METODOLOGI LABORATORIUM UNTUK PENGUJIAN KERENTANAN ANTIMIKROBA BAKTERIAL

Resistensi telah diketahui kepentingannya bagi semua agen antimikroba yang sekarang digunakan dalam pengobatan pada manusia dan bidang veteriner.  Metode pengujian resistensi dalam hal ini menjadi sangat penting. Makalah berikut adalah hasil terjemahan drh. Sri Yusnowati  Medik Veteriner Madya, Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani.


******


METODOLOGI LABORATORIUM
UNTUK PENGUJIAN KERENTANAN ANTIMIKROBA BAKTERIAL
Bagian 3 Pedoman Umum
Pedoman 3.1 Terrestrial  Manual OIE 2012
(Terjemahan)

Oleh:
SRI YUSNOWATI


(Naskah asli: Laboratory Methodologies For Bacterial Antimicrobial Susceptibility Testing Guideline 3.1 Part 3 General Guidelines. NB:  Version  adopted  by  the  World  Assembly  of  Delegates  of  the  OIE  in  May  2012. OIE Terrestrial Manual 2012).

NB: Versi yang diambil oleh Delegasi OIE Majelis Legislatif Dunia pada bulan Mei 2012


RINGKASAN

Secara historis, praktisi medis dan Dokter Hewan menseleksi antimikroba memberi perlakuan penyakit menular bacterial dengan dasar primernya atas pengalaman klinis di masa lalu.  Namun, dengan peningkatan resistensi bakteri terhadap penggunaan antimikroba secara tyradisional, menjadi lebih sulit bagi dokter klinik untuk menyeleksi secara empiric agen antimikroba yang sesuai.  Sebagai hasil, pengujian kepekaan terhadap antimikroba secara in-vitro (AST) dari pathogen bacterial yang relevan, yang berasal dari specimen yang dikumpulkan dengan benar, harus dilakukan validasi metode.  Jadi, ATS merupakan suatu komponen penting dari pedoman penggunaan antimikroba secara bijaksana di bidang peternakan secara meluas dan oleh Dokter Hewan di seluruh Negara harus memiliki data yang tersedia untuk menginformasikan pembuatan keputusan.

Walaupun ada berbagai metode, tujuan dari pengujian kepekaan antimikroba secara in-vitro adalah untuk menyediakan pemerkirayang dapat diandalkan mengenai bagaimana suatu organisme kemungkinan memberikan respon terhadap pengobatan antimikroba pada inang yang terinfeksi.  Tipe informasi ini membantu  dokter klinik dalam menseleksi agen antimikroba yang tepat,  bantuan dalam pengembangan kebijakan penggunaan antimikroba, dan menyediakan data untuk surveilan epidemiological.  Beberapa data surveilan epidemiological menyediana suatu data dasa runtuk memilih perlakuan empiris yang tepat (terapi garis-pertama) dan untuk mendeteksi keadaan darurat dan/atau penyebaran strain bacterial yang resisten atau penentu resistensi pada jenis bacterial yang berbeda.  Pemilihan suatu metode AST yang khusus berdasarkan pada banyak factor seperti data validasi, sifat praktis, kelenturan, teknik operasionalisasi secara otomatis (automation), biaya, kemampuan memproduksi kembali, akurasi dan minat individual.

Penggunaan pendekatan genotype untuk mendeteksi gen yang tahan antimikroba telah juga dipromosikan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi pengujian kepekaan.  Metode assay berdasarkan jumlah DNA telah dikembangkan untuk mendeteksi resistensi antibiotic bacterial pada tingkat genetic.  Metode ini, pada waktu digunakan penggabungan dengan analisa fenotipik, menawarkan janji peningkatan sensitivitas, spesifisitas dan kecpatan dalam mendeteksi gen resisten yang diketahui spesifik dan dapat digunakan bersamaan dengan metode ATS laboratorium secara tradisional.


PENDAHULUAN

Penyebaran bakteri patogenik yang resisten berbagai antimikroba telah disadari oleh Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai masalah kesehatan hewan dan manusia yang bersifat global dan serius.  Perkembangan resistensi antimikroba bacterial tidak pada fenomena baru ataupun kondisi yang tidak diharapkan.  Walau demikian, hal ini meningkatkan situasi yang merepotkan karena frekuensi baru munculnya fenotipe yang resisten terjadi diantara banyak bakteri pathogen dan bahkan diantara organisme yang umum ada dimanapun.

Secara historis, banyak infeksi dapat berhasil diobati /diberi perlakuan terkait dengan pengalaman klinik dokter di masa lalu (misal pengobatan empiris); namun, hal ini menjadi lebih pada pengecualian dibandingkan berdasarkan aturannya (Walker, 2007).  Resistensi telah diamati menjadi penting bagi semua agen antimikroba yang sekarang terbukti digunakan dalam pengobatan klinik pada manusia dan bidang veteriner.  Hal tersebut, dikombinasikan dengan berbagai agen antimikroba yang sekarang ada, membuat pemilihan agen yang sesuai dengan meningkatnya tantangan.  Situasi ini membuat dokter klinik tergantung pada data dari pengujian kepekaan antimikroba secara in-vitro, dan menyoroti pentingnya laboratorium diagnostik dalam praktek klinik.

Tersedia sejumlah metode pengujian kepekaan dari antimikroba (AST) untuk menentukan kepekaan bakteri pada antimikroba.  Pemilihan metode berdasarkan atas banyak faktor misalnya kepraktisan, kelenturan, otomatisasi, biaya, reproduktifitas, akurasi dan preferensi individu.  Standardisasi dan harmonisasi dari metodelogi AST, digunakan di surveilan epidemiologi resistensi obat antimikroba, merupakan hal yang kritis jika data diperbandingkan diantara program pemantauan/surveilan skala nasional atau internasional dari anggota OE.  Hal tersebut penting jika metode AST memberikan hasil yang direproduksi dalam penggunaan oleh laboratorium setiap harinya dan data dapat diperbandingkan dengan hasil yang nyata diperoleh dari metode rujukan yang diakui sebagai “standard emas” (gold standard).  Tidak adanya metode yang distandardkan dari prosedur rujukan, hasil kerentanan dari laboratorium yang berbeda tidak dapat diperbandingkan dengan andal.  Metode yang digunakan untuk memilih sampel untuk inklusi pada program surveilan resistensi antimikroba, sebagaimana metode yang digunakan untuk isolasi bacterial primer, juga faktor penting yang harus distandardisasi atau di harmonisasi untuk memperbolehkan perbandingan langsung dari data antara daerah yang berbeda, pertimbangan dari masalah ini ditujukan dalam dokumen OIE (Dehaumont, 2004).

Sebagaimana ilmu dari AST telah berkembang, pemahaman yang lebih besar atas banyak faktor yang dapat mempengaruhi keseluruhan keluaran dari pengujian kepekaan telah menjadi lebih jelas.  Dokumen ini memberikan pedoman dan standardisasi untuk metodelogi AST, dan interpretasi hasil uji kepekaan antimikroba.

1. Persyaratan Uji

Untuk mencapai standardisasi metode AST dan komparabilitas hasil AST, persyaratan yang berlaku sebagai berikut:
i) Sangat penting menggunakan metode AST yang distandardisasi dan harmonisasi parameter uji AST (mencakup pilihan agen antimikroba dan kriteria penafsiran berikutnya) 

ii) Metode AST yang distandardisasi mencakup semua spesifikasi yang kritis dan kriteria yang ditafsirkan harus secaraa jelas didefinikan, didokumentasikan secara rinci dan digunakan oleh semua laboratorium yang berpartisipasi)

iii) Semua metode AST harus menghasilkan data yang akurat dan direproduksi

iv) Semua data harus dilaporkan secara kuantitatif

v) Pembentukan laboratorium nasional atau regional yang ditunjuk penting untuk koordinasi metodelogi AST, interpretasi, teknik operasional yang tepat  digunakan untuk memastikan akurasi dan reproduktifitas (misalnya pengendalian mutu)

vi) Laboratorium mikrobioligikal harus menerapkan dan memelihara program pengelolaan mutu formal (lihat Bab 1.1.4 Pengelolaan Mutu di laboratorium pengujian veteriner)

vii) Laboratorium harus telah memperoleh akreditasi fihak ketiga yang mencakup metodelogi AST akan digunakan dalam ruang lingkup akreditasi.  Badan akreditasi harus memenuhi standard dan pedoman Kooperasi Akreditasi Laboratorium Internasional (ILAC) yang diterima terkait dengan standard yang digunakan untuk proses akreditasi.  Standard akreditasi yang digunakan harus mencakup persyaratan untuk berpartisipasi dalam program pengujian profisiensi

viii) Strain pengendalian mutu/ rujukan bacterial yang spesifik penting untuk menentukan pengendalian mutu intra dan inter laboratorium, jaminan mutu dan pengujian profisiensi

2. Pemilihan antimikroba untuk pengujian dan pelaporan

Pemilihan antimikroba yang sesuai untuk pengujian kepekaan dapat menjadi sulit memberikan pengingatan sejumlah besar agen yang tersedia.  Pedoman berikut harus diperhatikan:

i) Lokakarya ahli FAO/OIE/WHO pada penggunaan antimikroba non-manusia dan resistensi antimikroba merekomendasikan pembuatan daftar antimikroba veteriner dan manusia yang secara kritis penting untuk pengujian dan pelaporan kepekaan

ii) Pemilihan antimikroba yang paling sesuai merupakan keputusan terbaik yang dibuat oleh masing-masing anggota OIE dalam konsultasinya dengan badan dan organisasi yang tepat

iii) Antimikroba yang ada dalam kelompok Kelas yang sama mungkin memiliki kegiatan in-vitro yang mirip terhadap bajteri pathogen yang dipilih.  Dalam kasus ini, antimikroba yang mewakili harus dipilih yang memperkirakan kepekaan terhadap anggota lain dalam Kelas yang sama

iv) Mikroorganisme tertentu dapat resisten secara intrinsic terhadap antimikroba dari Kelas tertentu, oleh karena itu tidak diperlukan dan penyesatan untuk menguji agen tertentu untuk kegiatan in-vitro.  Jenis resistensi intrinsic harus ditentukan untuk organisme ini melalui literature ilmiah atau pengujian

v) Jumlah antimikroba yang akan diuji harus dibatasi untuk memastikan relevansi dan kepraktisan dari AST
Penelaahan mikroorganisme secara berkala yang saat ini diduga rentan terhadap agen antimikroba tertentu direkomendasikan untuk memastikan bahwa dideteksi resistensi yang muncuk dan tidak diharapkan.  Resistensi yang muncul mungkin juga diduga mengikuti respon yang buruk terhadp rezim pengobatan antimikroba yang standard.

3. Metodologi pengujian kepekaan antimikroba

Persyaratan berikut harus dihormati:
i) Bakteri yang  dikenakan pada AST harus diisolasi dalam biakan murni dari sampel yang disampaikan

ii) Metode rujukan yang standard harus digunakan untuk mengidentifikasi sehingga bakteri yang dikenakan diidentifikasi secara konsisten dan secara benar terhadap tingkat genus dan/atau jenis.

iii) Isolate bakteri dianggap menjadi yang paling penting dan pengambilan sampel dari isolate lain, harus disimpan untuk analisa masa depan (pengawetan lyophilisasi atau kriogenik pada suhu - 70ºC sampai - 80ºC)

Faktor berikut mempengaruhi, metode AST harus ditentukan, dioptimalkan dan didokumentasikan dalam prosedur mengoperasikan standard secara rinci:

i) Sekali bakteri telah diisolasi dalam biakan murni, konsentrasi optimal dari inokula harus ditentukan untuk hasil kepekaan yang akurat dan nyata.  Bakteri atau organisme lain yang digunakan pada pengujian AST harus berasal dari biakan segar

ii) Komposisi dan persiapan dari agar dan media kaldu yang digunakan (misal pH, kation, timidin atau timin, penggunaan media tambahan).   Pengujian tampilan dan sterilitas dari lot media harus ditentukan dan didokumentasikan sebaik prosedur yang dipakai

iii) Kandungan antimikroba dalam pembawa (antibiotic yang digunakan dalam plate mikrotiter, cakran, strip, tablet)

iv) Komposisi pelarut dan pengencer untuk mempersiapkan larutan stok antimikroba

v) Kondisi pertumbuhan dan inkubasi (waktu, suhu, atmosfir misal CO2)

vi) Kedalaman agar

vii) Jumlah konsentrasi yang diuji setiap pengenceran kaldu dan agar

viii) Pengendalian uji yang digunakan, mencakup rujukan organisme yang digunakan

ix) Kriteria penafsiran berikutnya (break-point klinik, nilai cut-off epidemiological)

Untuk alasan ini, penekanan khusus harus ditempatkan pada penggunaan prosedur yang didokumentasikan dan divalidasi, metode pendokumentasian yang baik, sebagai kemampuan mereproduksi yang cukup dapat dicapai hanya melalui penggunaan metodelogi tersebut.

4. Pemilihan metodologi pengujian kepekaan antimikroba

Pemilihan metodelogi AST mungkin berdasarkan atas faktor-faktor berikut:
i) Memudahkan kinerja
ii) Kelenturan
iii) Kemampuan beradaptasi ke sistim otomatisasi atau semi-otomatisasi
iv)  Biaya
v) Kemampuan reproduktifitas
vi) Kehandalan
vii) Akurasi
viii) Minat anggota OIE tertentu pada organisme dan antimikroba
ix) Ketersediaan dari data validasi yang sesuai untuk kisaran jenis organisme yang diuji kepekaan.

5. Metode pengujian kepekaan antimikroba

Ketiga metode berikut telah menunjukkan hasil yang memberikan hasil reproduksi dan pengulangan secara konsisten apabila diikuti dengan benar (Institut Standard Laboratorium dan Klinik-CLSI, 2008; Walker, 2007):

i) Difusi cakram
ii) Pengenceran kaldu
iii) Pengenceran agar

a) Metode difusi cakram
Difusi cakram menunjuk pada difusi agen antimikroba dari suatu konsentrasi tertentu pada cakram, tablet atau strip, ke dalam media biakan padat yang telah diberi benih dengan isolate inokumlum yang dipilih dalam suatu biakan murni (lihat bagian 3.i).  difusi cakram berdasarkan atas penetapan zona penghambat yang proporsional terhadap bakteri yang pecan terhadap adanya antimikroba pada cakram.

Difusi dari agen antimikroba ke dalam media biakan yang diberi benih dalam satu lereng grafik antimikroba.  Pada waktu konsentrasi antimikroba menjadi encer yang tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri lebih lama lagi dari bakteri uji, zona hambatan dibatasi.  Diameter dari zona hambatan di sekitar cakram antimikroba berhubungan dengan konsentrasi penghambat minimumnya (MIC) untuk kombinasi antimikroba/bakteri; zona hambatan berkorelasi terbalik dengan bakteri MIC.  Secara umum, semakin besar zona hambatan, semakin rendah konsentrasi antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme.  Namun, hal ini bergantung pada konsentrasi antibiotik dalam cakram dan kemampuannya berdifusi.

Catatan:  uji difusi cakram yang semata-mata hanya berdasarkan atas ada atau tidaknya zona hambatan tanpa kaitan dengan ukuran zona hambatan tidak diterima pada metodelogi AST.

-Pertimbangan penggunaan metodologi difusi cakram
Difusi cakram merupakan hal mudah untuk ditampilkan, dapat direproduksi dan tidak membutuhkan peralatan yang mahal.  Keuntungan utamanya adalah:
i) Biayanya murah
ii) Mudah dalam memodifikasiuji cakram antimikroba jika diperlukan
iii) Dapat digunakan sebagai suatu uji tapis dari sejumlah isolate
iv) Dapat mengidentifikasi bagian isolate untuk pengujian lebih lanjut dengan metode yang lain, seperti menentukan MIC.

Pengukuran zona hambatan secara manual mungkin memakan waktu.  Perangkat untuk membaca zona secara otomatisasi tersedia yang dapat diintegrasikan dengan laporan laboratorium dan sistim penanganan data.  Cakram harus didistribusikan secara merata maka zona hambatan sekitar cakram antimikroba dalam uji difusi cakram tidak tumpang tindih sedemikian rupa zona hambatan tidak dapat ditentukan.  Secara umum hal ini dapat dicapai jika jarak  antar pusat cakram dengan pusat cakram lainnya tidak lebih dekat dari 24 mm, walaupun hal ini tergantung pada konsentrasi cakram dan kemampuan antimikroba terhadap difusi dalam agarnya.

b) Metode pengenceran agar dan kaldu
Tujuan dari metode pengenceran kaldu dan agar adalah untuk menentukan konsentrasi terendah dari metode assay antimikroba yang menghambat pertumbuhan yang terllihat dari bakteri yang diuji (MIC, biasanya dinyatakan dalam µg/ml atau mg/liter).  Namun, MIC tidak selalu mewakili suatu nilai absolute.  MIC yang “benar” adalah suatu titik diantara konsentrasi uji terendah dimana hambatan pertumbuhan bakteri dan konsentrasi uji yang lebih rendah berikutnya.  Karena itu, penentuan MIC dilakukan dengan menggunakan suatu rangkaian pengenceran mungkin dipertimbangkan untuk memiliki suatu variasi yang tidak dapat dipisahkan dari satu pengenceran.

Barisan antimikroba harus meliputi kriteria interpretive (kepekaan, menengah dan resisten) untuk kombinasi antibiotic/bakteri tertentu dan organisme rujukan pengawasan mutu yang sesuai.

Metode pengenceran kepekaan antimikroba muncul menjadi lebih dapat mereproduksi dan bersifat kuantitatif dari pada difusi cakram agar.  Namun, antibiotic biasanya diuji dalam pengenceran dua kali lipat, yang dapat menghasilkan data eksak MIC.

Setiap laboratorium yang bermaksud menggunakan metode pengenceran dan menyusun regen sendiri serta pengenceran antibiotic harus memiliki kemampuan untuk memdapatkan, mempersiapkan dan memelihara larutan stok yang sesuai dari antimikroba tingkatan regen dan menghasilkan pengenceran untuk bekerja pada dasar yang regular.  Hal ini kemudian menjadi penting bahwa beberapa laboratorium yang menggunakan organisme pengawas mutu (lihat di bawah ini) untuk memastikan prosedur yang akurat dan standard.

-Pengenceran kaldu
Pengenceran kaldu merupakan suatu teknik dimana suspensi bakteri dari konsentrasi yang sesuai atau yang telah ditentukan dengan optimal diuji terhadap berbagai konsentrasi dari agen antimikroba (biasanya pengenceran dua kali lipat yang berseri) dalam suatu media cair dari yang telah ditentukan, formulasi yang didokumentasikan.  Metode pengenceran kaldu dapat dilakukan dalam tabung yang mengandung volume minimum 2 ml (pengenceran mikro) atau dalam volume yang lebih kecil menggunakan plate mikrotitrasi (pengenceran mikro).  Sejumlah plate mikrotiter mengandung antibiotic pengenceran lyofilisasi dalam sumur yang tersedia secara komersial.  Penggunaan lot yang identik dalam plate pengenceran mikro mungkin membantu meminimalisasi variasi yang mungkin timbul karena persiapan dan pengenceran antimikroba dari laboratorium yang berbeda.  Penggunaan plate ini, dengan suatu protocol uji yang didokumentasikan, mencakup spesifikasi dari organisme rujukan yang sesuai, akan memfasilitasi kemampuan memperbandingkan hasil uji diantara laboratorium.

Dikarenakan kenyataan bahwa kebanyakan panel uji antimicrobial pengenceran mikro kaldu dipersiapkan secara komersial, metode ini kurang fleksibel daripada pengenceran agar atau difusi cakram dalam penyesuaian terhadap perubahan kebutuhan program surveilan / pemantauan.

Dikarenakan pembelian plate antimikroba dan peralatan terkait mungkin mahal, metodelogi ini mungkin tidak layak untuk beberapa laboratorium.

-Pengenceran agar
Metode pengenceran agar, melibatkan penggabungan berbagai konsentrasi agen antimikroba ke dalam suatu media agar, biasanya menggunakan pengenceran serial dua kali lipat, diikuti dengan aplikasi suatu inukulum bakteri yang didefinisikan ke permukaan agar di plate.  Hasil ini jarang dipertimbangkan sebagai metode yang paling. dapat diandalkan untuk menentukan MIC untuk uji kombinasi bakteri/antimikroba. 

Keuntungan dari metode pengenceran agar termasuk:
i) Kemampuan untuk menguji berbagai bakteri, kecuali bakteri yang berkerumun, pada set yang sama dari plate agar pada waktu yang sama

ii) Potensi untuk meningkatkan identifikasi  titik akhir MIC dan perluasan kisaran konsentrasi antibiotic

iii) Kemungkinan terhadap metode semi-otomatisasi yang menggunakan suatu alat replikasi inokulum.  Secara komersial diproduksi replikator inokulum yang tersedia dan hal ini dapat dialihkan antara 32-60  inokula bakteri yang berbeda pada setiap plate agar.

Metode pengenceran agar juga memiliki kerugiannya, sebagai contoh:
i) Jika tidak otomatis, maka pengerjaan sangat melelahkan dan membutuhkan sumber daya yang substansia ekonomik dan sumber daya teknis.

ii) Sekali plate telah dipersiapkan, secara normal harus digunakan dalam satu minggu (atau kurang, tergantung pada antimikroba yang diuji)

iii) Titik akhir tidak selalu mudah untuk dibaca ataupun tidak mudah kemurnian inokulum yang mudah diverifikasi.
Pengenceran agar jarang direkomendasikan sebagai suatu metode AST yang distandardisasi untuk organisme yang rewel (CLSI, 2006) seperti jenis bakteri anaerob dan Helicobacter

c) Uji AST bakteri lain dan uji resistensi antimikroba spesifik
Bakteri MIC antimikroba dapat juga diperoleh menggunakan strip gradient yang tersedia secara komersial yang mendifusikan suatu konsentrasi antibiotic yang telah ditentukan. Namun, penggunaan strip gradient dapat menjadi sangat mahal dan perbedaan MIC dapat ditemukan pada waktu menguji kombinasi antimikroba/bakteri tertentu yang diperbandingkan dengan hasil pengenceran agar (Ge et al, 2002; Rathe at al, 2009). 

Tanpa memperhatikan metode AST yang digunakan, prosedur harus didokumentasikan secara rinci untuk memastikan hasil yang akurat dan dapat direproduksi, dan organisme rujukan yang sesuai harus selalu diuji setiap kali  AST dilakukan untuk memastikan data yang akurat dan valid.

Pemilihan AST yang sesuai pada akhirnya akan tergantung pada karakteristik pertumbuhan bakteri dalam pertanyaannya.  Dalam keadaan khusus, metode uji novel dan assay dapat lebih sesuai untuk mendeteksi fenotipe tertentu yang resisten.  Untuk contohnya, uji berbasis sefalosporin-kromogenik (CLSI, 2008) (misalnya nitrosefin) dapat memberikan hasil yang handal dan cepat untuk menentukan beta-laktamase di beberapa bakteri, dimana resistensi clindamisin yang diinduksikan di Staphylococcuc spp mungkin dideteksi menggunakan metode difuksi cakram yang memakai cakram klindamisin dan eritromisin standard dalam posisi yang berdekatan dan mengukur zona resultante dari hambatan (misalnya zona-D atau uji-D) (Zelazny eabungkant al, 2005).

Demikian pula, kegiatan perluasan spectrum beta-laktamase (ESBL) (CLSI, 2008) bakteri tertentu dapat juga dideteksi dengan menggunakan metode uji kepekaan yang mendifusi cakram standard yang menggabungkan sefalosporin tertentu (sefotaksin dan sefladizim) dikombinasikan dengan penghambat beta-laktamase (asam klavulanik) dan mengukur zona hambatan yang dihasilkan.  Ikatan penisilin protein 2a (PBP 2a) juga dapat dideteksi dalam metisilin yang resisten terhadap staphylococci dengan uji aglutinasi lateks (Stepanovic et al, 2006).  Penting bahwa menguji strain pengendali negative dan positif yang diketahui terjadi disamping isolate klinik untuk memastikan hasil yang akurat.

d) Arah masa depan pada deteksi resistensi/kepekteraan antimikroba
Penggunaan pendekatan genotype untuk mendeteksi gen resistensi antimikroba telah dipromosikan sebagai suatu cara untuk meningkatkan pengujian kepekaan yang cepat dan akurat (Cai et al, 2003; Chen et al, 2005). Banyak sekali metode assay berbasis DNA dikembangkan untuk mendeteksi resistensi antibiotic bakteri pada tingkat genetic.  Pendekatan terbaru dan barangkali pernyataan paling berseni adalah untuk memperkirakan fenotipe resistensi antimikroba melalui identifikasi dan karakterisasi dari gen yang diketahui dengan memberi sandi/kode mekanisme resistensi tertentu.

Metode yang memakai penggunaan perbandingan teknik aplikasi genomic, probe genetic, microarray, asam nukleat (misalnya polymerase chain reaction-PCR), dan penawaran pengurutan (sequencing) DNA yang menjanjikan peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan kecepatan deteksi  gen resistensi yang diketahui spesifik (Cai et al, 2003; Chen et al, 2005; Perreten, et al, 2005).  Metode genotipik telah secara berhasil diterapkan terhadap metode suplemen fenotipik AST tradisional untuk organisme lain meliputi staphylococci resisten metisilin, entrococci resisten vankomisin dan mendeteksi mutasi resistensi fluorokuinolon (Cai et al, 2003; Chen et al, 2005; Perreten, et al, 2005).  Metode PCR telah digambarkan juga untuk gen terakhir beta-laktamase, enzim yang menginaktivasi aminoglikosida dan gen terakhir tetrasiklin (Cai et al, 2003; Chen et al, 2005; Perreten, et al, 2005).

Inovasi teknologi dalam diagnostic berbasis DNA harus diizinkan untuk mendeteksi gen resisten yang besifat multiple dan/atau varian selama pengujian yang sama.  Perkembangan metode identifikasi diagnostic cepat dan pengujian resistensi genotip harus membantu mengurangi darurat resistensi antimikroba, dengan memungkinkan penggunaan antimikroba yang sangat sesuai pada waktu dimulainya pengobatan.  Namun, teknik DNA harus dibuktikan melengkapi metode AST dan hasil yang diperoleh.

Selain itu, kemajuan teknologi baru dapat memfsilitasi kemampuan untuk memprobe jenis bakteri sejumlah besar gen resistensi antimikroba dengan cepat dan murah, sehingga memberikan data tambahan yang relevan untuk program surveilan dan pemantauan (Frye, et al, 2010).  Namun, meskipun masuknya uji genotip baru, yang terdokumentasi dan disetujui atas metode AST fenotipik akan masih diperlukan dalam waktu dekat ini untuk mendeteksi mekanisme resistensi yang muncul diantara bekateri pathogen.

6. Titik keretakan kerentanan antimikroba dan zona kriteria hambatan

Tujuan dari AST metode in-vitro adalah untuk memprediksi bagaimana satu bakteri pathogen dapat menanggapi agen antimikroba secara in-vivo.  Hasil dari uji kerentanan antimikroba bakteri secara in-vitro, terlepas dari apakah metode difusi cakram atau pengenceran yang digunakan, umumnya ditafsirkan dan dilaporkan sebagai resisten, rentan atau intermediate terhadap aksi antimikroba spesifik.  Tidak ada formula tunggal untuk pemilihan breakpoint optimal yang telah ditetapkan.   Proses ini melibatkan suatu tinjauan ulang dari data yang ada dan dipengaruhi oleh subjektifitas dari tugas individual yang menilih breakpoint yang sesuai.

Umumnya, breakpoint kerentanan antimikroba disusun oleh organisasi standard nasional, masyarakat professional atau badan pengatur.  Dokumen yang relevan harus dikonsultasikan.  Namun, dapat terjadi adanya perbedaan penting dalam breakpoint untuk agen antimikroba yang sama di dalam dan diantara Negara-negara karena perbedaan diantara organisasi yang mengatur standar dan badan pengatur serta dikarenakan keputusan rejimen dosis secara regional atau nasional ( Brown & MacGowan, 2010 ; de Jong et al, 2009 ; Kahlmeter et al, 2006) .

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hasil pengujian kerentanan antimikroba harus dicatat secara kuantitatif:
i) Sebagaimana distribusi MIC dalam ukuran milligram per liter atau µg/ml
ii) Atau sebagai diameter zona hambatan dalam ukuran millimeter

Dua faktor primer berikut ini memungkinkan suatu bakteri diinterpretasikan sebagai rentan atau resisten terhadap agen antimikroba:

i) Pengembangan dan pembentukan rentang kendali mutu (CLSI, 2006), menggunakan metode difusi jika memungkinkan dan pengujian pengenceran, untuk mikroorganisme rujukan pengendali mutu. 

Pembentukan rentang kendali mutu sangat penting untuk memvalidasi hasil uji yang diperoleh dengan menggunakan suatu metode AST yang spesifik.  Rentang kategori interpretative yang diijinkan  untuk organisme rujukan harus dibangun sebelumnya untuk menentukan breakpoint rentan atau resisten.  Penggunaan organisme rujukan merupakan suatu kegiatan kendali mutu atau jaminan mutu.  Namun, hal ini hanya perlu untuk kebutuhan penggunaan organisme rujukan.

ii) Penentuan kriteria interpretatif yang sesuai terkait pembentukan breakpoint (CLSI, 2006).

Hal ini melibatkan generasi dari tiga tipe data yang berbeda:
-Distribusi populasi MIC dari mikroorganisme yang relevan
-Parameter farmakokinetik dan indeks farmakodinamik dari agen antimikroba
-Hasil dari percobaan klinik dan pengalaman

Interpretasi dari data yang melibatkan penbuatan scattergram dari distribusi populasi bakteri (perwakilan jenis bakteri) dengan memplot zona hambatan terhadap logaritma basis 2 dari MIC untuk setiap bakteri pathogen.  Pemilihan breakpoint kemudian berdasarkan atas  beberapa factor, termasuk analisa garis regresi yang berkorelasi dengan MIC dan zona diameter hambatan, distribusi populasi bakteri, kesalahan laju bounding, farmakokinetik dan akhirnya verifikasi klinik.

Perkembangan suatu konsep yang diketahui sebagai “breakpoint mikrobiologikal” atau “nilai cut-off epidemiological” yang berdasarkan atas distribusi populasi  dari jenis bakteri spesifik yang diuji, mungkin lebih sesuai untuk program surveilan beberapa antimikroba.  Dalam kasus ini, isolate bakteri yang menyimpang dari populasi rentan tipe liar yang normal akan ditunjuk sebagai resisten dan bergeser dalam kerentanan terhadap kombinasi bakteri/antimikroba spesifik dapat dipantau (Kahlmeter et al, 2006; Turnidge et al, 2006).  Ada keuntungan yang besar dalam pencatatan data kerentanan kuantitatif dalam data tersebut yang dapat dianalisa terkait dengan breakpoint klinik sebaik penggunaan nilai cut-off epidemiological.

7. Panduan pengujian kerentanan antimikroba

Sejumlah standard dan pedoman sekarang tersedia untuk pengujian kerentanan antimikroba dan kriteria interpretative berikutnya di seluruh dunia (CLSI, 2008; Kahlmeter et al, 2006).  Diantara yang lainnya, hal ini meliputi standard dan pedoman yang diterbitkan oleh:

Masyarakat Inggris untuk kemoterapi antimikroba (BSAC, UK),
Institut Standard dan Laboratorium Klinik (CLSI, USA)
Komite antibiogram masyarakat mikrobiologi Perancis (CASFM, Perancis)
Komisi Pengujian pedoman kerentanan (CRG, Belanda)
Institut Jerman untuk standardisasi (DIN, Jerman)
Komite Eropa pada Pengujian Kerentanan Antimikroba (EUCAST)
Masyarakat Jepang untuk kemoterapi (JSC, Jepang)
Grup rujukan Swedia untuk antibiotic (SRGA, Swedia)

Pada saat ini, hanya CLSI (sebelumnya NCCLS) yang telah mengembangkan protokol untuk pengujian kerentanan bakteri dari asal hewan dan penentuan kriteria interpretative (CLSI, 2008).  Namun, protokol dan pedoman yang tersedia dari sejumlah organisasi standard dan masyarakat professional, termasuk  yang terdaftar di atas untuk menguji kerentanan jenis bakteri yang mirip yang menyebabkan infeksi pada manusia.  Ada kemungkinan bahwa beberapa pedoman dapat diadopsi untuk menguji kerentanan bakteri asal hewan, tapi setiap Negara harus mengevaluasi standard AST dan pedomannya sendiri.  Selain itu, ada upaya memfokuskan standardisasi dan harmonisasi breakpoint kerentanan/ resistensi pada skala internasional yang maju.  Upaya ini memiliki fokus pada adopsi standard dan pedoman CLSI dan EUCAST, yang menyediakan laboratorium dengan metode dan nilai kendali mutu yang memungkinkan perbandingan metode AST dan data yang dihasilkan (CLSI, 2008; Kahlmeter et al, 2006).  Bagi Negara anggota OIE yang tidak memiliki standard metode AST di negaranya, adopsi seperangkat standard akan merupakan langkah awal yang sesuai menuju metode yang dapat diterima dan diharmonisasi.

Banyak bakteri yang menyebabkan penyakit pada hewan akuatik membutuhkan kondisi pertumbuhan (misalnya suhu yang lebih rendah, media suplemen atau semipadat) yang mungkin variasi pertimbangan sebagai perbandingan terhadap bakteri pathogen terrestrial.  Hal ini mengharuskan keperluan untuk perkembangan metode pengujian antimikroba untuk isolat bakteri dari jenis akuatik.  Informasi lebih jauh berkaitan dengan metode untuk difusi cakram atau pengenceran kaldu uji kerentanan antimikroba untuk bakteri yang diisolasi yang dapat dirujuk dalam dua dokumen CLSI (CLSI, 2006a; 2006b).  Informasi lebih jauh yang berkaitan dengan metode untuk difusi cakram atau pengujian kerentanan antimikroba dengan pengenceran kaldu untuk isolasi yang tidak sering dilakukan atau bakteri pemilih tertentu (misalnya campylobacter, pasteurella) dapat juga dirujuk dalam dokumen CLSI M45-A (CLSI, 2006c).

Sebagai langkah pertama menuju komaparabilitas data pantauan dan surveilan, Negara anggota harus didorong untuk berusaha merancang program yang diharmonisasikan dan distandardisasikan (Brown & MacGowan, 2010; Kahlmeter et al, 2006; White et al, 2001).  Data dari Negara yang menggunakan metode berbeda dan rancangan program jika tidak mungkin tidak secara langsung diperbandingkan (Brown & MacGowan, 2010).  Meskipun demikian, data yang dikoleksi dari waktu ke waktu di suatu Negara mungkin setidaknya memungkinkan deteksi dari munculnya resistensi antimikroba atau kecenderungan dalam prevalensi kerentanan /resistensi di Negara tertentu (Petersen et al, 2003).  Namun, jika dicapai hasil dengan metode AST yang berbeda akan ditampilkan dengan berdampingan, yang kemudian diperbandingkan dari hasil yang harus ditunjukkan dan consensus pada interpretasi yang dicapai. Hal ini akan dilakukan terbaik dengan penggunaan metode AST yang didokumentasikan dengan akurat dan handal yang digunakan bersama dengan pemantauan kinerja AST pada waktu menggunakan mikroorganisme rujukan yang dikarakteristikan dengan baik diantara laboratorium yang berpartisipasi.

8. Kemampuan memperbandingkan hasil

Untuk menentukan komparabilitas hasil yang berasal dari sistim surveilan yang berbeda, hasil uji harus dilaporkan secara kuantitatif termasuk informasi unjuk kerja metode, organisme rujukan dan antimikroba.

Data AST, terdiri dari ringkasan pola kerentanan (antibiogram) yang kumulatif dan yang sedang berjalan diantara mikroorganisme yang secara klinik penting dan dipantau harus dibuat, dicatat dan dianalisa secara periodic pada interval yang regular (CLSI, 2009).  Data juga harus ditampilkan cara yang jelas dan konsisten maka pola resistensi yang baru dapat diidentifikasi dan dikonfirmasi temuan yang atipikal atau yang ditolak.  Data ini harus tersedia pada bank data pusat dan dipublikasikan setiap tahun.

Data AST yang kumulatif akan bermanfaat dalam pantauan kecenderungan kerentanan /resistensi dalam suatu wilayah dari waktu ke waktu dan menilai dampak intervensinya untuk mengurangi resistensi antimikroba.

9. Pengendali mutu (QC) dan Jaminan mutu (QA)

Sistim kendali mutu/jaminan mutu harus dibangun terkait dengan Bab 1.1.4 di laboratorium yang menampilkan metode AST:

i) Kendali mutu menunjuk pada teknik operasional yang digunakan untuk memastikan metode AST yang akurat dan dapat direproduksi,

ii) Jaminan mutu termasuk, tapi tidak terbatas pada, memantau, menyimpan catatan, mengevaluasi, mengambil aksi korektif yang potensial jika diperlukan, kalibrasi dan memelihara peralatan, pengujian profisiensi, pelatihan dan kendali mutu. Suatu program jaminan mutu membantu memastikan bahwa bahan pengujian dan proses memberikan hasil mutu.

Komponen berikut harus ditentukan dan dipantau:
i) Presisi dari prosedur AST
ii) Akurasi dari prosedur AST
iii) Kualifikasi, kompetensi dan profisiensi personel laboratorium, sebaik personel yang menginterpretasi hasil dan hal tersebut yang terlibat dalam pemantauan resistensi antimikroba.
iv) Unjuk kerja regen yang sesuai

Persyaratan berikut harus diikuti:
i) Kepatuhan yang ketat untuk teknik yang didokumentasikan dan khusus dalam hubungannya dengan kendali mutu (yaitu jaminan unjuk kerja dan kriteria kritis lain) dari media dan regen

ii) Penyimpanan catatan dari:
-Jumlah lot dari bahan dan regen yang sesuai
-Tanggal kadaluarsa dari semua bahan dan regen yang sesuai
-Kalibrasi dan pemantauan peralatan
-Spesifikasi kritis untuk unjuk kerja AST ( hasil rujukan, waktu, suhu dll)

iii) Mikroorganisme rujukan yang sesuai harus selalu digunakan terlepas dari metode AST yang dipakai

iv) Mikroorganisme rujukan yang diperoleh dari sumber yang handal untuk contohnya dari koleksi biakan tipe Amerika (ATCC®), sumber komersial yang handal, atau institusi dengan kehandalan yang ditunjukkan untuk menyimpan dan menggunakan mikroorganisme dengan benar

v) Mikroorganisme rujukan harus dimasukkan dalam catalog dan dikarakteristikkan dengan baik termasuk fenotipe kerentanan antimikroba yang didefinisikan dengan tetap.  Catatan  terkait dengan organisme rujukan harus mencakup resistensi yang dibangun dan rentang rentan antimikroba yang di assay, dan rujukan metode yang ditentukan.

vi) Laboratorium yang terlibat dengan metode AST harus menggunakan mikroorganisme yang sesuai pada semua pengujian metode AST

vii) Strain rujukan harus disimpan sebagai stok biakan dari biakan kerja (yaitu biakan yang digunakan untuk bekerja) dan harus diperoleh dari koleksi biakan nasional atau internasional.  Strain bakteri rujukan harus disimpan di laboratorium pusat atau regional yang ditunjuk.  Biakan kerja disubbiakan dari hari ke hari yang menyebabkan adanya kontaminasi dan metode biakan kerja yang diproduksi harus memastikan bahwa biakan stok jarang digunakan.  Hal ini dapat dicapai dengan produksi dari biakan stok intermediate yang berasal dari biakan asli yang digunakan untuk membuat biakan kerja sehari-hari.

viii) Metode yang disukai untuk menganalisa unjuk kerja keseluruhan dari tiap laboratorium harus diuji stok kerjanya dari mikroorganisme rujukan yang sesuai setiap harinya dengan unjuk kerja uji kerentanan.  Karena hal ini mungkin tidak selalu praktis dan ekonomis, maka frekuensi beberapa uji dikurangi pelaksanaannya jika laboratorium dapat menunjukkan bahwa hasil uji mikroorganisme rujukan menggunakan metode yang dipilih dapat direproduksi.  Jika suatu laboratorium dapat mendokumentasikan kemampuan reproduksi dari pengujian kerentanan metode yang digunakan, pengujian mungkin menjadi unjuk kerja pada basis mingguan.  Jika perhatian laboratorium terkait dengan akurasi, kemampuan mereproduksi, atau munculnya validitas metode, laboratorium mempunyai tanggung jawab untuk menentukan sebab dan mengulang pengujian menggunakan bahan rujukan.  Tergantung pada sebabnya,  bahan rujukan harian yang digunakan dan aksi korektif lainnya dapat di awali kembali.

ix) Mikroorganisme rujukan harus diuji setiap kali digunakan batch baru dari lot media atau plate dan pada suatu basis yang regular dalam cara parallel dengan mikroorganisme yang dilakukan metode assay

x) Masalah biosekuriti yang sesuai harus ditangani dalam rangka memperoleh dan menyebarkan mikroorganisme ke laboratorium yang turut berpartisipasi

10. Pengujian profisiensi eksternal

Laboratorium harus berpartisipasi dalam jaminan mutu eksternal dan/atau program pengujian profisiensi terkait dengan Bab 1.1.4.  Laboratorium juga didorong untuk berpartisipasi dalam perbandingan inter-laboratorium skala internasional (misalnya Sistim Jaminan Mutu Eksternal WHO) (Hendriksen, et al, 2009).  Semua jenis bakteri yang dikenai metode AST harus dimasukkan dalam proses uji profisiensi ini.

Laboratorium rujukan nasional harus ditunjuk yang bertanggung jawab untuk:
i) Memantau program jaminan mutu dari laboratorium yang berpartisipasi dalam surveilan dan pemantauan resistensi antimikroba

ii) Mengkarakterisasi dan memasok ke laboratorium tersebut satu set mikroorganisme rujukan

iii) Membuat, mengelola dan menyebarkan sampel yang digunakan dalam pengujian profisiensi eksternal

iv) Membuat basis data pusat yang tersedia di internet (misalnya Sistim Surveilan Resistensi Antimikroba Eropa-EARSS) yang berisi perbedaan profil kerentanan/resistensi setiap jenis bakteri di bawah surveilan.

11. Kesimpulan

Walaupun ada berbagai metode, tujuan dari pengujian kerentanan antimikroba secara in-vitro adalah sama: untuk memberikan suatu metode yang dapat memperkirakan secara handal bagaimana mikroorganisme memungkinkan untuk menanggapi pengobatan antimikroba pada inang yang terinfeksi.  Jenis informasi ini membantu dokter klinik dalam memilih agen antimikroba yang sesuai, menyediakan data untuk surveilan, dan membantu dalam mengembangkan antimikroba dengan bijaksana yang menggunakan kebijakan (Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan, 2010).

Pengujian kerentanan antimikroba secara in-vitro dapat ditunjukkan dengan menggunakan suatu format yang beragam, yang paling umum adalah metode difusi cakram, pengenceran agar, pengenceran makro kaldu, pengenceran mikro kaldu, dan uji gradient konsentrasi.  Setiap prosedur ini memerlukan penggunaan kondisi dan metode pengujian yang spesifik, termasuk media, waktu dan kondisi inkubasi, dan identifikasi organisme pengendali mutu yang sesuai bersama dengan rentang kendali mutu yang spesifik.  Penting bahwa metode AST memberikan hasil yang direproduksi dalam penggunaan laboratorium setiap harinya dan data dapat diperbandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode rujukan “standar emas” yang diakui.  Pada ketidakberadaan metode yang distandardkan atau prosedur rujukan, hasil resistensi/kerentanan antimikroba dari laboratorium yang berbeda tidak dapat diperbandingkan dengan handal.

Penggunaan pendekatan genotipik untuk mendeteksi gen resistensi antimikroba juga telah dipromosikan sebagai suatu cara untuk meningkatkan pengujian kerentanan yang akurat dan cepat.  Selain itu,  kemajuan teknologi baru dalam teknik molecular (misalnya microarray) mungkin memfasilitasi kemampuan untuk menyelidiki jenis bakteri dalam jumlah besar dari gen resistensi antimikroba yang cepat dan murah, sehingga memberikan data tambahan yang relevan ke dalam program surveilan dan pemantauan (Ojha & Kostrzynska, 2008; Poxton, 2005).  Meskipun, masukan baru dari pengujian genotipik, namun metode AST fenotipik yang distandardkan akan tetap dibutuhkan dalam waktu dekat untuk mendeteksi munculnya mekanisme resistensi diantara bakteri pathogen.

PUSTAKA

BROWN D. & MACGOWAN A. (2010). Harmonization of antimicrobial susceptibility testing breakpoints in Europe: implications for reporting intermediate susceptibility. J. Antimicrob. Chemother., 65, 183–185.

CAI H.Y., ARCHAMBAULT M., GYLES C.L. & PRESCOTT J.F. (2003). Molecular genetic methods in the veterinary clinical bacteriology laboratory: current usage and future applications. Anim. Health Rev., 4, 73–93.

CHEN S., ZHAO S., MCDERMOTT P.F., SCHROEDER C.M., WHITE D.G. & MENG J. (2005). A DNA microarray for identification of virulence and antimicrobial resistance genes in Salmonella serovars and Escherichia coli. Mol. Cell. Probes, 19, 195–201.

CLINICAL AND LABORATORY STANDARDS INSTITUTE (CLSI) (2008). Document M31-A3. Performance Standards for Antimicrobial Disk and Dilution Susceptibility Tests for Bacteria Isolated from Animals, Approved Standard, Third Edition. CLSI, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, Pennsylvania 19087-1898, USA.

CLINICAL AND LABORATORY STANDARDS INSTITUTE (CLSI) (2009). Document M39-A3. Analysis and Presentation of Cumulative Antimicrobial Susceptibility Test Data; Approved Guideline, Third Edition. CLSI, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, Pennsylvania 19087-1898, USA,

CLINICAL AND LABORATORY STANDARDS INSTITUTE (CLSI) (2006a). Document M42-A, Methods for Antimicrobial Disk Susceptibility Testing of Bacteria Isolated from Aquatic Animals; Approved Guideline CLSI, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, Pennsylvania 19087-1898, USA,

CLINICAL AND LABORATORY STANDARDS INSTITUTE (CLSI) (2006b). Document M49-A, Methods for Broth Dilution Susceptibility Testing of Bacteria Isolated from Aquatic Animals; Approved Guideline. CLSI, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, Pennsylvania 19087-1898, USA,

CLINICAL AND LABORATORY STANDARDS INSTITUTE (CLSI) (2006c). Document M45-A. Methods for Antimicrobial Dilution and Disk Susceptibility of Infrequently Isolated or Fastidious Bacteria; Approved Guideline. CLSI, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, Pennsylvania 19087-1898, USA,

DEHAUMONT P. (2004). OIE International Standards on Antimicrobial Resistance. J. Vet. Med. [Series B], 51, 411–414.

DE JONG A., BYWATER R., BUTTY P., DEROOVER E., GODINHO, K., KLEIN U., MARION H., SIMJEE, S., SMETS, K., THOMAS, V., VALLE, M., & WHEADON A. (2009). A pan-European survey of antimicrobial susceptibility towards human-use antimicrobial drugs among zoonotic and commensal enteric bacteria isolated from healthy food producing animals. J. Antimicrob. Chemother., 63, 733–744.

FRYE J.G., LINDSEY R.L., RONDEAU G., PORWOLLIK S., LONG G., MCCLELLAND M., JACKSON C.R., ENGLEN M.D., MEINERSMANN R.J., BERRANG M.E., DAVIS J.A., BARRETT J.B., TURPIN J.B., THITARAM S.N. & FEDORKA-CRAY P.J (2010). Development of a DNA microarray to detect antimicrobial resistance genes identified in the National Center for Biotechnology Information Database. Microb. Drug Resist., 16, 9–19.

GE B., BODEIS S., WALKER R.D., WHITE D.G., ZHAO S., MCDERMOTT P.F. & MENG J. (2002). Comparison of Etest and agar dilution for in vitro antimicrobial susceptibility testing of Campylobacter. J. Antimicrob. Chemother., 50, 487–494.

HENDRIKSEN R.S., SEYFARTH A.M., JENSEN A.B., WHICHARD J., KARLSMOSE S., JOYCE K., MIKOLEIT M., DELONG S.M., WEILL F.X., AIDARA-KANE A., LO FO WONG D.M., ANGULO F.J., WEGENER H.C., & AARESTRUP F.M. (2009). Results of use of WHO Global Salm-Surv external quality assurance system for antimicrobial susceptibility testing of Salmonella isolates from 2000 to 2007. J. Clin. Microbiol., 47, 79–85.

KAHLMETER G., BROWN D.F., GOLDSTEIN F.W., MACGOWAN A.P., MOUTON J.W., ODENHOLT I., RODLOFF, A., SOUSSYC.J., STEINBAKK M., SORIANO F. & STETSIOUK. (2006). European committee on antimicrobial susceptibility testing (EUCAST) technical notes on antimicrobial susceptibility testing. Clin. Microbiol. Infect., 12, 501–503.

OJHA S. & KOSTRZYNSKA M. (2008). Examination of animal and zoonotic pathogens using microarrays. Vet. Res., 39, 4–26.

PERRETEN V., VORLET-FAWER L., SLICKERS P., EHRICHT R., KUHNERT P. & FREY J. (2005). Microarray-based detection of 90 antibiotic resistance genes of gram-positive bacteria. J. Clin. Microbiol., 43, 2291–2302.

PETERSEN A., AARESTRUP F.M., HOFSHAGEN M., SIPILA H., FRANKLIN A. & GUNNARSSON E. (2003). Harmonization of antimicrobial susceptibility testing among veterinary diagnostic laboratories in five Nordic countries. Microb. Drug Resist., 9, 381–388.

POXTON I.R. (2005). Molecular techniques in the diagnosis and management of infectious diseases: do they have a role in bacteriology? Med. Princ. Pract., 14, 20–26.

RATHE M., KRISTENSEN L., ELLERMANN-ERIKSEN S., THOMSEN M.K. & SCHUMACHER H. (2009). Vancomycin-resistant Enterococcus spp.: validation of susceptibility testing and in vitro activity of vancomycin, linezolid, tigecycline and daptomycin. APMIS., 118, 66–73.

STEPANOVIC S., HAUSCHILD T., DAKIC I., AL-DOORI Z., SVABIC-VLAHOVIC M., RANIN L. & MORRISON D. (2006). Evaluation of phenotypic and molecular methods for detection of oxacillin resistance in members of the Staphylococcus sciuri group. J. Clin. Microbiol., 44, 934–937.

TURNIDGE J., KAHLMETER G., & KRONVALL G. (2006). Statistical characterisation of bacterial wild-type MIC value distributions and the determination of epidemiological cut-off values. Clin. Microbiol. Infect. 12:418-425.

WALKER R.D. (2007). Antimicrobial susceptibility testing and interpretation of results. In: Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine, Giguere S., Prescott J.F., Baggot J.D., Walker R.D., Dowling P.M. eds. Ames, IA, Blackwell Publishing.

WHITE D.G., ACAR J., ANTHONY F., FRANKLIN A., GUPTA R., NICHOLLS T., TAMURA Y., THOMPSON S., THRELFALL J.E., VOSE D., VAN VUUREN M., WEGENER H., & COSTARRICA L. (2001). Standardisation and harmonisation of laboratory methodologies for the detection and quantification of antimicrobial resistance. Rev. Sci. Tech. Off. int. Epiz., 20, 849–858.

WORLD ORGANIZATION FOR ANIMAL HEALTH (OIE) (2010). Chapter 6.9. Responsible and prudent use of antimicrobial agents in veterinary medicine. OIE Terrestrial Animal Health Code, Volume 1. OIE, Paris, France. ZELAZNY A.M., FERRARO M.J., GLENNEN A., HINDLER J.F., MANN L.M., MUNRO S., MURRAY P.R., RELLER L.B., TENOVER

F.C. & JORGENSEN J.H. (2005). Selection of strains for quality assessment of the disk induction method for detection of inducible clindamycin resistance in staphylococci: a CLSI collaborative study. J. Clin. Microbiol., 43, 2613–2615.

***

NB: There is an OIE Reference Laboratory for Antimicrobial resistance (see Table in Part 4 of this Terrestrial Manual or consult the OIE Web site for the most up-to-date list:  http://www.oie.int/en/our-scientific-expertise/reference-laboratories/list-of-laboratories/ ). Please contact the OIE Reference Laboratory for any further information on Antimicrobial resistance

***
Catatatan:
Makalah terjemahan ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan nomor katalog: 602.11.0013.PUSKH.II.2015. ditulis oleh: drh. Sri Yusnowati. Medik Veteriner Madya, Pejabat Fungsional Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian.

Tulisan asli:
Laboratory Methodologies For Bacterial Antimicrobial Susceptibility Testing Guideline 3.1 Part 3 General Guidelines. NB:  Version  adopted  by  the  World  Assembly  of  Delegates  of  the  OIE  in  May  2012. OIE Terrestrial Manual 2012.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: