Penerapan
sertifikasi laboratorium di semua laboratorium karantina hewan sebagai pemberi
justifikasi ilmiah dengan jaminan validitas pada outputnya, perlu ada
langkah-langkah khsus. Berikut adalah Karya Tulis Ilmiah yang ditulis oleh drh.
Sri Yusnowati. Medik Veteriner Madya, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan
dan Keamanan Hayati Hewani.
******
SERTIFIKASI
(BANGUNAN) LABORATORIUM KARANTINA,
SUDAH
DIPERLUKANKAH?
oleh
Sri
Yusnowati
ABSTRAK
Laboratorium
Karantina Hewan terkait erat dengan laboratorium veteriner dimana cikal
bakalnya berdiri tahun 1919 yang pada masa sekarang ini bernama Balai Besar
Penelitian Veteriner dengan tujuan mendeteksi, mendiagnosa penyakit emerging
atau re-emerging namun dengan tugas pokok fungsi yang berbeda. BBalitvet merupakan laboratorium rujukan bagi
semua laboratorium veteriner dengan tupoksi lebih mengarah pada
penelitian/research. Sedangkan
laboratorium karantina hewan lebih mengarah pada diagnose atau deteksi hama dan
penyakit hewan karantina yang kemungkinan terbawa media pembawa yang dilalu
lintaskan melalui tempat pemasukan atau tempat pengeluaran. Pada awal
laboratorium karantina hewan melakukan rapid test dan kebanyakan bersifat
morfologis baik makroskopis maupun mikroskopis.
Namun dengan perkembangan tupoksi karantina dan tuntutan dunia
perdagangan internasional dimana Sertifikat Kesehatan Hewan atau Sertifikat
Sanitasi Produk Hewan harus berdasarkan atas justifikasi ilmiah, maka
diperlukan pemeriksaan laboratorium bahkan jika diperlukan sampai diperoleh
rangkaian genetiknya. Semua proses kegiatan di laboratorium agar terjamin
validitasnya harus mengacu pada standar nasional yang telah ditetapkan/diadopsi
oleh Badan Standardisasi Nasional, misalnya SNI ISO/IEC 17025:2008 walaupun
saat ini masih bersifat suka rela.
Laboratorium kandidat diakreditasi kesesuaian penerapan sistim manajemen
mutu dengan standar mutu yang diacu oleh Komite Akreditasi Nasional yang berada
di bawah BSN. Terkait dengan laboratorium yang menangani mikroorganisme
pathogen yang berbahaya, harus mengacu pada standard manajemen biorisiko
laboratorium selain mengacu pada Panduan Biosafety Laboratorium yang ada (WHO
3rd ed-2004). Saat ini standard
manajemen biorisiko laboratorium mengacu pada CWA 15793:2008 yang merupakan
standard internasional pertama dan satu-satunya yang dibuat atas dasar persetujuan
konsensus dari 24 negara Eropa. Standard ini dirancang untuk melengkapi
standard manajemen lain. Saat ini, IFBA
sebagai federasi internasional untuk asosiasi biosafety di dunia membuat suatu
program sertifikasi pengelolaan biorisiko secara professional terutama bagi
asosiasi biosafety anggota IFBA. Manajemen biorisiko laboratorium ini terkait
erat dengan pemenuhan persyaratan laboratorium oleh tim manajemen laboratorium
bersangkutan. Dalam menyediakan
fasilitas prasarana, harus diperhatikan kondisi lokasi bangunan, kondisi
bangunan, materi yang ditangani, jumlah staf/pekerja laboratorium, tingkat
kontenmen harus setara dengan grup risiko mikroorganisme yang ditangani, skala
pekerjaan yang ditangani, sistim aliran udara yang akan diterapkan, program
pelatihan dan program sertifikasi laboratorium yang akan dicapai. Laboratorium
karantina hewan di era globalisasi harus berperan aktif dalam melakukan
pengujian untuk mendiagnosa dan mendeteksi hama, penyakit hewan karantina
sebagai pendukung diagnose tindakan karantina atas media pembawa yang
dilalulintaskan. Dalam penanganan sampel
–terutama pemasukan importasi dan antar area dari daerah endemi ke daerah
bebas- diberlakukan prinsip biosafety dan biosekuriti karena kemungkinan
terbawanya mikroorganisme pathogen.
Karena itulah diperlukan ketersediaan prasarana dan sarana laboratorium
yang mendukung biokontenmen yang diperlukan. Untuk menjaga validitas maka
laboratorium karantina harus mengacu pada SNI ISO/IEC 17025:2008 terkait dengan
kompetensi sebagai laboratorium penguji dan juga mengacu pada CWA 15793:2008
terkait dengan validitas manajemen laboratorium dalam mengelola biorisiko
laboratorium secara berkelanjutan. Dalam upaya terpenuhinya tujuan tersebut di
atas, maka Badan Karantina Pertanian perlu mewajibkan diterapkannya sistim
manajemen mutu yang mengacu pada SNI ISO/IEC 17025:2008 dan CWA
15793:2008. Hal ini menyebabkan adanya
konsekuensi bagi Barantan untuk menyiapkan panduan umum laboratorium karantina
hewan, menyiapkan anggaran setiap tahun untuk memfasilitasi ketersediaan
prasarana, sarana, bahan uji, pemeliharaan prasarana dan sarana laboratorium,
penerapan dan pemeliharaan sistim manajemen mutu, dan yang tidak boleh
dilupakan adalah evaluasi penerapan sistim manajemen mutu.
Kata
kunci: sertifikasi laboratorium karantina hewan
******
I.
PENDAHULUAN
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laboratorium adalah tempat atau kamar tertentu
yang dilengkapi dengan peralatan untuk mengadakan percobaan
(penyelidikan). Sedangkan menurut Oxford
English Dictionary, Laboratorium adalah ruang atau bangunan yang dilengkapi
dengan peralatan untuk melakukan percobaan ilmiah, penelitian, praktek
pembelajaran atau pembuatan obat-obatan dan bahan-bahan kimia.
Sejak
tahun 1888, di Indonesia sudah memfungsikan salah satu gedung FK-UI sebagai
laboratorium Penelitian Patologi dan Bakteriologi. Pada awalnya pemerintah
Belanda membangun laboratorium mikrobiologi untuk melengkapi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) serta
lembaga penelitian Eijkman yang dipergunakian untuk pemberantasan penyakit
menular di masa itu yaitu penyakit cacar dan diare. Dimana peran laboratorium
mikrobiologi ini selain bertugas untuk melakukan pencarian sumber infeksi tapi
juga melakukan penelitian, bahkan pada tahun 1960-an pernah menjadi pusat
rujukan nasional oleh WHO untuk kasus influenza.
Terkait
dengan bidang veteriner, laboratorium veteriner yang telah lama direncanakan
oleh Dr. de Does didirikan oleh pemerintah pada tahun 1907 yang menggabungkan
laboratorium dengan kursus untuk mendidik dokter hewan bumiputra. Dimana kursusnya sendiri dibuka pada bulan
Mei tahun 1907 dengan nama “Cursus tot Opleiding van Inlandsche
Veearsteen” dengan lama pendidikan 4
tahun. Kursus ini pada awalnya berada di
bawah pengawasan Dr. Koningsberger-Kepala kebun Raya dan Museum Zoologi
Bogor. Sedangkan laboratorium veteriner
yang berfungsi sebagai laboratorium untuk penyakit hewan dengan nama
“Veeartsenijkundig Laboratorium” (VL) didirikan pada bulan Juni tahun 1908
dipimpin oleh Dr. L de Blieck yang juga sebagai Kepala Laboratorium. Pada tahun 1919, laboratorium veteriner
benar-benar terpisah dari sekolah dokter hewan atau “Nederlands Indische
Veeartsenschool” (NIVS), dan NIVS merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran
Hewan-IPB.
Di
masa sekarang, dengan perkembangan zaman dan banyaknya mutasi penyakit hewan
yang sudah ada menjadi penyakit emerging atau re-emerging dan terkait juga
dengan tugas pokok fungsi masing-masing institusi yang mengurusi atau mengawasi
masalah kesehatan hewan membuat laboratorium veteriner yang menangani agen
pathogen. Seperti adanya laboratorium
veteriner di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(BBVet/BVet regional I-VII, Pusvetma dan BBPMSOH), laboratorium karantina hewan
(BBUSKP, BBKP/BKP/SKP).
Pada
awalnya laboratorium karantina hewan hanya menangani pengujian sederhana untuk
uji cepat (rapid test), misalnya Rose Bengal test (RBT) atau pemeriksaan
makroskopis dan mikroskopis sederhana, yang dilakukan terhadap sampel yang
diambil dalam masa karantina pada waktu pelaksanaan tindakan karantina. Ruangan laboratorium yang ada hanya sekedar
ruangan sederhana. Dengan berkembangnya
organisasi institusi karantina, bertambahnya permasalahan penyakit hewan di
Indonesia dan di dunia, dinamika penanganan mikroorganisme dan penyakit hewan
serta meningkatnya lalulintas perdagangan media pembawa (hewan, bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan) maka pembuatan laboratorium di instalasi
karantina disesuaikan dengan ketentuan standard internasional dan nasional dan
pengujian yang dilakukan mempergunakan metode uji yang lebih kompleks bahkan
jika diperlukan sampai mendeteksi rangkaian genetik DNA/RNA dari mikroorganisme
yang diperoleh.
II.
PENGERTIAN SERTIFIKASI DAN AKREDITASI
Dalam
era globalisasi sekarang ini, dimana kerjasama di bidang ekonomi antar Negara
di dunia seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO) telah menciptakan sistim
perdagangan bebas (free trade) di dunia, yang menyebabkan arus lalulintas
barang/jasa melintasi batas wilayah Negara sehingga pasar nasional terbuka
terhadap masuknya barang/jasa dari luar negeri /importasi. Dalam perjanjian WTO yang telah diratifikasi
oleh Negara Indonesia dengan adanya Undang-undang Nomor 7 tahun 1994, maka
Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO diwajibkan untuk menyesuaikan
peraturan perundangannya di bidang standardisasi terutama mengenai perjanjian
pada perdagangan atas dasar barier teknis (Technical Barrier to Trade:TBT).
Terkait
dengan standardisasi, di Indonesia telah terbentuk suatu badan yang mengurusi
standardisasi nasional berdasarkan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun
2000, dimana tujuan standardisasi nasional ini untuk meningkatkan perlindungan
kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat baik untuk
keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Juga untuk membantu kelancaran
perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. Namun standardisasi nasional Indonesia saat
ini masih bersifat sukarela, walaupun terkait dengan keselamatan, kesehatan,
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomi dapat
diberlakukan menjadi suatu kewajiban oleh institusi teknis terkait yang dapat
diatur melalui keputusan pimpinan instansi teknis yang bersangkutan. Dan atas dasar Keputusan Presiden Nomor 78
Tahun 2001 tentang Komite Akreditasi Nasional dibentuklah Komite Akreditasi
Nasional (KAN) yang bertugas menetapkan akreditasi laboratorium, lembaga
inspeksi dan lembaga sertifikasi yang menilai kesesuaian dengan standard
nasional atau internasional yang diacunya.
Jadi posisi KAN disini sebagai asesor yang melihat kompetensi atas
laboratorium, lembaga inspeksi dan lembaga sertifikasi. Sedangkan laboratorium atau lembaga yang
diases akan mengeluarkan sertifikat terhadap produk barang/jasa yang dihasilkan
oleh pemasok/industri. Berarti lembaga
sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium tersebut bertindak sebagai
auditor terhadap kesesuaian produk barang/jasa dengan persyaratan yang sudah
ditetapkan.
Dapat
diringkas bahwa Akreditasi merupakan rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang menyatakan bahwa suatu lembaga
sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk
melakukan kegiatan sertifikasi tertentu atas dasar acuan standar tertentu. Sedangkan Sertifikasi merupakan rangkaian kegiatan
penerbitan sertifikat terhadap barang/jasa yang bertujuan memberikan jaminan
tertulis dan menyatakan bahwa suatu produk/barang, jasa, proses, system atau
personel telah memenuhi standard tertentu yang dipersyaratkan.
Akreditasi
sementara ini juga masih bersifat sukarela yang dibatasi oleh lingkup tertentu
dan berlaku untuk jangka waktu tertentu.
Sedangkan beberapa produk barang/jasa yang mengharuskan adanya
sertifikasi bersifat wajib karena harus memenuhi persyaratan tertentu yang
berlaku untuk satu lingkup tertentu dan berlaku untuk satu waktu.
III.
SERTIFIKASI LABORATORIUM
3.1. Umum
Dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya, laboratorium – dalam hal ini
manajemen/pengelola laboratorium - harus memberi jaminan keselamatan dan
keamanan atas penanganan, penyimpanan dan transportasi bahan biologik yang
mungkin mengandung agen infeksius dan toksin yang secara rutin ditangani oleh
laboratorium. Sistim pengelolaan
laboratorium (sistim pengelolaan biorisiko) ini diperlukan untuk melindungi
personel laboratorium yang bekerja di dalam laboratorium dari kemungkinan
paparan dan infeksi yang tidak disengaja, selain juga melindungi lingkungan di
sekitar laboratorium. Keselamatan semua pihak selain tanggung jawab pengelola
laboratorium juga menjadi tanggungjawab semua pengguna laboratorium
tersebut. Jadi setiap personel yang
bekerja di dalam laboratorium wajib menciptakan lingkungan kerja yang aman,
dengan mematuhi dan melaksanakan petunjuk keselamatan kerja pada setiap kegiatan
yang dilakukan di dalam laboratorium.
Petunjuk keselamatan kerja yang disusun dimaksudkan untuk
mengidentifikasi bahaya potensial yang dapat terjadi di laboratorium dan berisi
juga persyaratan keamanan pada waktu bekerja di laboratorium.
Terkait
dengan pengelolaan laboratorium, ada beberapa standard yang dapat menjadi acuan
yaitu:
1. SNI
ISO/IEC 17025:2008 yaitu persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan
laboratorium kalibrasi. SNI ISO/IEC
17025:2008 ini merupakan standar internasional ISO/IEC 17025 yang diterjemahkan
dan diadopsi oleh Komite Akreditasi Nasional, yang dipergunakan sebagai
persyaratan akreditasi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi dalam
sistim akreditasi laboratorium Komite Akreditasi Nasional.
2. CWA:
Commission de la Economique de la Nation (CEN) Workshop Agreement 15793:2008
adalah suatu standard pengelolaan biorisiko laboratorium yang berdasarkan atas
pendekatan sistim manajemen. Standard
ini dimaksudkan agar laboratorium mengidentifikasi, memahami dan mengelola
sistim yang tekait dengan proses untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi
dari tujuan dan peningkatan organisasi yang telah ditetapkan.
3. SNI
ISO 9001:2008 yaitu suatu standar internasional yang telah diterjemahkan
diadopsi oleh BSN yang dipergunakan oleh fihak internal atau eksternal (termasuk
lembaga sertifikasi) untuk menilai kemampuan organisasi dalam memenuhi
persyaratan pelanggan, regulasi dan peraturan perundangan yang berlaku atas
produknya ataupun persyaratan organisasi sendiri. Untuk laboratorium pengujian dan laboratorium
kalibrasi yang operasionalnya memenuhi standard SNI ISO/IEC 17025:2008 sudah
pasti akan sesuai dengan SNI ISO 9001:2008.
4. ISO
IEC 17043 (edisi pertama tahun 2010) merupakan suatu standard untuk
laboratorium yang menyelenggarakan uji profisiensi agar laboratorium yang akan
memenuhi persyaratan akreditasi atau untuk laboratorium yang sudah trakreditasi
SNI ISO/IEC 17025:2008 dapat memenuhi persyaratan akreditasi. ISO IEC 17043 merupakan panduan untuk
pengembangan dan pengoperasian uji profisiensi.
Uji profisiensi ini merupakan suatu program jaminan mutu sebuah
laboratorium yang sesuai dengan persyaratan sistim manajemen mutu berdasarkan
persyaratan akreditasi SNI ISO/IEC 17025:2008.
Standar
sistim mutu SNI ISO/IEC 17025:2008 hanya terkait dengan kompetensi laboratorium
yaitu kompetensi personel, kompetensi peralatan, kondisi prasarana dan sarana
laboratorium dalam menunjang terlaksananya operasional pengujian yang sesuai
panduan yang dipersyaratkan, untuk mendapatkan output hasil uji yang valid dan
memenuhi standard nasional atau standard internasional. Pengakuan kompetensi diperoleh dengan
mendapatkan label Akreditasi.
Dua
standar sistim manajemen mutu lainnya yaitu SNI ISO 9001:2008 dan ISO IEC 17043
merupakan sistim mutu terkait dengan pemenuhan kesesuaian persyaratan atas
pengelolaan manajemen untuk menghasilkan output produk yang sesuai persyaratan
dimana pengakuan pemenuhan kesesuaian persyaratan pengelolaan manajemen melalui
Sertifikasi.
Sedangkan
CWA 15793:2008 merupakan suatu standar sistim mutu yang diberlakukan pada
manajemen laboratorium terkait pengelolaan biorisiko mulai dari identifikasi
risiko bahaya agen biologik, memantau dan mengendalikan aspek biosafety dan
biosekuriti dari kegiatan laboratorium yang utamanya menangani bahaya agen
biologik berikut dengan produknya.
3.2.
Standard Manajemen Biorisiko Laboratorium
Manajemen
biorisiko laboratorium dimaksudkan untuk laboratorium yang menangani dan atau
menyimpan agen biologik, memerlukan analisa atas biorisiko yang ada dengan
mengidentifikasi bahaya biologik (biohazard), menilai potensi bahaya,
mengelola/memanage bahaya yang kemudian mengkomunikasikan potensi bahaya kepada
semua staf/pekerja di laboratorium untuk mencegah terjadinya paparan agen
biologik yang berpotensi membahayakan
pekerja/staf di laboratorium, populasi manusia atau hewan maupun
lingkungan di sekitar laboratorium.
Manajemen biorisiko laboratorium, sistimnya mencakup kebijakan,
prosedur, komponen operasional yang diperlukan untuk mengidentifikasi risiko,
menentukan pengelolaan risiko dan mengkomunikasikan risiko penyakit terkait
dengan penanganan dan pemeliharaan agen biologik tertentu di laboratorium.
3.3.
CWA 15793:2008 / CWA 16335:2011
Terkait
dengan standard tentang manajemen biorisiko, laboratorium mengacu pada CWA
15793:2008 yaitu standard yang dibuat atas dasar persetujuan konsensus dari 76
partisipan yang berasal dari 24 negara-negara di Eropa. CWA 15793:2008 ini merupakan standard internasional yang
pertama dan satu-satunya yang digunakan untuk laboratorium manapun khususnya
yang bekerja dengan mikroorganisme pathogen dan toksin. Standard inipun berdasarkan atas Pedoman
Biosafety dan Biosekuriti yang diterbitkan WHO.
Dalam CWA, manajemen biorisiko didefinisikan sebagai suatu pengelolaan
risiko biologik yang timbul dari adanya efek samping mencakup kejadian
terlepasnya mikroorganisme karena kecelakaan, adanya paparan yang tidak disengaja,
adanya kehilangan, pencurian, salah penggunaan, adanya akses masuk dari yang
tidak berwenang atau terlepasnya mikroorganisme secara disengaja oleh yang
tidak berwenang.
Sistim
dan kebijakan Laboratorium yang dibangun CWA 15793:2008 ditujukan untuk
mengelola biorisiko laboratorium, keseharian operasional organisasi baik
diwaktu normal maupun pada keadaan darurat.
Standard
ini dirancang untuk melengkapi standard manajemen lainnya yaitu SNI ISO
9001:2008 (standard mutu produk), ISO 14001 (standard bagi lingkungan), OHSAS
18001 (standard kesehatan dan keselamatan kerja) dan tidak diintegrasikan ke
dalam suatu sistim akreditasi atau sertifikasi formal. Standard ini bukan bersifat teknis namun
berdasarkan atas tampilan organisasi yang memastikan bahwa organisasi dapat
mencapai semua tujuannya secara efektif dan sistim ini mempergunakan prinsip
siklus PDCA. Plan yaitu perencanaan,
mencakup identifikasi bahaya dan risiko serta menetapkan tujuan; Do yaitu
menerapkan apa yang sudah direncanakan termasuk pelatihan dan masalah
operasional; Check yaitu memeriksa hasil penerapan, termasuk pemantauan dan
tindakan perbaikan; dan Act yaitu meninjau kembali, termasuk proses pembaruan
dan membuat perubahan terhadap sistim manajemen.
Skema
sertifikasi/akreditasi yang dikenal, akan memastikan nilai serta konsistensi
dari standard CWA.
Sertifikasi/akreditasi internasional akan lebih menguatkan keberlanjutan
dari manajemen biorisiko laboratorium.
Skema sertifikasi dengan menggunakan CWA 15793 berdasarkan hal
teknis.
Menurut
CWA 15793:2008, persyaratan dokumen dan ketentuan teknis yang harus dipenuhi
mencakup:
1. Ruang
Lingkup
2. Rujukan
Informasi
3. Terminology
dan definisi
4. Persyaratan
sistim manajemen biorisiko
4.1.
Persyaratan umum
4.1.1.
Sistim manajemen biorisiko
4.1.2.
Peningkatan berkelanjutan
4.2.
Kebijakan
4.2.1.
Kebijakan manajemen biorisiko
4.3.
Perencanaan
4.3.1.
Perencanaan identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian risiko
4.3.1.1.
Perencanaan dan sumber daya
4.3.1.2.
Waktu penilaian risiko dan ruang lingkup
4.3.1.3.
Identifikasi bahaya
4.3.1.4.
Manajemen risiko
4.3.2.
Kesesuaian dan kepatuhan
4.3.3.
Tujuan, target dan program
4.3.3.1.
Tujuan pengendalian biorisiko dan target
4.3.3.2.
Pengendalian pemantauan
4.4.
Penerapan dan operasional
4.4.1.
Peran, tanggungjawab dan kewenangan
4.4.1.1.
Manajemen puncak
4.4.1.2.Manajemen
senior
4.4.1.3.
Komite manajemen biorisiko
4.4.1.4.
Penasihat manajemen biorisiko
4.4.1.5.
Pengelolaan ilmiah
4.4.1.6.
Kesehatan pekerjaan
4.4.1.7.
Pengelolaan fasilitas
4.4.1.8.
Pengelolaan keamanan
4.4.1.9.
Penanganan hewan
4.4.2.
Pelatihan personel, kesadaran dan kompetensi
4.4.2.1.
Rekrutmen
4.4.2.2.
Kompetensi
4.4.2.3.
Perencanaan suksesi dan keberlanjutan
4.4.2.4.
pelatihan
4.4.3.
Konsultasi dan komunikasi
4.4.4.
Pengendalian operasional
4.4.4.1.
Keselamatan umum
4.4.4.2.
Penyimpanan dan informasi agen biologik dan toksin
4.4.4.3.
Program kerja, perencanaan dan kapasitas
4.4.4.4.
Manajemen perubahan
4.4.4.5.
Prosedur kerja, dekontaminasi dan perlindungan personel
4.4.4.5.1.
Teknik mikrobiologikal yang baik
4.4.4.5.2.
Inaktivasi agen biologik dan toksin
4.4.4.5.3.
Pengelolaan limbah
4.4.4.5.4.
Pakaian dan peralatan perlindungan personel (PPE atau APD)
4.4.4.6.
Program kesehatan pekerja
4.4.4.7.
Factor perilaku dan pengendalian pekerja
4.4.4.8.
Infrastruktur dan manajemen operasional
4.4.4.9.
Transportasi agen biologik dan toksin
4.4.4.10.
Keamanan personel
4.4.5.
Tanggap darurat dan rencana kontingensi
4.4.5.1.
Skenario darurat
4.4.5.2.
Rencana darurat
4.4.5.3.
Latihan dan simulasi darurat
4.4.5.4.
Rencana kontingensi
4.5.
Pemeriksaan dan tindakan perbaikan
4.5.1. Ukuran penampilan laboratorium dan analisa
data
4.5.2. Catatan / rekaman, dokumen dan pengendalian
data
4.5.3. Pemantauan penyimpanan dan pengendalian
4.5.4. Investigasi insiden dan kecelakaan,
ketidaksesuaian, tindakan pencegahan dan perbaikan
4.5.4.1.
investigasi kecelakaan/insiden
4.5.4.2.
pengendalian ketidaksesuaian
4.5.4.3.
tindakan perbaikan
4.5.4.4.
tindakan pencegahan
4.5.5.
Pemeriksaan dan audit
4.6.
Tinjauan ulang
4.6.1.
Tinjauan ulang manajemen biorisiko
3.4.
Program Sertifikasi
Federasi Internasional dari Asosiasi Biosafety (International Federation of Biosafety Association: IFBA), membuat suatu program sertifikasi pengelolaan biorisiko secara professional yang akan mengevaluasi kompetensi berbagai professional yang bekerja di banyak keahlian teknis yang berbeda satu sama lain (misalnya manajemen biorisiko dasar, penilaian risiko, BSC, manajemen limbah) dan sistemnya dapat diterima secara internasional dimana hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi risiko di laboratorium. Ternyata perbedaan tingkat kompetensi para professional ini rentangnya sangat besar mulai dari petugas pengelola fasilitas biosafety dan biosekuriti sampai kepada konsultan biosafety dan biosekuriti yang memberikan layanan biosafety dan biosekuriti beserta peralatannya. Individu dengan kualifikasi yang baik ataupun yang buruk, masing-masing memiliki tanggungjawab dalam mengelola risiko biologik di laboratorium.
Tujuan
dari program sertifikasi yang dibuat oleh IFBA adalah untuk memberikan suatu
penilaian mandiri dari masing-masing laboratorium dan untuk menunjukkan
kompetensinya pada beberapa kunci manajemen biorisiko dari disiplin teknis yang
ada. Program ini disusun agar
sertifikasi adil dan merata yang tidak akan menghambat akses terhadap
sertifikasi ini bagi semua calon ataupun kandidat. Dengan menerapkan program sertifikasi ini
maka personal dan masyarakat sekitar laboratorium aman dan selamat,
meningkatkan kepercayaan pemerintah dan industry terhadap biosafety dan
biosekuriti melalui profesionalisme, dan melalui aplikasi yang memberi
penekanan pada pemerintah untuk meningkatkan peraturan internasional tentang
lingkungan.
Program
sertifikasi laboratorium ini memposisikan IFBA berperan sebagai pimpinan yang
memastikan keselamatan, keamanan dan bertanggung jawab apabila laboratorium
bekerja dengan bahan biologik yang dilakukan dengan cara menerapkan misi
program sertifikasi yang akan memberi keunggulan dalam mensertifikasi
kompetensi teknis untuk manajemen biorisiko secara professional di seluruh
dunia.
Ruang
lingkup dari program sertifikasi ini dioperasionalkan melalui Badan Sertifikasi
yang dibentuk yang akan mendelegasikan kewenangannya untuk menerapkan dan
mengelola program, terkait dengan ruang lingkup dan misi serta tujuan program.
Program
sertifikasi IFBA merupakan pengakuan formal dari professional manajemen
biorisiko yang telah memenuhi standard kompetensi untuk pengetahuan dan
ketrampilan atas pekerjaan teknis yang dimiliki. Disiplin teknis dari sertifikasi IFBA ini
antara lain Manajemen biorisiko dasar, penilaian risiko, operasional
laboratorium dan pemeliharaan, manajemen limbah biological, dekontaminasi,
kontenmen laboratorium, system HVAC, sistim filtrasi, peralatan pelindung diri,
cabinet biosafety, Performan manusia, manajemen insideni, perencanaan dan
rancangan laboratorium, prosedur kerja, manajemen program, dokumentasi dan SOP,
pengiriman dan transportasi, bioetik, biosafety hewan/tumbuhan/artropoda,
pelatihan.
Sertifikasi
manajemen biorisiko tingkat dasar merupakan suatu sertifikasi prasyarat yang
diperlukan sebelum kandidat yang telah memenuhi syarat mengajukan permohonan
sertifikasi dalam disiplin teknis tambahan. Sertifikasi ditawarkan untuk 3
tingkat yang bersifat progresif untuk semua disiplin teknis yaitu:
-Tingkat
magang: harus dilakukan validitas setiap tahun
-Tingkat
praktisi: validitas dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun
-Master
praktisi: validitas dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun
Sebagaimana
diketahui bahwa di Indonesia Badan yang mempunyai tugas pokok memberikan
akreditasi ataupun sertifikasi kepada lembaga yang menerbitkan sertifikasi
terhadap barang/jasa adalah Komite Akreditasi Nasional yang berada di bawah
Badan Standardisasi Nasional. BSN belum
menyusun atau mengadop standard terkait dengan manajemen biorisiko
laboratorium. Sedangkan kandidat
laboratorium yang menangani mikroorganisme (m.o) pathogen -baik m.o pathogen
hewan ataupun manusia- di Indonesia sudah banyak jumlahnya dan tersebar di
hampir seluruh wilayah Indonesia.
Selama
ini sertifikasi laboratorium dilakukan oleh suatu institusi swasta yang
memiliki tenaga professional dari berbagai disiplin keahlian teknis yang
memenuhi persyaratan dan telah disertifikasi oleh IFBA. Institusi swasta ini dapat berfungsi sebagai
konsultan manajemen biorisiko sekaligus juga sebagai institusi yang memeriksa
kesesuaian laboratorium kandidat dengan persyaratan dalam standard CWA
15793:2008. Namun sayangnya institusi
penilai manajemen biorisiko terkait dengan CWA 15793:2008 belum ada di
Indonesia.
IV.
PERSYARATAN LABORATORIUM
Jauh
sebelum menentukan untuk menjadi kandidat sertifikasi laboratorium, dalam upaya
pembangunan laboratorium atau pengembangan/perbaikan laboratorium, harus
dinilai dulu layakkah laboratorium yang sudah dimiliki? Laboratorium seperti
apa yang akan diajukan sebagai kandidat sertifikasi laboratorium?
Manajemen
laboratorium harus menginventarisasi data lokasi, bangunan dan kondisinya,
materi yang ditangani sampai dengan data manajemen berikut staf yang bekerja di
laboratorium tersebut.
Data
lokasi dimaksudkan untuk mengetahui kontur tanah, struktur tanah dan jenis
tanah yang akan menjadi pondasi dari bangunan laboratorium. Kondisi epidemiologi lokasi dengan
memperhatikan antara lain kelembaban udara, drainage lokasi, jarak dengan jalan
umum, kebisingan dll dimana data tersebut terkait dengan ketahanan bangunan
laboratoriumnya. Untuk laboratorium yang
akan dikembangkan atau untuk pemenuhan persyaratan biosafety dan biosekuriti
standard bangunan laboratorium, maka bangunan yang telah ada harus diperhatikan
peruntukkan laboratorium, kondisi existing dari bangunan yang akan dipergunakan
sebagai dasar penambahan item persyaratan yang harus dipenuhi. Data personel yang ada juga harus
diinventarisir terkait jumlah personel (jumlah manajer, staf teknis dan
peneliti), posisi/kedudukan setiap personel, tugas/pekerjaan setiap personel,
kompetensi setiap personel, riwayat pendidikan setiap personel. Data personel ini diperlukan untuk mengetahui
kekuatan dan kompetensi personel yang akan bekerja di laboratorium terutama
apabila laboratorium akan dikembangkan ruang lingkupnya.
Dalam
manajemen laboratorium terkait dengan biorisiko, tim manajemen harus memikirkan
rancangan fasilitas biokontenmen yang akan dibangun. Bangunan laboratorium harus memenuhi fungsi
peruntukkan dari laboratoriumnya, memenuhi persyaratan keselamatan yang
berkelanjutan namun juga disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki. Jadi, di awal pembangunan/pembentukan
laboratorium, anggota tim manajemen yang terdiri dari manajer, ilmiawan,
arsitek, insinyur sipil, teknik mekanik, teknik listrik, bagian perencanaan,
bagian keuangan dan staf, harus sudah membahas:
-fasilitas
tingkat kontenmen yang akan dibangun.
Tingkat kontenmen ini harus setara dengan grup risiko mikroorganisme
pathogen yang rutin ditangani laboratorium.
-Hasil
penilaian risiko mencakup jenis pekerjaan, jenis agen pathogen dan jumlah
spesimen rutin yang ditangani; skala pekerjaan (skala regional, nasional
ataukah internasional); kebutuhan jangka pendek ataukah kebutuhan jangka
panjang; sumberdaya yang dimiliki.
-Pengembangan
SOP terkait dengan perluasan ruang lingkup penanganan mikroorganisme.
-Rancangan sistim HVAC (heating, ventilation, air condition) dari biokontenmen yang akan dibangun ataukah mungkin laboratorium tidak memerlukan adanya sistim HVAC terkait dengan tingkat biokontenmennya.
-Program
pelatihan tanggap darurat yang dilakukan.
-Program
sertifikasi laboratorium yang akan dicapai.
-Anggaran
yang diperlukan termasuk biaya yang tidak terduga.
Bahasan
dan fasilitas yang harus difikirkan akan menjadi lebih panjang catatannya
apabila laboratorium memerlukan fasilitas biokontenmen hewan untuk melakukan
pengujian atau melakukan pemeliharaan hewan coba, antara lain:
•Maksud
penggunaan hewan (untuk hewan coba, penelitian, pemeliharaan)
•Jenis
hewan yang digunakan, hal ini terkait dengan luasan ruang, sistim perkandangan,
rancang bangun ruang, kapasitas ruang
•Pedoman,
standard atau kode etik yang digunakan termasuk SOP
•Perlukah
adanya fasilitas pembatas, koridor antar ruang
•Perlukah
ruang penunjang
•Alur
akses keluar masuk personel, hewan, pakan, limbah
•Penanganan
limbah (limbah cair, limbah padat rurmah tangga, limbah padat infeksius dll)
Jadi
pada proses perencanaan perlu diperhatikan:
-Gambaran
dari proses yang berulang, mulai dari dibuatnya program/TOR menjadi rancangan
awal. Sebelum akhirnya menjadi rancangan final, rancangan akan berubah /berkembang
disesuaikan dengan masukan dari pengguna dan anggaran yang tersedia.
-Prinsip
tata letak ruang,
•dengan
mengakomodasi kebutuhan pengguna (dalam hal ini peneliti atau pekerja di
laboratorium) dari sisi alur kerja dan kelengkapan ruang
•memenuhi
kaidah perancangan tekanan dan aliran udara dalam setiap ruang laboratorium.
•Memenuhi
kebutuhan yang spesifik (ruang biokontenmen hewan)
•Mengakomodasi
penempatan peralatan laboratorium, alat-alat keselamatan kerja
•Mengakomodasi
kebutuhan peralatan mekanikal engineering (ME)
-Prinsip
sistim tata alir udara, dengan memperhatikan arah aliran udara/ pengaturan
tekanan udara setiap ruang
-Prinsip
pengelolaan limbah cair dan padat
Selain
itu perlu diperhatikan juga:
-komponen
mekanikal, elektrikal, plumbing, peralatan laboratorium, alur kerja, sistim
perlindungan atas kebakaran
-pemilihan
bahan-bahan (jenis lantai, dinding, plafon, pintu, jendela, ducting, pemipaan
dan lainnya)
-kebutuhan
ruang penunjang, ruang untuk perawatan dan peralatan di bagian atas
laboratorium (terutama untuk ruang BSL-3, BSL-4), ruang di atap untuk exhaust
fan dan cerobong
Dengan
banyaknya hal dan persyaratan yang perlu diperhatikan dalam membangun atau
mengembangkan laboratorium, untuk itu para insinyur sipil sudah harus dapat
menghitung dan menentukan struktur bangunan yang mampu menahan beban berat dari
alat-alat laboratorium dan fasilitas laboratorium lainnya. Penangkal petir merupakan penunjang yang
tidak boleh dilupakan dalam rancangan bangunan laboratorium.
V.
LABORATORIUM KARANTINA
Karantina
sebagai salah satu unsur dari institusi CIQ (Custom, Immigration, Quarantine)
yang ada di airport/seaport, bertugas melakukan pemeriksaan hewan, bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan maupun benda lain yang dilalulintaskan dalam
rangka mencegah masuk hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) dari luar negeri
ke dalam wilayah Republik Indonesia (RI), mencegah menyebarnya HPHK dari satu
area ke area lain dalam wilayah RI, dan mencegah keluarnya HPHK dari dalam
wilayah RI ke luar negeri.
Penyelenggaraan
karantina dapat dipertelakan menjadi:
-pelayanan
administrasi karantina terkait dengan penerbitan sertifikasi karantina dan
pembuatan kuitansi pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan
-pelayanan
tindakan karantina yang terdiri dari 8 tindakan yaitu pemeriksaan, pengasingan,
pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
Sejatinya
pemeriksaan laboratorium termasuk ke dalam tindakan karantina pemeriksaan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2000, pasal 9, tindakan pemeriksaan terdiri dari (1) pemeriksaan dokumen; (2) pemeriksaan kesehatan atau sanitasi
secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis pada hewan atau pemeriksaan
kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan
asal hewan dan benda lain; (3)
pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika atau
teknik metode lain untuk mengukuhkan diagnose yang dilakukan pada laboratorium
yang ditunjuk.
5.1.
Sejarah Laboratorium Karantina Hewan
Pada
awal berdirinya karantina pertanian di era tahun 80-an, sepanjang pengetahuan
penulis, karantina kehewanan di seluruh Indonesia terdiri dari 5 (lima) wilayah
yaitu Balai Karantina Kehewanan (BKK) Wilayah I Medan, BKK Wilayah II Jakarta,
BKK Wilayah III Surabaya, BKK Wilayah IV Denpasar dan BKK Wilayah V
Ujungpandang. Setiap BKK Wilayah
memiliki wilayah-wilayah kerja dan setiap kali pelaksanaan tindakan karantina
hewan di wilayah kerjanya akan dilaksanakan di instalasi karantina hewan
sementara yang merupakan bangunan tidak permanen dan umumnya hanya terdiri dari
gangway dan paddock yang tidak permanen.
Hanya ada beberapa instalasi karantina hewan yang permanen dan dimiliki
oleh institusi karantina sendiri, misalnya IKH Cilacap di bawah BKK Wilayah II
Jakarta.
Selama
masa karantina dilakukan pemeriksaan laboratorium dan umumnya melakukan
pemeriksaan mikroskopis sederhana atau serologis sederhana dalam kapasitas
rapid test, misalnya Rose Bengal Test, pemeriksaan preparat ulas darah untuk
melihat adanya parasit darah. Untuk
pengujian laboratorium dengan metode uji yang lebih kompleks, sampel dikirimkan
ke laboratorium veteriner lain karena keterbatasan fasilitas dan kompetensi
SDM.
Walaupun
organisasi karantina pertanian berkembang menjadi Badan Karantina Pertanian di
era tahun 2000-an dan berubahnya BKK Wilayah ini menjadi Unit Pelaksana Teknis
Balai Karantina Hewan (BKH)/Stasiun Karantina Hewan, namun operasional
laboratorium masih belum berkembang dengan signifikan.
5.2.
Perkembangan Laboratorium Karantina Hewan
Dengan
berkembangnya organisasi Badan Karantina Pertanian, pada tahun 2006 disamping
UPT Karantina Pertanian dengan tugas fungsi pelaksanaan operasional karantina
di lapangan (tempat pemasukan maupun tempat pengeluaran media pembawa
karantina), salah satu UPT di bawah lingkup Badan Karantina Pertanian
yaitu Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian (BBUSKP), merupakan UPT dengan tugas fungsinya antara lain
pengembangan teknik dan metode laboratorium, bimbingan teknis laboratorium baik
yang terkait dengan metode uji maupun sistim manajemen mutu.
Negara
Indonesia sudah menjadi anggota WTO (World Trade Organization) dimana
perdagangan antar negara tidak lagi berbasis tariff barrier namun technical
barrier, maka lalu lintas perdagangan hewan atau produk hewan harus dipastikan
kesehatan ataupun sanitasinya secara ilmiah.
Hal ini mendorong institusi karantina untuk mengembangkan laboratorium
karantina yang akan melakukan pemeriksaan laboratorium atas sampel dari media pembawa
yang dilalulintaskan terutama untuk importasi atau eksportasi ataupun antar
area dengan status penyakit risiko tinggi.
Sejak
Tahun 2009, dengan adanya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Standar
Pelayanan Publik, Karantina sebagai institusi yang memberi pelayanan kepada
publik terkait dengan pelaksanaan tindakan karantina dan penerbit Sertifikat
Kesehatan atau Sertifikat Sanitasi harus juga mentaati dan menerapkan Standard
Pelayanan Publik. Penerbitan Sertifikat
Kesehatan Hewan atau Sertifikat Sanitasi produk hewan oleh institusi Karantina
didasarkan atas profesionalisme Dokter Hewan dan sertifikat hasil uji
laboratorium yang dikeluarkan oleh laboratorium yang diakui validitas hasil
ujinya/yang terakreditasi. Pelayanan
pemeriksaan laboratorium atas sampel uji terkait janji waktu layanan kepada
publik (dalam hal ini pengguna jasa karantina).
Berdasarkan
atas Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 384a Tahun 2007, sudah
dibuat dan ditetapkan klasifikasi laboratorium karantina hewan berdasarkan atas
frekuensi dan volume kegiatan operasional, jenis media pembawa HPHK yang
dilalulintaskan, status HPHK di Negara asal/daerah asal, letak geografis UPT
terkait dengan lalulintas internasional yang ditangani, letak UPT di daerah
terpencil, atau jarak UPT dengan laboratorium veteriner terdekat dan ruang
lingkup akreditasi laboratorium veteriner tersebut, tingkat risiko dari letak
geografis UPT, volume kegiatan pengujian laboratorium UPT, kontinuitas ancaman
risiko yang dihadapi UPT.
Sejalan
dengan perkembangan posisi laboratorium dimana hasil ujinya menjadi penentu
peneguhan diagnosa disamping hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik (klinis
atau organoleptik), maka Badan Karantina Pertanian berupaya untuk mendorong UPT
lingkup di bawahnya memberdayakan laboratoriumnya dengan meminta agar
laboratorium dioperasionalkan secara maksimal sesuai dengan standard nasional
maupun internasional. Badan Karantina
Pertanian juga berupaya memfasilitasi kegiatan laboratorium karantina dengan
penyediaan prasarana dan sarana laboratorium yang terarah sesuai dengan
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 369a Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengembangan Sarana Prasarana Laboratorium Lingkup Badan Karantina
Pertanian.
VI.
SERTIFIKASI LABORATORIUM KARANTINA
Dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat atas kesehatan hewan maupun sanitasi
produk hewan dan juga adanya tuntutan atas penerapan perjanjian
Sanitary and Phytosanitry (SPS Agreement) diantara anggota Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), maka Badan Karantina Pertanianpun mendorong
laboratorium karantina berperan aktif dalam pelayanan operasional
karantina. Agar hasil uji laboratorium
valid dan mampu telusur, Badan Karantina Pertanian mewajibkan laboratorium
karantina untuk mengajukan akreditasi sesuai dengan persyaratan yang ada dalam
SNI ISO/IEC 17025:2008, selain SNI ISO 9001:2008.
Terkait
dengan media pembawa yang ditangani karantina, dimana semua media pembawa harus
dianggap sebagai media pembawa infeksius terutama apabila media pembawa berasal
dari Negara/daerah dengan status penyakit berisiko tinggi, maka prinsip
biosafety dan biosekuriti harus diterapkan dengan benar sesuai panduan
Laboratory Biosafety Manual edisi ke-3 yang diterbitkan oleh WHO selain
SOP/dokumen mutu yang berlaku di laboratorium masing-masing sesuai persyaratan
yang ada dalam SNI ISO/IEC 17025:2008.
Fasilitas
prasarana dan sarana biokontenmen laboratorium juga harus disesuaikan dengan:
-mikroorganisme
yang ditangani
-klasifikasi
laboratorium yang telah ditetapkan
-persyaratan
yang ada pada Panduan Biosafety dan Biosekuriti Laboratorium yang diterbitkan
WHO, Health Canada terutama yang terkait dengan Facility and Design of
Laboratory
Sebagaimana
telah disebutkan dalam manajemen biorisiko bahwa tim manajemen laboratorium
tidak hanya bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas prasarana dan sarana
namun juga terhadap program berkelanjutan:
-pemeliharaan
fasilitas kondisi bangunan, peralatan
-pemeliharaan
kompetensi personel
-pemenuhan
akreditasi dan akreditasi ulang serta pemeliharaan akreditasi
-pemeliharaan
program kesehatan personel
-pemeliharaan
program penanganan kejadian darurat di laboratorium
Biasanya
tim manajemen laboratorium hanya bertanggung jawab di awal kegiatan operasional
pada penyediaan fasilitas prasarana dan sarana laboratorium untuk mendapatkan
pengakuan akreditasi. Kegiatan yang
sifatnya berkelanjutan kurang diperhatikan karena berbagai alasan terutama
karena kurangnya anggaran yang tersedia.
Terkait dengan pemenuhan tanggungjawab berkelanjutan dari tim manajemen
dan personel yang bekerja di laboratorium atas kesesuaian dengan standard,
pedoman, SOP, dokumen mutu yang menjadi acuan, maka diperlukan adanya pemenuhan
persyaratan dari standard manajemen biorisiko laboratorium, dalam hal ini sesuai
dengan CWA 15793:2008.
Sertifikasi
laboratorium atas kesesuaian dengan persyaratan CWA 15793:2008 tidak
memperhatikan besar kecilnya suatu laboratorium namun utamanya adalah risiko
yang diterima dalam menangani mikroorganisme pathogen sebagaimana yang ditangani
oleh semua laboratorium karantina hewan.
Mengingat
risiko bahaya dari sampel yang ditangani laboratorium karantina hewan, terutama
di pintu masuk importasi ataupun antar area yang menangani media pembawa yang
berasal dari area endemi penyakit hewan karantina tertentu ke dalam area bebas,
dan dengan tujuan institusi karantina pertanian memberikan jaminan kesehatan
serta sanitasi dari media pembawa yang dilalulintaskan serta turut menjaga
kesehatan populasi hewan, manusia dan lingkungan dalam wilayah RI maka
laboratorium karantina sebagai bagian pelaksanaan tindakan karantina yang
memberikan justifikasi ilmiah atas penentuan diagnose wajib menerapkan standard
terkait prosedur serta manajemen laboratorium baik bersifat nasional maupun
internasional.
VII.
PENUTUP
Terkait
dengan program sertifikasi laboratorium yang dipandu oleh IFBA, sampai dengan
saat ini, masih dilakukan oleh konsultan manajemen biorisiko laboratorium yang
ada di luar Negara Indonesia. Sedangkan Badan Standardisasi Nasional sebagai
badan nasional yang menetapkan semua standar di Indonesia belum menetapkan
standar terkait dengan fasilitas prasarana dan sarana laboratorium atau
mengadop standar internasional yang ada karena masih harus ada banyak kajian
yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu teknis terkait. Selain itu, BSN ada baiknya bekerja sama
dengan Asosiasi Biorisiko Indonesia yang memiliki kumpulan personel yang
profesional di berbagai bidang teknis misalnya arsitek, insinyur sipil
bangunan, insinyur elektronik, teknikal biosafety cabinet dll. Tenaga profesional ini selain memiliki
kompetensi di bidangnya juga memiliki pengetahuan dan kompetensi dalam
constructing dan designing laboratorium yang memenuhi prinsip biosafety dan biosekuriti. Para tenaga profesional ini amat diperlukan
untuk menjadi tim asesor yang akan menilai semua kondisi fasilitas laboratorium
terutama laboratorium yang menangani mikroorganisme pathogen dalam pekerjaannya
seperti laboratorium karantina hewan.
Walaupun
standard nasional sertifikasi laboratorium ini masih belum terlihat, namun
mengingat pentingnya penerapan sertifikasi laboratorium di semua laboratorium
karantina hewan sebagai pemberi justifikasi ilmiah dengan jaminan validitas
pada outputnya, maka perlu ada langkah-langkah dari Badan Karantina Pertanian
yang menginisiasi ke arah sertifikasi laboratorium karantina utamanya karantina
hewan antara lain:
1. Menerapkan
Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 369a /Kpts /OT.160 /L.1.03 /2014
tanggal 28 Maret 2014 tentang Pedoman Pengembangan Sarana Prasarana
Laboratorium Lingkup Badan karantina Pertanian terhadap semua rencana
pembangunan baru ataupun renovasi laboratorium karantina sesuai dengan tujuan
kegiatan laboratorium yang akan dilakukan.
2. Menerapkan
klasifikasi laboratorium karantina hewan lingkup Badan Karantina Pertanian
berdasarkan analisa atas data frekuensi dan volume lalulintas media pembawa,
frekuensi dan volume kegiatan pengujian, mikroorganisme pathogen yang
ditangani, letak geografis, jarak dengan laboratorium veteriner terakreditasi
dll.
3. Menyiapkan
panduan/SOP sistim manajemen mutu laboratorium karantina hewan lingkup Badan
Karantina Pertanian.
4. Mewajibkan
akreditasi dan sertifikasi laboratorium dalam kaitannya dengan penerapan sistim
manajemen mutu SNI ISO/IEC 17025:2008, CWA 15793:2008.
5. Menyiapkan
anggaran setiap tahunnya untuk:
-Ketersediaan
prasarana dan sarana yang dibutuhkan laboratorium sesuai metode uji yang
dilakukan, misalnya ruang utama pengujian, ruang penunjang (ruang penerima
sampel, ruang alat, ruang bahan dll), alat laboratorium utama pengujian (ELISA,
PCR dll), alat penunjang (auto clave, vortex, water bath dll),.
-Ketersediaan
bahan uji: utama (kit, reagen, primer, media pertumbuhan umum dan selektif,
kolom dll), penunjang (buffer, pelarut dll)
-Pemeliharaan
prasarana dan sarana laboratorium (bangunan, peralatan perkantoran, peralatan
laboratorium dll)
-Kegiatan
penerapan dan pemeliharaan sistim manajemen mutu SNI ISO/IEC 17025:2008, CWA
15793:2008
6. Melakukan
evaluasi setiap tahun atas pelaksanaan sistim manajemen mutu dan operasional
manajemen biorisiko laboratorium karantina.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
3. Keputusan
Kepala Badan Karantina Pertanian No. 384a/kpts/PD.670.030/L/10/2007 tentang
Pedoman Penetapan dan Pengelolaan Laboratorium Karantina Hewan.
4. Keputusan
Kepala Badan Karantina Pertanian No. 3694a/Kpts/OT.160/L.1/03/2014 tentang
Pedoman Pengembangan Sarana Prasarana Laboratorium Lingkup Badan Karantina
Pertanian.
5. WHO. 2004.
Laboratory Biosafety Manual.
Third Edition.
6. Standar
Nasional Indonesia. 2008. SNI ISO/IEC
17025:2008. Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium
Kalibrasi.
7. CEN
Workshop Agreement. 2008. CWA 15793:2008. Laboratory Biorisk Management
Standard.
8. Prof.
Dr. Drh. Singgih H. Sigit. 2003. Sejarah
Singkat Pendidikan Kedokteran Hewan di Indonesia. Presentasi pada peringatan
“Seabad Kedokteran Hwan Indonesia”. http://upikke.staff.ipb.ac.id
9. Cecelia
V. Williams., PhD.Introduction to the CEN Standard for Laboratory Biorisk
Management. International Biological Threat Reduction Global Security Programs.
Sandia National Laboratories-USA. 2010, September 28th.
10. International
Federation of Biosafety Association. IFBA Certification Program. Ensuring
Quality Biorisk Management through Certification of Professionals. 2012, November.
www.internationalbiosafety.org
11. OIE.
Chapter 1.1.3a. Standard for Managing Biorisk in the Veterinary Laboratory and
Animal Facilities. OIE Terrestrial
Manual. 2014
12. Dr.
drh. RM Abdul Adjid. Peran BBalitvet dalam Mendukung Uji Coba dan Uji Terap
Teknik Metode Karantina Hewan.
Presentasi pada pertemuan NAQCC. 2012, Maret, 9-11th.
13. OIE.
Chapter 7.2. Transport of Animals by Sea.
Terrestrial Animal Health Code. 2010
14. Rieka
Syukri, Ir. Layakkah Lab Anda. Kilas Kondisi Fisik Laboratorium. Presentasi
pada Workshop Pengembangan Laboratorium Lingkup Badan Karantina Pertanian.
2012, Oktober, 30th.
15. Eijkman
Institute. Laboratory Risk Assessment. Bahan ajar Biosafety Principles &
Practices. Technical Cooperation (EIMB, TLL & TF). Capacity and Capability
Building in Laboratory Biorisk Management. 2012. 25-28September.
16. Dr.
TM Chua. Biocontaiinment Facility Design Considerations-Design and Operation
Considerations for Sustainability. Bahan ajar Biosafety Principles &
Practices. Technical Cooperation (Eijkman Institute for Molecular Biology,
Temasek Lifesciences Laboratory & TF). Capacity and Capability Building in
Laboratory Biorisk Management. 2012. 25-28 September.
***
Catatan:
Karya
Tulis Ilmiah ini telah diarsipkan di
Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan nomor
katalog: 602.01.0010.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Sri Yusnowati. Medik
Veteriner Madya, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati
Hewani, Badan Karantina Pertanian.
******