PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR

Penyakit BVD (Bovine Viral Diarrhea) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditandai adanya gejala diare dan gejala spesifik lainnya. Penyakit ini terbukti sangat merugikan peternak. Berikut ini adalah makalah mengenai BVD yang ditulis oleh Siswa Calon Paramedik Veteriner pada Diklat Dasar Karantina, Badan Karantinas Pertanian.


******


PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR

Oleh:
Abdul Rahman Masteng, Arum Tri Rahayu, Fendi Raditya Eko P, Hadi Prayitno, Lalu Kertaman, Rahmawati, Siswa Diklat Pelatihan Dasar Calon Paramedik Veteriner, Badan Karantina Pertanian, di Balai Uji Terap Teknik dan Metote Karantina Pertanian


Abstrak

Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang serius karena mengakibatkan kerugian ekonomi secara signifikan. Penyakit yang bersifat kontagius tersebut menginfeksi sapi dan ruminansia lainnya di seluruh dunia. Sapi pada semua umur dan jenis kelamin peka terhadap BVD dengan gejala klinis yang bervariasi dari subklinis sampai akut mematikan. Infeksi Bovine viral diarrhea virus non-sitopatik (BVDV NCP) menjadi fokus perhatian dalam pemberantasan BVDV. Infeksi BVDV NCP lebih dominan ditemukan di alam dan lebih sering menimbulkan wabah jika dibandingkan dengan bovine viral diarrhea virus sitopatik (BVDV CP). Infeksi BVDV menginduksi imunosupresif yang menyebabkan berbagai infeksi sekunder.

Kata Kunci : Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor

******


PRAKATA

Studi prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa BVD tersebar luas di sebagian besar negara-negara pemeliharaan ternak. Ada perbedaan yang signifikan, namun, dalam prevalensi antara daerah, mungkinperbedaannya berada dalam struktur populasi sapi dan praktek manajemen. Kontak langsung dengan hewan carrier mungkin metode yang paling penting dari penularan infeksi, Namun, studi lapangan telah menunjukkan bahwa beberapa penyebaran terbatas infeksi juga terjadi karena tidak adanya hewan PI. Hal ini mungkin karena kontak dengan hewan yang terinfeksi akut atau kontak dengan spesies lain yang terinfeksi BVD.

Berbagai cara penularan tidak langsung seperti jarum dan peralatan yang terkontaminasi telah terbukti secara eksperimental, dan transmisi tidak langsung dianggap memiliki beberapa kepentingan. Variasi besar, bagaimanapun, dapat terjadi antara wabah kawanan karena variasi virulensi dari strain BVD, dan variasi dalam pola transmisi. Transmisi luas infeksi dari hewan PI membuat metode pengawasan yang berbeda mungkin.

Variasi dalam epidemiologi antara wilayah geografis, evaluasi dari strategi pengendalian di daerah tertentu harus didasarkan pada studi epidemiologi di daerah yang sama. Bovine virus diare - penyakit mukosa telah pecah di Indonesia, awalnya pada tahun1988.Penularan terjadi melalui kontak langsung dan tidak langsung. Sapi impor yang diduga sebagai sumber infeksi.


Bekasi,    2015

Tim Penulis

******
BAB I
PENDAHULUAN

Ternak sapi, khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang.

Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi. Daging untuk pemenuhan gizi mulai meningkat dengan adanya istilah “balita” dan terangkatnya peranan gizi terhadap kualitas generasi penerus. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak-anak pra sekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi subnormal. Oleh karena itu, protein hewani sangat menunjang kecerdasan, disamping diperlukan untuk daya tahan tubuh.

Sehubungan dengan kebutuhan protein ini, LIPI pada tahun 1983 merekomendasikan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata memerlukan 50 g protein, 20% diantaranya berasal ternak dan ikan 6 g/hari. Sedangkan 80% atau 40 g lainnya berupa protein nabati. Namun, perlu diketahui bahwa konsumsi protein dari ternak ini masih sangat rendah. Jadi, untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani dari daging ini, peternak harus meningkatkan produksi daging atau pemerintah perlu melakukan impor sapi potong yang sekarang sudah dilakukan yaitu impor sapi potong dari Australia.

Terkait dengan lalu lintas hewan sapi potong yang cukup besar, maka perlu dilakukan suatu pengawasan yang ketat terhadap resiko penyakit. Hewan sapi sangat peka terhadap penyakit menular Bovine Viral Diarrhea (BVD). Virus BVD merupakan penyakit ternak yang sangat infeksius. Virus ini menyebabkan kerugian ekonomi akibat bermacam-macam gejala klinis yang ditimbulkan dan merupakan subjek penyakit yang masuk dalam program penanggulangan dan pemberantasan di seluruh dunia. Infeksi BVD memiliki patogenesis yang sangat komplek, dengan infeksi sebelum dan sesudah kebuntingan yang menyebabkan gejala klinis yang bervariasi. Infeksi virus selama kebuntingan menghasilkan infeksi pada fetus, yang dapat menyebabkan kematian embrio dini, efek teratogenik atau hewan yang memiliki infeksi persisten. Hewan dengan status infeksi persisten akan mengeluarkan virus BVD melalui eksresi dan sekresi selama hidupnya dan merupakan rute transmisi utama dalam penularan virus ini.


BAB II
MATERI DAN METODE

Tulisan tentang Penyakit BVD pada Sapi Potong Impor yang dapat menyebabkan terjadinya suatu dampak kerugian yang sangat besar bagi perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia ini di susun berdasarkan studi literatur yang terkait dan sesuai, baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan artikel yang berkaitan.


BAB III
PEMBAHASAN

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD)
BVD pada dasarnya merupakan penyakit sapi berumur 6 – 24 bulan, berlangsung secara akut atau sub akut, dan ditandai dengan berbagai manifestasi klinis, terutama gejala – gejala gangguan pencernaan dan pernafasan. Selain sapi, hewan – hewan berkuku genap kambing, domba, kerbau dan menjangan juga rentan terhadap virus BVD.

1. Etiologi
Virus BVD termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga Togaviridae dan merupakan RNA virus. Virus memiliki antigen yang mirip dengan virus hog cholera. Dalam batas – batas tertentu virus bersifat termostabil, peka terhadap asam, kloroform dan tripsin. Virus tidak menyebabkan hemaglutinasi. Semua galur virus BVD menunjukkan reaksi silang.
Infeksi virus pada sapi dapat menyebabkan diare (39%), radang paru – paru (35%), lesi pada mulut  (11%), lesi mata (10%), dan keluron (5%). Hasil survai menunjukkan bahwa virus BVD dapat diisoalasi dari 21% kejadian radang paru – paru pada sapi, sedangkan untuk virus lainnya, yang meliputi virus IBR, PI-3 dan Rota-virus, angka tersebut mencapai 16%.

2. Epidemiologi
Penyakit BVD terdapat di seluruh dunia. Di daerah – daerah tertular secara enzootik, 50 – 70% sapi – sapi mempunyai antibodi BVD. Pada dasarnya sapi – sapi berumur 6 – 24 bulan adalah yang paling peka, karena sampai umur 6 bulan masih dilindungi antibodi kolostral, sedang selewat umur 24 bulan telah terinfeksi secara alami (di daerah tertular). Pada sapi – sapi yang tidak kebal, tua atau muda penyakit dapat bersifat parah.

Selain hewan – hewan yang telah disebutkan, babi juga telah diketahui mengandung titer BVD tanpa adanya gejala sakit. Dalam vaksinasi, hewan – hewan yang akan divaksin akan menunjukkan respon serologis positif. Hewan – hewan yang tidak berhasil membentuk antibodi (sero negatif) akan bertindak sebagai pengidap, dan sewaktu – waktu akan menjadi akut. Hewan demikian harus dikeluarkan dari peternakan. Virus yang ditularkan secara kontak langsung atau tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi tinja, dan secara aerosol. Virus juga terdapat di dalam kemih dan mungkin bersifat infeksius. Sapi dapat tertular virus dari domba dan begitu pula sebaliknya. Sapi dapat menjadi sumber penularan bagi hewan - hewan liar yang berdiam disekitar peternakan (Subronto, 2003).

3. Patogenesis
Viremia berlangsung selama 15-60 hari setelah terjadinya infeksi. Perubahan yang menyolok berupa jejas terbatas pada saluran pencernaan, pernapasan, mata dan pada permukaan epitel organ lain maupun epidermis. Virus yang bersifat imunosupresif menyebabkan penurunan fungsi limfosit T. Supresi juga terjadi pada pusat hemopoetik hingga penderita mengalami lekopenia, terutama neotropenia. Pada hewan yang bunting virus dapat menembus barier plasenta, sehingga janin dapat menjadi seropositif pada waktu berumur 7 bulan di dalam kandungan. Jika infeksi terjadi pada awal kebuntingan, karena terjadinya toleransi imunologik, pedet yang dilahirkan akan menjadi seronegatif. Sebagian penderita juga akan mengalami keluron.

Sebagai akibat imunosupresi oleh virus hewan mudah menderita infeksi sekunder hingga terjadi pneomonia dan radang - radang infeksi yang lain. Tergantung dari virulensi virus, derajat kekebalan penderita dan bagian tubuh yang paing menderita, BVD dibedakan dalam bentuk - bentuk subklinis, akut, subakut, atau kronik dan neonatal (Subronto, 2003).

4. Gejala Klinis

a. Sub klinis
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat dan penyakit enzootic lainnya. Gejalanya meliputi demam yang tidak begitu tinggi, leukopenia, diare ringan, dan secara serologis ditemukan titer antibodi yang tidak tinggi.

b. Akut
Bentuk ini menunjukkan perubahan organik yang paling luas. Hewan yang berumur 6 - 24 bulan adalah yang paling banyak  menderita; pada sapi-sapi yang tua akan nampak menderita sekali. Bentuk ini mencapai 5 - 24% dari kejadian BVD. Penyakit berlangsung 1 - 30 hari dengan rata-rata 2 - 3 minggu. Secara umum suhu yang berfase 2 mencapai ± 42 0C pada puncak yang akhir. Hewan tampak lesu, dengan nafsu makan yang hilang serta gerakan rumen yang menurun dan cenderung terjadi penimbunan gas di dalamnya. Produksi air susu jadi menurun. Lebih lanjut lagi mengalami diare yang profus dengan tinja yang sangat cair, tercampur lendir dan titik-titik/bekuan darah. Hal terakhir biasanya disebabkan oleh trombositopenia.

Demam yang tinggi, anoreksia dan diare akan terjadi dehidrasi, yang akan mengakibatkan asidosis, hipokloremia, dan hipokalemia. Karena asidosis maka respirasi akan meningkat frekuensinya. Dari segi alat pernapasan akan terlihat ingus yang mukoid atau mukopurulen, adanya lesi dalam mukosa hidung, dan bau napas dan mulut yang tidak enak. Pada auskultasi suara bronchial akan menonjol, sementara suara vasikulernya menurun. Adanya infeksi sekunder menyebabkan gejala pneumonia jadi lebih jelas. Batuk berlangsung selama ± 10 hari.
Pada rongga mulut akan dapat dilihat erosi pada lidah, gusi dan mukosa pipi. Papila akan memendek oleh lesi tersebut, sapi yang sakit akan menunjukkan hipersalivasi. Lesi-lesi juga ditemukan pada lubang hidung. Dari matanya akan terlihat pembengkakan kornea yang ditandai dengan lakrimasi yang berlebihan.

Lesi kulit terlihat pada daerah interdigital atau sebelah atas dari mahkota (korona) keempat tracak. Lesi - lesi tersebut akan mengakibatkan kepincangan. Tidak jarang karena adanya imunosupresi, lesi kulit juga disertai infeksi oleh tungau Chorioptes sp.

Selain pneumonia, infeksi sekunder dapat pula menyebabkan mastitis dan metritis. Keluron terjadi pada 5% kasus BVD. Anak yang lahir kemudian menderita hipoplasia serebeli (hypoplasia cerebeli).

Hewan yang terinfeksi akan mengalami kematian dalam waktu 1 - 2 minggu. Apabila PMN meningkat jumlahnya biasanya akan terjadi kesembuhan. Dalam keadaan lain mungkin penyakit akan menjadi kronik.

c. Sub akut
Bentuk ini ditandai dengan diare yang intermiten, kekurusan, kembung rumen yang kronik, serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula. Anemia dan lukopenia akan ditemukan secara menyolok. Pertumbuhan badan menjadi terlambat.

d. Bentuk Neonatal
Bentuk ini mengenai pedet - pedet dengan umur kurang dari 1  bulan, yang ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi, diare, serta gangguan pernapasan. Pedet yang menderita kebanyakan  berasal dari induk dengan kekebalan yang rendah, atau berasal dari induk yang sakit. Infeksi atas pedet umumnya terjadi setelah kelahiran.Pada infeksi prenatal, terjadi sindrom pedet lemah, yang selain kelemahan umum pedet yang baru lahir terus mengalami diare.

5. Pemeriksaan Patologi Klinis
Oleh diare akan terjadi asidosis, hipokloremia, dan hipokalemia. Karena supresi atas sumsum tulang, PMN yang terbentuk akan merosot jumlahnya. Begitu juga dengan limfosit, hingga terjadi limfopenia.

Adanya netropenia pada hewan yang terinfeksi dengan jumlah kurang dari 1000 sel/ml, harus dicurigai mengalami BVD. Apabila kurang dari 600 sel/ml, hal tersebut mempunyai arti diagnostik. BVD perlu dibedakan dari salmonelosis yang selain adanya netrofil muda, PMN nampak mengalami keracunan. Pada BVD netrofil tidak ditemukan. Bila netrofil tidak dapat dihitung, BVD dapat disangka adanya dengan melihat jumlah sel darah putih yang berkisar 2000 - 3000 sel/ml darah.

Pada yang berlangsung kronik akhirnya terjadi sitopenia dan mungkin juga disertai trombositopenia (Subronto,2003).

6. Pemeriksaan Patologi Anatomis
Dalam seksi ditemukan lesi yang menyangkut berbagai alat tubuh. Erosi yang bersifat linier atau ulserasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari mulut, kerongkongan terutama pada sepertiga bagian bawah, dan abomasum. Peyer’s pathes tampak mengalami nekrose. Mukosa batang tenggorok bersifat kongestif dan kadang-kadang dibarengi dengan pendarahan.

Permukaan serosa menunjukkan ekinosae dan pada pencernaan mungkin dapat dilihat adanya perdarahan, hingga tinja juga mengandung bintik - bintik darah.

Secara mikroskopik dijumpai adanya nekrose pada berbagai jaringan limfoit, kelenjar limfe, limpa dan lempengan peyer. Jaringan - jaringan tersebut mengalami hipoplase.


7. Diagnosa
Penetuan diagnosa didasarkan atas gejala klinis, perubahan dalam seksi dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan titer antibodi dilakukan dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3 - 4 minggu. Kenaikan empat kali atau lebih atas titer dipakai sebagai patokan penentuan diagnosa. Cara lain dilakukan dengan inokulasi virus pada biakan sel atau dengan uji Flouresen antibodi.

Hasil pemeriksaan darah juga sangat penting diperhatikan dalam penentuan diagnosa. Rendahnya jumlah sel darah putih dan adanya demam pada hewan yang terinfeksi di daerah wabah harus dicurigai terhadap BVD.

Diagnosa banding yang perlu diperhatikan meliputi ingusan, IBR, Stomatitis vesikuler, PMK, Salmonelosis, dan Paratuberkulosis.

8. Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan terhadap hewan yang terinfeksi berupa pengobatan suportif, terutama cairan elektrolit. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas, untuk infeksi sekunder dan aspirin sebagai anaglesika dan antipiretika perlu dianjurkan. Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi. Sampai sekarang yang ada baru vaksin MLV. Vaksinasi inaktif masih dalam taraf penelitian.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang tersebar dan menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi di dunia khususnya di  Indonesia. Penyakit ini dapat ditularkan dan disebarkan melalui media atau agen yang banyak dilalulintaskan, baik lokal maupun internasional. Untuk itu, pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk meminimalkan dan menjauhkan risiko penularan kepada hewan ternak lain dan juga dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap impor sapi potong.


DAFTAR PUSTAKA

Eko Susilorini, Tri, Manik Eirry Sawitri dan Muharlien.2008. Budidaya 22 Ternak Potensial.Jakarta: Penebar Swadaya.

S. Sudarmono, A dan Y. Bambang Sugeng.1992. Sapi potong + pemeliharaan, perbaikan produksi, prospek bisnis, analisis penggemukan.Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Subronto.2003.Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Edisi kedua.Yogyakarta : Gama Press.

Journal ipb, 2015. http://journal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/4810

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: