ANCAMAN PENYAKIT PADA BABI HUTAN (CELENG)

Babi hutan memiliki risiko tertular berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit, dan bisa menjadi reservoir penyakit dan menjadi sumber penularan pada babi ternakan dan ternak lainnya serta manusia. (zoonotik). Makalah berikut (Penulis tamu) membahas Penyakit penyakit pada babi hutan.

******


ANCAMAN PENYAKIT PADA BABI HUTAN (CELENG)

Oleh:
Heri Yulianto dan Diyan Cahyaningsari

Babi hutan (Sus scrofa) atau biasa disebut dengan celeng merupakan nenek moyang babi yang menurunkan babi ternak (Sus domesticus). Daerah penyebarannya hewan ini berada di hutan-hutan Eropa Tengah, Mediterania (termasuk Pegunungan Atlas di Afrika Tengah) dan sebagian besar Asia hingga paling Selatan di Indonesia (Leaper et al. 1999).

Menurut Groves (2001), babi hutan Asia Tenggara dibagi dalam tiga kelompok, yaitu Sus scrofa, S. verrocosus, dan S.philippensis.  Seluruh babi dalam kelompok S. scrofa  ini dimasukan kedalam satu sesies yang disebut Eurasian Wild Pig (S. scrofa) kecuali Pigmy Hog (S. salvanius). Eurasian wild pig ditemukan hampir diseluruh Eropa, Afrika Utara, dan Asia, termasuk di Indonesia. Populasi babi hutan telah banyak dikaitkan dengan berbagai penyakit  yang berpotensi mempengaruhi baik hewan domestik maupun kesehatan masyarakat.

Asosiasi ini mencerminkan sejarah panjang interaksi antara manusia dan spesies ini, dan interaksi ini terus memberikan peluang untuk transmisi dari kedua agen infeksi baru dan lama antara populasi ini. Penting untuk dicatat bahwa penularan penyakit sering mewakili " two way street", yaitu patogen mungkin berasal dari populasi liar atau mungkin diperkenalkan ke populasi liar baik dari hewan domestik atau bahkan sumber daya manusia. Konsep sederhana ini memiliki implikasi penting bagi satwa liar, hewan domestik, dan epidemiologi penyakit zoonosis dan manajemen, serta menjadi semakin relevan dengan peningkatan produksi ternak, pertumbuhan penduduk dan memperluas populasi babi liar di seluruh dunia (Mayer dan Brisbine 2009). Babi hutan memiliki risiko terhadap penularan berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit.

Penyakit pada Babi Hutan
Populasi babi hutan mengalami peningkatan di seluruh dunia dalam jumlah dan penyebaran geografisnya pada dekade terakhir, hal ini menyebabkan peningkatan sirkulasi agen penyakit maupun kontak dengan hewan domestik dan manusia. Banyak penyakit viral yang terjadi dalam populasi babi domestik juga ditemukan di babi hutan yang merupakan reservoir penyakit tersebut (Francisco et al. 2008). Menurut Roic (2012), babi hutan dapat bertindak sebagai reservoir untuk beberapa patogen dan sumber infeksi untuk babi domestik dan ternak lainnya serta manusia. hal ini memungkinkan adanya penularan penyakit dari babi hutan tersebut ke hewan domestik lainnya serta penularan ke manusia terutama penyakit yang bersifat zoonotik. Infeksi viral (pseudorabies, Classical Swine Fever, Vesicular Stomatitis), bakterial (brucellosis, tubercullosis) dan parasit (cacing, protozoa). Menurut Wilson (2005), babi hutan dapat terinfeksi dan memiliki risiko penyebaran berbagai penyakit antara lain salmonelosis, leptosirosis, pasteurellosis, Q Fever, echinoccosis, chlamidiosis, Classical Swine Fever, Aujeszky’s Disease, tuberkulosis, Trichinosis, brucellosis, dan rabies.

1. Cacing
Babi hutan dapat terinfeksi penyakit cacing yang menimbulkan risiko zoonosis, seperti  Trichinella spiralis, Taenia solium, dan Spirometra. Infeksi ke manusia dapat terjadi karena mengkonsumsi daging yang kurang matang. Trichinella spiralis dan Trichinella spp lainnya  adalah nematoda zoonotik yang menginfeksi berbagai mamalia. Infeksi T. spiralis umum terjadi pada babi domestik dan daging babi kurang matang yang berasal dari ternak domestik merupakan sumber utama dari trichinosis pada orang (Roy et al. 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Eslami dan Farsad-Hamdi (1992) terhadap babi hutan di Iran menunjukkan ditemukannya parasit cacing nematoda, trematoda, acantochepalan dan larva cestoda  pada hewan tersebut.

a. Taenia sp.
Cacing Taenia solium merupakan salah satu zoonosis yang telah dilaporkan pada babi hutan (Eslami dan Farsad-Hamdi 1992). Kontrol untuk T. solium di daerah endemik fokus mengobati orang dan babi yang terinfeksi serta mendidik masyarakat. Mendorong ketersediaan dan penggunaan fasilitas toilet yang tepat untuk mencegah pengendapan kotoran manusia yang mungkin mengandung telur T. solium di daerah-daerah yang sering dikunjungi oleh babi juga direkomendasikan (Garcia et al. 2003).

Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolitan, terutama di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di Eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat China, India, Amerika Utara. Kasus Taeniasis/sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia antara lain Irian Jaya (Papua), Bali dan Sumatra Utara. Infeksi penyakit ini juga sering di alami oleh para transmigran yang berasal dari daerah-daerah tersebut (Gandahusada et al. 2000).

Ditambahkan oleh Chin dan Kandun (2000) penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di daerah dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Di samping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan kebiasaan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara-negara Skandinavia. Penularan oro fekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekwensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.

Gejala klinis pada manusia biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin dan Kandun 2000; Gandahusada et al. 2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Kalsifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala, namun sewaktu-waktu dapat menyebabkan pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al. 2000).

b. Spirometra sp.
Spirometra menyebabkan penyakit yang disebut dengan sparganosis. Sparganosis dapat menyerang amfibi, reptil dan mamalia termasuk babi hutan dan manusia (Li et al.2011). Sparganosis merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari cacing pita Pseudophyllidea terutama yang berasal dari genus Spirometra seperti Spirometra mansoni, S. ranarum, S. mansonoides, S. erinacei. Sparganosis pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Manson pada jaringan dari penduduk asli yang diutopsi di Amoy RRC (Wongkulab et al. 2011).

Babi hutan juga dapat terinfeksi spargana, dari pseudophylidea cestode Spirometra. Infeksi pada babi liar adalah umum, dan di beberapa daerah lebih dari 20% dari babi liar yang diperiksa terinfeksi (Gray et al. 1999; Bengtson dan Rogers 2001). Babi dan vertebrata lainnya, termasuk manusia terinfeksi Spirometra ketika mereka menelan larva melalui air minum atau melalui makan daging yang kurang matang dari hospes yang terinfeksi spargana tersebut. Penyakit klinis pada orang mencerminkan lokasi spargana resultan termasuk massa subkutan, lesi mata, atau infeksi pada sistem saraf pusat (Gray et al. 1999). Hal ini disebabkan oleh migrasi dari metacestoda (spargana) dari Spirometra. Prevalensi sparganosis pada babi hutan di Florida sebesar 6,9% yang terdeteksi di  17 wilayah  Florida (Bengtson dan Rogers 2001). Pavlov (1988) juga melaporkan babi hutan di Australia Utara terinfeksi spargana. Spargana dapat menginfeksi manusia selama konsumsi babi hutan yang tidak matang.

Gejala klinis sparganosis bervariasi sesuai dengan jaringan dan organ tempat migrasi parasit. Peradangan dan nyeri dapat berkurang setelah kematian sparganum. Sparganum yang menyerang jaringan subkutan, benjolan yang terbentuk di bawah kulit dan lesi tersebut biasanya disebut sebagai "creeping tumor" karena parasit bermigrasi ke jaringan (Dorny et al. 2009). Temuan klinis sparganosis adalah munculnya nodul migrasi subkutaneus pada dinding abdominal, skrotum, alat gerak bagian bawah, dinding rongga dada, payudara dan otak dimana parasit menyebabkan hilang kesadaran, sakit kepala dan paraplegia. Cerebral dan breast sparganosis telah dilaporkan sebelumnya, tetapi hanya beberapa kasus kejadian sparganosis subkutan dan intramuskular yang dilaporkan (Park et al. 2009).

c. Trichinella
Trichinellosis atau trichinosis merupakan penyakit akibat infestasi larva dari cacing nematoda (Trichinella spp.) yang bersifat zoonosis yang terjadi hampir di seluruh dunia. Parasit Trichinella tersebar hampir di semua benua dan dapat menyebabkan kematian pada kasus berat (Pozio 2007). Trichinella spp. dapat menginfeksi hewan domestik (terutama babi) di 43 negara (21,9%), sedangkan infeksi pada satwa liar telah didokumentasikan di 66 negara (33,3%). Trichinellosis pada manusia telah dilaporkan di 55 negara (27,8%) di seluruh dunia (Macpherson 2005).

Menurut Karn (2007) prevalensi kejadian trichinellosis pada babi di Cina sebesar 5 %. Pemicu penyakit ini ketika manusia mengkonsumsi makanan asal hewan yaitu daging yang tidak diolah atau dimasak sempurna, daging yang dimaksud bukan saja daging babi namun juga mengkonsumsi makanan daging dari hewan liar yang sudah terinfeksi Trichinella. Hal ini memungkinkan karena transmisi beberapa spesies Trichinella spiralis, T. britovi dan T. pseudospiralis dapat terjadi antara habitat atau host. Kebiasaan makan hewan yang terinfeksi memainkan peran penting dalam penularan mengingat kemampuan parasit ini menginfeksi hampir semua mamalia.

Sampai saat ini terdapat delapan spesies trichinella yang ada didunia, yaitu Trichinella spiralis, Trichinellanativa, Trichinella britovi, Trichinella Pseudospiralis, Trichinella murrelli, Trichinella nelsoni, Trichinellapapuae, dan Trichinella zimbabwensis. Trichinellosis yang terjadi pada hewan dan manusia dikaitkan dengan infeksi Trichinella spiralis (Pazio 2007). Kebiasaan makan makanan mentah atau tidak dimasak dengan sempurna krustasea termasuk, daging dan ikan telah menjadi sumber infeksi parasit zoonosis.

Pada dekade terakhir, kebiasaan makan makanan mentah, atau hanya sebagian dimasak, telah berkembang di seluruh dunia dan telah menyebabkan munculnya parasit zoonosis. Peningkataan jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan dari negara-negara mana beberapa infeksi meatborne zoonosis terjadi  dalam siklus domestik dan synanthropic (Trichinella spp.) (Macpherson 2005). Menurut Soeharso (2005) penyakit ini tersebar luas di Afrika, Asia, Amerika Selatan, Kanada, Rusia selatan, Eropa Timur (Bulgaria), switzerland terutama di daerah yang gemar mengkonsumsi daging babi serta hewan buruan seperti babi hutan, beruang, dan walrus. Kejadian luar biasa pernah dilaporkan tahun 1962 setelah acara pesta di suatu daerah di Artika sewaktu pesta dihidangkan lauk daging walrus dan beruang kutub.
Prevalensi global penyakit trichinellosis tidak diketahui, tapi perkiraan menunjukkan bahwa 11 juta orang mungkin terinfeksi (Wang et al. 2006). International Commission on Trichinellosis (ICT)  telah melaporkan lebih dari 10000 kasus trichinellosis pada manusia (1995 - 1997) dan telah dianggap sebagai penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases) (Dupouy-Camet 2000). Sumber infeksi yang paling umum pada manusia di seluruh dunia adalah daging babi dan babi hutan, namun kuda, anjing dan banyak daging binatang lainnya juga telah menjadi sumber infeksi (Dupouy-Camet 2000). Data epidemiologis pada infeksi trichinella pada babi menunjukkan bahwa infeksi ini biasanya terbatas pada peternakan kecil dengan manajemen pemeliharaan babi yang masih  tradisional atau berkeliaran secara liar (Pozio 2001).

Kejadian trichinellosis pada manusia akibat infeksi T. papuae baru ditemukan di Papua Nugini, dengan prevalensi 28,9%. Trichinellosis juga telah didokumentasikan menyerang pada  hewan domestik dan manusia di Kamboja, Indonesia (Bali dan Sumatera), Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, Selandia Baru, dan satwa liar di Tasmania (Pozio 2001).

d. Parasit cacing non-zoonosis
Menurut Stallknecht dan Little (2009) babi liar juga dapat terinfeksi berbagai macam cacing yang tidak bersfat zoonosis. Contoh cacing tersebut termasuk antara lain genus Metastrongylus, Stephanurus dentatus, Ascaris suum, Macracanthor hynchushirudinaceus yang  ditemukan di usus kecil babi liar dan domestik, dan Fasciola  hepatica  yang banyak terjadi pada hati sapi yang terkadang menginfeksi babi.

Babi memperoleh Metastrongylus spp. dari menelan host intermediate cacing tanah. Babi yang terinfeksi berat dapat mengalami pneumonia (Bowman 2003). Menurut Syrjala et al. (2010) parasit ini ditemukan pada brochus babi hutan di Finlandia. Stephanurus dentatus ditransmisikan ke babi secara terkonsumsi langsung atau larva melalui penetrasi kulit, atau mencerna cacing tanah yang terinfeksi. Larva bermigrasi melalui hati dan lemak perirenal, akhirnya berkembang di ginjal orang dewasa, telur yang da dikeluarkan melalui urin. Babi yang terinfeksi S. dentatus dapat mengalami kelumpuhan posterior karena migrasi larva di sumsum tulang belakang (Bowman 2003).

Infeksi Ascaris suum terlihat pada babi liar baik muda dan dewasa (Smith et al. 1982), infeksi diperoleh oleh konsumsi telur larva dari lingkungan yang terkontaminasi. Babi yang terinfeksi berat dapat menyebabkan fibrosis hati dan pneumonia interstitial dan terjadi  migrasi larva A. suum melalui hati dan paru-paru (Bowman et al. 2003). Cacing M. hirudinaceus, diperoleh ketika babi menelan host intermediate kumbang yang terinfeksi. Parasit ini dapat menyebabkan nekrosis dan peritonitis (Bowman et al. 2003). Babi liar bisa juga terinfeksi F. hepatica, setelah menelan metacercaria pada vegetasi. Prevalensi F. hepatica pada babi liar rendah (Smith et al 1982.).

2. Protozoa
Babi hutan dapat terinfeksi oleh sejumlah protozoa zoonosis yang berbeda dengan protozoa usus termasuk Balantidium coli, Cryptosporidium parvum dan Giardia duodenalis serta Toxoplasma gondii. Gejala klinis jarang tampak pada babi yang terinfeksi protozoa (Bowman 2003).

a. Balantidium colii
Balantidium coli umumnya ditemukan pada babi domestik dan babi liar (Pakandl 1994; Nakauchi 1999; Solaymani-Mohammadi et al. 2004). Infeksi pada manusia biasanya terjadi karena menelan kista melalui air yang terkontaminasi atau melalui kontak dengan babi yang terinfeksi pada kondisi kebersihan yang buruk. Penyakit diperburuk pada pasien immunocompromised atau orang-orang dengan infeksi yang bersamaan.
Balantidium coli  terdistribusi di seluruh dunia pada babi domestik dan liar. Daerah endemik meliputi Amerika Tengah dan Selatan, Filipina, Nugini, Iran, Asia Tenggara, dan beberapa Kepulauan Pasifik. Nakauchi (1999) melaporkan prevalensi B. Coli  di 56 spesies mamalia dan menemukan bahwa 100% dari babi hutan terinfeksi. Infeksi pada babi hutan juga  tinggi (sekitar 70%). 

Menurut Solaymani-Mohammadi dan Petri (2006) diagnosis balantidiasis pada manusia dan babi didasarkan pada deteksi mikroskopis trophozoites atau kista pada tinja segar atau preparasi formalin-fixe. Pengobatan pada manusia dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik  tetrasiklin, metronidazol dan iodoquinol. Pada penderita balantidiasis akut, tetrasiklin merupakan obat pilihan untuk menghilangkan trophozoite B. coli  pada manusia

b. Entamoeba polecki
Entamoeba polecki merupakan intestinal parasit pada babi, babi hutan, monyet dan dapat menginfeksi manusia. Parasit ini tidak patogen pada manusia atau babi hutan (Solaymani-Mohammadi et al. 2004 ). Infeksi E. polecki  pada manusia hampir selalu asimtomatik, tetapi masih ada perdebatan kemungkinan munculnya gejala nonspesifik seperti diare, tinja berdarah, demam, mual, muntah, perut kram dan penurunan berat badan. Manusia umumnya memperoleh infeksi karena kontak dengan host reservoir, terutama babi dan babi hutan. Mayoritas kasus telah dilaporkan di negara-negara Asia Tenggara atau dari pengungsi Asia Tenggara.

c. Blasstocystis sp.
Blastocystis merupakan parasit yang umum ditemukan pada babi dan babi hutan yang terdistribusi di seluruh dunia dengan prevalensi 70-95% pada babi domestik dan 25% pada babi hutan (Pakandl 1991; Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006). Angka prevalensi yang tinggi dari parasit pada babi mungkin merupakan risiko potensial untuk manusia. Teknik diagnostik dilakukan langsung melalui pemeriksaan tinja. Dalam beberapa tahun terakhir, sebuah tes diagnostik ELISA berbasis untuk mendeteksi antibodi dan antigen individu asimtomatik dan asimtomatik. Sebuah studi yang lebih baru indirect immunofluoresence test (IFA) menunjukan hasil  70% dari individu yang terinfeksi asimtomatik serum positif untuk antibodi Blastocystis (Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006).

Pengendalian zoonosis blastocystosis dilakukan dengan mengurangi prevalensi parasit pada hewan domestik, terutama pada babi. Hal ini secara signifikan akan mengurangi risiko paparan parasit ini. Pencegahan penyebaran secara fecal-oral dari parasit dengan meningkatkan kebersihan, sanitasi, dan pengolahan air (Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006).

d. Toxoplasma gondii
Prevalensi  T. gondii  pada babi di Amerika Serikat berkisar antara 4% sampai dengan 69% (Dubey et al. 2005.). Babi domestik dianggap sebagai sumber penting infeksi Toxoplasma pada manusia. Toksoplasmosis akut telah dilaporkan pada manusia yang mengkonsumsi daging mentah dari babi yang terinfeksi (Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006). Beberapa studi berusaha menjelaskan sumber infeksi T. gondii babi berdasarkan informasi serologis dan isolasi parasit dari pakan, tanah, dan hewan yang tinggal di sekitar peternakan babi. Studi ini menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga kemungkinan sumber infeksi babi yaitu menelan ookista dari di tanah, makan binatang pengerat yang terinfeksi, dan kanibalisme (Dubey et al. 2005).

Daging babi selalu dianggap sebagai sumber utama infeksi toksoplasma, sedangkan daging sapi belum terbukti menularkan parasit toksoplasma.  Selain itu dilaporkan bahwa babi hutan terinfeksi  T. gondii di berbagai belahan dunia (Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006). Dalam satu studi yang dilakukan di Spanyol dengan menggunakan MAT, anti-toxoplasmal antibodi ditemukan pada 34,8% pada babi hutan yang diperiksa.  Hasil penelitian serologis menunjukkan paparan T. gondii pada babi hutan, menunjukkan bahwa hewan ini memiliki risiko kesehatan bagi orang-orang yang menangani atau mengkonsumsi secara mentah atau setengah matang (Solaymani-Mohammadi dan Petri 2006). 

e. Cryptosporidium dan Giardia
Infeksi Cryptosporidium dan Giardia adalah umum dalam berbagai host, termasuk manusia, mamalia domestik, dan mamalia liar. Setidaknya sebanyak 79 host C. parvum dan 55 host  Giardia telah diidentifikasi. Dalam satu studi, 5% dari babi liar yang disurvei, C. parvum menular dari kotoran mereka dan 8% dari kista Giardia. Infeksi C. parvum lebih umum pada babi muda dan pada babi dengan tingkat populasi yang sangat tinggi (Atwill et al. 1997). Manusia dan hewan lainnya terinfeksi C. parvum dan Giardia ketika mereka menelan ookista atau kista, langsung dari makanan atau air yang terkontaminasi (Atwill et al 1997).

3. Bakterial

a. Brucellosis
Brucellosis pada babi yang disebabkan oleh B. suis merupakan penyakit penting secara ekonomi maupun dari segi kesehatan masyarakat. Pada babi, infeksi Brucella suis dapat menyebabkan orchitis pada babi pejantan, abortus pada induk babi dan pada manusia penyakit ini menyebabkan demam intermiten. Di Indonesia, brucellosis pada manusia yang disebabkan oleh B. suis pernah dilaporkan dan merupakan penyakit yang timbul dari risiko pekerjaan. Dari hasil survey serologis diperoleh persentase infeksi yang relatif tinggi pada pekerja di peternakan babi atau rumah potong babi di pulau Jawa (Mayer dan Brisbine 2009; Priadi 2005).

Dari data epidemiologis dan bakteriologis terlihat bahwa kasus pada manusia disebabkan oleh penanganan babi yang terinfeksi. Gejala klinis umumnya tidak menciri. Infeksi biasanya tidak dikenali dan tidak bergejala karena pekerja biasanya harus tetap aktif. Data serologi tahun 2002 dan 2003 memperlihatkan bahwa tingkat infeksi brucellosis pada babi di peternakan masih tinggi. Tingginya tingkat infeksi brucella pada babi ini harus menjadi perhatian serius karena penyakit ini berdampak ekonomis dan kesehatan manusia (Mayer dan Brisbine 2009; Priadi 2005).

b. Tuberkulosis
Tuberkulosis pada babi liar disebabkan oleh Mycobacterium bovis yang memiliki ancaman bagi hewan domestik dan manusia. Penyakit ini terjadi secara lokal dan umumnya berhubungan dengan faktor campuran satwa liar dan reservoir spesies domestik di mana babi terinfeksi. Babi liar telah terbukti terinfeksi M. bovis di Eropa, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat (Hawaii) (Mayer dan Brisbine 2009).

c. Salmonellosis
Spesies Salmonella (spp.) merupakan bakteri enterik zoonosis yang dapat menginfeksi manusia, ternak dan satwa liar namun prevalensi dan kehadiran serovar tersebut pada satwa liar sedikit diketahui. Salmonellosis adalah penyakit zoonosis  kedua yang paling umum terjadi pada manusia di Eropa pada tahun 2010. Salmonellosis menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan pada industri peternakan. Salmonella (spp.) dapat menginfeksi berbagai spesies hewan domestik dan liar serta telah diisolasi dari burung dan mamalia termasuk satwa liar seperti rusa berekor putih, kelinci dan babi hutan (Sus scrofa). Faktor risiko untuk salmonellosis pada manusia bermacam-macam. Faktor tersebut antara lain kontaminasi produk sayuran, kontak langsung dengan hewan selama berburu dan karena mengkonsumsi daging dan produk daging yang terkontaminasi (Chiari et al. 2013).

d. Leptospirosis
Leptospira spp. merupakan penyakit yang endemik pada hewan domestik dan liar. Manusia memperoleh leptospirosis melalui kontak dengan air urin yang terkontaminasi atau tanah. Di Jerman,  sekitar 50 kasus leptospirosis dilaporkan setiap tahun, sebagian besar terkait dengan paparan ditempat rekreasi dan perumahan. Di antara spesies satwa liar, hewan pengerat dianggap sebagai host yang paling penting bagi leptospirosis di lingkungan pedesaan dan perkotaan. Kontak dengan air yang terkontaminasi urin tikus merupakan faktor risiko terpenting untuk leptospirosis.

Pada babi hutan (Sus scrofa) di Eropa dan Amerika Serikat, antibodi terhadap Leptospira spp. serovar Pomona,  merupkan kelompok utama yang sering terdeteksi menginfeksi babi domestik (Jansen et al. 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Jansen et al. (2007) diperoleh data antibodi terhadap leptospira pada  25 (18%) ekor babi hutan dari 141 babi hutan di Berlin. Seropositif ini dikaitkan dengan nefritis interstitial kronis, leptospira terdeteksi dalam jaringan ginjal. Celeng merupakan sumber potensial untuk leptospirosis manusia di lingkungan perkotaan.

e. Listeriosis
Listeria monocytogenes merupakan salah satu bakteri patogen pada hewan/ternak dan manusia. Bakteri ini berperan penting sebagai agen penyebab foodborne disease yaitu penyakit yang ditularkan melalui makanan. Penyakit yang ditimbulkan dikenal dengan listeriosis (Ariyanti 2010). Menurut penelitian Hayashidani et al. (2002) diidentifikasi Listeria monocytogenes pada babi hutan di Jepang. Listeria monocytogenes sering mencemari makanan asal hewan dan bersifat patogen baik pada hewan maupun manusia.

Wabah yang terjadi berkaitan dengan konsumsi produk makanan asal ternak seperti daging, susu, telur, ikan dan olahannya yang dimasak tidak sempurna. Kasus listeriosis pada manusia dapat juga disebabkan karena kontak dengan hewan terinfeksi. Penyakit seringkali bersifat asimptomatik dan tersebar luas di dunia. Tingkat kematian yang ditimbulkan akibat penyakit ini mencapai 30%.

Bakteri ini menjadi penting karena tersebar luas di alam, tahan terhadap panas, asam, garam, membentuk biofilm dan mensekresikan toksin yang dinamakan listeriolisin O (LLO). Toksin tersebut merupakan faktor virulen yang berbahaya dan serius mencemari makanan asal hewan. Bakteri tersebut dapat tumbuh pada suhu 4°C maupun pada makanan beku. Bahan makanan asal hewan dan produk olahannya yang dimasak dengan sempurna dapat mencegah terjadinya kontaminan L. monocytogenes pada bahan pangan tersebut (Ariyanti 2010).

4. Viral

a. Aujeszky’s disease (pseudorabies)
Penyakit Aujeszky (AD) disebabkan oleh suid alphaherpesvirus 1, juga disebut sebagai Pseudorabies virus. Babi domestik dan babi hutan dapat terinfeksi oleh penyakit ini. Virus juga dapat menginfeksi mamalia lain yang menyebabkan penyakit saraf yang fatal. AD tetap menjadi salah satu penyakit yang paling penting dari babi domestik di seluruh dunia dan termasuk sebagai penyakit yang harus dilaporkan OIE, meskipun banyak negara telah berhasil memberantas penyakit ini (Francisco et al. 2008).

Infeksi penyakit Pseudorabies disebabkan oleh Suid herpesvirus 1 (PRV,Varicellovirus, Herpesviridae), pada babi hutan umum ditemukan di Amerika Serikat. Pada babi domestik, penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinis yang bervariasi. Pseudorabies jarang menyebabkan kematian (Mayer dan Brisbin 2009; Stallknecht dan Little 2009).

Gejala klinis pada babi muda antara lain demam, muntah, tremor, inkoordinasi, kejang, dan kematian pada sebagian besar anak babi umur kurang dari 4 minggu. Babi dewasa biasanya bertahan hidup, tetapi dapat mengalami demam dan radang saluran pernapasan bagian atas. Virus ini menyebar melalui sekresi hidung atau mulut dan alat kelamin. Pada babi hutan, transmisi sebagian besar terjadi melalui hubungan seksual (West et al. 2009)..

b. Classical Swine Fever Virus (CSFV)
CSFV ditemukan pada populasi babi hutan dari Eropa Tengah dan Timur tetapi sebagian besar Eropa Barat dianggap bebas. Kerentanan, manifestasi klinis dan lesi dari CSF antara babi hutan dan babi domestik  sama setelah infeksi eksperimental. Tingkat kematian bervariasi, dimana angka kematian tinggi sering ditemukan pada anak babi baik babi domestik maupun babi hutan (Francisco et al. 2008).

Classical swine fever atau dikenal sebagai hog cholera, merupakan penyakit klasik pada babi. Gejala dari penyakit ini antara lain lesu, demam, dan kehilangan nafsu makan. Muntah dan diare menyebabkan hewan menjadi lemah. Penyakit ini umumnya berlangsung cepat, hewan biasanya mati dalam kurun waktu 10 - 20 hari setelah terinfeksi. Infeksi kronis dengan gejala ringan dapat terjadi, dan babi dapat sembuh tetapi menjadi pembawa virus. Virus ini mudah menular dari babi ke babi lainnya melalui kontak langsung dan tidak langsung (West et al. 2009).

c. Vesikular stomatitis
Vesikular stomatitis (VS) pada babi disebabkan oleh virus stomatitis vesicular stomatitis virus New Jersey type (VSV-NJ) (Vesiculovirus, Rhabdoviridae); virus ini merupakan contoh potensi babi hutan yang memiliki peran epidemiologi penyakit pada ternak. Transmisi VSV-NJ dapat terjadi melalui berbagai rute termasuk transmisi biologi dan vektor mekanis serta kontak langsung. Secara umum, virus ini diyakini masuk dalam enzootik vektor/siklus host di alam. Babi liar telah berguna dalam studi VSV sebagai spesies indikator. Babi liar merupakan spesies yang sangat rentan dan sekali terinfeksi penularan dapat terjadi melalui kontak secara efisien (Mayer dan Brisbine 2009).

d. Hepatitis E
Hepatitis E (HE) adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV) dari family Hepeviridae. Morfologi dari HEV adalah berukuran kecil, tidak memiliki envelope, mengandung genom untai tunggal RNA positif sekitar 7,2 kb. Manusia adalah host alami dari HEV. Penyakit ini ditandai dengan ikterus, anoreksia, hepatomegali, nyeri perut, mual, muntah dan demam. Penyakit ini endemik di daerah tropis dan subtropis serta sporadis di negara-negara maju. HEV pernah dilaporkan terjadi pada babi domestik dan babi hutan di Spanyol (Nilsa et al. 2008).

e. African Swine Fever (ASF)
African swine fever virus (ASFV) mampu menginfeksi baik babi domestik maupun babi hutan liar. ASFV pertama kali muncul pada babi domestik di Kenya pada tahun 1921 sebagai konsekuensi dari transmisi dari babi-babi liar di Afrika. Infeksi menyebar ke Semenanjung Iberia, pertama di Portugal dan kemudian ke Spanyol, dan sejak saat itu muncul di beberapa negara-negara Amerika Tengah dan Selatan serta Sardinia. Morbiditas dan mortalitasnya tinggi menyebabkan kerugian ekonomi tidak hanya karena kematian hewan tetapi juga karena pembatasan dalam perdagangan hewan dan produknya. Setelah kejadian ASFV di Semenanjung Iberia, virus telah menyebar dari babi domestik ke babi hutan di Eropa dan terbukti dengan infeksi ASFV pada babi hutan di  Spanyol dan Sardinia.

Tanda-tanda klinis muncul pada babi hutan (termasuk demam, lesu, perubahan warna keunguan pada kulit ventral dan kematian mendadak). Timbulnya wabah epidemi ASF di babi hutan akan memiliki dampak yang besar sebagai konsekuensi dari kematian yang tinggi (Francisco et al. 2008).

f. Porcine Circovirus
Porcine circovirus Virus (PCV) merupakan virus dari keluarga Circoviridae. Dua genotipe PCV yakni porcine circovirus type 1 (PCV1), yang dianggap non-patogenik untuk babi, dan porcine circovirus type 2 (PCV2), yang pertama kali diisolasi dari babi di Kanada yang berhubungan dengan munculnya penyakit baru yang disebut Postweaning Multisistemik Wasting Syndrome (PMWS). PMWS dianggap paling signifikan terhadap dampak ekonomi yang tinggi pada industri babi. Seroprevalance PCV2 pada babi hutan di Belgia dan Spanyol telah dilaporkan sekitar 30-40 %. Infeksi PCV2 telah terdeteksi 20% pada babi hutan di Hungaria menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Laporan ini menunjukkan bahwa PCV2 terjadi di antara populasi babi hutan di Eropa (Francisco et al. 2008).

g. Porcine Parvovirosis
Porcine Parvovirus (PPV) diklasifikasikan dalam genus Parvovirus dan terdistribusi di seluruh dunia pada babi domestik. PPV tersebar luas di Eropa pada babi hutan dengan seroprevalensi 14 - 77%.  Babi hutan merupakan reservoir PPV untuk babi domestik. Sebagai PPV seroprevalensinya lebih tinggi dalam kawanan babi domestik dari pada populasi babi hutan Eropa. Transmisi antara keduanya bisa terjadi di kedua arah jika kontak antara babi dan babi hutan terjadi (Francisco 2008).

h. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS)
PRRS virus (PRRSV) merupakan arterivirus terkait erat dengan lactate dehydrogenase-elevating virus (LDV) dari tikus dan virus lain dari keluarga Arteriviridae. Dua genotipe PRRSV berbeda diakui pada saat ini, satu dari Amerika Utara dan lainnya dari Eropa, dan ini menunjukkan sekitar 60% nukleotida homolog. Bersama dengan PPV, PRRSV saat ini dianggap sebagai salah satu penyebab virus yang paling umum terhadap kegagalan reproduksi pada babi domestik. Data ilmiah mengenai seroprevalansi PRRSV di Eropa pada babi hutan dan populasi babi liar. Babi hutan sebagai reservoir PRRSV untuk babi domestik. Transmisi PRRSV terjadi pada populasi padat di babi hutan. Transmisi PRRSV dari babi domestik ke babi hutan lebih mungkin terjadi daripada sebaliknya (Francisco 2008).

i. Swine Influenza
Flu babi disebabkan oleh virus influenza tipe A. Babi domestik dianggap reservoir utama dari virus influenza H1N1 dan H3N2 dimana manifestasi klinis berupa demam, batuk, dyspnoea dan  biasanya diikuti dengan pemulihan yang cepat. Data serologi Swine influenza Virus (SIV) pada babi hutan dan populasi babi liar di Eropa. Antibodi tiga subtipe SIV, H1N1, H3N2 dan H1N2, telah terdeteksi pada populasi babi hutan, meskipun secara umum dalam variabel dan konsentrasi rendah. Seroprevalsi bervariasi dari 0% sampai 75% tergantung pada negara atau wilayah dan subtipe SIV. Subtipe H1N1 merupakan yang paling umum ditemukan pada babi hutan. Penularan SIV terutama melalui rute oronasal pada kawanan babi domestik terjadi karena kontak langsung antara hewan yang terinfeksi dan rentan melalui aerosol (Francisco 2008).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan paparan diatas maka dapat diambil kesimpulan adanya ancaman risiko penyebaran penyakit pada babi hutan (celeng) baik penyakit viral, bakterial dan parasitik yang bersifat zoonosis maupun non zoonosis. Untuk itu perlu adanya pengawasan yang lebih ketat untuk menurunkan risiko penyebaran penyakit tersebut.

Daftar Pustaka
Ariyanti T. 2010. Bakteri Listeria monocytogenes sebagai Kontaminan Makanan Asal Hewan (Foodborne Disease). Wartazoa 20 (2) : 94-102.

Atwill ER, Sweitzer RA, Pereira MG, Gardner IA, Van Vuren D, Boyce VM. 1997. Prevalence of and associated risk factors for shedding Cryptosporidium parvum oocysts and Giardia cysts within feral pig populations in California. Applied and Environmental Microbiology 63:3946-3949.

Bengtson SD, and Rogers F. 2001. Prevalence of sparganosis by county of origin in Florida feral swine.Veterinary Parasitology  97:239-242.

Bowman DD. 2003. Helminths. Pp 115-243. In D. D. Bowman (ed.), Georgis’ Parasitology for Veterinarians. 8th Ed. W. B. Saunders, Philadelphia, Pennsylvania.

Chiari M, Mariagrazia Zanoni, Silvia Tagliabue, Antonio Lavazza, Loris G Alborali. 2013.  Salmonella serotypes in wild boars (Sus scrofa) hunted in northern Italy. Acta Veterinaria Scandinavica 55:42

Chin J, Kandun IN. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. American Public Health Association.

Dorny P, Praet N, Deckers N, Gabriel S. 2009. Emerging food-borne parasites. J Veterinary Parasitology 163 : 196–206.

Dubey JP, Hill DE, Jones JL, Hightower AW, Kirkland E, Roberts JM, Marcet PL, Lehmann T, Vianna MC, Miska K, Sreekumar C, Kwok OC,Shen SK, Gamble HR. 2005. Prevalence of viable Toxoplasma gondii in beef, chicken, and pork from retail meat stores in the United States: risk assessment to consumers. J. Parasitol. 91:1082–1093.

Dupouy-Camet, J. 2000. Trichinellosis: a worldwide zoonosis. Veterinary Parasitology 93 : 191-200.

Eslami A, Farsad-Hamdi S. 1992. Helminth parasites of wild boar, Sus scrofa, in Iran. Journal of Wildlife Diseases  28:316-318.

Francisco Ruiz-Fons, Joaquim Segalés, Christian Gortázar. 2008. A review of viral diseases of the European wild boar: Effects of population dynamics and reservoir rôle. The Veterinary Journal 176 (2) : 158–169.

Gandahusada S, Herry DI, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Garcia  H H, Gonzalez AE, Evans CA, Gilman RH. 2003. Taenia solium Cysticercosis. The Lancet  362:547-556.

Gray ML, Rogers f,  Little S, Puette M, Ambrose D, Hoberg EP. 1999. Sparganosis in feral hogs (Sus scrofa) from Florida: 222 cases and a review of the significance of the disease as a zoonosis. Journal of the American Veterinary Medical Association 215:204-208.

Hayashidani H, Nobuo Kanzaki, Yuji Kaneko, Alexandre Tomomitsu Okatani, Takahide Taniguchi, Ken-ichi Kaneko, Masuo Ogawa. 2002. Occurrence of Yersiniosis and Listeriosis in wild boars in Japan. Journal of Wildlife Diseases 38(1):202-205

Jansen A, Enno Luge, Beatriz Guerra, Petra Wittschen, Achim D. Gruber, Christoph Loddenkemper, Thomas Schneider, Michael Lierz, Derk Ehlert, Bernd Appel, Klaus Stark, Karsten Nöckler. 2007. Leptospirosis in Urban Wild Boars, Berlin, Germany. Emerg infect dis.13 (5): 739–742.

Leaper  R., G. Massei, ML. Gorman, R. Aspinall. 1999. The Feasibility Of Reintroducing Wild Boar (Sus Scrofa) To Scotland. Mammal Rev. 29 (4) : 239–259.

Li M-W, Hui-Qun Song, Chun Li, Hong-Ying Lin, Wei-Tian Xie, Rui-Qin Lin, Xing-Quan Zhu. 2011. Review : Sparganosis in mainland China. International Journal of Infectious Diseases 15 : 154 – 156

Macpherson  C NL. 2005. Human behaviour and the epidemiology of parasitic zoonoses. International Journal for Parasitology 35 : 1319 – 1331.

Mayer JJ, Brisbin L. 2009. Biology, Damage, Control Techniques And Management. Savannah River National Laboratory Aiken, South Carolina.

Nakauchi K. 1999. The prevalence of Balantidium coli infection in fifty-six mammalian species. Journal of Veterinary Medical Science, 61:63-65.

Nilsa de Deus, Bibiana Peralta, Sonia Pina, Alberto Allepuz, Enric Mateu, Dolors Vidal,  Francisco Ruiz-Fons, Marga Martın, Christian Gorta´zar, Joaquim Segales. 2008. Epidemiological study of hepatitis E virus infection in European wild boars (Sus scrofa) in Spain. Veterinary Microbiology 129 : 163–170.

Pakandl M. 1994. The prevalence of intestinal protozoa in wild and domestic pigs. Veterinarni Medicina (Praha) 39 :377-380.

Park J-H, Park N-H, Lee E-J, Park C-S, Lee S-M, Park S-I. 2009. Ultrasonographic findings of subcutaneous and muscular sparganosis. J Korean Soc Radiol 61:183-187

Pavlov PM. 1988.  Health Risk to Humans and Domestic Livestock Posed by Feral Pigs (Sus scrofa) in North Queensland. Proceedings of the Thirteenth Vertebrate Pest Conference 13:141-144.

Pozio E. 2007. World distribution of Trichinella spp. infections in animals and humans. Veterinary Parasitology 149 :  3 – 21.

Pozio E. 2001. Taxonomy of Trichinella and The Epidemiology Of Infection In The Southeast Asia and Australian Regions. Southeast Asian J Trop Med Public Health 32 : 129 – 132.

Priadi A. 2005. Infeksi Brucella suis Sebagai Penyakit Zoonosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 186- 196.

Roic B, Lorena Jemersic, Svjetlana Terzic, Tomislav Keros, Jelena Balatinec, and Tihomir Florijancic. 2012. Prevalence of Antibodies to Selected Viral Pathogens in Wild Boars (sus scrofa) in Croatia in 2005–06 and 2009–10. Journal of Wildlife Diseases 48(1):131-137.

Roy SL,  Lopez AS, Schantz PM. 2003. Trichinellosis surveillance – United States, 1997-2001. MMWR Surveillance Summaries 52:1-8.

Smith HM Jr, Davidson WR, Nettles VF, Gerrish RR. 1982. Parasitisms among wild swine in southeastern United States. Journal of the American Veterinary Medical Association 181:1281-1284.

Soeharso. 2005. Zoonosis : Penyakit menular dari hewan ke manusia. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Solaymani-Mohammadi S, Rezaian M, Hooshyar H, Mowlavi GR, Babaei Z, Anwar MA. 2004. Intestinal protozoa in wild boars (Sus scrofa) in western Iran. Journal of Wildlife Diseases, 40:801- 803.

Solaymani-Mohammadi S, Petri WA Jr. 2006. Review : Zoonotic implications of the swine-transmitted protozoal infections. Veterinary Parasitology 140 : 189–203.

Stallknecht DE,  Little SE. 2009. Diseases and Parasites of Wild/Feral Swine. Savannah River National Laboratory Aiken, South Carolina : 257-253.

Syrjala, Oksanen A, Hälli O, Peltoniemi O, Heinonen M. 2010. Metastrongylus spp. infection in a farmed wild boar (Sus scrofa) in Finland. Acta Veterinaria Scandinavica 52:1-2.

Wang, Z.Q., Cui, J., Xu, B.L. 2006. The epidemiology of human trichinellosis in China during 2000-2003. Acta Tropica 97: 247-251.

West BC, AL Cooper, JB. Armstrong. 2009. Managing wild pigs: A technical guide. Human-Wildlife. Interactions Monograph 1:1–55.

Wongkulab P, Kom Sukontason, Romanee Chaiwarith. 2011. Sparganosis: A Brief Review. J Infect Dis Antimicrob Agents   28 : 77 – 80.

Wilson JC. 2005. Feral wild boar in England : Status, impact and management. Defra. London : Inggris.

******

Catatan:
Dr. drh Heri Yulianto, MP adalah Kepala Seksi Karantina Hewan Pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon , dan drh. Diyan Cahyaningsari adalah dokter hewan yang bekerja pada Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: