Angka konsumsi daging per hari setiap orang bertambah dari tahun ke tahun di Indonesia. Untuk itu perlu di sediakan daging sapi yang sehat dan baik bagi mereka yang mengkonsumsinya. Berikut adalah karya tulis ilmiah mengenai cemaran daging sapi karya siswa Pelatihan Dasar calon Paramedik Veteriner Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian 2015
******
CEMARAN
KIMIA PADA DAGING SAPI
Oleh:
Akhmadi
Khoiri, I Made Agus Susilo, Septifani Larentina,A.Md, Sukiman Kimalaha, A.Md,
Triyanto, Wawan Susilo.
Abstrak
Cemaran
adalah bahan yang tidak dikehendaki ada dalam produk baik tumbuhan maupun
hewan yang mungkin berasal dari
lingkungan atau sebagai akibat proses produksi ,mulai dari proeses pra produksi
sampai pada pasca produksi. Cemaran terdiri dari cemaran fisik, kimia ,dan
biologi. Cemaran kimia merupakan cemaran yang di akibatkan adanya kandungan bahan
kimia yang bersifat toksit yang berasal dari akibat penggunaan obat, pestisida,
bahan kimia lainnya. Daging sapi umumnya dihasilkan dari sapi potong yang
didesain sedemikian rupa sehingga pertumbuhan bobot badan dipercepat untuk
menghasilkan daging dengan waktu yang relatife singkat. Kecenderungan masyarakat pada umumnya pada
saat proses pemeliharaan ternak penggunaan obat hewan dalam upaya pencegahan
penyakit dan peningkatan percepatan bobot badan pada sapi potong yang tidak
terkontrol inilah yang menjadi salah satu penyebab tercemarnya
produk hewan yang dihasilkan contohnya daging sapi.Dalam proses produksi kadang
ada yang menambahkan bahan kimia seperti pengawet makanan ini juga dapat menurunkan kualitas atau tidak layak konsumsi
dan tidak sesuai dengan kaidah kesehatan masyarakat veteriner.
Kata
kunci : cemaran, cemaran kimia, daging sapi, proses tercemarnya.
******
PRAKATA
Indonesia
merupakan salah satu negara importir
daging sapi dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pangan nasional. Daging sapi merupakan salah satu media pembawa
penyakit baik secara langsung atau tidak langsung,secara langsung biasanya
disebabkan adanya agen penyakit hewan yang menular dari daging tersebut yang
terkontaminasi oleh mikroorganisme yang mampu bertahan dalam daging sapi.Secara
tidak langsung penyakit juga dapat diakibatkan adanya residu atau cemaran bahan
kimia berbahaya yang terkandung dalam produk hewan.
Cemaran
kimiawi biasanya jarang diperhatikan karena mungkin efek yang tampak atau
gejala yang terlihat membutuhkan akumulasi waktu yang lama sehingga menimbulkan
gangguan fungsi organ atau adanya timbul alergi,resistensi antibiotika, bahkan
adanya gangguan psikologis / fisiologis.Dengan keadaan demikian perlu dilakukan
pengawasan yang ketat dalam rangka pengontrolan penggunaan obat, pestisida ,
hormon pertumbuhan lainnya yang berlebihan.
Harapan
penulis semoga dengan tulisan ini memberikan tambahan informasi dan masukan
kepada pemerintah terutama yang membidangi
dalam hal pengawasan penggunaan obat hewan dan sebagainya . Kami sadar
masih banyak kekurangan, kesalahan dan ketidak sempurnaan dalam tulisan ini.
Untuk itu besar harapan penulis masukan dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan tulisan ini. semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Jakarta, November 2014
Penulis
******
BAB
I.
PENDAHULUAN
Daging
merupakan sumber giziutama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun,
daging akanmenjadi tidak berguna dan membahayakankesehatan apabila tidak aman.
Oleh karenaitu, keamanan pangan asal ternak bagi manusia merupakan persyaratan
mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kepanikan masyarakat akibat kasus
penyakit sapi gila (mad cow) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya pada
akhir tahun1990-an, cemaran dioksin pada daging di Belgia dan Belanda pada
tahun1999, dan kasus penyakit antraks pada domba dan kambing di Bogor pada
tahun 2001, menggambarkan betapa pentingnya masalah keamanan pangan asal ternak
karena tidak hanya berdampak terhadap kesehatan manusia, tetapi juga
padaperdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat
dalam perdagangan tersebut (Darminto dan Bahri1996; Putro 1999; Sitepu 2000;
Noor et al.2001).
Pada
akhir tahun 1960-an, perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai cemaran
senyawa asing (xenobiotics) pada bahan pangan asal ternak masih sangat
sedikit.Pada saat itu perhatian masyarakat masih terpusat pada masalah
cemaranpestisidapada buah dan sayuran. Baru setelah terungkapnya senyawa
pestisida DDT,dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-obatan lain pada daging,
upaya untuk mengawasi pangan asal ternak mulai mendapat perhatian khusus (Bahri
1994).
Di
Indonesia, data keberadaan berbagai cemaran obat hewan, terutama golongan
antibiotik, sulfa, pestisida, mikotoksin,dan hormon pada susu, daging, dan
telurtelah banyak dilaporkan (Sudarwanto1990; Bahri et al. 1992a, 1992b,
1994a;Sudarwanto et al. 1992; Maryam et al. 1995;Darsono 1996; Biyatmoko 1997;
Dewi etal. 1997; Widiastuti 2000). Demikian pula cemaran kuman Salmonella pada
berbagai komoditas ternak di Indonesia (Sri-Poernomo dan Bahri 1998).
Untuk
mendapatkan daging yang aman perlu melalui proses yangpanjang, dimulai dari
farm (proses pra-produksi) sampai dengan pascaproduksi.Dalam hal ini,
faktor-faktor penting yangberkaitan dengan keamanan pangan asalternak terdapat
pada setiap mata rantaiproses tersebut.
BAB
II.
MATERI
DAN METODE
Tulisan
tentang Proses Cemaran Kimia pada Daging
Sapi disusun dari literatur yang terkait dan sesuai, baik buku maupun melalui
tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan artikel yang berkaitan.
BAB
III.
PEMBAHASAN
A. Cemaran
Kimia
Bahaya
atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi
pada setiap mata rantai, mulai dari praproduksi di produsen, pascaproduksi
sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya
tersebut meliputi cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik
lainnya.Cemaran kimiawi pada daging, susu, dan telur dapat terjadi akibat
penggunaan obat-obatan, bahan aditif, serta cemaran senyawa kimia dan toksin
pada pakan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada daging, telur, dan susu ditemukan residu obat
seperti antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamida . Umumnya golongan
tetrasiklin lebih banyak ditemukan dengan kandungan yang cukup tinggi.
Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan
menyebabkan daging dan susu tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan
reaksi alergis,keracunan, resistensi mikroba tertentu ataugangguan fisiologis
pada manusia.
B. Faktor
Terjadinya Cemaran Kimia
Kualitas
telur, daging, dan susu sangat dipengaruhi oleh proses yang menyertai
penyediaan pangan asal ternak tersebut.Paling sedikit ada tiga proses utama
yang merupakan mata rantai penyediaan produk peternakan, yaitu: (1) proses
praproduksi;(2) proses produksi; dan (3) proses pasca-produksi .
1. Proses
Praproduksi
Proses
praproduksi penyediaan bahan pangan asal ternak meliputi budi daya di farm
(peternakan) atau produsen. Pada tahap ini terdapat berbagai faktor dominan
yang menentukan kualitas akhir produk ternak, yaitu:
(1)
pakan atau bahan pakan;
(2)
bahan kimia seperti pestisida dan desinfektan;
(3)
obat hewan;
(4)
status penyakit hewan menular; dan
(5)
sistem manajemen yang diterapkan.
Kelima
faktor tersebut memegang peranan penting dalam menghasilkan produk ternak yang
bermutudan aman dikonsumsi. Pakan dan bahan pakan memegang peranan terpenting
atau kritis dalam sistem keamanan pangan asal ternak. Pakan yang tercemar bahan
kimua akan berinteraksi dengan jaringan/organ di dalam tubuh ternak. Apabila
cemaran senyawatoksik tersebut kadarnya cukup tinggi maka dengan cepat akan
mematikan ternak.Dalam jumlah kecil, cemaran tidak menimbulkan efek langsung,
tetapi akan terus berada di dalam tubuh. Di dalam tubuh, sebagian senyawa
kimia/toksik akan dimetabolisme menjadi senyawa metabolit yang kurang toksik
dan sebagian lebih toksik daripada senyawa induknya.
Senyawa
induk maupun metabolit sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni
dan feses, tetapi sebagian lagi tetap tersimpan dalam jaringan/organ tubuh yang
selanjutnya disebut sebagai residu. Apabila pakan yang dikonsumsi ternak
terkontaminasi senyawa kimia/toksik maupun obat hewan maka residu dari senyawa
kimia atau obat tersebut akan terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh dengan
konsentrasi yang bervariasi. Hal ini dapat dipahami sesuai dengan teoriproses
farmakokinetik obat seperti yang dijelaskan Setiawati et al. (1987) . Dengan
demikian, senyawa kimia/toksik atau obat hewan yang semula hanya terdapat pada
bahan pakan atau ransum ternak, kini menyatu dengan produk ternak (daging sapi)
sehingga membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.
Penggunaan
obat hewan untuk keperluan pengobatan, pencegahan penyakit maupun sebagai pakan
tambahan tidak dapat dihindari pada proses praproduksi ternak. Bahkan sering
kali penggunaan obat hewan merupakan keharusan untuk mempertahankan atau
meningkatkan produktivitas ternak. Obat hewan berupa antibiotik umumnya
digunakan untukmengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Namun,
antibiotik juga sering diberikan untuk memperbaiki penampilan ternak, memacu
pertumbuhan,serta meningkatkan reproduksi dan efisiensi penggunaan pakan (Bell
1986).Untuk memacu pertumbuhan kadang-kadang juga digunakan hormon
trenbolonasetat seperti pada sapi potong di Australia.
2. Proses
Produksi
Proses
produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi
pada tempat pemotongan, yaitu dirumah potong hewan untuk daging sapi. Oleh
karena itu, proses produksi daging sejak pemotongan sampai siap santap
merupakan proses yang panjang dan terdapat beberapa titik kritis bagi keamanan
bahan pangan tersebut. Hal ini karena adanya ancaman kontaminasi pada daging
karena lingkungan yang kurang higienis dan sanitasi yang kurang baik, serta
tidak terlindunginya daging oleh pembungkus apapun. Ancaman tersebut dapat
berupa kontaminasi mikroba, bahan kimia berbahaya dan beracun, dan pengaruh
fisik lain yang dapat mengganggu dan
membahayakan kesehatan manusia.
Pemeriksaan
Antemortum sesuai dengan peraturan yang berlaku, hewan yang akan dipotong antara
lain harus bebas penyakit menular serta telah melalui pemeriksaan laboratorium
bila perlu, dan pemantauan terhadap penggunaan antibiotik serta obat-obatan
lain dalam pakan. Bila hal ini dilaksanakan maka produk ternak akan terjamin
keamanannya.
Pemeriksaan
Postmortum. Setelah pemeriksaan antemortum, pada proses penyembelihan harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan postmortum untuk mengamati kemungkinan adanya
kelainan pada organ/ jaringan tubuh akibat penyakit yang belum dapat teramati
pada pemeriksaan antemortum. Pemeriksaan yang lebih detail diperlukan seperti
untuk keperluan ekspor, meliputi pemeriksaan kandungan mikrobiologis, residu
bahan hayati, bahan kimia,logam berat, antibiotik, hormon dan obat-obatan lain.
Daging unggas yang mengandung residu bahan kimia, logam berat,antibiotik,
hormon, dan obat lain dengan kadar di atas batas ambang dilarang untuk
diedarkan/dikonsumsi. Ditemukannya berbagai residu obat hewan dan hormon pada
produk peternakan oleh Balitvet(1990), Sudarwanto (1990), Bahri et al(1992a,
1992b), Darsono (1996), Dewi et al.(1997), dan Widiastuti (2000) menunjukkan
bahwa pengawasan residu pada pemeriksaan postmortum belum berjalan sebagaimana
mestinya.
3. Proses
Pascaproduksi
Untuk
melindungi kosumen dari bahaya cemaran mikroba dan residu dalam produk ternak,
telah dibentuk tim penyusun ambang batas cemaran mikroba dan residu dalam bahan
makanan asal ternak dengan harapan Indonesia memiliki standar ambang batas
cemaran sendiri. Pada tahun1996 dikeluarkan Keputusan BersamaMenteri Kesehatan
dan Menteri Pertanian tentang Batas Maksimum Residu Pestisidapada Hasil
Pertanian. Kemudian pada tahun 2000 terbit SNI No.01-6366-2000 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal
Hewan.
Penetapan
batas maksimum cemaran mikroba dan residu dalam bahan makanan asal ternak yang
tertuang dalam SNI bertujuan untuk:
(1)
memberikan perlindungankepada konsumen dan masyarakat terutama dalam aspek
keamanan dan ke-sehatan;
(2)
mewujudkan jaminan mutubahan makanan asal hewan; dan
(3)
mendukung perkembangan agroindustri danagribisnis.
SNI
tersebut memuat sembilanjenis cemaran mikroba pada daging susudan telur, serta
314 jenis residu yang meliputi pestisida, logam berat, antibiotik,hormon, serta
obat-obatan dan bahankimia lainnya
C. Permasalahan
dan Strategi Pengamanan
Keberadaan
berbagai residu antibiotik, sulfonamida, hormon, pestisida, logamberat, dan
mikotoksin pada produk ternakdi Indonesia menggambarkan adanyapermasalahan pada
proses praproduksidan pascaproduksi, terutama pengawasandan penerapan peraturan
yang belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Permasalahan
pada proses praproduksi merupakan penyebab utama keberadaanberbagai residu
tersebut. Pada umumnya peternak kurang memahami bahaya residudan waktu henti
obat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang ketat dalam pemakaian
obat hewan pada pakan, baik pada produsen pakan maupun penggunaannya oleh peternak
/farm. Selain itu, secara terus menerus perlu diupayakan peningkatan
pengetahuan peternak dalampenggunaan obat hewan dan sanitasi lingkungan usaha
agar produk ternak yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi.
Pengujian
residu pada produk ternak di Indonesia belum banyak dilakukan, baikoleh
laboratorium yang berwenang maupunlaboratorium lembaga penelitian,
terutamaterhadap residu mikotoksin, pestisida, danhormon karena keterbatasan
dana dan kemampuan, terutama SDM dan fasilitas.Apabila pengujian dilakukan
secara ter-atur tidak tertutup kemungkinan akan di-peroleh kandungan residu
yang melampaui batas maksimum yang diperbolehkan. Permasalahan ini perlu
diupayakan pemecahannya dengan meningkatkan kemampuan institusi /laboratorium
pengujiatau memberdayakan laboratorium yangsudah teruji /terakreditasi.
Upaya
lain untuk mengatasi masalah residu pada produk ternak adalah perlunyadibentuk
tim untuk merencanakan programnasional monitoring/surveilans residu se-cara
terkoordinasi. Program ini mencakupbimbingan dengan memberikan informasi balik,
baik kepada pemerintah maupunpeternak. Untuk memudahkan pemeriksaan residu,
terutama untuk keperluanekspor, harus ada data dari perusahaanpeternakan
mengenai jenis obat yang di-berikan kepada ternak selama proses praproduksi
sehingga pemeriksaan residu lebih terarah dan efisien. Pada tahap awal (jangka
pendek), pengawasan residu lebih diarahkan kepada obat bahan kimia yang
mendapat perhatian dari negara pengimpor, selain obat atau senyawa yang banyak
digunakan di Indonesia serta yangbatas toleransinya harus nol.
Keamanan
pangan dimulai sejak ternak dipelihara di peternakan/peternak. Olehkarena itu,
keamanan dan kualitas ternakserta produknya sangat bergantung padakeamanan
pakan dan sumber-sumber pa-kan, air, serta lingkungan. Produk ternakrelatif
aman dikonsumsi bila dalam prosespraproduksi dilakukan hal-hal berikut:
(1)pengontrolan
penyakit secara biologisdengan menghindari penggunaan bahan-bahan
kimia/obat-obatan berbahaya se-cara berlebihan;
(2)
penggunaan pakan bebas dari cemaran mikrobiologis, bahankimia, dan bahan
berbahaya lainnya.
Sesungguhnya
strategi utama untuk menjamin produk pangan asal ternak berkualitas dan aman
dikonsumsi adalah dengan menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan berupa
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) padasetiap mata rantai proses
penyediaan pangan asal ternak. Analisis risiko perlu diterapkan pada bahan
pangan asal ternak yang akan diimpor dari negara negara yang dicurigai tertular
atau tercemar penyakit hewan tertentu.
BAB
IV.
PENUTUP
Hampir
semua ransum ternak komersial mengandung obat hewan, terutama go-longan
antibiotik, tetapi tidak semua per-usahaan pakan mencantumkan
penjelasanpenggunaannya. Dengan kondisi peternakyang umumnya kurang mengetahui
waktuhenti obat dan bahaya yang ditimbulkanmaka berbagai residu obat hewan
dapatdijumpai pada produk ternak.
Pengawasan
mutu pakan yang beredar perlu ditingkatkan, termasuk terhadap obathewan yang
dicampur dalam ransumternak. Demikian pula pemakaian obat hewan yang diberikan
langsung kepada ternak perlu diawasi, baik untuk pengobatan maupun pencegahan.
Pengujian
residu pada produk peternakan baru dilakukan pada residu obat hewan tertentu.
Residu aflatoksin dan senyawa kimia lain belum mendapat perhatian, padahal di
lapangan cukup banyak terjadi cemaran aflatoksin padapakan. SNI tentang pakan
juga mencan-tumkan bahwa kadar aflatoksin merupakansalah satu persyaratan mutu
yang perludiuji. Demikian pula pengujian residu pestisida, logam berat, hormon,
dan senyawa-senyawa kimia lainnya belum banyak dilakukan.
Lembaga
pengujian residu perlu ditingkatkan peran dan kemampuannya dengan meningkatkan
SDM, fasilitas, dansarana laboratorium sehingga laborato-rium dapat menjalankan
fungsinya secaraprofesional. Pada masa mendatang mung-kin diperlukan
laboratorium pengujiswasta lain yang memenuhi standar, ter-akreditasi, dan
profesional
Sampai
saat ini belum ada peraturan yang mengharuskan importir dan atauprodusen produk
ternak memeriksakanproduk yang akan diedarkan di Indonesia terhadap cemaran
mikroba dan berbagairesidu, sehingga menyulitkan petugasberwenang dalam mengawasi
keamananproduk-produk tersebut untuk dikon-sumsi. Oleh karena itu, perlu dibuat
per-aturan agar produk ternak yang beredar diIndonesia, terutama yang diimpor,
melam-pirkan hasil uji terhadap cemaran mikrobadan residu yang dikeluarkan oleh
labo-ratorium yang terakreditasi. Hal ini sesuaipula dengan SNI tentang batas
maksimumcemaran dan residu.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous.
1999. Outbreak of Hendra-like virus in Malaysia andSingapore1998-1999. Centre
for Disease Controland Prevention (CDC) 8(13): 265-269.
Bahri,
S., P. Zahari, R. Maryam, dan Ng.Ginting. 1991. Residuaflatoksin M1
padasususapiasalbeberapadaerah di JawaBarat. MakalahdisajikanpadaKongresXI
danKonferensiIlmiahNasional VPDHI, Yogyakarta,11-13 Juli 1991.
Bahri,S.,
R. Maryam, Yuningsih, dan T.B.Murdiati.1992a. Residu Tetrasiklin, Khlortetrasiklin
dan Oksitetrasiklin pada Susu Segar asal Beberapa DAT III di Jawa Tengah. Laporan
Intern BalaiPenelitianVeteriner, Bogor.
Bahri,
S., T.B. Murdiati, R. Maryam, dan Yuningsih. 1992b. Senyawa GolonganTetrasiklin
pada Susu Sapi Rakyat diBeberapa Desa Kabupaten Pasuruan,Jawa Timur. Laporan
Intern BalaiPenelitian Veteriner, Bogor.
Bahri,
S. 1994. Residu obat hewan pada produk ternak dan upaya pengamanan-nya.
Kumpulan makalah LokakaryaObat Hewan. Asosiasi Obat HewanIndonesia (ASOHI),
Jakarta, 16-18November 1994.
Balitvet.
1990. Residu pestisida, hormon, antibiotika, dan standarisasi kualitasbroiler
untuk ekspor. Laporan Peneli-tian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Dewi,
A.A.S., N.L.P. Agustini, dan D.M.N. Dharma. 1997. Survei residu obat pre-parat
sulfa pada daging dan telur ayamdi Bali. Buletin Veteriner 10(51): 9-14
Herrick,
J.B. 1993. Food for thought for food animal veterinarians. Violativedrug
residues. JAVMA 03: 1122-1123.
INIANSREDEF.
1999. Case Study on Quality Control of Livestock Productsin Indonesia.
Indonesia InternationalAnimal Science Research and Deve-lopment Foundation
(INIANSREDEF).Report prepared for Japan Internatio-nal Cooperation Agency
(JICA)
Maryam,
R., Indraningsih, Yuningsih, T.B. Sastrawihana, dan I. Noor. 1994. Residu
aflatoksin dan pestisida pada bahan pangan asal ternak. Laporan Penelitian.
Balai Penelitian Veteriner, Bogor
Murdiati,T.B.,
Indaningsih, and S. Bahri. 1998. Contamination at animal productsby pesticides
and antibiotics. InI.R.Kennedy, J.H. Skerritt, G.I. Johnson,and E. Highley
(Eds.). SeekingAgri-cultural Produce Free of Pesticide Resi-dues. ACIAR
Proceedings No. 85: 115-121.
Widiastuti,
R., T.B. Murdiati, Indraningsih, Yuningsih, dan Darmono. 1999. Residu antibiotika
dan hormon pertumbuhandalam produk peternakan. LaporanPenelitian. Balai
Penelitian Veteriner,Bogor.
Widiastuti,
R. 2000. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisio-nal dan
swalayan di Jawa Barat. hlm.609-613. Prosiding Seminar NasionalPeternakan dan
Veteriner, Bogor, 18-19 Oktober 1999. Pusat Penelitian danPengembangan
Peternakan, Bogor.
******