginjal babi dewasa ternyata sangat efektif dan tidak menimbulkan efek samping.

Untuk   daerah   yang   sebelumnya   belum   tertular   dilakukan   stamping out. Kalau oleh sesuatu hal penyakit tersebut telah menjadi berkembang, tindakan pemberantasan terutama dilakukan terhadap penderita klinis.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International       Cooperation   Agency   (JICA), Jakarta.

Blood DC, OM Radostis, JA Henderson, JH Arundel and CC Gay 1985. Veterinary Medicine. 6”’ Ed. Balliere Tindall. London. England. Heinrich Pette Institue, Leibniz Istitue for Experimental Virology.

Merck Anmal Health.

Catatan:
Oleh Drh Giyono Trisnadi, disadur dari: Manual Penyakit Hewan Mamalia. Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: