PENCEGAHAN PENYEBARAN PENYAKIT ANTRAK PADA IMPORTASI KULIT GARAMAN DARI CINA

Penyakit anthrax in vitro (di alam) bisa bertahan hidup selama bertahun tahun, oleh karena itu penyakit anthrax apabila sudah menginfeksi disuatu daerah dan cocok untuk kehidupaanya maka akan menjadi penyakit yang endemis. Kaya Tulis Ilmiah Berikut membahas penyakit Anthrax ditulis oleh Siswa Pelatihan Dasar Calon Paramedik Veteriner Karantina.


******


PENCEGAHAN PENYEBARAN PENYAKIT ANTRAK
PADA IMPORTASI KULIT GARAMAN DARI CINA

Oleh:
Arianto, Danang, Kasidi, Nanang, Nur Latifah Astria, Suyatno Siswa Pelatihan Dasar Calon Paramedik Veteriner, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian.


ABSTRAK

Antrak adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam. Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan. Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia. Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang terkena antraks, dapat melalui daging, tulang, kulit, maupun kotoran. Penularan penyakit antraks pada manusia pada umumnya karena manusia mengkonsumsi daging yang berasal dari ternak yang mengidap penyakit tersebut. Meskipun hanya mengkonsumsi dalam jumlah kecil. Penularan penyakit antraks pada manusia dapat melalui luka. Meskipun begitu, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap antraks.

Kata Kunci: Anthrax, penyebaran, impor kulit

******


PRAKATA

Puji syukur kami persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan izin-Nya sehingga karya tulis yang berjudul ‘Pencegahan Penyebaran Bacillus anthracis Pada Importasi Kulit Garaman Dari Cina’ dapat kami selesaikan.

Anthrax merupakan penyakit menular yang bersifat zoonosis dan berpotensi menimbulkan dampak sosioekonomi yang besar. Adanya lalu lintas kulit garaman yang berasal dari negara yang pernah terjadi wabah seperti Cina menuntut kewaspadaan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap kemungkinan penyebaran Bacillus anthracis, khususnya dalam bentuk spora.

Karya tulis ini kami susun dengan harapan dapat digunakan oleh masyarakat dan pihak yang berkepentingan sebagai bahan informasi yang bersifat ilmiah. Masukan yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan sebagai dasar perbaikan.

Bekasi,            2015

Tim Penulis


******


BAB I.
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi, maka kemampuan manusia untuk mengolah berbagai produk hewan juga terus mengalami perkembangan. Kulit merupakan salah satu contohnya. Kulit sebagai produk hewan dijadikan sebagai komoditi perdagangan dengan harga cukup tinggi. Pada umumnya kulit dimanfaatkan sebagai bahan pembuat jaket, sepatu, dompet, ikat pinggang, serta beberapa produk lain yang memanfaatkan kulit sebagai bahan bakunya, seperti kulit dan gelatin untuk bahan pangan. Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak. 

Resiko media pembawa dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu resiko rendah, resiko sedang, dan resiko tinggi. Pembagian resiko itu didasarkan pada pertimbangan daya dukung lingkungan terhadap perkembangbiakan agen. Hewan rentan merupakan media pembawa risiko  tinggi karena dapat menjadi lingkungan yang ideal sebagai hos pes. Sementara bahan asal hewan dimasukkan dalam kelompok risiko sedang sebab sel-sel hewan tersebut telah mati, sehingga pertumbuhan agen dapat dikendalikan selama faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, atau pH disesuaikan. Kelompok resiko rendah adalah hasil bahan asal hewan atau produk hewan yang telah melalui proses pengolahan. Pada kelompok ini, risiko tumbuhnya agen penyakit sangat kecil sebab faktor lingkungan tidak mendukung untuk dijadikan media tumbuh. Kulit sebagai produk hewan dapat dikelompokkan dalam media pembawa resiko rendah ataupun sedang, tergantung oleh proses pengolahannya.

Indonesia merupakan negara pengimpor kulit garaman atau kulit mentah dari Cina. Kulit garaman dikelompokkan sebagai media pembawa beresiko sedang, artinya pada kulit garaman masih terdapat resiko tumbuhnya agen penyakit sehingga diperlukan hasil pengujian yang sesuai untuk membuktikan bahwa komoditi tersebut aman untuk dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Dampak yang mungkin timbul akibat masuknya agen penyakit hewan dapat merusak sektor industri peternakan nasional dan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner. Antrak adalah salah satu penyakit zoonosis penting dan strategis yang dapat dibawa melalui kulit garaman. Cina merupakan negara yang tengah mengalami wabah antrax dan kejadian wabah ini telah berulang dalam beberapa tahun terakhir( Suharsono.2002).  Salah satu negara pengekspor kulit garaman ke Indonesia adalah Cina, sehingga pengawasan terhadap pemasukan komoditi kulit garaman dari Cina hendaknya dilakukan dengan baik sebagai upaya penyebaran agen penyakit antraks ke dalam negeri.

Tujuan
Tujuan dari penyusunan karya tulis ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya pengendalian yang dapat dilakukan dalam mencegah penyebaran spora Bacillus anthracis pada importasi kulit garaman dari Cina.

******


BAB II.
MATERI DAN METODE

Tulisan mengenai pencegahan penyebaran Bacillus anthracis pada importasi kulit garaman dari Cina ini disusun berdasarkan studi literatur dan pengumpulan data sekunder yang terkait.


BAB III.
PEMBAHASAN


Etiologi  Antraks
Antraks merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, famili Bacillaceae. Bacillus.  anthracis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, aerob, tidak motil, non hemolitik, membentuk spora, dapat membentuk kapsul dan menghasilkan toksin, dengan lebar 1 – 1.5 µm dan panjang 5 - 6 µm. Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen (0 2), spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, pH, radiasi dan desinfektan sehingga sulit untuk dihilangkan jika terjadi kontaminasi. Spora mungkin akan germinasi, multiplikasi dan resporulasi kembali di luar tubuh hewan jika kondisinya memungkinkan, yaitu:  suhu 8 - 45°C, pH antara 5 - 9, kelembaban di atas 95% dan adanya zat makanan yang cukup. Secara parenteral, Lethal Dose 50  (LD50) antraks untuk tiap hewan berbeda-beda, yaitu: marmut  (< 10 spora), primata (3 x 103 spora), tikus (106 spora), mencit (5 spora), babi (10 spora) dan anjing (5 x 1.010  spora), sedangkan LD50 untuk Antraks pernafasan  pada manusia kira-kira 8.000 - 10.000  spora(Suharsono.2002). 

Bacillus.  anthracis adalah bakterium pertama yang diketahui dapat menyebabkan penyakit. Hal ini diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877. Nama anthracis berasal dari bahas Yunani anthrax, yang berarti batu bara, merujuk kepada penghitaman kulit yang terjadi pada penderita. Bakteri antraks terdapat di tanah dalam bentuk spora, dan bisa bertahan hidup dalam bentuk ini dalam jangka waktu yang lama. Spora yang masuk ke dalam hewan rentan akan memulai fase perkembangbiakan, bahkan hingga hewan tersebut mati. Bakteri antraks pada kadaver akan kembali pada bentuk spora jika zat nutrisi didalamnya telah habis(Suharsono.2002).


Gambar  1. Siklus hidup antrax. (BUDI TRIAKOSO, 2009)

Antraks dapat bersifat akut atau sub akut, dan diklasifikasikan ke dalam kelompok penyakit zoonosis karena kemampuan agennya yang dapat menyerang manusia, ataupun hewan. Penyakit ini dapat menyerang semua jenis hewan, kecuali bangsa burung dan binatang berdarah dingin (drh. Imbang Dwi Rahayu, MKes). 

Penyakit ini juga sering disebut sebagai radang limpa. Infeksi terjadi melalui saluran pencernaan, yaitu dengan memakan daging yang tercemar bakteri anthrax. Infeksi yang masuk melalui inhalasi dapat terjadi apabila spora terhirup oleh manusia atau hewan rentan, sementara anthrax kulit dapat terjadi apabila permukaan kulit terpapar langsung dengan spora antraks.  (Suharsono.2002)

Diagnosa Penyakit Antrak

1. Gejala Pada Hewan
Diagnosa penyakit antrak umumnya dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan di laboratorium untuk mengisolasi agen penyebab, uji serologis, dan molekuler. Hewan dapat tertular antraks melalui pakan atau rumput yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkan kematian (biasanya mengandung ± 109 kuman/ml darah) (OIE 2000 ) . Antraks pada hewan dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan kronis . Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut; kuda biasanya berbentuk akut; sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis ( Suhasono.2002). 

Gejala penyakit pada bentuk perakut berupa demam tinggi (42 °C ), gemetar, susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Darah yang keluar dari lubang kumlah (anus, hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukar membeku.

Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam, nafas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa. Pada kuda terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam waktu 48 - 96 jam .

Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena kuman antraks terlokalisasi di daerah itu (OIE 2000) . Di Indonesia, kejadian antraks biasanya perakut, yaitu: demam tinggi, gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan mati .

2. Gejala Klinis Pada Manusia
Antraks pada manusia dibedakan menjadi tipe kulit, tipe pencernaan, tipe pulmonal dan tipe meningitis. Pada tipe kulit, B. anthracis masuk melalui kulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui gigitan serangga dengan masa inkubasi 2 sampai 7 hari. Gejala klinis yang terlihat adalah demam tinggi, sakit kepala, ulcus dengan jaringan nekrotik warna hitam di tengah dan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan edema . Jika tidak diobati tingkat kematian dapat mencapai 10 - 20% dan jika diobati kurang dari 1%. Pada tipe pencernaan (gastrointestinal anthrax ), B. anthracis dapat masuk melalui makanan terkontaminasi, dan masa inkubasinya 2 sampai 5 hari. Mortalitas tipe ini dapat mencapai 25 - 60% dan dibedakan menjadi antraks intestinal dan antraks orofaringeal. 

Pada antraks intestinal, gejala utama adalah demam tinggi, sakit perut, diare berdarah, asites, dan toksemia. Antraks orofaringeal, gejala utamanya demam tinggi, sakit tenggorokan, pembesaran limfoglandula regional, dan toksemia. Tipe pernafasan (Pulmonary anthrax ) terjadi karena terhirupnya spora B. anthracis dengan masa inkubasi 2 - 6 hari . Jalannya penyakit perakut sulit bernafas, sianosis, koma dan mati. Tingkat kematian bisa mencapai 86% dalam waktu 24 jam. Tipe meningitis, merupakan komplikasi gejala demam tinggi, sakit kepala, sakit otot, batuk, susah bernafas atau lanjutan dari ke-3 bentuk antraks yang telah disebutkan di atas. Tingkat kematian dapat mencapai 100% dengan gejala klinik pendarahan otak (Suharsono.2002).
           
Kejadian Antrak di Cina
Wabah antraks pernah terjadi di Cina pada Agustus, 2011. Wabah terjadi  pada 30 orang di Kota Haicheng dan Xiuyan, Provinsi Liaoning. Semua orang yang menjadi korban dalam wabah ini diketahui terlibat dalam penyembelihan sapi yang terinfeksi anthrax beberapa waktu sebelumnya. Penyakit ini lebih dahulu menginfeksi empat ekor sapi pada sebuah desa di kota Haicheng(Sheng Shuiting dan Shi Zhiyuan.1999). 

Pada Agustus 2012 terjadi delapan kasus antraks kulit di Lianyungang, Provinsi Jiangsu. Gejala yang ditemukan berupa iritasi kulit yang ditularkan ketika warga desa tengah mengeradikasi sapi yang sakit. Anthrax kulit adalah bentuk penyakit yang serius. Penyakit ini biasanya terjadi ketika seseorang yang mempunyai luka pada jaringan kulit berkontak langsung tanpa proteksi dengan spora anthrax, hewan sakit, ataupun yang bangkai. Departemen kesehatan Cina kemudian meningkatkan pengawasan terhadap anthrax dan mendidik masyarakat mengenai penyakit tersebut(Sheng Shuiting dan Shi Zhiyuan.1999).    Lebih dari 10 orang juga diketahui menderita antraks di Ganquan, Provinsi Shaanxi, pada  Agustus 2015. Pemerintah daerah setempat mengonfirmasi, bahwa kejadian ini kemungkinan didapat melalui kontak dengan hewan sakit atau produk hewan yang terkontaminasi. Selain korban pada manusia, 15 ekor ternak juga mati di waktu yang sama akibat terinfeksi antraks. Pemerintah provinsi Shaanxi telah mengeluarkan prosedur-prosedur pengendalian penyakit sebagai respon atas kejadian ini(Sheng Shuiting dan Shi Zhiyuan.1999). 

Outbreak  kembali terjadi pada peternakan Cina di Provinsi Liaoning, Cina. Pada Agustus 2015 lalu, enam ekor ternak mati akibat terinfeksi antraks dan lima ekor lainnya dieradikasi sebagai upaya pengendalian penyebaran(Shang Shuiting dan Shi zuiyua).  Selain itu, pemerintah juga meningkatkan kesiapsiagaan terhadap situasi ini. 

Tindakan Pengawasan dan Pencegahan
Investigasi merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian antraks, khususnya di daerah endemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit, harus diketahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraks serta diketahui kapan saja kasus antraks pernah muncul. Tindakan yang perlu dilakukan dalam investigasi adalah melakukan monitoring tingkat kekebalan ternak hasil vaksinasi, tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora pada tanah dan pakan di daerah tersebut (OIE 2000).

Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim, iklim, suhu dan curah hujan yang tinggi (WHO 1998). Kasus antraks seringkali muncul pada awal musim hujan saat rumput sedang tumbuh, hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada di tanah.  Belum pernah ada laporan bahwa antraks dapat menular dari hewan ke hewan atau dari manusia ke manusia (WHO 1998). Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen (Oᶻ), spora  ini relatif tahan terhadap panas, dingin, pH. Penyakit ini tetap enzooti k di hampir semua negara Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa (Inggris, Jerman dan Italia), beberapa negara bagian Amerika Serikat (Dakota utara, Nebraska, Louisiana, Arkansas, Texas, Misissipi dan California) dan beberapa daerah di Australia (Victoria dan New South Wales) (WHO, 1998 ; TODAR, 2002 ).

Sampai saat ini, masih banyak daerah endemik antraks di Indonesia seperti di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, D .I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, NTB dan Papua. Di Jawa Barat (Kabupaten Bogor), Nusa Tenggara Barat (Bima dan Sumbawa Besar) dan Nusa Tenggara Timur hampir setiap tahun dilaporkan adanya kejadian antraks (SIREGAR, 2002; DEPARTEMEN KESEHATAN, 2003 ). Pada akhir tahun 2004 antraks kembali menyerang kambing di daerah Citaringgul Babakan Madang Kabupaten Bogor dan menyebabkan 6 orang meninggal dunia (laporan kasus)  . Tahun 2005, Makassar juga terserang antraks dan menyebabkan 28 ekor sapi dan kerbau mati (laporan kasus). Pada Hari Raya Idul Fitri tahun 2006, Depok juga terserang antraks yang menyebabkan 3 ekor sapi mati dan tujuh orang terinfeksi ( satu orang meninggal dunia) (laporan kasus). Untuk mengantisipasi timbulnya kembali kasus antraks di daerah endemik, hal yang perlu dikerjakan adalah dengan pengambilan sampel di lingkungan tersebut. Hal ini  bertujuan untuk mengidentifikasi sumber kontaminasi spora B. anthracis  sehingga dapat menyebabkan hewan/manusia terinfeksi, menelusuri rute infeksi/paparan, memperoleh galur B. anthracis dari daerah tertentu, membuat prosedur dan petunjuk aktivitas pembersihan suatu daerah terhadap B. anthracis, mengantisipasi letupan antraks di daerah endemik, dan membuat prosedur pengamanan (biosafety) di laboratorium yang menangani antraks (CDC. 2002).

Untuk koleksi sampel, harus diketahui peta daerah endemik, situasi geografik, kondisi tanah dan vegetasi suatu daerah dan juga diketahui suhu serta iklimnya. Ketinggian permukaan tanah, pH dan komposisi tanah kemungkinan juga mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi daya hidup spora B. anthracis di suatu daerah. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah tipe padang gembalaan, kondisi pengairan, keluar masuknya ternak, kebiasaan merumput, sumber air, kontrol serangga dan sebagainya (PARKINSON et al., 2003) . Koleksi sampel untuk tindakan ini adalah dengan pengambilan tanah di tempat kejadian antraks dan daerah sekitarnya, tempat pengambilan rumput atau padang pengembalaan ternak, tempat bekas kuburan hewan yang mati karena antraks, sumber air dan daerah rendah yang mempunyai hubungan dengan daerah kasus antraks.

Pencegahan dan pengendalian antraks
Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak ditentukan oleh respon imun terhadap protective antigen  (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF  hanya berperan kecil dalam memberikan proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel) belum diidentifikasi berperan dalam proteksi (WHO) . Vaksin antraks masa mendatang harus dapat menstimulasi imun respon seluler dan imun respon humoral (WHO, 1998).

Vaksinasi pada ternak di Indonesia pada umumnya masih menggunakan vaksin spora hidup atau live spora vaccine, yang mengandung B. anthracis  galur 34F2, bersifat toksigenik, dan tidak berkapsul. Vaksin ini mengandung kira-kira 10 juta spora per mili liter yang disuspensikan dalam larutan 50% gliserin-NaCI fisiologis mengandung 0,5% saponin. Vaksin ini dibuat sesuai dengan Requirements for anthrax spore vaccine  yang menunjukkan dapat terjadinya berbagai perbedaan kualitas di antara vaksin antraks yang ada. Gliserin dan saponin yang digunakan sebagai pelarut dan adjuvan dalam vaksin ini, juga dapat mempengaruhi kinerja dari vaksin. Bibit vaksin harus dipelihara secara hati-hati agar supaya varian B. anthracis  yang tidak berkapsul dapat kehilangan kemampuan imunogeniknya pada subkultur (STERNE, 1959) .

Namun demikian, galur bibit vaksin tersebut juga dapat mempertahankan virulensinya pada ternak seperti kambing, domba dan lama sehingga dapat menyebabkan efek shock anafilaksis  karena masih dapat menghasilkan toksin. Penggunaan vaksin pada hewan tersebut perlu perhatian dan kehati-hatian, karena dapat menyebabkan shock anaphilaktik (WHO. 1998).

Efikasi vaksin hidup lebih baik dibandingkan dengan vaksin mati, tetapi ada juga hal yang kurang baik dari vaksin hidup  karena B. anthracis  galur 34F2 masih dapat mempertahankan virulensinya dan dapat memberikan efek samping yang buruk pada hewan yang divaksin. Sehubungan rentang waktu tanggap kebal sangat terbatas, yaitu antara 6 - 12 bulan,  dan pada hewan di daerah endemik harus divaksinasi tiap tahun dengan aplikasi vaksin harus  diberikan secara parenteral (disuntik) . Jika terjadi kesalahan kecil saat memproduksinya, maka dapat terjadi efek samping yang merugikan (WHO, 1998).

Di Indonesia vaksin yang digunakan adalah vaksin spora yang diberikan dengan suntikan /parenteral dan memberikan durasi kekebalan selama ± 6 - 12 bulan,  sehingga vaksinasi ulang harus  dilakukan dengan interval 6 - 12 bulan. Pembuatan vaksin dengan kandungan spora yang terlalu tinggi ataupun penggunaan seed  vaksin yang tidak benar dapat menyebabkan efek proteolitik dan toksin yang dihasilkan tidak dapat dinetralisasi oleh tubuh sehingga dapat menyebabkan reaksi anafilaksis dan shock. Penggunaan vaksin antraks pada manusia pada saat ini masih dilaporkan berisiko tinggi. Di Cina dan Rusia, vaksinasi pada manusia menggunakan live spora vaccine  dari B. anthracis  galur A16R (Cina) dan galur STI (Rusia) . Vaksin ini diaplikasikan dengan  cara digoreskan pada kulit dengan dosis 20 μl. Pemberiannya adalah 2 kali dengan interval 21 hari setelah vaksinasi pertama (WHO, 1998).

Di Amerika Serikat, antraks vaccine absorbed  (AVA) dibuat dari filtrat kultur B. anthracis  galur V770, toksigenik, tidak berkapsul, tidak proteolitik yang diberi formaldehid  dengan konsentrasi akhir 0,02% dan diabsorbsi dengan alumunium hidroksida. Aplikasi secara subkutan, dosis 0,5 ml, diberikan 0, 2 dan 4 minggu dan 6, 12, 18 bulan  dengan ulangan tiap tahun. Sedangkan di Inggris vaksin filtrat dibuat dari kultur B. anthracis galur 34F2 yang diberi formalin dengan konsentrasi akhir 0,02 % dan  dipresipitasi dengan menggunakan kalium alumunium sulfat. Aplikasi vaksin secara subkutan, dosis 0,5 ml, diberikan pada 0 ,3 dan 6 minggu dan 6, 12, 18 dan 24 bulan dengan ulangan tiap tahun (WHO 1998). Vaksin inaktif tersebut dapat melindungi hewan percobaan di laboratorium dan sapi yang ditantang dengan B. Anthracis,  baik melalui kulit maupun pernafasan (LEPPLA et al., 2002 ).

Meskipun aman dan protektif, AVA mempunyai keterbatasan, antara lain: standarisasi vaksin yang didasarkan pada proses pembuatan dan uji potensi yang dilakukan dengan hewan marmut yang ditantang secara intrakutan dengan spora B. anthracis, kandungan PA dalam vaksin tidak pernah diukur dan tidak ada standarisasi uji antibodi anti PA pada hewan atau manusia yang divaksinasi dengan vaksin tersebut. Vaksin AVA dapat mengandung elemen seluler yang mungkin menyebabkan reaksi sistemik atau reaksi lokal. Selain itu, jadwal pemberian vaksin yang berulang dengan interval waktu yang pendek mungkin belum optimal untuk memberikan proteksi (LEPPLA et al. 2002).

Pengembangan vaksin antraks untuk masa mendatang harus dapat meminimalisasi efek samping. Vaksin juga harus efektif dan mempunyai daya proteksi yang baik, aman dan tidak ada efek samping untuk semua spesies, dapat memberikan daya perlindungan yang lama, dan mudah dalam aplikasinya. Pengembangan vaksin antraks yang dapat diberikan secara oral pada hewan ternak dan hewan liar yang beresiko tinggi perlu dilakukan. Disamping itu, vaksin antraks tersebut diharapkan murah harganya dan ramah lingkungan atau tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Vaksin antraks yang direkomendasikan WHO (1998)

untuk masa depan, antara lain adalah vaksin subunit, vaksin rekombinan. deleted mutants, dan vaksin DNA. Dewasa ini, Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet)  sedang mengembangkan untuk membuat vaksin (PA). Balitvet telah melakukan purifikasi PA dari B. anthracis sebagai kandidat vaksin. Selanjutnya PA yang murni ini akan dibuat sebagai bahan pembuatan vaksin subunit dan akan diuji coba penggunaannya pada hewan percobaan di laboratorium dan lapangan.

Pengendalian penyakit antraks mendapat prioritas secara nasional. Upaya pengendalian penyakit Antrax telah ditetapkan dan didasarkan pada azas pewilayahan /zoning  (Naipospos, 2005 ), sebagai berikut:

1. Bagi daerah bebas Antraks, didasarkan kepada pengawasan ketat pemasukan hewan ternak ke daerah tersebut

2. Bagi daerah endemik Antraks didasarkan pada pelaksanaan vaksinasi ternak secara rutin diikuti monitoring.

3. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotik dan 2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi antraks.

Pelaksanaan langkah-langkah operasional strategis dalam upaya mengendalikan penyakit antraks adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pengamatan untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan munculnya kasus pada ternak khususnya di daerah endemis yang setiap tahun ada kecenderungan muncul, serta terus memantau secara intensif daerah dan lokasi endemis yang ada.

2. Pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengoptimalkan cakupan vaksinasi setiap tahun pada ternak sapi, kerbau, kambing dan domba di lokasi-lokasi endemis anthrax.

3. Penelitian untuk dapat menghasilkan vaksin yang lebih baik,  yaitu mempunyai potensi atau tingkat kekebalan yang cukup lama, aman terhadap semua jenis ternak dan murah.

4. Memproduksi vaksin dalam jumlah cukup untuk kesiapsiagaan apabila terjadi  wabah minimal sebesar 600 juta dosis dan untuk memberikan subsidi bagi daerah yang masih kekurangan vaksin.

5. Pelaksanaan pengawasan lalu lintas ternak yang keluar dan masuk lokasi endemis bekerjasama dengan aparat karantina hewan dan instansi terkait lain.

6. Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum maupun setelah ternak dipotong (ante/post mortum ) di Rumah Potong Hewan.

7. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya antraks serta upaya penanggulangannya dengan bekerjasama seluruh instansi dan pihak terkait lain termasuk pemuka masyarakat/agama, LSM, kader desa melalui berbagai cara seperti pencetakan brosur, leaflet , spanduk, sosialisasi melalui berbagai media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal.

8. Pertemuan koordinasi untuk meningkatkan koordinasi dengan seluruh instansi terkait khususnya dengan Departemen Kesehatan beserta jajarannya sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas khususnya apabila dicurigai adanya kasus penularan pada manusia


BAB IV.
SIMPULAN

Antraks merupakan penyakit zoonosis yang mudah menular. Spora Bacillus anthracis mempunyai kemampuan daya tahan hidup yang tinggi. Penyakit ini telah berulangkali mewabah di Cina, sehingga hewan dan produk hewan asal Cina perlu mendapatkan pengawasan dan perlakuan sebagaimana hewan dan produk hewan yang berasal dari daerah wabah. Pengendalian antrak didasarkan kepada asas pewilayahan atau zoning, dan dilaksanakan berdasarkan langkah-langkah operasional strategis.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous,, 2015. English News: Cattle Anthrax Outbreak Reported In NE China. News.xinhuanet. com; Shenyang.

Naipospos Satyaputri, 2005. Pembagian wilayah penyakit Antraks.

Sheng S, Shi Zhiyan.1999. NG, NAOMI. 2015. At Least 11 People Infected With Anthrax in Northwestern China.

OIE (OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES), 2000 . Anthrax. In: Manual of Standards Diagnostic and Vaccines, World Health Organization.

WHO (World Health Organization), 1998. Guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and animals, 3`d Ed. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response.

Sheng S, Shi Zhiyan,1999. The Disease Daily: Outbreak of Cutaneous Anthrax in Liaoning, China.

Sheng S, Shi Zhiyan.1999. Chinese Times: Kasus Anthrax Dikonfirmasi di Cina.

Siregar, E .A. 2002 . (Departemen Kesehatan 2003) Antraks : Sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium Sehari Penyakit Antraks: Antraks di Indonesia, Masa Lain, Masa Kim dan Masa Depan. Balitvet, Bogor.

Todar. 2002. Penyaki enzootik hampir semua negara Afrika dan Asia, beberapa negara di Eropa (Inggris, Jerman dan Italia), beberapa negara bagian Amerika Serikat (Dakota utara, Nebraska, Louisiana, Arkansas, Texas, Misissipi dan California) beberapa daerah di Australia (Victoria dan New South Wales) (WHO, 1998.

Parkinson et al., 2003.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: