Clostridium
difficile merupakan kuman flora normal dalam saluran pencernaan manusia, tetapi
dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan penyakit, yaitu menjadi patogen bila
ada kesempatan untuk bermultiplikasi dan membentuk toksin. C. difficile juga
dapat ditemukan dalam tanah, rumput kering, pasir, kotoran hewan seperti sapi,
kuda, anjing, kucing dll.
******
POTENSI
CLOSTRIDIUM DIFFICILE MENJADI FOODBORNE PATOGEN
Oleh:
Heru
Susilo1, Yasmine Qurrota A2
1Medik
Veteriner Muda
2Medik
Veteriner Pertama,
Pusat
Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani
Badan
Karantina Pertanian
ABSTRAK
C.
difficile terdapat pada hewan ternak dan spora yang dihasilkan dapat bertahan
pada suhu pemasakan biasa dan beberapa kondisi pemrosesan makanan, oleh sebab
itu foodborne oleh C. difficile tidak boleh diabaikan. Sampai sekarang masih
sedikit perhatian diberikan kepada C. difficile sebagai salah salah satu
penyebab foodborne patogen. Beberapa peneliti telah menemukan bakteri tersebut
pada makanan dan menduga ada transmisi dari makanan untuk menyebabkan
foodborne. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
C. difficile yang berpotensi menjadi foodborne patogen. C. difficile telah
berhasil diisolasi dari berbagai macam bahan pangan dan strain yang diisolasi
sama dengan strain penyebab infeksi pada manusia.
Kata
kunci: Clostridium difficile, foodborne
******
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Penyakit
asal pangan telah membawa masalah yang cukup serius di dunia dan mengancam
kesehatan manusia. Perubahan mikroorganisme seperti munculnya strain baru serta
meningkatnya resistensi antibiotik semakin penting untuk dipelajari karena
membuat manusia rentan terhadap penyakit asal pangan.
Clostridium
botulinum dan Clostridium perfringens sudah menjadi perhatian dalam keamanan
pangan karena menghasilkan toksin yang kuat dan spora yang dihasilkan dapat
bertahan pada pengawetan dengan pengeringan, berbagai perlakuan panas dan
metode preservasi yang lain. Spesies clostridia yang lain dikenal sebagai
bakteri penyebab pembusukan. Sampai sekarang belum ada laporan resmi jika infeksi
Clostridium difficile pada manusia disebabkan mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi. C. difficile terdapat pada hewan ternak dan spora yang
dihasilkan dapat bertahan pada suhu pemasakan biasa dan beberapa kondisi
pemrosesan makanan, oleh sebab itu foodborne oleh C. difficile tidak boleh
diabaikan (Doyle 2013).
C.
difficile merupakan kuman flora normal dalam saluran pencernaan manusia, tetapi
dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan penyakit, yaitu menjadi patogen bila
ada kesempatan untuk bermultiplikasi dan membentuk toksin. C. difficile juga
dapat ditemukan dalam tanah, rumput kering, pasir, kotoran hewan seperti sapi,
kuda, keledai, anjing, kucing dan hewan pengerat (Prasetyo 2004).
Infeksi
C. difficile (CDI) banyak dilaporkan terjadi pada pasien yang sedang menjalani
perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Saat ini terjadi peningkatan
kejadian infeksi C. difficile di masyarakat. Spora C.difficile sudah dideteksi
pada daging, seafood, dan beberapa jenis sayuran yang merupakan indikasi potensial
kejadian foodborne karena C.difficile (Doyle 2013).
Sampai
sekarang masih sedikit perhatian diberikan kepada C. difficile sebagai salah
salah satu penyebab foodborne patogen. Beberapa peneliti telah menemukan
bakteri tersebut pada makanan dan menduga ada transmisi dari makanan untuk
menyebabkan foodborne (Palacios et al. 2012). Strain yang menyebabkan infeksi
pada manusia ternyata ditemukan di hewan maupun makanan seperti daging dan
sayuran (Palacios et al. 2013
Tujuan
Penulisan
karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang C.
difficile yang berpotensi menjadi foodborne patogen.
BAB
II
PEMBAHASAN
Clostridium
difficile
C.
difficile termasuk bakteri berspora, berbentuk batang, gram positif, bersifat
anaerob dan sebagian besar merupakan flora normal di saluran pencernaan
manusia. C. difficile dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan penyakit, yaitu
menjadi patogen bila ada kesempatan untuk bermultiplikasi dan membentuk toksin
(Rahimi et al. 2014).
Gambar
1. Clostridium difficile (Rupnik et al.
2009)
C.
difficile pada awalnya disebut Bacillus difficilis karena sulitnya diisolasi.
Di usus pertumbuhan bakteri ini lebih lambat dibanding bakteri lain yang berada
di saluran pencernaan. Suhu pertumbuhan berkisar 25-450 C dengan suhu optimal
tumbuh antara 30-370 C, namun ada beberapa strain yang tumbuh cepat pada suhu
tinggi. Hampir sama dengan bakteri patogen pembentuk spora yang lain, C.
difficile relatif tidak dipengaruhi oleh pemanasan pada suhu ≤ 720 C. Spora
akan inaktif 5-6 log10 pada suhu 850 C
selama 15 menit tapi diperlukan suhu lebih tinggi untuk memastikan hilangnya
spora (Palacios et al. 2012).
C.
difficile selama ini dikenal sebagai penyebab nosokomial yang berkaitan dengan
diare dan kolitis pseudomembran pada pasien di rumah sakit (Rahimi et al.
2014). Menurut Palacios et al. (2012) diperkirakan 20-27 % kasus infeksi C.
difficile terjadi di masyarakat bukan di lingkungan rumah sakit atau fasilitas
kesehatan, walaupun belum ada laporan resmi tentang kejadian foodborne oleh C.
difficile di masyarakat.
Gambar
2. Jumlah publikasi Clostridium difficile di rumah sakit dan masyarakat
(Palacios et al. 2012)
Terjadi
peningkatan hampir dua kali lipat setelah tahun 2006 (gambar 2) mencerminkan
meningkatnya kasus infeksi C. difficile pada manusia dan teridentifikasinya C.
difficile pada makanan (Palacios et al. 2012).
Keberadaan
C. difficile pada pangan
Produk
makanan yang pertama kali diperiksa dan ditemukan positif C. difficile terjadi pada tahun 1994 saat
Broda dan kolega melakukan studi tentang mikroorganisme yang membentuk gas
“blown pack” pada pembusukan daging sapi dan daging babi (Palacios et al. 2012;
Palacios et al. 2013)
Menurut
Palacios et al. (2012) sejak 2006 strain toksigenik C. difficile yang menjadi
penyebab penyakit pada manusia ditemukan di berbagai jenis daging yang dijual
termasuk daging kemasan. Salah satu strain yang ditemukan pada daging adalah
strain PCR ribotype 078.
Doyle
(2013) menyampaikan ringkasan hasil publikasi studi tentang deteksi C.
difficile pada makanan seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel
1. Laporan tentang Clostridium difficile yang berada pada makanan
(Doyle 2013, dari berbagai sumber)
(Doyle 2013, dari berbagai sumber)
Ditemukan
spora C. difficile dalam level rendah pada makanan yang diperiksa, namun
beberapa strain merupakan toksigenik dan mempunyai kesamaan strain dengan C.
difficile yang diisolasi dari kasus penyakit pada manusia (Doyle 2013).
Rahimi
et al. (2014) berhasil mengisolasi C. difficile dari berbagai macam daging yang
berasal dari toko daging di Iran, seperti terlihat di Tabel 2.
Tabel
2. Prevalensi Clostridium difficile pada daging di Iran
(Sumber:
Rahimi et al. 2014)
Prevalensi
C difficile tertinggi ditemukan pada sampel daging buffalo (6/67) diikuti goat
(3/92), beef (2/121) dan sheep (1/150). Semua sampel daging camel hasilnya
negatif. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa makanan merupakan sumber
transmisi potensial dari C. difficile untuk menginfeksi manusia melalui makanan
termasuk daging (Rahimi et al 2014). Keberadaan C. difficile pada hewan yang
dijadikan makanan menjadi salah satu indikasi potensial untuk transfer bakteri
ini ke daging selama pemotongan dan pemrosesan daging (Doyle 2013). C.
difficile berhasil diisolasi dari daging ayam ( Hasanzadeh dan Rahimi 2013a),
daging kalkun, dan daging burung unta (Hasanzadeh dan Rahimi 2013b) yang dijual
di toko daging di kota Isfahan, Iran.
Rute
potensial infeksi
Sumber
C. difficile bisa berada pada produk makanan masih belum jelas. Kontaminasi
pada daging dimungkinkan karena C.difficile sudah berada pada saluran
pencernaan hewan, tapi dapat juga berasal dari kontaminasi tangan pekerja rumah
potong hewan, peralatan pemotongan atau lingkungan rumah potong selama proses
pemotongan berlangsung. Kemampuan spora C. difficile bertahan lama di
lingkungan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengkontaminasi hewan dan makanan
(Rahimi et al. 2014).
Menurut
Doyle (2013), ada beberapa rute potensial infeksi C. difficile yaitu:
1.
Kontak manusia-manusia
C.
difficile umumnya berada di kulit pasien penderita CDI (C. difficile
infection). Tangan dari perawat di fasilitas kesehatan dipercaya menjadi
perantara perpindahan nosokomial patogen di rumah sakit dan fasilitas kesehatan
yang lain. Pasien yang tidak menunjukkan gejala klinis menjadi sumber utama
penyebaran C. difficile di masyarakat termasuk pasien rawat inap lama di
fasilitas kesehatan.
2.
Kontak hewan-manusia
Hewan
dari beberapa spesies sudah membawa C. difficile dan hal ini menjadi
kemungkinan manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan
kesayangan atau ternak.
3. Airborne
transmission
Penularan
lewat udara telah dibuktikan melalui suatu penelitian. Sampel udara yang
diambil selama 1 jam di dekat 50 pasien dengan C. difficile menunjukkan hasil
positif adanya bakteri di sekitar 6 pasien.
4. Kontak
dengan perlengkapan yang terkontaminasi
Spora
dari C. difficile telah dapat dideteksi dari lantai ruangan pasien, ruang kerja
dokter dan perawat. Stetoskop yang dipakai dokter juga dapat menjadi alat
penularan dari kulit pasien ke tempat lain.
5. Konsumsi
makanan atau air yang terkontaminasi
C.
difficile sudah berhasil diisolasi dari daging ruminansia maupun unggas sehingga
menjadi rute potensial sebagai foodborne untuk menginfeksi manusia. Daging
dapat terkontaminasi selama proses pemotongan. Selain itu kontaminasi dapat
terjadi melalui pekerja yang menangani dan tidak menerapkan higiene personal
dengan baik.
Penularan
dapat terjadi dari kontak langsung hewan ke manusia atau secara tidak langsung
melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi (Gould dan Limbago 2010). Menurut
Kumala (2004), penularan terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman C.
difficile atau dengan spora kuman. Selain itu, adanya C. difficile yang
berhasil diisolasi dari daging ayam, daging kalkun dan daging burung unta di
kota Isfahan dapat menjadi resiko potensial infeksi C. difficile pada manusia
melalui konsumsi daging (Hasanzadeh dan Rahimi 2013a; Hasanzadeh dan Rahimi
2013b), mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri dan toksin di usus setelah
konsumsi makanan terkontaminasi.. Pada keadaan normal jumlah toksin yang
dihasilkan hanya sedikit dan dapat dinetralisir oleh bakteri lain yang berada dalam
usus (Kumala 2004).
Diagnosa
Metode
untuk mengetahui keberadaan bakteri, keberadaan toksin dan kemampuan
memproduksi toksin dari C. difficile dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel
3. Diagnosa infeksi Clostridium difficile
(Sumber:
Rupnik et al. 2009)
Menurut
Rupnik et al. (2009), keberadaan bakteri C. difficile dapat diperiksa dengan
metode kultur dan deteksi antigen; adanya toksin dapat dideteksi dengan metode
cytotoxin assay, enzyme immunoassay dan membrane assay; kemampuan C. difficile
dalam memproduksi toksin dapat dideteksi dengan metode cytotoxigenic culture
dan deteksi gen dari toksin B.
Kumala
(2004), identifikasi bakteri dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dengan
pewarnaan Gram, dimana C. difficile tampak sebagai bakteri berbentuk batang, berspora
subterminal, Gram positif. Deteksi toksin dapat dilakukan dengan uji
sitotoksisitas dengan menggunakan biakan sel jaringan dan dilakukan pengamatan
terhadap perubahan bentuk sel, lisis sitoplasma, piknosis ikatan antar sel
menjadi lepas dan terbentuknya sel busa (foam cell).
Proses
pembentukan toksin
Toksin
utama yang dihasilkan C. difficile adalah toksin A dan toksin B yang merupakan
toksin polipeptida dengan ukuran 250-300 kilodaltons. Toksin A adalah
enterotoksin dan toksin B sitotoksin (Palacios et al. 2012).
Rupnik
et al. (2009), C. difficile menghasilkan enterotoksin TcdA, sitotoksin TcdB dan
binari toksin CDT. Toksin A dan toksin B dikodekan pada pathogenicity locus
(PaLoc) yang terdiri dari 5 gen. Kedua toksin merupakan protein rantai tunggal,
telah diidentifikasi berdasarkan fungsinya (gambar 3a). Toksin ketiga yaitu CDT
dikodekan pada sebagian kromosom (CdtLoc) dan terdiri dari 3 gen. Toksin ini
dibentuk oleh 2 macam toksin yang tidak terhubung yaitu CdtB dan CdtA. CdtB
mempunyai fungsi mengikat dan CdtA adalah komponen enzimatik (gambar 3b). TcdA
dan TcdB diproduksi selama akhir masa log fase dan stasioner fase, produksinya
tergantung dari strain dan faktor lingkungan, seperti kandungan nutrisi (contoh
kandungan glukosa, asam amino dan biotin).
Gambar
3. Toxin yang diproduksi Clostridium difficile (Rupnik et al. 2009)
Patogenesis
Bakteri
C. difficile terdiri dari galur yang toksigenik dan non-toksigenik. C.
difficile yang toksigenik dapat menghasilkan toksin A (enterotoksin) dan toksin
B (cytotoxin). Toksin A terdiri dari protein dengan berat molekul sekitar
400.000-600.000 dan mempunyai sifat enterotoksik yang dapat mengikat sel pada
permukaan epitelium. Akibat perlekatan ini terjadi erosi pada mukosa usus dan
merangsang pengeluaran cairan dari usus, selain itu toksin ini juga dapat
menyebabkan perdarahan. Toksin A dari C.difficile mirip dengan toksin kolera
yang dapat merangsang sekresi cairan di usus.
Terdapat
perbedaan yang mencolok antara toksin C. difficile dengan toksin kolera yaitu
toksin kolera tidak merusak mukosa usus sedangkan toksin A dari C. difficile
dapat merusak jaringan mukosa usus yang luas.Toksin B dengan berat molekul
sekitar 360.000-500.000 terbukti tidak aktif di usus, tetapi mempunyai kekuatan
sitotoksin 1000 kali lebih kuat dibandingkan toksin A. Toksin A dan B mempunyai
sifat yang sama yaitu labil terhadap suhu tinggi. Aktifitas toksin A dan B akan
menurun jika dipanaskan pada suhu 600 C selama 10 menit. Cara lain untuk
membuat tidak aktif kedua toksin ini yaitu dengan menggunakan enzim pronase
(Kumala 2004).
Gambar
4. Patogenesis Clostridium difficile (Rupnik et al. 2009)
Rupnik
et al. (2009), C. difficile membentuk kolonisasi di usus membentuk toksin A dan
toksin B (TcdA dan TcdB). Sel bakteri awalnya sebagai sel bebas yang
selanjutnya menyerang sel hospes. TcdA berikatan dengan permukaan sel menembus
masuk menyebabkan perubahan sitoskeletal yang menghilangkan barier epitel,
terjadi kematian sel dan keluarnya mediator radang yang menarik neutrofil. TcdB
bekerja pada membran sel basolateral (gambar 4).
Pencegahan
dan Pengobatan
Pencegahan
1. Menurut
Palacios et al. (2012), spora C. difficile dapat berpindah melalui tangan yang
terkontaminasi ke makanan atau alat yang digunakan untuk mengolah makanan. Cuci
tangan merupakan cara efektif untuk menghilangkan C. difficile dari tangan.
2. Menurut
Rahimi et al. (2014), menjaga kebersihan tempat pemotongan, monitoring
mikrobiologi karkas, penerapan good manufacturing practice dan sistem keamanan
pangan seperti HACCP adalah penting untuk meminimalkan resiko kontaminasi ke
konsumen
3. Menurut
Doyle (2013), makanan yang diberikan di rumah sakit harus dibuat dengan menjaga
tidak terkontaminasi saat produksi, pengolahan maupun persiapan. Prosedur yang
dipakai untuk mengurangi kontaminasi dari patogen saluran pencernaan seperti E.
coli dan Salmonella selama pemotongan dapat dipakai untuk mengurangi
kontaminasi C. difficile pada karkas. Memperbaiki higiene pekerja yang
berhubungan dengan proses pembuatan dan persiapan makanan secara signifikan
dapat meningkatkan keamanan pangan.
Pengobatan
Penderita
dengan diare berat perlu diberikan antibiotika golongan metronidazol atau
golongan vankomisin selama 10-14 hari. Pengobatan dengan metronidazol
memberikan efek kesembuhan mencapai 95% dan kemungkinan kambuh 15-20% (Kumala
2004).
BAB III
SIMPULAN
Peningkatan
kasus infeksi C. difficile di masyarakat berpotensi disebabkan oleh konsumsi
makanan yang terkontaminasi C. difficile, terbukti bakteri ini telah berhasil
diisolasi dari berbagai macam bahan pangan dan strain yang diisolasi sama
dengan strain penyebab infeksi pada manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Doyle
ME. 2013. Clostridium difficile as a risk associated with animal sources. [Food
safety review]. Food Research Institute. University of Wisconsin-Madison
Gould
LH, Limbago B. 2010. Clostridium difficile in food and domestic animals: a new
foodborne pathogen [article]. Center Infectious Diseases. Oxfordjournals.
51(5): 577-582
Hasanzadeh
A, Rahimi E. 2013a. Isolation of Clostridium difficile from chicken meat sold
in meat stores of Isfahan City [article]. J Enviromental Biology. 7(9):
2372-2374
Hasanzadeh
A, Rahimi E. 2013b. Isolation of Clostridium difficile from turkey and ostrich
meat sold in meat stores of Isfahan City. Int J Adv Biol Biom Res. 1(9): 963-967
Kumala
W. 2004. Clostridium difficile: penyebab diare dan colitis pseudomembranosa,
akibat konsumsi antibiotika yang irasional. J Kedokteran Trisakti. 23(1): 34-38
Palacios
AR, Lejeune JT, Hoover D. 2012. Clostridium difficile: An emerging food safety
risk. Institute of Food Technologist. Food Technology. 66 (9): 40-47
Palacios
AR, Borgmann S, Kline TR, Lejeune JT. 2013. Clostridium difficile in food and
animals: history and measures to reduce exposure. Animal health research
reviews. Cambridge University Press: 1-19
Prasetyo
D. 2004. Pengaruh pemberian antibiotik terhadap populasi dan produksi toksin
Clostridium difficile pada pasien demam tifoid dan pneumonia serta hubungannya dengan gejala
diare. Sari Pediatri. 6(2): 58-63
Rupnik
M, Wilcox MH, Gerding DN. 2009. Clostridium difficile infection: new developments
in epidemiology and pathogenesis [nature reviews]. Macmillan Publishers
Limited. 7: 526-536
Rahimi
E, Jalali M, Weese JS. 2014. Prevalence of Clostridium difficile in raw beef,
cow, sheep, goat, camel and buffalo meat in Iran [article]. BioMed Central
Public Health. BMC journals. 14(119)
***
Catatatan:
Karya
Tulis Ilmiah ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan
Keamanan Hayati Hewani Nomor: 602.02.0029.PUSKH.II.2015.
******