Penyakit Sapi Gila atau BSE terbukti telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada
peternakan sapi di Inggris pada beberapa tahun yang lalu. Di Indonesia saat ini
masih terbebas dari Penyakit ini, oleh karena itu upaya pencegahan harus
dilakukan secara konsisten, berikut adalah makalah mengenai pencegahan penyakit
BSE.
******
PENCEGAHAN MASUKNYA PENYAKIT BOVINE
SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY (BSE) KE INDONESIA MELALUI PENGAWASAN IMPORTASI MEAT
AND BONE MEAL (MBM)
Oleh:
Ani Yonita Pay, Baban Setiawan, Muh.
Arif, Trimo Bekti, Wahyuddin
Pelatihan Dasar Perkarantinaan Calon
Paramedik Veteriner, Badan kArantina Pertanian.
Di Balai Uji Terap Teknik dan Metode
Karantina Pertanian, Badan Karantina Pertanian
Jl. Raya Kampung Utan – Setu, Desa Mekar
Wangi Kecamatan Cikarang Barat Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat
Abstrak
Penyakit bovine spongiforn encelopathy (BSE)
merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh prion, yang sangat berbahaya
karena dapat menimbulkan kerugian sosi-ekonomi yang sangat besar. Penyakit ini pertama kali didiagnosa di
Inggris pada tahun 1986, selanjutnya ditemukan di Irlandia Utara, Republik Irlandia,
Oman, Swiss, Prancis dan negara eropa lainnya.
Bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau mad cow adalah penyakit pada
sapi dewasa yang menyerang susunan saraf pusat dengan ditandai adanya
degenerasi spongiosa pada sel saraf yang berdampak fatal. Meat and bone meal (MBM) merupakan sisa
protein yang didapat setelah penyerapan lemak dalam proses pembentukan yang
normal. Sapi dapat tertular BSE melalui pakan yang terbuat dari bahan MBM yang
terinfeksi BSE. Manusia dapat tertular
melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi BSE. Indonesia merupakan negara
bebas BSE. Pencegahan masuknya penyakit
BSE ke Indonesia dilakukan dengan larangan pemasukan MBM dan dari negara yang
tertular BSE.
Kata kunci : Sapi, Mencegah, BSE, MBM
******
KATA PENGANTAR
Setiap tahun negara Indonesia mengimpor meat and
bone meal (MBM) dari berbagai negara seperti Australia, Selandia Baru, Kanada
dan Amerika Serikat. Meat and bone meal
merupakan bahan pakan yang terbuat dari tepung tulang, daging dan jeroan yang
diolah kembali mejadi bahan pakan ternak ayam dan hewan piaraan.
Bovine Spongiform Encephaloathy (BSE) merupakan penyakit zoonosis berbahaya, karena
dapat menimbulkan kerugian sosio-ekonomi yang sangat besar, serta dapat
mengancam kesehatan hewan dan manusia.
Penularan penyakit BSE pada hewan melalui pakan yang terbuat dari MBM
yang terinfeksi BSE. Manusia dapat
tertular penyakit ini melalui konsumsi daging yang terinfeksi BSE.
Penyakit BSE belum ada di Indonesia sehingga perlu
pengawasan yang ketat terhadap kegiatan importasi MBM untuk mencegah masuknya
penyakit tersebut ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat meningkatkan pengetahuan
dan kewaspadaan instansi dan petugas lingkup Badan Karantina Pertanian terutama
UPT-UPT yang menjadi tempat pemasukan MBM dari luar negeri.
Tim Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini sehingga kritik dan saran penulis harapkan untuk
penyempurnaan tulisan selanjutnya. Tim
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Bekasi, 2015
Tim penulis
******
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan hal yang
sangat penting dicapai. Perubahan
perekonomian yang lebih baik menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi
suatu negara. Keberhasilan tersebut
salah satunya dapat dicapai dengan melakukan kerjasama internasional di segala
bidang, termasuk perdagangan internasional.
Indonesia merupakan salah satu negara anggota world
trade organization (WTO), yaitu organisasi perdagangan internasional untuk
membangun kerjasama perdagangan antar negara, baik kerjasama bilateral maupun
multilateral. Kerjasama tersebut membuka peluang impor dan ekspor terhadap
berbagai produk termasuk produk pertanian seperti daging, susu, telur, kulit
dan bahan pakan ternak yang dapat membawa hama dan penyakit hewan karantina
(HPHK).
Meat and bone meal merupakan produk berprotein
tinggi yang berasal dari tulang, daging dan jeroan yang diolah kembali sebagai
bahan formulasi pakan ternak. MBM dapat menjadi media pembawa penyakit BSE atau
lebih dikenal dengan nama penyakit sapi gila.
Tingginya kebutuhan dalam negeri mengakibatkan
terjadinya peningkatan impor MBM dari luar negeri seperti Selandia Baru,
Australia, Kanada dan Amerika Serikat.
Kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko masuk dan tersebarnya penyakit
BSE ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga perlu pengawasan ketat terhadap
pemasukan MBM dari negara-negara yang belum bebas BSE.
Bovine spongiform encelopathy merupakan penyakit
zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Di Indonesia, penyakit ini termasuk ke dalam HPHK golongan I, yaitu
penyakit yang belum ada di Indonesia, penularannya sangat cepat dan ganas serta
belum diketahui cara penanggulangannya.
Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui etiologi, gejala, pengobatan dan
kejadian penyakit BSE.
2. Mengetahui cara penyebaran dan penularan
penyakit BSE melalui MBM.
3. Mengetahui cara mencegah masuknya penyakit BSE
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
BAB II
MATERI DAN METODE
Tulisan mencegah masuknya penyakit BSE ke Indonesia
melalui pengawasan importasi MBM ini
disusun berdasarkan studi literatur yang terkait, melalui tulisan ilmiah berupa
jurnal, artikel dan peraturan peundang-undangan terkait.
BAB III
PEMBAHASAN
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE)
Bovine spongioform encephalopathy (BSE) adalah
penyakit yang bersifat progresif menyerang system saraf pusat (central nervous
system) pada sapi dewasa. Penyakit ini
juga dikenal sebagai penyakit sapi gila atau mad cow yang pada umumnya
menyerang pada sapi dewasa berumur 2 – 8 tahun (Yulvian S. dan Indraningsih
2013).
Bovine spongiform encephalopathy merupakan penyakit
zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Penularan terhadap
manusia dapat terjadi melalui konsumsi pangan asal ternak yang terinfeksi. Penyakit ini pertama kali didiagnosa di
Inggris pada tahun 1986, kemudian di
Irlandia Utara, Republik Irlandia, Oman, Swiss, Prancis dan eropa lainnya
(Frank et al. 1995).
Bovine spongiform encephalopathy adalah penyakit
pada sapi dewasa yang menyerang susunan saraf pusat ditandai dengan adanya
degenerasi spongiosa pada sel saraf yang berdampak fatal (fatal neurological
disease). Penyakit BSE termasuk dalam
kelompok penyakit transmissible spongiform encephalopathies (TSE). Hewan yang peka terhadap BSE adalah
sapi. Sejauh ini diketahui bahwa tidak
ada perbedaan kepekaan antara ras atau jenis sapi terhadap BSE. Penularan BSE terutama melalui pakan yang
mengandung MBM, yang berasal dari hewan penderita (Frank et al. 1995).
Etiologi
Menurut Sitepoe (2000), BSE disebabkan oleh sejenis
protein yang disebut prion atau proteinaceous infectious (PrP). Prion sangat tahan terhadap bahan kimia yang
bersifat merusak (formalin, etanol, deterjen, H2O2) dan berbagai kondisi yang
ekstrim seperti suhu (sampai 680 oC) dan tekanan tinggi, pH rendah maupun
tinggi. Prion tidak hancur dengan
pembekuan, pengeringan, atau radiasi. pengion.
Pada setiap kasus BSE ditemukan akumulasi
glikoprotein yang berberat molekul 23 - 30 Kd yang selanjutnya disebut
PrP. Infektivitas agen penyebab BSE
berkaitan erat dengan PrP yang diduga merupakan bagian integral dari struktur
agen penyebab BSE. Agen penyebab BSE
hanya dapat dideteksi secara ekskulsif pada otak dan sumsum tulang belakang
sapi. Sapi yang terserang BSE rata-rata
berumur 5 tahun. Masa inkubasi BSE
antara 2 - 8 tahun, dengan rata-rata 5 tahun (Sitepoe 2000).
Gejala klinis
Penyakit sapi gila dikategorikan dalam daftar B,
yaitu kategori penyakit menular pada hewan yang memiliki kepentingan
sosio-ekonomi atau kesehatan masyarakat, terutama dalam perdagangan hewan
internasional. Penyakit ini menampakkan
gejala inkoordinasi, depresi, ketakutan, terlalu peka, tremor, agresif,
gelisah, dan gejala psikis lainnya.
Selain itu, produksi susunya juga menurun. Gejala itu muncul ketika ada kerusakan otak
yang mengakibatkan otak berbentuk spons.
Setelah itu, dalam waktu 2 minggu sampai 6 bulan sapi akan mati (Frank
et al. 1995).
Otak manusia dan hewan yang terinfeksi akan
mengalami degenerasi menjadi benda yang berlubang-lubang kecil seperti spons
sehingga disebut spongiform encephalopathy.
Kondisi tersebut sejalan dengan gangguan pergerakan anggota tubuh bahkan
dapat terjadi kelumpuhan. Semakin lama
akan semakin parah, pada akhirnya akan meyebabkan kematian pada hewan (Frank et
al. 1995).
Penularan
Penularan yang paling banyak terjadi melalui pakan
yang terbuat dari MBM atau bangkai hewan yang terinfeksi penyakit BSE. Penyebaran penyakit ini cukup dengan sedikit
saja bahan yang terkontaminasi. Sisa
sedikit saja dari tepung daging dan tulang yang tertinggal pada mesin pencampur
pakan ternak, atau kendaraan pengangkut.
Cara terbaik memutus penyebaran penyakit ini adalah melarang sepenuhnya
penjualan produk dari ternak yang terjangkit BSE (Sitepoe M. 2000).
Dilaporkan pula penularan terjadi melalui induk
sapi kepada anaknya, walaupun belum diketahui dengan pasti mekanisme
biologisnya. Belum dilaporkan penularan
melalui kontak langsung secara horisontal antara satu sapi dengan sapi
lainnya. Penyakit BSE diyakini dapat
menular kepada manusia melalui konsumsi produk sapi yang terinfeksi BSE
(Sitepoe M. 2000).
Pada manusia penyakit BSE menyerang jaringan saraf
otak dalam bentuk varian creutzfeldt jakob disease (CJD) dan bersifat
degeneratif. Manusia yang terkena
penyakit CJD akan kehilangan kekuatannya dan pertumbuhan badannya praktis
terhenti. Penyakit ini, cepat atau
lambat merambat ke otak kemudian membuat otak manusia tidak lagi utuh, berubah
seperti spons atau busa kursi yang berlubang (Hendriks W.H. 2002).
Penyebaran
Di New Guinea ditemukan populasi manusia yang
melakukan kegiatan terkait penyakit prion, yang
menular dari satu manusia ke manusia lain. Mereka melakuakan ritual tertentu, yaitu
memerintahkan anak-anak mengkonsumsi otak orang tua mereka yang telah
meninggal. Banyak diantara mereka dinyatakan
menderita penyakit kuru, yaitu penyakit yang mirip dengan penyakit CJD, atau
bentuk BSE pada manusia (Hendriks W.H. 2002).
Peralatan medis yang terkontaminasi dapat
menyebarkan CJD karena prion sulit untuk dibunuh. Selain itu organ tubuh seperti mata dan
jaringan otak dari mayat manusia telah dikaitkan dengan transmisi CJD. Sampai saat ini tidak ada metode untuk
menentukan apakah sapi memiliki infeksi prion sampai memasuki tahap akhir dari
penyakit, karena masa inkubasi yang cukup panjang. Sapi dapat terinfeksi BSE, namun setelah
dilakukan bedah bagkai tidak ditemukan spongiform. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit tersebut
kurang dianggap serius karena masa inkubasinya yang panjang, yaitu mencapai 30
tahun untuk CJD dan 6 – 8 tahun untuk BSE (Hendriks W.H. 2002).
Pengobatan
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit BSE. Untuk mengendalikan
perilaku agresif, dapat diberikan obat penenang atau anti psikosa. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari
pencangkokan jaringan manusia atau memakan daging hewan yang terinfeksi
(Sitepoe M. 2000).
Hasil studi kristalografi dengan menggunakan sinar
X ditemukan adanya dua struktur protein PrP yang berbeda. Pada protein PrP
normal semua struktur sekundernya adalah alpha-heliks, sedangkan pada PrP yang
menyebabkan penyakit, terdapat perubahan struktur pada daerah tertentu. Dari hasil studi ini b-heliks menjadi
adari-heliks kemudian menjadi beta-sheet, dan
inilah yang menyebabkan protein ini menjadi desease agent. Protein yang menyebabkan penyakit sapi gila
ini kemudian dinamai scrapie PrP. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, sekali scrapie PrP terbentuk ia akan menginduksi
perubahan struktur dari protein PrP normal untuk menjadi scrapie PrP (Hendriks
W. H. 2002).
Pengendalian
Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas
dari penyakit BSE, akan tetapi Indonesia pernah mengimpor produk MBM dan produk
ternak dari negara yang terinfeksi penyakit BSE. Disamping itu, petugas
kesehatan hewan di Indonesia belum berpengalaman dalam mendiagnosa penyakit
tersebut. Investistigasi yang mendalam tentang penyakit ini belum pernah
dilakukan di Indonesia. Oleh karena perlu mempertimbangkan pola-pola
pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak berjangkit di
Indonesia (Yulvian S. dan Indraningsih 2013).
Kejadian Penyakit
Pada tahun 1998, ditemukan bahwa agen penyakit
tidak hanya berada di otak, tetapi juga dalam darah. Penyakit ini sampai sekarang belum ada
vaksinnya, dan dilaporkan telah membunuh 92 orang, tetapi ada juga yang
melaporkan hingga 129 orang (Disnak
Propinsi Sumatera Selatan 2013).
Penularan BSE kepada manusia terjadi melalui
konsumsi daging sapi yang terinfeksi yang kemudian menyerang jaringan
saraf manusia dalam bentuk varian
CJD. Manusia yang tertular akan mengalami
penurunan fungsi otak yang menyebabkan demensia, dan yang paling parah manusia
yang terkena vCJD akan kehilangan kekuatannya serta pertumbuhan badannya
terhenti. Penyakit ini cepat atau lambat
akan merambat ke otak, menjadikan otak tidak utuh lagi dan berubah seperti
spons atau busa kursi (Disnak Propinsi Sumatera Selatan 2013).
Manusia yang terinfeksi penyakit ini akan
memperlihatkan gejala klinis awal berupa sakit kepala, ketidakseimbangan
refleks berjalan dan gangguan penglihatan (mata kabur). Gejala lainnya adalah terjadinya vertigosering (pusing berputar), yaitu
kondisi seseorang merasa pusing disertai berputar atau lingkungan terasa
berputar walaupun badan orang tersebut sedang tidak bergerak (Disnak Propinsi
Sumatera Selatan 2013).
Penyakit ini dapat juga menimbulkan gangguan mental
berupa hilang ingatan dan perubahan mood (dapat menjadi pendiam atau
pemarah). Gejala ini muncul berkisar dua
tahun sampai sepuluh tahun setelah seseorang mengkonsumsi daging terinfeksi
BSE. Dalam tahap lanjut, gejala tersebut berkembang menjadi tidak dapat
mendengar dan berbicara. Sampai saat
ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang mampu mencegah penyakit tersebut
(Disnak Propinsi Sumatera Selatan 2013).
Selain menular dari hewan ke manusia, BSE dapat
juga menular dari manusia ke manusia jika orang sehat mendapatkan transplantasi
organ dari orang yang terinfeksi penyakit BSE.
Sampai saat ini, di Indonesia belum ditemukan adanya kasus BSE baik pada
sapi maupun pada manusia. Namun
demikian, harus tetap diwaspadai karena ada kemungkinan akan masuk ke Indonesia
melalui MBM atau peredaran daging secara ilegal (Disnak Propinsi Sumatera
Selatan 2013).
Meat and Bone Meal
Menurut Fernando (1992), MBM merupakan sisa protein
yang diperoleh setelah penyerapan lemak dalam proses pembentukan yang
normal. MBM berwarna coklat muda
keemasan dan baunya seperti daging segar.
Kualitas dan komposisi bahan mentah yang digunakan akan memiliki efek
yang sama dengan kualitas produk yang sudah jadi. Bahan mentah MBM dapat berbeda-beda pada
setiap areal geografis yang berbeda. MBM dapat digunakan sebagai sumber protein
dalam pembuatan pakan ayam, ikan serta hewan piaraan. Kandungan nutrisi MBM dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi MBM (PT. Bioadi Sasana
2007)
Protein
|
52.0 %
|
Lemak
|
11.0 %
|
Serat Kasar
|
2.0 %
|
Kalsium
|
7.6 %
|
Fosfor
|
3.76 %
|
Kadar Air
|
10.0 %
|
Abu
|
34.0 %
|
Pepsin Digestibility (in vitro pepsin)
|
90.0 %
|
Meat and bone meal telah digunakan secara luas
sebagai sumber pakan yang mengandung protein dan mineral pada budidaya ternak.
Penyebaran penyakit TSE, seperti ovine scrapie dan BSE telah ada sejak
pemberian pakan terhadap hewan ruminansia dengan MBM yang mengandung agen
penyakit tersebut. Tahun 1994, Uni Eropa
melarang penggunaan MBM sebagai bahan pakan ternak ruminansia, dan pada tahun
2000 larangan penggunaan MBM sebagai bahan pakan untuk semua hewan (Brewer
1999).
Tindakan Pencegahan dan Pengawasan
Indonesia merupakan negara bebas penyakit BSE.
Tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit BSE ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia adalah dengan pengawasan dan penolakan importasi MBM
dari negara yang tidak bebas penyakit tersebut.
BAB IV
SIMPULAN
1. Etiologi, gejala kejadian penyakit BSE yang
terjadi di dunia telah jelas diketahui.
2. Penyebaran dan penularan penyakit BSE adalah melalui
MBM.
3. Pencegahan masuknya penyakit BSE ke Indonesia adalah
dengan cara menolak pemasukan MBM dari negara yang tidak bebas penyakit BSE.
DAFTAR PUSTAKA
Bioadi Sasana, PT. 2007. Kandungan Nutrisi Meat and
Bone Meal [Internet]. [diacu 2015 Oktober 13].
tersedia dari: http://www.bioadi.com/indonesia/product3.php 2007
Brewer M.S. 1999. Current Status of Bovine
Spongiform Encephalopathy – a review. J. Muscle Foods 10: 7–117.
[Disnak] Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Selatan
2013). Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) [Internet]. [diacu 2015 Oktober
13]. Tersedia dari: http://disnak.sumselprov.go.id/sapigila.html.
Fernando, T. 1992. Blood Meal, Meat and Bone meal,
and Tallow. In Inedible Meat By-Products, 81-112. Essex, U.K.: Elsevier Science
Publishers.
Frank, S., Hubner, G., Breier, G., Longaker, M.T.,
Greenhalgh, D.G., Werner, S. 1995. Regulation of Vascular Endothelial Growth
Factor Expression in Cultured Keratinocytes: Implication for Normal and
Impaired Wound Healing, The Journal of Biological Chemistry, 270:12607-13.
Hendriks W.H. 2002. Nutritional quality and
variation of meat and bone meal. Asian Austral.J. Anim. Sci. 15: 1507–1516.
Sitepoe, M. 2000.
Sapi Gila (Bovine Spongiform Encephalopathy = BSE) keterkaitanya dengan
berbagai aspek. Jakarta. Grasindo.
Yulvian S. dan Indraningsih 2013. Kajian
Encephalopathy pada Ruminansia untuk Mengantisipasi Penyakit Bovine Spongioform
Encephalopathy. Bogor. Balai Penelitian Veteriner.
******