Emerging
dan re-emerging infectious disease merupakan manifestasi penurunan kualitas
kesehatan akibat adanya perubahan ekologi, Munculnya re-emerging zoonoses
dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi, patogen atau vektor. Makalah ini ditulis oleh drh. Dede Sriwahyuni MSi, Medik
Veteriner Muda, Pusat Karantina Hewan.
******
PENGENDALIAN
EMERGING DAN RE-EMERGING ZOONOSES
MELALUI PENDEKATAN ECOHEALTH
Oleh:
Dede
Sri Wahyuni
ABSTRAK
Hampir
setengah abad kalangan di dunia kedokteran difokuskan pada emerging dan
re-emerging zoonoses (EZ dan REZ) sebagai ancaman bagi kesehatan global. EZ dan
REZ terutama berasal dari daerah tropis dengan keanekaragaman satwa liar dan
populasi manusia yang terus meningkat. Konsep ecohealth diharapkan dapat
meminimalisir munculnya dampak EZ dan REZ yang belum diketahui cara
penanganannya serta berdampak secara ekonomi dan kesehatan. Ecohealth
didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk pencegahan, diagnostik dan
prognostik aspek manajemen ekosistem dan untuk memahami hubungan antara
kesehatan ekosistem dan kesehatan manusia. Pendekatan ecohealth diperlukan
kerjasama antara para ilmuwan, masyarakat dan pembuat kebijakan. Ada 3 pilar
ecohealth yaitu transdisciplinarity, participation dan equity.
Transdisciplinarity menggambarkan bahwa ecohealth bukan hanya berupa satu
disiplin ilmu/bidang saja tetapi terdiri dari berbagai bidang yang memiliki
semua jawaban untuk mengatasi permasalahan kompleks kesehatan. Participation
bertujuan untuk mencapai konsesus dan kerjasama antara masyarakat, peneliti dan
kelompok pembuat kebijakan. Equity melibatkan analisa dari masing-masing pria
dan wanita dalam kelompok sosial.
Kata
kunci: ecohealth, emerging infectious diseases, ekosistem, kesehatan.
******
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Penyakit-penyakit
menular baru muncul (emerging infectious diseases) merupakan ancaman terhadap
kesehatan manusia dalam 30 tahun terakhir. Penyakit-penyakit baru muncul
tersebut dapat meluas dalam cakupan geografis, berpindah dari satu spesies ke
spesies yang lain, meningkat baik dari segi dampak maupun virulensinya,
mengalami perubahan patogenesis, atau disebabkan oleh patogen yang bermutasi.
Beberapa emerging infectious diseases tersebut relatif hanya berdampak kepada
sebagian kecil populasi manusia, akan tetapi merepresentasikan proporsi ancaman
tertentu karena tingkat kasus fatalitasnya yang tinggi dan belum tersedianya
vaksin atau terapi yang efektif (Daszak et al. 2004).
Penyakit-penyakit
menular baru muncul sekitar 60.3% bersifat zoonosis (ditularkan dari hewan ke
manusia), dengan mayoritas (71.8%) berasal dari satwa liar (Jones et al. 2008).
Penanggulangan melawan kemunculan penyakit-penyakit tersebut merupakan kunci
dari upaya-upaya kesehatan masyarakat secara nasional dan global (Daszak et al.
2004). Beberapa emerging zoonoses diantaranya adalah ebola virus, bovine
spongiform encephalopathy (BSE), nipah virus, rift valley fever (RVF), alveolar
echinococcosis, severe acute respiratory syndrome (SARS), dan monkeypox (Brown
2004).
Munculnya
re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang
mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Penyakit yang termasuk dalam
re-emerging zoonoses diantaranya adalah rabies, virus marburg, rift valley
fever (RVF), bovine tuberculosis, Brucella sp. pada satwa liar, tularemia,
plaque, dan leptospirosis (Angulo et al. 2004). Emerging dan re-emerging
infectious disease merupakan manifestasi penurunan kualitas kesehatan akibat
adanya perubahan ekologi (Tabor 2002).
Beberapa
faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses
diantaranya adalah pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan,
intensifikasi pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa
liar memasuki produsen ternak yang intensif (Brown 2004).
Sedangkan
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian emerging
zoonoses diantaranya peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk
sebagai hasil dari globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi
manusia ke wilayah yang sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan
perubahan peternakan dan teknologi produksi (Thiermann 2004). Morse (2004)
menyatakan bahwa globalisasi perdagangan dan pemanasan global (global warming)
menjadi faktor penting penyebab munculnya zoonosis.
Perilaku
manusia di dunia dalam skala luas menyumbang terhadap munculnya zoonosis,
termasuk tekanan populasi, deforestasi, intensifikasi pertanian, perdagangan
global hewan liar dan konsumsi daging secara berlebihan. Para peneliti sekarang
mulai melihat dan meneliti bagaimana kerusakan seperti pemanasan global,
deforestrasi yang meluas dan polusi kimia pada lingkungan laut dapat berdampak
negatif terhadap kesehatan dan keseimbangan flora dan fauna, termasuk manusia
dan hewan.
Munculnya
emerging dan re-emerging zoonoses sebagai dampak dari perubahan iklim,
interaksi antara manusia dan hewan serta kerusakan ekosistem tidak dapat
diselesaikan dengan pendekatan tradisional yang menawarkan solusi terbatas.
Berhadapan dengan kompleksitas ini dimana tidak dapat diabaikan hubungan antara
manusia, hewan kesayangan, peternakan dan satwa liar dan lingkungan sosial dan
ekologinya jelas dibutuhkan pendekatan terintegratif pada kesehatan manusia dan
hewan dalam konteks sosial dan lingkungan.
Konsep
pendekatan baru ecohealth diharapkan dapat meminimalisir munculnya dampak dari
emerging and re-emerging zoonoses. Kedua konsep ini muncul sebagai jawaban dari
munculnya berbagai penyakit baru yang tidak diketahui cara penanganannya serta
berdampak secara ekonomi dan kesehatan.
Tujuan
Tulisan
ini untuk membahas mengenai cara pengendalian emerging dan re-emerging zoonoses
melalui pendekatan ecohealth.
BAB
II
PEMBAHASAN
Emerging
dan Re-emerging Zoonoses
Dalam
beberapa dekade terakhir dunia dihadapkan pada ancaman emerging dan re-emerging
zoonoses. Emerging zoonoses merupakan zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi
dimana saja di dunia dengan potensi dampak yang terus meningkat. Sedangkan
re-emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul, akan
tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini. Variasi pola
penyebaran dan cara penularan yang tidak sepenuhnya diketahui membuat dunia
internasional memberikan perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan ini.
Globalisasi perdagangan dan pemanasan global (global warming) menjadi faktor
penting penyebab munculnya zoonosis (Morse 2004).
Brown
(2004) membagi emerging and re-emerging zoonoses menjadi 3 (tiga) kategori
yaitu: (1) zoonosis yang baru diketahui (newly recognised); (2) zoonosis yang
baru muncul (newly evolved); dan (3) zoonosis yang sudah terjadi sebelumnya
tetapi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan ke
wilayah geografis, induk semang atau keragaman vektor yang baru.
Studi
yang dilakukan oleh Cleaveland et al. (2001) berhasil mengidentifikasi sebanyak
1 415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia
yang meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66
protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah tersebut sebanyak 872 (61.6%)
bersumber dari hewan. Kemudian dari jumlah tersebut sebanyak 616 (70.6%)
spesies patogen berasal dari ternak dan diantaranya 476 (77.3%) dapat menyerang
multi spesies. Sebanyak 175 spesies patogen dianggap berkaitan dengan penyakit
yang baru muncul (emerging diseases). Dari 175 spesies patogen tersebut, 132
(75%) adalah zoonosis.
Dalam
beberapa tahun terakhir, dunia dikhawatirkan dengan munculnya sejumlah emerging
zoonoses seperti highly pathogenic avian influenza (HPAI), hantavirus pulmonary
syndrome, west nile virus (di Amerika Serikat), lyme disease, haemolytic
uraemic syndrome (Escherichia coli serotipe O157:H7), dan hendra virus (Morse
2004).
Gambar 1. Jumlah semua spesies organisme
hidup
yang diketahui sampai saat ini (Morse 1993)
Faktor-faktor
yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses diantaranya
adalah pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi
pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki
produsen ternak yang intensif (Brown 2004). Sedangkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap peningkatan kejadian emerging zoonoses diantaranya
peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk sebagai hasil dari
globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi manusia ke wilayah yang
sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan perubahan peternakan dan
teknologi produksi (Thiermann 2004).
Kemunculan
re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang
mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Seringkali terjadi peningkatan
secara alamiah dan penurunan aktivitas penyakit di suatu wilayah geografis
tertentu dan selama berbagai periode waktu. Penyakit yang termasuk dalam
re-emerging zoonoses diantaranya adalah rabies, virus marburg, rift valley
fever (RVF), bovine tuberculosis, Brucella sp. pada satwa liar, tularemia,
plaque, dan leptospirosis (Angulo et al. 2004).
Penyakit
menular baru muncul yang menyerang manusia, satwa liar dan tanaman dihubungkan
dengan dua karakteristik umum. Pertama, penyakit-penyakit tersebut mengalami
proses yang tidak pernah putus, baik dalam bentuk insidensi yang terus
meningkat, jangkauan hospes atau geografis yang terus menyebar, atau
patogenisitas, virulensi dan faktor-faktor lainnya yang terus berubah
(Naipospos 2011).
Kedua,
proses perubahan tersebut hampir selalu dipicu oleh sejumlah perubahan
lingkungan antropogenik dalam skala luas (contohnya deforestasi, perambahan
pertanian, pemekaran daerah urban) atau perubahan akibat struktur populasi
manusia (contohnya meningkatnya densitas penduduk dikaitkan dengan urbanisasi)
atau perubahan perilaku (contohnya meningkatnya penggunaan obat, perubahan
praktek-praktek medik, intensifikasi pertanian, perdagangan internasional).
Antropogenik dalam hal ini diartikan sebagai konversi ruang, lahan atau
lingkungan alamiah yang disebabkan oleh perilaku manusia atau akibat kegiatan
yang dilakukan manusia (Daszak et al. 2004).
Dengan
melakukan analisa spasial yang membandingkan antara lokasi kejadian-kejadian
penyakit menular baru dengan berbagai variabel sosio-ekonomi, lingkungan dan
ekologi, maka dapat dibuat suatu pemetaan distribusi global dari
patogen-patogen zoonotik yang bersumber dari spesies satwa liar (a), non satwa
liar (b), dan yang disebabkan oleh patogen resisten obat (c), dan yang
ditularkan lewat vektor (d), seperti terlihat pada Gambar 2 (Jones et al.
2008).
Gambar
2. Distribusi global kejadian
penyakit-penyakit menular
baru muncul (Jones et al. 2008)
Penelitian-penelitian
mengenai emerging zoonoses mulai diarahkan untuk menanggulangi aspek-aspek
mendasar yang mengatur proses kemunculan tersebut. Model-model yang diprediksi
berdasarkan analisa iklim digunakan untuk mempelajari tentang penyakit-penyakit
yang ditularkan oleh vektor. Begitu juga upaya untuk merancang model-model
dinamika hospes-patogen dengan sekaligus mempelajari evolusi patogennya untuk
menganalisis proses kemunculan tersebut (Naipospos 2011).
Arah
Kebijakan Pembangunan dalam Rangka Emerging Zoonosis
Selama
hampir setengah abad, kalangan di dunia kedokteran di sebagian besar
negara-negara maju difokuskan pada emerging infectious diseases (EIDs) sebagai
ancaman bagi kesehatan global. EIDs terutama berasal dari daerah tropis di mana
keanekaragaman hayati satwa liar dengan kepadatan populasi manusia yang terus
meningkat (Jones et al. 2008). Selain itu, sebagian besar negara-negara yang
merupakan rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati dunia juga merupakan
negara-negara miskin. Negara-negara ini memiliki sumberdaya manusia yang
terbatas dalam bidang kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam mengatasi ancaman penyakit endemik serta
lamanya proses identifikasi penyakit dan penanggulangan patogen yang muncul. Secara
garis besar, miskinnya infrastruktur kesehatan masyarakat menjadi hambatan
utama dalam perkembangan global dan dapat berkontribusi pada peningkatan
penyakit (Obligasi et al. 2010). Kesehatan yang buruk menjadi penghambat
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Sebagai
bagian dari strategi untuk menghadapi tantangan dalam menciptakan sistem
kesehatan terpadu dan berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah pencegahan
pandemi. Wabah penyakit menular umumnya memiliki dampak ekonomi yang diamati di
negara-negara maju, namun umumnya muncul di daerah berkembang. Penelitian
Bogich et al. (2012) menunjukkan bahwa kerusakan infrastruktur kesehatan
masyarakat secara nasional sebagai sumber dominan terjadinya wabah. Pendanaan
pembangunan infrastruktur kesehatan masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk
mengendalikan wabah sebagai tanggap darurat. Mengingat bahwa pandemi terbaru
biasanya berawal dari zoonosis, relevansi pendekatan ecohealth untuk pencegahan
pandemi sangatlah penting.
Pendekatan
ecohealth dilakukan untuk pembangunan yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat serta penyakit hewan/veteriner. Sistem pararel yang terus-menerus
dalam proyek pengendalian penyakit menular pada manusia, harus dilaksanakan
secara sinergi dan terintegrasi dengan pengendalian penyakit pada hewan. USAID
telah mencoba memprakarsai program tersebut. USAID mendanai sistem flu burung
global yang dilanjutkan dengan program pengendalian ancaman pandemi yang baru
muncul, dengan tujuan mengintegrasikan kesehatan hewan dan manusia, memfasilitasi
kemajuan teknologi dan laboratorium sambil membangun kapasitas lokal (Mazet et
al. 2011).
Pada
skala nasional, USAID telah mendukung Uganda untuk menggabungkan semua program
penyakit di negara tropis yang terabaikan menjadi satu sistem terkoordinasi
(Linehan et al. 2011). Demikian juga, dengan dukungan dari berbagai lembaga AS
(termasuk Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit), Kenya juga meluncurkan Unit Penyakit Zoonosis pada
Oktober 2012, dimana ahli epidemiologi dari kedua Kementerian Pertanian dan
Peternakan dan Departemen Kesehatan dan Sanitasi Masyarakat duduk bersama untuk
memantau dan menanggapi wabah penyakit (Lore 2012). Dengan demikian, dalam
rangka pembangunan kesehatan perlu didorong pengawasan bersama kesehatan hewan
dan satwa liar untuk pendekatan yang lebih terintegrasi dalam mengendalikan
penyakit zoonosis.
Ecohealth
Konsep
ecohealth atau ecosystem health, awalnya diistilahkan dengan ‘medikekosistem’
atau ecosystem medicine, dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana para peneliti
mulai memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan mengamati
gejala umum degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai ‘sindroma gangguan
ekosistem’. Ecohealth dapat didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk
pencegahan, diagnostik dan prognostik aspek manajemen ekosistem dan untuk
memahami hubungan antara kesehatan ekosistem dan kesehatan manusia (Aguirre dan
Gomez 2009).
Ecohealth
mengkaji perubahan-perubahanlingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan
menghubungkan perubahan-perubahanini dengan dampaknya terhadap kesehatan
manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter
hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana
dan lain sebagainya untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami
bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia
dan hewan (Gambar 3).
Gambar
3 Konsep Ecohealth
Pendekatan
klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan
masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap kesehatan mencakup konsep
yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu dan melibatkan
dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Ekonomi, lingkungan dan kebutuhan
masyarakat akan mempengaruhi kesehatan ekosistem. Dengan demikian pendekatan
ekosistem dalam ecohealth perlu dilihat sebagai suatuhirarkhi yang saling kait
mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkanbegitu saja dari
konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun
spasial dari kehidupan manusia (Lebel 2003).
Munculnya
emerging and re-emerging zoonoses dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
adalah adanya perubahan iklim (global warming) dan deforestry yang berpengaruh
terhadap perubahan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem akan berpengaruh
terhadap munculnya agen patogen baru. Beberapa contoh yang menunjukan
keterkaitan antara kerusakan ekosistem dengan munculnya penyakit diantaranya adalah
fragmentasi hutan-hutan di Amerika Utara kedalam segmen-segmen kurang dari 2
(dua) hektar telah mengubah ekologi fauna hutan dan menyebabkan peningkatan
penularan lyme disease akibat kedekatan hewan dan manusia (Allan et al. 2003).
Peningkatan perkampungan dengan kepadatan populasi anjing domestik yang tinggi
yang berdekatan dengan Taman Nasional Serengeti menyebabkan persilangan spesies
yang tidak diharapkan dan munculnya distemper pada singa di Taman Nasional
(Cleaveland et al. 2000). Pembuatan jalan di bagian dalam hutan di Afrika Barat
telah memfasilitasi perburuan primata untuk konsumsi (the bushmeat trade) dan
telah menyebabkan penyakit baru pada manusia yang dibawa dari pemotongan dan
konsumsi primata termasuk virus T-lymphotropic (Wolfe et al. 2005), virus Ebola
dan HIV (Wolve et al. 2005).
Gambar
4 Kompleksitas permasalahan (Waltner-Toews 2009)
Terkait
dengan kondisi dimana perubahan ekosistem berpengaruh terhadap kesehatan
manusia maka disusun suatu konsep yang secara terintegrasi mempelajari dampak
perubahan ekosistem terhadap kesehatan manusia. Ecosystem approaches to health
or ecohealth dapat didefinisikan sebagai pendekatan partisipatif secara
sistemik untuk memahami dan mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan dalam
konteks sosial dan interaksi ekologi (Waltner-Toews 2009).
Konsep
ecohealth muncul sekitar tahun 1990-an yang diinisiasi oleh International
Development Research Centre in Ottawa (IDRC), Canada (Lebel 2003). Awalnya
konsep serupa sudah pernah dikenalkan antara abad 18 sampai awal abad 19.
Tetapi upaya-upaya pada waktu itu tidak cukup berhasil. Kemudian pendekatan
terintegrasi pada kesehatan dan ekologi ini dimunculkan kembali tahun 1990-an
dan termasuk konsep one health, conservation medicine, ketahanan ekologi,
integritas ekologi, komunitas kesehatan dan berbagai pendekatan lainnya.
Pendekatan
ecohealth saat ini dipraktekan secara partisipatif, sistem berbasis pendekatan
untuk pemahaman dan mempromosikan kesehatan dalam konteks interaksi sosial dan
ekologi. Ecohealth membawa dokter, dokter hewan, ecologist, economist, peneliti
sosial, perencana dan yang lainnya untuk belajar dan memahami bagaimana
perubahan ekosistem berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Ecohealth
berkomitmen mengintegrasikan ilmu lingkungan, termasuk sosial, ekonomi, budaya
dan interaksi politik dengan elemen ekologi sebagai aspek ekosistem (Forget dan
Lebel 2001). Ecohealth berusaha untuk menyediakan inovasi, solusi praktis untuk
mengurangi efek negatif terhadap kesehatan akibat perubahan ekosistem.
Enam
Prinsip Ecohealth
Berikut
ini adalah 6 Prinsip Ecohealth (6 Ecohealth principles) (Deon-Fiske 2013):
1. Systems
Thinking (Berpikir Sistemik)
-Menunjukkan
pola dan hubungan antara sistem sosioekonomi dan ekosistem.
-Memeriksa
batasan dan dinamika suatu permasalahan dari beberapa perspektif dan
menggunakan ukuran yang berbeda-beda.
2. Transdisciplinary
Research (Riset / Penelitian Lintas Disiplin)
-Mengintegrasikan
metodologi, teori, dan konsep dari berbagai disiplin ilmu dengan perspektif
non-akademis.
3. Participation
(Partisipasi)
-Memimpin
inovasi, kerjasama (kooperasi), dan kolaborasi berbasis masyarakat local.
4. Sustainability
(Keberlanjutan)
-Integrasi
keberlanjutan/kelestarian sosial dan ekologis yang mendukung bidang ecohealth.
5. Gender
and Social Equity (Kesetaraan Gender dan Sosial)
-Penelitian
kesehatan tidak boleh mengabaikan perbedaan tingkat kesehatan pada tiap anggota
masyarakat dari kelompok sosial, ekonomi, umur, atau gender yang berbeda.
-Perbedaan
ini tampak pada hubungan mereka dengan ekosistem, paparan mereka pada status,
kesejahteraan, dan risiko kesehatan yang berbeda.
6. Knowledge-to-Action
(Pengetahuan-ke-Tindakan)
-Pendekatan
berorientasi-tindakan pada penelitian untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan, serta mempromosikan kesetaraan dan kelestarian.
Seperti
diketahui, pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi
ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap
kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan
individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Dengan
demikian pendekatan ecohealth perlu dilihat sebagai suatu hirarkhi yang saling
kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkan begitu saja
dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal
maupun spasial dari kehidupan manusia (Bazzani et al. 2009).
Dalam
pendekatan ecohealth diperlukan kerjasama antara para peneliti atau spesialis,
masyarakat dan pembuat kebijakan (decision maker) baik pemerintah maupun
pimpinan masyarakat. Lebel (2003) menyatakan bahwa berbasis pada program IDRC
ada 3 pilar ecohealth yaitu transdisciplinarity, participation dan equity.
Pilar pertama berupa transdisciplinarity menggambarkan bahwa ecohealth bukan
hanya berupa satu disiplin ilmu/bidang saja tetapi terdiri dari berbagai bidang
yang memiliki semua jawaban untuk mengatasi permasalahan kompleks kesehatan.
Pilar kedua berupa partisipasi bertujuan untuk mencapai konsesus dan kerjasama tidak
hanya dalam masyarakat, peneliti dan kelompok pembuat kebijakan tetapi juga
diantara mereka. Pilar ketiga berupa equity melibatkan analisa dari
masing-masing pria dan wanita dalam kelompok sosial.
Keterkaitan
antara manusia, hewan dan ekosistem yang ada Lebih dalam proses ekologi harus
dipahami sebagai bagian penting dalam ecohealth. Beberapa pakar menyatakan
bahwa ecohealth lebih luas dari one health karena mencakup ekologi bukan hanya
lingkungan, transdisciplinary bukan hanya multidisciplinary, dan kesehatan
global (global health). Global health yang dimaksudkan dalam ecohealth tidak
sebatas pada kesehatan saja akan tetapi juga keseimbangan dan keselarasan
pembangunan manusia dengan ekosistemnya yang kesemuanya berada dalam satu
sistem yang kompleks (complex system) dan didekati dengan kajian sistem
(system-based approach) dan partisipatif.
Medik
Konservasi dan Pendekatan Ecohealth
Beberapa
tahun terakhir ini, medik konservasi (conservation medicine) digunakan dalam
berbagai konteks oleh sejumlah komunitas ilmuwan, kelompok-kelompok peneliti
dan organisasi-organisasi internasional dan nasional. Pendekatan baru untuk
perlindungan diversitas biologik menimbulkan tantangan bagi kalangan ilmuwan
dan praktisi di bidang ilmu-ilmu kesehatan, biologi dan sosial untuk memikirkan
cara-cara baru, kolaboratif dan transdisiplin untuk mengatasi gangguan
kesehatan ekologis dalam situasi krisis biodiversitas (Aguirre dan Gomez 2009).
Medik
konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan
antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan
lingkungan global. Lingkungan global terancam oleh sejumlah fenomena yang mudah
menyebar dan sinergis sebagai hasil dari meningkatnya populasi manusia,
perubahan iklim, kemiskinan biologik, emerging infectious diseases dan
toksifikasi global. Faktor-faktor ini bekerja secara bersamaan untuk mengganggu
kesehatan manusia, hewan domestik, satwa liar dan lingkungan (Aguirre dan Gomez
2009).
Dengan
memadukan ilmu kesehatan, ekologi dan konservasi biologik secara bersamaan,
medik konservasi meneliti permasalahan dengan cara-cara inklusif mengingat
dampak kesehatan terhadap populasi dan ekosistem. Prinsip utama dari disiplin
ini adalah kesehatan menghubungkan semua spesies yang erat hubungannya dengan
proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009).
Para
peneliti medik konservasi memliki agenda baru sebagai respon terhadap semakin
berkembangnya implikasi kesehatan terhadap degradasi lingkungan. Hal ini
dilakukan dengan mempelajari lebih mendalam tentang kaitan antara perubahan
struktur habitat dan pemanfaatan lahan, kemunculan dan munculnya kembali
patogen tertentu dan dampak kontaminan lingkungan, ketahanan fungsi
biodiversitas dan ekosistem, serta dampak penyakit terhadap spesies langka
(endangered species).
Sebaliknya
konsep ecohealth atau ecosystem health (awalnya diistilahkan dengan ‘medik
ekosistem’ atau ecosystem medicine) dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana
para peneliti mulai memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan
mengamati gejala umum degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai
‘sindroma gangguan ekosistem’ (Aguirre dan Gomez 2009).
Ecohealth
adalah juga disiplin ilmu baru muncul yang mempelajari bagaimana perubahan
dalam ekosistem bumi mempengaruhi kesehatan manusia. Ecohealth mengkaji
perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan
menghubungkan perubahan-perubahan ini dengan dampaknya terhadap kesehatan
manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,
ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan
lain sebagainya untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana
perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan
(Naipospos 2011).
Baik
medik konservasi dan ecohealth menggunakan pendekatan ekosistem yang
mengeksplorasi hubungan antara berbagai komponen ekosistem untuk menetapkan dan
menilai prioritas faktor-faktor penentu kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Kedua disiplin ini berangkat dari suatu pemahaman tentang definisi yang
holistik dari ‘kesehatan’ yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia/WHO
(1948) yaitu suatu status dimana keadaan fisik, mental dan sosial dinyatakan
sehat dan bukan semata-mata tidak ada penyakit atau lemah” (Bazzani et al.
2009).
Seperti
diketahui, pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi
ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap
kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan
individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Gambar 5).
Dengan demikian pendekatan ekosistem dalam medik konservasi dan ecohealth perlu
dilihat sebagai suatu hirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan
kesehatan tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks sosio-ekonomi,
lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun spasial dari kehidupan
manusia (Bazzani et al. 2009).
Gambar
5 Perubahan pendekatan terhadap kesehatan (Bazzani et al. 2009)
Kerangka
pendekatan ekosistem tersebut diatas adalah transdisiplin yang sangat esensial
diperlukan dalam memahami interaksi sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang
mengarah kepada munculnya emerging infectious diseases. Pendekatan
transdisiplin diartikan sebagai aplikasi pendekatan ilmiah terhadap suatu
permasalahan yang keluar dari batasan disiplin akademik konvensional (Naipospos
2011).
Transdisiplin
dimaksudkan sebagai pengetahuan antar disiplin, lintas disiplin yang berbeda,
dan di luar disiplin individual yang menghasilkan suatu kerangka terpadu baru.
Untuk membedakannya dengan apa yang dimaksud dengan pendekatan multidisiplin
atau interdisiplin. Multidisiplin adalah suatu pekerjaan independen atau
berurutan dari beberapa disiplin, akan tetapi berasal dari perspektif suatu
kerangka disiplin tertentu. Sedangkan interdisiplin adalah transfer metoda dari
satu disiplin ke suatu pekerjaan terpadu yang lain, akan tetapi tetap berasal
dari perspektif suatu kerangka disiplin tertentu (Naipospos 2011).
Untuk
memahami interaksi antara sistem sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi dalam
kaitannya dengan kemunculan penyakit menular baru, disadari tidak lagi bisa
dilakukan dengan metoda disiplin tradisional atau klasik yang saling terpisah
satu sama lain. Ke depan diperlukan suatu gagasan yang konseptual dan
metodologik untuk mengikat setiap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
disiplin, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap permasalahan penyakit yang sedang dikaji (Naipospos 2011).
Pendekatan
Ecohealth dalam Pengendalian Emerging Zoonosis
Era
globalisasi dengan berbagai efek lanjutannya menstimulasi munculnya emerging
and re-emerging zoonoses. Pola penyebaran dan penanganan yang belum sepenuhnya
diketahui menjadi kendala dunia dalam menghadapi ancaman zoonosis. Penyakit
yang muncul menunjukan interaksi yang kompleks antara manusia, hewan domestik
dan satwa liar bersama kerusakan ekosistem yang ada. Banyak contoh semakin
menjelaskan bahwa banyaknya penyakit baru sebagai hasil kerusakan lingkungan
dan peningkatan kontak diantara manusia dan hewan domestik dan satwa liar dalam
lingkungan yang terganggu. Pemahaman yang penuh terhadap sejarah penyakit baru
dan strategi efektif untuk kontrol membutuhkan kolaborasi, upaya interdisiplin
spesialis kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.
Gambar
6. Contoh emerging dan re-emerging
infectious disease
di dunia (Morens et al. 2004)
Munculnya
emerging zoonoses menunjukan adanya interaksi yang kompleks antara manusia,
hewan domestik dan populasi satwa liar bersama dengan kerusakan ekosistem. Hal
ini jelas menunjukan perlunya pemahaman yang efektif dan pencegahan penyakit
membutuhkan transdisiplin atau melalui pendekatan one health dan ecohealth
dengan melibatkan dokter hewan, dokter, ahli biologi satwa liar, ecologist dan
peneliti lingkungan serta lainnya.
Pendekatan
one health dengan memperkuat penelitian dan surveilan yang dilakukan secara
terintegrasi antara otoritas kesehatan hewan dan kesehatan manusia akan
membantu dalam upaya pencegahan dan pengendalian zoonosis. Hal yang tidak kalah
penting adalah pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian
zoonosis. Pengendalian rabies di Afrika yang berbasis masyarakat/komunitas
(community based animal health workers) merupakan salah satu pendekatan dengan
konsep one health dan ecohealth. Pendekatan berbasis masyarakat menjadi salah
satu kunci sukses dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis.
Sementara
dengan perbaikan ekosistem seperti meminimalisir deforestrasi akan dapat mencegah
interaksi/kontak satwa liar dengan manusia atau hewan domestik. Upaya
pencegahan kontak satwa liar dengan manusia dan hewan domestik ini akan
mencegah munculnya emerging zoonosis maupun vector-borne disease. Selain itu
biosekuriti dan biocontainment pada hubungan antar manusia dan hewan dalam
industri makanan memerlukan pertimbangan ekosistem (Graham et al. 2008).
Pendekatan
ecohealth menitikberatkan pada kerjasama antar disiplin ilmu/bidang dalam
mengatasi permasalahan yang ada. Pemahaman akan konsep ecohealth akan membantu
menciptakan keseimbangan ekosistem yang dapat digunakan untuk mencegah
munculnya zoonosis. Satu hal yang juga ditekankan dalam konsep ecohealth adalah
upaya-upaya penanganan penyakit melalui pendekatan budaya dan politik. Pendapat
yang menyatakan tentang perlunya medik konservasi dan ecohealth diperkenalkan
ke dalam bidang kesehatan hewan terutama penelitian dan kurikulum pendidikan
kedokteran hewan merupakan suatu perubahan mendasar dalam pola fikir dari
penekanan kepada ‘pengobatan’ (treatment) ke ‘pencegahan’ (prevention) (Aguirre
dan Gomez 2009).
Meskipun
mengkombinasikan ecohealth ke dalam apa yang sudah berjalan selama ini masih
sulit dilakukan, akan tetapi sudah saatnya profesi dokter hewan dalam
perspektif ke depan menyadari tentang konsep dasar kesehatan ekosistem,
perubahan lingkungan dan konservasi biologik. Disadari sangat kuat bahwa dokter
hewan ke masa depan dapat dipersiapkan dengan lebih baik untuk memecahkan
permasalahan penyakit-penyakit menular baru muncul apabila ditantang untuk
memahami secara baik paradigma kesehatan ekosistem dan sekaligus menyadari
perubahan lingkungan dan ekologi yang sedang terjadi (Aguirre dan Gomez 2009).
Paling
tidak isu-isu mendasar tentang kerusakan biodiversitas, perubahan iklim global
dan faktor-faktor pemicu kemunculan emerging infectious diseases dapat
dikenalkan kepada para perencana, peneliti dan akademisi di bidang kesehatan
hewan. Untuk itu prinsip-prinsip dasar dalam mempertimbangkan kesehatan dalam
kerangka ekologik seharusnya mulai diintegrasikan ke dalam metodologi penelitan
dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan (Aguirre dan Gomez 2009).
Dengan
memasukkan medik konservasi dan ecohealth ke dalam metoda penelitan dan
kurikulum pendidikan kedokteran hewan di seluruh dunia termasuk juga di
Indonesia, akan dapat mendidik para dokter hewan muda untuk merubah
paradigmanya dan mampu bekerja dalan wujud kerja kelompok yang transdisiplin.
Para profesional veteriner ini akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai
dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk memenuhi
peranan kritisnya dalam mempertahankan kesehatan global (Aguirre dan Gomez
2009).
Sejak
tahun 1950-an, bidang kesehatan hewan telah meluas dari semata-mata memberikan
perhatian kepada kesehatan dan penyakit dari individu hewan ke kelompok hewan
(herd or flock health), kesehatan masyarakat dan ekonomi bisnis (berkembang
dari kesehatan kelompok). Sejak paling tidak tahun 1990-an, bidang kesehatan
hewan di dunia telah berkembang ke arah pentingnya kesehatan ekosistem dalam
konteks kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia (Walter-Toews 2009a).
Pada
dasarnya bagi profesi dokter hewan, pelajaran tentang ini bisa dipetik dari
kemunculan penyakit-penyakit menular baru seperti bovine spongiform encephalophaty
(BSE), highly pathogenic avian influenza (HPAI), SARS, meningkatnya frekuensi
dan kemampuan destruksi dari kejadian perubahan iklim yang ekstrim, dan
punahnya spesies satwa liar yang penting secara ekologis atau sebagai sumber
pangan ekologi (Walter-Toews 2009a).
Sesungguhnya
profesi dokter hewan terperangkap ditengah-tengah berbagai kepentingan yang
saling bertentangan, oleh karena profesi ini memiliki klien dan pasien dari
berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat, satwa liar, ternak dan hewan
kesayangan. Oleh karenanya medik konservasi dan ecohealth menawarkan alternatif
pendekatan baru dan sangat menarik untuk memahami dan mengelola pola-pola
perubahan penyakit-penyakit menular baru muncul, terutama yang bersifat
zoonosis dalam konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi (Walter-Toews
2009b).
Kesadaran
yang semakin tinggi diantara profesi dokter hewan bahwa permasalahan kesehatan,
ekologi dan sosial adalah kompleks dan tertanam dalam struktur dan perubahan
sistem sosio-ekologik. Pendekatan lama dengan pemikiran linier sudah dianggap
tidak memadai untuk menjawab permasalahan yang kompleks tersebut dimana
kesehatan sudah tertanam ke dalam dinamika sistem sosio-ekologik yang juga
sangat kompleks. Untuk itu jawaban harus juga dicari dari sumber-sumber yang
tidak biasa bagi profesi dokter hewan, termasuk membuka diri dengan
menghapuskan batasan-batasan yang mengikat dokter hewan hanya kepada disiplin
ilmunya semata (Walter-Toews 2009b).
Kepentingan
Ecohealth dalam Dunia Kedokteran Hewan
Sejak
tahun 1950-an, para dokter hewan telah mengkhawatirkan mengenai kesehatan dan
penyakit hewan individu, kelompok hewan (herd and flock health), orang
(kesehatan masyarakat), ekonomi bisnis (yang berkembang dari kesehatan ternak).
Sejak tahun 1990-an, ekosistem yang merupakan bagian yang penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia (kesehatan ekosistem). Pencapaian
target ini dipengaruhi sifat praktik kedokteran hewan dan persepsi profesi oleh
masyarakat.
Dengan
kompetensi yang dimiliki seorang dokter hewan, maka dia harus bisa
mengidentifikasi suatu kondisi tidak seimbang yang terjadi di masyarakat dan
lingkungan sekitarnya yang disebabkan oleh suatu penyakit yang bersumber dari
hewan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Tujuan akhirnya bukan semata
bagaimana menangani atau memulihkan kondisi tersebut, melainkan bagaimana
mencegah agar kondisi serupa tidak terjadi tanpa melupakan faktor lain di luar
kondisi tersebut baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh
karenanya dalam konsep ecohealth, seorang dokter hewan dituntut untuk tidak
mengistimewakan dirinya sebagai satu-satunya orang atau profesi yang paling
mengerti dan mampu menyelesaikan permasalahan.
Seringkali tujuan akhir tidak tercapai, oleh karena dokter hewan kurang
memperhatikan aspek atau faktor lain yang sebenarnya terkait erat dengan
permasalahan tersebut seperti kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
atau kondisi alam dan lingkungan sekitar.
Kerjasama
berbagai bidang disiplin ilmu wajib diterapkan untuk saling mendukung dalam
menemukan jalan keluar terbaik.
Tentunya, masing-masing pihak mempunyai peran yang sama pentingnya
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Seperti
misalnya dalam pengendalian penyakit anthrax, selain diperlukan keahlian dokter
hewan yang mengerti tentang agen penyebab anthrax dan bagaimana cara
menanggulangi penyakit tersebut, diperlukan juga kompetensi ahli tanah untuk
mempelajari struktur tanah di lingkungan tertular. Di samping itu diperlukan
juga ahli sosial untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya masyarakat merasakan
ketidakseimbangan sosial yang terjadi akibat pengaruh kejadian anthrax di
lingkungan sekitarnya. Begitu juga ahli ekonomi veteriner untuk mengetahui
seberapa besar kerugian yang ditanggung masyarakat karena penyakit tersebut,
meskipun dalam skala kerugian yang paling kecil sekalipun. Begitu juga
keahlian-keahlian lain yang dibutuhkan untuk mendukung pencarian solusi
masalah.
BAB
III
KESIMPULAN
Tidak
ada solusi yang mudah dalam menghadapi permasalahan lingkungan global terutama
dalam mengantisipasi kemunculan penyakit-penyakit menular baru dan sudah jelas
diperlukan strategi jangka panjang untuk mengatasi itu. Dengan memasukkan medik
konservasi dan ecohealth ke dalam pemikiran tentang rancangan perencanaan,
penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan mulai saat ini akan
mendorong para dokter hewan untuk mencari solusi kritis terhadap permasalahan
penyakit menular baru muncul dengan perubahan paradigma menuju pemahaman
tentang sistem yang kompleks (complex system) dan pembentukan kelompok
transdisiplin.
Dengan
konsep ecohealth, para peneliti, akademisi dan pengambil kebijakan akan mampu
memahami dan melakukan campur tangan yang lebih baik terhadap faktor-faktor
sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang saling kait mengait di balik
menyebarnya suatu penyakit menular baru muncul.
Dengan
medik konservasi dan ecohealth, profesi dokter hewan akan mampu mewujudkan
keluaran yang lebih luas dengan mempertahankan kesinambungan kesehatan dan
kesejahteraan manusia dan hewan melalui ekosistem yang lebih sehat. Pendekatan
transdisiplin akan membantu pencapaian keluaran tersebut melalui proses yang
mempelajari keseimbangan antara kesehatan, lingkungan dan ekosistem, sehingga
dapat dibuat kebijakan, tindakan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap keluaran
yang ingin dicapai tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Allan
BF, Keesing F, Ostfeld RS. 2003. Effect of forest fragmentation on Lyme disease
risk. Conserv Biol. 17:267-272.
Aguirre
AA, Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation medicine and
ecosystem health: a global perspective. Rev sci tech Off Int Epiz. 28(2):
597-603.
Angulo
FJ, Nunnery JA, Blair HD. 2004. Antimicrobial resistance in zoonotic enteric
pathogens. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 23 (2): 485- 496.
Bazzani
R, Noronha L, Sanchez A. 2009. An Ecosystem Approach to Human Health: Building
a transdisciplinary and participatory research framework for the prevention of
communicable diseases.
http://www.globalforumhealth.org/forum8/forum8-cdrom/OralPre-
sentations/Sanchez%20Bain20%%20F8-165.doc
Bogich
TL, Chunara R, Scales D, Chan E, Pinheiro LC, Chmura AA, Carroll D, Daszak P,
Brownstein JS. 2012. Preventing pandemics via international development: a
systems approach. PLoS Med. 9:e1001354.
Brown
C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health sigancean overview.
Rev Sci Tech Off Int Epiz. 23 (2): 435- 442.
Cleaveland
S, Appel MGJ, Chalmers WSK, Chillingworth C, Kaare M, Dye C. 2000. Serological
and demographic evidence for domestic dogs as a source of canine distemper
virus infection for Serengeti wildlife. Vet Microbiol. 72:217-227.
Cleavaland
S, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of humans and their domestic
mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos
Trans Roy Soc Lond B Biol Sci. 356 (1411): 991-999.
Daszak
P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation Medicine
and a New Agenda for Emerging Diseases. Ann NY Acad Sci. 1026: 1-11.
Deon-Fiske.
2013. Ecohealth: a new approach to health? [internet]. [diunduh tanggal: 19
Juni 2015]. Tersedia pada:
http://docslide.us/documents/april-11-2013-ecohealth-a-new-approach-to-health.html.
Forget
G, Lebel J. 2001. An ecosystem approach to human health. Int J Occ and Envir
Health. 2 (7): S1–S38.
Graham
JP, Leibler JH, Price LB, Otte JM, Pfeiffer DU, Tiensin T, Silbergeld EK. 2008.
The animal–human interface and infectious disease in industrial food animal
production: rethinking biosecurity and biocontainment. Public Health Rep. 123,
282–299.
Jones
KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008.
Global trends in emerging infectious diseases. Nature. 451: 990-993.
Lebel
J. 2003. In-focus: Health An Ecosystem Approach. Canada: International
Development Research Centre.
Linehan
M, Hanson C, Weaver A, Baker M, Kabore A, Zoerhoff KL, Sankara D, Torres S,
Ottesen EA. 2011. Integrated implementation of programs targeting neglected
tropical diseases through preventive chemotherapy: proving the feasibility at
national scale. Am J of Tropical Med and Hyg. 84:5–14.
Lore
T. 2012. Kenya launches zoonotic disease unit to improve prevention and control
of zoonoses. AgHealth: Prevention and control of agriculture-associated
diseases http://aghealth.wordpress.com/2012/10/08/kenya-launches-zoonotic-disease-unitto-improve-prevention-and-control-of-zoonoses/.
Mazet
J, Daszak P, Goldstein T, Johnson C, Fair J, Wolfe N, Joly D, Smith K, Morse S,
Karesh W. 2011. Predicting pandemics: Using a one health approach to identify
and mitigate the emergence and spread of zoonoses from wildlife. Ecohealth.
7:S137–S137.
Morse
S. 2004. Factors and determinants of disease emergence. Rev sci tech off Int
Epiz. 23 (2): 443-451.
Morens
D, Folkers G, Fauci A. 2004. The challenge of emerging and re-emerging infectious
diseases. Nature. 430: 242-249.
Naipospos
TSP. 2011. Medik Konservasi dan Ecohealth sebagai pendekatan transdisiplin
dalam kesehatan hewan.
http://tatavetblog.blogspot.com/2011/01/medik-konservasi-dan-ecohealth-sebagai.html.
Tabor
GM. 2002. Conservation Medicine; Ecological health in Practice. New York (USA):
Oxford University Press.
Thiermann
A. 2004. Emerging diseases and implication for global trade. Rev sci tech off
Int Epiz. 23 (2): 701- 708.
Walter-Toews
D. 2009a. Eco-Health: A primer for veterinarians. Can Vet J. 50: 519-521.
Walter-Toews
D. 2009b. Food, global environmental change and health: ecohealth to the
rescue?. McGill J of Medicine. 12(1): 85-89.
Wolfe
ND, Heneine W, Carr JK, Garcia AD, Shanmugam V, Tamoufe U, Torimiro JN, Prosser
AT, LeBreton M, Mpoudi-Ngole E, et al. 2005. Emergence of unique primate
T-lymphotropic viruses among central African bushmeat hunters. Proc Natl Acad
Sci US. 102:7994-7999.
***
Catatatan:
Makalah
ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati
Hewani dengan nomor katalog: 602.01.0024.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Dede
Sri Wahyuni, MSi. Medik Veteriner Muda, Pejabat Fungsional Pusat Karantina
Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.
******