FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA EMERGING ZOONOSES

Emerging disease atau Penyakit yang baru muncul, banyak disebabkan oleh agen patogen yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Emerging disease telah menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Pencegahan dan pengendaliannya adalah pada sumber penularan.

******


FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA EMERGING ZOONOSES

Oleh:
Drh. Dede Sri Wahyuni, MSi,  Medik Veteriner Muda,
 Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Hewani, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian


ABSTRAK

Penyakit yang baru muncul (emerging disease) banyak disebabkan oleh agen patogen yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Emerging disease telah menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Faktor utama kemunculannya yaitu (1) faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4) faktor sosial, politik, dan ekonomi. Penyebaran emerging disease dipengaruhi oleh perubahan demografi dan perilaku manusia, perubahan lingkungan dan penggunaan lahan, gangguan kesehatan masyarakat, perubahan teknologi industri, perjalanan internasional dan perdagangan, serta adaptasi dan perubahan mikroba. Strategi pencegahan dan pengendalian diutamakan pada sumber penularan; penguatan koordinasi lintas sektor dan evaluasi pelaksanaan kebijakan strategi dan program perencanaan terpadu melalui surveilans, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus penanggulangan wabah dan pandemi; penguatan perlindungan wilayah yang bebas emerging disease; peningkatan perlindungan masyarakat; penguatan kapasitas sumber daya manusia; penguatan penelitian emerging disease; serta pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Kata kunci: emerging zoonoses, kesehatan masyarakat, pencegahan penyakit, pengendalian penyakit.
******

PRAKATA

Emerging zoonoses menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia karena dapat berkembang luas secara geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke induk semang lainnya, meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, dan mengalami perubahan patogenesis. Emerging zoonoses telah menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.

Kemunculan emerging zoonoses dipicu oleh empat faktor utama, yakni (1) faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4) faktor sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian besar faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko antropogenik atau berasal dari manusia. Penyebaran emerging zoonoses dipengaruhi oleh perubahan demografi dan perilaku manusia, perubahan lingkungan dan penggunaan lahan, gangguan kesehatan masyarakat, perubahan teknologi industri, perjalanan internasional dan perdagangan, serta adaptasi dan perubahan mikroba.

Harapan penulis semoga dengan tulisan ini memberikan tambahan informasi dan masukan kepada pemerintah terutama Badan Karantina serta semoga dapat diaplikasikan sehingga bisa membantu petugas di lapangan. Penulis sadar masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini. Untuk itu besar harapan penulis masukan dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.

Jakarta,   Juli 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir, penyakit yang baru muncul (emerging disease/ED) dan baru muncul kembali (re-emerging disease/RED) banyak disebabkan oleh agen patogen yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Berbagai macam spesies hewan domestik dan hewan liar, bertindak sebagai reservoir untuk agen patogen, seperti virus, bakteri maupun parasit (Meslin et al. 2000). Wabah baru yang disebabkan oleh patogen zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia) terjadi hampir setiap tahun dengan dampak serius terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global (Daszak et al. 2004). 

Penyakit-penyakit menular baru muncul sekitar 60.3% bersifat zoonosis, dengan mayoritas (71.8%) berasal dari satwa liar (Jones et al. 2008). Jones et al. (2008) juga menemukan bahwa 54.3% dari ED disebabkan oleh bakteri atau rickettsia.

Menurut Jones et al. (2008), sebanyak 335 penyakit menular pada manusia muncul antara tahun 1940 dan 2004 dengan kejadian tertinggi saat terjadi pandemi HIV. Menurut Taylor et al. (2001), sebanyak 1.415 jenis organisme penyebab penyakit pada manusia yang telah diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri atas 217 virus dan prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, serta 287 cacing. Sekitar 868 (61%) dari organisme tersebut bersifat zoonotik dan 175 jenis di antaranya terkait emerging infectious disease (EID) dan re-emerging infectious disease (REID), dengan 132 (75%) adalah patogen zoonotik. Menurut Woolhouse (2002) dan Zowghi et al. (2008), sejak tahun 1973 telah dilakukan identifikasi patogen yang menjadi penyebab utama penyakit menular pada manusia. Woolhouse (2002) menjabarkan bahwa beberapa patogen penyakit tersebut termasuk dalam patogen yang menyebabkan EID, seperti HIV, virus Ebola, dan prion new variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD).

Kemunculan dan penyebaran emerging zoonoses (EZ) dan re-emerging zoonoses (REZ) bersumber satwa liar dipicu oleh (1) peningkatan permintaan protein hewani sehingga menyebabkan perubahan praktik pertanian (misalnya produksi perunggasan di Asia), pasar hewan, konsumsi daging satwa liar (bushmeat), perdagangan global, serta gangguan habitat satwa (misalnya pelanggaran batas hutan); (2) perubahan perilaku manusia, seperti besarnya kesempatan kepemilikan dan perpindahan hewan kesayangan, perjalanan melalui udara, ekoturisme, perburuan, perkemahan (camping), pilihan makanan (misalnya makanan asal satwa liar), demografi, serta tingkat ketaatan melaksanakan tindakan pencegahan; (3) kekurangan infrastruktur dan kebijakan pada kesehatan masyarakat akibat kurangnya integrasi surveilans kesehatan hewan, pendanaan sektor kesehatan masyarakat, serta kurangnya pendanaan bagi penelitian dan pembangunan keahlian dalam menjawab permasalahan kesehatan masyarakat; dan (4) faktor terkait agen penyebab penyakit, seperti adaptasi ke vektor dan inang baru, mutasi dan rekombinasi di manusia dan hewan setelah terpapar banyak pathogen (misalnya foodborne virus dan virus influenza), serta perkembangan peningkatan virulensi atau resistensi terhadap obat (WHO/FAO/OIE 2004). Ruminansia, karnivora, rodensia, burung, dan primata merupakan lima kategori hewan utama penular penyakit ke manusia (Roche dan Guégan 2011).

Tujuan

Tulisan ini untuk membahas mengenai jenis-jenis penyakit zoonoosis baru muncul (emerging zoonoses) serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculannya.

BAB II
PEMBAHASAN

Emerging Zoonoses Akibat Introduksi Hewan

Jumlah dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat besar dan terdistribusi pada habitat dan ekologi yang berbeda-beda. Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis. Kecenderungan penyusutan keanekaragaman hayati disebabkan oleh penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan introduksi spesies asing invasif (invasive alien species).

Zoonosis merupakan penyakit yang sudah terjadi sejak lama. Contohnya adalah wabah plague yang terjadi di zaman Mesir kuno, rabies pada masa peradaban Mesopotamia awal tahun 2300 SM yang terjadi akibat perburuan anjing liar (Kruse et al. 2004), dan kematian 90% populasi kerbau dan satwa liar di Kenya akibat pemasukan sapi asal India yang terinfeksi rinderpest (Gummow 2010). Kewaspadaan masyarakat dunia terhadap emerging zoonoses dan re-emerging zoonoses terutama yang bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan.

Pergerakan agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa liar tidak hanya berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan satwa liar asli. Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang gunung di Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa liar masih menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan memerlukan biaya yang tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia, hewan domestik, satwa liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan satwa liar untuk produk tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya satwa liar di beberapa area seluruh dunia.

Contoh Emerging Zoonoses Akibat Perpindahan Hewan

Beberapa contoh dari emerging zoonoses yang memberikan dampak yang besar dan perubahan penyakit yang tidak dapat diprediksi.

1. Virus Ebola
Ebola virus adalah prototipe emerging zoonoses. Sehubungan dengan jumlah kasus dan tingkat penularan penyakit, kasus Ebola memang jarang terjadi. Namun karena kasusnya terus meningkat dan menyebabkan tingkat mortilitas yang tinggi, Ebola dikategorikan sebagai salah satu emerging zoonoses yang paling terkenal. Penyakit ini telah banyak meningkatkan kesadaran publik sehingga meningkatkan tingkat pendanaan, daripada penyakit emerging zoonoses lain (Leroy et al. 2004).

Tahun 1976, Virus Ebola pertama kali diidentifikasi di provinsi sebelah barat negara Sudan serta wilayah Zaire (sekarang Kongo). Virus Ebola ini pertama kali teridentifikasi setelah terjadi endemik penyakit di wilayah Yambuki, Kongo, dan Nzara dan Sudan. Tahun 2000, terdapat 425 orang di Uganda terinfeksi serta lebih dari separuhnya meninggal dunia. Mei 2011, anak perempuan berumur 12 tahun di Uganda meninggal dunia karena Virus Ebola. Juli 2012 terdapat 20 orang yang diduga terinfeksi virus ebola di Uganda serta 13 orang dari mereka meninggal dunia. Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampai 31 Agustus 2014 sebanyak 3.685 (dicurigai) kasus dengan 1.841 meninggal dunia telah di Guinea, Liberia dan Sierra Leone karena wabah virus Ebola (WHO 2014).

Studi yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, virus ini memiliki angka kematian sebesar 90%. Virus umumnya berkembang di desa-desa terpencil di Afrika Tengah dan Barat. Virus diyakini berasal dari hewan liar yang menular ke manusia. Hewan yang dianggap sebagai inang alaminya adalah kelelawar buah dari family Pteropodidae. Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang dapat mencegah penyebaran penyakit ini.

2.Hantavirus
Beberapa tahun terakhir, penyakit infeksi emerging dan re-emerging zoonoses mendapat perhatian yang serius baik secara global maupun pada tingkat nasional. Salah satu contoh penyakit yang perlu diantisipasi adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Hantavirus. Walaupun penyakit ini terjadi sejak perang Korea sekitar tahun 1951, tetapi secara laboratorik penyakit ini mulai dilaporkan sejak tahun 1976. Penyakit yang disebabkan oleh Hantavirus yang ditularkan lewat udara yang tercemar oleh kotoran rodensia ini merupakan satu hal yang perlu diantisipasi, walaupun dari laporan penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia penyakit ini relatif masih endemik pada reservoirnya saja, sedangkan penularan pada manusia masih sangat kecil, kurang dari 10%.

Hantavirus adalah suatu virus RNA yang tenmasuk dalam famili Bunyaviridae, yang merupakan genom, yaitu berupa 3 segmen ssRNA yang bersifat negatif sens. Genom terdiri atas small segmen (S), medium segmen (M) dan large segmen (L). Segnen S (1,7-2,0 kb) mengkode protein nukleokapsid (N), segmen M (3,6 kb) mengkode protein prekusor glikoprotein dari dua glioprotein virus (G 1 dan G2) dan segmen L (6,5 kb) mengkode enzim RNA polymerase (Morzunov et al. 1998). Selama 5 tahun telah dikenal 20 spesies Hantavirus yang berbeda (Rawling et al. 1996). Anggota Hantavirus dapat dibedakan menjadi 3 kelompok bcrdasarkan penyakit yang ditimbulkannya. Pertama kelompok yang menyebabkan Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS). Kedua kelompok yang menyebabkan Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS) dan ketiga yang tidak menimbulkan penyakit pada manusia (Morzunov et al. 1998).

Berbeda dengan anggota Bunyaviridae yang lain, Hantavirus (HTV) merupakan virus yang tidak memilih vektor yang menularkan HTV diantara populasi rodensia. HTV diketahui merupakan penyebab HFRS dan HPS. Beberapa subtype Hantavirus yang lain seperti: Hantaanvirus (HTNV), Dobrava dan Seoul virus (SEOV) merupakan penyebab HFRS sedang dan berat di kawasan Asia, sedanghan Puumala virus merupakan penyebab HFRS ringan di kawasan Skandinavia dan Eropa. Subtipe virus Sin Nombre merupakan penyebab HPS di Amerika Utara dan Andes virus (ANDV) merupakan penyebab HPS di kawasan Amerika Selatan, Argentina dan Chili (Tai et al. 2005).

3. Penyakit Nipah
Penyakit Nipah sering disebut sebagai Porcine Respiratory and Neurological Syndrome, Porcine Respiratory and Encephalitis Syndrome (PRES) atau Barking Pig Syndrome (BPS) (Nordin dan Ong 1999). Sebutan lain adalah one mile cough (karena suara batuk hewan penderita yang sangat keras). Penyakit ini disebabkan oleh virus Nipah, yang merupakan virus ribonuclei acid (RNA), dan termasuk dalam Genus Morbilivirus, famili Paramyxoviridae (Wang et al. 2000). Virus Nipah mempunyai amplop dan berdiameter antara 160 nm hingga 300 nm. Virus ini tidak tahan terhadap bahan pelarut lemak, seperti eter, formalin, (3-propiolakton) dan detergen. Selain itu, virus Nipah tidak tahan terhadap pH asam serta pemanasan pada suhu 56°C selama lebih dari satu jam. Namun demikian, virus ini sangat stabil pada kondisi suhu -70°C, dan pada pH 7,0-8,0 (Chua et al. 1999). Hewan rentan Virus Nipah diketahui dapat menginfeksi ternak babi, kuda, kucing, anjing, kelelawar buah (genus Pteropus), kambing, burung dan tikus. Namun demikian, gejala klinis penyakit hanya akan terlihat dengan jelas pada hewan babi (Daniels et al. 1999; Nordin dan Ong 1999).

Hingga saat ini, infeksi virus Nipah baru ditemukan di negara Malaysia dan Singapura. Namun, kasus tersebut sudah mulai mereda, bahkan Malaysia dan Singapura sudah dapat dinyatakan bebas kembali. Beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya suatu kasus penyakit diantaranya adalah terjadinya perubahan ekologi, di mana habitat hewan dan kelelawar semakin sempit sehingga bermigrasi ke tempat yang banyak menyediakan makanan. Ekskresi yang dikeluarkan oleh kelelawar mungkin mengandung agen infeksius seperti Nipah yang bila terkena hewan lain yang sensitif, seperti babi, akan menimbulkan wabah seperti yang terjadi di Malaysia. Morse (1995) mengemukakan beberapa faktor lain yang ikut berperan dalam kejadian dan penyebaran penyakit diantaranya adalah adanya perubahan dalam kepadatan penduduk (human demography) dan kebiasaan manusia, kemajuan dalam teknologi dan industri, mutasi dan adaptasi mikroba, dan pelanggaran rambu-rambu standar kesehatan masyarakat.

4. Penyakit Rift Valley Fever (RVF)
Penyakit rift valley fever (RVF) adalah penyakit viral yang menyerang hewan maupun manusia yang disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus dari famili Bunyaviridae. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 pada kejadian epidemic disuatu peternakan di Rift Valley di Kenya. Penyakit ini utamanya ditularkan kepada hewan dan manusia oleh nyamuk Aedes spp., dan dapat menyebabkan penyakit yang serius yang ditandai dengan tingginya kejadian keguguran dan bias mengakibatkan kematian. Manusia bisa tertular apabila berada pada lokasi tersebut dan terkena gigitan nyamuk yang mengandung virus RVF. Biasanya kasus pada manusia umumnya ringan tetapi pada beberapa individu peka dapat menimbulkan gejala penyakit yang berat.

Penyakit RVF terus menyebar di Afrika Utara sehingga terjadi di Mesir pada ahir tahun 1977 dimana terjadi epizootik yang dramatis yang menyebabkan 600 orang meninggal dan lebih dari 60.000 orang memperlihatkan gejala klinis yang berat (Meegan et al. 1979). Kemudian pada tahun 2000 kasus penyakit RVF terjadi di Saudi Arabia dan Yaman (Gould dan Higgs 2009). Selanjutnya pada tahun 1997 terjadi lagi epizootik penyakit RVF di Mesir pada sapi dan domba dengan gejala demam tinggi, ikterus, diare berdarah dan abortus (Abd Elrahim et al. 1999). Sumber infeksi wabah penyakit RVF ini berasal dari unta dan ternak ruminansia yang diimpor dari Sudan, dimana kejadian penyakit ini diperparah dengan meningkatnya populasi nyamuk sebagai vektor penyakit RVF pada musim panas di Mesir (Abd El-Rahim et al. 1999). Berdasarkan kejadian ini timbul pertanyaan apakah tidak mungkin penyakit RVF ini akan sampai ke Eropa dan Asia.

Dari berbagai kejadian wabah penyakit RVF ternyata munculnya mengikuti tingginya curah hujan dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya genangan air di daratan yang cukup lama yang terkait erat dengan perkembangbiakan vektor (nyamuk). Proyek irigasi selama abad ke-20 di Afrika memicu terjadinya wabah penyakit RVF karena bermunculannya nyamuk dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini juga telah dibuktikan melalui suatu pembentukan genangan air buatan di daerah epizootik di Kenya, ternyata jutaan larva Aedes mcintoshi menetas dan virus RVF dapat diisolasi dari nyamuk dewasa termasuk nyamuk jantan. Dengan demikian penularan transovarial virus memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima akal (Gould dan Higgs 2009).

Gould dan Higgs (2009) juga dalam tulisannya mengemukakan bahwa wabah RVF di Afrika Timur berkaitan erat dengan tingginya curah hujan yang terjadi selama fase musim panas dari fenomena ENSO (El Nino/Southern Oscillation). Umumnya RVF terjadi di pedesaan dan semi-rural, bukan diperkotaan, dan kejadian epizootik pada ternak terutama pada beberapa bangsa ternak yang di impor. Kejadian pada manusia biasanya terjadi pada manusia yang karena pekerjaannya mempunyai hubungan dengan ternak tersebut, seperti penggembala ternak, pekerja kandang, pekerja rumah potong hewan (RPH), atau tinggal bersama ternak tersebut sehingga terjadi infeksi melalui kontak dengan ekskreta atau darah atau jaringan dari hewan yang terinfeksi. Penularan kepada manusia bias juga karena terpapar terhadap gigitan dari nyamuk yang telah terinfeksi dengan virus RVF.

Karena penyakit RVF ini ditularkan oleh nyamuk Aedes spp. sebagai vektor, maka kondisi iklim merupakan pemicu timbulnya penyakit RVF. Oleh karena itu, secara teori penyakit RVF ini memungkinkan untuk tersebar sampai negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Disamping itu, selain faktor perubahan iklim, faktor lain seperti perpindahan hewan yang terinfeksi melalui perdagangan (ekspor/impor) atau melalui terbawanya vektor nyamuk yang kompeten ke daerah yang bukan epidemik RVF dan menyebar di luar batas geografisnya. Oleh karena itu, dapat diantisipasi pencegahannya melalui control terhadap vektornya disertai dengan melakukan surveilans pada iklim tertentu atau pada keadaan terjadinya perubahan iklim sebelum terjadinya penyakit sehingga penyebaran penyakit dapat dihambat.

5. Penyakit Alveolar Echinococcosis
Cacing dewasa Echinococcus multilocularis hidup pada hospes defi nitif: rubah (Vulpes vulpes, Vulpes ferrilata, Vulpes corsac, Alpex lagopus), serigala (C. latrans), lynx (Lynx spp), felis (Felis silvertris), rakun (Nyctereutes procyonoides), dan jackal. Hewan pengerat (Microtus spp), termasuk mencit, merupakan hospes perantara. Parasit ini menyebabkan alveolar echinococcosis (AE) yang pernah dilaporkan di Eropa Tengah, Rusia, Asia Tengah, Cina, Kanada Barat dan Utara, Alaska Barat. Data kasus AE pada manusia sulit dievaluasi karena rendahnya prevalensi, periode asimptomatik yang lama sehingga identifi kasi kejadian infeksi berdasarkan tempat dan waktu sulit dilakukan. Data annual incidence daerah endemik di Eropa menunjukkan peningkatan (0,1/100.000 di tahun 1993-2000 dan 0,26/100.000 pada tahun 2001-2005) (Schweiger 2007). Penyebaran parasit E. multilocularis dapat menyebar ke daerah nonendemik di Amerika Utara dan kepulauan Hokkaido Jepang karena migrasi dan relokasi hewan rubah. Para pemburu bisa terinfeksi AV karena sering kontak dengan rubah yang diambil bulunya (IOWA 2011).

Larva E. multilocularis (metasestoda) menyebabkan alveolar echinococcosis (AE) pada manusia. Hati merupakan organ utama tempat larva (metasestoda) E. multilocularis bermetastasis dan lesi meluas ke paru, bahkan mungkin juga ke otak. Infeksi AE yang sudah kronis ditemukan lesi nekrotik menetap berisi material putih amorf yang terbungkus lapisan tipis jaringan fibrosa. Gejala AE biasanya tidak jelas, bisa berupa nyeri epigastrik, hepatomegali, malnutrisi, atau icterus (Moro dan Schantz 2009).

Kasus cystic echinococcosis paling banyak ditemukan pada manusia, dengan annual incidence di daerah endemik 1-200 kasus/100.000 populasi; kasus alveolar echinococcosis juga cukup banyak, dengan annual incindence 0,03-1,2 kasus/100.000 populasi. Infeksi Echinococcus spp lebih banyak ditemukan pada dewasa. Infeksi cystic echinococcosis awalnya tanpa gejala (asimptomatik). Syok dan reaksi anafilaktik terjadi jika kista pecah, terutama di organ vital.

Gejala akan tampak jika kista berada di otak, hati, ginjal, dan jantung. Alveolar echinococcosis juga banyak menginfeksi manusia dan berdampak serius; jika diagnosis terlambat, berakibat fatal. Pengobatan jangka panjang dapat menyembuhkan dan mengurangi gejala; peluang hidup 10-20 tahun dengan keberhasilan pengobatan 80%. Jika tidak diobati, akan berdampak fatal (70-100%). Echinococcus vogeli menyebabkan polycystic echinococcosis, yang juga sering menginfeksi manusia. Dilaporkan 170 kasus di tahun 2007 dan, sama seperti E. Multilocularis, memerlukan pengobatan jangka panjang. Kasus infeksi E. oligarthrus jarang ditemukan pada manusia (IOWA 2011).

6. Sindrom Pernapasan Akut Parah (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS)
Pada tanggal 12 Maret 2003, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengeluarkan suatu peringatan ke seluruh dunia tentang adanya suatu penyakit yang disebutnya sebagai sindrom penapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) (WHO 2003). Penyakit ini digambarkan sebagai radang paru (pneumonia) yang berkembang secara sangat cepat, progresif dan seringkali bersifat fatal, dan diduga berawal dari suatu propinsi di Cina Utara yaitu propinsi Guangdong. Pada saat pengumuman WHO ini dikeluarkan, kasus-kasus SARS diketahui telah menyerang beberapa negara seperti Cina, Hongkong, Vietnam, Singapura dan Kanada (WHO 2003). Sampai dengan tanggal 3 Mei 2003 telah ditemukan sebanyak 6.234 kasus (probable cases) dan 435 (6,97%) kematian di tigapuluh negara. Sulit sekali untuk menentukan dengan pasti, berapa jumlah kasus, berapa negara yang terkena wabah SARS dan berapa angka kematian, oleh karena gambaran penyakit ini setiap saat berubah dengan cepat.

Kekuatiran lainnya adalah masih belum diketahui secara pasti cara peneyebaran virus tersebut. Memang penularannya dari orang ke orang melalui udara (droplets, sneeze atau cough), feses, dan toilet yang terinfeksi. Masih menjadi pertanyaan berapa lama virus mampu bertahan hidup di lingkungan (door handles, countertops). Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa coronavirus mampu bertahan hidup di luar tubuh manusia sampai satu minggu. Kerja sama yang dikoordinasi oleh WHO yang mengikut sertakan sejumlah laboratorium di berbagai negara telah memberikan hasil yang relatif sangat cepat dalam mengidentifikasi penyebab dari SARS. Pada saat yang hampir bersamaan, laboratorium di Kanada dan Pusat Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (Center for Disease Control/CDC) menyatakan bahwa suatu jenis coronavirus adalah penyebab dari SARS.

Meskipun dalam beberapa dekade terakhir dari abad yang lalu terdapat beberapa penyakit baru yang timbul, SARS harus ditanggapi sebagai suatu ancaman yang serius terhadap kesehatan internasional. Jika virus SARS bertahan pada keadaannya seperti sekarang yaitu patogenitasnya yang tinggi serta penyebarannya yang sangat cepat, maka SARS dapat menjadi penyakit baru yang pertama pada abad 21 ini dengan keganasan yang tinggi dan potensi epidemik global. Sekitar bulan Nopember 2002, dilaporkan dari propinsi Guangdong, Cina, adanya penderita yang mengalami radang paru yang atipikal dan sangat gawat serta tingkat penularannya tinggi (WHO 2003). Kausa penyakit ini tidak diketahui.

Pada tanggal 26 Pebruari 2003, seorang penderita (kasus indeks) dirawat di sebuah rumah sakit di Hanoi, Vietnam, dengan demam tinggi, batuk-batuk kering, mialgia, dan sakit tenggorok ringan. Empat hari kemudian, penderita ini mulai mengalami kesulitan bernapas, menunjukan trombositopenia berat, dan tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan (respiratory distress syndrome) sehingga memerlukan alat bantu pernapasan (ventilator). Meskipun telah diberikan terapi yang intensif, penderita meninggal pada tanggal 13 Maret 2003 setelah dipindahkan ke rumah sakit di Hongkong. Penderita ini datang ke Hanoi setelah berkunjung ke Shanghai dan Hongkong. Tanggal 5 Maret 2003, tujuh petugas kesehatan yang pernah merawat kasus indeks tersebut menderita penyakit yang sama. Penyakit tersebut timbul 4-7 hari setelah kasus indeks tersebut masuk ke rumah sakit untuk dirawat. Sekitar dua minggu kemudian, telah tercatat 43 kasus, 5 di antaranya membutuhkan ventilator dan dua meninggal.

Tanggal 12 Maret 2003, Departemen Kesehatan Hongkong melaporkan adanya suatu wabah penyakit pernapasan di satu rumah sakit umum. Duapuluh petugas kesehatan mengalami gejala penyakit yang sangat menyerupai flu. Hingga awal April 2003, di Hongkong dijumpai 1.108 kasus dengan 35 kematian. Hongkong merupakan daerah yang paling berat diserang oleh penyakit SARS. Yang paling membingungkan adalah ditemukannya 268 kasus SARS yang mengelompok pada suatu gedung apartemen, yaitu Amoy Garden yang semuanya berasal dari satu blok (blok E). Pola transmisi ini menunjukkan bahwa penyakit SARS telah merambat keluar dari lingkungan petugas kesehatan ke lingkungan masyarakat. Penyelidikan untuk menemukan sumber transmisi tidak memberikan hasil, virus SARS tidak ditemukan pada binatang-binatang seperti kecoa dan tikus.

Tujuh kasus SARS dilaporkan dari Kanada pada tanggal 15 Maret 2003, dua di antara kasus tersebut meninggal. Kasus-kasus ini dijumpai pada dua kelompok keluarga besar. Pada dua kelompok ini, sedikitnya satu anggota keluarga tersebut pernah berkunjung ke Hongkong dalam waktu satu minggu sebelum terjadi gejala-gejala penyakit. Sampai pertengahan April 2003, telah dilaporkan ada 101 kasus dengan 10 kematian. Kasus-kasus SARS yang dilaporkan dari Singapura hingga minggu ke tiga bulan April 2003 adalah 186 kasus dengan 16 kematian.

Ketika tim dari WHO pada awal bulan April 2003 melakukan penyelidikan di Cina, propinsi Guangdong, mereka menemukan adanya apa yang disebut sebagai super-spreaders, suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan individu dengan pneumonia atipikal (SARS) yang dianggap menyebarkan penyakit kepada sejumlah individu lain. Tidak diketahui apakah individu yang tergolong dalam super-spreader tersebut mensekresi bahan infektif dalam jumlah sangat besar atau apakah ada faktor-faktor tertentu lain, mungkin dari lingkungan, yang berperan dalam suatu fase perkembangan virus sehingga mampu memperbesar tingkat transmisi virus tersebut.

Meskipun ada tanda-tanda positif bahwa kasus-kasus imported tidak menyebar lebih jauh, wabah yang terjadi di Cina, Hongkong, Kanada, Vietnam dan Singapura, telah menimbulkan banyak keprihatinan dan kekuatiran di mana-mana.

7. Monkeypox atau Cacar Monyet
Secara historis, infeksi monkeypox virus pada manusia diisolasi di atau sebagian besar ditemukan di Afrika Barat dan Tengah. Reservoir virus adalah salah tupai dan hewan pengerat lainnya pada hutan hujan tropis di Afrika, dan manusia terinfeksi akibat berburu dan menangani hewan-hewan ini. Penularan dari manusia ke manusia pernah dilaporkan, namun jarang terjadi (Jazek et al. 1988). Selain itu, vaksinasi cacar (vaccinia) dapat menyebabkan crossimmunity ke monkeypox. Kepentingan utama monkeypox terkait dengan penghentian vaksinasi global cacar pada 1980-an, dan kekhawatiran akan menyebabkan kekosongan imunologi yang dapat dimanfaatkan oleh virus cacar jenis lain (Pattyn 2000). Status endemik monkeypox di Afrika pada 1980-an dan 1990-an meningkat secara perlahan (Hutin et al. 2001), akibat adanya perang selama bertahun-tahun. Selama wabah di Republik Demokratik Kongo setelah tahun 1983, case fatality rate monkeypox mencapai 9,8% pada orang yang belum pernah divaksinasi cacar. Dengan adanya perubahan gaya hidup, akibat meningkatnya urbanisasi dan intensif pertanian selama beberapa tahun terakhir, kejadian monkeypox di Afrika dilaporkan mengalami penurunan.

Selama bulan Juni dan Juli 2003, 71 kasus yang diduga monkeypox dilaporkan di negara bagian Illinois, Indiana, Kansas, Missouri, Ohio dan Wisconsin di Amerika Serikat. Sebanyak 35 kasus dikonfirmasi dengan uji laboratorium (CDC 2003). Sebagian besar orang-orang ini terinfeksi melalui kontak dengan anjing padang rumput atau anjing padang rumput (hewan pengerat dari genus Cynomys), yang berasal dari distributor perdagangan hewan peliharaan komersial. Anjing padang rumput di tempat ini mungkin ditangkap di alam liar, dan terinfeksi melalui kontak dengan Gambian giant rats (Cricetomys spp.) dan Dormice (Graphiurus spp.) yang berasal dari Ghana. Wabah penyakit ini dilaprkan pada manusia dan anjing padang rumput terjadi karena perdagangan internasional dan perpindahan hewan liar, dan trend pertumbuhan hewan eksotis dan penangkaran satwa liar di Amerika Serikat (OIE 2004).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emerging Zoonoses

Munculnya emerging zoonoses tidak hanya akan terus bermunculan tapi mungkin akan menyebabkan meningkatnya jumlah. Sayangnya, emerging zoonoses tidak dapat prediksi, serta setiap penyakit baru yang muncul berasal dari sumber yang tak terduga. Namun, hal yang pasti adalah bahwa persiapan terhadap emerging disease pada hewan dan manusia perlu dilakukan. Perlu dipertimbangkan juga beberapa isu yang berkaitan dengan emerging zoonoses. Isu-isu ini meliputi, perpindahan hewan, gangguan ekologi pertumbuhan mikroorganisme, penyakit kronis, perbaikan surveilans, dan terorisme. Masing-masing dianggap di bawah ini.

1. Perpindahan Hewan
Volume perdagangan hewan di seluruh dunia sangat besar dan terus berkembang. Hewan-hewan yang diangkut masuk ke dalam beberapa kategori, yaitu ternak dan unggas, hewan eksotis untuk hewan peliharaan, dan satwa liar. Semua jenis yang berkaitan dengan hewan komersial berpotensi munculnya emerging zoonoses.

2. Konsumsi Pangan Asal Hewan
Jumlah manusia di dunia diperkirakan mencapai 7,7 miliar pada tahun 2020, dengan peningkatan terbesar berasal dari negara berkembang. Dengan demikian, kebutuhan protein hewani akan terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi ternak pada 2020 harus mencapai dua kali lipat pada tahun 2000 (Delgado et al. 1999). Peternakan hewan intensif untuk konsumsi diperlukan dalam skala ekonomi besar serta dilalulintaskan dari suatu negara ke Negara lain, sehingga potensi penyebaran penyakit juga tinggi. Kondisi ini menyebabkan perluasan penyakit emerging zoonosis, misalnya Virus Nipah dan highly pathogenic avian influenza.

3. Hewan Eksotis
Spesies non-domestik juga berpartisipasi dalam perjalanan yang terkait dengan globalisasi. Perdagangan satwa liar internasional mencapai US $ 159 miliar per tahun (Cowdrey 2002). Di Amerika Serikat saja, diperkirakan ada 16,8 juta peliharaan diklasifikasikan sebagai hewan peliharaan di rumah selain anjing dan kucing (APPMA 2003). Sampai tahun 2003, Amerika Serikat telah mengekspor sekitar 15.000 anjing padang rumput per tahun sebagai hewan peliharaan ke negara-negara lain, terutama Jepang (Center for Emerging Issues 2003). Banyak anjing padang rumput melarikan diri atau sengaja dilepaskan ke alam liar. Anjing padang rumput kemudian hidup di selokan daan dapat terinfeksi monkeypox, plague, atau tularaemia. Hal ini menimbulkan beberapa wabah kesehatan masyarakat yang baru. Setiap tahun, 1,9 juta reptil yang diimpor ke Amerika Serikat, dari 80 negara yang berbeda. Sebagian besar merupakan jenis kadal. Di sisi lain, 9-10 juta reptil yang diekspor dari Amerika Serikat setiap tahun, sebagian kura-kura brazil (Bridges et al. 2001). Dan, pada tahun 2002, 49 juta amfibi memasuki Amerika Serikat (Ginsburg 2004). Oleh karena itu, lalu lintas spesies eksotik, dapat menyebabkan badai mikroba yang sempurna.

Pertukaran koleksi hewan di kebun binatang memudahkan adanya penularan penyakit dari satu spesies ke yang spesies yang lain, sehingga dapat timbul penyakit baru. Sekitar 1.200 kebun binatang dan aquaria yang dikelola secara profesional di seluruh dunia. Di tempat-tempat ini bannyak dilakukan perdagangan hewan. Dari 1,65 juta hewan yang dipelihara di 586 kebun binatang di 72 negara di enam benua, 82% mamalia baru kebun binatang, 64% burung, dan mayoritas spesies reptil dikembangbiakan di kebun binatang (ISIS 2004). Hal ini berarti sebagian besar kemungkinan untuk terjadi lalulintas patogen potensial. Seekor tikus Afrika yang lahir dan dibesarkan di kebun binatang Asia dapat ditemukan di kebun binatang Amerika Selatan selanjutnya disamping mamalia kutub dari Amerika Utara. Dengan demiian, jumlah perkembang biakan dari mikroorganisme komensal atau patogen terus meningkat secara eksponensial.

Perdagangan ilegal spesies non-domestik sulit untuk dihitung, tetapi dianggap sangat menguntungkan, serta menempati nomor kedua setelah penyelundupan narkoba. Hal ini perlu direnungkan untuk memperketat pengawasan lalulintas, sehingga tidak memungkinkan adanya pertukaran mikroorganisme pathogen akbat perdagangan illegal.

4. Satwa Liar
Beberapa tahun terakhir, pasar perdagangan hewan hidup dan konsumsi daging satwa liar telah mencapai tingkat yang menghawatirkan, terutama kaitannya dengan wabah SARS dan Ebola.

5. Konsumsi Daging Hewan Liar
Meskipun manusia telah memburu dan memakan daging dari hewan liar selama ribuan tahun, konsumsi beberapa tahun terakhir meningkat secara dramatis (Milner-Gulland dan Bennet 2003). Di Afrika Tengah saja, diperkirakan 1.000.000-3.400.000 ton daging hewan liar dikonsumsi setiap tahunnya. Walaupun fokusnya cenderung di Afrika, banyak daerah lain di dunia ikut serta dalam pengambilan, pengangkutan dan penjualan hewan liar untuk dikonsumsi. Contohnya, 25 ton penyu yang diekspor dari Indonesia setiap minggu dan 28.000 primata diburu setiap tahun di Peru. Fenomena perdagangan daging dalam rantai pasokan yang dapat mencapai ratusan kilometer berpotensi dalam penyebaran patogen. Mikroba dari hewan-hewan ini dapat masuk ke host baru dan/atau benua baru dengan hasil yang tak terduga.

Sekitar 60,3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan oleh agen penyakit zoonotik, yang 71,8% diantaranya bersumber dari satwa liar (Jones et al. 2008). Satwa liar diketahui berperan dalam peningkatan frekuensi kejadian penyakit menular pada manusia. Satwa liar bertindak sebagai reservoar utama berkembangnya penyakit menular dan zoonosis pada manusia dan hewan domestik (Daszak et al. 2000; Kruse et al. 2004). Zoonosis yang bersumber pada satwa liar diketahui sebagian besar berasal dari bakteri, virus, dan parasit, sementara cendawan kurang berdampak serius terhadap manusia (Kruse et al. 2004).

Menurut Bengis et al. (2004), zoonosis bersumber satwa liar secara umum terbagi menjadi dua kategori, yakni (1) penyakit bersumber satwa liar yang secara nyata penularannya ke manusia jarang terjadi, akan tetapi bila sekali terjadi maka penularan antara manusia dan manusia dapat berlangsung selama beberapa periode waktu atau secara permanen, contohnya AIDS oleh HIV, influenza A, virus Ebola, dan SARS; (2) penyakit bersumber satwa liar yang penularannya secara langsung dan/atau diperantarai vektor dengan satwa liar bertindak sebagai reservoar utama patogen. Contohnya adalah rabies, virus Nipah, virus West Nile, hantavirus, lyme borreliosis, plague, tularemia, leptospirosis, dan ehrlichiosis.

Pergerakan agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa liar tidak hanya berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan satwa liar asli. Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang gunung di Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa liar masih menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan memerlukan biaya yang tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia, hewan domestik, satwa liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan satwa liar untuk produk tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya satwa liar di beberapa area seluruh dunia.

6. Pasar Hewan Hidup

Pasar ini populer di negara berkembangs, menawarkan berbagai jenis spesies hewan langka dalam kondisi hidup. Sayangnya, dalam keadaan hidup ini hewan-hewan tersebut juga dapat membuang kotoran, mengeluarkan mikroba patogen yang berpotensi menularkan ke hewan dan manusia. Selama beberapa dekade beberapa pasar ini telah diakui sebagai sumber potensial munculnya penyakit, misalnya highly pathogenic avian influenza dari pasar unggas hidup, musang dengan SARS coronavirus dan positif serologi di kalangan pekerja pasar hewan hidup di Cina (Webster 2004). Dengan demikian, pasar ini menimbulkan risiko yang tinggi bagi penyebaran penyakit.

7. Gangguan Ekologi
Gangguan ekologi adalah masalah besar lain yang mungkin sebagai salah satu faktor yang paling berbahaya dalam munculnya penyakit emerging zoonosis. Manusia yang melanggar batas habitat baru dapat terkena patogen baru. Selain itu, ada perpindahan manusia yang membawa patogen ke lokasi geografis yang baru, sebuah fenomena yang disebut polusi patogen (Daszak et al. 2000). Perpindahan manusia yang tidak terinfeksi ke daerah-daerah baru juga memungkinkan untuk kontak dengan penyakit baru. Contohnya adalah introduksi Brushtail posum dari Australia ke Selandia Baru. Di Selandia Baru, Brushtail posum sebagai reservoir tuberkulosis sapi (Viggers et al. 1993). Menariknya, biosekuriti adalah konsep yang biasa diterapkan pada pasien atau hewan, laboratorium, klinik, atau pertanian. Mungkin sudah saatnya untuk menyesuaikan konsep biosekuriti ke dimensi yang lebih besar, yaitu ekosistem. Dengan menerapkan biosecurity satu sektor kecil, seperti yang kita miliki di masa lalu, kita mungkin tidak sengaja merusak ekosistem dengan cara yang akan mendorong munculnya penyakit baru. Dokter hewan didorong untuk berpikir tentang biosekuriti dalam arti yang lebih luas, yaitu, untuk mengembangkan kebijakan dan menerapkan perawatan kesehatan hewan dengan ide meliputi lingkungan dalam totalitasnya (Leighton 2004).

8. Mikroorganisme yang Belum Bisa Diidentifikasi
Masalah besar lain mengenai zoonosis yang muncul adalah adanya patogen tidak dikenal sebelumnya. Manusia dapat terinfeksi oleh lebih dari 1.400 agen penyakit yang berbeda, sebagian besar termasuk zoonosis. Semua patogen ini dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, biasanya dengan cara kultur. Bagaimana dengan mikroorganisme yang belum dapat diidentifikasi atau yang tidak dapat dibiakan dengan metode saat ini? Beberapa tahun mengidentifikasi banyak mikroorganisme yang tidak dapat dibiakkan (Wagner 2004). Menggunakan metode kultivasi pemeriksaan berdasarkan gen ribosomal ribonucleic acid 16S menunjukkan bahwa keragaman alam prokariota jauh melebihi jumlah mikroorganisme yang diketahui sebelumnya. Mikroorganisme baru tersebut didominasi oleh bakteri, baik yang alami maupun yang direkayasa. Pada saat ini diperkirakan hanya dapat mengembangbiakan sekitar 0,4% dari seluruh bakteri ada di alam (Relman 1998). Dengan demikian, masih banyak bakteri dan mikroorganisme lain yang mungkin bisa menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada host baru yang jenisnya belum diketahui. Hal ini hanya dapat ditangani dengan cara pencegahan.

9. Kolaborasi Agen Patogen
Infeksi oleh agen penyakit yang dapat berasosiasi satu sama lain. Contohnya asosiasi infeksi toksoplasma dengan skizofrenia. Infeksi akut toksoplasma dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan. Penelitian serologis menunjukkan bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki persentase kekebalan yang lebih tinggi dengan perbedaan bermakna secara statistik (Torrey dan Yolken 2003). Akibatnya, penyakit yang sebelumnya dianggap tidak menular (yaitu skizofrenia), diduga sebenarnya bersifat zoonosis. Berapa penyakit yang bersifat kronis lainnya juga dipicu oleh infeksi akibat agen penyakit yang menginfeksi terlebih dahulu.


Terorisme

Masalah berikutnya adalah ancaman dari terorisme. Semua agen bioterrorism selalu termasuk pathogen serta ada kecenderungan teroris mengubah suatu organisme dan merekayasa menjadi jenis penyakit baru.


Meningkatkan Pengawasan

Tabel 1            Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi kemunculannya (Morse 1995)

Agen patogen
Faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya
Virus

Bolivian hemorrhagic fever, Argentina hemorrhagic fever
Perubahan pertanian yang memicu populasi inang rodensia
Bovine spongiform encephalopathy (BSE)
Perubahan pada proses rendering
Demam berdarah dengue
Transportasi, perjalanan, migrasi, dan urbanisasi
Ebola, Marburg
Tidak diketahui (di Eropa dan Amerika Serikat dari impor monyet)
Hantavirus
Perubahan ekologi atau lingkungan yang meningkatkan kontak dengan inang rodensia
Hepatitis B, C
Transfusi darah, transplantasi organ, peralatan hipodermik terkontaminasi, penularan seksual, penyebaran vertikal dari induk terinfeksi ke anak
HIV
Migrasi ke kota dan perjalanan, penularan seksual, penularan vertikal dari induk ke anak, peralatan hipodermik terkontaminasi(penggunaan obat intravena), transfusi darah, transplantasi organ
Influenza (pandemi)
Kemungkinan peternakan babi dan bebek yang memfasilitasi reassortment virus avian dan mamalia
Lassa fever
Urbanisasi inang rodensia, peningkatan paparan
Rift Valley fever
Pembangunan bendungan, pertanian, irigasi, kemungkinan perubahan virulensi atau patogenitas virus
Demam kuning (yellow fever)
Kondisi yang mempengaruhi vektor nyamuk


Bakteri

Kolera
Epidemi di Amerika Selatan kemungkinan berasal dari kapal Asia yang menyebar melalui klorinasi air, perjalanan
Haemolitic uremic syndrome (Escherichia coli O157:H7)
Penggunaan teknologi pemrosesan makanan massal yang memungkinkan kontaminasi daging
Legionella
Sistem pendinginan (organisme yang tumbuh pada biofilm yang terbentuk pada penyimpanan tank air)
Lyme borreliosis
Reforestrasi sekeliling rumah dan kondisi yang mempengaruhi vektor caplak pada rusa (inang reservoar sekunder)
Streptococcus grup A (nekrotik invasif)
Tidak menentu
Toxic shock syndrome (Staphylococcus aureus)
Ultra-absorbency tampon


Parasit

Cryptosporidium, patogen penyakit air lainnya
Kontaminasi air permukaan, kegagalan pemurnian air
Malaria
Perjalanan atau migrasi
Skistosomiasis
Pembangunan bendungan


Dengan mengintensifkan pengawasan maka penyakit dengan jenis dan bentuk baru dapat lebih mudah diidentifikasi. Contohnya adalah penemuan bovine amyloidotic spongiform encephalopathy (BASE) oleh para peneliti Italia (Casalone et al. 2004). Lebih dari 1,6 juta otak sapi diperiksa dalam upaya meningkatkan pengawasan terhadap BSE di Italia. Pengujian sampel pada 103 kasus positif ditemukan jenis yang jelas berbeda dari spongiform encephalopathy, dengan lesion berada di bagian otak lain. Jenis prion BASE baru berbeda karena terdapat sedikit kandungan zat gula. Bentuk ini mirip dengan beberapa isolat dari Creutzfeldt Jakob disease klasik yang sporadis pada manusia.

Metode yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian emerging dan re-emerging zoonoses bersumber satwa liar adalah isolasi dan pembuatan pembatas fisik untuk mengasingkan satwa liar dari peternakan atau pemukiman penduduk, pengendalian populasi satwa melalui seleksi, perawatan dan vaksinasi dalam populasi satwa (misalnya vaksinasi rabies secara oral pada rubah), pembatasan pergerakan satwa liar, melakukan tindakan tentatif pengujian melalui karantina pada semua satwa hidup impor dan ekspor, serta peningkatan keterampilan perawatan dalam mengadopsi dan translokasi satwa liar (WHO/FAO/OIE 2004).

Globalisasi berdampak pada peningkatan permasalahan yang terkait kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Banyaknya emerging dan re-emerging infectious disease yang disebabkan kontak antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar memerlukan pemahaman mengenai strategi efektif dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Para profesi yang terkait dengan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab berbagai tantangan yang timbul akibat globalisasi. Upaya pendekatan kolaborasi interdisipliner antara bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sangat diperlukan dalam penanggulangan penyakit. Hal tersebut memicu dicetuskannya konsep one health untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan global (Sherman 2010).

One health adalah upaya kolaboratif multidisiplin yang bekerja secara lokal, nasional, dan global untuk mencapai kesehatan optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan (Leboeuf 2011). Konsep tersebut dicetuskannya oleh para dokter hewan di Wildlife Conservation Society dengan mendeklarasikan Manhattan Principles on One World, One Health (Sherman 2010). Penyakit zoonotik memberikan dampak berupa kerugian besar terhadap perekonomian dunia. Masyarakat dunia dituntut melakukan kerjasama tingkat regional maupun internasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik, khususnya yang terkait dengan penyakit hewan yang bersifat lintas batas negara atau yang dikenal sebagai transboundary animal diseases (TAD). TAD adalah penyakit yang memiliki kepentingan signifikan pada ekonomi, perdagangan, dan/atau keamanan pangan bagi banyak negara yang dapat dengan mudah menyebar ke negara lainnya dan mencapai proporsi epidemik sehingga memerlukan pengendalian atau pengaturan melalui kerjasama beberapa negara.

Penyakit-penyakit TAD antara lain penyakit mulut dan kuku (PMK), rinderpest, contagious bovine pleuropneumonia, BSE, peste des petits ruminants, classical swine fever, African swine fever, Newcastle disease (ND), dan avian influenza (AI) (Otte et al. 2004). Sejak Juni 2011, OIE mengeluarkan resolusi 18/2011 yang menyatakan bahwa dunia bebas dari rinderpest dari 198 negara yang rentan terserang.

Meningkatnya mobilitas hewan hidup dan produk hewan di seluruh dunia meningkatkan tingkat risiko penyebaran TAD. World Trade Organization (WTO) secara aktif mendukung pengembangan regulasi dan kebijakan dalam menjamin kesehatan hewan dan keamanan pangan dalam perdagangan internasional. World Organization for Animal Health (OIE) menyediakan pakar dan ilmuwan bagi WTO dalam meregulasi perdagangan ternak di dunia. Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) dan World Health Organization (WHO) dalam Codex Alimentarius menyediakan panduan untuk regulasi pangan termasuk pangan asal hewan (Sherman 2010). American Veterinary Medical Association pada tahun 2007 mengeluarkan One Health Initiative dan membuat One Health Initiative Task Force untuk mempelajari kemungkinan kolaborasi dan kerjasama antara profesi ilmu kesehatan, institusi akademik, pemerintah, dan industri dengan penaksiran, perawatan, dan pencegahan penularan penyakit lintas spesies dan prevalensi penyakit manusia dan hewan dan kondisi medis (AVMA 2008).

Emergency Prevention Systems for Transboundary Animal and Plant Pest and Diseases (EMPRES) didirikan oleh FAO tahun 1994 memiliki fungsi dalam pencegahan dan peringatan dini terhadap seluruh rantai makanan, melalui sistem (1) EMPRES kesehatan hewan (mencakup penyakit hewan dan hewan akuatik), (2) EMPRES perlindungan tanaman (mencakup hama dan penyakit tanaman, termasuk tanaman hutan), dan (3) EMPRES keamanan pangan. Misi EMPRES adalah mendukung pengendalian efektif hama dan penyakit endemik dan ancaman keamanan pangan melalui kerjasama internasional mencakup peringatan dini, reaksi dini, penelitian dan koordinasi (FAO 2011). Global Early Warning and Response System for Majoring Animal Diseases, including Zoonoses (GLEWS) dibentuk dari gabungan FAO, OIE, dan WHO yang bertujuan untuk meningkatkan peringatan dini secara global terhadap wabah penyakit dan analisis epidemiologi (FAO/OIE/WHO 2006).


Penyebaran Spesies Invasif dan Penyakit Infeksius sebagai Pembawa Perubahan Ekosistem

Spesies invasif, vektor penyakit, dan agen patogen mempengaruhi keanekaragaman hayati, fungsi dan manfaat ekosistem, dan kesehatan manusia. Perubahan iklim, penggunaan lahan, dan lalulintas vektor menyebabkan interaksi dengan cara yang kompleks sehingga menyebabkan penyebaran natif dan non-natif invasif spesies, agen patogen, dan pengaruhnya terhadap perubahan ekosistem.

Deteksi dini dan pemahaman mendalam mengenai spesies invasif dan penyakit menular memerlukan lembaga penelitian yang terintegrasi serta pertukaran informasi untuk mengidentifikasi sumber invasi atau munculnya penyakit. Kemitraan dengan lembaga-lembaga di daerah kota dan profinsi yang memantau penyebaran dan dampak spesies invasif dan agen patogen akan menjadi sangat penting dalam mengembangkan data nasional dan jaringan penelitian yang dapat memfasilitasi pemahaman penuh mengenai dampak yang dihasilkan pada ekosistem dan masyarakat terutama bagi timbulnya emerging disease.

Penelitian individual yang dilaporkan juga dapat berperan penting dalam merekam perubahan fenologi terkait dengan invasi spesies atau wabah penyakit. Dampak ekologi dan sosial dari spesies invasif dan patogen berbeda pada masing-masing tempat sesuai dengan iklim, kondisi tanah tanah, dan dengan adanya perubahan iklim global dapat memperburuk baik propagasi maupun dampaknya. Pemahaman mengenai interaksi spesies invasif, vektor penyakit, dan patogen dengan perubahan ekosistem lain sangat penting untuk memprediksi dampaknya bagi kesehatan manusia dan kesejahteraan ekonomi (Crowl et al. 2008).
BAB III
KESIMPULAN

Ilmu biomedis, kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kebijakan masyarakat harus bergerak cepat diperlukan untuk mengatasi semua alasan yang mendasari munculnya penyakit. Pertemuan antara kesehatan manusia dan hewan menjadi semakin kabur. Perpindahan hewan, konsumsi pangan asal hewan, hewan eksotis, satwa liar, konsumsi daging hewan liar, pasar hewan hidup, gangguan ekologi, mikroorganisme yang belum bisa diidentifikasi, dan kolaborasi agen pathogen diketahui berperan sebagai reservoar dalam kemunculan beberapa emerging dan re-emerging zoonoses dan menimbulkan dampak negatif pada manusia dan hewan di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Emerging dan re-emerging zoonoses muncul akibat ketidakseimbangan hubungan ekosistem antara inang dan patogen yang dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan, dan ekologi, seperti perkembangan pemukiman penduduk dan deforestasi.

Pencegahan dan pengendalian emerging dan re-emerging zoonoses dilakukan dengan mengutamakan prinsip pencegahan dan pengendalian pada sumber penularan melalui penguatan koordinasi lintas sektor, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi dan program perencanaan terpadu terhadap wabah, serta penguatan kapasitas sumber daya masyarakat. Strategi lain yaitu melalui pendekatan konsep one health dan ecohealth melalui kerjasama antar organisasi-organisasi dunia, seperti OIE, FAO, dan WHO.

DAFTAR PUSTAKA

Abd El-Rahim IH, Abd El-Hakim U, Hussein M. 1999. An epizootic of Rift Valley fever in Egypt in 1997. Rev Sci Tech. 18: 741-748.

[APPMA] American Pet Products Manufacturers Association. 2003. APPMA national pet owners survey 2003-2004. Greenwich: APPMA.

Bengis RG, Leighton FA, Fischer JR, Artois M, Mörner T, Tate CM. 2004. The role of wildlife in emerging and re-emerging zoonoses. Rev sci tech Off int Epiz 23(2):497-511.

Bridges V, Kopral C, Johnson R. 2001. The reptile and amphibian communities in the United States. United States Department of Agriculture/Animal and Plant Health Inspection Service/Veterinary Services, Centers for Epidemiology and Animal Health, Fort Collins, 42 pp. [terhubung berkala]. www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cei/reptile.pdf [27 Januari 2015].

Casalone C, Zanusso G, Acutis P, Ferrari S, Capucci L, Tagliavini F, Monaco S, Caramelli M. 2004. Identification of a second bovine amyloidotic spongiform encephalopathy: molecular similarities with sporadic Creutzfeldt-Jakob disease. Proc Natl Acad Sci USA 101 (9), 3065-3070.

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2003. Update: Monkeypox – 2003. MMWR 52 (27), 642-646.

Center for Emerging Issues. 2003. Summary of selected disease events January-June 2003. Centers for Epidemiology and Animal Health of the United States Department of Agriculture, Fort Collins. [terhubung berkala]. www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cei/disease_summary0803.htm [4 Februari 2015).

Chua KB, Lam SK, Gubbler DJ, Ksiazek TG. 1999. Proc of International Union of Microbiological Society 9-13.

Cowdrey D. 2002. Switching channels: wildlife trade routes into Europe and the UK. World Wildlife Fund/TRAFFIC Report, 15 pp. Website: www.traffic.org/news/press-releases/switching_channels.pdf (Diunduh 11 Juni 2015).

Crowl TA, Crist TO, Parmenter RR, Belovsky G, Lugo AE. 2008. The spread of invasive species and infectious disease as drivers of ecosystem change. Frontiers in Ecology and the Environment, 6(5), 238-246.

Daniels P. 1999. Experimental infection of pigs and cats at CSIRO-AAHL-Preliminary obsevations. Kuala Lumpur, Malaysia: A working paper for WHO Meeting on Zoonotic Paramyxoviruses. 19-21 July 1999. pp. 38-40.

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD. 2000. Emerging infectious diseases of wildlife threats to biodiversity and human health. Science 287 (5452): 443-449.

Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick A, Epstein JON, Plowright R. 2004. Conservation medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann NY Acad Sci 1026(1): 1-11.

Delgado CM, Rosegrant M, Steinfeld H, Ehui S, Courbois C. 1999. Livestock to 2020: the next food revolution. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper 28. International Food Policy Research Institute, Washington, DC, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, International Livestock Research Institute, Nairobi, 72 pp. Website: http://www.ifpri.org/2020/dp/dp28.pdf (accessed on 07 July 2015).

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2011. Food chain crisis management framework. Prevention and early warning. [terhubung berkala]. http://www.fao.org/foodchain/prevention-and-earlywarning/en/ [10 Juli 2015].

Ginsburg J. 2004. Dinner, pets and plagues by the bucketful. [terhubung berkala]. http://www.the-scientist.com/?articles.view/articleNo/15565/title/Dinner--Pets--and-Plagues-by-the-Bucketful/ [4 Februari 2015].

Gould EA, Higgs S. 2009. Impact of climate change and other factors on emerging arbovirus diseases.Transactions of The Royal Society of Trop. Med Hygiene 103: 109-121.
Gummow B. 2010. Challenges posed by new and re-emerging infectious diseases in livestock production, wildlife and humans. Livest Sci 130:41-46.

Hutin YJ, Williams RJ, Malfait P, Peabody R, Loparev VN, Ropp SL, Rodriguez M, Knight JC, Tshioko FK, Kahn AS, Szczeniowski MV, Esposito JJ. 2001. Outbreak of human monkeypox, Democratic Republic of Congo, 1996-1997. Emerg infect Dis 7 (3): 434-438.

[ISIS] International Species Information System. 2004. ISIS: Fundamentals-A global information network for species conservation. [terhubung berkala]. www.isis.org/joinisis/fundamentals.pdf [4 Februari 2015].

IOWA State University. Echonococcosis. The Center for Food Securty and Public Health. 2011. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/echinococcosis.pdf. [4 Februari 2015].

Jezek Z, Grab B, Szczeniowski MV, Paluku KM, Mutombo M. 1988. Human monkeypox: secondary attack rates. Bull. WHO 66 (4), 465-470.

Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends in emerging infectious diseases. Nature 451 (7181): 990-993.

Karesh WB, Cook RA, Bennett EL, Newcomb J. 2005. Wildlife trade and global disease emergence. Emerg Infect Dis 11(7):1000-1002.

Kruse H, Kirkemo AM, Handeland K. 2004. Wildlife as source of zoonotic infections. Emerg Infect Dis 10(12):2067-2072.

Leboeuf A. 2011. Making sense of one health: cooperation at the humananimal-ecosystem health interface. [terhubung berkala].www.ifri.org/downloads/ifrihereport7alineleboeuf.pdf. [17 Juli 2011].

Leroy EM, Rouquet P, Formenty P, Souquiere S, Kilbourne A, Froment JM, Bermejo M, Smit S, Karesh W, Swanepoel R, Zaki SR, Rollin PE. 2004. Multiple Ebola virus transmission events and rapid decline of central African wildlife. Science 303 (5656), 387-390.

Leighton F. 2004.  Veterinary medicine and the lifeboat test: a perspective on the social relevance of the veterinary profession in the 21st Century. Can Vet J 45 (3): 259-263.

Meegan JM, Hoogstraal H, Moussa MI. 1979. An epizootic of Rift valley fever in Egypt in 1977. Vet Rec 105: 124 – 125

Meslin FX, Stohr K, Heymann D. 2000. Public health implications of emerging zoonoses. Rev Sci Technol. 19(1): 310.

Milner-Gulland EJ, Bennett EL. 2003. Wild meat: the bigger picture. Trends Ecol Evol 18 (7): 351-357.

Moro P, Schantz PM. 2009. Echinococcosis (review). Internat J Infect Dis 13:125-133.

Morse SS. 1995. Factors in the emergence of infectios diseases. Emerg Infect Dis. 1: 7-15.

Morzunov SP, Rowe JE, Ksiazek TG, Peters CJ, Jeor SCS, Nichol ST. 1998. Genetic analysis of the diversity and origin of hantaviruses in Peromyscus leucopus mice in North America. J Virol 72(1): 57-64.

Nordin MN, Ong BL. 1999. Nipah virus infection in animals and control measures implemented in Peninsular Malaysia. Proc: 21" Cont. OIE Regional Commission for Asia, the Far East and Oceania. Taipei. 23-26 November 1999. pp. 27-37.

[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Report of the meeting of the OIE Working Group on wildlife diseases, 9-11 February, Paris. Paris: OIE, 8.

Otte MJ, Nugent R, McLeod A. 2004. Transboundary animal diseases: assessment of socio-economic impacts and institutional response. Livestock Policy Discussion Paper No. 9. [terhubung berkala]. http://www.fao.org/ag/AGAinfo/resources/en/publications/sector_discuss/PP_Nr9_Final.pdf. [10 Juli 2015].

Pattyn SR. 2000. Monkeypoxvirus infections. In An update on zoonoses. Rev Sci Tech Off Int Epiz 19 (1): 92-97.

Rawlings JA, Torrez-Martinez N, Neill SU, Moore GM, Hicks BN, Pichuantes S, Nguyen A, Bharadwaj M, Hjelle B. 1996. Cocirculation of multiple hantaviruses in Texas, with characterization of the small (S) genome of a previously undescribed virus of cotton rats (Sigmo-don hispidus). Am J Trop Med Hyg 55: 672-679.

Relman DA. 1998. Detection and identification of previously unrecognized microbial pathogens. Emerg Infect Dis 4 (3): 382-389.

Roche B, Guégan JF. 2011. Ecosystem dynamics, biological diversity and emerging infectious diseases. CR Biol 334:385-392.

Schweiger A. 2007. Human alveolar echinococcosis after fox population increase, Switzerland. Emerg Infect Dis 13: 878-2.

Sherman DM. 2010. A global veterinary medical prespective on the concept of One Health: focus on livestock. ILAR J 51(3):281-287.

Tai PW, Chen LC, Huang CH. 2005. Hanta hemorrhagic fever with renal syndrome: a case report and review. J Microbiol Immunol Infect 38: 221-223.

Taylor LH, Latham SM, Woolhouse MEJ. 2001. Risk factors for human disease emergence. Phil Trans R Soc Lond B Biol Sci 356:983-989.

Torrey EF, Yolken RH. 2003. Toxoplasma gondii and schizophrenia. Emerg Infect Dis 9 (11): 1375-1380.

Viggers KL, Lindenmayer DB, Spratt DM. 1993. The importance of disease in reintroduction programs. Wildl Res 20 (5): 687-698.

Wagner M. 2004. Deciphering functions of uncultured microorganisms. ASM News 70 (2), 63-70.

Wang LF, Yu M, Hanson E, Pritchard LL, Shiell B, Michalski WP, Eaton BT. 2000 . The exceptionally large genome of Hendra virus: Support for creation of a new genus within the family Paramyxoviridae. J Virology 74(21): 9972-9979.

Webster RG. 2004. Wet markets: a continuing source of severe acute respiratory syndrome and influenza? Lancet 363 (9404), 234-236.

[WHO/FAO/OIE] World Health Organization/Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Organisation for Animal Health. 2004. Report of the WHO/FAO/OIE joint consultation on emerging zoonotic disease. Geneva: WHO/FAO/OIE.

[WHO] World Health Organization. 2003. Severe acute respiratory syndrome (SARS). Wkly Epidemiol Rec 2003; 78: 81-3.

[WHO] World Health Organization. 2003. WHO issues global alert about cases of atypical pneumonia: cases of severity respiratory ilness may spread to hospital staff. Geneva: World Health Organization; 2003. Available from URL: http://www.who.int/mediacentre/release/2003/pr22/en/print.html. Accessed April 11, 2015.

[WHO] World Health Organization. 2014. Ebola virus disease outbreak – west Africa. [terhubung berkala]. http://www.who.int/csr/don/ 2014_09_04_ebola/en/ [4 Februari 2015].
Woolhouse MEJ. 2002. Population biology of emerging and re-emerging pathogens. Trends Microbiol 10(10):3-7.

Zowghi E, Bayat M, Kousha A, Nissiani M. 2008. Emerging and re-emerging zoonoses. W J Zool 3(2):71-76.

******

Catatan /Keterangan:
Karya Tulis Ilmiah ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Nomor: 602.01.0024.PUSKH.II.2015.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: