PERAN KARANTINA TERKAIT “ANIMAL WELFARE” (KESEJAHTERAAN HEWAN) DI INDONESIA

Karantina Hewan sebagai penyelenggara perkarantinaan hewan wajib untuk memperhatikan kesejahteraan hewan sebagai tanggung jawab profesi dan pengemban amanat peraturan. Berikut adalah Karya Tulis Ilmiah yang ditulis oleh drh. Sri Yusnowati. Medik Veteriner Madya, Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani.


******


PERAN KARANTINA TERKAIT “ANIMAL WELFARE”
(KESEJAHTERAAN HEWAN) DI INDONESIA

oleh
Sri Yusnowati

ABSTRAK
Issu kesejahteraan hewan di Indonesia memang masih belum keras terdengar, terutama sanksi yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran kesejahteraan hewan ini belum ada karena belum adanya peraturan ataupun standard di Indonesia terkait dengan kesejahteraan hewan.  Padahal Indonesia sebagai negara agraris yang juga mencakup daerah peternakan lokal amat memerlukan masalah kesejahteraan hewan ini dimana kita harus faham dan menerapkannya.  Pemeliharaan atau pengelolaan hewan/ternak yang tidak mengikuti prinsip kesejahteraan hewan akan mengakibatkan mudahnya hewan terkena stress dan penyakit yang akan mengakibatkan produksi hewan akan berkurang / menurun. Kesejahteraan hewan terkait status fisik, mental dan perilaku alami hewan, dimana dari kombinasi dua atau tiga hal tersebut diperoleh 5 (lima) kebebasan bagi hewan yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, rasa ketidaknyamanan, rasa sakit atau terluka dan terkena penyakit, rasa takut dan stress dan terakhir adalah bebas mengekspresikan perilaku normal yang alami. Masalah kesejahteraan hewan tidak hanya menjadi perhatian pada waktu pemeliharaan/pengelolaan hewan/ternak, tapi juga harus menjadi perhatian pada waktu ditransportasikan. Karantina Hewan sebagai penyelenggara perkarantinaan hewan menjadi wajib untuk juga memperhatikan masalah kesejahteraan hewan sebagai tanggung jawab profesi dan pengemban amanat dari peraturan perkarantinaan hewan terutama pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 pasal 55 ayat 1.

Kata kunci: Animal welfare media pembawa

******

I. PENDAHULUAN

Issu kesejahteraan hewan di Indonesia memang masih belum keras terdengar, terutama sanksi yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran kesejahteraan hewan ini belum ada karena belum adanya peraturan ataupun standard di Indonesia terkait dengan kesejahteraan hewan.  Walaupun baru-baru ini, Indonesia mendapat kecaman dari berbagai negara “maju” yang telah menerapkan kesejahteraan hewan terkait dengan penanganan hewan yang akan dipotong di rumah potong hewan yang dianggap tidak memenuhi azas perikehewanan. 

Pada beberapa tahun ke belakang, dimana issu kesejahteraan hewan di Indonesia belum terlalu diperhatikan dan di negara-negara di dunia belum gencar diterapkan, Indonesia masih ber”jaya” sebagai salah satu negara pemasok kera ekor panjang (Macacca fascicularis) ke berbagai negara “maju” seperti Amerika Serikat, Jepang, yang diperuntukkan sebagai hewan laboratorium; atau satwa liar yang dijadikan hewan konsumsi misalnya ular kobra, biawak, kadal dll yang sebagian besar dikirim ke Cina terutama pada musim dingin di negara Cina.  Namun dengan gencarnya penerapan issu kesejahteraan hewan oleh lembaga masyarakat di negara “maju”, menyebabkan pengetatan penggunaan hewan sebagai hewan laboratorium bagi perusahaan kosmetik, obat-obatan dsb yang mengakibatkan dikenakannya penolakan kiriman hewan dari Indonesia.

Karantina sebagai institusi yang mengawasi lalu lintas hewan di pintu pemasukan/pengeluaran menjadi wajib untuk mengetahui, memperhatikan dan turut serta mengawasi penerapan kesejahteraan hewan ini atas semua hewan yang di lalu lintaskan yang dalam hal ini terkait erat dengan kelayakan alat angkut sebagaimana amanat pada pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000.

II. PENGENALAN KESEJAHTERAAN HEWAN (ANIMAL WELFARE)

Ada tiga hal terkait definisi tentang kesejahteraan hewan (Animal Welfare) yaitu status fisik (kebugaran), status mental (rasa) dan alamiah.  Menurut Fraser & Broom, 1990, kesejahteraan didefinisikan mengenai keadaan hewan dalam upaya mengatasi lingkungannya.  Sedangkan  menurut Mc Glone, 1993, hewan yang dalam kondisi kurang sejahtera akan terganggu sistim fisiologisnya hingga dapat mengganggu kelangsungan hidup atau mengganggu sistim reproduksinya.  Terkait dengan status mental, Duncan, 1993, menyatakan bahwa hewan dalam kondisi sejahtera berarti hewan dalam kondisi sehat, atau kurangnya stress ataupun kebugaran.  Jadi kesejahteraan terkait status mental tergantung pada apa yang dirasakan hewan.  Untuk status alamiah, Rollin, 1993, menyatakan bahwa kesejahteraan itu tidak hanya berarti mengendalikan rasa sakit dan penderitaan, namun juga berarti memelihara dan memenuhi sifat hewan. 

Dari kombinasi dua atau tiga aspek di atas diperoleh lima kebebasan yaitu
-bebas dari  rasa lapar dan haus (Freedom of Hunger and Thirst)
-bebas dari ketidak nyamanan (Freedom from discomfort)
-bebas dari rasa sakit, terluka dan terkena penyakit (Freedom from Pain, Injury and Diseases)
-bebas memengekspresikan perilaku normal (Freedom to express normal behaviour)
-bebas dari rasa takut dan stress (Freedom from Fear and Distress)

Semua mahluk hidup memiliki kebutuhan untuk fisik, mental maupun kebutuhan alamiah dalam kehidupannya.  Kebutuhan menurut Broom & Johnson (1993), merupakan suatu persyaratan mendasar dalam biologi hewan, untuk mendapatkan sumber tertentu atau reaksi terhadap kondisi lingkungan tertentu atau rangsangan pada jasmani.  Jika suatu kebutuhan tidak dipenuhi maka akan ada pengaruh terhadap fisik atau perilaku misalnya pengaruh fisik dapat berkaitan dengan ketidakberadaannya sumber tertentu dikarenakan tidak adanya perawatan oleh manusia.  Jenis kebutuhan yang berbeda memiliki perbedaan tingkat kepentingan pada hewan.  Beberapa jenis kebutuhan mungkin lebih penting dibandingkan jenis kebutuhan lainnya misalnya kebutuhan akan makanan dan air minum merupakan kebutuhan dasar yang penting dibandingkan kebutuhan akan area untuk berbaring dengan nyaman. (Hurnik & Lehman, 1985).  Dapat teramati apabila kekurangan makanan dan air minum akan menyebabkan timbulnya masalah fisiologik yang jelas terlihat dengan adanya kondisi dehidrasi dalam jangka waktu tertentu.

Konsep materi kebutuhan ini menjadi bahan pokok yang digunakan dalam penyusunan peraturan, misalnya Konvensi negara-negara Eropa tentang Perlindungan Hewan yang dipelihara sebagai hewan ternak (1976).  Peraturan yang disusun akan membuktikan apakah seseorang melakukan pelanggaran atas peraturan dengan menelusuri kejadian pemenuhan kebutuhan dikaitkan dengan ketentuan peternakan dan pengaruh fisiologik serta perilaku tertentu pada hewan.

Kesejahteraan hewan terkait dengan kualitas hidup dari hewan sedangkan  kematian hewan terkait dengan jumlah hewan yang tidak hidup yang termasuk sebagai hak hidup hewan yang sudah tidak ada.  Manusia, umumnya, ingin menghindari miskinnya kesejahteraan pada hewan yang dapat menyebabkan kematian sejumlah hewan.  Namun ada masalah kematian yang terkait dengan masalah kesejahteraan hewan yaitu jika ditelusuri sebab kematiannya.  Misalnya tata cara pemotongan hewan yang produknya akan menjadi konsumsi manusia sehingga menjelang kematian hewan menimbulkan rasa sakit atau stress pada hewan.  Atau hewan yang dibiakkan di peternakan dengan kondisi yang menyebabkan hewan menderita dan berpotensi menyebabkan kematian.  Hal ini dapat terlihat dari indikator laju kematian yang tinggi.

Konsep kesejahteraan hewan dari Masyarakat Perlindungan Hewan Sedunia (WSPA: World Society for the Protection of Animals) merancang suatu cara pembelajaran kesejahteraan hewan kepada mahasiswa bidang Veteriner.

Jika akan dilakukan penilaian terpenuhinya lima kebutuhan dasar hewan, mungkin akan lebih mudah dengan menganalogikannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.  Karena manusia secara biologis mirip dengan hewan sehingga kebutuhan dasarnyapun mirip dengan hewan.  Walau demikian setiap jenis hewan yang berbeda akan berbeda pula kebutuhan perilakunya dan kebutuhan perlakuannya.

Aspek kesejahteraan hewan yaitu lima kebebasan dapat dipengaruhi oleh penyakit.  Misalnya jika hewan terkena penyakit abses pada kulit yang bersifat kronis, maka akan membuat hilangnya kebebasan untuk merasakan kenyamanan, karena abses menimbulkan rasa sakit sehingga hewan tidak dapat lagi berbaring dengan nyaman.  Hewan yang sedang sakit seringkali akan merasa takut terhadap hewan lain sebagaimana rasa takut hewan yang lebih rentan terhadap predator.  Jadi penting untuk mengenali mengenai pencegahan penyakit dan perlakuan/pengobatan.

Penyakit seringkali erat kaitannya dengan rasa sakit, dan rasa sakit ini dapat terasa lebih lama daripada gejala klinis yang muncul.

Penyakit juga erat kaitannya dengan kesejahteraan hewan.  Penyakit hewan dapat mempengaruhi ke-5 aspek kesejahteraan hewan yang dapat menyebabkan minimnya kesejahteraan hewan atau sebaliknya minimnya kesejahteraan hewan dapat disebabkan oleh adanya penyakit.

Oleh karena itu petugas karantina hewan menjadi wajib mengetahui dan faham hubungan antara kesejahteraan hewan dengan penyakit serta manajemen pengelolaan hewan terkait penanganan hewan baik terhadap hewan domestikasi ataupun hewan liar pada pelaksanaan tindakan karantina termasuk penanganan hewan pada waktu ditransportasikan.  Dalam masa karantina, penanganan terhadap hewan yang sudah didomestikasi akan berbeda dengan hewan liar, walaupun 5 (lima) aspek kebutuhan kesejahteraannya sama.

Kesejahteraan hewan selama transport juga penting untuk diperhatikan karena banyak hilangnya nilai produksi disebabkan oleh adanya kematian dan dehidrasi, dan menurunnya kualitas daging disebabkan karena jeleknya kondisi transportasi atau lamanya perjalanan hewan pada waktu ditransportasikan, padahal beberapa kondisi transportasi dan perjalanan yang panjang berkaitan erat dengan kesejahteraan hewan.  Sebagai dokter hewan (dan petugas yang menangani hewan), hal pertama yang perlu diupayakan adalah melindungi kesejahteraan dari hewan selama dalam perawatan atau penanganan kita.  Masalah kesejahteraan yang utama bagi hewan selama transportasi adalah cedera; kelelahan yang timbul pada waktu bongkar atau muat; waktu yang panjang dalam perjalanan; stress akibat kepanasan atau kedinginan; cedera yang timbul akibat permukaan sisi bagian dalam alat angkut atau angkutan yang tajam dan menonjol; lantai yang licin; tidak dilakukannya pemisahan hewan dalam kompartemen; pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan kasar; kelaparan, dehidrasi dan kehausan selama perjalanan; kepadatan populasi yang melebihi kapasitas alat angkut; kondisi mabuk. 

OIE sebagai badan dunia yang menangani masalah kesehatan hewan, juga menetapkan standar, pedoman dan rekomendasi khusus terkait Perjanjian SPS yang menjadi rujukan dalam perdagangan internasional hewan dan produk hewan.  Negara anggota OIE bertanggung jawab untuk membuat dan mengadopsi standard internasional yang sudah ditetapkan OIE dan diminta berpartisipasi aktif dalam melaksanakan standard.

Sejak tahun 2000, issue kesejahteraan hewan diketahui sebagai prioritas strategis yang dibahas dalam rencana strategis OIE ketiga tahun 2001-2005.  Kemudian pada tahun 2002, issue kesejahteraan hewan dimasukkan ke dalam bahasan kelompok kerja dari permanen dari Majelis Umum Delegasi Nasional atas suatu resolusi dan dilanjutkan adopsi issue kesrawan ini pada prinsip umum OIE pada tahun 2003.  Akhirnya pada tahun 2004, di Paris diselenggarakan konferensi global pertama mengenai Kesejahteraan Hewan.  Dan pada tahun 2005 diadopsi standard Kesrawan yang pertama mengenai:
-transportasi hewan melalui daratan
-transportasi hewan melalui perairan laut
-transportasi hewan melalui udara
-pemotongan hewan untuk konsumsi manusia
-mematikan hewan untuk tujuan pengendalian penyakit

Pada tahun 2009 diadopsi standard kesrawan baru mengenai:
-pengendalian populasi anjing liar
-kesejahteraan ikan budidaya yang ditransportasikan
-Terakhir pada tahun 2010 diadopsi lagi standard kesrawan yang baru mengenai:
-aspek kesejahteraan dari ikan budidaya yang dimatikan dan di”pingsankan” untuk konsumsi manusia
-penggunaan hewan untuk penelitian dan pendidikan

III. PENGAWASAN LALU LINTAS HEWAN

Sesuai dengan Undang-undang No. 16 Tahun 1992 pasal 6 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 pasal 2, 3 dan 4 menyatakan bahwa media pembawa yang akan dimasukkan ke dalam wilayah RI; dibawa  atau dikirim dari satu area ke area lain dalam wilayah RI dan atau yang akan dikeluarkan dari wilayah RI wajib memenuhi persyaratan karantina, yaitu
a. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran atau tempat transit atau dari pejabat berwenang di negara asal atau negara transit;
dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asal untuk media pembawa benda lain;

b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan

c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.

Menurut Permentan No.44 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No. 94 Tahun 2011 tentang Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan, dimana hanya terjadi perubahan Lampiran mengenai Tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa HPHK dan OPTK.  Dalam Lampiran Permentan No. 44 Tahun 2014, ditetapkan 3 kelompok tempat pemasukan dan atau pengeluaran:

1. Tempat Pemasukan Media Pembawa HPHK dan OPTK ke dalam wilayah Negara RI:
A. Bandar Udara:
29 bandara yang ada di 29 lokasi dan berada dalam 25 UPT Karantina Pertanian.

B. Pelabuhan Laut/pelabuhan sungai:
87 pelabuhan yang ada di 68 lokasi dan berada dalam 43 UPT Karantina Pertanian.

C. Pos Pemeriksaan Lintas Batas:
13 pos pemeriksaan lintas batas yang ada di 11 lokasi dan berada dalam 4 UPT Karantina Pertanian.

D. Kantor Pos:
32 kantor pos yang ada di 32 lokasi dan berada dalam 29 UPT Karantina Pertanian.

E. Dry Port:
2 pelabuhan kering (dry port) yang ada di 2 lokasi dan berada dalam 2 UPT Karantina Pertanian.

2. Tempat Pengeluaran Media Pembawa HPHK dan OPTK dari dalam wilayah Negara RI:
A. Bandar Udara:
44 bandara yang ada di 44 lokasi dan berada dalam 37 UPT Karantina Pertanian.

B. Pelabuhan Laut/pelabuhan sungai:
134 pelabuhan yang ada di 106 lokasi dan berada dalam 44 UPT Karantina Pertanian.

C. Pos Pemeriksaan Lintas Batas:
13 pos pemeriksaan lintas batas yang ada di 11 lokasi dan berada dalam 4 UPT Karantina Pertanian.

D. Kantor Pos:
34 kantor pos yang ada di 34 lokasi dan berada dalam 30 UPT Karantina Pertanian.

E. Dry Port:
2 pelabuhan kering (dry port) yang ada di 2 lokasi dan berada dalam 2 UPT Karantina Pertanian.
3. Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa HPHK dan OPTK di dalam wilayah Negara RI (antar area):
A. Bandar Udara:
89 bandara yang ada di 89 lokasi dan berada dalam 47 UPT Karantina Pertanian.

B. Pelabuhan Laut/pelabuhan sungai/Pelabuhan penyeberangan:
248 pelabuhan yang ada di 192 lokasi dan berada dalam 47 UPT Karantina Pertanian.

C. Kantor Pos:
56 kantor pos yang ada di 56 lokasi dan berada dalam 42 UPT Karantina Pertanian.

D. Dry Port:
1 pelabuhan kering (dry port) yang ada di 1 lokasi dan berada dalam 1 UPT Karantina Pertanian.

Badan Karantina sudah berupaya menempatkan petugas karantina di setiap tempat pemasukan dan atau pengeluaran yang telah ditetapkan atau setiap petugas karantina bertanggung jawab atas beberapa tempat pemasukan/pengeluaran yang ditetapkan, dan bertugas melakukan pengawasan lalu lintas media pembawa HPHK yang dibawa pemilik atau kuasanya dan dilalulintaskan melalui tempat pemasukan/pengeluaran.

Pejabat fungsional yang ditetapkan Menteri Pertanian untuk melakukan kegiatan tindakan karantina di tempat pemasukan/tempat pengeluaran adalah Dokter Hewan Karantina dan Paramedik Karantina, dimana nomenklatur dari jabatan fungsional karantina hewannya adalah Medik Veteriner dan Paramedik Veteriner.  Menurut data dari Bagian Kepegawaian Badan Karantina Pertanian tahun 2013, jumlah pejabat fungsional Medik Veteriner 356 orang,  Paramedik Veteriner 623 orang.  Jabatan Fungsional Medik Veteriner terbagi menjadi 4 jenjang jabatan yaitu MV Pertama, MV Muda, MV Madya dan MV Utama.  Sedangkan jabatan fungsional Paramedik Veteriner terbagi menjadi 4 jenjang jabatan juga yaitu PV Pemula, PV Pelaksana, PV Pelaksana Lanjutan dan PV Penyelia.  Semua pejabat fungsional MV dan PV tersebar di 52 Unit Pelaksana Teknis lingkup Badan Karantina Pertanian,

Institusi Karantina sebagai salah satu unsur CIQ (Custom, Imigration, Quarantine).  CIQ ini merupakan elemen penting yang harus ada di setiap tempat pemasukan dan pengeluaran (terutama di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran internasional), baik di pelabuhan, bandar udara maupun tempat lintas batas dimana salah satu kegiatan tindakan karantina yang dilakukan adalah pengawasan lalu lintas media pembawa (hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan), benda lain dan media pembawa lain. 

Mengacu pada definisi dari Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000, yang dimaksud dengan hewan adalah semua binatang yang hidup di darat baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.  Sedangkan Bahan Asal Hewan adalah bahan yang berasal dari hewan misalnya darah, jaringan, daging, susu, telur, kulit, tanduk dll.   Yang termasuk dalam Hasil Bahan Asal Hewan yaitu bahan asal hewan yang telah diolah misalnya yogurt, keju, baso, sosis, tepung tulang, dll.  Dan yang dimaksud dengan Benda Lain adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang berpotensi menyebarkan HPHK, misalnya bahan biologik, bahan patogenik, vaksin dll.

Berdasarkan atas Laporan Tahunan Badan Karantina Pertanian T.A. 2013, dari sertifikasi media pembawa hewan, dan produk hewan yang diterbitkan UPT Karantina Pertanian sepanjang tahun 2012 diperoleh data bahwa frekuensi untuk kegiatan importasi: 35.773 kali, eksportasi: 17.965 kali, domestik masuk: 117.963 kali dan 241.579 kali untuk domestik keluar.
Berdasarkan data dari E-Qvet dalam Laporan Tahunan Barantan TA 2013, media pembawa hewan hidup yang diimportasi ke Indonesia selama tahun 2013 cukup tinggi frekuensinya dengan jenis yang beragam yaitu sapi (frek: 308; Vol: 452.659 ekor), anjing (frek: 600; Vol: 38.560 ekor), unggas (frek: 922; Vol: 3.534.752 ekor) dan reptil (frek: 192; Vol: 106.200 ekor) dari berbagai negara yang dibolehkan untuk masuk dan pintu utama importasi terbesar adalah Soekarno-Hatta.  Sedangkan untuk media pembawa produk hewan dan benda lain, frekuensi dan volume yang besar adalah daging sapi (frek: 3.972; Vol: 59.509.000 kg), daging kambing (frek: 196; Vol: 7.411.316 kg) dan jerohan (frek: 134; Vol: 1.531.047 kg), kulit sapi (frek: 220; Vol: 77.038 lembar, 357.338 kg, 94.875 pcs, 140 sft), bulu unggas (frek: 189; Vol: 1.187.512 kg, 47.186 pcs, 23 rol, 870 sft), MBM (Meat Bone Meal) (frek: 1.335; Vol: 367.994.479 kg), PMM (Poultry Meat Meal) (frek: 339; Vol: 134.986.044 kg) melalui pintu pemasukan di bawah Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP Belawan, BBKP Tj Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya, BBKP Makassar), namun ada juga yang melalui BKP Kelas I Lampung dan BKP Kelas I Semarang.

Walaupun sudah diupayakan untuk mengawasi lalulintas media pembawa yang dilalulintaskan melalui tempat pemasukan/pengeluaran, namun masih banyak lalu lintas alat angkut dan media pembawa yang tidak terawasi karena berbagai faktor misalnya masih banyak sekali tempat pemasukan/pengeluaran yang belum ditetapkan terutama pelabuhan kapal rakyat dan titik sandar dari perahu nelayan yang dapat dilakukan di sepanjang garis pantai ataupun tepi sungai yang tersebar di seluruh Indonesia; jumlah SDM yang tidak mencukupi untuk ditempatkan di semua titik tempat pemasukan/pengeluaran yang berjumlah 784 titik; jarak titik tempat pemasukan/pengeluaran yang kebanyakan berjarak sangat berjauhan (bahkan dapat disebutkan terpencil) agak sulit ditangani oleh seorang MV atau PV yang diserahi tanggung jawab atas beberapa titik tempat pemasukan/pengeluaran.

IV. PERAN KARANTINA DALAM PENGAWASAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Pada PP No. 82 Tahun 2000 pasal 7 ada disebutkan bahwa selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, 3 dan 4, dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis dan atau manajemen penyakit berdasarkan disiplin ilmu kedokteran hewan yang akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri seperti data surveilan di negara/daerah asal, pemeriksaan kausa penyakit, data vaksinasi, pengobatan dll. 

Institusi Karantina (dalam hal ini Karantina Hewan) berdasarkan Undang-undang No. 16 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 merupakan institusi yang diberikan tugas menyelenggarakan perkarantinaan hewan di Indonesia.  Untuk itu dalam melaksanakan tugasnya, Karantina perlu disertai dengan perangkat baik perangkat lunak maupun perangkat keras.  Perangkat lunak selain sistem pengawasan lalulintas media pembawa (E-QVet), peraturan terkait perkarantinaan, juga mencakup kompetensi petugas karantinanya (pengetahuan, ketrampilan).  Sedangkan perangkat keras mencakup sarana prasarana untuk melaksanakan tindakan karantina, pengawasan lalulintas media pembawa, termasuk sarana prasarana komunikasi terkait dengan pencarian, penyimpanan dan pengelolaan informasi dan data yang diperlukan sebagai bahan on desk review dalam menyusun persyaratan teknis terutama terkait importasi hewan. Hal ini amat diperlukan dalam kaitannya dengan fungsi pencegahan masuknya HPHK dari luar negeri ke dalam wilayah RI.

Dan di dalam PP No. 82 Tahun 2000 pasal 52, 53, 54 dan 55, ada ketentuan mengenai tindakan karantina terhadap alat angkut dimana pada pasal 55 ayat 1 disebutkan bahwa untuk mencegah kemungkinan terjadinya rudapaksa, stress dan terganggunya kesejahteraan hewan, Sebagai akibat pengangkutan diperlukan persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media pembawa.  Untuk itu, pada ayat 2 disebutkan bahwa petugas karantina wajib melakukan pemeriksaan kelayakan alat angkut dan kemasan media pembawa sesuai persyaratan teknis yang ditentukan.

Yang dimaksud dengan alat angkut dalam PP No. 82 Tahun 2000 adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut dan langsung berhubungan dengan media pembawa (kapal/pesawat/truk hewan, kandang/box pengangkut hewan dll).  Sedangkan kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus media pembawa baik yang bersentuhan langsung maupun tidak (kotak kardus, pallet dll).

Memang sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang mengatur tentang persyaratan teknis terkait dengan kelayakan alat angkut dan kemasan media pembawa.  Namun karena sudah diamanatkan dalam peraturan karantina, maka sudah menjadi tanggung jawab petugas karantina untuk melakukan pemeriksaan kelayakan alat angkut dan kemasan sebelum dilakukan pengangkutan hewan baik dari alat angkut ke instalasi karantina hewan untuk dikenakan tindakan karantina atau sebelum hewan dinaikkan ke dalam alat angkut untuk dikeluarkan (antar area atau eksportasi).

Dalam penyelenggaraan perkarantinaan hewan, masalah kesejahteraan hewan tidak saja terkait dengan pemeriksaan kelayakan alat angkut dan kemasan namun juga menyangkut pemeriksaan kelayakan instalasi karantina hewan (milik perorangan atau badan hukum) yang akan dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina. 

A. Persyaratan Instalasi Karantina
Peraturan karantina terkait dengan pemeriksaan kelayakan baru ada Permentan No. 34 Tahun 2006 mengenai persyaratan dan tata cara penetapan instalasi karantina hewan, sedangkan pemeriksaan kelayakan terkait dengan alat angkut dan kemasan sedang dalam proses penyusunan oleh Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani.
Pemeriksaan kelayakan instalasi harus sesuai dengan persyaratan instalasi karantina sebagaimana tertera dalam Permentan No. 34 Tahun 2006 Bab II pasal 5 s/d 12 yang mencakup persyaratan instalasi karantina untuk hewan dan produk hewan yang juga sudah memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan.

Persyaratan instalasi karantina sebagaimana tertera dalam Permentan No. 34 Tahun 2006 harus memenuhi:
1. Persyaratan administrasi (yang tidak akan dibahas lebih lanjut disini)
2. Persyaratan teknis umum fasilitas bangunan berikut peralatan dan lahan
3. Persyaratan teknis konstruksi bangunan

Persyaratan teknis yang dimaksud pada poin 2 dan 3 terkait dengan pemenuhan prinsip kesejahteraan hewan dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar fisik, psikologis dan lingkungan yang akan memberikan rasa aman, nyaman, bebas dari rasa sakit, ketakutan dan tertekan (pasal 8 ayat 2 Permentan No. 34 Th.2006).

Persyaratan kelayakan teknis umum fasilitas bangunan berikut peralatan dan lahan yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan tindakan karantina media pembawa antara lain:
a. Lokasi instalasi karantina harus memenuhi pertimbangan analisa risiko yaitu antara lain dengan memperhatikan:
-peta situasi HPHK negara/daerah asal;
-jarak dari lokasi instalasi karantina dengan pelabuhan/bandara;
-sistim pengamanan pengangkutannya;
-situasi HPHK pada lokasi instalasi karantina;
-risiko yang kemungkinan dibawa oleh media pembawa;
-jarak populasi rentan dengan lokasi instalasi karantina;
-jarak antar kandang dalam lokasi instalasi;
-epidemiologi penyakit hewan di lokasi instalasi karantina.

b. Lokasi instalasi karantina harus bebas dari banjir dan berdrainage baik.

c. Sarana/fasilitas yang ada harus sesuai dengan peruntukkannya

d. Sekeliling lokasi instalasi karantina harus diberi pagar keliling yang kuat dan rapat.

e. Kondisi lokasi instalasi karantina harus disesuaikan dengan kapasitas daya tampung.

f. Lokasi instalasi dapat dimasuki kendaraan roda empat atau lebih.

g. Di dalam lokasi instalasi harus tersedia lokasi untuk pengolahan limbah yang memadai.

h. Instalasi karantina harus dilengkapi dengan fasilitas penerangan dan alat komunikasi.

i. Lokasi instalasi memiliki sumber air dengan debit air yang cukup dan berkualitas baik untuk air minum.

j. Untuk instalasi karantina media pembawa berupa hewan, maka instalasi karantina harus memiliki kandang kembara; kandang isolasi; gudang pakan; gudang peralatan; tidak dekat dengan tempat pemusatan peternakan rakyat maupun perusahaan peternakan; aman dari gangguan lingkungan yang dapat menimbulkan stress.

k. Untuk instalasi karantina media pembawa berupa produk hewan, maka instalasi karantina harus dilengkapi dengan fasilitas tempat pemeriksaan organoleptik.

l. Sebelum dan sesudah penggunaan, instalasi karantina harus disucihamakan.
Persyaratan teknis konstruksi bangunan instalasi sesuai dengan peruntukkannya sebagai berikut:
1. Instalasi Karantina Hewan:

1.1. Konstruksi bangunan dan sarana pendukung terbuat dari bahan yang kuat, tidak korosif serta mudah dibersihkan dan disucihamakan.

1.2. Lantai kandang harus kuat, tidak licin dan memperhitungkan kemiringan untuk memudahkan dibersihkannya lantai dari kotoran hewan.

1.3. Memiliki sirkulasi udara yang sehat

1.4. Atap bangunan instalasi tertutup, terbuat dari genteng, asbes atau sejenisnya.

1.5. Di dalamnya tersedia tempat pakan dan minum

1.6. Sisi permukaan bagian dalam kandang, tempat pakan dan minum tidak ada tonjolan atau bagian tajam agar tidak melukai hewan.

2. Instalasi Karantina Produk Hewan:

2.1. Konstruksi bangunan dan sarana pendukung terbuat dari bahan yang kuat, tidak korosif serta mudah dibersihkan dan disucihamakan.

2.2. Untuk instalasi karantina produk hewan konsumsi manusia berupa cold storage, maka konstruksi dinding, lantai, atap dan rak terbuat dari stainless steel serta dilengkapi dengan pengatur suhu disebelah luarnya.

2.3. Ventilasi ruangan terkendali

B. Persyaratan Alat Angkut dan Kemasan
Sedangkan terkait dengan kelayakan alat angkut dan kemasan media pembawa, harus memenuhi persyaratan yang bersifat umum dan persyaratan khusus terkait dengan keperluan sesuai dengan jenis media pembawa, jenis transportasi/alat angkut yang akan dipergunakan (darat, perairan, udara).  Untuk transportasi menggunakan pesawat udara harus memenuhi peraturan yang berlaku secara internasional yaitu berdasarkan atas peraturan dari IATA (International Air Transportation Association).

1. Persyaratan Alat Angkut untuk membawa hewan
Persyaratan kelayakan alat angkut untuk membawa hewan, diantaranya harus memenuhi:
a. Persyaratan umum

b. Persyaratan khusus
Persyaratan umum menyangkut kelayakan alat angkut antara lain harus memenuhi:

a.1. Rancangan Alat Angkut harus disesuaikan dengan memperhatikan:
-ukuran jenis angkutan yang akan dipergunakan

-jenis hewan yang akan diangkut, jenis kelamin, indukan atau anakan

-jumlah yang akan diangkut, dalam kelompok ataukah individual

-ukuran dan berat hewan yang akan diangkut

-perilaku hewan, misalnya untuk hewan yang mempunyai perilaku senang berbaring maka diperlukan tersedianya ruang untuk berbaring, kebiasaan memakan segala pada hewan babi maka diperlukan bahan alat angkut atau kemasan yang tidak dapat dimakan hewan babi.

-alat angkut yang akan dibuat untuk satu tingkat ataukah bertingkat (> 1 tingkat), hal ini terkait dengan perlu adanya perhatian terkait dengan pembuangan limbah kotoran hewan (padat maupun cair) dan ventilasi

-alat angkut tertutup pada bagian atas/plafon agar hewan tidak dapat keluar.

-Luasan alat angkut telah memperhitungkan ruang untuk berbaring atau ruang kepala.

-Untuk kontener / pesawat / kapal / angkutan darat khusus pengangkut ternak, perlu dirancang jalur pembuangan kotoran dan urine hewan agar tidak membasahi serta mengotori lantai alat angkut hewan.  Juga perlu diperhatikan kemiringan lantai alas alat angkut/kandang.

a.2.  Persyaratan teknis lainnya antara lain:
-Alat angkut terbuat dari bahan yang kuat, tidak korosif, mudah dibersihkan atau disucihamakan. Untuk hewan selain unggas, biasanya alat angkut terbuat dari bahan kayu, namun apabila diperlukan terbuat dari metal, maka pada bagian tertentu metal harus ditutupi dengan bahan yang dapat melindungi agar tidak menyebabkan badan hewan sakit.

-Permukaan sisi bagian dalam dari alat angkut tidak boleh ada yang menonjol atau tajam

-Harus dibuat ventilasi yang cukup dengan memperhatikan jumlah hewan yang akan diangkut, kondisi suhu dan kelembaban ruangan dan suhu lingkungan pada waktu hewan akan dinaikkan atau diturunkan atau pada waktu transit. 
Sistem ventilasi harus berjalan dengan baik.

-Apabila dibuat sekat antar individu atau kelompok, maka sekat diupayakan tidak tertutup sampai plafon agar aliran udara/ventilasi masih mengalir dengan baik.

-Lantai alat angkut terbuat dari bahan yang tidak licin agar hewan dapat berdiri dengan aman/tidak tergelincir dan diberi penutup lantai (pasir, jerami, rumput, serbuk gergaji atau karet alas)

-Tersedia penerangan yang cukup terang

-Dilengkapi dengan tempat pakan dan minum.

-Untuk kontener / pesawat / kapal / angkutan darat khusus pengangkut ternak harus disediakan paddock isolasi (untuk menangani hewan yang mengalami gangguan kesehatan) dan jalan antara (gangway) untuk memudahkan pelayanan dan pengawasan hewan; tempat penyimpanan pakan; tempat penyimpanan obat-obatan

2. Persyaratan Alat Angkut untuk membawa bahan asal hewan (BAH), hasil bahan asal hewan (HBAH) atau benda lain
Secara umum, alat angkut untuk membawa BAH, HBAH atau Benda Lain harus memperhatikan aspek sanitasi dan adanya kemungkinan risiko kontaminasi penyakit.  Untuk itu, alat angkut bagi BAH, HBAH atau Benda Lain haruslah:
-Tertutup agar tidak ada kemungkinan risiko tercemari atau mencemari lingkungan.

-Konstruksi alat angkut terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

-Untuk alat angkut yang diperuntukkan membawa media pembawa yang memerlukan kondisi suhu tertentu, maka alat angkut harus dilengkapi dengan pengatur suhu.

-Produk hewan non halal (produk babi) harus dibawa dengan alat angkut yang terpisah dari produk hewan halal.

3. Persyaratan Kemasan
Kemasan yang akan dipakai sebagai wadah membawa BAH, HBAH atau Benda Lain juga harus memenuhi persyaratan teknis tertentu, antara lain:
-Bahan kemasan terbuat dari bahan yang kuat, tahan/tidak mudah bocor/tidak mudah rusak sehingga tidak mengkontaminasi ke luar/lingkungan, tidak merubah sifat produk yang dikemas.

-Bahan kemasan untuk wadah BAH atau HBAH konsumsi manusia harus terbuat dari bahan yang aman untuk pangan (food grade) dan tidak bersifat toksik.

-Untuk kemasan yang menjadi wadah BAH, HBAH atau Benda Lain yang bukan untuk konsumsi manusia harus jelas diberi tanda “TIDAK/BUKAN UNTUK KONSUMSI MANUSIA”.
Persyaratan kelayakan merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan apakah media pembawa yang akan atau sudah dikenakan tindakan karantina dapat dilanjutkan proses tindakan karantinanya.

Selain masalah kelayakan, perlu diketahui juga adanya jenis kondisi hewan yang tidak diperbolehkan untuk dilalulintaskan yaitu:
-Hewan yang dalam kondisi darurat
-Hewan yang sedang sakit atau cedera
-Hewan bunting terutama bunting tua
-Anakan yang baru dilahirkan atau yang masih menyusui

Selain kondisi kelayakan alat angkut / kemasan, tentu saja yang utama adalah pengawasan kesehatan hewan selama transportasi.  Petugas karantina wajib mengawasi langsung hewan selama diangkut atau melalui pengumpulan data sekunder dari keterangan hasil mutasi hewan selama transportasi yang dikeluarkan oleh kapten alat angkut yang bertanggung jawab atas alat angkut berikut dengan barang yang diangkutnya.

Selama transportasi dan selama masa karantina, Dokter Hewan Karantina/Paramedik Karantina wajib memperhatikan ketersediaan pakan dan minum, kondisi kebersihan kandang termasuk sirkulasi udara dalam kandang (terutama dalam alat angkut selama transportasi). 

Untuk alat angkut laut yang memang khusus mengangkut ternak, setiap luasan kandang dapat memenuhi kebutuhan hewan untuk berdiri atau sekedar bergerak.  Sedangkan untuk IKH, selain ketersediaan luasan kandang yang cukup untuk sekelompok hewan, disediakan juga luasan lahan untuk tempat exercise hewan dalam kelompok yang disebut paddock atau lahan kembara.

Dalam melaksanakan tindakan karantina selama masa karantina juga perlu diperhatikan kebiasaan/perilaku jenis hewan, apakah memerlukan situasi sekitar IKH yang jauh dari keramaian, perlu penutup tirai atau bahkan harus terisolir yang benar-benar sunyi.  Atau mungkin hewan memerlukan tempat berkubang seperti kerbau, sehingga paddock perlu dibuat agak berlumpur.

V. PENUTUP

Dalam melaksanakan penyelenggaraan perkarantinaan hewan, petugas karantina sangat berkepentingan dengan issue kesejahteraan hewan ini, karena selain sebagai tanggung jawab profesi juga menjalankan amanat dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 pasal 55 ayat 1. 

Indonesia sebagai anggota dari OIE yang telah mengeluarkan standard terkait kesejahteraan hewan yang berlaku dalam perdagangan internasional, juga diharuskan mengadop standard OIE dan menerapkannya.   Apalagi Indonesia juga sebagai anggota WTO, maka issue kesejahteraan hewan berikut standard terkait kesejahteraan hewan sudah wajib untuk di adopsi dan diterapkan.  Dengan diadopsinya standard kesejahteraan hewan, maka terutama pada waktu Indonesia melakukan importasi, persyaratan teknis alat angkut dan kemasan harus masuk ke dalam ketentuan health requirement dan harus sesuai dengan standard.  Namun berarti juga, negara Indonesia harus siap menerapkan persyaratan teknis dan standard yang diberlakukan terhadap instalasi dan alat angkut di Negara pengekspor juga diberlakukan di dalam negeri termasuk yang dilalulintaskan antar area dalam wilayah negara Indonesia.

Petugas karantina hewan –Dokter Hewan Karantina dan Paramedik Karantina- wajib mengetahui dan memahami maksud dari prinsip kesejahteraan hewan dan wajib menerapkannya dalam pelaksanaan tindakan karantina hewan.’

DAFTAR PUSTAKA


1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.

3. Peraturan Menteri Pertanian No. 34/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Instalasi Karantina Hewan

4. Peraturan Menteri Pertanian No. 94/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

5. Peraturan Menteri Pertanian No. 44/Permentan/OT.140/3/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No. 94/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

6. Modul pengajaran pada Animal Welfare Course. 2003.  PB PDHI  Continuing Education Division kerjasama dengan WSPA- University of Bristol.

7. Silabus WSPA Concepts in Animal Welfare. What is animal welfare. Animal Welfare in Context. World Animal Net.

8. Dr. sarah Kahn and Dr. Mariela varas. OIE Animal Welfare Standards and the Multilateral Trade Policy Framework. A WTO paper. OIE International Trade Department.

9. Dr. Mariela Varas.OIE Standards for Animal Welfare. International Trade Department OIE. 2011, June 13th.

10. Department for Environment, Food & Rural Affairs. Live Transport: Welfare Regulations.  2012, August 29th.

11. United States Department of Agriculture.Animal Welfare Act and Animal Welfare Regulations. 2013, November.

12. Badan Karantina Pertanian. Laporan Tahunan Barantan 2013. 2014

13. OIE. Chapter 7.4. Transport of Animals by Air.  Terrestrial Animal Health Code. 2010

14. OIE. Chapter 7.3. Transport of Animals by Land.  Terrestrial Animal Health Code. 2010

15. OIE. Chapter 7.2. Transport of Animals by Sea.  Terrestrial Animal Health Code. 2010

***
Catatatan:
Karya Tulis Ilmiah  ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan nomor katalog: 602.01.0009.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Sri Yusnowati. Medik Veteriner Madya, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: