Emerging
disease atau Penyakit yang baru muncul, banyak disebabkan oleh agen patogen
yang bersumber dari hewan dan produk hewan. Emerging disease telah menimbulkan
dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Pencegahan dan pengendaliannya adalah pada sumber penularan.
******
FAKTOR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA EMERGING ZOONOSES
Oleh:
Drh.
Dede Sri Wahyuni, MSi, Medik Veteriner
Muda,
Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan
Hewani, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Penyakit
yang baru muncul (emerging disease) banyak disebabkan oleh agen patogen yang
bersumber dari hewan dan produk hewan. Emerging disease telah menimbulkan dampak
besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Faktor
utama kemunculannya yaitu (1) faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan
lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4) faktor sosial, politik, dan ekonomi.
Penyebaran emerging disease dipengaruhi oleh perubahan demografi dan perilaku
manusia, perubahan lingkungan dan penggunaan lahan, gangguan kesehatan
masyarakat, perubahan teknologi industri, perjalanan internasional dan
perdagangan, serta adaptasi dan perubahan mikroba. Strategi pencegahan dan
pengendalian diutamakan pada sumber penularan; penguatan koordinasi lintas
sektor dan evaluasi pelaksanaan kebijakan strategi dan program perencanaan
terpadu melalui surveilans, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus
penanggulangan wabah dan pandemi; penguatan perlindungan wilayah yang bebas
emerging disease; peningkatan perlindungan masyarakat; penguatan kapasitas
sumber daya manusia; penguatan penelitian emerging disease; serta pemberdayaan
masyarakat terhadap kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Kata
kunci: emerging zoonoses, kesehatan masyarakat, pencegahan penyakit,
pengendalian penyakit.
******
PRAKATA
Emerging
zoonoses menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia karena dapat
berkembang luas secara geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke
induk semang lainnya, meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, dan mengalami
perubahan patogenesis. Emerging zoonoses telah menimbulkan dampak besar pada
bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.
Kemunculan
emerging zoonoses dipicu oleh empat faktor utama, yakni (1) faktor genetik dan
biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4) faktor
sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian besar faktor tersebut erat kaitannya
dengan faktor risiko antropogenik atau berasal dari manusia. Penyebaran
emerging zoonoses dipengaruhi oleh perubahan demografi dan perilaku manusia,
perubahan lingkungan dan penggunaan lahan, gangguan kesehatan masyarakat,
perubahan teknologi industri, perjalanan internasional dan perdagangan, serta
adaptasi dan perubahan mikroba.
Harapan
penulis semoga dengan tulisan ini memberikan tambahan informasi dan masukan
kepada pemerintah terutama Badan Karantina serta semoga dapat diaplikasikan
sehingga bisa membantu petugas di lapangan. Penulis sadar masih banyak
kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini. Untuk itu besar harapan
penulis masukan dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan
ini.
Jakarta, Juli 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Beberapa
tahun terakhir, penyakit yang baru muncul (emerging disease/ED) dan baru muncul
kembali (re-emerging disease/RED) banyak disebabkan oleh agen patogen yang
bersumber dari hewan dan produk hewan. Berbagai macam spesies hewan domestik
dan hewan liar, bertindak sebagai reservoir untuk agen patogen, seperti virus,
bakteri maupun parasit (Meslin et al. 2000). Wabah baru yang disebabkan oleh
patogen zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia) terjadi hampir setiap tahun
dengan dampak serius terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global (Daszak et
al. 2004).
Penyakit-penyakit
menular baru muncul sekitar 60.3% bersifat zoonosis, dengan mayoritas (71.8%)
berasal dari satwa liar (Jones et al. 2008). Jones et al. (2008) juga menemukan
bahwa 54.3% dari ED disebabkan oleh bakteri atau rickettsia.
Menurut
Jones et al. (2008), sebanyak 335 penyakit menular pada manusia muncul antara
tahun 1940 dan 2004 dengan kejadian tertinggi saat terjadi pandemi HIV. Menurut
Taylor et al. (2001), sebanyak 1.415 jenis organisme penyebab penyakit pada
manusia yang telah diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri atas 217 virus dan
prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, serta 287
cacing. Sekitar 868 (61%) dari organisme tersebut bersifat zoonotik dan 175
jenis di antaranya terkait emerging infectious disease (EID) dan re-emerging
infectious disease (REID), dengan 132 (75%) adalah patogen zoonotik. Menurut
Woolhouse (2002) dan Zowghi et al. (2008), sejak tahun 1973 telah dilakukan
identifikasi patogen yang menjadi penyebab utama penyakit menular pada manusia.
Woolhouse (2002) menjabarkan bahwa beberapa patogen penyakit tersebut termasuk
dalam patogen yang menyebabkan EID, seperti HIV, virus Ebola, dan prion new
variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD).
Kemunculan
dan penyebaran emerging zoonoses (EZ) dan re-emerging zoonoses (REZ) bersumber
satwa liar dipicu oleh (1) peningkatan permintaan protein hewani sehingga
menyebabkan perubahan praktik pertanian (misalnya produksi perunggasan di
Asia), pasar hewan, konsumsi daging satwa liar (bushmeat), perdagangan global,
serta gangguan habitat satwa (misalnya pelanggaran batas hutan); (2) perubahan
perilaku manusia, seperti besarnya kesempatan kepemilikan dan perpindahan hewan
kesayangan, perjalanan melalui udara, ekoturisme, perburuan, perkemahan
(camping), pilihan makanan (misalnya makanan asal satwa liar), demografi, serta
tingkat ketaatan melaksanakan tindakan pencegahan; (3) kekurangan infrastruktur
dan kebijakan pada kesehatan masyarakat akibat kurangnya integrasi surveilans
kesehatan hewan, pendanaan sektor kesehatan masyarakat, serta kurangnya
pendanaan bagi penelitian dan pembangunan keahlian dalam menjawab permasalahan
kesehatan masyarakat; dan (4) faktor terkait agen penyebab penyakit, seperti
adaptasi ke vektor dan inang baru, mutasi dan rekombinasi di manusia dan hewan
setelah terpapar banyak pathogen (misalnya foodborne virus dan virus
influenza), serta perkembangan peningkatan virulensi atau resistensi terhadap
obat (WHO/FAO/OIE 2004). Ruminansia, karnivora, rodensia, burung, dan primata
merupakan lima kategori hewan utama penular penyakit ke manusia (Roche dan
Guégan 2011).
Tujuan
Tulisan
ini untuk membahas mengenai jenis-jenis penyakit zoonoosis baru muncul
(emerging zoonoses) serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Emerging
Zoonoses Akibat Introduksi Hewan
Jumlah
dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat besar dan
terdistribusi pada habitat dan ekologi yang berbeda-beda. Keanekaragaman hayati
terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis. Kecenderungan penyusutan
keanekaragaman hayati disebabkan oleh penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan
menjadi lahan perkebunan, penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan
introduksi spesies asing invasif (invasive alien species).
Zoonosis
merupakan penyakit yang sudah terjadi sejak lama. Contohnya adalah wabah plague
yang terjadi di zaman Mesir kuno, rabies pada masa peradaban Mesopotamia awal
tahun 2300 SM yang terjadi akibat perburuan anjing liar (Kruse et al. 2004),
dan kematian 90% populasi kerbau dan satwa liar di Kenya akibat pemasukan sapi
asal India yang terinfeksi rinderpest (Gummow 2010). Kewaspadaan masyarakat
dunia terhadap emerging zoonoses dan re-emerging zoonoses terutama yang
bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan.
Pergerakan
agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa liar tidak hanya
berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan satwa liar asli.
Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang gunung di
Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa liar masih
menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan memerlukan biaya yang
tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia, hewan domestik, satwa
liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan satwa liar untuk produk
tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya satwa liar di beberapa area
seluruh dunia.
Contoh
Emerging Zoonoses Akibat Perpindahan Hewan
Beberapa
contoh dari emerging zoonoses yang memberikan dampak yang besar dan perubahan
penyakit yang tidak dapat diprediksi.
1. Virus
Ebola
Ebola
virus adalah prototipe emerging zoonoses. Sehubungan dengan jumlah kasus dan
tingkat penularan penyakit, kasus Ebola memang jarang terjadi. Namun karena
kasusnya terus meningkat dan menyebabkan tingkat mortilitas yang tinggi, Ebola
dikategorikan sebagai salah satu emerging zoonoses yang paling terkenal.
Penyakit ini telah banyak meningkatkan kesadaran publik sehingga meningkatkan
tingkat pendanaan, daripada penyakit emerging zoonoses lain (Leroy et al.
2004).
Tahun
1976, Virus Ebola pertama kali diidentifikasi di provinsi sebelah barat negara
Sudan serta wilayah Zaire (sekarang Kongo). Virus Ebola ini pertama kali
teridentifikasi setelah terjadi endemik penyakit di wilayah Yambuki, Kongo, dan
Nzara dan Sudan. Tahun 2000, terdapat 425 orang di Uganda terinfeksi serta
lebih dari separuhnya meninggal dunia. Mei 2011, anak perempuan berumur 12
tahun di Uganda meninggal dunia karena Virus Ebola. Juli 2012 terdapat 20 orang
yang diduga terinfeksi virus ebola di Uganda serta 13 orang dari mereka
meninggal dunia. Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampai
31 Agustus 2014 sebanyak 3.685 (dicurigai) kasus dengan 1.841 meninggal dunia
telah di Guinea, Liberia dan Sierra Leone karena wabah virus Ebola (WHO 2014).
Studi
yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, virus ini memiliki angka
kematian sebesar 90%. Virus umumnya berkembang di desa-desa terpencil di Afrika
Tengah dan Barat. Virus diyakini berasal dari hewan liar yang menular ke
manusia. Hewan yang dianggap sebagai inang alaminya adalah kelelawar buah dari
family Pteropodidae. Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang dapat
mencegah penyebaran penyakit ini.
2.Hantavirus
Beberapa
tahun terakhir, penyakit infeksi emerging dan re-emerging zoonoses mendapat
perhatian yang serius baik secara global maupun pada tingkat nasional. Salah
satu contoh penyakit yang perlu diantisipasi adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi Hantavirus. Walaupun penyakit ini terjadi sejak perang Korea
sekitar tahun 1951, tetapi secara laboratorik penyakit ini mulai dilaporkan
sejak tahun 1976. Penyakit yang disebabkan oleh Hantavirus yang ditularkan
lewat udara yang tercemar oleh kotoran rodensia ini merupakan satu hal yang
perlu diantisipasi, walaupun dari laporan penelitian yang dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia penyakit ini relatif masih endemik pada reservoirnya saja,
sedangkan penularan pada manusia masih sangat kecil, kurang dari 10%.
Hantavirus
adalah suatu virus RNA yang tenmasuk dalam famili Bunyaviridae, yang merupakan
genom, yaitu berupa 3 segmen ssRNA yang bersifat negatif sens. Genom terdiri
atas small segmen (S), medium segmen (M) dan large segmen (L). Segnen S
(1,7-2,0 kb) mengkode protein nukleokapsid (N), segmen M (3,6 kb) mengkode
protein prekusor glikoprotein dari dua glioprotein virus (G 1 dan G2) dan
segmen L (6,5 kb) mengkode enzim RNA polymerase (Morzunov et al. 1998). Selama
5 tahun telah dikenal 20 spesies Hantavirus yang berbeda (Rawling et al. 1996).
Anggota Hantavirus dapat dibedakan menjadi 3 kelompok bcrdasarkan penyakit yang
ditimbulkannya. Pertama kelompok yang menyebabkan Hemorrhagic Fever with Renal
Syndrome (HFRS). Kedua kelompok yang menyebabkan Hantavirus Pulmonary Syndrome
(HPS) dan ketiga yang tidak menimbulkan penyakit pada manusia (Morzunov et al.
1998).
Berbeda
dengan anggota Bunyaviridae yang lain, Hantavirus (HTV) merupakan virus yang
tidak memilih vektor yang menularkan HTV diantara populasi rodensia. HTV
diketahui merupakan penyebab HFRS dan HPS. Beberapa subtype Hantavirus yang
lain seperti: Hantaanvirus (HTNV), Dobrava dan Seoul virus (SEOV) merupakan
penyebab HFRS sedang dan berat di kawasan Asia, sedanghan Puumala virus
merupakan penyebab HFRS ringan di kawasan Skandinavia dan Eropa. Subtipe virus
Sin Nombre merupakan penyebab HPS di Amerika Utara dan Andes virus (ANDV)
merupakan penyebab HPS di kawasan Amerika Selatan, Argentina dan Chili (Tai et
al. 2005).
3. Penyakit
Nipah
Penyakit
Nipah sering disebut sebagai Porcine Respiratory and Neurological Syndrome,
Porcine Respiratory and Encephalitis Syndrome (PRES) atau Barking Pig Syndrome
(BPS) (Nordin dan Ong 1999). Sebutan lain adalah one mile cough (karena suara
batuk hewan penderita yang sangat keras). Penyakit ini disebabkan oleh virus
Nipah, yang merupakan virus ribonuclei acid (RNA), dan termasuk dalam Genus
Morbilivirus, famili Paramyxoviridae (Wang et al. 2000). Virus Nipah mempunyai
amplop dan berdiameter antara 160 nm hingga 300 nm. Virus ini tidak tahan
terhadap bahan pelarut lemak, seperti eter, formalin, (3-propiolakton) dan
detergen. Selain itu, virus Nipah tidak tahan terhadap pH asam serta pemanasan
pada suhu 56°C selama lebih dari satu jam. Namun demikian, virus ini sangat
stabil pada kondisi suhu -70°C, dan pada pH 7,0-8,0 (Chua et al. 1999). Hewan
rentan Virus Nipah diketahui dapat menginfeksi ternak babi, kuda, kucing,
anjing, kelelawar buah (genus Pteropus), kambing, burung dan tikus. Namun
demikian, gejala klinis penyakit hanya akan terlihat dengan jelas pada hewan
babi (Daniels et al. 1999; Nordin dan Ong 1999).
Hingga
saat ini, infeksi virus Nipah baru ditemukan di negara Malaysia dan Singapura.
Namun, kasus tersebut sudah mulai mereda, bahkan Malaysia dan Singapura sudah
dapat dinyatakan bebas kembali. Beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap
terjadinya suatu kasus penyakit diantaranya adalah terjadinya perubahan
ekologi, di mana habitat hewan dan kelelawar semakin sempit sehingga bermigrasi
ke tempat yang banyak menyediakan makanan. Ekskresi yang dikeluarkan oleh
kelelawar mungkin mengandung agen infeksius seperti Nipah yang bila terkena
hewan lain yang sensitif, seperti babi, akan menimbulkan wabah seperti yang
terjadi di Malaysia. Morse (1995) mengemukakan beberapa faktor lain yang ikut
berperan dalam kejadian dan penyebaran penyakit diantaranya adalah adanya
perubahan dalam kepadatan penduduk (human demography) dan kebiasaan manusia,
kemajuan dalam teknologi dan industri, mutasi dan adaptasi mikroba, dan
pelanggaran rambu-rambu standar kesehatan masyarakat.
4. Penyakit
Rift Valley Fever (RVF)
Penyakit
rift valley fever (RVF) adalah penyakit viral yang menyerang hewan maupun
manusia yang disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus dari famili
Bunyaviridae. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 pada
kejadian epidemic disuatu peternakan di Rift Valley di Kenya. Penyakit ini
utamanya ditularkan kepada hewan dan manusia oleh nyamuk Aedes spp., dan dapat
menyebabkan penyakit yang serius yang ditandai dengan tingginya kejadian
keguguran dan bias mengakibatkan kematian. Manusia bisa tertular apabila berada
pada lokasi tersebut dan terkena gigitan nyamuk yang mengandung virus RVF.
Biasanya kasus pada manusia umumnya ringan tetapi pada beberapa individu peka
dapat menimbulkan gejala penyakit yang berat.
Penyakit
RVF terus menyebar di Afrika Utara sehingga terjadi di Mesir pada ahir tahun
1977 dimana terjadi epizootik yang dramatis yang menyebabkan 600 orang
meninggal dan lebih dari 60.000 orang memperlihatkan gejala klinis yang berat
(Meegan et al. 1979). Kemudian pada tahun 2000 kasus penyakit RVF terjadi di
Saudi Arabia dan Yaman (Gould dan Higgs 2009). Selanjutnya pada tahun 1997
terjadi lagi epizootik penyakit RVF di Mesir pada sapi dan domba dengan gejala
demam tinggi, ikterus, diare berdarah dan abortus (Abd Elrahim et al. 1999).
Sumber infeksi wabah penyakit RVF ini berasal dari unta dan ternak ruminansia
yang diimpor dari Sudan, dimana kejadian penyakit ini diperparah dengan
meningkatnya populasi nyamuk sebagai vektor penyakit RVF pada musim panas di
Mesir (Abd El-Rahim et al. 1999). Berdasarkan kejadian ini timbul pertanyaan
apakah tidak mungkin penyakit RVF ini akan sampai ke Eropa dan Asia.
Dari
berbagai kejadian wabah penyakit RVF ternyata munculnya mengikuti tingginya
curah hujan dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya genangan air di daratan
yang cukup lama yang terkait erat dengan perkembangbiakan vektor (nyamuk).
Proyek irigasi selama abad ke-20 di Afrika memicu terjadinya wabah penyakit RVF
karena bermunculannya nyamuk dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini juga
telah dibuktikan melalui suatu pembentukan genangan air buatan di daerah
epizootik di Kenya, ternyata jutaan larva Aedes mcintoshi menetas dan virus RVF
dapat diisolasi dari nyamuk dewasa termasuk nyamuk jantan. Dengan demikian
penularan transovarial virus memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima
akal (Gould dan Higgs 2009).
Gould
dan Higgs (2009) juga dalam tulisannya mengemukakan bahwa wabah RVF di Afrika
Timur berkaitan erat dengan tingginya curah hujan yang terjadi selama fase
musim panas dari fenomena ENSO (El Nino/Southern Oscillation). Umumnya RVF
terjadi di pedesaan dan semi-rural, bukan diperkotaan, dan kejadian epizootik
pada ternak terutama pada beberapa bangsa ternak yang di impor. Kejadian pada
manusia biasanya terjadi pada manusia yang karena pekerjaannya mempunyai hubungan
dengan ternak tersebut, seperti penggembala ternak, pekerja kandang, pekerja
rumah potong hewan (RPH), atau tinggal bersama ternak tersebut sehingga terjadi
infeksi melalui kontak dengan ekskreta atau darah atau jaringan dari hewan yang
terinfeksi. Penularan kepada manusia bias juga karena terpapar terhadap gigitan
dari nyamuk yang telah terinfeksi dengan virus RVF.
Karena
penyakit RVF ini ditularkan oleh nyamuk Aedes spp. sebagai vektor, maka kondisi
iklim merupakan pemicu timbulnya penyakit RVF. Oleh karena itu, secara teori
penyakit RVF ini memungkinkan untuk tersebar sampai negara di Eropa dan Asia
termasuk Indonesia. Disamping itu, selain faktor perubahan iklim, faktor lain
seperti perpindahan hewan yang terinfeksi melalui perdagangan (ekspor/impor)
atau melalui terbawanya vektor nyamuk yang kompeten ke daerah yang bukan
epidemik RVF dan menyebar di luar batas geografisnya. Oleh karena itu, dapat
diantisipasi pencegahannya melalui control terhadap vektornya disertai dengan
melakukan surveilans pada iklim tertentu atau pada keadaan terjadinya perubahan
iklim sebelum terjadinya penyakit sehingga penyebaran penyakit dapat dihambat.
5. Penyakit
Alveolar Echinococcosis
Cacing
dewasa Echinococcus multilocularis hidup pada hospes defi nitif: rubah (Vulpes
vulpes, Vulpes ferrilata, Vulpes corsac, Alpex lagopus), serigala (C. latrans),
lynx (Lynx spp), felis (Felis silvertris), rakun (Nyctereutes procyonoides),
dan jackal. Hewan pengerat (Microtus spp), termasuk mencit, merupakan hospes
perantara. Parasit ini menyebabkan alveolar echinococcosis (AE) yang pernah
dilaporkan di Eropa Tengah, Rusia, Asia Tengah, Cina, Kanada Barat dan Utara,
Alaska Barat. Data kasus AE pada manusia sulit dievaluasi karena rendahnya
prevalensi, periode asimptomatik yang lama sehingga identifi kasi kejadian
infeksi berdasarkan tempat dan waktu sulit dilakukan. Data annual incidence
daerah endemik di Eropa menunjukkan peningkatan (0,1/100.000 di tahun 1993-2000
dan 0,26/100.000 pada tahun 2001-2005) (Schweiger 2007). Penyebaran parasit E.
multilocularis dapat menyebar ke daerah nonendemik di Amerika Utara dan
kepulauan Hokkaido Jepang karena migrasi dan relokasi hewan rubah. Para pemburu
bisa terinfeksi AV karena sering kontak dengan rubah yang diambil bulunya (IOWA
2011).
Larva
E. multilocularis (metasestoda) menyebabkan alveolar echinococcosis (AE) pada
manusia. Hati merupakan organ utama tempat larva (metasestoda) E.
multilocularis bermetastasis dan lesi meluas ke paru, bahkan mungkin juga ke
otak. Infeksi AE yang sudah kronis ditemukan lesi nekrotik menetap berisi
material putih amorf yang terbungkus lapisan tipis jaringan fibrosa. Gejala AE
biasanya tidak jelas, bisa berupa nyeri epigastrik, hepatomegali, malnutrisi,
atau icterus (Moro dan Schantz 2009).
Kasus
cystic echinococcosis paling banyak ditemukan pada manusia, dengan annual
incidence di daerah endemik 1-200 kasus/100.000 populasi; kasus alveolar
echinococcosis juga cukup banyak, dengan annual incindence 0,03-1,2
kasus/100.000 populasi. Infeksi Echinococcus spp lebih banyak ditemukan pada
dewasa. Infeksi cystic echinococcosis awalnya tanpa gejala (asimptomatik). Syok
dan reaksi anafilaktik terjadi jika kista pecah, terutama di organ vital.
Gejala
akan tampak jika kista berada di otak, hati, ginjal, dan jantung. Alveolar
echinococcosis juga banyak menginfeksi manusia dan berdampak serius; jika
diagnosis terlambat, berakibat fatal. Pengobatan jangka panjang dapat
menyembuhkan dan mengurangi gejala; peluang hidup 10-20 tahun dengan
keberhasilan pengobatan 80%. Jika tidak diobati, akan berdampak fatal
(70-100%). Echinococcus vogeli menyebabkan polycystic echinococcosis, yang juga
sering menginfeksi manusia. Dilaporkan 170 kasus di tahun 2007 dan, sama
seperti E. Multilocularis, memerlukan pengobatan jangka panjang. Kasus infeksi
E. oligarthrus jarang ditemukan pada manusia (IOWA 2011).
6. Sindrom
Pernapasan Akut Parah (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS)
Pada
tanggal 12 Maret 2003, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
mengeluarkan suatu peringatan ke seluruh dunia tentang adanya suatu penyakit
yang disebutnya sebagai sindrom penapasan akut parah (severe acute respiratory
syndrome/SARS) (WHO 2003). Penyakit ini digambarkan sebagai radang paru
(pneumonia) yang berkembang secara sangat cepat, progresif dan seringkali
bersifat fatal, dan diduga berawal dari suatu propinsi di Cina Utara yaitu
propinsi Guangdong. Pada saat pengumuman WHO ini dikeluarkan, kasus-kasus SARS
diketahui telah menyerang beberapa negara seperti Cina, Hongkong, Vietnam,
Singapura dan Kanada (WHO 2003). Sampai dengan tanggal 3 Mei 2003 telah
ditemukan sebanyak 6.234 kasus (probable cases) dan 435 (6,97%) kematian di
tigapuluh negara. Sulit sekali untuk menentukan dengan pasti, berapa jumlah
kasus, berapa negara yang terkena wabah SARS dan berapa angka kematian, oleh
karena gambaran penyakit ini setiap saat berubah dengan cepat.
Kekuatiran
lainnya adalah masih belum diketahui secara pasti cara peneyebaran virus tersebut.
Memang penularannya dari orang ke orang melalui udara (droplets, sneeze atau
cough), feses, dan toilet yang terinfeksi. Masih menjadi pertanyaan berapa lama
virus mampu bertahan hidup di lingkungan (door handles, countertops). Hasil
penelitian terakhir menunjukkan bahwa coronavirus mampu bertahan hidup di luar
tubuh manusia sampai satu minggu. Kerja sama yang dikoordinasi oleh WHO yang
mengikut sertakan sejumlah laboratorium di berbagai negara telah memberikan
hasil yang relatif sangat cepat dalam mengidentifikasi penyebab dari SARS. Pada
saat yang hampir bersamaan, laboratorium di Kanada dan Pusat Pemberantasan dan
Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (Center for Disease Control/CDC)
menyatakan bahwa suatu jenis coronavirus adalah penyebab dari SARS.
Meskipun
dalam beberapa dekade terakhir dari abad yang lalu terdapat beberapa penyakit
baru yang timbul, SARS harus ditanggapi sebagai suatu ancaman yang serius
terhadap kesehatan internasional. Jika virus SARS bertahan pada keadaannya
seperti sekarang yaitu patogenitasnya yang tinggi serta penyebarannya yang
sangat cepat, maka SARS dapat menjadi penyakit baru yang pertama pada abad 21
ini dengan keganasan yang tinggi dan potensi epidemik global. Sekitar bulan
Nopember 2002, dilaporkan dari propinsi Guangdong, Cina, adanya penderita yang
mengalami radang paru yang atipikal dan sangat gawat serta tingkat penularannya
tinggi (WHO 2003). Kausa penyakit ini tidak diketahui.
Pada
tanggal 26 Pebruari 2003, seorang penderita (kasus indeks) dirawat di sebuah
rumah sakit di Hanoi, Vietnam, dengan demam tinggi, batuk-batuk kering,
mialgia, dan sakit tenggorok ringan. Empat hari kemudian, penderita ini mulai
mengalami kesulitan bernapas, menunjukan trombositopenia berat, dan tanda-tanda
sindrom gangguan pernapasan (respiratory distress syndrome) sehingga memerlukan
alat bantu pernapasan (ventilator). Meskipun telah diberikan terapi yang
intensif, penderita meninggal pada tanggal 13 Maret 2003 setelah dipindahkan ke
rumah sakit di Hongkong. Penderita ini datang ke Hanoi setelah berkunjung ke
Shanghai dan Hongkong. Tanggal 5 Maret 2003, tujuh petugas kesehatan yang
pernah merawat kasus indeks tersebut menderita penyakit yang sama. Penyakit
tersebut timbul 4-7 hari setelah kasus indeks tersebut masuk ke rumah sakit untuk
dirawat. Sekitar dua minggu kemudian, telah tercatat 43 kasus, 5 di antaranya
membutuhkan ventilator dan dua meninggal.
Tanggal
12 Maret 2003, Departemen Kesehatan Hongkong melaporkan adanya suatu wabah
penyakit pernapasan di satu rumah sakit umum. Duapuluh petugas kesehatan
mengalami gejala penyakit yang sangat menyerupai flu. Hingga awal April 2003,
di Hongkong dijumpai 1.108 kasus dengan 35 kematian. Hongkong merupakan daerah
yang paling berat diserang oleh penyakit SARS. Yang paling membingungkan adalah
ditemukannya 268 kasus SARS yang mengelompok pada suatu gedung apartemen, yaitu
Amoy Garden yang semuanya berasal dari satu blok (blok E). Pola transmisi ini
menunjukkan bahwa penyakit SARS telah merambat keluar dari lingkungan petugas
kesehatan ke lingkungan masyarakat. Penyelidikan untuk menemukan sumber
transmisi tidak memberikan hasil, virus SARS tidak ditemukan pada
binatang-binatang seperti kecoa dan tikus.
Tujuh
kasus SARS dilaporkan dari Kanada pada tanggal 15 Maret 2003, dua di antara
kasus tersebut meninggal. Kasus-kasus ini dijumpai pada dua kelompok keluarga
besar. Pada dua kelompok ini, sedikitnya satu anggota keluarga tersebut pernah
berkunjung ke Hongkong dalam waktu satu minggu sebelum terjadi gejala-gejala
penyakit. Sampai pertengahan April 2003, telah dilaporkan ada 101 kasus dengan
10 kematian. Kasus-kasus SARS yang dilaporkan dari Singapura hingga minggu ke
tiga bulan April 2003 adalah 186 kasus dengan 16 kematian.
Ketika
tim dari WHO pada awal bulan April 2003 melakukan penyelidikan di Cina,
propinsi Guangdong, mereka menemukan adanya apa yang disebut sebagai
super-spreaders, suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan individu
dengan pneumonia atipikal (SARS) yang dianggap menyebarkan penyakit kepada
sejumlah individu lain. Tidak diketahui apakah individu yang tergolong dalam
super-spreader tersebut mensekresi bahan infektif dalam jumlah sangat besar
atau apakah ada faktor-faktor tertentu lain, mungkin dari lingkungan, yang
berperan dalam suatu fase perkembangan virus sehingga mampu memperbesar tingkat
transmisi virus tersebut.
Meskipun
ada tanda-tanda positif bahwa kasus-kasus imported tidak menyebar lebih jauh,
wabah yang terjadi di Cina, Hongkong, Kanada, Vietnam dan Singapura, telah
menimbulkan banyak keprihatinan dan kekuatiran di mana-mana.
7. Monkeypox
atau Cacar Monyet
Secara
historis, infeksi monkeypox virus pada manusia diisolasi di atau sebagian besar
ditemukan di Afrika Barat dan Tengah. Reservoir virus adalah salah tupai dan
hewan pengerat lainnya pada hutan hujan tropis di Afrika, dan manusia
terinfeksi akibat berburu dan menangani hewan-hewan ini. Penularan dari manusia
ke manusia pernah dilaporkan, namun jarang terjadi (Jazek et al. 1988). Selain
itu, vaksinasi cacar (vaccinia) dapat menyebabkan crossimmunity ke monkeypox.
Kepentingan utama monkeypox terkait dengan penghentian vaksinasi global cacar
pada 1980-an, dan kekhawatiran akan menyebabkan kekosongan imunologi yang dapat
dimanfaatkan oleh virus cacar jenis lain (Pattyn 2000). Status endemik
monkeypox di Afrika pada 1980-an dan 1990-an meningkat secara perlahan (Hutin
et al. 2001), akibat adanya perang selama bertahun-tahun. Selama wabah di
Republik Demokratik Kongo setelah tahun 1983, case fatality rate monkeypox
mencapai 9,8% pada orang yang belum pernah divaksinasi cacar. Dengan adanya
perubahan gaya hidup, akibat meningkatnya urbanisasi dan intensif pertanian
selama beberapa tahun terakhir, kejadian monkeypox di Afrika dilaporkan
mengalami penurunan.
Selama
bulan Juni dan Juli 2003, 71 kasus yang diduga monkeypox dilaporkan di negara
bagian Illinois, Indiana, Kansas, Missouri, Ohio dan Wisconsin di Amerika
Serikat. Sebanyak 35 kasus dikonfirmasi dengan uji laboratorium (CDC 2003).
Sebagian besar orang-orang ini terinfeksi melalui kontak dengan anjing padang rumput
atau anjing padang rumput (hewan pengerat dari genus Cynomys), yang berasal
dari distributor perdagangan hewan peliharaan komersial. Anjing padang rumput
di tempat ini mungkin ditangkap di alam liar, dan terinfeksi melalui kontak
dengan Gambian giant rats (Cricetomys spp.) dan Dormice (Graphiurus spp.) yang
berasal dari Ghana. Wabah penyakit ini dilaprkan pada manusia dan anjing padang
rumput terjadi karena perdagangan internasional dan perpindahan hewan liar, dan
trend pertumbuhan hewan eksotis dan penangkaran satwa liar di Amerika Serikat
(OIE 2004).
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Emerging Zoonoses
Munculnya
emerging zoonoses tidak hanya akan terus bermunculan tapi mungkin akan
menyebabkan meningkatnya jumlah. Sayangnya, emerging zoonoses tidak dapat
prediksi, serta setiap penyakit baru yang muncul berasal dari sumber yang tak
terduga. Namun, hal yang pasti adalah bahwa persiapan terhadap emerging disease
pada hewan dan manusia perlu dilakukan. Perlu dipertimbangkan juga beberapa isu
yang berkaitan dengan emerging zoonoses. Isu-isu ini meliputi, perpindahan
hewan, gangguan ekologi pertumbuhan mikroorganisme, penyakit kronis, perbaikan
surveilans, dan terorisme. Masing-masing dianggap di bawah ini.
1. Perpindahan
Hewan
Volume
perdagangan hewan di seluruh dunia sangat besar dan terus berkembang.
Hewan-hewan yang diangkut masuk ke dalam beberapa kategori, yaitu ternak dan
unggas, hewan eksotis untuk hewan peliharaan, dan satwa liar. Semua jenis yang
berkaitan dengan hewan komersial berpotensi munculnya emerging zoonoses.
2. Konsumsi
Pangan Asal Hewan
Jumlah
manusia di dunia diperkirakan mencapai 7,7 miliar pada tahun 2020, dengan
peningkatan terbesar berasal dari negara berkembang. Dengan demikian, kebutuhan
protein hewani akan terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
produksi ternak pada 2020 harus mencapai dua kali lipat pada tahun 2000
(Delgado et al. 1999). Peternakan hewan intensif untuk konsumsi diperlukan
dalam skala ekonomi besar serta dilalulintaskan dari suatu negara ke Negara
lain, sehingga potensi penyebaran penyakit juga tinggi. Kondisi ini menyebabkan
perluasan penyakit emerging zoonosis, misalnya Virus Nipah dan highly
pathogenic avian influenza.
3. Hewan
Eksotis
Spesies
non-domestik juga berpartisipasi dalam perjalanan yang terkait dengan
globalisasi. Perdagangan satwa liar internasional mencapai US $ 159 miliar per
tahun (Cowdrey 2002). Di Amerika Serikat saja, diperkirakan ada 16,8 juta
peliharaan diklasifikasikan sebagai hewan peliharaan di rumah selain anjing dan
kucing (APPMA 2003). Sampai tahun 2003, Amerika Serikat telah mengekspor
sekitar 15.000 anjing padang rumput per tahun sebagai hewan peliharaan ke
negara-negara lain, terutama Jepang (Center for Emerging Issues 2003). Banyak
anjing padang rumput melarikan diri atau sengaja dilepaskan ke alam liar.
Anjing padang rumput kemudian hidup di selokan daan dapat terinfeksi monkeypox,
plague, atau tularaemia. Hal ini menimbulkan beberapa wabah kesehatan
masyarakat yang baru. Setiap tahun, 1,9 juta reptil yang diimpor ke Amerika
Serikat, dari 80 negara yang berbeda. Sebagian besar merupakan jenis kadal. Di
sisi lain, 9-10 juta reptil yang diekspor dari Amerika Serikat setiap tahun,
sebagian kura-kura brazil (Bridges et al. 2001). Dan, pada tahun 2002, 49 juta
amfibi memasuki Amerika Serikat (Ginsburg 2004). Oleh karena itu, lalu lintas
spesies eksotik, dapat menyebabkan badai mikroba yang sempurna.
Pertukaran
koleksi hewan di kebun binatang memudahkan adanya penularan penyakit dari satu
spesies ke yang spesies yang lain, sehingga dapat timbul penyakit baru. Sekitar
1.200 kebun binatang dan aquaria yang dikelola secara profesional di seluruh
dunia. Di tempat-tempat ini bannyak dilakukan perdagangan hewan. Dari 1,65 juta
hewan yang dipelihara di 586 kebun binatang di 72 negara di enam benua, 82%
mamalia baru kebun binatang, 64% burung, dan mayoritas spesies reptil
dikembangbiakan di kebun binatang (ISIS 2004). Hal ini berarti sebagian besar
kemungkinan untuk terjadi lalulintas patogen potensial. Seekor tikus Afrika
yang lahir dan dibesarkan di kebun binatang Asia dapat ditemukan di kebun
binatang Amerika Selatan selanjutnya disamping mamalia kutub dari Amerika
Utara. Dengan demiian, jumlah perkembang biakan dari mikroorganisme komensal
atau patogen terus meningkat secara eksponensial.
Perdagangan
ilegal spesies non-domestik sulit untuk dihitung, tetapi dianggap sangat
menguntungkan, serta menempati nomor kedua setelah penyelundupan narkoba. Hal
ini perlu direnungkan untuk memperketat pengawasan lalulintas, sehingga tidak
memungkinkan adanya pertukaran mikroorganisme pathogen akbat perdagangan
illegal.
4. Satwa
Liar
Beberapa
tahun terakhir, pasar perdagangan hewan hidup dan konsumsi daging satwa liar
telah mencapai tingkat yang menghawatirkan, terutama kaitannya dengan wabah
SARS dan Ebola.
5. Konsumsi
Daging Hewan Liar
Meskipun
manusia telah memburu dan memakan daging dari hewan liar selama ribuan tahun,
konsumsi beberapa tahun terakhir meningkat secara dramatis (Milner-Gulland dan
Bennet 2003). Di Afrika Tengah saja, diperkirakan 1.000.000-3.400.000 ton
daging hewan liar dikonsumsi setiap tahunnya. Walaupun fokusnya cenderung di
Afrika, banyak daerah lain di dunia ikut serta dalam pengambilan, pengangkutan
dan penjualan hewan liar untuk dikonsumsi. Contohnya, 25 ton penyu yang
diekspor dari Indonesia setiap minggu dan 28.000 primata diburu setiap tahun di
Peru. Fenomena perdagangan daging dalam rantai pasokan yang dapat mencapai
ratusan kilometer berpotensi dalam penyebaran patogen. Mikroba dari hewan-hewan
ini dapat masuk ke host baru dan/atau benua baru dengan hasil yang tak terduga.
Sekitar
60,3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan oleh agen
penyakit zoonotik, yang 71,8% diantaranya bersumber dari satwa liar (Jones et
al. 2008). Satwa liar diketahui berperan dalam peningkatan frekuensi kejadian
penyakit menular pada manusia. Satwa liar bertindak sebagai reservoar utama
berkembangnya penyakit menular dan zoonosis pada manusia dan hewan domestik
(Daszak et al. 2000; Kruse et al. 2004). Zoonosis yang bersumber pada satwa
liar diketahui sebagian besar berasal dari bakteri, virus, dan parasit,
sementara cendawan kurang berdampak serius terhadap manusia (Kruse et al.
2004).
Menurut
Bengis et al. (2004), zoonosis bersumber satwa liar secara umum terbagi menjadi
dua kategori, yakni (1) penyakit bersumber satwa liar yang secara nyata
penularannya ke manusia jarang terjadi, akan tetapi bila sekali terjadi maka
penularan antara manusia dan manusia dapat berlangsung selama beberapa periode
waktu atau secara permanen, contohnya AIDS oleh HIV, influenza A, virus Ebola,
dan SARS; (2) penyakit bersumber satwa liar yang penularannya secara langsung
dan/atau diperantarai vektor dengan satwa liar bertindak sebagai reservoar
utama patogen. Contohnya adalah rabies, virus Nipah, virus West Nile,
hantavirus, lyme borreliosis, plague, tularemia, leptospirosis, dan
ehrlichiosis.
Pergerakan
agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa liar tidak hanya
berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan satwa liar asli.
Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang gunung di
Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa liar masih
menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan memerlukan biaya yang
tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia, hewan domestik, satwa
liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan satwa liar untuk produk
tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya satwa liar di beberapa area
seluruh dunia.
6. Pasar
Hewan Hidup
Pasar
ini populer di negara berkembangs, menawarkan berbagai jenis spesies hewan
langka dalam kondisi hidup. Sayangnya, dalam keadaan hidup ini hewan-hewan
tersebut juga dapat membuang kotoran, mengeluarkan mikroba patogen yang berpotensi
menularkan ke hewan dan manusia. Selama beberapa dekade beberapa pasar ini
telah diakui sebagai sumber potensial munculnya penyakit, misalnya highly
pathogenic avian influenza dari pasar unggas hidup, musang dengan SARS
coronavirus dan positif serologi di kalangan pekerja pasar hewan hidup di Cina
(Webster 2004). Dengan demikian, pasar ini menimbulkan risiko yang tinggi bagi
penyebaran penyakit.
7. Gangguan
Ekologi
Gangguan
ekologi adalah masalah besar lain yang mungkin sebagai salah satu faktor yang
paling berbahaya dalam munculnya penyakit emerging zoonosis. Manusia yang
melanggar batas habitat baru dapat terkena patogen baru. Selain itu, ada
perpindahan manusia yang membawa patogen ke lokasi geografis yang baru, sebuah
fenomena yang disebut polusi patogen (Daszak et al. 2000). Perpindahan manusia
yang tidak terinfeksi ke daerah-daerah baru juga memungkinkan untuk kontak
dengan penyakit baru. Contohnya adalah introduksi Brushtail posum dari
Australia ke Selandia Baru. Di Selandia Baru, Brushtail posum sebagai reservoir
tuberkulosis sapi (Viggers et al. 1993). Menariknya, biosekuriti adalah konsep
yang biasa diterapkan pada pasien atau hewan, laboratorium, klinik, atau
pertanian. Mungkin sudah saatnya untuk menyesuaikan konsep biosekuriti ke
dimensi yang lebih besar, yaitu ekosistem. Dengan menerapkan biosecurity satu
sektor kecil, seperti yang kita miliki di masa lalu, kita mungkin tidak sengaja
merusak ekosistem dengan cara yang akan mendorong munculnya penyakit baru.
Dokter hewan didorong untuk berpikir tentang biosekuriti dalam arti yang lebih
luas, yaitu, untuk mengembangkan kebijakan dan menerapkan perawatan kesehatan
hewan dengan ide meliputi lingkungan dalam totalitasnya (Leighton 2004).
8. Mikroorganisme
yang Belum Bisa Diidentifikasi
Masalah
besar lain mengenai zoonosis yang muncul adalah adanya patogen tidak dikenal
sebelumnya. Manusia dapat terinfeksi oleh lebih dari 1.400 agen penyakit yang
berbeda, sebagian besar termasuk zoonosis. Semua patogen ini dapat
diidentifikasi dengan beberapa cara, biasanya dengan cara kultur. Bagaimana
dengan mikroorganisme yang belum dapat diidentifikasi atau yang tidak dapat
dibiakan dengan metode saat ini? Beberapa tahun mengidentifikasi banyak
mikroorganisme yang tidak dapat dibiakkan (Wagner 2004). Menggunakan metode
kultivasi pemeriksaan berdasarkan gen ribosomal ribonucleic acid 16S
menunjukkan bahwa keragaman alam prokariota jauh melebihi jumlah mikroorganisme
yang diketahui sebelumnya. Mikroorganisme baru tersebut didominasi oleh
bakteri, baik yang alami maupun yang direkayasa. Pada saat ini diperkirakan
hanya dapat mengembangbiakan sekitar 0,4% dari seluruh bakteri ada di alam
(Relman 1998). Dengan demikian, masih banyak bakteri dan mikroorganisme lain
yang mungkin bisa menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada host baru yang
jenisnya belum diketahui. Hal ini hanya dapat ditangani dengan cara pencegahan.
9. Kolaborasi
Agen Patogen
Infeksi
oleh agen penyakit yang dapat berasosiasi satu sama lain. Contohnya asosiasi
infeksi toksoplasma dengan skizofrenia. Infeksi akut toksoplasma dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan. Penelitian serologis menunjukkan
bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki persentase kekebalan yang lebih tinggi
dengan perbedaan bermakna secara statistik (Torrey dan Yolken 2003). Akibatnya,
penyakit yang sebelumnya dianggap tidak menular (yaitu skizofrenia), diduga
sebenarnya bersifat zoonosis. Berapa penyakit yang bersifat kronis lainnya juga
dipicu oleh infeksi akibat agen penyakit yang menginfeksi terlebih dahulu.
Terorisme
Masalah
berikutnya adalah ancaman dari terorisme. Semua agen bioterrorism selalu
termasuk pathogen serta ada kecenderungan teroris mengubah suatu organisme dan
merekayasa menjadi jenis penyakit baru.
Meningkatkan
Pengawasan
Tabel
1 Beberapa agen patogen dengan
faktor yang mempengaruhi kemunculannya (Morse 1995)
Agen patogen
|
Faktor yang berkontribusi terhadap
kemunculannya
|
Virus
|
|
Bolivian
hemorrhagic fever, Argentina hemorrhagic fever
|
Perubahan
pertanian yang memicu populasi inang rodensia
|
Bovine
spongiform encephalopathy (BSE)
|
Perubahan
pada proses rendering
|
Demam
berdarah dengue
|
Transportasi,
perjalanan, migrasi, dan urbanisasi
|
Ebola,
Marburg
|
Tidak
diketahui (di Eropa dan Amerika Serikat dari impor monyet)
|
Hantavirus
|
Perubahan
ekologi atau lingkungan yang meningkatkan kontak dengan inang rodensia
|
Hepatitis
B, C
|
Transfusi
darah, transplantasi organ, peralatan hipodermik terkontaminasi, penularan
seksual, penyebaran vertikal dari induk terinfeksi ke anak
|
HIV
|
Migrasi
ke kota dan perjalanan, penularan seksual, penularan vertikal dari induk ke
anak, peralatan hipodermik terkontaminasi(penggunaan obat intravena),
transfusi darah, transplantasi organ
|
Influenza
(pandemi)
|
Kemungkinan
peternakan babi dan bebek yang memfasilitasi reassortment virus avian
dan mamalia
|
Lassa
fever
|
Urbanisasi
inang rodensia, peningkatan paparan
|
Rift
Valley fever
|
Pembangunan
bendungan, pertanian, irigasi, kemungkinan perubahan virulensi atau
patogenitas virus
|
Demam
kuning (yellow fever)
|
Kondisi
yang mempengaruhi vektor nyamuk
|
Bakteri
|
|
Kolera
|
Epidemi
di Amerika Selatan kemungkinan berasal dari kapal Asia yang menyebar melalui
klorinasi air, perjalanan
|
Haemolitic
uremic syndrome (Escherichia coli O157:H7)
|
Penggunaan
teknologi pemrosesan makanan massal yang memungkinkan kontaminasi daging
|
Legionella
|
Sistem
pendinginan (organisme yang tumbuh pada biofilm yang terbentuk pada
penyimpanan tank air)
|
Lyme
borreliosis
|
Reforestrasi
sekeliling rumah dan kondisi yang mempengaruhi vektor caplak pada rusa (inang
reservoar sekunder)
|
Streptococcus
grup A (nekrotik invasif)
|
Tidak
menentu
|
Toxic
shock syndrome (Staphylococcus aureus)
|
Ultra-absorbency
tampon
|
Parasit
|
|
Cryptosporidium,
patogen penyakit air lainnya
|
Kontaminasi
air permukaan, kegagalan pemurnian air
|
Malaria
|
Perjalanan
atau migrasi
|
Skistosomiasis
|
Pembangunan bendungan
|
Dengan
mengintensifkan pengawasan maka penyakit dengan jenis dan bentuk baru dapat
lebih mudah diidentifikasi. Contohnya adalah penemuan bovine amyloidotic
spongiform encephalopathy (BASE) oleh para peneliti Italia (Casalone et al.
2004). Lebih dari 1,6 juta otak sapi diperiksa dalam upaya meningkatkan
pengawasan terhadap BSE di Italia. Pengujian sampel pada 103 kasus positif
ditemukan jenis yang jelas berbeda dari spongiform encephalopathy, dengan
lesion berada di bagian otak lain. Jenis prion BASE baru berbeda karena
terdapat sedikit kandungan zat gula. Bentuk ini mirip dengan beberapa isolat
dari Creutzfeldt Jakob disease klasik yang sporadis pada manusia.
Metode
yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian emerging dan re-emerging
zoonoses bersumber satwa liar adalah isolasi dan pembuatan pembatas fisik untuk
mengasingkan satwa liar dari peternakan atau pemukiman penduduk, pengendalian
populasi satwa melalui seleksi, perawatan dan vaksinasi dalam populasi satwa
(misalnya vaksinasi rabies secara oral pada rubah), pembatasan pergerakan satwa
liar, melakukan tindakan tentatif pengujian melalui karantina pada semua satwa
hidup impor dan ekspor, serta peningkatan keterampilan perawatan dalam
mengadopsi dan translokasi satwa liar (WHO/FAO/OIE 2004).
Globalisasi
berdampak pada peningkatan permasalahan yang terkait kesehatan hewan, manusia,
dan lingkungan. Banyaknya emerging dan re-emerging infectious disease yang
disebabkan kontak antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar memerlukan
pemahaman mengenai strategi efektif dalam upaya pengendalian dan pencegahan
penyakit. Para profesi yang terkait dengan kesehatan hewan, manusia, dan
lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab berbagai tantangan yang
timbul akibat globalisasi. Upaya pendekatan kolaborasi interdisipliner antara
bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sangat diperlukan dalam
penanggulangan penyakit. Hal tersebut memicu dicetuskannya konsep one health
untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan global (Sherman 2010).
One
health adalah upaya kolaboratif multidisiplin yang bekerja secara lokal,
nasional, dan global untuk mencapai kesehatan optimal bagi manusia, hewan, dan
lingkungan (Leboeuf 2011). Konsep tersebut dicetuskannya oleh para dokter hewan
di Wildlife Conservation Society dengan mendeklarasikan Manhattan Principles on
One World, One Health (Sherman 2010). Penyakit zoonotik memberikan dampak
berupa kerugian besar terhadap perekonomian dunia. Masyarakat dunia dituntut
melakukan kerjasama tingkat regional maupun internasional dalam upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik, khususnya yang terkait dengan
penyakit hewan yang bersifat lintas batas negara atau yang dikenal sebagai
transboundary animal diseases (TAD). TAD adalah penyakit yang memiliki
kepentingan signifikan pada ekonomi, perdagangan, dan/atau keamanan pangan bagi
banyak negara yang dapat dengan mudah menyebar ke negara lainnya dan mencapai
proporsi epidemik sehingga memerlukan pengendalian atau pengaturan melalui kerjasama
beberapa negara.
Penyakit-penyakit
TAD antara lain penyakit mulut dan kuku (PMK), rinderpest, contagious bovine
pleuropneumonia, BSE, peste des petits ruminants, classical swine fever,
African swine fever, Newcastle disease (ND), dan avian influenza (AI) (Otte et
al. 2004). Sejak Juni 2011, OIE mengeluarkan resolusi 18/2011 yang menyatakan
bahwa dunia bebas dari rinderpest dari 198 negara yang rentan terserang.
Meningkatnya
mobilitas hewan hidup dan produk hewan di seluruh dunia meningkatkan tingkat
risiko penyebaran TAD. World Trade Organization (WTO) secara aktif mendukung
pengembangan regulasi dan kebijakan dalam menjamin kesehatan hewan dan keamanan
pangan dalam perdagangan internasional. World Organization for Animal Health
(OIE) menyediakan pakar dan ilmuwan bagi WTO dalam meregulasi perdagangan
ternak di dunia. Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO)
dan World Health Organization (WHO) dalam Codex Alimentarius menyediakan
panduan untuk regulasi pangan termasuk pangan asal hewan (Sherman 2010).
American Veterinary Medical Association pada tahun 2007 mengeluarkan One Health
Initiative dan membuat One Health Initiative Task Force untuk mempelajari
kemungkinan kolaborasi dan kerjasama antara profesi ilmu kesehatan, institusi akademik,
pemerintah, dan industri dengan penaksiran, perawatan, dan pencegahan penularan
penyakit lintas spesies dan prevalensi penyakit manusia dan hewan dan kondisi
medis (AVMA 2008).
Emergency
Prevention Systems for Transboundary Animal and Plant Pest and Diseases
(EMPRES) didirikan oleh FAO tahun 1994 memiliki fungsi dalam pencegahan dan
peringatan dini terhadap seluruh rantai makanan, melalui sistem (1) EMPRES
kesehatan hewan (mencakup penyakit hewan dan hewan akuatik), (2) EMPRES
perlindungan tanaman (mencakup hama dan penyakit tanaman, termasuk tanaman
hutan), dan (3) EMPRES keamanan pangan. Misi EMPRES adalah mendukung
pengendalian efektif hama dan penyakit endemik dan ancaman keamanan pangan
melalui kerjasama internasional mencakup peringatan dini, reaksi dini,
penelitian dan koordinasi (FAO 2011). Global Early Warning and Response System
for Majoring Animal Diseases, including Zoonoses (GLEWS) dibentuk dari gabungan
FAO, OIE, dan WHO yang bertujuan untuk meningkatkan peringatan dini secara
global terhadap wabah penyakit dan analisis epidemiologi (FAO/OIE/WHO 2006).
Penyebaran
Spesies Invasif dan Penyakit Infeksius sebagai Pembawa Perubahan Ekosistem
Spesies
invasif, vektor penyakit, dan agen patogen mempengaruhi keanekaragaman hayati,
fungsi dan manfaat ekosistem, dan kesehatan manusia. Perubahan iklim,
penggunaan lahan, dan lalulintas vektor menyebabkan interaksi dengan cara yang
kompleks sehingga menyebabkan penyebaran natif dan non-natif invasif spesies,
agen patogen, dan pengaruhnya terhadap perubahan ekosistem.
Deteksi
dini dan pemahaman mendalam mengenai spesies invasif dan penyakit menular
memerlukan lembaga penelitian yang terintegrasi serta pertukaran informasi
untuk mengidentifikasi sumber invasi atau munculnya penyakit. Kemitraan dengan
lembaga-lembaga di daerah kota dan profinsi yang memantau penyebaran dan dampak
spesies invasif dan agen patogen akan menjadi sangat penting dalam
mengembangkan data nasional dan jaringan penelitian yang dapat memfasilitasi
pemahaman penuh mengenai dampak yang dihasilkan pada ekosistem dan masyarakat
terutama bagi timbulnya emerging disease.
Penelitian
individual yang dilaporkan juga dapat berperan penting dalam merekam perubahan
fenologi terkait dengan invasi spesies atau wabah penyakit. Dampak ekologi dan
sosial dari spesies invasif dan patogen berbeda pada masing-masing tempat
sesuai dengan iklim, kondisi tanah tanah, dan dengan adanya perubahan iklim
global dapat memperburuk baik propagasi maupun dampaknya. Pemahaman mengenai
interaksi spesies invasif, vektor penyakit, dan patogen dengan perubahan
ekosistem lain sangat penting untuk memprediksi dampaknya bagi kesehatan
manusia dan kesejahteraan ekonomi (Crowl et al. 2008).
BAB
III
KESIMPULAN
Ilmu
biomedis, kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kebijakan masyarakat harus
bergerak cepat diperlukan untuk mengatasi semua alasan yang mendasari munculnya
penyakit. Pertemuan antara kesehatan manusia dan hewan menjadi semakin kabur.
Perpindahan hewan, konsumsi pangan asal hewan, hewan eksotis, satwa liar,
konsumsi daging hewan liar, pasar hewan hidup, gangguan ekologi, mikroorganisme
yang belum bisa diidentifikasi, dan kolaborasi agen pathogen diketahui berperan
sebagai reservoar dalam kemunculan beberapa emerging dan re-emerging zoonoses
dan menimbulkan dampak negatif pada manusia dan hewan di bidang kesehatan,
ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Emerging dan re-emerging zoonoses
muncul akibat ketidakseimbangan hubungan ekosistem antara inang dan patogen
yang dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan, dan ekologi, seperti
perkembangan pemukiman penduduk dan deforestasi.
Pencegahan
dan pengendalian emerging dan re-emerging zoonoses dilakukan dengan
mengutamakan prinsip pencegahan dan pengendalian pada sumber penularan melalui
penguatan koordinasi lintas sektor, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan,
pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi dan program perencanaan terpadu
terhadap wabah, serta penguatan kapasitas sumber daya masyarakat. Strategi lain
yaitu melalui pendekatan konsep one health dan ecohealth melalui kerjasama
antar organisasi-organisasi dunia, seperti OIE, FAO, dan WHO.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd
El-Rahim IH, Abd El-Hakim U, Hussein M. 1999. An epizootic of Rift Valley fever
in Egypt in 1997. Rev Sci Tech. 18: 741-748.
[APPMA]
American Pet Products Manufacturers Association. 2003. APPMA national pet
owners survey 2003-2004. Greenwich: APPMA.
Bengis
RG, Leighton FA, Fischer JR, Artois M, Mörner T, Tate CM. 2004. The role of
wildlife in emerging and re-emerging zoonoses. Rev sci tech Off int Epiz
23(2):497-511.
Bridges
V, Kopral C, Johnson R. 2001. The reptile and amphibian communities in the
United States. United States Department of Agriculture/Animal and Plant Health
Inspection Service/Veterinary Services, Centers for Epidemiology and Animal
Health, Fort Collins, 42 pp. [terhubung berkala].
www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cei/reptile.pdf [27 Januari 2015].
Casalone
C, Zanusso G, Acutis P, Ferrari S, Capucci L, Tagliavini F, Monaco S, Caramelli
M. 2004. Identification of a second bovine amyloidotic spongiform
encephalopathy: molecular similarities with sporadic Creutzfeldt-Jakob disease.
Proc Natl Acad Sci USA 101 (9), 3065-3070.
[CDC]
Centers for Disease Control and Prevention. 2003. Update: Monkeypox – 2003.
MMWR 52 (27), 642-646.
Center
for Emerging Issues. 2003. Summary of selected disease events January-June
2003. Centers for Epidemiology and Animal Health of the United States
Department of Agriculture, Fort Collins. [terhubung berkala].
www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cei/disease_summary0803.htm [4 Februari 2015).
Chua
KB, Lam SK, Gubbler DJ, Ksiazek TG. 1999. Proc of International Union of
Microbiological Society 9-13.
Cowdrey
D. 2002. Switching channels: wildlife trade routes into Europe and the UK.
World Wildlife Fund/TRAFFIC Report, 15 pp. Website:
www.traffic.org/news/press-releases/switching_channels.pdf (Diunduh 11 Juni
2015).
Crowl
TA, Crist TO, Parmenter RR, Belovsky G, Lugo AE. 2008. The spread of invasive
species and infectious disease as drivers of ecosystem change. Frontiers in
Ecology and the Environment, 6(5), 238-246.
Daniels
P. 1999. Experimental infection of pigs and cats at CSIRO-AAHL-Preliminary
obsevations. Kuala Lumpur, Malaysia: A working paper for WHO Meeting on
Zoonotic Paramyxoviruses. 19-21 July 1999. pp. 38-40.
Daszak
P, Cunningham AA, Hyatt AD. 2000. Emerging infectious diseases of wildlife
threats to biodiversity and human health. Science 287 (5452): 443-449.
Daszak
P, Tabor GM, Kilpatrick A, Epstein JON, Plowright R. 2004. Conservation
medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann NY Acad Sci 1026(1): 1-11.
Delgado
CM, Rosegrant M, Steinfeld H, Ehui S, Courbois C. 1999. Livestock to 2020: the
next food revolution. Food, Agriculture, and the Environment Discussion Paper
28. International Food Policy Research Institute, Washington, DC, Food and
Agriculture Organization of the United Nations, Rome, International Livestock
Research Institute, Nairobi, 72 pp. Website: http://www.ifpri.org/2020/dp/dp28.pdf
(accessed on 07 July 2015).
[FAO]
Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2011. Food chain
crisis management framework. Prevention and early warning. [terhubung berkala].
http://www.fao.org/foodchain/prevention-and-earlywarning/en/ [10 Juli 2015].
Ginsburg
J. 2004. Dinner, pets and plagues by the bucketful. [terhubung berkala].
http://www.the-scientist.com/?articles.view/articleNo/15565/title/Dinner--Pets--and-Plagues-by-the-Bucketful/
[4 Februari 2015].
Gould
EA, Higgs S. 2009. Impact of climate change and other factors on emerging
arbovirus diseases.Transactions of The Royal Society of Trop. Med Hygiene 103:
109-121.
Gummow
B. 2010. Challenges posed by new and re-emerging infectious diseases in
livestock production, wildlife and humans. Livest Sci 130:41-46.
Hutin
YJ, Williams RJ, Malfait P, Peabody R, Loparev VN, Ropp SL, Rodriguez M, Knight
JC, Tshioko FK, Kahn AS, Szczeniowski MV, Esposito JJ. 2001. Outbreak of human
monkeypox, Democratic Republic of Congo, 1996-1997. Emerg infect Dis 7 (3):
434-438.
[ISIS]
International Species Information System. 2004. ISIS: Fundamentals-A global
information network for species conservation. [terhubung berkala].
www.isis.org/joinisis/fundamentals.pdf [4 Februari 2015].
IOWA
State University. Echonococcosis. The Center for Food Securty and Public
Health. 2011. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/echinococcosis.pdf.
[4 Februari 2015].
Jezek
Z, Grab B, Szczeniowski MV, Paluku KM, Mutombo M. 1988. Human monkeypox:
secondary attack rates. Bull. WHO 66 (4), 465-470.
Jones
KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008.
Global trends in emerging infectious diseases. Nature 451 (7181): 990-993.
Karesh
WB, Cook RA, Bennett EL, Newcomb J. 2005. Wildlife trade and global disease
emergence. Emerg Infect Dis 11(7):1000-1002.
Kruse
H, Kirkemo AM, Handeland K. 2004. Wildlife as source of zoonotic infections.
Emerg Infect Dis 10(12):2067-2072.
Leboeuf
A. 2011. Making sense of one health: cooperation at the humananimal-ecosystem
health interface. [terhubung
berkala].www.ifri.org/downloads/ifrihereport7alineleboeuf.pdf. [17 Juli 2011].
Leroy
EM, Rouquet P, Formenty P, Souquiere S, Kilbourne A, Froment JM, Bermejo M,
Smit S, Karesh W, Swanepoel R, Zaki SR, Rollin PE. 2004. Multiple Ebola virus
transmission events and rapid decline of central African wildlife. Science 303
(5656), 387-390.
Leighton
F. 2004. Veterinary medicine and the
lifeboat test: a perspective on the social relevance of the veterinary
profession in the 21st Century. Can Vet J 45 (3): 259-263.
Meegan
JM, Hoogstraal H, Moussa MI. 1979. An epizootic of Rift valley fever in Egypt
in 1977. Vet Rec 105: 124 – 125
Meslin
FX, Stohr K, Heymann D. 2000. Public health implications of emerging zoonoses.
Rev Sci Technol. 19(1): 310.
Milner-Gulland
EJ, Bennett EL. 2003. Wild meat: the bigger picture. Trends Ecol Evol 18 (7):
351-357.
Moro
P, Schantz PM. 2009. Echinococcosis (review). Internat J Infect Dis 13:125-133.
Morse
SS. 1995. Factors in the emergence of infectios diseases. Emerg Infect Dis. 1:
7-15.
Morzunov
SP, Rowe JE, Ksiazek TG, Peters CJ, Jeor SCS, Nichol ST. 1998. Genetic analysis
of the diversity and origin of hantaviruses in Peromyscus leucopus mice in
North America. J Virol 72(1): 57-64.
Nordin
MN, Ong BL. 1999. Nipah virus infection in animals and control measures
implemented in Peninsular Malaysia. Proc: 21" Cont. OIE Regional
Commission for Asia, the Far East and Oceania. Taipei. 23-26 November 1999. pp.
27-37.
[OIE]
Office International des Epizooties. 2004. Report of the meeting of the OIE
Working Group on wildlife diseases, 9-11 February, Paris. Paris: OIE, 8.
Otte
MJ, Nugent R, McLeod A. 2004. Transboundary animal diseases: assessment of
socio-economic impacts and institutional response. Livestock Policy Discussion
Paper No. 9. [terhubung berkala].
http://www.fao.org/ag/AGAinfo/resources/en/publications/sector_discuss/PP_Nr9_Final.pdf.
[10 Juli 2015].
Pattyn
SR. 2000. Monkeypoxvirus infections. In An update on zoonoses. Rev Sci Tech Off
Int Epiz 19 (1): 92-97.
Rawlings
JA, Torrez-Martinez N, Neill SU, Moore GM, Hicks BN, Pichuantes S, Nguyen A,
Bharadwaj M, Hjelle B. 1996. Cocirculation of multiple hantaviruses in Texas,
with characterization of the small (S) genome of a previously undescribed virus
of cotton rats (Sigmo-don hispidus). Am J Trop Med Hyg 55: 672-679.
Relman
DA. 1998. Detection and identification of previously unrecognized microbial
pathogens. Emerg Infect Dis 4 (3): 382-389.
Roche
B, Guégan JF. 2011. Ecosystem dynamics, biological diversity and emerging
infectious diseases. CR Biol 334:385-392.
Schweiger
A. 2007. Human alveolar echinococcosis after fox population increase,
Switzerland. Emerg Infect Dis 13: 878-2.
Sherman
DM. 2010. A global veterinary medical prespective on the concept of One Health:
focus on livestock. ILAR J 51(3):281-287.
Tai
PW, Chen LC, Huang CH. 2005. Hanta hemorrhagic fever with renal syndrome: a
case report and review. J Microbiol Immunol Infect 38: 221-223.
Taylor
LH, Latham SM, Woolhouse MEJ. 2001. Risk factors for human disease emergence.
Phil Trans R Soc Lond B Biol Sci 356:983-989.
Torrey
EF, Yolken RH. 2003. Toxoplasma gondii and schizophrenia. Emerg Infect Dis 9
(11): 1375-1380.
Viggers
KL, Lindenmayer DB, Spratt DM. 1993. The importance of disease in
reintroduction programs. Wildl Res 20 (5): 687-698.
Wagner
M. 2004. Deciphering functions of uncultured microorganisms. ASM News 70 (2),
63-70.
Wang
LF, Yu M, Hanson E, Pritchard LL, Shiell B, Michalski WP, Eaton BT. 2000 . The
exceptionally large genome of Hendra virus: Support for creation of a new genus
within the family Paramyxoviridae. J Virology 74(21): 9972-9979.
Webster
RG. 2004. Wet markets: a continuing source of severe acute respiratory syndrome
and influenza? Lancet 363 (9404), 234-236.
[WHO/FAO/OIE]
World Health Organization/Food and Agriculture Organization of the United
Nations/World Organisation for Animal Health. 2004. Report of the WHO/FAO/OIE
joint consultation on emerging zoonotic disease. Geneva: WHO/FAO/OIE.
[WHO]
World Health Organization. 2003. Severe acute respiratory syndrome (SARS). Wkly
Epidemiol Rec 2003; 78: 81-3.
[WHO]
World Health Organization. 2003. WHO issues global alert about cases of
atypical pneumonia: cases of severity respiratory ilness may spread to hospital
staff. Geneva: World Health Organization; 2003. Available from URL:
http://www.who.int/mediacentre/release/2003/pr22/en/print.html. Accessed April
11, 2015.
[WHO]
World Health Organization. 2014. Ebola virus disease outbreak – west Africa.
[terhubung berkala]. http://www.who.int/csr/don/ 2014_09_04_ebola/en/ [4
Februari 2015].
Woolhouse
MEJ. 2002. Population biology of emerging and re-emerging pathogens. Trends
Microbiol 10(10):3-7.
Zowghi
E, Bayat M, Kousha A, Nissiani M. 2008. Emerging and re-emerging zoonoses. W J
Zool 3(2):71-76.
******
Catatan
/Keterangan:
Karya
Tulis Ilmiah ini telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan
Keamanan Hayati Hewani Nomor: 602.01.0024.PUSKH.II.2015.
******