BABESIOSIS, PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI DAN HEWAN LAINNYA

Babesiosis adalah penyakit yang  disebabkan parasit darah Babesia sp yang menginfeksi sel darah pada hewan terutama sapi dan ditularkan oleh vektor sebagai hewan perantara. Nama lain penyakit ini adalah Piroplasmosis, Mexican fever, Red Water, Splenic Fever, Bloody Murrain Texas Fever, Cattle Tick Fever.

A. PENDAHULUAN

Babesiosis yang disebabkan oleh Babesia sp ini telah tersebar luas di seluruh dunia dan menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di daerah tropis dan sub tropis. Morfologi Babesia sp sangat khas, yaitu berbentuk seperti buah pear (the pear shaped form) yang berada didalam butir darah merah (intraerythrocytic) inang yang terinfeski. Disamping itu, kasus Babesiosis juga dilaporkan menyerang pada manusia sehingga dimasukkan ke dalam penyakit zoonosis.

Mortalitas akibat Babesiosis berkisar antara 5 – 10% meskipun ternak telah diobati. Adapun jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, mortalitas dapat mencapai 50 - 100%. Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyakit protozoa darah sebagai penyebab terjadinya kematian pada sapi dan kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan diyakini tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini menimbulkan kerugian ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan serta vaksin.

B. ETIOLOGI

Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme didalam sel darah  merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protoza intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus Babesiosis pada manusi pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957. Berdasarkan taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia.

Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari 100 spesies Babesia di dunia, tetapi yang mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan hewan dan manusia antara lain B.microti di Amerika Serikat, B.divergens dan B.bovis di Eropa. Adapun di Indonesia, Babesia sp yang banyak merugikan peternak adalah B.bigemina, B.divergens dan B.bovis.

Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada hewan-hewan yang lain, seperti B.mayor menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan B.canis pada anjing, B.felis pada tikus, dan B.microti pada binatang mengerat (rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B.divergen pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang).

Laporan terbaru menyebutkan bahwa spesies yang dulu tidak disebut sebagai spesies Babesia, yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita dengan manifestasi klinis babesiosis di Washington. Adapun spesies Babesia baru yang diisolasi dari negara bagian Missouri adalah Babesia (MO1).

Di Indonesia, umumnya kasus babesiosis disebabkan oleh B.bovis dan B.bigemina, keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin- signet yang bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5 - 2,4 µm yang terletak di tengah-tengah eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform, bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-pasangan dengan ukuran diameter 2 - 3 µm dan panjang 4 - 5 µm.
     
           
Babesia bovis



Babesia bigemina

Gambar 1. Morfologi Babesia di dalam eritrosit sapi
(Sumber : http://daff.qld.gov.au)

C. EPIDEMIOLOGI

1. Siklus Hidup
Lama waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah sekitar 7 – 10 hari. Berdasarkan tahap reproduksinya, perkembangan parasit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 1) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak); 2) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata).

Sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan berpenetrasi ke dalam eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang didalam butir darah merah dan berubah menjadi bentuk tropozoit, yang kemudian berdiferensiasi dan   bertunas dua atau empat membentuk merozoit. Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang 1-5 µm) akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah yang baru. Siklus ini terus berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan menyebabkan induk semang mati.

Ketika vector (caplak) menghisap darah inang yang mengandung parasit (bentukan merozoit), maka sebagian merozoit akan mengalami kerusakan di dalam saluran pencernaannya. Sebagian lain yang masih hidup akan berubah menjadi gametosit yang matang (telah tumbuh sempurna), yang pada akhir tumbuh menjadi gametosit jantan dan betina. Kedua gametosit tersebut  akan menggabung (fusi) dan membentuk zigot (ookinet) yang motil.

Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi) akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. Gametosit ini merupakan prekursor pada saat perkembangan seksual parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick). Zigot akan menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolimfe dan berpentrasi ke berbagai organ caplak, bahkan hingga ke dalam telur caplak yang akan diturunkan ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit akan masuk melalui dalam kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah ini selanjutnya akan memindahkan penyakit ke inang melalui gigitannya.


Gambar 2. Siklus hidup Babesia sp. Perkembangan parasite pada inang ditunjukkan pada no 1 – 6, sedangkan perkembangannya pada vektor ditunjukkan pada no 7 – 17. (1. Sporozoit  yang  dilepas dari kelenjar ludah caplak, 2. skizon (koch’s blue bodies = KB) di dalam limfosit (N = Nukleus), 3. merozoit, 4 – 5. membelah diri dalam eritrosit, 7a - b. Piroplasma dalam usus  caplak, 8 - 10. pembentukan mikrogamon (9) dan mikrogamet (10), 11. makrogamet, 12. zigot, 13-15. Pembentukan kinet, 15b. Pada Theileria parva pembelahan inti terjadi sebelum kinet meninggalkan sel usus caplak, 16. kinet memasuki sel kelenjar ludah, 17. pembesaran sel kelenjar ludah dan intinya, dan intinya dan di dalamnya ditemukan ribuan sporozoit. (Sumber: Mehlhorn and Schein, 1984).

2. Sifat alami agen
Babesia sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi respon imun inang sehingga proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya infestasi berulang, namun hanya mampu menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas inang ketika terjadi re-infestasi. Disamping itu, respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia sp mempunyai karakteristik reaksi silang (cross immunity). Imunitas yang disebabkan oleh B.bigemina mampu melindungi inang yang terinfestasi oleh B.bovis (cross protected).

3. Spesies rentan
Hampir seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp. Umumnya sapi dewasa lebih rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi Bos taurus juga dilaporkan lebih sensitif terhadap serangan Babesia sp dibandingkan Bos indicus atau persilangannya. Kejadian kasus Babesiosis akibat infestasi B.bigemia di Australia dilaporkan sepuluh kali lipat lebih banyak menyerang Bos taurus dibandingkan dengan Bos indicus.

Kualitas ketahanan tubuh (respon imun) terhadap caplak lebih besar pada jenis sapi peranakan yang mempunyai darah /keturunan zebu yang lebih dominan. Apabila sapi-sapi yang rentan tidak terlindungi dari infestasi caplak, maka derajat kesakitan dan kematian yang tinggi akibat infestasi Babesia sp dapat terlihat dalam waktu 3 minggu. Jikalaupun periode kritis ini dapat terlewati, hewan-hewan tersebut cenderung mudah menderita anaplasmosis pada 2 – 12 minggu pasca wabah babesiosis.

4. Pengaruh Lingkungan
Kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan vektor caplak berkorelasi positif dengan semakin meningkatnya kasus Babesiosis di lapangan. Penyebaran Babesia sp. sangat tergantung dari kondisi geografis dan cuaca disuatu wilayah.

Caplak sebagai vector penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan yang hangat dan lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah - daerah kering-dingin atau kering-panas hingga pada ketinggian 2000 m.

5. Sifat penyakit
Babesiosis pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat juga bersifat akut bahkan menyebabkan kematian pada ternak dengan tingkat parasitemia yang tinggi.

6. Cara Penularan
Babesiosis ditularkan melalui vector caplak. Caplak yang berinang satu menularkan secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau tiga penularannya secara “stage to stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak pada saat menghisap darah inang. Di dalam tubuh caplak, Babesia sp akan memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesia akan berada di dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva (transovarial transmission).

Vektor lain yang mampu menularkan Babesia sp pada ternak adalah Boophilus microplus. Caplak ini dilaporkan menjadi vektor yang penting di Indonesia karena terbukti mampu mentransmisikan B.bovis, B.bigemina termasuk Anaplasma marginale. Adapun Boophilus annulatus dikenal sebagai vektor B.bigemina di wilayah Amerika Utara serta Boophilus calcaratus dan Rhipicephalus bursa menjadi vektor B.bovis di wilayah Eropa, Rusia  dan Afrika.

Caplak Haemaphysalis, Dermacentor dan Rhipichephalus diketahui menjadi vektor B.motasi yang menyerang domba dan kambing di Eropa, Timur Tengah, Rusia, Indocina dan Afrika. Babesia sp juga dapat ditularkan secara alamiah melalui gigitan caplak berkulit keras, yaitu Ixodes persucaltus dan I.ricinus. Manusia dapat tertular protozoa ini melalui transfusi darah atau melalui caplak ketika berjalan diantara semak. Selain itu penularan juga bisa secara mekanik melalui alat-alat kedokteran yang tidak steril pada saat pengebirian, vaksinasi, pemotongan tanduk dsb.


Gambar  3. Tahapan  perkembangan  Babesia  bovis  di  dalam  eritrosit  darah sapi (kultur in vitro). A) Sepasang merozoit B.bovis dewasa yang berada didalam sel darah merah. B) Merozoit yang telah bebas dan diantaranya telah menempel ke permukaan sel darah merah sapi, C) Tropozoit B. bovis didalam sel darah merah. D) Kinet B. bovis yang diisolasi dari Riphicephalus microplus (Sumber: Suarez dan Noh, 2011).

7. Distribusi Penyakit

a. Sejarah Kejadian Babesiosis di Indonesia
Kasus babesiosis pertama kali di Indonesia dilaporkan pada kerbau di Tegal (Jawa Tengah) bertepatan dengan terjadinya wabah Texas fever pada tahun 1896 dan menyusul di daerah Sumatra pada tahun 1906. Kasus babesiosis terus berkembang dan menjadi wabah pada tahun
1918, yang menyerang ternak-ternak diimport dari Australia, sehingga daerah tertular dan tersangka tertular, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali dan Jawa.

Selanjutnya kasus wabah babesiosis semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 1982, dilaporkan sebanyak 710 kasus dan meningkat tajam pada tahun 1983 menjadi 3.563 kasus, sedangkan pada tahun 1984 meningkat hingga 5.579 kasus.

b. Distribusi geografis
Penyakit ini telah terdistribusi luas diseluruh Indonesia.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah demam, hewan kekurangan darah dan mengalami anemia. Penyakit ini sangat patogen pada sapi dewasa, tetapi anak sapi kurang dari satu tahun relatif lebih tahan.

Masa inkubasi babesiosis antara 2 – 3 minggu pada infeksi alam, tetapi dapat berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium, yaitu 4 - 5 hari (B.bigemina) dan 10 - 14 hari (B.bovis). Awalnya sapi akan mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan diikuti dengan anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan bisa terjadi haemoglobinuria (kencing berwarna merah darah = red water).

Gejala lain yang nampak pada sapi adalah bulu kusam, lesu, nafsu makan menurun, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis, iketrik, mungkin terjadi gejala syaraf, seperti berputar putar dan konvulsi.

Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) yang mengalami babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu:
a. Susceptible, yaitu hewan yang menunjukkan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk mencegah kematian (hewan rentan).

b. Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan packed cell volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh. Pada kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan dengan segera karena dapat seembuh dengan sendirinya.

c. Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi ditemukan B.bovis dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5% dan hewan tidak mengalami peningkatan suhu tubuh yang nyata.

2. Patogenesis
Umumnya masa inkubasi pada infeksi yang disebabkan oleh B.bovis lebih lama dibandingkan dengan B.bigemina. Vektor yang menggigit inang akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat memasuki fase eksoeritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit akan terus berkembang biak secara aseksual didalam butir darah merah hingga menjadi 2 - 4 tunas. Jika perkembangannya telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan butir darah merah dan menginfeksi butir darah merah yang baru, kemudian memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan eritrosit ini akan menyebabkan gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung menahun, parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi.

3. Patologi
Hewan yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami pembesaran limpa dan pulpanya berwarna merah kehitaman, serta konsistensinya lembek, sedangkan pada kasus kronis berwarna kekuningan dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles). Organ hati mengalami pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu berisi cairan kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik merah didaerah endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat bercampur darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya yang juga mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan. Mukosa usus menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi gastroenteritis.

4. Diagnosa
Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:

a. Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi. Ulas darah dapat difiksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 45 menit. Setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu ruang. Pemeriksaan parasit ini menggunakan mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000 X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.

b. Metode lain adalah dengan cara Indirect Immunoflourescent Antibody Assay. Metode ini lebih banyak digunakan untuk manusia.

c. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains Reaction (PCR), tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.

d. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. bovis menggunakan antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. divergens belum divalidasi.

5. Diagnosa Banding
Trypanosomiasis; Anaplasmosis; Theileriasis; Bacillary Haemoglobinuria; Leptospirosis; Eperythrozoonosis; Rapeseed Poisoning dan Chronic Copper Poisoning.

6. Pengambilan dan Pengiriman spesimen
Beberapa caplak dan pembuatan preparat ulas darah tipis yang dibuat dari darah telinga atau ekor dikoleksi pada hewan yang menunjukkan gejala demam atau pada fase akut. Preparat ulas darah difiksasi dalam ethanol absolut selama 1 menit dan dilakukan pewarnaan menggunakan 10 % Giemsa selama 20 - 30 menit. Preparat ulas darah yang belum diwarnai, dianjurkan untuk tidak menyimpannya didekat larutan formalin karena akan mempengaruhi hasil pewarnaan.

Jika pembuatan slide tidak memungkinkan, maka dilakukan koleksi darah pada tabung yang mengandung antilkoagulan seperti EDTA. Heparin tidak disarankan untuk digunakan karena akan berpengaruh terhadap hasil pewarnaan. Sampel darah harus disimpan dalam keadaan dingin (4 – 5 ºC) sampai dilakukan pengiriman ke laboratorium. Pembuatan slide harus telah dilakukan dalam  waktu 2 - 3 jam setelah koleksi darah. Umumnya B.bovis lebih banyak ditemukan pada darah kapiler, sedangkan B.bigemina dan B.divergens secara tidak teratur terdistribusi pada darah vaskularis.

Sampel dari hewan yang telah mati, dapat dibuat preparat ulas darah tipis termasuk melakukan smear pada organ-organnya, seperti kortek cerebral, ginjal, hati, limpa dan sumsum tulang belakang.

E. PENGENDALIAN

1. Vaksinasi dan Pengobatan
Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati degan diminazene diaceturate, imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung pada deteksi dini penyakit ini. Vaksinasi menggunakan B.bovis dan B.bigemina yang telah dilemahkan untuk mengurangi virulensinya, dilaporkan cukup efektif dan banyak dilakukan dibeberapa negara, seperti Argentina, Brazil, Uruguay dan Afrika. Sapi-sapi yang diimport sebaiknya divaksinasi di negara asal beberapa bulan sebelum dikapalkan.

Vaksin tidak disarankan untuk diberikan pada hewan yang bunting dan sedang berproduksi, sedangkan vaksinasi pada anak sapi tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya. Vaksinasi dari agen yang dimatikan (killed vaksin) dibuat dari darah anak sapi yang diinfestasi dengan B. divergens. Namun demikian informasi vaksin jenis ini masih terbatas.

Dosis tunggal vaksinasi pada sapi yang berumur 6 – 9 bulan mampu melindungi ternak dalam jangka waktu yang panjang. Dewasa ini telah diproduksi vaksin trivalent (mengandung B.bovis, B.bigemina dan A.Marginale) atau vaksin bivalent (mengandung B.bovis dan A.Marginale). Vaksin trivalent lebih direkomendasikan untuk sapi Bos taurus, sapi pemacek/ bibit dan sapi yang berasal dari daerah bebas caplak. Adapun vaksin bivalent direkomendasikan untuk Bos indicus dan sapi persilangan yang berada di daerah terinfestasi caplak.

2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a. Pencegahan
Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan ternak yang diinfestasi oleh tungau karena berpotensi untuk menularkan babesiosis, misalnya dengan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant. Beberapa jam setelah digigit tungau yang terinfestasi Babesia sp, hewan akan terinfeksi.

b. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian Babesiosis harus dilakukan dengan cara mengkombinasi antara kontrol terhadap penyakitnya dan vektor caplak. Sapi yang akan diimport berasal dari daerah endemik babesios sebaiknya berumur kurang dari 12 bulan.

F. DAFTAR PUSTAKA

Benavides MV and Sacco MS 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasit. 150:54-64.

Goes TS, Goes VS, Ribeiro MFB. and Gontijo CM 2007. Bovine Babesiosis: Antyerytrhrocyte Antibodies Purification from The Sera of Naturally Infected Cattles. Vet. Immunol. Immunopath.116: 215-218.

Hilpertshauser  H, Deplzes P, Schnyder M, Gern L and Mathis A 2006.  Babesia spp. Identified by PCR in Ticks Collected from Domestic and Wild Ruminants in Southern Switzerland.     App. and Envirom. Microbiol. 72:6503-6507.

Homer MJ, Delfin IA, Telford SR, Krause PJ and Persing DH  2000.  Babesiosis. Clin. Microbiol.Rev. 3:451-469. http://daff.qld.gov.au

Jonssonm NN, Bock RE and Jorgensen WK 2008. Productivity and health effects of anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses, and the effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet. Parasitol. 3 (22):1-9.

Lubis FY 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27 - 29.

Mehlhorn H and E Schein 1984. The Piroplasma: Live Cycle and Sexual Stage In J.R. Breker and R.Muller. ed. Advance in Parasitology. 23 : 37 – 103.

Nasution AYA 2007.  Parasit  darah  pada  ternak  sapi  dan  kambing  di  lima kecamatan kota Jambi. Fakultas Kedokteran Herwan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Payne RC, Sukanto IP, Husein A, Khadjatun and Toewes DW 1989. Determination of the Causes of Death and ill Health, with Particular Reference of Trypanosomiasis, Babesiosis and Anaplasmosis, in Cattle and Buffaloes Imported into Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 3, 1990 (Edisi Khusus):99 - 107.

Sevinc F, Sevinc M, Bindane FM and Altinoz  F  2001. Prevalence of  Babesia bigemina in Cattle. Revue Med. Vet. 152, 5;395-398.

Schuster FL  2002. Cultivation of Babesia  and Babesia-Like Blood Parasites: Agents of an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol Rev 15(3): 365-
373.

Siswansyah DD 1990. Prevalensi Theileriasis, Babesiosis dan Anaplasma pada Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selatan. Penyakit Veteriner  22 (39):50 - 54.

Suarez CE and Noh S 2011. Emerging perspectives in the research of bovine babesiosis and anaplasmosis. Vet. Parasitol. 180 (1-2_: 109-125.

Sukanto IP, Payne RC and Partoutomo S 1993. Bovine Babesiosis in Indonesia. Prev Vet Med. 16:151-156.

Yatim F dan Herman R 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Maj. Ked. Nus. 39 (2): 115-118.

******

Jakarta, 8 Oktober 2015.

Oleh Drh Giyono Trisnadi, disadur dari: Manual Penyakit Hewan Mamalia. Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.

PENTING UNTUK PETERNAKAN: