THEILERIASIS, PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI, KERBAU DAN HEWAN LAINNYA

Theileriasis adalah penyakit yang  disebabkan parasit darah  Theileria sp yang menginfeksi sel darah pada hewan terutama sapi dan kerbau yang ditularkan oleh vektor sebagai hewan perantara. Menyebabkan kerugian karena hewan mengalami anemia, kelemahan, pembengkaan kelenjar limfe, dan berat badan turun.

A. PENDAHULUAN

Theilerisosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh protozoa Theileria sp. yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal sebagai tick borne disease dan menyebabkan kerugian ternak cukup besar, terutama peternakan di daerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan, terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam satu generasi /keturunan, penurunan kualitas daging, pembuangan darikematian atau pengafkiran karkas atau organ, penurunan produksi susu, kerusakan dan kulit.

Morbiditas dan mortalitas penyakit ini bervariasi tergantung dari jenis inang yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan dosis infeksi. Mortalitas pada ternak persilangan yang diintroduksikan pada daerah endemi Theileriasis tropis dapat mencapai 40-90%.

B. ETIOLOGI

Penyebab Theileriasis adalah protozoa darah dari genus Theileria yang tergolong protozoa dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida dan Famili Theileriidae.

Klasifikasi spesies Theileria didasarkan pada morfologi piroplasma, morfologi skizon, sifat serologis, uji kekebalan silang, induk semang utama, sifat patogenitas dan uji biologis. Terdapat enam spesies yang menyerang sapi, yaitu T.parva, T.annulata, T.mutans, T.sergenti, T.taurotragi dan T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan menyebabkan kerugian ekonomis, yaitu T.parva dan T.annulata.

Spesies yang lainnya bersifat tenang (benign). Berdasarkan perbedaan sindrom dan daya infeksinya, T.parva dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu T.parva parva (T.parva), T.parva lawrencei (T.lawrencei) dan T.parva bovis (T.bovis). Ketiga spesies ini terdistribusi di sekitar  13  negara  di  Sub-Saharan  Afrika  dan  mengakibatkan  penyakitEast Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease.

Adapun T.annulata dikenal sebagai penyebab Tropical Theileriasis atau Mediterranean Theileripsis yang terjadi di Pesisir Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan, Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah.

 
Gb. 1. A



 Gb. 1.B


Gambar 1. A. Kinet Theileria parva, dan B. Theileria sp di dalam sel darah merah inang (Sumber:   http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Theileria-parva-kinete.jpg,http://dico-sciences-animales.cirad.fr/liste-mots.php?fiche=27191&def=theileria)

T.taurotragi dan T.mutans dilaporkan tidak menyebabkan sakit atau manifestasi klinis yang ditimbulkan tergolong ringan, sedangkan T.velifera bersifat non patogenik. Ketiga spesies ini banyak ditemukan banyak ditemukan terutama di Afrika. Spesies lain yang terdistribusi di seluruh dunia adalah T.orientalis, T.buffeli dan T.sergenti. Theileria orientalis termasuk spesies yang patogen, karena mampu menyebabkan anemia kronis yang progresif.

Berdasarkan derajat patogenitas, proporsi piroplasma, kandungan protein dan sifat serologisnya, T.orientalis mirip dengan T.buffeli sehingga diduga sebagai satu spesies yang sama, sedangkan T.sargenti merupakan spesies yang berbeda. Spesies penting lainnya adalah T.annulata dan T.parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Siklus hidup
Sporozoit adalah bentuk infektif yang dikeluarkan melalui kelenjar ludah vektor dan dipenetrasikan ke dalam tubuh inang melalui gigitan. Selanjutnya, sporozoit  ini masuk ke sistem limfe menuju ke jaringan limfoid, terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkemban membentuk badan berinti yang disebut Skizon (Koch’s body) dan berada dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit.

Bentukan ini terus bergerak masuk kedalam eritrosit dan terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui isapan darah, gamon masuk ke intestinal nimfa caplak dan membentuk mikrogamon.Mikrogamonmemiliki 4 inti dan membelah menjadi mikrogamet  yang memiliki 1 inti kemudian bergabungdengan makrogamet membentuk zigot.



Gambar 2. Siklus hidup Theileria sp (Sumber : Marcelino et al., 2012)

 Perkembangan selanjutnya adalah zigot membentuk kinet yang motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinetmenjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah. Lalu kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan darah.

2.  Patogenitas
Infestasi pada inang diawali dengan masuknya sporozoit sampai terdeteksinya prioplasma yang menginfestasi eritrosit, sedangkan pada vektor dimulai dari larva menghisap darah terinfestasi piroplasma berubah menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah vektor.

Infeksi pada Inang
Mekanisme infeksi Theileria sp. Dalam tubuh inang diawali dengan tahap skizogoni yang berlangsung di leukosit (limfosit) dan berakhir dengan bentuk piroplasmayang menginfeksi eritrosit. Sporozoit diinfeksikan oleh caplak melalui gigitan ke inang dan selanjutnya menginfeksi leukosit.Secar umum, sel leukosit yang diinfeksi adalah limfosit sel-T, namun pada T.parva lebih banyak menginfeksi sel-T dan sel-B sedangkan untuk T.annulata lebih banyak menginfeksi sel monosit dan sel-B.

Setelah kontak dengan limfosit, sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand di permukaannya ke reseptor pada permukaan monosit. Sporozoit segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam sitoplasma.

Di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya membelah berulang ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizonagamon atau Koch’s blue bodies. Bentukan ini melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak. Selain itu, selama terinfeksi oleh makroskizon, limfosit terangsang secara aktif untuk mengekskresikan  bahan  autokrin  yang  berfungsi  menggertak  interleukin-2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi limfosit mengalami perubahan bentuk dan berproliferasi dengan hebat.

Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang monosit baru, kemudian makromerozoit berubah menjadi makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit, kemudian bentukan ini menginfeksi eritrosit dan berubah menjadi piroplasma yang infektif untuk menulari caplak yang lain.

Infeksi pada vektor
Infeksi  piroplasma  pada  caplak  terjadi  ketika  stadium  larva  menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah abdomen penuh dengan darah, larva akan jatuh ke tanah. Dalam waktu 10 jam, pada intestinal larva telah ditemukan bentukan merozoit baik di dalam maupun di luar eritrosit. Kemudian sebagian besar eritrosit hancur dalam waktu 24 jam, dan di dalam intestinal nimfa ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 μm.

Selanjutnya, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 1 - 2 μm, dengan sitoplasma bersifat basofilik dalam waktu sekitar 24 - 48 jam. Perkembangan berikutnya adalah berubahnya bentukan cincin menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3 - 4 μm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya basofilik dalam waktu 48 - 72 jam.

Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet, yaitu bentukan seperti kumparan yang berukuran panjang 5 μm. Setelah 3 sampai 5 hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar dan lonjong, dengan ukuran 4 - 5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari intestinal.

Pada hari ke- 9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4 - 5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Kemudian, pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus.Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa.

3.   Sifat Alami Agen
Protoza  ini  menginfeksi  sel-sel  limfosit  dan  eritrosit.  Limfosit,  sel-sel endotel kelenjar Limfe, histiosit dan eritroblast adalah tempat merogoni dengan perbanyakan  Skizogoni  yang  paling  aktif. Apabila dilakukan pewarnaan Giemza atau Romanovsky, maka akan nampak Skizon kalau diwarnai dengan pewarnaan Giemza atau Romanowsky, nampak sitoplasmanya berwarna biru dan didalamnya ditemukan beberapa butir kromatin yang besar dan tidak teratur berwarna merah disebut Makroskizon Agamon atau
”Koch’s Blue Bodies”.

4. Spesies Rentan
Hewan sapi dan kerbau dilaporkan rentan terhadap infestasi T.orientalis. Sapi bangsa Bos taurus juga lebih peka dibandingkan dengan sapi persilangan Bos taurus x Bos indicus. Di daerah endemik, pedet lebih peka daripada sapi dewasa, namun prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi pada sapi dewasa.

5. Pengaruh Lingkungan
Faktor lingkungan seperti iklim dan kelembaban yang tinggi memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit ini, karena memicu berkembangnya vektor. Di daerah sub-tropis, populasi caplak dewasa meningkat pada musim panas dan musim semi, sedangkan populasi larva dan nimfa meningkat pada musim gugur.

Adapun di daerah tropis, populasi caplak mulai meningkat pada akhir musim panas dan puncaknya pada saat curah hujan tinggi. Keberadaan caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya kasus theileriasis pada suatu daerah.

6. Sifat Penyakit
Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis, tergantung dari agen protozoa yang menginfeksi inang.

7. Cara Penularan
Theileriasis  secara  alami  hanya  dapat  ditularkan  oleh  caplak  secara stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan). Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T.orientalis, T.sergenti dan T.buffeli adalah Haemaphysalis sp.

Galur caplak disetiap lokasi dapat berbeda kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. Misalnya H.longcornis di Australia hanya dapat menularkan T.sergenti tetapi tidakmenularkan T.buffeli, sebaliknya H.longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut. Di Malaysia, umumnya T.orientalis ditularkan oleh Boophilus microplus dan H.bispinosa (jarang). Vektor yang menularkan T.parva ke indung semang di daerah Afrika Selatan adalah R.appendiculatus dan R.zembeziensis sedangkan T.annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma.

8. Faktor Predisposisi
Jenis inang yang terinfeksi dan perbedaan galur patogenitas parasit.

9. Distribusi penyakit

a. Sejarah Kejadian Theileriosis di Indonesia
Kasus Theileriasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1912 di Pulau Jawa. Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak diketahui. Awal terdeteksi, penyebab Theileriasis di Indonesia diidentifkasi sebagai T.mutans. Namun setelah dilakukan re-identifikasi berdasarkan identifikasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriasis pada sapi di Indonesia adalah T.orientalis.

Prevalensi T.orientalis pada sapi dilaporkan sebesar 30,8 % (178 /578) dengan tingkat parasitemia ≤ 1 % pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Pemeriksaan spesimen pada 10 kabupaten di Medan Sumatera Utara, kejadian Theileriasis dilaporkan sebesar 1,3 % (4 /307) lebih rendah dibandingkan prevalensi Aceh yaitu sebesar 4,3 %(10 /231). Namun demikian, kejadian Theileriasis di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8 % (7 /185) sedangkan di Propinsi Aceh menurun menjadi 0,4 % (1 /251).

Prevalensi rata-rata T.orientalis pada sapi perah FriesianHolstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77 /247) 31,2 %. Laporan lain menyebutkan bahwa prevalensi di beberapa lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) antara lain Teluk Naga 85 /102 (83,3 %), Legok 51/109 (46,8 %), Lebak 43 /100 (43 %) dan Cileungsi 46 /98 (46,9 %).

b. Distribusi geografis
Parasit ini terdistribusidi seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan.

D. PENGENALAN PEYAKIT

1. Gejala Klinis dan patologi
Hewan yang terserang theileriasis akan mengalami kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva, pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T < 38,5 ºC), ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di feses.

Peningkatan makroskizon, mikroskizon dan piroplasma menyebabkan terjadinya anemia yang hebat. Keadaan stres akan memincu terjadinya peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai turunnya  nilai  hematokrit,  jumlah  eritrosit  dan  lekosit. Theileriasis  dapat menyebabkan anemia normositik, kemudian berubah menjadi makrositik, yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan meningkatnya jumlah monosit.Infestasi parasite ini dilaporkan menyebabkan panleukemia, yang terdiri dari neutropenia,limfopenia dan eosinopenia.

Tingkat parasitosis Theilerioasis dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu tingkat ringan (mild reaction) adalah bila skizon ditemukan satu dalam satu lapang pandang (parasitosis < 1 %), tingkat yang lebih berat (severe reaction) yaitu bila ditemukan skizon 50 % atau lebih dari total eritrosit yang  diperiksa  (parasitosis  1 – 5 %),  sedangkan  tingkat  yang  berat  sekali (very severe reaction) yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang (parasitosisnya > 5 %).

Perubahan terjadi pada kelenjar limfe, yaitu mengalami pembengkakan dan hiperemik. Hati juga mengalami pembesaran dan degenerasi. Odema terjadi pada paru dengan ulcer di abomasum. Ginjal mengalami infark sedangkan limpa pada kasus yang akut terjadi pembesaran dan rapuh.

2. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopik sediaan darah tipis dan darah tebal.

3. Diagnosa banding
Penyakit yang memiliki gejala penyakit yang hamper sama adalah: Anaplasmosis, Babesiosis dan Salmonellosis. Namun demikian, adanya pembengkakan kelenjar limfe superficial dan ditemukan benda - benda Koch merupakan tanda spesifik yang membedakan theileriasis dari penyakit lainnya.

Penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan Theileriasis antara lain Heartwater, Haemorrhagic Septicemia, Trypanosomiasis, Rift Valley Fever dan Malignant Catarrhal Fever.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan dan vaksinasi
Vaksin theileiria pernah dikembangkan dari piroplasma hidup yang berada didalam sel darah merah, tetapi vaksin ini tidak lagi dianjurkan karena berpotensi untuk menyebarkan theileriasis lebih luas.Saat ini, dua kandidat vaksin sedang dikembangkan, yaitu vaksin rekombinan protein p32 dan peptida sintetik yang mengandung Lys ± Glu ± Lys (KEK). Keduanya mampu menghasilkan status parasitemia yang rendah dan menurunkan keparahan gejala klinis.

Keberhasilan  pengobatan  sangat  ditentukan  oleh  waktu  pemberiannya yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan theileriasis adalah memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Preparat theilericidal seperti parvaquone dan turunannya digunakan untuk engobatan infeksi Theileria sp. Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan jaringan hematopoietic.

Preparat yang lain adalah pamaquin /primaguine dan buparvaquone. Pemakaian Acrapin dapat dipertimbangkan. Tetrasiklin juga dapat diberikant etapi terkadang menyebabkan resisten terhadap antibiotika. Disamping itu, obat   yang dilaporkan efektif antara lain klor tetrasiklin, monoctone, C2 Hydroxy 3 - 8 cyclo hexylloctyl, 4-NaOH Thoquinon, Trypan Blue 1 - 2 % 100 cc, pirevan 5 % 1cc /50 kg BB sub cutan, Phenamidine 12 mg /Kg BB sub cutan dan Berenil 2 – 3,5 mg /Kg BB intra muscular.

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a.   Pencegahan
Pencegahan theileriasis dapat dilakukan dengan cara mengurangi populasi vektor, melalui   dipping, sanitasi kandang, pemberian repellant seta melakukan manajemen pemeliharaan yang baik. Dalam tata niaga ternak, diusahakan agar negara - negara sapi pengimpor mengurangi stress, misalnya dengan memilih waktu importasi yang tepat, penanganan sapi yang baik saat pembongkaran, meningkatkan pengetahuan ataupun pengalaman dalam pengenalan penyakit, seleksi hewan dan lain sebagainya.

Bagi negara tujuan, sapi yang telah masuk juga diberikan perlakuan yang sama, yaitu memberikan parasiticide dan perendaman disinfektan (dipping) untuk parasit eksternal dalam 14 hari sebelum pengapalan dan telah diberikan ivermectin atau anthelmintic untuk endoparasit dalam 40 hari sebelum diekspor.

Pemberian parasitide berupa akarisida adalah untuk membunuh larva, nimfa dan dewasa caplak ixodidae. Akarisida biasanya digunakan pada ternak dengan cara perendaman dan penyemprotan serta dianggap sistem perendaman lebih efektif. Beberapa jenis akarisida juga dapat diaplikasikan dalam bentuk implan dan bolus, pour-on (digunakan padapunggung dan menyebar lebih cepat ke semua permukaan tubuh) dan spot-on (hampir sama dengan pour-on tetapi penyebarannya kurang cepat).

Perlakuan parasiticide sebelum pengapalan berdampak terhadap tidak ditemukannya caplak di kapal. Hal ini berkaitan pula dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa jumlah parasit yang ditemukan masih sedikit dan kemungkinan berada dalam stadium gamon, sehingga  gejala  klinisnya  juga  tidak jelas.

b. Pengendalian dan Pemberantasan
Strategi pengendalian theileriasis dapat dilakukan dengan melakukan pemberantasan caplak terpadu. Efektifitas dari strategi tersebut memerlukan pengetahuan yang lebih baik tentang dinamika dari agen penyakit, host, vektor caplak dan lingkungan hidupnya.

Peraturan karantina yang ketat perlu dilakukan untuk mencegah kembali caplak di negara yang pernah tertular tick borne disease dantelah dilakukan pemberantasan. Kesesuaian tentang iklim, sistem informasi geografis (GIS) yang berdasarkan pada pengetahuan para ahli dipergunakan untuk mengidentifikasi area yang tidak dapat terinfeksi caplak atau caplak tersebut tidak bisa berkembang jika masuk di suatu area.

c. Peraturan International
Badan kesehatan hewan dunia (The Office of International des Epizooties /OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO) menetapkan standar yang harus dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau dari negara yang dianggap terinfeksi Theileria spp. harus tercantum dalam dokumen kesehatan hewan (International Veterinary Certificate).

Persyaratan yang ditetapkan pada lalu lintas ternak, hewan tidakmenunjukkan gejala klinis theileriasis baik pada saat keberangkatan atau pengapalan,sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriasis selama 2 tahun sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari sebelum pengapalan.

F. DAFTAR PUSTAKA

Astyawati T 1987. Diagnosis piroplasmosis pada sapi perah dengan metode Fluoresein Antibodi Tidak Langsung dibandingkan dengan Giemsa-May- Grunwald. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Billiouw M, Vercruysse J, Marcotty T, Speybroeck N, Chaka G, Berkvens D 2002. Theileria parva epidemics : a case study in eastern Zambia. Vetparasitol
107:51-63

Eichhorn M, Dobbelaere DAE 1994. Induction of signal transduction pathways inlymphocytes infected by Theileria parva. Parasitologi today 10:469-472

Flach EJ, Ouhelli H 1992. The epidemiology of tropical theileriasis (Theileriaannulata in catlle) in an endemic area of Marrocco.Vet Parasitol 44:51-65

Fujisaki K, Kawazu S, Kamio T 1994.The taxonomy of the bovine Theileria sp.Parasitology Today 10:31-33.

Gharbi M, Sassi L, Dorchies P, Darghouth MA 2006. Infection of calves withTheileria annulata in Tunisia : Economic analysis and evaluation of thepotential benefit of vaccination. Vet Parasitol 137:231-241

Marcelino I, de Almeida, A.M, Ventosa M, Pruneau L, Meyer DF, Martinez M, Lefrancois T, Vachiery N and Coelho AV 2006. Tick-borne disease in cattle: Applications of proteomics to develop new generation vaciines. J. Proteom, 75 (14) : 4232-4250.

Marquerita I, Sembiring S, Pakpahan S 1997. Laporan hasil pemeriksaanterhadap theileriasis dan anaplasmosis pada sapi di Propinsi Sumatera Utara dan D.I. Aceh tahun 1995-1996. BPPH Wilayah I Medan. DirjenPeternakan. Bulletin Veteriner No I.

OIE Terrestrial Manual 2008. Theileriasis. Chapter 2.4.16. website: http://www.oie.int/eng/normes/mmanual/asummry.htm [2 Agustus 2008].

Onuma M, Kakuda T and Sugimoto C 1998. Theileiria parasite infection in East Asia and control of the disease. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 21:165-177

Silitonga  RJP  2009.  Theileriasis  pada  sapi  potong  import Australia  melalui pelabuhan Tanjung Priok. Institut Pertanian Bogor.

Siswansyah DD 1990. Prevalensi theileriasis, babesiosis dan anaplasmosis pada sapi dan kerbau di Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Veteriner. BalitbangPertanian. Penyakit Hewan XXII 39:50-54.

Stewart NP, Standfast NF, Baldock FC, Reid DJ, de Vos AJ 2008. The distribution and prevalence of Theileria buffeli in cattle in Queensland. Austr Vet Journ 69:59-61.

******
Jakarta, 9 Oktober 2015

Oleh Drh Giyono Trisnadi, disadur dari: Manual Penyakit Hewan Mamalia. Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.

PENTING UNTUK PETERNAKAN: