HANTAVIRUS PULMONARY SYNDROME DI INDONESIA

Hantavirus adalah penyakit yang bersifat rodent borne disease (ditularkan melalui udara yang tercemar oleh kotoran rodensia) yang dapat menimbulkan penyakit ringan sampai fatal. Makalah dengan nomor katalog 602.01.0027.PUSKH.II.2015. ini ditulis oleh drh. Dede Sriwahyuni MSi, Medik Veteriner Muda, Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian.

******

HANTAVIRUS PULMONARY SYNDROME DI INDONESIA

Oleh:
Dede Sri Wahyuni


ABSTRAK

Hantavirus merupakan rodent borne disease yang menimbulkan penyakit ringan sampai fatal. Virus ini terdiri dari beberapa sub tipe virus antara lain HFRS dengan A. agraris sebagai resevoir dan HPS dengan P. maniculatus sebagai reservoir. Angka kematian antara 0.4%-15% ini tersebar di seluruh dunia dari Eropa Timur, Amerika Utara dan Selatan, Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Di Asia Tenggara, infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina, Singapura dan Thailand. Epidemiologi Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui. Beberapa hasil survei serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun 1984-1985 di pelabuhan kota Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan beberapa studi kasus HFRS di Yogyakarta tahun 1989. Hasil studi di Batam, Serang, Kemayoran, Subang, Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi infeksi Hantavirus (Virus Seoul) pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang sama terjadi pada tikus-tikus yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang, Maumere, Tanjung Priok. Infeksi Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di Semarang dan Bandung.

Kata kunci:      Hantavirus, Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS), Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS)

****** 

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyakit infeksi emerging dan re-emerging beberapa tahun ini memperoleh perhatian yang serius baik secara global maupun pada tingkat nasional. Salah satu penyakit yang perlu diantisipasi adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Hantavirus. Penyakit ini terjadi sejak perang Korea sekitar tahun 1951, akan tetapi secara laboratorik penyakit ini mulai dilaporkan sejak tahun 1976 oleh Lee et al (1990).

Penyakit yang disebabkan oleh Hantavirus ditularkan melalui udara yang tercemar oleh kotoran rodensia. Penularan antar manusia belum pernah dilaporkan. Laporan penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit ini relatif masih endemik pada reservoirnya saja, sedangkan penularan pada manusia masih sangat kecil, kurang dari 10% (Wibowo 2010).

Penyakit ini menjadi sangat berbahaya oleh karena manifestasi klinisnya yang berakibat fatal. Dikenal dua jenis sindroma sebagai akibat infeksi Hantavirus pada manusia yaitu Hemorrhagic Fever with Renal Syhdrome (HFRS) dan Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS) (Morzunov et al. 1998). Penyebab penyakit ini adalah virus yang termasuk dalam genus Hantavirus dari famili Bunyaviridae (Nurisa dan Ristiyanto 2005). Hantavirus terdiri dari minimal 25 virus yang menyebabkan demam berdarah HFRS dan HPS (Yates et al. 2002).

HFRS endemik di wilayah barat Norwegia, Swedia, Finlandia, Uni Soviet, Cina, Korea dan Jepang. Di Asia, dikenal dua spesies Hantavirus ganas yang dengan menunjukkan gejala pendarahan dan tingkat kematian tinggi yaitu demam berdarah Korea yang disebabkan oleh virus Hantaan (HTNV) dan demam berdarah Seoul (SEOV). Di Eropa dikenal bentuk ganas sedang dengan pendarahan yang lebih sedikit dan tingkat kematian rendah (nephrophatia epidemica) yang disebabkan oleh virus Puumala (PUUV), Dobrova (DOBV) dan Saremaa (SAARV) (Lundvist et al. 2002). Kejadian wabah di Amerika dilaporkan pada tahun 1993 memperlihatkan gejala pada paru-paru dengan tingkat kematian nyata yang dikenal dengan penyakit Hantavirus pulmonary syndrome (HPS) yang disebabkan oleh spesies lain dari genus Hantavirus yaitu virus virus Sin-Nombre (SNV) (Nurisa dan Ristiyanto 2005).

Berbagai penelitian penyakit yang disebabkan Hantavirus telah dilakukan di dunia untuk mempelajari sifat infeksi secara mendalam. Penelitian terakhir telah dikembangkan suatu jenis vaksin Hantavirus rekombinan untuk memberikan kekebalan pada populasi yang berisiko. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan, dua kali dosis dengan interval 1 (satu) bulan. Ternyata dapat memberikan serokonversi yang cukup tinggi sebesar 99.0%, dengan efek samping yang ringan (Martono dan Loho 1999). Kejadian infeksi oleh Hantavirus umumnya muncul di wilayah dengan faktor lingkungan yang mendukung adanya reservoir alami. Keberadaan reservoir dalam jumlah banyak dapat meningkatkan jumlah infeksi pada manusia (Schmaljohn dan Hjelle 1997).

Tujuan
Tulisan ini untuk mengetahui penyakit Hantavirus Pulmonary Syndrome, sifat agen penyebabnya, data epidemiologik, serta tindakan pencegahan dan pengendaliannya.

BAB II
PEMBAHASAN

Agen Penyebab
Hantavirus adalah suatu virus RNA yang termasuk dalam famili Bunyaviridae. Anggota Hantavirus dapat dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan penyakit yang ditimbulkannya. pertama kelompok yang menyebabkan HFRS (Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome) serta kelompok yang menyebabkan HPS (Huntavirus Pulmonary Syndrome) (Khan et al. 1996).

Partikel virus berbentuk bola dengan ukuran 80-120 nm. Hantavirus berupa 3 segmen ssRNA terpisah yang bersifat negatif sens. Genom terdiri atas small segmen (S), medium segmen (M) dan large segmen (L). Segmen S (1.7-2.0 kb) mengkode protein nukleokapsid (N), segmen M (3.6 kb) mengkode protein prekusor glikoprotein dari dua glioprotein virus (G 1 dan G2) dan segmen L (6.5 kb) mengkode enzim RNA polimerase (Morzunov et al. 1998). Semua bagian virus ini memainkan peran tertentu dalam proses attachment/menempel dan masuk ke dalam sel host, atau dalam proses mereplikasi komponen virus dalam tubuh host, atau dalam membantu penyebaran virus dari sel satu ke sel lain dalam tubuh host.

Gambar 1 Hantavirus (Cummings 2006)

Klasifikasi Hantavirus adalah:
Kingdom: virus, ssRNA virus, ssRNA negativ stran-virus, Family: Bunyaviridae, Genus: Hantavirus

Semua Hantavirus diselubungi nukleokapsid dan terdiri dari negative-sensed single-stranded RNA. Replikasi terjadi dengan cara RNA harus ditranskripsi terlebih dahulu oleh protein virion yang disebut RNA polymerase. Hal ini akan menghasilkan positive-sense mRNA yang dapat dibaca oleh enzim sel inang. Virus ini kemudian dapat di-translated dalam sitoplasma sel inang, yang menghasilkan lebih banyak virus dan akhirnya terjadi penyebaran infeksi dalam host (Hunt 2006).

Berbeda dengan anggota Hantaviridae yang lain, Hantavirus (HTV) merupakan virus yang tidak memilihi vektor yang menularkan HTV diantara populasi rodensia. Beberapa subtipe Hantavirus lain seperti: Hantaan virus (HTNV), Dobrava dan Seoul virus (SEOV) merupakan penyebab HFRS sedang dan berat di kawasan Asia, sedangkan Puumala virus merupakan penyebab HFRS ringan di kawasaan Skandinavia dan Eropa. Subtipe virus Sin Nombre merupakan penyebab HPS di Amerika Utara dan Andes virus (ANDV) merupakan penyebab HPS di kawasan Amerika Selatan, Argentina dan Chili (Tai et al. 2005)

Tabel 1. Pembagian Hantavirus berdasarkan penyakit yang ditimbulkan, distribusi geografis dan rodensia penyebar (Martono dan Loho 1999)

Penyakit
Spesies
Distribusi Geografis
Rodensia
HFRS
Hantaan virus (HTN)
Cina, Jepang, Korea, Indonesia, Skandinavia, Rusia
Apodemus spp.
Dobrovavirus (DOB)
Yugoslavia
A. flavicollis
Seoul virus (SEO)
Cina, Jepang, Korea,
Indonesia
R. norvegicus

Puumala virus
Skandinavia, Eropa
Cleithronomys glaerolus
HPS
Sin Nombre virus
(SN)
AS Barat

Peronzyscus
Bayou virus (BAY)
Lousiana
Oryzomys palustris
Black Creek Canal
virus (BCC)
Florida

Sigmodon hipidus
New York virus
(NY)
AS Timur

Peromiscu leucopus
Juqitiba virus

AS Utara dan
Selatan
?
Andes virus

AS Utara dan
Selatan
Oligoryzomys longicaudatus
Laguna Negra virus

AS Utara dan
Selatan
Calomys Iavchu
Monongahela virus
AS Timur
P. maniculutus
Tidak ada
El Moro Canyon
virus (ELMC)
AS Utara
Reithrodontoys megalotis
Rio Segundo virus
?
Reithrodontoys mexicanus
Rio Mamore virus
Bolivia
Oligoryzomys microtis
Prospect Hill virus (PH)
AS
Microttus pensylvanicus
Isla Vista virus
?
Microtus californicus
Leakey virus (LEA)
AS
Mus musculus
Thailand virus (THAI)
Thailand
Bandicota indica
Tottapalyam virus
(TPM)
India
Suncus murinus

Virus ini berbentuk sferis dengan diameter 100 nm. Pada bagian luar strukturnya, terdapat selubung virus dan di dalamnya dilapisis dengan membran bilayer. Genomnya terdiri dari 6550 nukleotida yang mengkodekan enzim transkriptase virus, nukleokapsid, dan glikoprotein virus. Virus ini mudah diinaktivasi dengan panas, detergen, pelarut organik, dan larutan hipklorit (McCaughey dan Hart 2000). Virus ini banyak terdapat pada hewan hewan pengerat seperti tikus, mencit, Lemmus lemmus (lemming). Sebagian besar virus ini ditransmisikan melalui inhalasi kotoran hewan pengerat yang terinfeksi virus hanta. Manusia sebagai inang dapat terinfeksi virus ini apabila melakukan kontak dengan hewan pengerat dan kotorannya (Madigan dan Martinko 2000).

Cara Transmisi
Virus dalam genus Hantavirus ditularkan melalui kotoran tikus secara aerosol atau melalui gigitan tikus, sedangkan genus lain dalam keluarga Bunyaviridae adalah arthropoda-borne virus yang ditularkan melalui vektor nyamuk (Wikipedia 2013). Hantavirus ditularkan ke manusia melalui udara yang terkontaminasi oleh urin atau feses tikus yang mengandung virus. Hantavirus dapat berada pada air liur, feses, dan urin tikus. Penyebaran virus dapat secara aerosol dan melalui gigitan tikus (CFSPH 2008).

Di Amerika Serikat dilaporkan tikus merupakan reservoir Hantavirus. Manusia bisa terkena HPS ketika mereka tertular dari tikus yang terinfeksi. Virus berada dalam urin, feses, kotoran, dan air liur tikus. Virus ditularkan terutama kepada orang-orang ketika mereka menghirup udara yang terkontaminasi virus. Manusia dapat terpapar melalui pernapasan. Hal ini bisa terjadi ketika urin dan feses tikus yang mengandung Hantavirus berada di udara. Selain transmisi melalui udara, tikus terinfeksi bisa menyebarkan Hantavirus ketika menggigit seseorang, tetapi cara transmisi ini jarang terjadi. Manusia juga dapat terpapar ketika menyentuh mata, hidung atau mulut setelah menyentuh kotoran, urin, atau kotoran/sarang tikus yang mengandung virus (CDC 2013).


Gambar 2 Cara penularan HPS (CDC 2013)

Manusia bisa menjadi host insidental ketika mereka kontak dengan tikus yang terinfeksi atau kontak dengan ekskresi tikus terinfeksi. Feses, urin, kotoran atau sarang tikus di area tertutup dapat terdapat virus yang kemudian dapat dihirup melalui debu secara aerosol. Infeksi kadang-kadang dapat terjadi setelah beberapa menit dari paparan virus secara aerosol. Hantavirus juga dapat ditularkan melalui kulit luka, konjungtiva, dan membran mukosa lainnya akibat gigitan hewan pengerat dan mungkin akibat konsumsi hewan tersebut (CFSPH 2008).

Para peneliti percaya bahwa orang mungkin bisa tertular virus jika mereka menyentuh sesuatu yang telah terkontaminasi dengan urin, feses, atau air liur dari tikus terinfeksi dan kemudian menyentuh hidung atau mulut mereka. Para peneliti juga menduga orang bisa menjadi sakit jika mereka makan makanan yang terkontaminasi urin, feses, atau air liur tikus yang terinfeksi. Jenis-jenis Hantavirus yang menyebabkan HPS di Amerika Serikat tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. HPS tidak menyebar dari orang ke orang. Seseorang tidak bisa tertular virus dari menyentuh seseorang yang memiliki HPS atau dari petugas kesehatan yang merawatnya. Virus juga tidak ditularkan melalui transfusi darah dari seseorang yang terinfeksi (CDC 2013).

Penularan vertikal umumnya dianggap diabaikan atau tidak ada, namun data yang menunjukkan kemungkinan penularan Hantavirus dalam ASI telah dilaporkan dari Amerika Selatan. Penularan dari orang ke orang belum terlihat dalam kasus HPS di Amerika Utara atau Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) di Eurasia, tetapi kadang-kadang terjadi dengan virus Andes di Argentina (CFSPH 2008).

Hantavirus memiliki satu atau beberapa hewan tertentu sebagai host (insectivore host). Spesies selain tikus dan serangga dapat terinfeksi oleh Hantavirus. Antibodi terhadap beberapa Hantavirus telah ditemukan pada kucing, anjing, babi, kuda, sapi, rusa, kelinci, tupai, dan rusa. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa 10% dari kucing yang sehat di Inggris dan 23% dari kucing dengan penyakit kronis menunjukkan hasil seropositif terhadap Hantavirus. Antigen Hantavirus ditemukan di jantung, hati, paru-paru, limpa, ginjal, darah, urin, dan feses.

Penelitian lain melaporkan bahwa kuda, sapi, dan coyote yang seronegatif dalam satu survei AS sedangkan babi yang dilaporkan terinfeksi sistemik Hantavirus di Cina. Sebuah studi Rusia melaporkan bahwa antigen Hantavirus dapat ditemukan di paru-paru beberapa spesies burung (termasuk burung passerine, merpati, heron, dan burung hantu), namun hal ini masih harus dikonfirmasi. Kera (Macaca fascicularis) secara eksperimental dapat terinfeksi virus Puumala, demikian pula pada kera Cynomolgus terinfeksi virus Andes (CFSPH 2008).

Hewan yang terinfeksi membawa virus ini selama berminggu-minggu sampai bertahun-tahun dan kadang-kadang seumur hidup. Infeksi transient juga mungkin terjadi. Hewan yang baru terinfeksi cenderung untuk mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih besar. Umumnya, shedding virus berkurang secara signifikan sekitar delapan minggu setelah infeksi. Rute transmisi di antara beberapa Hantavirus mungkin berbeda, misalnya beberapa spesies Hantavirus lebih mudah diisolasi dari urin. Tikus tidak muncul sebagai pembawa Hantaan atau virus Puumala secara vertikal (CFSPH 2008).

Di lingkungan Hantavirus rentan terhadap pengeringan, tetapi dapat bertahan hidup lebih lama jika mereka dilindungi oleh bahan organik. Pada suhu kamar (23°C), baik virus Puumala maupun virus Tula kehilangan viabilitas dalam waktu 24 jam ketika mereka kering, tetapi tetap dapat menular selama lebih dari lima hari jika lingkungan tetap lembab. Hantaan virus juga tampaknya tetap bertahan selama beberapa hari pada suhu kamar. Apakah hewan selain tikus dan serangga dapat menularkan Hantavirus tidak diketahui secara pasti.

Studi dari Cina menunjukkan bahwa babi yang terinfeksi Hantavirus dapat mengekskresikan antigen dalam urin dan feses dan juga dapat menularkan virus kepada keturunannya melalui plasenta. Antibodi terhadap Hantavirus telah dilaporkan pada spesies lain, tetapi hewan tersebut belum dilaporkan untuk dapat menularkan virus ini. Infeksi pada hewan tidak dikaitkan dengan kasus pada manusia. Sebagian besar sumber menyatakan bahwa Hantavirus tidak ditularkan melalui arthropoda. Namun, bukti eksperimental untuk penularan virus Hantaan oleh tungau trombiculid yaitu Leptotrombidium sp. telah dilaporkan dari Cina (CFSPH 2008).

Faktor Risiko
Sindrom Hantavirus paru yang paling umum di pedesaan Amerika Serikat bagian barat terjadi selama musim semi dan musim panas. Sindrom Hantavirus paru juga terjadi di Amerika Selatan dan Kanada. Hantavirus lainnya terjadi di Asia, di mana mereka dapat menyebabkan gangguan ginjal, bukan gangguan paru-paru. Kesempatan untuk terinfeksi sindrom Hantavirus paru akan lebih besar bagi orang-orang yang bekerja, tinggal, atau bermain di lingkungan dimana tikus hidup. Faktor-faktor dan kegiatan yang meningkatkan risiko di antaranya:

-Membuka dan membersihkan bangunan yang lama tidak terpakai atau gudang.
-Membersihkan rumah, terutama daerah loteng atau daerah yang jarang dilewati.
-Memiliki pekerjaan yang melibatkan interaksi dengan hewan pengerat, seperti pekerjaan konstruksi, pertukangan, dan pengendalian hama.
-Kemping, hiking (naik gunung), atau berburu.

Komplikasi
Sindrom Hantavirus paru dapat dengan cepat mengancam jiwa pengidapnya. Karena paru-paru terisi dengan cairan, maka Anda akan menjadi semakin sulit untuk bernapas dari waktu ke waktu. Kemudian akan terjadi penurunan tekanan darah dan terjadi gagal organ, terutama jantung. Tingkat kematian untuk jenis sindrom Hantavirus paru versi Amerika Utara mencapai lebih dari 30%.

Patogenesis
Kejadian HPS dan HFRS memiliki kesamaan dalam patogenesis. Penyakit dimulai dengan inhalasi partikel kecil dari virus dan deposisi partikel di dalam terminal bronchiole pernapasan atau alveolus. Kemudian melalui infeksi makrofag alveolar atau target utama lain, dan dapat terjadi viremia yang menghasilkan infeksi luas pada endotelium kapiler paru dengan derajat yang lebih rendah dari infeksi dari sel-sel lain dalam tubuh (Peters dan Khan 2002).

Infeksi Hantavirus biasanya menimbulkan gangguan dalam fungsi selular atau kerusakan histologis sel endotel mikrovaskuler paru. Berdasarkan penelitian in vitro, sel endotel kapiler mikrovaskuler paru-paru yang terinfeksi, memiliki efek mendalam pada permeabilitas endotel kapiler yang dapat menyebabkan edema paru. Selain cacat permeabilitas parah pada paru-paru dapat juga terjadi depresi miokard umum, meskipun pemeriksaan mikroskopis dan imunohistokimia temuannya normal (Peters dan Khan 2002).

Patogenesis infeksi Hantavirus tidak jelas karena kurangnya model hewan untuk menggambarkan hal tersebut (tikus dan mencit tampaknya tidak menunjukkan penyakit yang parah).  Perbedaan antara HFRS dan HPS yaitu bahwa efek utama HFRS adalah pada pembuluh darah sedangkan pada HPS gejala yang utama berhubungan dengan paru-paru. Pada HFRS terdapat peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan penurunan tekanan darah akibat disfungsi endotel dan kerusakan paling utama terlihat pada ginjal, sedangkan di HPS, paru-paru, limpa, dan kandung empedu terdapat efek yang paling terpengaruh. Gejala awal HPS cenderung mirip dengan flu yaitu nyeri otot, demam, dan kelelahan. Biasanya muncul sekitar 2 sampai 3 minggu setelah terpapar. Tahap selanjutnya akan terjadi kesulitan bernapas atau sesak napas dan batuk yaitu sekitar 4 sampai 10 hari setelah gejala awal (Wikipedia 2013).

Data Epidemiologik
Epidemiologi infeksi Hantavirus dalam populasi manusia sebagian besar akibat adanya kontak antara manusia dengan rodensia di daerah endemis.  Mayoritas kasus terjadi akibat kontak langsung antara manusia dengan ekskreta dari rodensia yang terinfeksi, serta kemungkinan adanya kontaminasi virus secara inhalasi. Di Amerika Serikat, transmisi antar manusia belum pernah ditemukan pada kasus Hantavirus (Wells et al. 1997), tetapi di Argentina dan Chili pernah dilaporkan pernah terjadi meskipun jarang terjadi (Padula et al. 1998, Wells et al. 1997). 

Epidemiologi dari Hantavirus Old World dimulai dari ditemukannya HTNV (Lee dan Johnson 1976; Lee et al. 1978), sedangkan studi epidemiologi tentang HFRS secara signifikan mengalami peningkatan pada manusia serta rodensia.  Pada studi ini, ditunjukkan bahwa petani, tentara serta masyarakat pedesaan merupakan korban terbesar infeksi HFRS.  Kejadian tersebut banyak ditemukan di China, Korea Selatan, Rusia bagian timur serta Eropa bagian utara (Lee 1982).  Selain HTNV, HFRS juga disebabkan oleh PUUV, di Eropa dilaporkan 35.424 kasus sampai akhir tahun 2006 (Heyman dan Vahari 2008; Heyman et al. 2009), dimana 95% kasus terjadi setelah tahun 1990.

Epidemiologi dari Hantavirus New World dimulai dikenal sejak Mei 1993 di Amerika Serikat.  Pada saat itu dilaporkan adanya kematian pada warga pedesaan di Amerika Serikat bagian barat daya yang menunjukkan gejala pernafasan akut yang tidak bisa dijelaskan (Chapman dan Khabbaz 1994).  Kemudian menyebar ke Meksiko, dan ditemukan bahwa penyebabnya adalah Hantavirus dengan reservoarnya Peromyscus maniculatus.  Pada wabah Maret 2007, 465 kassus HPS di Amerika Serikat dilaporkan ke CDC dengan angka kematian mencapai 35% (Tappero et al. 1996).   Hanta virus ini kemudian menyebar ke Paraguay dari Juli 1995 sampai Januari 1996 (Williams et al. 1997) dengan 125 kasus dengan angka kematian yang rendah (15%).  Penyebaran ini kemudian terjadi di Argentina, Panama, Uruguay dan Brazil dengan angka kematian yang bervariasi.

Di Amerika Serikat pada bulan Mei 1993 terjadi suatu outbreak infeksi paru dengan gejala klinis demam, batuk, edema, disertai sesak napas dengan mortalitas tinggi sekitar 50%-75%. Penelitian yang dilakukan terhadap outbreak tersebut menunjukkan bahwa penyebabnya adalah Hantavirus, sehingga penyakitnnya disebut sebagai Hantavirus Pulmonary Syindrome (HPS). Rodensia Peronzysczu maniculatus sebagai reservoir di Amerika Serikat (Morzunov et al. 1998).

Di Indonesia sebenarnya telah ditemukan pada tiga spesies tikus. Tahun 1999-2000 di beberapa daerah di Indonesia, yaitu Pulau Batam, Serang, Kemayoran, Subang, Semarang dan Wonosobo. Di Semarang kejadian infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan pada tahun 2002, dari 94 sediaan darah diduga demam berdarah dengue (DBD), terdapat 10 kasus demam berdarah Hanta, dengan pemeriksaan serologik terhadap Hantavirus. Di Bandung dilaporkan dua penderita demam berdarah yang diduga demam berdarah dengue, ternyata pemeriksaan antibodi anti-HTV (Hantavirus) menunjukkan hasil yang positif Hantavirus (Perdana 2011).

Epidemiologi Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui, beberapa hasil survei serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun 1984-1985 di pelabuhan kota Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan beberapa studi kasus HFRS di Yogyakarta tahun 1989. Pada tabel 2 dapat diketahui hasil survei rodensia di beberapa pelabuhan laut di Indonesia (Nurisa at al. 2008).

Tabel 2. Kronologis laporan survei serologi Hantavirus pada hewan dan manusia di beberapa kota pelabuhan laut di Indonesia (Nurisa at al. 2008)


Tahun
Penulis
Tahun Penelitian
Kota/
Pelabuhan
Asal Sera
Preva-lensi (%)
Teknik Serologi
Hantavi
rus
Spp
1987
Morita et al.
1984/85
Semarang
Rodensia
-
IFA&IAHA

Hantaan

Ujung Pandang
Rodensia
1992
Hadi dan Ristyanto
1991/92
Maumere
Manusia

4,0-28,9
ELISA

Hantaan

1996
Ibrahim et al.
1984/85
Semarang
R. ratus
1,2
IFA&IAHA
(ag SR 11)
Seoul

Uj. Pandang
R. norvegicus
14,6

R. exulans
25,0
1997a
Ima Nurisa et al.
1995/96
Tg. Priuk

R. norvrgicus
M. musculus
8,3
100,0
ELISA

Hantaan

Sd. Kalapa


R. norvrgicus
R. rattus
S. murinzis
22,8
0,1
37,5
1997a
Ima Nurisa et al.
1996/97
Tg. Priuk


Manusia
R. norvrgicus
R. rattus
1,8
40,3
19,4
ELISA

Hantaan

Sd. Kalapa
Manusia
R. norvrgicus
R. rattus
1,1
24,4
19,2
1997
Ansari
1992-96

Jakarta, Bali,
Batam,Timor
Timur, Irian
Jaya
Tikus
10,0
EIA, W
Blot

Hantaan



1995



Jakarta, Bali,
Batam, Timor
Timur, Irian
Jaya
Tikus



20,7
EIA, W
Blot


Hantaan




1996
Jakarta
Tikus
8,2
EIA, W
blot
Hantaan

2005
Ima Nurisa et al.
2004
Makasar
Jakarta
Manusia
. (Penderita
Gangguan ginjal)
8,2
ELISAIgG RT-PCR
SEOVI
HTNV;
PUUV;
SN V


Keterangan:    IFA      : Immuno Fluorescent Antibo& assay
            IAHA   : lmmuno Adherent Hemugglutination Assay
            ELISA : Enzyme Linked ImmunoSorhent Assay

Di Asia Tenggara, infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina, Singapura dan Thailand. Hasil studi di Batam, Serang, Kemayoran, Subang, Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi infeksi Hantavirus (Virus Seoul) pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang sama terjadi pada tikus-tikus yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang, Maumere, Tanjung Priok. Infeksi Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di Semarang dan Bandung.

Gejala Klinis

a. Gejala Klinis pada Hewan
Hantavirus pada ditemukan secara alami dalam tikus dan serangga. Tingkat infeksi bervariasi, beberapa kasus menunjukkan prevalensi seropositif sampai dengan 50% pada rodensia. Selain itu, prevalensi seropositif rata-rata 10% untuk virus Sin Nombre (Won et al. 2006).

b. Gejala Klinis pada Manusia
Gejala Hantavirus pulmonary syndrome pada awalnya mirip dengan gejala influenza. Gejala akan muncul antara satu hingga enam minggu setelah paparan virus. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti badan letih, demam, menggigil, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, pusing, nyeri perut. Hingga pada 4-10 hari kemudian timbul sesak napas yang berat (CDC 2013).


Pasien yang menderita infeksi ini harus dimasukkan ke rumah sakit, bahkan dirawat di ruang perawatan intensif (ICU). Walau demikian, infeksi ini adalah infeksi yang serius dan cepat memburuk. Gagal napas sangat sering terjadi. Meskipun terapi dilakukan secara agresif, lebih dari 50% akan mengalami gagal napas dan meninggal. Tingkat kematian mencapai 38% (CDC 2013). Gejala klinis yang timbul dari infeksi Hantavirus bervariasi, dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Gejala klinis pada manusia (Lee 1989; Kim et al. 1995; Mustonen et al. 1994; Settergren et al. 1989; Duchin et al. 1997; Campos et al. 2009)

Pasien (%)
Gejala Klinis
HTNV
SEOV
PUUV
SNV
ARAV
Demam
100
100
99-100
100
100
Dyspnea




87
Tachycardia




81
Shock




33
Sakit kepala
86-87
89
85-100
71
47
Sakit perut
85-92
68
64-67
24
NA
Backache
91-95
85
82
29
NA
Mual
82-91
61
78-83
71
25
Dizziness
50
52
12-25
41
NA
Petechiae
32-94
48
12
0
NA
Minor bleeding
37
7-20
11
NA
9
Internal hemorrhages
34
13
NA
NA
NA
Cough
31
14
60
71
54
Hypotension
80
17
1-2
50
56
Myopia
57
NA
12-31
NA
NA
Arthralgia
NA
NA
0-15
29
NA
Oliguria
60-67
37
54-70


Polyuria
92-95
63
97-100
40
NA
Leukocytosis
91
69
23-57
95-100
67
Thrombocytopenia
78
83
52-75
100
93
Hematocrit




70
Proteinuria
100
94
94-100
40
NA
Hematuria
85
73
58-85
57
NA
S-creatine
97
83
Yes
No
51
Kematian
5-10
<1
0
40
54

Diagnosis
Serologis tes dilakukan ketika terlihat gejala karena HFRS dan HPS akut memproduksi IgM dan IgG antibodi. Oleh karena itu, mendeteksi adanya antibody tersebut biasanya dilakukan untuk melihat adanya antigen dari virus dilakukan terhadap pasien dengan suspek HFRS dan HPS. Diagnosa yang dilakukan adalah dengan metode uji indirect immunofluorescence assay (IFA) menggunakan Hantavirus-infected cells sebagai antigen dengan slide mikroskop. Tetapi dengan metode ini harus mempunyai syarat mempunyai laboratorium BSL 3. Selain dengan metode IFA, pengujian bisa dilakukan dengan uji ELISA.  Metode ini mempunyai sensitivitas 97.2% dan spesifitas 100% (Padula et al. 2000).  Immunobolt dan neutralization test juga digunakan untuk mendeteksi infeksi ini (Prince et al. 2007). 

Selain secara serologis, pengujian juga bisa dilakukan secara molekuler.  Pengujian ini terutama bagus untuk kasus HPS yang mempunyai case fatality rate yang tinggi.  Pengujian secara molekuler mempunyai keuntungan mendapatkan hasil yang cepat.  Pengujiannya menggunakan reverse transcription-PCR (RT-PCR).  Dengan metode ini, sebelum gejala klinis timbul, sudah bisa keluar hasil diagnosanya dengan menggunakan sampel darah, serum atau bagian organ (Ferres et al. 2007).

Pengobatan
Terapi utama penyakit Hantavirus adalah terapi suportif umum. Mempertahankan volume darah dalam intravaskular dan cardiac output dengan infus untuk memepertahankan keseimbangan elektrolit (Warner 1996). Penggunaan dialisis peritoneal akut dan hemodialisis dapat dilakukan. Pengobatan HPS dilakukan dengan perawatan intensif, menjaga system kardiovaskular dan obat vasopressor. Pengawasan oksigen dalam darah dilakukan dengan penggunaan ventilasi mekanis dan oksigen (Nichol et al. 1996). Jika koagulasi intravaskular diseminata terjadi, dilakukan infus heparin dan trombosit. Extracorporeal membrane   oxygenation (ECMO) digunakan sebagai terapi penyelamatan pada pasien dengan HPS parah (Nichol et al. 1996).

Antibiotika, dapat diberikan dengan tujuan untuk menanggulangi infeksi sekunder, bila ada demam dan sesak nafas, sering diberikan golongan sefalosporin dan aminoglikosida. Ribavirin intravena dapat diberikan dengan dosis 1 gram, tiap 6 jam, tetapi bukti nyata perbaikan penyakitnya masih kontroversi dan disamping itu obat Ribavirin ini masih langka dan belum tentu ada tersedia (CDC 2013).

Terapi Dukungan
Orang dengan kasus yang parah memerlukan perawatan segera di unit perawatan intensif. Bantuan pernapasan, baik melalui intubasi atau ventilasi mekanik dapat membantu pernapasan dan menangkal endema paru. Intubasi bekerja dengan menempatkan tabung pernapasan melalui mulut, hidung, atau trakea untuk membantu menjaga saluran udara terbuka dan berfungsi normal.

Oksigenasi Darah
Dalam kasus yang sangat parah pada penderita penyakit paru, diperlukan metode yang disebut oksigenasi membrane extracorporeal untuk membantu mempertahankan pasokan oksigen yang cukup. Oksigenasi ini akan terus memompa darah melalui mesin yang menghilangkan karbon dioksida dan menambah oksigen. Darah yang telah beroksigen kemudian dikembalikan ke tubuh anda.

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hantavirus
Walaupun Hantavirus merupakan penyakit yang masih asing bagi masyarakat Indonesia, namun demikian kita harus tetap berhati-hati agar tidak terinfeksi oleh virus tersebut. Agar terhindar dari penyakit ini maka perlu dilakukan pencegahan, apabila sudah terinfeksi maka dilakukan pengobatan. Tanpa disadari sikap dan perilaku masyarakat sudah mengarah pada upaya pencegahan penyakit infeksi Hantavirus yang ditularkan oleh rodensia (tikus) walaupun belum semuanya melakukannya. Beberapa upaya dalam membasmi tikus yang berada di sekeliling tempat tinggal penduduk baik dengan cara menggunakan racun maupun perangkap. Tindakan ini secara tidak disengaja dapat mencegah atau mengurangi penularan penyakit khususnya yang bersumber dari rodensia seperti penyakit infeksi Hantavirus.

Penanganan terhadap sampah atau limbah rumah tangga yang dilakukan masyarakat umumnya cukup baik. Sebelum sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir, sampah umumnya ditampung terlebih dahulu dengan menggunakan bak atau plastik. Beberapa orang masih membuang sampah dengan tidak memenuhi persyaratan kesehatan karena sampah dibuang di halaman atau selokan. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan. Hal ini menimbulkan pencemaran dan menjadi tempat yang cocok bagi hewan pengerat terutama tikus dan hewan reservoir lainnya yang mencari sisa makanan dan berkembang biak dengan cepat sehingga menimbukan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan.

Cara mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh Hantavirus yaitu dapat dilakukan dengan memasukkan ke pembuluh darah analog quanosine, yang digunakan untuk menangani HFRS. Obat untuk mengontrol HFRS yaitu dengan ribavirin, meskipun aktivitas dari ribavirin bertentangan dengan SNV. Ribovirin tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan HPS.

Vaksinasi
Berbagai vaksin telah dikembangkan yang berasal dari killed virus dengan teknologi DNA rekombinan. Formalin-inactivated vaccines (SEO dan HTN) telah terbukti dapat menghasilkan antibodi dan derivate vaksin SEO telah menunjukkan mampu melindungi bayi tikus yang ditantang dengan SEO dan HTN (Zhu et al. 1994). Vaksin tersebut telah terbukti aman dan imunogenik di manusia [134]. Vaksin Formalin-inactivated HTN yang digunakan dalam percobaan di Korea telah menunjukkan tingkat respons antibodi 75%, namun respon antibodi berumur pendek (Cho dan Howard 1999). Vaksin rekombinan juga telah dikembangkan. Pendekatan dengan memanfaatkan baculovirus dan vaksin yang mengekspresikan glikoprotein virus dapat melindungi terhadap paapran pada hewan coba. Ada beberapa bukti bahwa protein N-baculovirus dapat menginduksi antibodi, yang dimediasi oleh limfosit T sitotoksik dan berpotensi cross-reactive terhadap jenis Hantavirus yang lain (Schmaljohn 1996).

Kontrol Rodensia
Cara yang paling efektif untuk pengendalian penyakit Hantavirus adalah membatasi kontak dengan rodensia dan kotorannya. Monitoring untuk mengetahui prevalensi Hantavirus pada populasi rodensia dapat memberikan gambaran terhadap peningkatan jumlah kasus di manusia. Perhatian terhadap faktor lingkungan, seperti peningkatan curah hujan yang terkait dengan El Nino pada tahun 1992-1993, yang secara tidak langsung dapat meningkatkan risiko paparan virus Sin Nombre, diduga dapat dilakukan sebagai pencegahan penyakit (Mills et al. 1999). Praktek yang baik di bidang pertanian, kehutanan dan kegiatan militer harus dilakukan untuk mengurangi kontak rodensia dengan manusia. Gaya hidup bersih agar tikus tidak dapat hidup dalam rumah, pencegahan tikus memasuki rumah dan tidak meninggalkan makanan yang mengundang tikus diharapkan dapat mencegah kontak dengan tikus (Warner 1996).

Prosedur Pembersihan yang Aman
Siram tikus yang mati dan tempat di mana tikus ditemukan dengan menggunakan desinfektan, alkohol, atau pemutih. Hal ini bertujuan untuk membunuh virus dan mencegah debu di udara tercemar oleh virus. Setelah semuanya tersiram, gunakan handuk basah untuk mengambil media yang terkontaminasi. Kemudian pel dengan menggunakan lap/spons pada tempat yang terkontaminasi dengan menggunakan desinfektan. Lakukan juga tindakan pencegahan khusus, seperti memakai respirator ketika membersihkan bangunan dari tikus.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hantavirus merupakan rodent borne disease yang menimbulkan penyakit ringan sampai fatal. Virus ini terdiri dari beberapa sub tipe virus antara lain HFRS dengan A. agraris sebagai resevoir dan HPS dengan P. maniculatus sebagai reservoir. Angka kematian antara 0.4%-15% ini tersebar di seluruh dunia dari Eropa Timur, Amerika Utara dan Selatan, Asia Timur, Tenggara dan Selatan. Di Asia Tenggara, infeksi Hantavirus pada manusia dilaporkan di Korea, Filipina, Singapura dan Thailand.

Epidemiologi Hantavirus di Indonesia masih belum banyak diketahui. Beberapa hasil survei serologi pada rodensia telah dilakukan sejak tahun 1984-1985 di pelabuhan kota Padang dan Semarang. Selain itu, telah dilaporkan beberapa studi kasus HFRS di Yogyakarta tahun 1989. Hasil studi di Batam, Serang, Kemayoran, Subang, Semarang dan Wonosobo, menunjukkan prevalensi infeksi Hantavirus (Virus Seoul) pada tikus berkisar antara 6.3-8.4%. Hal yang sama terjadi pada tikus-tikus yang ditangkap di Pelabuhan Makassar, Semarang, Maumere, Tanjung Priok. Infeksi Hantavirus pada manusia telah dilaporkan di Semarang dan Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

Campos GM, Borges AA, Badra SJ, Figueiredo GG, Souza RL, Moreli ML, Figueiredo LT. 2009. Pulmonary and cardiovascular syndrome due to Hantavirus: clinical aspects of an emerging disease in southeastern Brazil. Rev Soc Bras Med Trop. 42:282-289.

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Hantavirus Pulmonary  Syndrome (HPS) [internet]. [diunduh 2013 November 12]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov /Hantavirus /hps/transmission.html.

[CFSPH] The Center For Food Security and Public Health. 2008. Hantavirus, Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS), Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS), Hemorrhagic Nephrosonephritis, Epidemic Hemorrhagic Fever, Korean Hemorrhagic Fever, Nephropathia Epidemica (NE)  [internet]. [diunduh 2013 November 12]. Tersedia dari: Iowa State University. http://www.cfsph.iastate.edu /Factsheets/pdfs/Hantavirus.pdf.

Chapman LE and Khabbaz RF. 1994. Etiology and epidemiology of the Four Corners Hantavirus outbreak. Infect Agents Dis. 3:234-244.

Cho H-W, Howard CR. 1999. Antibody responses in humans to an inactivated Hantavirus vaccine (Hantavax1). Vaccine. 17: 2569-2575.

Cummings B. 2006. Hantavirus [internet]. [diunduh 2013 November 19]. Tersedia dari: http://www2.bc.cc.ca.us/bio16/22_Resppictures.htm.

Duchin JS, Koster FT, Peters CJ, Simpson GL, Tempest B, Zaki SR. 1994. Hantavirus pulmonary syndrome: a clinical description of 17 patients with a newly recognized disease. The Hantavirus Study Group. N Engl J Med. 330:949-955.

Ferres M, Vial P, Marco C, Yanez L, Godoy P, Castillo C, Hjelle B, Delgado S, Lee J, Mertz GJ. 2007. Prospective evaluation of household contacts of persons with Hantavirus cardiopulmonary syndrome in Chile. J Infect Dis. 195:1563-1571.

Heyman P, Vaheri A, Lundkvist A, Avsic-Zupanc T. 2009. Hantavirus infections in Europe: from virus carriers to a major public-health problem. Expert Rev Anti Infect Ther. 7:205-217.

Hunt, M. 2006. RNA Virus Replication Strategies [internet]. [diunduh 2013 November 19]. Tersedia dari: http://pathmicro.med.sc.edu/mhunt/RNA-HO.htm

Khan AS, Ksialeh TG, Petres CJ. 1996. Hantavirus pulmonary syndrome. Lancet. 347: 738-41.
Kim YS, Ahn C, Han JS, Kim S, Lee JS, Lee PW. 1995. Hemorrhagic fever with renal syndrome caused by the Seoul virus. Nephron. 71:419-427.

Lee HW and Johnson KM. 1976. Korean hemorrhagic fever: demonstration of causative antigen and antibodies. Korean J Intern Med. 19:371.

Lee HW, Lee PW,  Johnson KM. 1978. Isolation of the etiologic agent of Korean hemorrhagic fever. J Infect Dis. 137:298-308.

Lee HW. 1982. Korean hemorrhagic fever. Prog Med Virol. 28:96-113.

Lee HW. 1989. Hemorrhagic fever with renal syndrome in Korea. Rev Infect Dis. 11 (Suppl. 4):S864-S876.

Lee HW, Ahn CN, Song JW, Baek LJ, Seo TJ, Park SC. 1990. Field trial of an inactivated vaccine against hemorrhagic fever with renal syndrome in human. Aech Virol Suppl. 1: 35-47.

Lundkvist A, Plyusnin A. Molecular epidemiology of Hantavirus infections. In The Molecular Epidemiology of Human Viruses. US: Springer. Hlm 351-384).

Madigan MT, Martinko JM. 2000. Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall. Hlm. 888-889
Martono R, Loho T. 1999. Hantavirus. Majalah Kedokteran Indonesia. 49(5): 180- 187.

McCaughey C, Hart CA. 2000. Hantaviruses. J Med Microbiol. 49: 587–599.

Mills JN, Ksiazek TG, Peters CJ, Childs JE. 1999. Long-term studies of Hantavirus reservoir populations in the southwestern United States: a synthesis. Emerg Infect Dis. 5: 135±142.

Morzunov SP, Rowe JE, Ksiarek TG, Peters CJ, Jeor SCS, Nichol ST. 1998. Genetic analysis of the diversity and origin of klantavirus in Peomyscus leucopus.mice in North America. J Virol. 72(1): 57-64.

Mustonen J, Brummer-Korvenkontio M, Hedman K, Pasternack A, Pietila K, Vaheri A. 1994. Nephropathia epidemica in Finland: a retrospective study of 126 cases. Scand J Infect Dis. 26:7-13.

Nichol ST, Ksiazek TG, Rollin PE, Peters CJ. 1996. Hantavirus pulmonary syndrome and newly described Hantaviruses in the United States. In: Elliott RM (ed) The Bunyaviridae. New York: Plenum Press. Hlm. 269-280.

Nurisa I, Senewe F, Harun S. 2008. Penelitian infeksi Hantavirus penyebab HFRS di beberapa pelabuhan kota di Indonesia. Abstrak Laporan penelitian Puslitbang Ekologi Kesehatan. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. DeKes. RI.

Nurisa dan Ristiyanto. 2006. Penyakit bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia. J Ekologi Kesehatan. 4 (3): 308-319.

Padula PJ, Edelstein A, Miguel SD, Lopez NM, Rossi CM, Rabinovich RD. 1998. Hantavirus pulmonary syndrome outbreak in Argentina: molecular evidence for person-to-person transmission of Andes virus. Virology. 241:323-330.

Padula PJ, Rossi CM, Della Valle MO, Martinez PV, Colavecchia SB. 2000. Development and evaluation of a solid-phase enzyme immunoassay based on Andes Hantavirus recombinant nucleoprotein. J Med Microbiol. 49:149-155.

Perdana R. 2011. Ancaman Demam Berdarah Hanta. [internet]. [diunduh 2013 November 26]. Tersedia dari: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/07/18/ancaman-demam-berdarah-hanta-379563.html.

Peters CJ, Khan AS. 2002. Hantavirus Pulmonary Syndrome: The New American Hemorrhagic Fever. Clin Infect Dis, Emer Infect.  34:1224–12231.

Prince HE, Su X, Hogrefe WR. 2007. Utilization of Hantavirus antibody results generated over a five-year period to develop an improved serologic algorithm for detecting acute Sin Nombre Hantavirus infection. J Clin Lab Anal. 21:7-13.

Schmaljohn CS. 1996. Molecular biology of Hantaviruses. In: Elliot RM (ed) The Bunyaviridae. New York: Plenum Press. Hlm. 63-90.

Schmaljohn C, Hjelle B. 1997. Hantaviruses: A Global Disease Problem. Emer Infect Dis. 3(2): 95-104.
Settergren B, Juto P, Trollfors B, Wadell G, Norrby SR. 1989. Clinical characteristics of nephropathia epidemica in Sweden: prospective study of 74 cases. Rev Infect Dis. 11:921-927.

Tai PW, Chen LC, Huang CH. 2005. Hanta hemorrhagic fever with renal syndrome; a case report and review. J Microbial Immunol Infect. 38: 221-223.

Tappero JW, Khan AS, Pinner RW, Wenger JD, Graber JM, Armstrong LR, Holman RC, Ksiazek TG,  Khabbaz RF. 1996. Utility of emergency, telephone-based national surveillance for Hantavirus pulmonary syndrome. Hantavirus Task Force. JAMA. 275:398-400.

Yates TL, Mills JN, Parmenter CA, Ksiazek TG, Parmenter RR, Castle JRV, Calisher CH, Nichol ST, Abbott KD, Young JC, et al. 2002. The ecology and evolutionary history of and emergent disease: Hantavirus Pulmonary Syndrome. Bio Sci. 52 (11): 989-998.

Warner GS. 1996. Hantavirus illness in humans: review and update. South Med J. 89: 264-271.

Wells RM, Sosa Estani S, Yadon ZE, Enria D, Padula P, Pini N, Mills JN, Peters CJ,  Segura EL. 1997. An unusual Hantavirus outbreak in southern Argentina: person-to-person transmission? Hantavirus Pulmonary Syndrome Study Group for Patagonia. Emerg Infect Dis. 3:171-174.

Wells RM, Young J, Williams RJ, Armstrong LR, Busico K, Khan AS, Ksiazek TG, Rollin PE, Zaki SR, Nichol ST, Peters CJ. 1997. Hantavirus transmission in the United States. Emerg Infect Dis. 3:361-365.

[Wikipedia]. 2013. Hantavirus [internet]. [diunduh 2013 November 13]. Tersedia dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Hantavirus.

Williams RJ, Bryan RT, Mills JN, Palma RE, Vera I, De Velasquez F, Baez E,. 1997. An outbreak of Hantavirus pulmonary syndrome in western Paraguay. Am J Trop Med Hyg. 57:274-282.

Won YS, Jeong ES, Park HJ, Lee CH, Nam KH, Kim HC, Hyun BH, Lee SK, Choi YK. 2006. Microbiological contamination of laboratory mice and rats in Korea from 1999 to 2003. Exp Anim. 55:11-6.

Zhu Zy, Tang HY, Li YJ, Weng JQ, Yu YX, Zeng RF. 1994. Investigation of inactivated epidemic hemorrhagic fever tissue culture vaccine in humans. Chin Med J (Engl). 107: 167-170.

***
Catatatan:
Makalah ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan nomor katalog: 602.01.0027.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Dede Sri Wahyuni, MSi. Medik Veteriner Muda, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: