AVIAN CHLAMYDIOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA SERTA KEBIJAKAN KARANTINA HEWAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARANNYA

Chlamidiosis adalah penyakit pada unggas bersifat infeksius akut dan banyak menimbulkan kematian penyakit ini bersifat zoonosis (dapat menular dari hewan ke manusia). Karya tulis Ilmiah Mengenai Chlamidiosis berikut adalah karya seorang siswa pada Diklat Calon Paramedik Veteriner di Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian 2015.

******


AVIAN CHLAMYDIOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA
SERTA KEBIJAKAN KARANTINA HEWAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARANNYA

Oleh:
Nur Latifah Astria, Calon Paramedik Veteriner, Stasiun Karantina Pertanian Kelas Satu Bengkulu, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian


Abstrak
Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. Salah satu penyakit zoonosis yang banyak dijumpai pada hewan peliharaan, khususnya burung, adalah Avian Chlamydiosis. Pada konteks perkarantinaan, penyebaran penyakit ini dinilai berpotensi pula terjadi melalui lalu lintas hewan rentan dari suatu area ke area lainnya, ataupun dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Avian Chlamydiosis adalah penyakit unggas zoonosis yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Hewan yang rentan terhadap Avian Chlamydiosis adalah unggas peliharaan dari jenis psittacine, namun tidak tertutup kemungkinan infeksi pada berbagai jenis hewan lainnya. Sebagian besar infeksi C. psittaci pada manusia berasal dari paparan hewan rentan. Hal tersebut dimungkinkan dari hirupan aerosol sekretan saluran pernapasan ataupun feses kering yang terinfeksi C. psittaci. paparan utama lainnya dapat berasal dari patukan, dan kontak mulut dengan paruh burung. Avian Chlamydiosis, berdasarkan definisi dan penjelasan mengenai HPHK diatas, dalam Permentan Nomor 3238 Tahun 2009 mengenai Penggolongan HPHK dan Media Pembawa dimasukkan ke dalam kelompok HPHK golongan II. Ketentuan mengenai tindakan karantina yang dapat dikenakan pada lalulintas media pembawa yang diketahui tertular HPHK golongan II diatur dalam pasal 25, 26, 27, 29, 34, 46, dan 78 PP Nomor 82 Tahun 2000.

Kata kunci : Chlamydia, psittacine, zoonosis, burung.

******


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kekayaan plasma nutfah Indonesia dapat terlihat dari begitu besarnya keaneka ragaman jenis flora dan fauna yang dimiliki. Bentang alamnya yang dibagi menjadi tiga daerah biogeografis oleh garis Wallace dan Lydekker membuat burung-burung Asia, maupun Australia dapat ditemukan keduanya di Indonesia. Unggas merupakan salah satu jenis flora kebanggaan Indonesia. 1598 spesies burung berada di Indonesia, dan 381 spesies diantaranya berasal dari jenis yang endemik (Wahana Indonesia Prestasi, 2015). Jumlah tersebut mempresentasikan 17% dari total spesies burung di dunia (Wikipedia, 2015).

Unggas mempunyai nilai pemanfaatan yang besar. Keindahan bulu, dan kicauan, keunikan profil fisik dan kebiasaan, ataupun perannya sebagai sumber protein hewani melatarbelakangi kedekatan burung dan manusia sejak dulu kala. Unggas merupakan salah satu komoditas hewan yang frekuensi lalu lintasnya tinggi dan diawasi dalam rangka tindakan Karantina Hewan.

Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61.6% bersumber dari hewan (Khairiyah, 2009).

Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia. Zoonosis yang berasal dari hewan peliharaan kerap kali tidak disadari oleh manusia. Kedekatan psikis antara pemilik dan hewan peliharaannya dapat menjadi jalan masuk patogen tertentu. Salah satu penyakit zoonosis yang banyak dijumpai pada hewan peliharaan, khususnya burung, adalah Avian Chlamydiosis.

Pada konteks perkarantinaan, penyebaran penyakit ini dinilai berpotensi pula terjadi melalui lalu lintas hewan rentan dari suatu area ke area lainnya, ataupun dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Gambaran mengenai Avian Chlamydiosis pada hewan dan manusia, serta kebijakan karantina yang mengatur mengenai pencegahan penyebarannya perlu dibagikan sebagai bahan informasi untuk menambah wawasan.

Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi penyakit Avian Chlamydiosis pada hewan dan manusia.
2. Untuk mengetahui kebijakan karantina hewan mengenai pencegahan penyebarannya.


BAB II
MATERI DAN METODE

Materi  dan Metode Penulisan adalah dengan study literature, pengumpulan data yang digunakan adalah melalui pengumpulan data sekunder, berupa penelusuran pustaka dan dokumen terkait.


BAB III
TINJUAN PUSTAKA

Avian Chlamydiosis / Chlamydiosis /Psittacosis /demam beo adalah penyakit unggas zoonosis yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Psittaci merupakan kata dalam bahasa Yunani untuk burung beo (parrot), sedangkan istilah Psittacosis pertama kali digunakan oleh Morange pada 1892. C. psittaci dapat menginfeksi burung beo, betet, parkit, kenari, dan spesies unggas lainnya, seperti kalkun, merpati, kutilang, ayam dan bebek.

C. psittaci merupakan bakteri dari filum Chlamydiae, ordo Chlamydiales, famili Chlamydiaceae, dan genus Chlamydophila. Penamaan binomial dari agen penyakit ini adalah Chlamydophila psittaci. C. psittaci secara morfologi merupakan bakteri gram negatif, berukuran 0.2 – 1.5 mikron, berbentuk sferis, dan non motil yang merupakan parasit intrasel obligat, memiliki ribosom, DNA dan RNA, dinding sel dari peptidoglikan dengan asam muramat, dan membelah secara biner. Bakteri ini tahan dalam kondisi kering, sehingga dapat bertahan pada debu-debu kotoran.

Siklus perkembangan Chlamydia psittaci dimulai dari pembentukan badan elementer yang infeksius. Badan elementer tersebut kemudian masuk kedalam sel dengan cara fagositosis dan berkembang menjadi badan inisial atau badan retikuler. Pembelahan badan inisial secara biner membentuk badan intermedier yang merupakan bentuk transisi antara badan inisial dan badan elementer. Badan inisial, badan intermedier, dan badan elementer tersebut terkumpul pada vakuola didalam sel yang disebut badan inklusi. Badan inklusi adalah koloni mikroorganisme dalam sel hospes, yang dalam sel hospes dapat terdiri dari beberapa mikrokoloni yang berbeda, jika fagositosis terjadi terhadap lebih dari satu badan elementer. Badan elementer sebagai bentuk infeksius kemudian tersebar dan menginfeksi sel-sel hospes baru ketika sel hospes sebelumnya pecah. Rangkaian siklus perkembangan C. Psittaci tersebut terjadi dalam waktu 24 – 48 jam.

Infeksi Pada Hewan
Hewan yang rentan terhadap Avian Chlamydiosis adalah unggas peliharaan dari jenis psittacine, namun tidak tertutup kemungkinan infeksi pada berbagai jenis hewan lainnya.

Studi epidiomiologi menunjukkan, bahwa hewan yang dapat terinfeksi Avian Chlamydiosis dikelompokkan, menjadi:
1. unggas peliharaan, seperti betet, nuri, kutilang
2. unggas domestik, seperti ayam, bebek, angsa, kalkun
3. kelompok merpati
4. unggas liar, seperti elang, camar, bangau
5. hewan menyusui domestik dan semi domestik, seperti anjing, kucing, babi, domba, sapi
6. mamalia liar lainnya, seperti primata, hewan pengerat, kelinci, dan hamster
7. ektoparasit, seperti caplak, kutu

Faktor lingkungan, agen, dan hospes merupakan kunci penularan Avian Chlamydiosis di alam. Faktor hospes yang berpengaruh, antara lain stres, pergantian bulu, umur dan kepekaan spesies, sementara faktor agen adalah virulensi galur. Avian Chlamydiosis sebagai penyakit yang umum ditemukan pada unggas peliharaan dapat pula disebabkan oleh sanitasi kandang yang kurang baik, selain itu pergantian cuaca adalah faktor pemicu stres pada hewan rentan, sehingga infeksi dan penularan penyakit lebih mudah terjadi.

Penularan Avian Chlamydiosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan sakit ataupun karkasnya, dan gigitan vektor mekanis. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui inhalasi partikel debu yang terkontaminasi feses atau kotoran kandang yang mengandung agen. Pada agen yang masuk melalui inhalasi, organisme akan berkembang di paru-paru, pericardium, dan kantung udara, kemudian memasuki aliran darah sehingga menyebabkan sepsis. Kondisi sepsis akan mempermudah bakteri menginfeksi organ viseral lain, seperti limpa, hati, dan ginjal. Morbiditas dan mortalitas tertinggi penyakit ini terjadi pada unggas muda, sementara pada unggas dewasa mortalitas dapat mencapai 20%, namun hewan yang sembuh dari sakit dapat bersifat carrier.

Infeksi C. psittaci pada burung dapat bersifat sub klinis atau tanpa gejala, akut, sub akut, hingga kronis. Gejala klinis berupa demam, anoreksia, dan bintik peradangan pada paru, diare, gangguan pernapasan, konjunctivitis, nasal discharge, enteritis, hepatitis, dan splenitis. Infeksi yang telah terjadi secara kronis dapat bersifat laten, dan hewan yang terinfeksi tersebut berperan sebaga media pembawa sekaligus sumber penularan bagi individu lain. Bakteri menetap dalam limpa dan dapat diekskresikan melalui feses.

Diagnosa laboratoris Avian Chlamydiosis dapat dilakukan dengan beberapa metode, akan tetapi paling tidak konfirmasi untuk peneguhan diagnosa dilakukan berdasarkan satu hasil pengujian laboratorium. Teknik pengujian yang dilakukan, antara lain isolasi agen penyakit, Fluorescent Antibody Test (FAT), uji serologis, identifikasi makrofag pada ulas jaringan.
Dokter hewan mempunyai tiga pilihan metode penanganan burung dengan Avian Chlamydiosis, yaitu melalui pemberian pencampuran obat dalam pakan (klortetrasiklin), pemberian obat oral atau parenteral (doksisiklin atau oksitetrasiklin), dan pengobatan eksperimental (fluoroquinolones, macrolides generasi terakhir, doksisiklin dalam sediaan pharmacist-compounded injectable, dan doksisiklin dalam pakan).

Infeksi Pada Manusia
Sebagian besar infeksi C. psittaci pada manusia berasal dari paparan hewan rentan. Hal tersebut dimungkinkan dari hirupan aerosol sekretan saluran pernapasan ataupun feses kering yang terinfeksi C. psittaci. paparan utama lainnya dapat berasal dari patukan, dan kontak mulut dengan paruh burung. Mamalia dapat pula berperan sebagai penular C. psittaci kepada manusia. Strain tertentu C. psittaci yang menginfeksi kambing, domba, dan sapi menyebabkan infeksi kronis di saluran reproduksi, insufiensi plasenta, dan abortus. Penularan terjadi ketika manusia terekspos dengan cairan pada proses kelahiran, dan plasenta hewan yang terinfeksi. Strain lain dari C. psittaci, yaitu agen penyebab feline keratokonjunctivitis, menimbulkan gejala klinis berupa rhinitis dan konjungtivitis pada kucing. Kejadian infeksi pada kucing ini sangat jarang dilaporkan terjadi.

Inkubasi C. psittaci pada manusia berkisar 5-14 hari. Infeksi yang terjadi dapat menimbulkan gejala, sampai dengan gangguan sistemik dengan pneumonia parah. 15-20% penderita yang menunjukkan gejala klinis telah dilaporkan meninggal sebelum ditemukannya antimikrobial agen yang tepat. Saat ini hanya kurang dari 1% pasien dengan infeksi C. psittaci yang tidak dapat tertangani. Manusia yang terinfeksi biasanya mengalami demam, gemetar, sakit kepala, lemah, dan mialgia. Mereka biasanya batuk kering, dan diikuti dengan kesulitan bernapas dan sesak di bagian dada.

Diagnosa diferensial psittacosis dengan gejala mirip penumonia adalah Coxiella burnetii, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia Legionella species, dan virus saluran pernapasan, seperti influenza. C. psittaci dapat memengaruhi organ pernapasan lainnya dan mengakibatkan endokarditis, myokarditis, hepatitis, artritis, keratokonjungtivitis, dan encephalitis. Kesakitan parah dengan kegagalan pernapasan, trombositopenia, hepatitis, dan kematian janin pernah dilaporkan terjadi pada pasien dengan kondisi hamil.

Diagnosa laboratoris pada manusia daat dilakukan dengan kultur sekretan pernapasan, Complement Fixation Test (CFT), dan Micro Immuno Fluorescent Test (MIFT). Tetrasiklin dan doksisiklin merupakan antibiotik yang dipilih untuk menangani pasien psittacosis, sementara eritromisin menjadi alternatif terbaik bagi pasien yang kontraindikasi dengan tetrasikslin, seperti anak usia dibawah sembilan tahun, dan wanita hamil.

Sebagian besar orang memberikan respon membaik melalui terapi oral, ataupun intravena, tergantung kepada tingkat keparahan penyakit dan ketersediaan preparat obat. Pengurangan gejala biasanya terjadi dalam 48-72 jam setelah pengobatan, namun relaps dapat terjadi sehingga pengobatan harus dilanjutkan setidaknya 10-14 hari setelah demam hilang.


BAB IV
PEMBAHASAN

Kebijakan Karantina Hewan
1. Tindakan Karantina
Karantina menurut Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah akronim delapan P yang terdiri dari pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan. Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina, yaitu dokter hewan karantina yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu oleh paramedik karantina.

2. Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II
HPHK dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan pada pasal satu ayat 14 didefinisikan sebagai semua hama, hama penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio-ekonomi nasional dan perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat resikonya, sementara HPHK golongan II pada ayat selanjutnya, didefinisikan sebagai hama penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat dengan lalu lintas media pembawa, sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.

Penjelasan mengenai penggolongan HPHK secara lebih teknis disebutkan pada pasal 75, yaitu:
1. Hama penyakit hewan karantina digolongkan menjadi hama penyakit hewan karantina golongan I dan hama penyakit hewan karantina golongan II, berdasarkan daya epidemis dan patogenitas penyakit, dampak sosioekonomi serta status dan situasinya di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia;

2. Penggolongan hama penyakit hewan karantina golongan I dan golongan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta penetapan jenis hewan yang peka, cara penularan, masa inkubasi, masa pengamatan, masa karantina, standarisasi pengujian dan perlakuan, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Avian Chlamydiosis, berdasarkan definisi dan penjelasan mengenai HPHK diatas, dalam Permentan Nomor 3238 Tahun 2009 mengenai Penggolongan HPHK dan Media Pembawa dimasukkan ke dalam kelompok HPHK golongan II. Ketentuan mengenai tindakan karantina yang dapat dikenakan pada lalulintas media pembawa yang diketahui tertular HPHK golongan II diatur dalam pasal 25, 26, 27, 29, 34, 46, dan 78 PP Nomor 82 Tahun 2000.

Pasal 25 ayat 2 huruf c mengatur mengenai pilihan tindakan yang dapat diambil oleh dokter hewan karantina terhadap media pembawa yang diketahui tertular HPHK golongan II pada saat pemeriksaan di atas alat angkut perairan. Pasal 26 ayat 2 huruf c mengatur tentang konteks yang sama, namun khusus pada pemeriksaan di atas alat angkut udara, sementara pasal selanjutnya di ayat 2 huruf c khusus bagi pemeriksaan di atas alat angkut darat dan kereta api.

Pilihan tindakan yang dimiliki dokter hewan karantina dalam kondisi tersebut di atas adalah penolakan atau pemusnahan, baik terbatas pada hewan tertular ataupun semua hewan rentan. Tindakan karantina pengasingan, pengamatan, perlakuan, dan pemusnahan diatur secara mendetail pada pasal 29, dan 46. Terhadap media pembawa transit yang diketahui tertular HPHK golongan II, akan dilakukan tindakan penolakan berdasarkan pasal 34 ayat 4 huruf e nomor 2. Larangan pemasukan dan pengeluaran media pembawa atau transit di negara atau area yang sedang terjadi wabah HPHK golongan II diatur juga secara tegas di pasal 78.

BAB V
SIMPULAN

Avian Chlamydiosis /Chlamydiosis /Psittacosis /Demam beo adalah penyakit unggas zoonosis yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci. C. psittaci dapat menginfeksi berbagai unggas dan mamalia, namun hewan rentan bagi penyakit ini adalah burung peliharaan. Faktor lingkungan, agen, dan hospes merupakan kunci penularan Avian Chlamydiosis di alam. Penularan Avian Chlamydiosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan sakit ataupun karkasnya, dan gigitan vektor mekanis. Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui inhalasi partikel debu yang terkontaminasi feses atau kotoran kandang yang mengandung agen. Morbiditas dan mortalitas tertinggi penyakit ini terjadi pada unggas muda, sementara pada unggas dewasa mortalitas dapat mencapai 20%, namun hewan yang sembuh dari sakit dapat bersifat carrier.

Avian Chlamydiosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, dan sebagian besar infeksi C. psittaci pada manusia berasal dari paparan hewan rentan. Diagnosa diferensial psittacosis dengan gejala mirip penumonia adalah Coxiella burnetii, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia Legionella species, dan virus saluran pernapasan. Mengingat agen penyakit ini yang merupakan bakteri, maka pengobatan efektif yang dapat dilakukan adalah melalui pemberian antibiotik.

Avian Chlamydiosis dalam Permentan Nomor 3238 Tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis HPHK dan Media Pembawa dikelompokkan dalam HPHK golongan II. Pengaturan mengenai lalu lintas hewan rentan yang tertular, berasal dari negara ataupun daerah berstatus wabah HPHK golongan II sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakitnya didasari oleh PP Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.


DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1998. Compendium of Measures To Control Chlamydia psittaci Infection Among Humans (Psittacosis) and Pet Birds (Avian Chlamydiosis). Atlanta, Georgia.

Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. 2014. Manual Penyakit Unggas. Kementerian Pertanian.
Khairiyah. 2009. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.

Lessnau, Klaus-Dieter. 2015. Psittacosis. emedicine.medscape.com. [30 Oktober 2015].
Sudi, Reka. 2010. Chlamydia psittaci. mikrobia.wordpress.com. [30 Oktober 2015].

Wahana Indonesia Prestasi. 2015. Festival Lebak Wangi II: Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Situ Lebak Wangi. [29 Oktober 2015]

Wikipedia. 2015. Organisation for the Preservation of Birds and their Habitat. wikipedia.org. [29 Oktober 2015].

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: