Untuk mencegah
masuknya penyakit hewan (HPHK) melalui sapi indukan, sapi bakalan, dan sapi
siap potong yang dimasukkan ke dalam Negara Republik Indonesia,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Petanian sebagai acuan bagi Petugas Karantina dan Pemilik hewan dalam melaksanakan
kegiatan tindakan karantina,
sebagai berikut
******
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 113/Permentan/PD.410/10/2013
TENTANG
TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP
PEMASUKAN SAPI INDUKAN,
SAPI BAKALAN,
DAN
SAPI SIAP POTONG KE DALAM
WILAYAH
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk
mencegah masuknya hama
penyakit hewan karantina ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditularkan melalui
sapi indukan, sapi
bakalan, dan sapi
siap potong, dilakukan tindakan karantina hewan;
b. bahwa
dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 85/Permentan /PD.410
/8/2013 Jis Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 87/Permentan /PD.410
/8/2013, Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 97/Permentan /PD.410 /9/2013 dan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor
4727/Kpts /PD.410 /9/2013
telah ditetapkan Pemasukan
Sapi
Bakalan, Sapi Indukan,
Dan Sapi Siap
Potong Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk menindaklanjuti Pasal 59 ayat (3)
Peraturan Pemerintah
Nomor
82
Tahun 2000,
perlu
mengatur Tindakan Karantina Hewan Terhadap Pemasukan Sapi
Indukan, Sapi
Bakalan, Dan
Sapi
Siap
Potong Ke Dalam
Wilayah
Negara Republik Indonesia;
Mengingat:
1. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3482);
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015);
3. Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4002);
4. Keputusan
Presiden
Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia
Bersatu II;
5. Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara;
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan
Fungsi
Kementerian
Negara serta
Susunan 0rganisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I;
7. Peraturan Menteri Pertanian 34/Permentan/OT.140/7/2006 tentang
Persyaratan Cara Penetapan Instalasi Karantina Hewan;
8. Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Nomor
51/Permentan /OT.140 /10/2006 Tata Hubungan
Kerja Fungsional Pemeriksaan
Pengamatan dan Perlakuan Penyakit
Hewan Karantina;
9. Peraturan
Menteri
Pertanian Nomor 22/Permentan /OT.140 /4/2008 Tentang
Organisasi Dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Karantina Pertanian;
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts /PD.630 /9/2009 tentang
Penggolongan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan
Klasifikasi Media Pembawa;
11. Peraturan
Menteri
Pertanian Nomor 61/Permentan /OT.140 /10/2010 tentang
Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian
Pertanian;
12. Peraturan
Menteri Pertanian
Nomor 94/Permentan /OT.140 /12/2011 tentang
Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa
Penyakit Hewan Karantina
dan Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina (Berita Negara Tahun 2011 Nomor 7);
13. Peraturan
Menteri Pertanian
Nomor 85/ Permentan /PD.410
/8/2013 Jis Peraturan Menteri Pertanian Nomor 87/Permentan /PD.410
/8/2013, Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 97/Permentan/PD.410/9/2013 tentang Pemasukan
Sapi Bakalan,
Sapi Indukan, Dan
Sapi
Siap Potong Ke Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4727/Kpts /PD.410
/9/2013 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, Dan Sapi Siap
Potong Ke Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG
TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN SAPI INDUKAN, SAPI BAKALAN, DAN SAPI
SIAP POTONG KE
DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
ini yang dimaksud dengan:
1. Tindakan
Karantina Hewan yang
selanjutnya disebut tindakan karantina
adalah
kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah masuk dan keluarnya Hama dan Penyakit
Hewan
Karantina ke dan dari
wilayah Negara Republik Indonesia.
2. Sapi Indukan adalah sapi betina bukan bibit yang mempunyai reproduksi normal, sehat, dan dapat
digunakan
sebagai
induk untuk pengembangbiakan.
3. Sapi Bakalan adalah sapi bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara selama kurun
waktu
tertentu guna tujuan produksi daging.
4. Sapi
Siap potong adalah sapi potong yang layak
untuk dipotong.
5. Pemasukan adalah kegiatan memasukkan sapi indukan,
sapi bakalan, dan sapi siap potong ke dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.
6. Tempat pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan
penyeberangan, bandar udara, yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan sapi indukan, sapi bakalan,
dan
sapi siap potong.
7. Unit Pelaksana Teknis
Karantina Pertanian
tempat
pemasukan
yang selanjutnya
disebut UPT Karantina Pertanian
tempat pemasukan adalah UPT Karantina
Pertanian yang membawahi
tempat
pemasukan sapi indukan, sapi bakalan, dan sapi siap potong.
8. Protokol
Karantina adalah persyaratan teknis dan manajemen penyakit yang terdiri atas persyaratan kesehatan hewan dan persyaratan kesejahteraan hewan yang
harus dipenuhi oleh negara asal.
9. Dokumen Karantina adalah formulir resmi yang
ditetapkan oleh Menteri dalam rangka tertib administrasi pelaksanaan tindakan karantina hewan.
10. Hama dan Penyakit Hewan Karantina yang selanjutnya disebut HPHK adalah semua
hama, hama penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio-ekonomi nasional
dan
perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat
veteriner yang dapat digolongkan
menurut tingkat risikonya.
11. Petugas Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Petugas Karantina adalah pegawai
negeri
tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina hewan.
12. Dokter hewan petugas karantina
yang selanjutnya disebut
dokter hewan karantina
adalah dokter
hewan yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tindakan
karantina.
13. Instalasi Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Instalasi Karantina adalah suatu
bangunan berikut peralatan dan lahan serta
sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat
untuk melakukan tindakan
karantina.
14. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah tempat pemotongan sapi baik
milik
pemerintah daerah
maupun swasta.
15. Alat Angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan
dengan sapi indukan, sapi
bakalan, dan sapi
siap
potong.
16. Pemilik
adalah
orang
atau badan usaha
yang memiliki
dan /atau
bertanggung
jawab atas pemasukan sapi
indukan, sapi bakalan, dan sapi siap potong.
Pasal 2
(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Petugas Karantina dan Pemilik dalam
melaksanakan tindakan karantina terhadap pemasukan sapi indukan, sapi bakalan,
dan sapi siap potong
ke dalam wilayah
negara
Republik Indonesia.
(2) Peraturan ini bertujuan untuk mencegah masuknya HPHK melalui sapi indukan, sapi
bakalan, dan sapi siap potong yang
dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan ini meliputi tindakan
karantina terhadap pemasukan sapi
indukan, sapi bakalan, dan
sapi
siap potong ke dalam
wilayah
Negara Republik Indonesia.
BAB II
TINDAKAN KARANTINA TERHADAP PEMASUKAN SAPI INDUKAN,
SAPI BAKALAN, DAN SAPI SIAP POTONG KE
DALAM WILAYAH NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 4
(1) Persyaratan pemasukan sapi indukan,
sapi bakalan, dan sapi siap potong
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
karantina hewan.
(2) Apabila
persyaratan
pemasukan sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(1) tidak dipenuhi, dilakukan tindakan
penolakan dan/atau
pemusnahan.
Bagian Kedua
Tempat Tindakan Karantina
Pasal 5
(1) Tindakan karantina terhadap pemasukan sapi indukan, sapi bakalan, dan sapi siap potong dilakukan
di tempat pemasukan.
(2) Untuk kelancaran arus barang di tempat pemasukan, tindakan karantina terhadap
pemasukan sapi indukan, sapi bakalan, dan sapi siap potong
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dilakukan di luar
tempat pemasukan baik di dalam maupun di luar
instalasi karantina.
(3) Tindakan karantina di luar tempat pemasukan baik di dalam maupun di luar instalasi karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan di negara asal, di atas
alat angkut, atau
di kandang pemilik.
Bagian Ketiga
Tindakan
Karantina Di
Negara Asal
Pasal 6
(1) Tindakan
karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3)
dilakukan jika:
a. tidak
tersedia instalasi karantina di tempat pemasukan;
b. tersedia
Petugas Karantina yang kompeten;
c. sapi siap potong
langsung diangkut
ke RPH; dan
d. pemilik menyediakan fasilitas
yang diperlukan
dalam pelaksanaan tindakan
karantina di
negara
asal.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d terdiri atas biaya ke dan dari
negara asal, biaya
akomodasi dan konsumsi
Petugas Karantina selama melaksanakan
Tindakan Karantina.
(3) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan peraturan
perundangan di bidang keuangan
Negara.
Pasal 7
(1) Untuk pelaksanaan tindakan karantina di negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), pemilik mengajukan permohonan kepada Kepala UPT Karantina Pertanian
tempat pemasukan, dengan tembusan kepada
Kepala Badan Karantina Pertanian.
(2) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berisi antara lain:
a. rencana waktu dan tempat keberangkatan;
b. jumlah
sapi indukan, sapi bakalan, dan
sapi siap potong;
c. rencana kedatangan
secara detail;
dan
d. pernyataan
menyediakan
fasilitas
untuk
pelaksanaan
tindakan
karantina di negara asal.
Pasal 8
(1) Kepala UPT Karantina Pertanian tempat pemasukan, dengan mempertimbangkan Pasal 6 dapat menyetujui atau menolak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1).
(2) Apabila permohonan disetujui
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala UPT Karantina Pertanian
tempat pemasukan mengusulkan Petugas Karantina
sebagai Tim
Pelaksana Tindakan Karantina di negara asal kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.
(3) Kepala
Badan
Karantina
Pertanian dengan
mempertimbangkan
kompetensi, efektivitas dan efisiensi menetapkan tim pelaksana tindakan karantina di negara asal.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan tindakan karantina di negara asal dilakukan oleh Otoritas
Veteriner negara asal, sesuai protokol karantina.
(2) Protokol
Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa persyaratan teknis yang disepakati
antara
Otoritas
Veteriner
negara asal
dengan
Kepala Badan Karantina Pertanian.
Pasal 10
(1) Tindakan
karantina
yang
dilakukan oleh Petugas
Karantina
di negara asal sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 5 ayat
(3) meliputi:
a. pengawasan pelaksanaan
tindakan karantina
hewan yang
dilakukan Otoritas Veteriner di negara asal;
b. pemeriksaan administrasi
dokumen karantina;
c. pengawasan saat proses
pengangkutan
dari quarantine yard dan pengapalan (Loading); dan
d. pengawalan di atas
alat angkut, dalam rangka pengamatan dan
perlakuan tertentu.
(2) Pengawasan pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan di quarantine yard
meliputi tindakan pemeriksaan
fisik, perlakuan, penolakan,
dan/atau pemusnahan.
(3) Pengawalan di atas
alat
angkut sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(1) huruf
d
dilakukan apabila dalam satu alat angkut sapi indukan, sapi bakalan, dan sapi siap
potong diangkut secara bersama-sama
dengan
jenis sapi yang berbeda peruntukannya, dan /atau berbeda negara tujuannya.
Bagian Ke Empat
Tindakan
Karantina Di
Tempat
Pemasukan
Pasal 11
Tindakan
karantina di
tempat
pemasukan dilakukan terhadap pemasukan sapi indukan,
sapi bakalan, dan sapi siap
potong yang:
a. sudah dilakukan
tindakan karantina di
negara
asal; atau
b. belum dilakukan
tindakan karantina di negara asal.
Pasal 12
(1) Tindakan karantina terhadap pemasukan sapi indukan,
sapi bakalan, dan sapi siap potong yang
sudah dilakukan tindakan karantina di Negara asal sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 11 huruf a, melalui:
a. pemeriksaan
dokumen persyaratan
dan
fisik di atas alat angkut;
b. pengasingan dan
pengamatan;
c. perlakuan;
dan /atau
d. pembebasan.
(2) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengetahui gejala klinis HPHK.
(3) Tindakan pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan
terhadap:
a. sapi indukan dan
sapi bakalan; atau
b. sapi siap potong
apabila dari pemeriksaan fisik
diketahui gejala klinis HPHK.
(4) Tindakan
pengasingan dan
pengamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan di instalasi
karantina untuk
tindakan karantina lebih intensif.
(5) Dalam hal
sapi siap potong diketahui gejala klinis HPHK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
diberi perlakuan
Pasal 13
(1) Masa pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3),
terhadap:
a. sapi indukan dilakukan paling kurang 7 (tujuh) hari;
b. sapi
bakalan dilakukan paling kurang 4 (empat) hari; atau
c. sapi siap potong
sesuai waktu yang dibutuhkan
untuk memberikan perlakuan
(2)Tatacara
pengasingan, pengamatan,
dan perlakuan sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(1),
dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan
di
bidang karantina hewan.
Pasal 14
(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d, dilakukan
apabila:
a. sapi indukan dan sapi bakalan memenuhi dokumen
persyaratan, setelah
dilakukan pengasingan dan pengamatan, dan
sehat serta bebas HPHK;
atau
b. sapi siap potong
memenuhi dokumen persyaratan, sehat
dan bebas HPHK.
(2) Pembebasan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(1)
huruf
b,
sapi siap
potong
diangkut langsung ke RPH.
Pasal 15
Tindakan karantina
terhadap pemasukan sapi indukan, sapi bakalan,
dan sapi siap potong yang belum dilakukan tindakan karantina di negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 huruf b, melalui:
a. pemeriksaan di atas alat angkut;
b. penahanan;
c. pengasingan
dan pengamatan;
d. perlakuan;
e. penolakan;
f. pemusnahan;
dan
g. pembebasan.
Pasal 16
(1) Pemeriksaan di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilakukan
terhadap dokumen persyaratan dan fisik.
(2) Pemeriksaan
dokumen
persyaratan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat
(1) untuk mengetahui kelengkapan, kebenaran, dan
keabsahan dokumen.
(3) Pemeriksaan
fisik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk:
a. mengetahui kesesuaian
jenis dan jumlah; dan
b. mendeteksi keberadaan HPHK pada
sapi siap potong.
(4) Tata cara pemeriksaan dokumen persyaratan dan fisik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang karantina
hewan
Pasal 17
(1) Apabila hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2):
a. dokumen tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak sah, dilakukan penolakan;
atau
b. dokumen lengkap,
benar, dan sah,
dilakukan pemeriksaan fisik.
(2) Penolakan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf
a, dapat dilakukan
penahanan apabila:
a. dokumen tidak lengkap;
b. pemilik menjamin dapat melengkapi dokumen yang dimaksud paling lama 3
(tiga)
hari; dan
c. dari hasil pemeriksaan fisik di atas alat angkut, sapi indukan, sapi bakalan, dan
sapi siap potong tidak menunjukkan gejala klinis HPHK.
(3) Tatacara penahanan dan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan di
bidang karantina hewan.
Pasal 18
(1) Sapi indukan,
sapi bakalan dan sapi siap potong yang telah dilakukan pemeriksaan
fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, dilakukan tindakan
pengasingan dan
pengamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 huruf
c di Instalasi Karantina.
(2) Tindakan
pengasingan dan
pengamatan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1),
dilakukan terhadap:
a. sapi indukan dan
sapi bakalan untuk tindakan karantina lebih
intensif; atau
b. sapi siap potong
untuk mengamati lebih lanjut terhadap keberadaan
HPHK.
(3) Masa pengasingan
dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3),
terhadap:
a. sapi indukan dilakukan
paling kurang 14 (empat
belas) hari;
b. sapi bakalan
dilakukan paling kurang 10 (sepuluh)
hari; atau
c. sapi siap potong
dilakukan paling kurang 4 (empat)
hari.
(4) Selama masa pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sapi indukan dan sapi bakalan dapat diberi perlakuan dalam rangka
tindakan promotif, preventif,
dan/atau kuratif.
(5) Tatacara pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
karantina hewan.
Pasal 19
(1) Apabila dalam masa pengasingan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 diketahui:
a. gejala
klinis HPHK Golongan I, dilakukan
pemusnahan;
b. gejala
klinis HPHK Golongan II, dilakukan
perlakuan; atau
c. tidak
ditemukan
gejala klinis HPHK, dilakukan pembebasan.
(2) Apabila setelah
dilakukan perlakuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. dapat
dibebaskan dari
HPHK Golongan II,
dilakukan
pembebasan; atau
b. tidak
dapat
dibebaskan dari
HPHK Golongan II, dilakukan pemusnahan
Pasal 20
(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf g, dilakukan apabila sapi
indukan, sapi
bakalan,
dan sapi
siap
potong memenuhi
dokumen persyaratan,
setelah dilakukan
pengasingan
dan
pengamatan,
dan
sehat serta bebas HPHK.
(2) Pembebasan
sapi siap potong sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1),
sapi siap potong segera diangkut
langsung ke RPH.
Pasal 21
Pembebasan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal
14 dan
Pasal 20 dilakukan dengan menerbitkan Seritifikat Pelepasan.
BAB III
PENUTUP
Pasal 22
Dengan diberlakukan Peraturan ini, maka
ketentuan mengenai pelaksanaan tindakan karantina
hewan terhadap pemasukan sapi siap potong yang telah ada dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan
ini mulai berlaku
sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan menteri ini
dengan penempatannya dalam
Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Oktober 2013
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSWONO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 16
Oktober 2013
MENTERI HUKUM DAN
HAK
ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013
NOMOR 1218