Hantavirus
adalah penyakit yang bersifat rodent borne disease (ditularkan melalui udara
yang tercemar oleh kotoran rodensia) yang dapat menimbulkan penyakit ringan
sampai fatal. Makalah dengan nomor katalog 602.01.0027.PUSKH.II.2015. ini
ditulis oleh drh. Dede Sriwahyuni MSi, Medik Veteriner Muda, Pusat
Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian.
******
HANTAVIRUS
PULMONARY SYNDROME DI INDONESIA
Oleh:
Dede
Sri Wahyuni
ABSTRAK
Hantavirus
merupakan rodent borne disease yang menimbulkan penyakit ringan sampai fatal.
Virus ini terdiri dari beberapa sub tipe virus antara lain HFRS dengan A.
agraris sebagai resevoir dan HPS dengan P. maniculatus sebagai reservoir. Angka
kematian antara 0.4%-15% ini tersebar di seluruh dunia dari Eropa Timur,
Amerika Utara dan Selatan, Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Di Asia Tenggara,
infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina, Singapura dan
Thailand. Epidemiologi Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui.
Beberapa hasil survei serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun
1984-1985 di pelabuhan kota Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan
beberapa studi kasus HFRS di Yogyakarta tahun 1989. Hasil studi di Batam,
Serang, Kemayoran, Subang, Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi
infeksi Hantavirus (Virus Seoul) pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang
sama terjadi pada tikus-tikus yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang,
Maumere, Tanjung Priok. Infeksi Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di
Semarang dan Bandung.
Kata
kunci: Hantavirus, Hemorrhagic Fever
with Renal Syndrome (HFRS), Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS)
******
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Penyakit
infeksi emerging dan re-emerging beberapa tahun ini memperoleh perhatian yang
serius baik secara global maupun pada tingkat nasional. Salah satu penyakit
yang perlu diantisipasi adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Hantavirus. Penyakit ini terjadi sejak perang Korea sekitar tahun 1951, akan
tetapi secara laboratorik penyakit ini mulai dilaporkan sejak tahun 1976 oleh
Lee et al (1990).
Penyakit
yang disebabkan oleh Hantavirus ditularkan melalui udara yang tercemar oleh
kotoran rodensia. Penularan antar manusia belum pernah dilaporkan. Laporan
penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa
penyakit ini relatif masih endemik pada reservoirnya saja, sedangkan penularan
pada manusia masih sangat kecil, kurang dari 10% (Wibowo 2010).
Penyakit
ini menjadi sangat berbahaya oleh karena manifestasi klinisnya yang berakibat
fatal. Dikenal dua jenis sindroma sebagai akibat infeksi Hantavirus pada
manusia yaitu Hemorrhagic Fever with Renal Syhdrome (HFRS) dan Hantavirus
Pulmonary Syndrome (HPS) (Morzunov et al. 1998). Penyebab penyakit ini adalah
virus yang termasuk dalam genus Hantavirus dari famili Bunyaviridae (Nurisa dan
Ristiyanto 2005). Hantavirus terdiri dari minimal 25 virus yang menyebabkan
demam berdarah HFRS dan HPS (Yates et al. 2002).
HFRS
endemik di wilayah barat Norwegia, Swedia, Finlandia, Uni Soviet, Cina, Korea
dan Jepang. Di Asia, dikenal dua spesies Hantavirus ganas yang dengan
menunjukkan gejala pendarahan dan tingkat kematian tinggi yaitu demam berdarah
Korea yang disebabkan oleh virus Hantaan (HTNV) dan demam berdarah Seoul
(SEOV). Di Eropa dikenal bentuk ganas sedang dengan pendarahan yang lebih
sedikit dan tingkat kematian rendah (nephrophatia epidemica) yang disebabkan
oleh virus Puumala (PUUV), Dobrova (DOBV) dan Saremaa (SAARV) (Lundvist et al.
2002). Kejadian wabah di Amerika dilaporkan pada tahun 1993 memperlihatkan
gejala pada paru-paru dengan tingkat kematian nyata yang dikenal dengan
penyakit Hantavirus pulmonary syndrome (HPS) yang disebabkan oleh spesies lain
dari genus Hantavirus yaitu virus virus Sin-Nombre (SNV) (Nurisa dan Ristiyanto
2005).
Berbagai
penelitian penyakit yang disebabkan Hantavirus telah dilakukan di dunia untuk
mempelajari sifat infeksi secara mendalam. Penelitian terakhir telah
dikembangkan suatu jenis vaksin Hantavirus rekombinan untuk memberikan
kekebalan pada populasi yang berisiko. Vaksin tersebut diberikan secara
subkutan, dua kali dosis dengan interval 1 (satu) bulan. Ternyata dapat
memberikan serokonversi yang cukup tinggi sebesar 99.0%, dengan efek samping
yang ringan (Martono dan Loho 1999). Kejadian infeksi oleh Hantavirus umumnya
muncul di wilayah dengan faktor lingkungan yang mendukung adanya reservoir
alami. Keberadaan reservoir dalam jumlah banyak dapat meningkatkan jumlah
infeksi pada manusia (Schmaljohn dan Hjelle 1997).
Tujuan
Tulisan
ini untuk mengetahui penyakit Hantavirus Pulmonary Syndrome, sifat agen
penyebabnya, data epidemiologik, serta tindakan pencegahan dan pengendaliannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Agen
Penyebab
Hantavirus
adalah suatu virus RNA yang termasuk dalam famili Bunyaviridae. Anggota Hantavirus
dapat dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan penyakit yang ditimbulkannya.
pertama kelompok yang menyebabkan HFRS (Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome)
serta kelompok yang menyebabkan HPS (Huntavirus Pulmonary Syndrome) (Khan et
al. 1996).
Partikel
virus berbentuk bola dengan ukuran 80-120 nm. Hantavirus berupa 3 segmen ssRNA
terpisah yang bersifat negatif sens. Genom terdiri atas small segmen (S),
medium segmen (M) dan large segmen (L). Segmen S (1.7-2.0 kb) mengkode protein
nukleokapsid (N), segmen M (3.6 kb) mengkode protein prekusor glikoprotein dari
dua glioprotein virus (G 1 dan G2) dan segmen L (6.5 kb) mengkode enzim RNA
polimerase (Morzunov et al. 1998). Semua bagian virus ini memainkan peran
tertentu dalam proses attachment/menempel dan masuk ke dalam sel host, atau
dalam proses mereplikasi komponen virus dalam tubuh host, atau dalam membantu
penyebaran virus dari sel satu ke sel lain dalam tubuh host.
Gambar
1 Hantavirus (Cummings 2006)
Klasifikasi
Hantavirus adalah:
Kingdom:
virus, ssRNA virus, ssRNA negativ stran-virus, Family: Bunyaviridae, Genus:
Hantavirus
Semua
Hantavirus diselubungi nukleokapsid dan terdiri dari negative-sensed
single-stranded RNA. Replikasi terjadi dengan cara RNA harus ditranskripsi
terlebih dahulu oleh protein virion yang disebut RNA polymerase. Hal ini akan
menghasilkan positive-sense mRNA yang dapat dibaca oleh enzim sel inang. Virus
ini kemudian dapat di-translated dalam sitoplasma sel inang, yang menghasilkan
lebih banyak virus dan akhirnya terjadi penyebaran infeksi dalam host (Hunt
2006).
Berbeda
dengan anggota Hantaviridae yang lain, Hantavirus (HTV) merupakan virus yang
tidak memilihi vektor yang menularkan HTV diantara populasi rodensia. Beberapa
subtipe Hantavirus lain seperti: Hantaan virus (HTNV), Dobrava dan Seoul virus
(SEOV) merupakan penyebab HFRS sedang dan berat di kawasan Asia, sedangkan
Puumala virus merupakan penyebab HFRS ringan di kawasaan Skandinavia dan Eropa.
Subtipe virus Sin Nombre merupakan penyebab HPS di Amerika Utara dan Andes
virus (ANDV) merupakan penyebab HPS di kawasan Amerika Selatan, Argentina dan
Chili (Tai et al. 2005)
Tabel
1. Pembagian Hantavirus berdasarkan penyakit yang ditimbulkan, distribusi
geografis dan rodensia penyebar (Martono dan Loho 1999)
Penyakit
|
Spesies
|
Distribusi
Geografis
|
Rodensia
|
HFRS
|
Hantaan virus (HTN)
|
Cina,
Jepang, Korea, Indonesia, Skandinavia, Rusia
|
Apodemus
spp.
|
Dobrovavirus (DOB)
|
Yugoslavia
|
A.
flavicollis
|
|
Seoul virus (SEO)
|
Cina,
Jepang, Korea,
Indonesia
|
R.
norvegicus
|
|
Puumala virus
|
Skandinavia,
Eropa
|
Cleithronomys
glaerolus
|
|
HPS
|
Sin Nombre virus
(SN)
|
AS
Barat
|
Peronzyscus
|
Bayou virus (BAY)
|
Lousiana
|
Oryzomys
palustris
|
|
Black Creek Canal
virus (BCC)
|
Florida
|
Sigmodon
hipidus
|
|
New York virus
(NY)
|
AS
Timur
|
Peromiscu
leucopus
|
|
Juqitiba virus
|
AS
Utara dan
Selatan
|
?
|
|
Andes virus
|
AS
Utara dan
Selatan
|
Oligoryzomys
longicaudatus
|
|
Laguna Negra virus
|
AS
Utara dan
Selatan
|
Calomys
Iavchu
|
|
Monongahela virus
|
AS
Timur
|
P.
maniculutus
|
|
Tidak
ada
|
El Moro Canyon
virus (ELMC)
|
AS
Utara
|
Reithrodontoys
megalotis
|
Rio Segundo virus
|
?
|
Reithrodontoys
mexicanus
|
|
Rio Mamore virus
|
Bolivia
|
Oligoryzomys
microtis
|
|
Prospect Hill virus (PH)
|
AS
|
Microttus
pensylvanicus
|
|
Isla Vista virus
|
?
|
Microtus
californicus
|
|
Leakey virus (LEA)
|
AS
|
Mus
musculus
|
|
Thailand virus (THAI)
|
Thailand
|
Bandicota
indica
|
|
Tottapalyam virus
(TPM)
|
India
|
Suncus
murinus
|
Virus
ini berbentuk sferis dengan diameter 100 nm. Pada bagian luar strukturnya,
terdapat selubung virus dan di dalamnya dilapisis dengan membran bilayer.
Genomnya terdiri dari 6550 nukleotida yang mengkodekan enzim transkriptase
virus, nukleokapsid, dan glikoprotein virus. Virus ini mudah diinaktivasi
dengan panas, detergen, pelarut organik, dan larutan hipklorit (McCaughey dan
Hart 2000). Virus ini banyak terdapat pada hewan hewan pengerat seperti tikus,
mencit, Lemmus lemmus (lemming). Sebagian besar virus ini ditransmisikan
melalui inhalasi kotoran hewan pengerat yang terinfeksi virus hanta. Manusia
sebagai inang dapat terinfeksi virus ini apabila melakukan kontak dengan hewan
pengerat dan kotorannya (Madigan dan Martinko 2000).
Cara
Transmisi
Virus
dalam genus Hantavirus ditularkan melalui kotoran tikus secara aerosol atau
melalui gigitan tikus, sedangkan genus lain dalam keluarga Bunyaviridae adalah
arthropoda-borne virus yang ditularkan melalui vektor nyamuk (Wikipedia 2013).
Hantavirus ditularkan ke manusia melalui udara yang terkontaminasi oleh urin
atau feses tikus yang mengandung virus. Hantavirus dapat berada pada air liur,
feses, dan urin tikus. Penyebaran virus dapat secara aerosol dan melalui
gigitan tikus (CFSPH 2008).
Di
Amerika Serikat dilaporkan tikus merupakan reservoir Hantavirus. Manusia bisa
terkena HPS ketika mereka tertular dari tikus yang terinfeksi. Virus berada
dalam urin, feses, kotoran, dan air liur tikus. Virus ditularkan terutama
kepada orang-orang ketika mereka menghirup udara yang terkontaminasi virus.
Manusia dapat terpapar melalui pernapasan. Hal ini bisa terjadi ketika urin dan
feses tikus yang mengandung Hantavirus berada di udara. Selain transmisi
melalui udara, tikus terinfeksi bisa menyebarkan Hantavirus ketika menggigit
seseorang, tetapi cara transmisi ini jarang terjadi. Manusia juga dapat
terpapar ketika menyentuh mata, hidung atau mulut setelah menyentuh kotoran,
urin, atau kotoran/sarang tikus yang mengandung virus (CDC 2013).
Gambar
2 Cara penularan HPS (CDC 2013)
Manusia
bisa menjadi host insidental ketika mereka kontak dengan tikus yang terinfeksi
atau kontak dengan ekskresi tikus terinfeksi. Feses, urin, kotoran atau sarang
tikus di area tertutup dapat terdapat virus yang kemudian dapat dihirup melalui
debu secara aerosol. Infeksi kadang-kadang dapat terjadi setelah beberapa menit
dari paparan virus secara aerosol. Hantavirus juga dapat ditularkan melalui
kulit luka, konjungtiva, dan membran mukosa lainnya akibat gigitan hewan
pengerat dan mungkin akibat konsumsi hewan tersebut (CFSPH 2008).
Para
peneliti percaya bahwa orang mungkin bisa tertular virus jika mereka menyentuh
sesuatu yang telah terkontaminasi dengan urin, feses, atau air liur dari tikus
terinfeksi dan kemudian menyentuh hidung atau mulut mereka. Para peneliti juga
menduga orang bisa menjadi sakit jika mereka makan makanan yang terkontaminasi
urin, feses, atau air liur tikus yang terinfeksi. Jenis-jenis Hantavirus yang
menyebabkan HPS di Amerika Serikat tidak dapat ditularkan dari satu orang ke
orang lain. HPS tidak menyebar dari orang ke orang. Seseorang tidak bisa
tertular virus dari menyentuh seseorang yang memiliki HPS atau dari petugas
kesehatan yang merawatnya. Virus juga tidak ditularkan melalui transfusi darah
dari seseorang yang terinfeksi (CDC 2013).
Penularan
vertikal umumnya dianggap diabaikan atau tidak ada, namun data yang menunjukkan
kemungkinan penularan Hantavirus dalam ASI telah dilaporkan dari Amerika
Selatan. Penularan dari orang ke orang belum terlihat dalam kasus HPS di
Amerika Utara atau Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) di Eurasia,
tetapi kadang-kadang terjadi dengan virus Andes di Argentina (CFSPH 2008).
Hantavirus
memiliki satu atau beberapa hewan tertentu sebagai host (insectivore host).
Spesies selain tikus dan serangga dapat terinfeksi oleh Hantavirus. Antibodi
terhadap beberapa Hantavirus telah ditemukan pada kucing, anjing, babi, kuda,
sapi, rusa, kelinci, tupai, dan rusa. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa 10%
dari kucing yang sehat di Inggris dan 23% dari kucing dengan penyakit kronis
menunjukkan hasil seropositif terhadap Hantavirus. Antigen Hantavirus ditemukan
di jantung, hati, paru-paru, limpa, ginjal, darah, urin, dan feses.
Penelitian
lain melaporkan bahwa kuda, sapi, dan coyote yang seronegatif dalam satu survei
AS sedangkan babi yang dilaporkan terinfeksi sistemik Hantavirus di Cina.
Sebuah studi Rusia melaporkan bahwa antigen Hantavirus dapat ditemukan di paru-paru
beberapa spesies burung (termasuk burung passerine, merpati, heron, dan burung
hantu), namun hal ini masih harus dikonfirmasi. Kera (Macaca fascicularis)
secara eksperimental dapat terinfeksi virus Puumala, demikian pula pada kera
Cynomolgus terinfeksi virus Andes (CFSPH 2008).
Hewan
yang terinfeksi membawa virus ini selama berminggu-minggu sampai bertahun-tahun
dan kadang-kadang seumur hidup. Infeksi transient juga mungkin terjadi. Hewan
yang baru terinfeksi cenderung untuk mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih
besar. Umumnya, shedding virus berkurang secara signifikan sekitar delapan
minggu setelah infeksi. Rute transmisi di antara beberapa Hantavirus mungkin
berbeda, misalnya beberapa spesies Hantavirus lebih mudah diisolasi dari urin.
Tikus tidak muncul sebagai pembawa Hantaan atau virus Puumala secara vertikal
(CFSPH 2008).
Di
lingkungan Hantavirus rentan terhadap pengeringan, tetapi dapat bertahan hidup
lebih lama jika mereka dilindungi oleh bahan organik. Pada suhu kamar (23°C),
baik virus Puumala maupun virus Tula kehilangan viabilitas dalam waktu 24 jam
ketika mereka kering, tetapi tetap dapat menular selama lebih dari lima hari
jika lingkungan tetap lembab. Hantaan virus juga tampaknya tetap bertahan
selama beberapa hari pada suhu kamar. Apakah hewan selain tikus dan serangga
dapat menularkan Hantavirus tidak diketahui secara pasti.
Studi
dari Cina menunjukkan bahwa babi yang terinfeksi Hantavirus dapat
mengekskresikan antigen dalam urin dan feses dan juga dapat menularkan virus
kepada keturunannya melalui plasenta. Antibodi terhadap Hantavirus telah
dilaporkan pada spesies lain, tetapi hewan tersebut belum dilaporkan untuk
dapat menularkan virus ini. Infeksi pada hewan tidak dikaitkan dengan kasus
pada manusia. Sebagian besar sumber menyatakan bahwa Hantavirus tidak
ditularkan melalui arthropoda. Namun, bukti eksperimental untuk penularan virus
Hantaan oleh tungau trombiculid yaitu Leptotrombidium sp. telah dilaporkan dari
Cina (CFSPH 2008).
Faktor
Risiko
Sindrom
Hantavirus paru yang paling umum di pedesaan Amerika Serikat bagian barat
terjadi selama musim semi dan musim panas. Sindrom Hantavirus paru juga terjadi
di Amerika Selatan dan Kanada. Hantavirus lainnya terjadi di Asia, di mana
mereka dapat menyebabkan gangguan ginjal, bukan gangguan paru-paru. Kesempatan
untuk terinfeksi sindrom Hantavirus paru akan lebih besar bagi orang-orang yang
bekerja, tinggal, atau bermain di lingkungan dimana tikus hidup. Faktor-faktor
dan kegiatan yang meningkatkan risiko di antaranya:
-Membuka
dan membersihkan bangunan yang lama tidak terpakai atau gudang.
-Membersihkan
rumah, terutama daerah loteng atau daerah yang jarang dilewati.
-Memiliki
pekerjaan yang melibatkan interaksi dengan hewan pengerat, seperti pekerjaan
konstruksi, pertukangan, dan pengendalian hama.
-Kemping,
hiking (naik gunung), atau berburu.
Komplikasi
Sindrom
Hantavirus paru dapat dengan cepat mengancam jiwa pengidapnya. Karena paru-paru
terisi dengan cairan, maka Anda akan menjadi semakin sulit untuk bernapas dari
waktu ke waktu. Kemudian akan terjadi penurunan tekanan darah dan terjadi gagal
organ, terutama jantung. Tingkat kematian untuk jenis sindrom Hantavirus paru
versi Amerika Utara mencapai lebih dari 30%.
Patogenesis
Kejadian
HPS dan HFRS memiliki kesamaan dalam patogenesis. Penyakit dimulai dengan
inhalasi partikel kecil dari virus dan deposisi partikel di dalam terminal
bronchiole pernapasan atau alveolus. Kemudian melalui infeksi makrofag alveolar
atau target utama lain, dan dapat terjadi viremia yang menghasilkan infeksi
luas pada endotelium kapiler paru dengan derajat yang lebih rendah dari infeksi
dari sel-sel lain dalam tubuh (Peters dan Khan 2002).
Infeksi
Hantavirus biasanya menimbulkan gangguan dalam fungsi selular atau kerusakan
histologis sel endotel mikrovaskuler paru. Berdasarkan penelitian in vitro, sel
endotel kapiler mikrovaskuler paru-paru yang terinfeksi, memiliki efek mendalam
pada permeabilitas endotel kapiler yang dapat menyebabkan edema paru. Selain
cacat permeabilitas parah pada paru-paru dapat juga terjadi depresi miokard
umum, meskipun pemeriksaan mikroskopis dan imunohistokimia temuannya normal
(Peters dan Khan 2002).
Patogenesis
infeksi Hantavirus tidak jelas karena kurangnya model hewan untuk menggambarkan
hal tersebut (tikus dan mencit tampaknya tidak menunjukkan penyakit yang
parah). Perbedaan antara HFRS dan HPS
yaitu bahwa efek utama HFRS adalah pada pembuluh darah sedangkan pada HPS
gejala yang utama berhubungan dengan paru-paru. Pada HFRS terdapat peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan penurunan tekanan darah akibat disfungsi
endotel dan kerusakan paling utama terlihat pada ginjal, sedangkan di HPS,
paru-paru, limpa, dan kandung empedu terdapat efek yang paling terpengaruh.
Gejala awal HPS cenderung mirip dengan flu yaitu nyeri otot, demam, dan
kelelahan. Biasanya muncul sekitar 2 sampai 3 minggu setelah terpapar. Tahap
selanjutnya akan terjadi kesulitan bernapas atau sesak napas dan batuk yaitu
sekitar 4 sampai 10 hari setelah gejala awal (Wikipedia 2013).
Data
Epidemiologik
Epidemiologi
infeksi Hantavirus dalam populasi manusia sebagian besar akibat adanya kontak
antara manusia dengan rodensia di daerah endemis. Mayoritas kasus terjadi akibat kontak
langsung antara manusia dengan ekskreta dari rodensia yang terinfeksi, serta
kemungkinan adanya kontaminasi virus secara inhalasi. Di Amerika Serikat,
transmisi antar manusia belum pernah ditemukan pada kasus Hantavirus (Wells et
al. 1997), tetapi di Argentina dan Chili pernah dilaporkan pernah terjadi
meskipun jarang terjadi (Padula et al. 1998, Wells et al. 1997).
Epidemiologi
dari Hantavirus Old World dimulai dari ditemukannya HTNV (Lee dan Johnson 1976;
Lee et al. 1978), sedangkan studi epidemiologi tentang HFRS secara signifikan
mengalami peningkatan pada manusia serta rodensia. Pada studi ini, ditunjukkan bahwa petani,
tentara serta masyarakat pedesaan merupakan korban terbesar infeksi HFRS. Kejadian tersebut banyak ditemukan di China,
Korea Selatan, Rusia bagian timur serta Eropa bagian utara (Lee 1982). Selain HTNV, HFRS juga disebabkan oleh PUUV,
di Eropa dilaporkan 35.424 kasus sampai akhir tahun 2006 (Heyman dan Vahari
2008; Heyman et al. 2009), dimana 95% kasus terjadi setelah tahun 1990.
Epidemiologi
dari Hantavirus New World dimulai dikenal sejak Mei 1993 di Amerika
Serikat. Pada saat itu dilaporkan adanya
kematian pada warga pedesaan di Amerika Serikat bagian barat daya yang
menunjukkan gejala pernafasan akut yang tidak bisa dijelaskan (Chapman dan
Khabbaz 1994). Kemudian menyebar ke
Meksiko, dan ditemukan bahwa penyebabnya adalah Hantavirus dengan reservoarnya
Peromyscus maniculatus. Pada wabah Maret
2007, 465 kassus HPS di Amerika Serikat dilaporkan ke CDC dengan angka kematian
mencapai 35% (Tappero et al. 1996).
Hanta virus ini kemudian menyebar ke Paraguay dari Juli 1995 sampai
Januari 1996 (Williams et al. 1997) dengan 125 kasus dengan angka kematian yang
rendah (15%). Penyebaran ini kemudian
terjadi di Argentina, Panama, Uruguay dan Brazil dengan angka kematian yang
bervariasi.
Di
Amerika Serikat pada bulan Mei 1993 terjadi suatu outbreak infeksi paru dengan
gejala klinis demam, batuk, edema, disertai sesak napas dengan mortalitas
tinggi sekitar 50%-75%. Penelitian yang dilakukan terhadap outbreak tersebut
menunjukkan bahwa penyebabnya adalah Hantavirus, sehingga penyakitnnya disebut
sebagai Hantavirus Pulmonary Syindrome (HPS). Rodensia Peronzysczu maniculatus
sebagai reservoir di Amerika Serikat (Morzunov et al. 1998).
Di
Indonesia sebenarnya telah ditemukan pada tiga spesies tikus. Tahun 1999-2000
di beberapa daerah di Indonesia, yaitu Pulau Batam, Serang, Kemayoran, Subang,
Semarang dan Wonosobo. Di Semarang kejadian infeksi Hantavirus pada manusia
dilaporkan pada tahun 2002, dari 94 sediaan darah diduga demam berdarah dengue
(DBD), terdapat 10 kasus demam berdarah Hanta, dengan pemeriksaan serologik
terhadap Hantavirus. Di Bandung dilaporkan dua penderita demam berdarah yang
diduga demam berdarah dengue, ternyata pemeriksaan antibodi anti-HTV
(Hantavirus) menunjukkan hasil yang positif Hantavirus (Perdana 2011).
Epidemiologi
Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui, beberapa hasil survei
serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun 1984-1985 di pelabuhan kota
Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan beberapa studi kasus HFRS di
Yogyakarta tahun 1989. Pada tabel 2 dapat diketahui hasil survei rodensia di
beberapa pelabuhan laut di Indonesia (Nurisa at al. 2008).
Tabel
2. Kronologis laporan survei serologi Hantavirus pada hewan dan manusia di
beberapa kota pelabuhan laut di Indonesia (Nurisa at al. 2008)
Tahun
|
Penulis
|
Tahun
Penelitian
|
Kota/
Pelabuhan
|
Asal
Sera
|
Preva-lensi
(%)
|
Teknik
Serologi
|
Hantavi
rus
Spp
|
1987
|
Morita et al.
|
1984/85
|
Semarang
|
Rodensia
|
-
|
IFA&IAHA
|
Hantaan
|
Ujung Pandang
|
Rodensia
|
||||||
1992
|
Hadi dan Ristyanto
|
1991/92
|
Maumere
|
Manusia
|
4,0-28,9
|
ELISA
|
Hantaan
|
1996
|
Ibrahim et al.
|
1984/85
|
Semarang
|
R. ratus
|
1,2
|
IFA&IAHA
(ag SR 11)
|
Seoul
|
Uj. Pandang
|
R. norvegicus
|
14,6
|
|||||
R. exulans
|
25,0
|
||||||
1997a
|
Ima Nurisa et al.
|
1995/96
|
Tg. Priuk
|
R. norvrgicus
M. musculus
|
8,3
100,0
|
ELISA
|
Hantaan
|
Sd. Kalapa
|
R. norvrgicus
R. rattus
S. murinzis
|
22,8
0,1
37,5
|
|||||
1997a
|
Ima Nurisa et al.
|
1996/97
|
Tg. Priuk
|
Manusia
R. norvrgicus
R. rattus
|
1,8
40,3
19,4
|
ELISA
|
Hantaan
|
Sd. Kalapa
|
Manusia
R. norvrgicus
R. rattus
|
1,1
24,4
19,2
|
|||||
1997
|
Ansari
|
1992-96
|
Jakarta, Bali,
Batam,Timor
Timur, Irian
Jaya
|
Tikus
|
10,0
|
EIA, W
Blot
|
Hantaan
|
1995
|
Jakarta, Bali,
Batam, Timor
Timur, Irian
Jaya
|
Tikus
|
20,7
|
EIA, W
Blot
|
Hantaan
|
||
1996
|
Jakarta
|
Tikus
|
8,2
|
EIA, W
blot
|
Hantaan
|
||
2005
|
Ima Nurisa et al.
|
2004
|
Makasar
Jakarta
|
Manusia
. (Penderita
Gangguan ginjal)
|
8,2
|
ELISAIgG
RT-PCR
|
SEOVI
HTNV;
PUUV;
SN V
|
Keterangan: IFA : Immuno Fluorescent Antibo& assay
IAHA :
lmmuno Adherent Hemugglutination Assay
ELISA : Enzyme Linked ImmunoSorhent Assay
Di
Asia Tenggara, infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina,
Singapura dan Thailand. Hasil studi di Batam, Serang, Kemayoran, Subang,
Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi infeksi Hantavirus (Virus Seoul)
pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang sama terjadi pada tikus-tikus
yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang, Maumere, Tanjung Priok. Infeksi
Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di Semarang dan Bandung.
Gejala
Klinis
a. Gejala
Klinis pada Hewan
Hantavirus
pada ditemukan secara alami dalam tikus dan serangga. Tingkat infeksi
bervariasi, beberapa kasus menunjukkan prevalensi seropositif sampai dengan 50%
pada rodensia. Selain itu, prevalensi seropositif rata-rata 10% untuk virus Sin
Nombre (Won et al. 2006).
b. Gejala
Klinis pada Manusia
Gejala
Hantavirus pulmonary syndrome pada awalnya mirip dengan gejala influenza.
Gejala akan muncul antara satu hingga enam minggu setelah paparan virus. Gejala
yang dapat ditimbulkan seperti badan letih, demam, menggigil, nyeri otot, sakit
kepala, mual, muntah, pusing, nyeri perut. Hingga pada 4-10 hari kemudian
timbul sesak napas yang berat (CDC 2013).
Pasien
yang menderita infeksi ini harus dimasukkan ke rumah sakit, bahkan dirawat di
ruang perawatan intensif (ICU). Walau demikian, infeksi ini adalah infeksi yang
serius dan cepat memburuk. Gagal napas sangat sering terjadi. Meskipun terapi
dilakukan secara agresif, lebih dari 50% akan mengalami gagal napas dan
meninggal. Tingkat kematian mencapai 38% (CDC 2013). Gejala klinis yang timbul
dari infeksi Hantavirus bervariasi, dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel
3. Gejala klinis pada manusia (Lee 1989; Kim et al. 1995; Mustonen et al. 1994;
Settergren et al. 1989; Duchin et al. 1997; Campos et al. 2009)
Pasien (%)
|
|||||
Gejala Klinis
|
HTNV
|
SEOV
|
PUUV
|
SNV
|
ARAV
|
Demam
|
100
|
100
|
99-100
|
100
|
100
|
Dyspnea
|
87
|
||||
Tachycardia
|
81
|
||||
Shock
|
33
|
||||
Sakit kepala
|
86-87
|
89
|
85-100
|
71
|
47
|
Sakit perut
|
85-92
|
68
|
64-67
|
24
|
NA
|
Backache
|
91-95
|
85
|
82
|
29
|
NA
|
Mual
|
82-91
|
61
|
78-83
|
71
|
25
|
Dizziness
|
50
|
52
|
12-25
|
41
|
NA
|
Petechiae
|
32-94
|
48
|
12
|
0
|
NA
|
Minor bleeding
|
37
|
7-20
|
11
|
NA
|
9
|
Internal hemorrhages
|
34
|
13
|
NA
|
NA
|
NA
|
Cough
|
31
|
14
|
60
|
71
|
54
|
Hypotension
|
80
|
17
|
1-2
|
50
|
56
|
Myopia
|
57
|
NA
|
12-31
|
NA
|
NA
|
Arthralgia
|
NA
|
NA
|
0-15
|
29
|
NA
|
Oliguria
|
60-67
|
37
|
54-70
|
||
Polyuria
|
92-95
|
63
|
97-100
|
40
|
NA
|
Leukocytosis
|
91
|
69
|
23-57
|
95-100
|
67
|
Thrombocytopenia
|
78
|
83
|
52-75
|
100
|
93
|
Hematocrit
|
70
|
||||
Proteinuria
|
100
|
94
|
94-100
|
40
|
NA
|
Hematuria
|
85
|
73
|
58-85
|
57
|
NA
|
S-creatine
|
97
|
83
|
Yes
|
No
|
51
|
Kematian
|
5-10
|
<1
|
0
|
40
|
54
|
Diagnosis
Serologis
tes dilakukan ketika terlihat gejala karena HFRS dan HPS akut memproduksi IgM
dan IgG antibodi. Oleh karena itu, mendeteksi adanya antibody tersebut biasanya
dilakukan untuk melihat adanya antigen dari virus dilakukan terhadap pasien
dengan suspek HFRS dan HPS. Diagnosa yang dilakukan adalah dengan metode uji
indirect immunofluorescence assay (IFA) menggunakan Hantavirus-infected cells
sebagai antigen dengan slide mikroskop. Tetapi dengan metode ini harus
mempunyai syarat mempunyai laboratorium BSL 3. Selain dengan metode IFA,
pengujian bisa dilakukan dengan uji ELISA.
Metode ini mempunyai sensitivitas 97.2% dan spesifitas 100% (Padula et
al. 2000). Immunobolt dan neutralization
test juga digunakan untuk mendeteksi infeksi ini (Prince et al. 2007).
Selain
secara serologis, pengujian juga bisa dilakukan secara molekuler. Pengujian ini terutama bagus untuk kasus HPS
yang mempunyai case fatality rate yang tinggi.
Pengujian secara molekuler mempunyai keuntungan mendapatkan hasil yang
cepat. Pengujiannya menggunakan reverse
transcription-PCR (RT-PCR). Dengan
metode ini, sebelum gejala klinis timbul, sudah bisa keluar hasil diagnosanya
dengan menggunakan sampel darah, serum atau bagian organ (Ferres et al. 2007).
Pengobatan
Terapi
utama penyakit Hantavirus adalah terapi suportif umum. Mempertahankan volume
darah dalam intravaskular dan cardiac output dengan infus untuk memepertahankan
keseimbangan elektrolit (Warner 1996). Penggunaan dialisis peritoneal akut dan
hemodialisis dapat dilakukan. Pengobatan HPS dilakukan dengan perawatan
intensif, menjaga system kardiovaskular dan obat vasopressor. Pengawasan
oksigen dalam darah dilakukan dengan penggunaan ventilasi mekanis dan oksigen
(Nichol et al. 1996). Jika koagulasi intravaskular diseminata terjadi,
dilakukan infus heparin dan trombosit. Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) digunakan sebagai terapi
penyelamatan pada pasien dengan HPS parah (Nichol et al. 1996).
Antibiotika,
dapat diberikan dengan tujuan untuk menanggulangi infeksi sekunder, bila ada
demam dan sesak nafas, sering diberikan golongan sefalosporin dan
aminoglikosida. Ribavirin intravena dapat diberikan dengan dosis 1 gram, tiap 6
jam, tetapi bukti nyata perbaikan penyakitnya masih kontroversi dan disamping
itu obat Ribavirin ini masih langka dan belum tentu ada tersedia (CDC 2013).
Terapi
Dukungan
Orang
dengan kasus yang parah memerlukan perawatan segera di unit perawatan intensif.
Bantuan pernapasan, baik melalui intubasi atau ventilasi mekanik dapat membantu
pernapasan dan menangkal endema paru. Intubasi bekerja dengan menempatkan
tabung pernapasan melalui mulut, hidung, atau trakea untuk membantu menjaga
saluran udara terbuka dan berfungsi normal.
Oksigenasi
Darah
Dalam
kasus yang sangat parah pada penderita penyakit paru, diperlukan metode yang
disebut oksigenasi membrane extracorporeal untuk membantu mempertahankan
pasokan oksigen yang cukup. Oksigenasi ini akan terus memompa darah melalui
mesin yang menghilangkan karbon dioksida dan menambah oksigen. Darah yang telah
beroksigen kemudian dikembalikan ke tubuh anda.
Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Hantavirus
Walaupun
Hantavirus merupakan penyakit yang masih asing bagi masyarakat Indonesia, namun
demikian kita harus tetap berhati-hati agar tidak terinfeksi oleh virus
tersebut. Agar terhindar dari penyakit ini maka perlu dilakukan pencegahan,
apabila sudah terinfeksi maka dilakukan pengobatan. Tanpa disadari sikap dan
perilaku masyarakat sudah mengarah pada upaya pencegahan penyakit infeksi
Hantavirus yang ditularkan oleh rodensia (tikus) walaupun belum semuanya
melakukannya. Beberapa upaya dalam membasmi tikus yang berada di sekeliling
tempat tinggal penduduk baik dengan cara menggunakan racun maupun perangkap.
Tindakan ini secara tidak disengaja dapat mencegah atau mengurangi penularan
penyakit khususnya yang bersumber dari rodensia seperti penyakit infeksi
Hantavirus.
Penanganan
terhadap sampah atau limbah rumah tangga yang dilakukan masyarakat umumnya
cukup baik. Sebelum sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir, sampah umumnya
ditampung terlebih dahulu dengan menggunakan bak atau plastik. Beberapa orang
masih membuang sampah dengan tidak memenuhi persyaratan kesehatan karena sampah
dibuang di halaman atau selokan. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan
memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan. Hal ini menimbulkan
pencemaran dan menjadi tempat yang cocok bagi hewan pengerat terutama tikus dan
hewan reservoir lainnya yang mencari sisa makanan dan berkembang biak dengan
cepat sehingga menimbukan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan.
Cara
mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh Hantavirus yaitu dapat dilakukan
dengan memasukkan ke pembuluh darah analog quanosine, yang digunakan untuk
menangani HFRS. Obat untuk mengontrol HFRS yaitu dengan ribavirin, meskipun
aktivitas dari ribavirin bertentangan dengan SNV. Ribovirin tidak
direkomendasikan untuk pemeriksaan HPS.
Vaksinasi
Berbagai
vaksin telah dikembangkan yang berasal dari killed virus dengan teknologi DNA
rekombinan. Formalin-inactivated vaccines (SEO dan HTN) telah terbukti dapat
menghasilkan antibodi dan derivate vaksin SEO telah menunjukkan mampu
melindungi bayi tikus yang ditantang dengan SEO dan HTN (Zhu et al. 1994).
Vaksin tersebut telah terbukti aman dan imunogenik di manusia [134]. Vaksin
Formalin-inactivated HTN yang digunakan dalam percobaan di Korea telah
menunjukkan tingkat respons antibodi 75%, namun respon antibodi berumur pendek
(Cho dan Howard 1999). Vaksin rekombinan juga telah dikembangkan. Pendekatan
dengan memanfaatkan baculovirus dan vaksin yang mengekspresikan glikoprotein
virus dapat melindungi terhadap paapran pada hewan coba. Ada beberapa bukti
bahwa protein N-baculovirus dapat menginduksi antibodi, yang dimediasi oleh
limfosit T sitotoksik dan berpotensi cross-reactive terhadap jenis Hantavirus
yang lain (Schmaljohn 1996).
Kontrol
Rodensia
Cara
yang paling efektif untuk pengendalian penyakit Hantavirus adalah membatasi
kontak dengan rodensia dan kotorannya. Monitoring untuk mengetahui prevalensi
Hantavirus pada populasi rodensia dapat memberikan gambaran terhadap
peningkatan jumlah kasus di manusia. Perhatian terhadap faktor lingkungan,
seperti peningkatan curah hujan yang terkait dengan El Nino pada tahun
1992-1993, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan risiko paparan virus
Sin Nombre, diduga dapat dilakukan sebagai pencegahan penyakit (Mills et al.
1999). Praktek yang baik di bidang pertanian, kehutanan dan kegiatan militer
harus dilakukan untuk mengurangi kontak rodensia dengan manusia. Gaya hidup
bersih agar tikus tidak dapat hidup dalam rumah, pencegahan tikus memasuki
rumah dan tidak meninggalkan makanan yang mengundang tikus diharapkan dapat
mencegah kontak dengan tikus (Warner 1996).
Prosedur
Pembersihan yang Aman
Siram
tikus yang mati dan tempat di mana tikus ditemukan dengan menggunakan
desinfektan, alkohol, atau pemutih. Hal ini bertujuan untuk membunuh virus dan
mencegah debu di udara tercemar oleh virus. Setelah semuanya tersiram, gunakan
handuk basah untuk mengambil media yang terkontaminasi. Kemudian pel dengan
menggunakan lap/spons pada tempat yang terkontaminasi dengan menggunakan
desinfektan. Lakukan juga tindakan pencegahan khusus, seperti memakai
respirator ketika membersihkan bangunan dari tikus.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Hantavirus
merupakan rodent borne disease yang menimbulkan penyakit ringan sampai fatal.
Virus ini terdiri dari beberapa sub tipe virus antara lain HFRS dengan A.
agraris sebagai resevoir dan HPS dengan P. maniculatus sebagai reservoir. Angka
kematian antara 0.4%-15% ini tersebar di seluruh dunia dari Eropa Timur,
Amerika Utara dan Selatan, Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Di Asia Tenggara,
infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina, Singapura dan
Thailand.
Epidemiologi
Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui. Beberapa hasil survei
serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun 1984-1985 di pelabuhan kota
Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan beberapa studi kasus HFRS di
Yogyakarta tahun 1989. Hasil studi di Batam, Serang, Kemayoran, Subang,
Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi infeksi Hantavirus (Virus Seoul)
pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang sama terjadi pada tikus-tikus
yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang, Maumere, Tanjung Priok. Infeksi
Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di Semarang dan Bandung.
DAFTAR
PUSTAKA
Campos
GM, Borges AA, Badra SJ, Figueiredo GG, Souza RL, Moreli ML, Figueiredo LT.
2009. Pulmonary and cardiovascular syndrome due to Hantavirus: clinical aspects
of an emerging disease in southeastern Brazil. Rev Soc Bras Med Trop.
42:282-289.
[CDC]
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS) [internet]. [diunduh 2013
November 12]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov /Hantavirus /hps/transmission.html.
[CFSPH]
The Center For Food Security and Public Health. 2008. Hantavirus, Hemorrhagic Fever
with Renal Syndrome (HFRS), Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS), Hemorrhagic
Nephrosonephritis, Epidemic Hemorrhagic Fever, Korean Hemorrhagic Fever,
Nephropathia Epidemica (NE) [internet].
[diunduh 2013 November 12]. Tersedia dari: Iowa State University. http://www.cfsph.iastate.edu /Factsheets/pdfs/Hantavirus.pdf.
Chapman
LE and Khabbaz RF. 1994. Etiology and epidemiology of the Four Corners
Hantavirus outbreak. Infect Agents Dis. 3:234-244.
Cho
H-W, Howard CR. 1999. Antibody responses in humans to an inactivated Hantavirus
vaccine (Hantavax1). Vaccine. 17: 2569-2575.
Cummings
B. 2006. Hantavirus [internet]. [diunduh 2013 November 19]. Tersedia dari:
http://www2.bc.cc.ca.us/bio16/22_Resppictures.htm.
Duchin
JS, Koster FT, Peters CJ, Simpson GL, Tempest B, Zaki SR. 1994. Hantavirus
pulmonary syndrome: a clinical description of 17 patients with a newly
recognized disease. The Hantavirus Study Group. N Engl J Med. 330:949-955.
Ferres
M, Vial P, Marco C, Yanez L, Godoy P, Castillo C, Hjelle B, Delgado S, Lee J,
Mertz GJ. 2007. Prospective evaluation of household contacts of persons with
Hantavirus cardiopulmonary syndrome in Chile. J Infect Dis. 195:1563-1571.
Heyman
P, Vaheri A, Lundkvist A, Avsic-Zupanc T. 2009. Hantavirus infections in
Europe: from virus carriers to a major public-health problem. Expert Rev Anti
Infect Ther. 7:205-217.
Hunt,
M. 2006. RNA Virus Replication Strategies [internet]. [diunduh 2013 November
19]. Tersedia dari: http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt/RNA-HO.htm
Khan
AS, Ksialeh TG, Petres CJ. 1996. Hantavirus pulmonary syndrome. Lancet. 347:
738-41.
Kim
YS, Ahn C, Han JS, Kim S, Lee JS, Lee PW. 1995. Hemorrhagic fever with renal
syndrome caused by the Seoul virus. Nephron. 71:419-427.
Lee
HW and Johnson KM. 1976. Korean hemorrhagic fever: demonstration of causative
antigen and antibodies. Korean J Intern Med. 19:371.
Lee
HW, Lee PW, Johnson KM. 1978. Isolation
of the etiologic agent of Korean hemorrhagic fever. J Infect Dis. 137:298-308.
Lee
HW. 1982. Korean hemorrhagic fever. Prog Med Virol. 28:96-113.
Lee
HW. 1989. Hemorrhagic fever with renal syndrome in Korea. Rev Infect Dis. 11
(Suppl. 4):S864-S876.
Lee
HW, Ahn CN, Song JW, Baek LJ, Seo TJ, Park SC. 1990. Field trial of an
inactivated vaccine against hemorrhagic fever with renal syndrome in human.
Aech Virol Suppl. 1: 35-47.
Lundkvist
A, Plyusnin A. Molecular epidemiology of Hantavirus infections. In The
Molecular Epidemiology of Human Viruses. US: Springer. Hlm 351-384).
Madigan
MT, Martinko JM. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall. Hlm.
888-889
Martono
R, Loho T. 1999. Hantavirus. Majalah Kedokteran Indonesia. 49(5): 180- 187.
McCaughey
C, Hart CA. 2000. Hantaviruses. J Med Microbiol. 49: 587–599.
Mills
JN, Ksiazek TG, Peters CJ, Childs JE. 1999. Long-term studies of Hantavirus
reservoir populations in the southwestern United States: a synthesis. Emerg
Infect Dis. 5: 135±142.
Morzunov
SP, Rowe JE, Ksiarek TG, Peters CJ, Jeor SCS, Nichol ST. 1998. Genetic analysis
of the diversity and origin of klantavirus in Peomyscus leucopus.mice in North
America. J Virol. 72(1): 57-64.
Mustonen
J, Brummer-Korvenkontio M, Hedman K, Pasternack A, Pietila K, Vaheri A. 1994.
Nephropathia epidemica in Finland: a retrospective study of 126 cases. Scand J
Infect Dis. 26:7-13.
Nichol
ST, Ksiazek TG, Rollin PE, Peters CJ. 1996. Hantavirus pulmonary syndrome and
newly described Hantaviruses in the United States. In: Elliott RM (ed) The
Bunyaviridae. New York: Plenum Press. Hlm. 269-280.
Nurisa
I, Senewe F, Harun S. 2008. Penelitian infeksi Hantavirus penyebab HFRS di
beberapa pelabuhan kota di Indonesia. Abstrak Laporan penelitian Puslitbang
Ekologi Kesehatan. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. DeKes. RI.
Nurisa
dan Ristiyanto. 2006. Penyakit bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di
Indonesia. J Ekologi Kesehatan. 4 (3): 308-319.
Padula
PJ, Edelstein A, Miguel SD, Lopez NM, Rossi CM, Rabinovich RD. 1998. Hantavirus
pulmonary syndrome outbreak in Argentina: molecular evidence for
person-to-person transmission of Andes virus. Virology. 241:323-330.
Padula
PJ, Rossi CM, Della Valle MO, Martinez PV, Colavecchia SB. 2000. Development
and evaluation of a solid-phase enzyme immunoassay based on Andes Hantavirus
recombinant nucleoprotein. J Med Microbiol. 49:149-155.
Perdana
R. 2011. Ancaman Demam Berdarah Hanta. [internet]. [diunduh 2013 November 26].
Tersedia dari:
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/07/18/ancaman-demam-berdarah-hanta-379563.html.
Peters
CJ, Khan AS. 2002. Hantavirus Pulmonary Syndrome: The New American Hemorrhagic
Fever. Clin Infect Dis, Emer Infect.
34:1224–12231.
Prince
HE, Su X, Hogrefe WR. 2007. Utilization of Hantavirus antibody results
generated over a five-year period to develop an improved serologic algorithm
for detecting acute Sin Nombre Hantavirus infection. J Clin Lab Anal. 21:7-13.
Schmaljohn
CS. 1996. Molecular biology of Hantaviruses. In: Elliot RM (ed) The
Bunyaviridae. New York: Plenum Press. Hlm. 63-90.
Schmaljohn
C, Hjelle B. 1997. Hantaviruses: A Global Disease Problem. Emer Infect Dis.
3(2): 95-104.
Settergren
B, Juto P, Trollfors B, Wadell G, Norrby SR. 1989. Clinical characteristics of
nephropathia epidemica in Sweden: prospective study of 74 cases. Rev Infect
Dis. 11:921-927.
Tai
PW, Chen LC, Huang CH. 2005. Hanta hemorrhagic fever with renal syndrome; a
case report and review. J Microbial Immunol Infect. 38: 221-223.
Tappero
JW, Khan AS, Pinner RW, Wenger JD, Graber JM, Armstrong LR, Holman RC, Ksiazek
TG, Khabbaz RF. 1996. Utility of
emergency, telephone-based national surveillance for Hantavirus pulmonary
syndrome. Hantavirus Task Force. JAMA. 275:398-400.
Yates
TL, Mills JN, Parmenter CA, Ksiazek TG, Parmenter RR, Castle JRV, Calisher CH,
Nichol ST, Abbott KD, Young JC, et al. 2002. The ecology and evolutionary
history of and emergent disease: Hantavirus Pulmonary Syndrome. Bio Sci. 52
(11): 989-998.
Warner
GS. 1996. Hantavirus illness in humans: review and update. South Med J. 89:
264-271.
Wells
RM, Sosa Estani S, Yadon ZE, Enria D, Padula P, Pini N, Mills JN, Peters
CJ, Segura EL. 1997. An unusual
Hantavirus outbreak in southern Argentina: person-to-person transmission?
Hantavirus Pulmonary Syndrome Study Group for Patagonia. Emerg Infect Dis.
3:171-174.
Wells
RM, Young J, Williams RJ, Armstrong LR, Busico K, Khan AS, Ksiazek TG, Rollin
PE, Zaki SR, Nichol ST, Peters CJ. 1997. Hantavirus transmission in the United
States. Emerg Infect Dis. 3:361-365.
[Wikipedia].
2013. Hantavirus [internet]. [diunduh 2013 November 13]. Tersedia dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Hantavirus.
Williams
RJ, Bryan RT, Mills JN, Palma RE, Vera I, De Velasquez F, Baez E,. 1997. An
outbreak of Hantavirus pulmonary syndrome in western Paraguay. Am J Trop Med
Hyg. 57:274-282.
Won
YS, Jeong ES, Park HJ, Lee CH, Nam KH, Kim HC, Hyun BH, Lee SK, Choi YK. 2006.
Microbiological contamination of laboratory mice and rats in Korea from 1999 to
2003. Exp Anim. 55:11-6.
Zhu
Zy, Tang HY, Li YJ, Weng JQ, Yu YX, Zeng RF. 1994. Investigation of inactivated
epidemic hemorrhagic fever tissue culture vaccine in humans. Chin Med J (Engl).
107: 167-170.
***
Catatatan:
Makalah
ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati
Hewani dengan nomor katalog: 602.01.0027.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Dede
Sri Wahyuni, MSi. Medik Veteriner Muda, Pejabat Fungsional Pusat Karantina
Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.
******