Babesiosis
adalah penyakit yang disebabkan parasit
darah Babesia sp yang menginfeksi sel
darah pada hewan terutama sapi dan ditularkan oleh vektor sebagai hewan
perantara. Nama lain penyakit ini adalah Piroplasmosis, Mexican fever, Red
Water, Splenic Fever, Bloody Murrain Texas Fever, Cattle Tick Fever.
A. PENDAHULUAN
Babesiosis
yang disebabkan oleh Babesia sp ini telah tersebar luas di seluruh dunia dan
menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di
daerah tropis dan sub tropis. Morfologi Babesia sp sangat khas, yaitu berbentuk
seperti buah pear (the pear shaped form) yang berada didalam butir darah merah
(intraerythrocytic) inang yang terinfeski. Disamping itu, kasus Babesiosis juga
dilaporkan menyerang pada manusia sehingga dimasukkan ke dalam penyakit
zoonosis.
Mortalitas
akibat Babesiosis berkisar antara 5 – 10% meskipun ternak telah diobati. Adapun
jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, mortalitas dapat mencapai 50 - 100%.
Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah
satu penyakit protozoa darah sebagai penyebab terjadinya kematian pada sapi dan
kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan diyakini
tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini menimbulkan kerugian
ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan,
penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan serta
vaksin.
B. ETIOLOGI
Babesiosis
disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama Babesia
sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme
didalam sel darah merah pada tahun 1888.
Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protoza intra
eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus
Babesiosis pada manusi pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah
Yugoslavia pada tahun 1957. Berdasarkan taksonominya, Babesia sp tergolong
dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili
Babesiidae dan Genus Babesia.
Sejauh
ini dilaporkan terdapat lebih dari 100 spesies Babesia di dunia, tetapi yang
mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan hewan dan manusia antara lain
B.microti di Amerika Serikat, B.divergens dan B.bovis di Eropa. Adapun di
Indonesia, Babesia sp yang banyak merugikan peternak adalah B.bigemina,
B.divergens dan B.bovis.
Beberapa
spesies Babesia, hanya ditemukan pada hewan-hewan yang lain, seperti B.mayor
menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan B.canis pada anjing, B.felis pada tikus,
dan B.microti pada binatang mengerat (rodent), juga binatang menyusui kecil dan
jenis kera, sedangkan B.divergen pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki
belakang dan ekornya panjang).
Laporan
terbaru menyebutkan bahwa spesies yang dulu tidak disebut sebagai spesies
Babesia, yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita dengan
manifestasi klinis babesiosis di Washington. Adapun spesies Babesia baru yang
diisolasi dari negara bagian Missouri adalah Babesia (MO1).
Di
Indonesia, umumnya kasus babesiosis disebabkan oleh B.bovis dan B.bigemina,
keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin-
signet yang bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5 - 2,4 µm yang
terletak di tengah-tengah eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform,
bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-pasangan dengan ukuran diameter 2 - 3 µm
dan panjang 4 - 5 µm.
Babesia bovis
Babesia bigemina
Gambar
1. Morfologi Babesia di dalam eritrosit sapi
(Sumber
: http://daff.qld.gov.au)
C.
EPIDEMIOLOGI
1. Siklus
Hidup
Lama
waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat
diperedaran darah sekitar 7 – 10 hari. Berdasarkan tahap reproduksinya,
perkembangan parasit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 1) Gamogoni
(formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak); 2) Sporogoni (reproduksi
aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang
vertebrata).
Sporozoit
yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan berpenetrasi ke dalam
eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang didalam butir darah
merah dan berubah menjadi bentuk tropozoit, yang kemudian berdiferensiasi
dan bertunas dua atau empat membentuk
merozoit. Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang 1-5 µm)
akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah yang baru.
Siklus ini terus berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan menyebabkan
induk semang mati.
Ketika
vector (caplak) menghisap darah inang yang mengandung parasit (bentukan
merozoit), maka sebagian merozoit akan mengalami kerusakan di dalam saluran
pencernaannya. Sebagian lain yang masih hidup akan berubah menjadi gametosit
yang matang (telah tumbuh sempurna), yang pada akhir tumbuh menjadi gametosit
jantan dan betina. Kedua gametosit tersebut
akan menggabung (fusi) dan membentuk zigot (ookinet) yang motil.
Gametosit
yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi) akan berbentuk oval atau
bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. Gametosit ini merupakan
prekursor pada saat perkembangan seksual parasit yang akan memperbanyak diri di
dalam caplak (tick). Zigot akan menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolimfe
dan berpentrasi ke berbagai organ caplak, bahkan hingga ke dalam telur caplak
yang akan diturunkan ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission.
Ookinet yang lain akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit akan masuk
melalui dalam kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah ini
selanjutnya akan memindahkan penyakit ke inang melalui gigitannya.
Gambar
2. Siklus hidup Babesia sp. Perkembangan parasite pada inang ditunjukkan pada
no 1 – 6, sedangkan perkembangannya pada vektor ditunjukkan pada no 7 – 17. (1.
Sporozoit yang dilepas dari kelenjar ludah caplak, 2. skizon
(koch’s blue bodies = KB) di dalam limfosit (N = Nukleus), 3. merozoit, 4 – 5.
membelah diri dalam eritrosit, 7a - b. Piroplasma dalam usus caplak, 8 - 10. pembentukan mikrogamon (9)
dan mikrogamet (10), 11. makrogamet, 12. zigot, 13-15. Pembentukan kinet, 15b. Pada
Theileria parva pembelahan inti terjadi sebelum kinet meninggalkan sel usus
caplak, 16. kinet memasuki sel kelenjar ludah, 17. pembesaran sel kelenjar
ludah dan intinya, dan intinya dan di dalamnya ditemukan ribuan sporozoit. (Sumber:
Mehlhorn and Schein, 1984).
2. Sifat
alami agen
Babesia
sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi respon imun inang sehingga
proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya infestasi berulang, namun hanya
mampu menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas inang ketika
terjadi re-infestasi. Disamping itu, respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia
sp mempunyai karakteristik reaksi silang (cross immunity). Imunitas yang
disebabkan oleh B.bigemina mampu melindungi inang yang terinfestasi oleh
B.bovis (cross protected).
3. Spesies
rentan
Hampir
seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp. Umumnya sapi dewasa lebih
rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi Bos taurus juga dilaporkan lebih
sensitif terhadap serangan Babesia sp dibandingkan Bos indicus atau
persilangannya. Kejadian kasus Babesiosis akibat infestasi B.bigemia di
Australia dilaporkan sepuluh kali lipat lebih banyak menyerang Bos taurus
dibandingkan dengan Bos indicus.
Kualitas
ketahanan tubuh (respon imun) terhadap caplak lebih besar pada jenis sapi
peranakan yang mempunyai darah /keturunan zebu yang lebih dominan. Apabila
sapi-sapi yang rentan tidak terlindungi dari infestasi caplak, maka derajat
kesakitan dan kematian yang tinggi akibat infestasi Babesia sp dapat terlihat
dalam waktu 3 minggu. Jikalaupun periode kritis ini dapat terlewati,
hewan-hewan tersebut cenderung mudah menderita anaplasmosis pada 2 – 12 minggu
pasca wabah babesiosis.
4. Pengaruh
Lingkungan
Kondisi
lingkungan yang sesuai untuk perkembangan vektor caplak berkorelasi positif
dengan semakin meningkatnya kasus Babesiosis di lapangan. Penyebaran Babesia
sp. sangat tergantung dari kondisi geografis dan cuaca disuatu wilayah.
Caplak
sebagai vector penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan yang hangat dan
lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah - daerah kering-dingin atau
kering-panas hingga pada ketinggian 2000 m.
5. Sifat
penyakit
Babesiosis
pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat juga bersifat akut bahkan
menyebabkan kematian pada ternak dengan tingkat parasitemia yang tinggi.
6. Cara
Penularan
Babesiosis
ditularkan melalui vector caplak. Caplak yang berinang satu menularkan secara
transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau tiga penularannya secara
“stage to stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak pada saat menghisap
darah inang. Di dalam tubuh caplak, Babesia sp akan memperbanyak diri di dalam
sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh dan
melakukan invasi ke indung telur. Babesia akan berada di dalam telur caplak
yang akan berkembang menjadi larva (transovarial transmission).
Vektor
lain yang mampu menularkan Babesia sp pada ternak adalah Boophilus microplus. Caplak
ini dilaporkan menjadi vektor yang penting di Indonesia karena terbukti mampu
mentransmisikan B.bovis, B.bigemina termasuk Anaplasma marginale. Adapun
Boophilus annulatus dikenal sebagai vektor B.bigemina di wilayah Amerika Utara
serta Boophilus calcaratus dan Rhipicephalus bursa menjadi vektor B.bovis di
wilayah Eropa, Rusia dan Afrika.
Caplak
Haemaphysalis, Dermacentor dan Rhipichephalus diketahui menjadi vektor B.motasi
yang menyerang domba dan kambing di Eropa, Timur Tengah, Rusia, Indocina dan
Afrika. Babesia sp juga dapat ditularkan secara alamiah melalui gigitan caplak
berkulit keras, yaitu Ixodes persucaltus dan I.ricinus. Manusia dapat tertular
protozoa ini melalui transfusi darah atau melalui caplak ketika berjalan
diantara semak. Selain itu penularan juga bisa secara mekanik melalui alat-alat
kedokteran yang tidak steril pada saat pengebirian, vaksinasi, pemotongan
tanduk dsb.
Gambar 3. Tahapan
perkembangan Babesia bovis
di dalam eritrosit
darah sapi (kultur in vitro). A) Sepasang merozoit B.bovis dewasa yang
berada didalam sel darah merah. B) Merozoit yang telah bebas dan diantaranya
telah menempel ke permukaan sel darah merah sapi, C) Tropozoit B. bovis didalam
sel darah merah. D) Kinet B. bovis yang diisolasi dari Riphicephalus microplus (Sumber:
Suarez dan Noh, 2011).
7. Distribusi
Penyakit
a. Sejarah
Kejadian Babesiosis di Indonesia
Kasus
babesiosis pertama kali di Indonesia dilaporkan pada kerbau di Tegal (Jawa
Tengah) bertepatan dengan terjadinya wabah Texas fever pada tahun 1896 dan
menyusul di daerah Sumatra pada tahun 1906. Kasus babesiosis terus berkembang
dan menjadi wabah pada tahun
1918,
yang menyerang ternak-ternak diimport dari Australia, sehingga daerah tertular
dan tersangka tertular, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau,
Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi
tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali dan Jawa.
Selanjutnya
kasus wabah babesiosis semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 1982,
dilaporkan sebanyak 710 kasus dan meningkat tajam pada tahun 1983 menjadi 3.563
kasus, sedangkan pada tahun 1984 meningkat hingga 5.579 kasus.
b.
Distribusi geografis
Penyakit
ini telah terdistribusi luas diseluruh Indonesia.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
Manifestasi
klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah demam, hewan kekurangan
darah dan mengalami anemia. Penyakit ini sangat patogen pada sapi dewasa,
tetapi anak sapi kurang dari satu tahun relatif lebih tahan.
Masa
inkubasi babesiosis antara 2 – 3 minggu pada infeksi alam, tetapi dapat
berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium, yaitu 4 - 5 hari
(B.bigemina) dan 10 - 14 hari (B.bovis). Awalnya sapi akan mengalami
peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan diikuti dengan anemia
hebat, selaput lendir menjadi kuning dan bisa terjadi haemoglobinuria (kencing
berwarna merah darah = red water).
Gejala
lain yang nampak pada sapi adalah bulu kusam, lesu, nafsu makan menurun,
ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis, iketrik, mungkin
terjadi gejala syaraf, seperti berputar putar dan konvulsi.
Secara
garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) yang mengalami
babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu:
a. Susceptible,
yaitu hewan yang menunjukkan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk
mencegah kematian (hewan rentan).
b. Intermediate,
yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan packed cell volume
(PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh. Pada kelompok
hewan ini, tidak memerlukan pengobatan dengan segera karena dapat seembuh
dengan sendirinya.
c. Resistant,
yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi ditemukan B.bovis dalam
preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5% dan hewan tidak mengalami
peningkatan suhu tubuh yang nyata.
2. Patogenesis
Umumnya
masa inkubasi pada infeksi yang disebabkan oleh B.bovis lebih lama dibandingkan
dengan B.bigemina. Vektor yang menggigit inang akan menularkan parasit ini
kedalam sirkluasi darah inang. Saat memasuki fase eksoeritrositik, inang tidak
menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit akan terus berkembang biak secara
aseksual didalam butir darah merah hingga menjadi 2 - 4 tunas. Jika
perkembangannya telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan butir darah
merah dan menginfeksi butir darah merah yang baru, kemudian memulai siklus
hidup yang baru. Kerusakan eritrosit ini akan menyebabkan gejala seperti
hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang
berlangsung menahun, parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan
sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi.
3. Patologi
Hewan
yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami pembesaran limpa dan
pulpanya berwarna merah kehitaman, serta konsistensinya lembek, sedangkan pada
kasus kronis berwarna kekuningan dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles).
Organ hati mengalami pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu
berisi cairan kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik
merah didaerah endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat
bercampur darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang
membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya yang juga
mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan. Mukosa usus
menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi gastroenteritis.
4. Diagnosa
Diagnosa
penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a. Pemeriksaan
mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi. Ulas
darah dapat difiksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan pewarnaan
Giemsa selama 45 menit. Setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam
suhu ruang. Pemeriksaan parasit ini menggunakan mikrsoskop cahaya dengan
pembesaran 1000 X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring
mirip dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada
Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.
b. Metode
lain adalah dengan cara Indirect Immunoflourescent Antibody Assay. Metode ini
lebih banyak digunakan untuk manusia.
c. Diagnosa
juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains Reaction (PCR), tetapi
tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.
d. Enzim
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. bovis menggunakan
antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum memberikan
hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang
sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. divergens belum divalidasi.
5. Diagnosa
Banding
Trypanosomiasis;
Anaplasmosis; Theileriasis; Bacillary Haemoglobinuria; Leptospirosis;
Eperythrozoonosis; Rapeseed Poisoning dan Chronic Copper Poisoning.
6. Pengambilan
dan Pengiriman spesimen
Beberapa
caplak dan pembuatan preparat ulas darah tipis yang dibuat dari darah telinga
atau ekor dikoleksi pada hewan yang menunjukkan gejala demam atau pada fase
akut. Preparat ulas darah difiksasi dalam ethanol absolut selama 1 menit dan
dilakukan pewarnaan menggunakan 10 % Giemsa selama 20 - 30 menit. Preparat ulas
darah yang belum diwarnai, dianjurkan untuk tidak menyimpannya didekat larutan
formalin karena akan mempengaruhi hasil pewarnaan.
Jika
pembuatan slide tidak memungkinkan, maka dilakukan koleksi darah pada tabung
yang mengandung antilkoagulan seperti EDTA. Heparin tidak disarankan untuk
digunakan karena akan berpengaruh terhadap hasil pewarnaan. Sampel darah harus
disimpan dalam keadaan dingin (4 – 5 ºC) sampai dilakukan pengiriman ke
laboratorium. Pembuatan slide harus telah dilakukan dalam waktu 2 - 3 jam setelah koleksi darah.
Umumnya B.bovis lebih banyak ditemukan pada darah kapiler, sedangkan B.bigemina
dan B.divergens secara tidak teratur terdistribusi pada darah vaskularis.
Sampel
dari hewan yang telah mati, dapat dibuat preparat ulas darah tipis termasuk
melakukan smear pada organ-organnya, seperti kortek cerebral, ginjal, hati,
limpa dan sumsum tulang belakang.
E.
PENGENDALIAN
1. Vaksinasi
dan Pengobatan
Hewan
yang menderita babesiosis dapat diobati degan diminazene diaceturate,
imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung pada deteksi
dini penyakit ini. Vaksinasi menggunakan B.bovis dan B.bigemina yang telah
dilemahkan untuk mengurangi virulensinya, dilaporkan cukup efektif dan banyak
dilakukan dibeberapa negara, seperti Argentina, Brazil, Uruguay dan Afrika.
Sapi-sapi yang diimport sebaiknya divaksinasi di negara asal beberapa bulan
sebelum dikapalkan.
Vaksin
tidak disarankan untuk diberikan pada hewan yang bunting dan sedang
berproduksi, sedangkan vaksinasi pada anak sapi tidak menimbulkan efek samping
yang berbahaya. Vaksinasi dari agen yang dimatikan (killed vaksin) dibuat dari
darah anak sapi yang diinfestasi dengan B. divergens. Namun demikian informasi
vaksin jenis ini masih terbatas.
Dosis
tunggal vaksinasi pada sapi yang berumur 6 – 9 bulan mampu melindungi ternak
dalam jangka waktu yang panjang. Dewasa ini telah diproduksi vaksin trivalent
(mengandung B.bovis, B.bigemina dan A.Marginale) atau vaksin bivalent
(mengandung B.bovis dan A.Marginale). Vaksin trivalent lebih direkomendasikan
untuk sapi Bos taurus, sapi pemacek/ bibit dan sapi yang berasal dari daerah
bebas caplak. Adapun vaksin bivalent direkomendasikan untuk Bos indicus dan
sapi persilangan yang berada di daerah terinfestasi caplak.
2. Pelaporan,
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Langkah
pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan ternak yang
diinfestasi oleh tungau karena berpotensi untuk menularkan babesiosis, misalnya
dengan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant. Beberapa jam setelah
digigit tungau yang terinfestasi Babesia sp, hewan akan terinfeksi.
b. Pengendalian
dan Pemberantasan
Pengendalian
Babesiosis harus dilakukan dengan cara mengkombinasi antara kontrol terhadap
penyakitnya dan vektor caplak. Sapi yang akan diimport berasal dari daerah
endemik babesios sebaiknya berumur kurang dari 12 bulan.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Benavides
MV and Sacco MS 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis
infection. Vet. Parasit. 150:54-64.
Goes
TS, Goes VS, Ribeiro MFB. and Gontijo CM 2007. Bovine Babesiosis:
Antyerytrhrocyte Antibodies Purification from The Sera of Naturally Infected
Cattles. Vet. Immunol. Immunopath.116: 215-218.
Hilpertshauser H, Deplzes P, Schnyder M, Gern L and Mathis A
2006. Babesia spp. Identified by PCR in
Ticks Collected from Domestic and Wild Ruminants in Southern Switzerland. App. and Envirom. Microbiol. 72:6503-6507.
Homer
MJ, Delfin IA, Telford SR, Krause PJ and Persing DH 2000.
Babesiosis. Clin. Microbiol.Rev. 3:451-469. http://daff.qld.gov.au
Jonssonm
NN, Bock RE and Jorgensen WK 2008. Productivity and health effects of
anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses, and the
effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet. Parasitol. 3
(22):1-9.
Lubis
FY 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27 - 29.
Mehlhorn
H and E Schein 1984. The Piroplasma: Live Cycle and Sexual Stage In J.R. Breker
and R.Muller. ed. Advance in Parasitology. 23 : 37 – 103.
Nasution
AYA 2007. Parasit darah
pada ternak sapi
dan kambing di
lima kecamatan kota Jambi. Fakultas Kedokteran Herwan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Payne
RC, Sukanto IP, Husein A, Khadjatun and Toewes DW 1989. Determination of the
Causes of Death and ill Health, with Particular Reference of Trypanosomiasis,
Babesiosis and Anaplasmosis, in Cattle and Buffaloes Imported into Indonesia.
Maj. Parasitol. Ind. 3, 1990 (Edisi Khusus):99 - 107.
Sevinc
F, Sevinc M, Bindane FM and Altinoz
F 2001. Prevalence of Babesia bigemina in Cattle. Revue Med. Vet.
152, 5;395-398.
Schuster
FL 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites: Agents of
an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol Rev 15(3): 365-
373.
Siswansyah
DD 1990. Prevalensi Theileriasis, Babesiosis dan Anaplasma pada Sapi dan Kerbau
di Kalimantan Selatan. Penyakit Veteriner
22 (39):50 - 54.
Suarez
CE and Noh S 2011. Emerging perspectives in the research of bovine babesiosis
and anaplasmosis. Vet. Parasitol. 180 (1-2_: 109-125.
Sukanto
IP, Payne RC and Partoutomo S 1993. Bovine Babesiosis in Indonesia. Prev Vet
Med. 16:151-156.
Yatim
F dan Herman R 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Maj. Ked. Nus. 39 (2): 115-118.
******
Jakarta, 8 Oktober 2015.