PENGENDALIAN EMERGING DAN RE-EMERGING ZOONOSES MELALUI PENDEKATAN ECOHEALTH

Emerging dan re-emerging infectious disease merupakan manifestasi penurunan kualitas kesehatan akibat adanya perubahan ekologi, Munculnya re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi, patogen atau vektor. Makalah ini ditulis oleh drh. Dede Sriwahyuni MSi, Medik Veteriner Muda, Pusat Karantina Hewan.


******


PENGENDALIAN EMERGING DAN RE-EMERGING ZOONOSES 
MELALUI PENDEKATAN ECOHEALTH


Oleh:
Dede Sri Wahyuni


ABSTRAK

Hampir setengah abad kalangan di dunia kedokteran difokuskan pada emerging dan re-emerging zoonoses (EZ dan REZ) sebagai ancaman bagi kesehatan global. EZ dan REZ terutama berasal dari daerah tropis dengan keanekaragaman satwa liar dan populasi manusia yang terus meningkat. Konsep ecohealth diharapkan dapat meminimalisir munculnya dampak EZ dan REZ yang belum diketahui cara penanganannya serta berdampak secara ekonomi dan kesehatan. Ecohealth didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk pencegahan, diagnostik dan prognostik aspek manajemen ekosistem dan untuk memahami hubungan antara kesehatan ekosistem dan kesehatan manusia. Pendekatan ecohealth diperlukan kerjasama antara para ilmuwan, masyarakat dan pembuat kebijakan. Ada 3 pilar ecohealth yaitu transdisciplinarity, participation dan equity. Transdisciplinarity menggambarkan bahwa ecohealth bukan hanya berupa satu disiplin ilmu/bidang saja tetapi terdiri dari berbagai bidang yang memiliki semua jawaban untuk mengatasi permasalahan kompleks kesehatan. Participation bertujuan untuk mencapai konsesus dan kerjasama antara masyarakat, peneliti dan kelompok pembuat kebijakan. Equity melibatkan analisa dari masing-masing pria dan wanita dalam kelompok sosial.

Kata kunci: ecohealth, emerging infectious diseases, ekosistem, kesehatan.

******

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyakit-penyakit menular baru muncul (emerging infectious diseases) merupakan ancaman terhadap kesehatan manusia dalam 30 tahun terakhir. Penyakit-penyakit baru muncul tersebut dapat meluas dalam cakupan geografis, berpindah dari satu spesies ke spesies yang lain, meningkat baik dari segi dampak maupun virulensinya, mengalami perubahan patogenesis, atau disebabkan oleh patogen yang bermutasi. Beberapa emerging infectious diseases tersebut relatif hanya berdampak kepada sebagian kecil populasi manusia, akan tetapi merepresentasikan proporsi ancaman tertentu karena tingkat kasus fatalitasnya yang tinggi dan belum tersedianya vaksin atau terapi yang efektif (Daszak et al. 2004).

Penyakit-penyakit menular baru muncul sekitar 60.3% bersifat zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia), dengan mayoritas (71.8%) berasal dari satwa liar (Jones et al. 2008). Penanggulangan melawan kemunculan penyakit-penyakit tersebut merupakan kunci dari upaya-upaya kesehatan masyarakat secara nasional dan global (Daszak et al. 2004). Beberapa emerging zoonoses diantaranya adalah ebola virus, bovine spongiform encephalopathy (BSE), nipah virus, rift valley fever (RVF), alveolar echinococcosis, severe acute respiratory syndrome (SARS), dan monkeypox (Brown 2004).

Munculnya re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Penyakit yang termasuk dalam re-emerging zoonoses diantaranya adalah rabies, virus marburg, rift valley fever (RVF), bovine tuberculosis, Brucella sp. pada satwa liar, tularemia, plaque, dan leptospirosis (Angulo et al. 2004). Emerging dan re-emerging infectious disease merupakan manifestasi penurunan kualitas kesehatan akibat adanya perubahan ekologi (Tabor 2002).

Beberapa faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses diantaranya adalah pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki produsen ternak yang intensif (Brown 2004).

Sedangkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian emerging zoonoses diantaranya peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk sebagai hasil dari globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi manusia ke wilayah yang sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan perubahan peternakan dan teknologi produksi (Thiermann 2004). Morse (2004) menyatakan bahwa globalisasi perdagangan dan pemanasan global (global warming) menjadi faktor penting penyebab munculnya zoonosis.

Perilaku manusia di dunia dalam skala luas menyumbang terhadap munculnya zoonosis, termasuk tekanan populasi, deforestasi, intensifikasi pertanian, perdagangan global hewan liar dan konsumsi daging secara berlebihan. Para peneliti sekarang mulai melihat dan meneliti bagaimana kerusakan seperti pemanasan global, deforestrasi yang meluas dan polusi kimia pada lingkungan laut dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan keseimbangan flora dan fauna, termasuk manusia dan hewan.

Munculnya emerging dan re-emerging zoonoses sebagai dampak dari perubahan iklim, interaksi antara manusia dan hewan serta kerusakan ekosistem tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan tradisional yang menawarkan solusi terbatas. Berhadapan dengan kompleksitas ini dimana tidak dapat diabaikan hubungan antara manusia, hewan kesayangan, peternakan dan satwa liar dan lingkungan sosial dan ekologinya jelas dibutuhkan pendekatan terintegratif pada kesehatan manusia dan hewan dalam konteks sosial dan lingkungan.

Konsep pendekatan baru ecohealth diharapkan dapat meminimalisir munculnya dampak dari emerging and re-emerging zoonoses. Kedua konsep ini muncul sebagai jawaban dari munculnya berbagai penyakit baru yang tidak diketahui cara penanganannya serta berdampak secara ekonomi dan kesehatan.

Tujuan
Tulisan ini untuk membahas mengenai cara pengendalian emerging dan re-emerging zoonoses melalui pendekatan ecohealth. 


BAB II
PEMBAHASAN

Emerging dan Re-emerging Zoonoses
Dalam beberapa dekade terakhir dunia dihadapkan pada ancaman emerging dan re-emerging zoonoses. Emerging zoonoses merupakan zoonosis yang baru muncul, dapat terjadi dimana saja di dunia dengan potensi dampak yang terus meningkat. Sedangkan re-emerging zoonoses merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah muncul, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat kembali saat ini. Variasi pola penyebaran dan cara penularan yang tidak sepenuhnya diketahui membuat dunia internasional memberikan perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan ini. Globalisasi perdagangan dan pemanasan global (global warming) menjadi faktor penting penyebab munculnya zoonosis (Morse 2004).

Brown (2004) membagi emerging and re-emerging zoonoses menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: (1) zoonosis yang baru diketahui (newly recognised); (2) zoonosis yang baru muncul (newly evolved); dan (3) zoonosis yang sudah terjadi sebelumnya tetapi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan insidensi atau perluasan ke wilayah geografis, induk semang atau keragaman vektor yang baru.

Studi yang dilakukan oleh Cleaveland et al. (2001) berhasil mengidentifikasi sebanyak 1 415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia yang meliputi 217 virus dan prion, 538 bakteri dan rickettsia, 307 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah tersebut sebanyak 872 (61.6%) bersumber dari hewan. Kemudian dari jumlah tersebut sebanyak 616 (70.6%) spesies patogen berasal dari ternak dan diantaranya 476 (77.3%) dapat menyerang multi spesies. Sebanyak 175 spesies patogen dianggap berkaitan dengan penyakit yang baru muncul (emerging diseases). Dari 175 spesies patogen tersebut, 132 (75%) adalah zoonosis.

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia dikhawatirkan dengan munculnya sejumlah emerging zoonoses seperti highly pathogenic avian influenza (HPAI), hantavirus pulmonary syndrome, west nile virus (di Amerika Serikat), lyme disease, haemolytic uraemic syndrome (Escherichia coli serotipe O157:H7), dan hendra virus (Morse 2004).

 Gambar 1. Jumlah semua spesies organisme hidup 
yang diketahui sampai saat ini (Morse 1993)

Faktor-faktor yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan emerging zoonoses diantaranya adalah pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi pemeliharaan satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki produsen ternak yang intensif (Brown 2004). Sedangkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian emerging zoonoses diantaranya peningkatan yang cepat dari pergerakan manusia dan produk sebagai hasil dari globalisasi, perubahan lingkungan, perluasan populasi manusia ke wilayah yang sebelumnya tidak dihuni, perusakan habitat hewan, dan perubahan peternakan dan teknologi produksi (Thiermann 2004).

Kemunculan re-emerging zoonoses dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Seringkali terjadi peningkatan secara alamiah dan penurunan aktivitas penyakit di suatu wilayah geografis tertentu dan selama berbagai periode waktu. Penyakit yang termasuk dalam re-emerging zoonoses diantaranya adalah rabies, virus marburg, rift valley fever (RVF), bovine tuberculosis, Brucella sp. pada satwa liar, tularemia, plaque, dan leptospirosis (Angulo et al. 2004).

Penyakit menular baru muncul yang menyerang manusia, satwa liar dan tanaman dihubungkan dengan dua karakteristik umum. Pertama, penyakit-penyakit tersebut mengalami proses yang tidak pernah putus, baik dalam bentuk insidensi yang terus meningkat, jangkauan hospes atau geografis yang terus menyebar, atau patogenisitas, virulensi dan faktor-faktor lainnya yang terus berubah (Naipospos 2011).

Kedua, proses perubahan tersebut hampir selalu dipicu oleh sejumlah perubahan lingkungan antropogenik dalam skala luas (contohnya deforestasi, perambahan pertanian, pemekaran daerah urban) atau perubahan akibat struktur populasi manusia (contohnya meningkatnya densitas penduduk dikaitkan dengan urbanisasi) atau perubahan perilaku (contohnya meningkatnya penggunaan obat, perubahan praktek-praktek medik, intensifikasi pertanian, perdagangan internasional). Antropogenik dalam hal ini diartikan sebagai konversi ruang, lahan atau lingkungan alamiah yang disebabkan oleh perilaku manusia atau akibat kegiatan yang dilakukan manusia (Daszak et al. 2004).

Dengan melakukan analisa spasial yang membandingkan antara lokasi kejadian-kejadian penyakit menular baru dengan berbagai variabel sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, maka dapat dibuat suatu pemetaan distribusi global dari patogen-patogen zoonotik yang bersumber dari spesies satwa liar (a), non satwa liar (b), dan yang disebabkan oleh patogen resisten obat (c), dan yang ditularkan lewat vektor (d), seperti terlihat pada Gambar 2 (Jones et al. 2008).

 Gambar 2. Distribusi global kejadian penyakit-penyakit menular 
baru muncul (Jones et al. 2008)

Penelitian-penelitian mengenai emerging zoonoses mulai diarahkan untuk menanggulangi aspek-aspek mendasar yang mengatur proses kemunculan tersebut. Model-model yang diprediksi berdasarkan analisa iklim digunakan untuk mempelajari tentang penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor. Begitu juga upaya untuk merancang model-model dinamika hospes-patogen dengan sekaligus mempelajari evolusi patogennya untuk menganalisis proses kemunculan tersebut (Naipospos 2011).

Arah Kebijakan Pembangunan dalam Rangka Emerging Zoonosis
Selama hampir setengah abad, kalangan di dunia kedokteran di sebagian besar negara-negara maju difokuskan pada emerging infectious diseases (EIDs) sebagai ancaman bagi kesehatan global. EIDs terutama berasal dari daerah tropis di mana keanekaragaman hayati satwa liar dengan kepadatan populasi manusia yang terus meningkat (Jones et al. 2008). Selain itu, sebagian besar negara-negara yang merupakan rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati dunia juga merupakan negara-negara miskin. Negara-negara ini memiliki sumberdaya manusia yang terbatas dalam bidang kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam mengatasi ancaman penyakit endemik serta lamanya proses identifikasi penyakit dan penanggulangan patogen yang muncul. Secara garis besar, miskinnya infrastruktur kesehatan masyarakat menjadi hambatan utama dalam perkembangan global dan dapat berkontribusi pada peningkatan penyakit (Obligasi et al. 2010). Kesehatan yang buruk menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Sebagai bagian dari strategi untuk menghadapi tantangan dalam menciptakan sistem kesehatan terpadu dan berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah pencegahan pandemi. Wabah penyakit menular umumnya memiliki dampak ekonomi yang diamati di negara-negara maju, namun umumnya muncul di daerah berkembang. Penelitian Bogich et al. (2012) menunjukkan bahwa kerusakan infrastruktur kesehatan masyarakat secara nasional sebagai sumber dominan terjadinya wabah. Pendanaan pembangunan infrastruktur kesehatan masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan wabah sebagai tanggap darurat. Mengingat bahwa pandemi terbaru biasanya berawal dari zoonosis, relevansi pendekatan ecohealth untuk pencegahan pandemi sangatlah penting.

Pendekatan ecohealth dilakukan untuk pembangunan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat serta penyakit hewan/veteriner. Sistem pararel yang terus-menerus dalam proyek pengendalian penyakit menular pada manusia, harus dilaksanakan secara sinergi dan terintegrasi dengan pengendalian penyakit pada hewan. USAID telah mencoba memprakarsai program tersebut. USAID mendanai sistem flu burung global yang dilanjutkan dengan program pengendalian ancaman pandemi yang baru muncul, dengan tujuan mengintegrasikan kesehatan hewan dan manusia, memfasilitasi kemajuan teknologi dan laboratorium sambil membangun kapasitas lokal (Mazet et al. 2011).

Pada skala nasional, USAID telah mendukung Uganda untuk menggabungkan semua program penyakit di negara tropis yang terabaikan menjadi satu sistem terkoordinasi (Linehan et al. 2011). Demikian juga, dengan dukungan dari berbagai lembaga AS (termasuk Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit), Kenya juga meluncurkan Unit Penyakit Zoonosis pada Oktober 2012, dimana ahli epidemiologi dari kedua Kementerian Pertanian dan Peternakan dan Departemen Kesehatan dan Sanitasi Masyarakat duduk bersama untuk memantau dan menanggapi wabah penyakit (Lore 2012). Dengan demikian, dalam rangka pembangunan kesehatan perlu didorong pengawasan bersama kesehatan hewan dan satwa liar untuk pendekatan yang lebih terintegrasi dalam mengendalikan penyakit zoonosis.

Ecohealth
Konsep ecohealth atau ecosystem health, awalnya diistilahkan dengan ‘medikekosistem’ atau ecosystem medicine, dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana para peneliti mulai memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan mengamati gejala umum degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai ‘sindroma gangguan ekosistem’. Ecohealth dapat didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk pencegahan, diagnostik dan prognostik aspek manajemen ekosistem dan untuk memahami hubungan antara kesehatan ekosistem dan kesehatan manusia (Aguirre dan Gomez 2009).

Ecohealth mengkaji perubahan-perubahanlingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan menghubungkan perubahan-perubahanini dengan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain sebagainya untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan (Gambar 3).

Gambar 3 Konsep Ecohealth

Pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Ekonomi, lingkungan dan kebutuhan masyarakat akan mempengaruhi kesehatan ekosistem. Dengan demikian pendekatan ekosistem dalam ecohealth perlu dilihat sebagai suatuhirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkanbegitu saja dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun spasial dari kehidupan manusia (Lebel 2003).

Munculnya emerging and re-emerging zoonoses dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah adanya perubahan iklim (global warming) dan deforestry yang berpengaruh terhadap perubahan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem akan berpengaruh terhadap munculnya agen patogen baru. Beberapa contoh yang menunjukan keterkaitan antara kerusakan ekosistem dengan munculnya penyakit diantaranya adalah fragmentasi hutan-hutan di Amerika Utara kedalam segmen-segmen kurang dari 2 (dua) hektar telah mengubah ekologi fauna hutan dan menyebabkan peningkatan penularan lyme disease akibat kedekatan hewan dan manusia (Allan et al. 2003). Peningkatan perkampungan dengan kepadatan populasi anjing domestik yang tinggi yang berdekatan dengan Taman Nasional Serengeti menyebabkan persilangan spesies yang tidak diharapkan dan munculnya distemper pada singa di Taman Nasional (Cleaveland et al. 2000). Pembuatan jalan di bagian dalam hutan di Afrika Barat telah memfasilitasi perburuan primata untuk konsumsi (the bushmeat trade) dan telah menyebabkan penyakit baru pada manusia yang dibawa dari pemotongan dan konsumsi primata termasuk virus T-lymphotropic (Wolfe et al. 2005), virus Ebola dan HIV (Wolve et al. 2005).

Gambar 4 Kompleksitas permasalahan (Waltner-Toews 2009)

Terkait dengan kondisi dimana perubahan ekosistem berpengaruh terhadap kesehatan manusia maka disusun suatu konsep yang secara terintegrasi mempelajari dampak perubahan ekosistem terhadap kesehatan manusia. Ecosystem approaches to health or ecohealth dapat didefinisikan sebagai pendekatan partisipatif secara sistemik untuk memahami dan mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan dalam konteks sosial dan interaksi ekologi (Waltner-Toews 2009).

Konsep ecohealth muncul sekitar tahun 1990-an yang diinisiasi oleh International Development Research Centre in Ottawa (IDRC), Canada (Lebel 2003). Awalnya konsep serupa sudah pernah dikenalkan antara abad 18 sampai awal abad 19. Tetapi upaya-upaya pada waktu itu tidak cukup berhasil. Kemudian pendekatan terintegrasi pada kesehatan dan ekologi ini dimunculkan kembali tahun 1990-an dan termasuk konsep one health, conservation medicine, ketahanan ekologi, integritas ekologi, komunitas kesehatan dan berbagai pendekatan lainnya.

Pendekatan ecohealth saat ini dipraktekan secara partisipatif, sistem berbasis pendekatan untuk pemahaman dan mempromosikan kesehatan dalam konteks interaksi sosial dan ekologi. Ecohealth membawa dokter, dokter hewan, ecologist, economist, peneliti sosial, perencana dan yang lainnya untuk belajar dan memahami bagaimana perubahan ekosistem berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Ecohealth berkomitmen mengintegrasikan ilmu lingkungan, termasuk sosial, ekonomi, budaya dan interaksi politik dengan elemen ekologi sebagai aspek ekosistem (Forget dan Lebel 2001). Ecohealth berusaha untuk menyediakan inovasi, solusi praktis untuk mengurangi efek negatif terhadap kesehatan akibat perubahan ekosistem.

Enam Prinsip Ecohealth

Berikut ini adalah 6 Prinsip Ecohealth (6 Ecohealth principles) (Deon-Fiske 2013):

1. Systems Thinking (Berpikir Sistemik)
-Menunjukkan pola dan hubungan antara sistem sosioekonomi dan ekosistem.
-Memeriksa batasan dan dinamika suatu permasalahan dari beberapa perspektif dan menggunakan ukuran yang berbeda-beda.

2. Transdisciplinary Research (Riset / Penelitian Lintas Disiplin)
-Mengintegrasikan metodologi, teori, dan konsep dari berbagai disiplin ilmu dengan perspektif non-akademis.

3. Participation (Partisipasi)
-Memimpin inovasi, kerjasama (kooperasi), dan kolaborasi berbasis masyarakat local.

4. Sustainability (Keberlanjutan)
-Integrasi keberlanjutan/kelestarian sosial dan ekologis yang mendukung bidang ecohealth.

5. Gender and Social Equity (Kesetaraan Gender dan Sosial)
-Penelitian kesehatan tidak boleh mengabaikan perbedaan tingkat kesehatan pada tiap anggota masyarakat dari kelompok sosial, ekonomi, umur, atau gender yang berbeda.
-Perbedaan ini tampak pada hubungan mereka dengan ekosistem, paparan mereka pada status, kesejahteraan, dan risiko kesehatan yang berbeda.

6. Knowledge-to-Action (Pengetahuan-ke-Tindakan)
-Pendekatan berorientasi-tindakan pada penelitian untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, serta mempromosikan kesetaraan dan kelestarian.

Seperti diketahui, pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Dengan demikian pendekatan ecohealth perlu dilihat sebagai suatu hirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun spasial dari kehidupan manusia (Bazzani et al. 2009).

Dalam pendekatan ecohealth diperlukan kerjasama antara para peneliti atau spesialis, masyarakat dan pembuat kebijakan (decision maker) baik pemerintah maupun pimpinan masyarakat. Lebel (2003) menyatakan bahwa berbasis pada program IDRC ada 3 pilar ecohealth yaitu transdisciplinarity, participation dan equity. Pilar pertama berupa transdisciplinarity menggambarkan bahwa ecohealth bukan hanya berupa satu disiplin ilmu/bidang saja tetapi terdiri dari berbagai bidang yang memiliki semua jawaban untuk mengatasi permasalahan kompleks kesehatan. Pilar kedua berupa partisipasi bertujuan untuk mencapai konsesus dan kerjasama tidak hanya dalam masyarakat, peneliti dan kelompok pembuat kebijakan tetapi juga diantara mereka. Pilar ketiga berupa equity melibatkan analisa dari masing-masing pria dan wanita dalam kelompok sosial.

Keterkaitan antara manusia, hewan dan ekosistem yang ada Lebih dalam proses ekologi harus dipahami sebagai bagian penting dalam ecohealth. Beberapa pakar menyatakan bahwa ecohealth lebih luas dari one health karena mencakup ekologi bukan hanya lingkungan, transdisciplinary bukan hanya multidisciplinary, dan kesehatan global (global health). Global health yang dimaksudkan dalam ecohealth tidak sebatas pada kesehatan saja akan tetapi juga keseimbangan dan keselarasan pembangunan manusia dengan ekosistemnya yang kesemuanya berada dalam satu sistem yang kompleks (complex system) dan didekati dengan kajian sistem (system-based approach) dan partisipatif.

Medik Konservasi dan Pendekatan Ecohealth
Beberapa tahun terakhir ini, medik konservasi (conservation medicine) digunakan dalam berbagai konteks oleh sejumlah komunitas ilmuwan, kelompok-kelompok peneliti dan organisasi-organisasi internasional dan nasional. Pendekatan baru untuk perlindungan diversitas biologik menimbulkan tantangan bagi kalangan ilmuwan dan praktisi di bidang ilmu-ilmu kesehatan, biologi dan sosial untuk memikirkan cara-cara baru, kolaboratif dan transdisiplin untuk mengatasi gangguan kesehatan ekologis dalam situasi krisis biodiversitas (Aguirre dan Gomez 2009).

Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global. Lingkungan global terancam oleh sejumlah fenomena yang mudah menyebar dan sinergis sebagai hasil dari meningkatnya populasi manusia, perubahan iklim, kemiskinan biologik, emerging infectious diseases dan toksifikasi global. Faktor-faktor ini bekerja secara bersamaan untuk mengganggu kesehatan manusia, hewan domestik, satwa liar dan lingkungan (Aguirre dan Gomez 2009).

Dengan memadukan ilmu kesehatan, ekologi dan konservasi biologik secara bersamaan, medik konservasi meneliti permasalahan dengan cara-cara inklusif mengingat dampak kesehatan terhadap populasi dan ekosistem. Prinsip utama dari disiplin ini adalah kesehatan menghubungkan semua spesies yang erat hubungannya dengan proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009).

Para peneliti medik konservasi memliki agenda baru sebagai respon terhadap semakin berkembangnya implikasi kesehatan terhadap degradasi lingkungan. Hal ini dilakukan dengan mempelajari lebih mendalam tentang kaitan antara perubahan struktur habitat dan pemanfaatan lahan, kemunculan dan munculnya kembali patogen tertentu dan dampak kontaminan lingkungan, ketahanan fungsi biodiversitas dan ekosistem, serta dampak penyakit terhadap spesies langka (endangered species).

Sebaliknya konsep ecohealth atau ecosystem health (awalnya diistilahkan dengan ‘medik ekosistem’ atau ecosystem medicine) dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana para peneliti mulai memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan mengamati gejala umum degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai ‘sindroma gangguan ekosistem’ (Aguirre dan Gomez 2009).

Ecohealth adalah juga disiplin ilmu baru muncul yang mempelajari bagaimana perubahan dalam ekosistem bumi mempengaruhi kesehatan manusia. Ecohealth mengkaji perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan menghubungkan perubahan-perubahan ini dengan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain sebagainya untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan (Naipospos 2011).

Baik medik konservasi dan ecohealth menggunakan pendekatan ekosistem yang mengeksplorasi hubungan antara berbagai komponen ekosistem untuk menetapkan dan menilai prioritas faktor-faktor penentu kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kedua disiplin ini berangkat dari suatu pemahaman tentang definisi yang holistik dari ‘kesehatan’ yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (1948) yaitu suatu status dimana keadaan fisik, mental dan sosial dinyatakan sehat dan bukan semata-mata tidak ada penyakit atau lemah” (Bazzani et al. 2009).

Seperti diketahui, pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Gambar 5). Dengan demikian pendekatan ekosistem dalam medik konservasi dan ecohealth perlu dilihat sebagai suatu hirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun spasial dari kehidupan manusia (Bazzani et al. 2009).

Gambar 5 Perubahan pendekatan terhadap kesehatan (Bazzani et al. 2009)

Kerangka pendekatan ekosistem tersebut diatas adalah transdisiplin yang sangat esensial diperlukan dalam memahami interaksi sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang mengarah kepada munculnya emerging infectious diseases. Pendekatan transdisiplin diartikan sebagai aplikasi pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang keluar dari batasan disiplin akademik konvensional (Naipospos 2011). 

Transdisiplin dimaksudkan sebagai pengetahuan antar disiplin, lintas disiplin yang berbeda, dan di luar disiplin individual yang menghasilkan suatu kerangka terpadu baru. Untuk membedakannya dengan apa yang dimaksud dengan pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Multidisiplin adalah suatu pekerjaan independen atau berurutan dari beberapa disiplin, akan tetapi berasal dari perspektif suatu kerangka disiplin tertentu. Sedangkan interdisiplin adalah transfer metoda dari satu disiplin ke suatu pekerjaan terpadu yang lain, akan tetapi tetap berasal dari perspektif suatu kerangka disiplin tertentu (Naipospos 2011).

Untuk memahami interaksi antara sistem sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi dalam kaitannya dengan kemunculan penyakit menular baru, disadari tidak lagi bisa dilakukan dengan metoda disiplin tradisional atau klasik yang saling terpisah satu sama lain. Ke depan diperlukan suatu gagasan yang konseptual dan metodologik untuk mengikat setiap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing disiplin, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap permasalahan penyakit yang sedang dikaji (Naipospos 2011).

Pendekatan Ecohealth dalam Pengendalian Emerging Zoonosis
Era globalisasi dengan berbagai efek lanjutannya menstimulasi munculnya emerging and re-emerging zoonoses. Pola penyebaran dan penanganan yang belum sepenuhnya diketahui menjadi kendala dunia dalam menghadapi ancaman zoonosis. Penyakit yang muncul menunjukan interaksi yang kompleks antara manusia, hewan domestik dan satwa liar bersama kerusakan ekosistem yang ada. Banyak contoh semakin menjelaskan bahwa banyaknya penyakit baru sebagai hasil kerusakan lingkungan dan peningkatan kontak diantara manusia dan hewan domestik dan satwa liar dalam lingkungan yang terganggu. Pemahaman yang penuh terhadap sejarah penyakit baru dan strategi efektif untuk kontrol membutuhkan kolaborasi, upaya interdisiplin spesialis kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.

Gambar 6. Contoh emerging dan re-emerging infectious disease 
di dunia (Morens et al. 2004)

Munculnya emerging zoonoses menunjukan adanya interaksi yang kompleks antara manusia, hewan domestik dan populasi satwa liar bersama dengan kerusakan ekosistem. Hal ini jelas menunjukan perlunya pemahaman yang efektif dan pencegahan penyakit membutuhkan transdisiplin atau melalui pendekatan one health dan ecohealth dengan melibatkan dokter hewan, dokter, ahli biologi satwa liar, ecologist dan peneliti lingkungan serta lainnya.

Pendekatan one health dengan memperkuat penelitian dan surveilan yang dilakukan secara terintegrasi antara otoritas kesehatan hewan dan kesehatan manusia akan membantu dalam upaya pencegahan dan pengendalian zoonosis. Hal yang tidak kalah penting adalah pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis. Pengendalian rabies di Afrika yang berbasis masyarakat/komunitas (community based animal health workers) merupakan salah satu pendekatan dengan konsep one health dan ecohealth. Pendekatan berbasis masyarakat menjadi salah satu kunci sukses dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis.

Sementara dengan perbaikan ekosistem seperti meminimalisir deforestrasi akan dapat mencegah interaksi/kontak satwa liar dengan manusia atau hewan domestik. Upaya pencegahan kontak satwa liar dengan manusia dan hewan domestik ini akan mencegah munculnya emerging zoonosis maupun vector-borne disease. Selain itu biosekuriti dan biocontainment pada hubungan antar manusia dan hewan dalam industri makanan memerlukan pertimbangan ekosistem (Graham et al. 2008).

Pendekatan ecohealth menitikberatkan pada kerjasama antar disiplin ilmu/bidang dalam mengatasi permasalahan yang ada. Pemahaman akan konsep ecohealth akan membantu menciptakan keseimbangan ekosistem yang dapat digunakan untuk mencegah munculnya zoonosis. Satu hal yang juga ditekankan dalam konsep ecohealth adalah upaya-upaya penanganan penyakit melalui pendekatan budaya dan politik. Pendapat yang menyatakan tentang perlunya medik konservasi dan ecohealth diperkenalkan ke dalam bidang kesehatan hewan terutama penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan merupakan suatu perubahan mendasar dalam pola fikir dari penekanan kepada ‘pengobatan’ (treatment) ke ‘pencegahan’ (prevention) (Aguirre dan Gomez 2009).

Meskipun mengkombinasikan ecohealth ke dalam apa yang sudah berjalan selama ini masih sulit dilakukan, akan tetapi sudah saatnya profesi dokter hewan dalam perspektif ke depan menyadari tentang konsep dasar kesehatan ekosistem, perubahan lingkungan dan konservasi biologik. Disadari sangat kuat bahwa dokter hewan ke masa depan dapat dipersiapkan dengan lebih baik untuk memecahkan permasalahan penyakit-penyakit menular baru muncul apabila ditantang untuk memahami secara baik paradigma kesehatan ekosistem dan sekaligus menyadari perubahan lingkungan dan ekologi yang sedang terjadi (Aguirre dan Gomez 2009).

Paling tidak isu-isu mendasar tentang kerusakan biodiversitas, perubahan iklim global dan faktor-faktor pemicu kemunculan emerging infectious diseases dapat dikenalkan kepada para perencana, peneliti dan akademisi di bidang kesehatan hewan. Untuk itu prinsip-prinsip dasar dalam mempertimbangkan kesehatan dalam kerangka ekologik seharusnya mulai diintegrasikan ke dalam metodologi penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan (Aguirre dan Gomez 2009).

Dengan memasukkan medik konservasi dan ecohealth ke dalam metoda penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia, akan dapat mendidik para dokter hewan muda untuk merubah paradigmanya dan mampu bekerja dalan wujud kerja kelompok yang transdisiplin. Para profesional veteriner ini akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk memenuhi peranan kritisnya dalam mempertahankan kesehatan global (Aguirre dan Gomez 2009).

Sejak tahun 1950-an, bidang kesehatan hewan telah meluas dari semata-mata memberikan perhatian kepada kesehatan dan penyakit dari individu hewan ke kelompok hewan (herd or flock health), kesehatan masyarakat dan ekonomi bisnis (berkembang dari kesehatan kelompok). Sejak paling tidak tahun 1990-an, bidang kesehatan hewan di dunia telah berkembang ke arah pentingnya kesehatan ekosistem dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia (Walter-Toews 2009a).

Pada dasarnya bagi profesi dokter hewan, pelajaran tentang ini bisa dipetik dari kemunculan penyakit-penyakit menular baru seperti bovine spongiform encephalophaty (BSE), highly pathogenic avian influenza (HPAI), SARS, meningkatnya frekuensi dan kemampuan destruksi dari kejadian perubahan iklim yang ekstrim, dan punahnya spesies satwa liar yang penting secara ekologis atau sebagai sumber pangan ekologi (Walter-Toews 2009a).

Sesungguhnya profesi dokter hewan terperangkap ditengah-tengah berbagai kepentingan yang saling bertentangan, oleh karena profesi ini memiliki klien dan pasien dari berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat, satwa liar, ternak dan hewan kesayangan. Oleh karenanya medik konservasi dan ecohealth menawarkan alternatif pendekatan baru dan sangat menarik untuk memahami dan mengelola pola-pola perubahan penyakit-penyakit menular baru muncul, terutama yang bersifat zoonosis dalam konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi (Walter-Toews 2009b).

Kesadaran yang semakin tinggi diantara profesi dokter hewan bahwa permasalahan kesehatan, ekologi dan sosial adalah kompleks dan tertanam dalam struktur dan perubahan sistem sosio-ekologik. Pendekatan lama dengan pemikiran linier sudah dianggap tidak memadai untuk menjawab permasalahan yang kompleks tersebut dimana kesehatan sudah tertanam ke dalam dinamika sistem sosio-ekologik yang juga sangat kompleks. Untuk itu jawaban harus juga dicari dari sumber-sumber yang tidak biasa bagi profesi dokter hewan, termasuk membuka diri dengan menghapuskan batasan-batasan yang mengikat dokter hewan hanya kepada disiplin ilmunya semata (Walter-Toews 2009b).

Kepentingan Ecohealth dalam Dunia Kedokteran Hewan
Sejak tahun 1950-an, para dokter hewan telah mengkhawatirkan mengenai kesehatan dan penyakit hewan individu, kelompok hewan (herd and flock health), orang (kesehatan masyarakat), ekonomi bisnis (yang berkembang dari kesehatan ternak). Sejak tahun 1990-an, ekosistem yang merupakan bagian yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia (kesehatan ekosistem). Pencapaian target ini dipengaruhi sifat praktik kedokteran hewan dan persepsi profesi oleh masyarakat.

Dengan kompetensi yang dimiliki seorang dokter hewan, maka dia harus bisa mengidentifikasi suatu kondisi tidak seimbang yang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang disebabkan oleh suatu penyakit yang bersumber dari hewan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Tujuan akhirnya bukan semata bagaimana menangani atau memulihkan kondisi tersebut, melainkan bagaimana mencegah agar kondisi serupa tidak terjadi tanpa melupakan faktor lain di luar kondisi tersebut baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. 

Oleh karenanya dalam konsep ecohealth, seorang dokter hewan dituntut untuk tidak mengistimewakan dirinya sebagai satu-satunya orang atau profesi yang paling mengerti dan mampu menyelesaikan permasalahan.  Seringkali tujuan akhir tidak tercapai, oleh karena dokter hewan kurang memperhatikan aspek atau faktor lain yang sebenarnya terkait erat dengan permasalahan tersebut seperti kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat atau kondisi alam dan lingkungan sekitar. 

Kerjasama berbagai bidang disiplin ilmu wajib diterapkan untuk saling mendukung dalam menemukan jalan keluar terbaik.  Tentunya, masing-masing pihak mempunyai peran yang sama pentingnya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.  

Seperti misalnya dalam pengendalian penyakit anthrax, selain diperlukan keahlian dokter hewan yang mengerti tentang agen penyebab anthrax dan bagaimana cara menanggulangi penyakit tersebut, diperlukan juga kompetensi ahli tanah untuk mempelajari struktur tanah di lingkungan tertular. Di samping itu diperlukan juga ahli sosial untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya masyarakat merasakan ketidakseimbangan sosial yang terjadi akibat pengaruh kejadian anthrax di lingkungan sekitarnya. Begitu juga ahli ekonomi veteriner untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang ditanggung masyarakat karena penyakit tersebut, meskipun dalam skala kerugian yang paling kecil sekalipun. Begitu juga keahlian-keahlian lain yang dibutuhkan untuk mendukung pencarian solusi masalah.


BAB III
KESIMPULAN

Tidak ada solusi yang mudah dalam menghadapi permasalahan lingkungan global terutama dalam mengantisipasi kemunculan penyakit-penyakit menular baru dan sudah jelas diperlukan strategi jangka panjang untuk mengatasi itu. Dengan memasukkan medik konservasi dan ecohealth ke dalam pemikiran tentang rancangan perencanaan, penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan mulai saat ini akan mendorong para dokter hewan untuk mencari solusi kritis terhadap permasalahan penyakit menular baru muncul dengan perubahan paradigma menuju pemahaman tentang sistem yang kompleks (complex system) dan pembentukan kelompok transdisiplin.

Dengan konsep ecohealth, para peneliti, akademisi dan pengambil kebijakan akan mampu memahami dan melakukan campur tangan yang lebih baik terhadap faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang saling kait mengait di balik menyebarnya suatu penyakit menular baru muncul.

Dengan medik konservasi dan ecohealth, profesi dokter hewan akan mampu mewujudkan keluaran yang lebih luas dengan mempertahankan kesinambungan kesehatan dan kesejahteraan manusia dan hewan melalui ekosistem yang lebih sehat. Pendekatan transdisiplin akan membantu pencapaian keluaran tersebut melalui proses yang mempelajari keseimbangan antara kesehatan, lingkungan dan ekosistem, sehingga dapat dibuat kebijakan, tindakan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap keluaran yang ingin dicapai tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Allan BF, Keesing F, Ostfeld RS. 2003. Effect of forest fragmentation on Lyme disease risk. Conserv Biol. 17:267-272.

Aguirre AA, Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation medicine and ecosystem health: a global perspective. Rev sci tech Off Int Epiz. 28(2): 597-603.

Angulo FJ, Nunnery JA, Blair HD. 2004. Antimicrobial resistance in zoonotic enteric pathogens. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 23 (2): 485- 496.

Bazzani R, Noronha L, Sanchez A. 2009. An Ecosystem Approach to Human Health: Building a transdisciplinary and participatory research framework for the prevention of communicable diseases. http://www.globalforumhealth.org/forum8/forum8-cdrom/OralPre- sentations/Sanchez%20Bain20%%20F8-165.doc

Bogich TL, Chunara R, Scales D, Chan E, Pinheiro LC, Chmura AA, Carroll D, Daszak P, Brownstein JS. 2012. Preventing pandemics via international development: a systems approach. PLoS Med. 9:e1001354.

Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health sigancean overview. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 23 (2): 435- 442.

Cleaveland S, Appel MGJ, Chalmers WSK, Chillingworth C, Kaare M, Dye C. 2000. Serological and demographic evidence for domestic dogs as a source of canine distemper virus infection for Serengeti wildlife. Vet Microbiol. 72:217-227.

Cleavaland S, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergency. Philos Trans Roy Soc Lond B Biol Sci. 356 (1411): 991-999.

Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation Medicine and a New Agenda for Emerging Diseases. Ann NY Acad Sci. 1026: 1-11.

Deon-Fiske. 2013. Ecohealth: a new approach to health? [internet]. [diunduh tanggal: 19 Juni 2015]. Tersedia pada: http://docslide.us/documents/april-11-2013-ecohealth-a-new-approach-to-health.html.

Forget G, Lebel J. 2001. An ecosystem approach to human health. Int J Occ and Envir Health. 2 (7): S1–S38.

Graham JP, Leibler JH, Price LB, Otte JM, Pfeiffer DU, Tiensin T, Silbergeld EK. 2008. The animal–human interface and infectious disease in industrial food animal production: rethinking biosecurity and biocontainment. Public Health Rep. 123, 282–299.

Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends in emerging infectious diseases. Nature. 451: 990-993.

Lebel J. 2003. In-focus: Health An Ecosystem Approach. Canada: International Development Research Centre.

Linehan M, Hanson C, Weaver A, Baker M, Kabore A, Zoerhoff KL, Sankara D, Torres S, Ottesen EA. 2011. Integrated implementation of programs targeting neglected tropical diseases through preventive chemotherapy: proving the feasibility at national scale. Am J of Tropical Med and Hyg. 84:5–14.

Lore T. 2012. Kenya launches zoonotic disease unit to improve prevention and control of zoonoses. AgHealth: Prevention and control of agriculture-associated diseases http://aghealth.wordpress.com/2012/10/08/kenya-launches-zoonotic-disease-unitto-improve-prevention-and-control-of-zoonoses/.

Mazet J, Daszak P, Goldstein T, Johnson C, Fair J, Wolfe N, Joly D, Smith K, Morse S, Karesh W. 2011. Predicting pandemics: Using a one health approach to identify and mitigate the emergence and spread of zoonoses from wildlife. Ecohealth. 7:S137–S137.

Morse S. 2004. Factors and determinants of disease emergence. Rev sci tech off Int Epiz. 23 (2): 443-451.

Morens D, Folkers G, Fauci A. 2004. The challenge of emerging and re-emerging infectious diseases. Nature. 430: 242-249.

Naipospos TSP. 2011. Medik Konservasi dan Ecohealth sebagai pendekatan transdisiplin dalam kesehatan hewan. http://tatavetblog.blogspot.com/2011/01/medik-konservasi-dan-ecohealth-sebagai.html.

Tabor GM. 2002. Conservation Medicine; Ecological health in Practice. New York (USA): Oxford University Press.

Thiermann A. 2004. Emerging diseases and implication for global trade. Rev sci tech off Int Epiz. 23 (2): 701- 708.

Walter-Toews D. 2009a. Eco-Health: A primer for veterinarians. Can Vet J. 50: 519-521.
Walter-Toews D. 2009b. Food, global environmental change and health: ecohealth to the rescue?. McGill J of Medicine. 12(1): 85-89.

Wolfe ND, Heneine W, Carr JK, Garcia AD, Shanmugam V, Tamoufe U, Torimiro JN, Prosser AT, LeBreton M, Mpoudi-Ngole E, et al. 2005. Emergence of unique primate T-lymphotropic viruses among central African bushmeat hunters. Proc Natl Acad Sci US. 102:7994-7999.

***
Catatatan:
Makalah ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan nomor katalog: 602.01.0024.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Dede Sri Wahyuni, MSi. Medik Veteriner Muda, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: