SRATEGI PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT RABIES KE PAPUA DAN PAPUA BARAT

Papua adalah wilayah berstatus terbebas dari Penyakit Rabies (Anjing Gila) secara historis hal ini setidaknya menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 1096/Kpts/TN.120/10/1999. Penyakit Rabies telah lama dikenal di Indonesia.dan merupakan penyakit yang ditakuti sehingga perlu strategi untuk mencegah penularannya.


******


SRATEGI PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT RABIES KE PAPUA 
DAN PAPUA BARAT

Oleh:
Drh. Yuni Sulistyawati
Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari


Abstrak

Ancaman Penyakit Rabies menular masuk Papua sangat menghawatirkan karena banyaknya pelabuhan rakyat yang memungkinkan adanya pemasukan Hewan Penular Rabies (HPR) yang tidak terkontrol, dan Papua berdekatan dengan pulau pulau tertular Rabies. Mencegah masuknya rabies ke wilayah Papua dan Papua Barat diperlukan komitmen Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah baik dari segi peraturan perundang-undangan, tindakan pencegahan, surveilance serta dengan inovasi inovasi lain yang memungkinkan. Pengawasan di tempat pemasukan dan pengeluaran (Pelabuhan) perlu diintensifkan, koordinasi dengan Instansi lain dan sosialisasi sangat diperlukan.

Kata Kunci: Rabies, surveilance, pelabuhan.

******


BAB I
PENDAHULUAN

Mengacu pada UU No. 16 tahun 1992, Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis (UPT) dengan tugas pokok dan fungsinya melindungi Papua Barat dari terintroduksinya HPH/HPHK baik dari luar negeri maupun antar area yang memiliki potensi dapat mengancam kesehatan manusia, budidaya peternakan, pertanian atau komoditas agribisnis unggulan Papua Barat.

Hal ini dilakukan mengingat HPH/HPHK dapat menyebar dengan cepat dari satu daerah ke daerah lainnya, baik yang menyebar sendiri maupun terbawa media pembawa atau sarana transportasi. Terlebih mobilitas manusia dewasa ini makin meningkat serta hubungan perdagangan antar daerah dan antar negara makin terbuka. Dengan demikian daerah penyebaran, baik secara kualitas maupun kuantitas, perlu dipantau setiap saat.

Pulau Irian Jaya dalam hal ini Propinsi Papua dan Papua Barat merupakan suatu wilayah di Indonesia yang mempunyai status bebas Penyakit Rabies (Anjing Gila) secara historis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 1096/Kpts/TN.120/10/1999. Penyakit Rabies merupakan penyakit yang ditakuti dan telah lama dikenal di Indonesia.

Masuknya penyakit Rabies di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun menurut Akoso tahun 2007 Rabies diyakini telah dikenal di Indonesia sejak zaman Hindu sampai sekarang, bahkan pada pemerintahan Hindia Belanda untuk mengendalikan rabies telah menerbitkan peraturan perundangan khusus yang dikenal dengan Ordonansi Rabies 1862.

Dengan peraturan yang ada di masa pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan Pemerintahan Republik indonesia ternyata rabies belum dapat diberantas secara efektif dan tuntas. Bahkan sebaliknya penyakit rabies semakin sulit dikendalikan hal ini terbukti dengan meluasnya penyakit ini dari tahun ke tahun. Rabies semula ditemukan di Jawa Barat lebih dari satu abad yang lalu ternyata sampai dengan tahun 2005 telah menyebar baik ke wilayah barat maupun timur yang merambah ke sebagian besar propinsi di Indonesia.

Berbagai upaya untuk membendung penyebaran penyakit yang lebih luas, namun masih belum berhasil dengan baik. Kurangnya pemahaman masyarakat akan bahaya penyakit ini masih rendah sehingga lalu lintas media pembawa HPR antar daerah menjadi sulit diawasi.

Ancaman Penyakit Rabies menular masuk Papua sangat menghawatirkan karena banyaknya pelabuhan rakyat yang memungkinkan adanya pemasukan Hewan Penular Rabies (HPR) yang tidak terkontrol, dan Papua berdekatan dengan pulau pulau tertular Rabies. Mencegah masuknya rabies ke wilayah Papua dan Papua Barat diperlukan Strategi dan komitmen Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

******


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Rabies

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus termasuk keluarga Rhabdoviridae, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.



Gambar 1. Gambaran umum penyakit Rabies





Gambar 2. Penyakit Rabies menyerang susunan saraf pusat

Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.

Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila.
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).

Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.

Sepanjang tahun 2008-2010 telah terjadi kasus rabies di daerah daerah yang sebelumnya merupakan daerah bebas rabies seperti Pulau Bali, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, kabupaten Lebak (propinsi Banten) dan Kota Gunungsitoli di Pulau Nias.

Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).

A. Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama bebarapa tahun.





Gambar 3. Gambaran Mikroskopik Virus Rabies

B. Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat.

Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kirakira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari.

C. Gejala Klinis
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:

a. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.

b. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotopobia atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.

c. Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium:

a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.

c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.

d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

D. Type Rabies Pada Anjing
a. Rabies Ganas
Type Rabies ini ditandai dengan anjing tidak menuruti lagi perintah pemilik, keluarnya air liur berlebihan, hewan menjadi agresif, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha. Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

b. Rabies Tenang
Type ini ditandai dengan anjing bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan, Kematian terjadi dalam waktu singkat.

E. Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius.

Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.

Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.

Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.



Gambar 4. Cara penularan, hewan terinfeksi dan gejala penyakit rabies pada manusia

F. Diagnosa
Diagnosa lapangan akan memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, jika dilakukan dengan cara yang tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal seperti anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi, ada tidaknya provokasi pada waktu penggigitan, dan jumlah penderita gigitan. Kemudian dilakukan penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya)

Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies.

Adapun untuk diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas penemuan badan negri (negri body), penemuan antigen dan penemuan virus (isolasi) yang banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.
 



Gambar 5. Negri Bodi Intrasitoplasmik

Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak, hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan:
a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni pewarnaan cepat Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan histopatologik.

b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar presipitasi atau reaksi peningkatan komplemen dan FAT
Isolasi virus secara biologis pada mencit atau in vitro pada biakan jaringan diikuti identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT atau uji virus netralisasi.

G. Kejadian Rabies Di Lapangan
Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu:
a. Penggigitan karena provokasi
Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.

b. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tibatiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.

Pola Penyebaran
Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies.

Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit satu sama lain.

Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.

H. Pembagian Status Daerah Rabies
1. Daerah Bebas
Daerah dengan kriteria bahwa daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies dan daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris.

2. Daerah Tertular
Daerah dengan kriteria bahwa daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)

3. Daerah Tersangka
Daerah dengan kriteria  bahwa daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris dan daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.

I. Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies
Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera:
-  Mencuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10 – 15 menit  dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah dll)
-  Segera ke Puskesmas /Rabies Center /Rumah Sakit untuk mencari pertolongan selanjutnya.
- Anamnesa apakah didahului tindakan provokatif,  hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan pernah divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi dan kapan.
-    Identifikasi luka gigitan
Luka resiko tinggi: Jilatan/luka pada mukosa,luka diatas daerah bahu (mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan, kaki, genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak multiple wound).



Gambar 6. Penanganan pada luka bekas gigitan HPR

J. Pencegahan Dan Pengendalian Rabies
a. Pencegahan Primer
Pencegahan ini dilakukan dengan tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies; memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies; melarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies ke daerah-daerah bebas rabies; melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus, pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi; mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan, anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat; anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.

Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong); menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa; mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies; dan membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.

b. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.

c. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.

K. Pengendalian
a. Aturan Perundangan
Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 279A/MenKes/SK/VIII/1978; Nomor 522/Kpts/Um/8/78; dan Nomor 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.

b. Surveilans
Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.

c. Vaksinasi Rabies
Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenui, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni:
- Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
- Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
- Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
- Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.
- Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
- Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

******


BAB III
MATERI DAN METODE

Materi (bahan)  tulisan adalah pengalaman kerja dan praktek yang dilaksanakan di instalasi karantina hewan. Metode (cara) yang digunakan adalah dengan  study literature yang terkait dan sesuai dengan pokok bahasan.

******


BAB IV
PEMBAHASAN

Anjing merupakan hewan sosial, namun kepribadian dan tingkah laku anjing bisa berbeda-beda bergantung pada masing-masing ras. Selain itu, kepribadian dan tingkah laku anjing bergantung pada perlakuan yang diterima dari pemilik anjing dan orang-orang yang berkomunikasi dengan sang anjing. Menurut Naipospos, 2010 bahwa Penyakit Rabies di Indonesia tidak terlepas dari budaya suku di Indonesia, di beberapa daerah di Indonesia anjing dimanfaatkan dalam bermacam-macam aspek seperti bagi masyarakat Flores umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Flores juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru.

Masyarakat Bali sudah sejak zaman dahulu biasa memelihara anjing. Anjing merupakan bagian dari adat dan bahkan ritual. Pada ritual tertentu, masyarakat Hindu Bali menggunakan anjing sebagai salah satu sesajen atau 'banten' dan juga berfungsi untuk menjaga rumah. Lain halnya dengan di Flores anjing bagi masyarakat Bali melambangkan kesucian karena menurut kepercayaan Hindu Bali, anjing dipercaya pembawa warga ke surga. Tradisi lain yang berasal dari Propinsi Sumatera Barat dimana suku Minangkabau berdiam adalah berburu celeng atau babi hutan yang dianggap sebagai hama yang menimbulkan kerugian petani. Tradisi berburu tersebut lazim dikenal dengan nama ‘kandiak’.

Penyebaran rabies yang cukup tinggi di pulau Sumatera tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan perburuan babi hutan juga keberadaan anjing-anjing liar yang tidak terkendali. Satu lagi tradisi unik yang dikenal sejak sekitar 1960-an di beberapa daerah pesisir selatan Jawa Barat, yaitu adu kekuatan antara babi hutan dan anjing yang disebut ‘adu bagong’. Tidak mudah menemukan pertandingan ini, oleh karena babi hutan harus diburu hidup-hidup terlebih dahulu. Perburuan babi hutan di daerah ini juga menggunakan anjing dan setelah berhasil menemukan buruannya hidup-hidup untuk kemudian menjualnya ke tempat pejagalan hewan atau pemilik arena adu bagong. Pertandingan biasanya dilangsungkan dengan minimal 4 ekor anjing sekaligus menyerang seekor babi hutan. Yang sejatinya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan.

Selain itu masyarakat Indonesia juga memanfaatkan anjing sebagai daging konsumsi. Meskipun di Indonesia kasus kejadian rabies pada manusia setelah mengkonsumsi daging anjing belum pernah dilaporkan namun di beberapa negara lain seperti di Filipina, Vietnam dan China pernah terjadi kasus bahwa manusia tertular penyakit rabies setelah mengkonsumsi daging maupun terlibat dalam proses peyembelihan.

Di beberapa provinsi di Indonesia, daging anjing disantap sebagai sumber protein seperti masyarakat Minahasa umumnya menyebutkan daging anjing dengan istilah RW, masyarakat Batak juga mengenal masakan daging anjing yang diberi kode B1 untuk eufemisme, Lain halnya masyarakat Bali juga banyak dijumpai tempat-tempat makan yang menjual daging anjing dan memiliki komunitas tertentu, di Bali juga dikenal dengan sebutan RW.  Selain itu beberapa suku lain yang juga memiliki kebiasaan makan daging anjing dan pada umumnya adalah masyarakat yang beragama Kristen seperti suku Toraja di Sulawesi, Dayak di Kalimantan dan sebagian besar suku-suku di Nusa Tenggara Timur (Flores, Sumba).

Di beberapa kota di Jawa, seperti Solo dan Yogyakarta, penjualan sate dan tongseng dengan sebutan "Sengsu" adalah sebutan tongseng dengan daging anjing. Lalu lintas perdagangan anjing untuk wilayah ini antara lain berasal dari beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap. Di ibukota Jakarta, warung-warung dan tempat makan yang menjual menu daging anjing cukup banyak dan ramai dikunjungi di kawasan Cililitan, Cawang dan Jalan Letjen Soetoyo. Kawasan ini memang merupakan pintu gerbang Jakarta di bagian selatan dan sekaligus arus pertemuan antara jalur barat dan timur Pulau Jawa. Adakalanya beberapa rumah makan tidak secara terang-terangan menyebutkan daging anjing dalam menunya, tetapi ada pula yang menuliskan menu berkode B1.

Mengingat kebutuhan untuk konsumsi tersebut, maka tidak bisa disangkal bahwa anjing-anjing yang digunakan untuk konsumsi tentunya dipasok dari daerah-daerah tertentu. Hal yang menyebabkan lalu lintas perdagangan anjing sesungguhnya faktual baik antar provinsi maupun antar pulau, akan tetapi sangat sulit diketahui secara rinci apabila akan diawasi dan dikendalikan.

Menurut Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096/Kpts/TN.120/10/1999, Propinsi Papua dan Papua Barat masih dinyatakan provinsi yang bebas dari penyakit rabies sehingga kondisi tersebut harus tetap dipertahankan. Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari (SKP Kelas II Manokwari) sebagai Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) diharapkan berperan aktif dalam mensukseskan program-program Kementerian Pertanian. Dukungan Badan Karantina Pertanian dilakukan melalui serangkaian kegiatan pencegahan masuk, tersebar, dan keluarnya Hama Penyakit Hewan Karantina. Serangkaian kegiatan pencegahan masuk dan tersebarnya Hama Penyakit Hewan Karantina diimplementasikan dalam bentuk  tugas dan fungsi UPTKP sebagaimana diatur dalam Permentan No 22/Permentan/OT.140/4/2008, yang mana salah satu fungsinya adalah Pelaksanaan Pemantauan Daerah Sebar Hama Penyakit Hewan Karantina.

Pelaksanaan kegiatan pemantauan juga sebagai salah satu bentuk implementasi Pasal 16 ayat (6) PP No 82 Tahun 2000 yang mana Dokter Hewan Karantina memiliki tanggung jawab yang berkelanjutan terhadap sertifikat kesehatan hewan/pelepasan yang diberikannya dan merupakan penelusuran balik terhadap pelaksanaan tindakan karantina dalam rangka penyempurnaan kebijakan pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK.

Terkait dengan penyakit Rabies ini pada tahun 2010 Badan Karantina Pertanian melaksanakan kegiatan pemantauan dengan fokus nasional terhadap penyakit rabies yang dilaksanakan oleh seluruh UPTKP termasuk Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari. Pemantauan tersebut mengacu pada surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 360/Kpts/HK.060/L/05/2010 tentang Pedoman pelaksanaan pemantauan daerah sebar penyakit anjing gila (rabies) di wilayah pemantauan karantina pertanian. Pelaksanaan kegiatan pemantauan Rabies ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit Rabies dan tingkat kejadian penyakit tersebut khususnya di wilayah Kerja Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari sehingga diharapkan dapat tersusun pemetaan penyakit Rabies yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan kebijakan penyelenggaraan karantina hewan dan tersedianya suatu metode dari hasil uji coba yang dapat menjadi standar dalam pengujian dan perlakuan serta dapat diterapkan dalam tindakan karantina terhadap media pembawa penyakit Rabies.

Kegiatan pemantauan dilakukan dengan cara pengambilan spesimen berupa serum darah dan otak di lapangan kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen tersebut. Banyaknya spesimen yang diambil dihitung berdasarkan data populasi anjing, namun menurut dinas terkait tidak ada data jumlah populasi anjing dan kejadian rabies di kabupaten manokwari sehingga perhitungan spesimen mengadopsi perkiraan dari FAO yaitu dengan asumsi bahwa dari 5 keluarga terdapat 1 ekor anjing.

Adapun Data kependudukan diperoleh dari Badan Pusat Statistik kabupaten Manokwari tahun 2008. Untuk spesimen serum dihitung berdasarkan metode Lintas Sectional sedangkan spesimen otak dihitung berdasarkan metode Detect Disease sehingga dari perhitungan rumus epidemiologi. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada beberapa permasalahan, diantaranya adalah kesulitan dalam penangkapan anjing karena sebagian besar anjing yang dimiliki oleh warga adalah dilepas liar tanpa ada rantai pengikat, pengumpulan sampel dengan cara ”door to door”, dan beberapa warga masih kurang antusias dalam pemeriksaan hewannya. Sampel otak yang diperoleh pun jauh dari perhitungan awal dikarenakan banyak warga yang tidak mau menjual anjing peliharaannya dan masih kentalnya adat masyarakat setempat yaitu adanya sistem denda sehingga petugas tidak berani sembarangan mengambil anjing meskipun seakan-akan tidak berpemilik.

Spesimen yang diperoleh dilapangan dikirim ke laboratoriun Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Makasar dan Balai Besar Veteriner Maros sebagai laboratorium rujukan. Untuk spesimen serum dilakukan oleh Laboratorium BBKP Makasar dengan pemeriksaan ELISA yang hasil pengujiannya semua spesimen tersebut negatif (Titer antibodi negatif < 0,5 IU/ml). Kemudian diteguhkan lagi melalui pemeriksaan spesimen otak dengan melihat secara mikroskopik ada tidaknya negri body sebagai diagnosa utama adanya penyakit rabies dan melalui pemeriksaan FAT. Pemeriksaan spesimen otak dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Maros juga menunjukkan hasil negatif (tidak ditemukan negri body pada pemeriksaan tersebut.

Selain dilakukan pengambilan spesimen pada saat pemantauan rabies juga melakukan survei melalui kuisioner. Hal ini dilakukan untuk menggali informasi tentang pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies serta keberadaan penyakit tersebut di wilayah pemantauan. Dan hasil dari kuisioner tersebut menunjukkan bahwa cara pemeliharaan HPR yang mereka miliki kebanyakan dilepasliarkan dari 97 responden 92,78 % anjing yang dipelihara diluar rumah sedangkan hanya 7,22 % saja yang dipelihara di dalam rumah.




Tabel 1. Tabel Kuisioner Pemeliharaan Anjing

Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit rabies juga sangat memprihatinhan dari 97 responden 100 % mengaku tidak mengetahui tentang penyakit Rabies.




Tabel 2. Tabel Kuisioner Pengetahuan Tentang Rabies

Tindakan Karantina terhadap Lalulintas HPR mengacu pada Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (Anjing, Kucing, Kera, dan Hewan Sebangsanya). Kegiatan pengawasan yang dilakukan di Wilayah Kerja Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari tahun 2009-2014 berupa lalulintas anjing yang sebagian besar berasal dari antar area di wilayah Papua, Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari pernah melakukan tindakan pemusnahan sebanyak 2 (dua) kali yang masing-masing 1 (satu) ekor Anjing pada tahun 2012 berasal dari Ambon dan 1 (satu) ekor anjing pada tahun 2013 berasal dari Surabaya serta melakukan pengawasan pada saat adanya laporan dari UPTKP di wilayah Papua dan Papua Barat yang melakukan tindakan penolakan terhadap media pembawa HPR yang transit di Pelabuhan Manokwari. Selain itu juga dilakukan tindakan pemusnahan untuk media pembawa HPR yang lain seperti daging kelelawar dan daging anjing sebagai media pembawa penyakit tersebut dari daerah Bitung yang dari tahun ke tahun frekwensinya semakin menurun.

Wilayah Kerja Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari sebagian besar dikelilingi oleh perairan dan banyak pelabuhan-pelabuhan rakyat yang bisa saja digunakan sebagai pintu pemasukan lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR), tidak semua pintu-pintu pemasukan tersebut dapat terpantau. Hal ini menjadikan Wilayah Kerja Satiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari berpeluang tertular penyakit Rabies.

Selain itu perlu dilakukan pengawasan secara intensif terhadap pemasukan HPR dari wilayah Sorong, pemantauan pada tahun 2007 ditemukan 74,04% seropositif protektif rabies. Propinsi Papua dan Papua Barat berdekatan dengan daerah endemis rabies seperti kepulauan Maluku Tengah dan Maluku Utara (Ambon, P. Halmahera). Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari merupakan pintu gerbang kedua ke wilayah lainnya di Propinsi Papua setelah Sorong. Adanya lalulintas transportasi baik melalui jalur laut maupun udara dari daerah endemis serta adanya pecinta/penyayang Anjing Ras atau banyak masyarakat yang melapor rencana membawa anjing dari daerah endemis maka kewaspadaan terhadap penyakit rabies tetap harus di lakukan untuk mempertahankan wilayah Papua dan Papua Barat tetap bebas rabies secara historis.

Peluang masuknya rabies ke Propinsi Papua dan Papua Barat sangat besar untuk itu saat ini kejadian penyakit ini diibaratkan seperti “bom waktu” yang kapan saja bisa meledak. Semakin luasnya daerah penyebaran rabies, maka semakin sempit daerah yang bebas rabies di Indonesia, dikhawatirkan bahwa semakin mendesaknya wilayah penyebaran rabies ke bagian timur ke Provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini bebas secara historis.

Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari yang berada di Exit dan Entry point didukung oleh dukungan Pemerintah Daerah untuk mencegah masuknya rabies ke wilayah Papua Barat dengan dibuatnya Surat Keputusan Gubernur Irian Jaya Barat Nomor 86 Tahun 2004 tentang Larangan Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya Ke Wilayah Irian Jaya Barat dan Surat Keputusan Bupati Manokwari Nomor 362 Tahun 2004 tentang Larangan Pemasukan Anjing, Kucing, Kera Dan Hewan Sebangsanya Ke Wilayah Kabupaten Manokwari yang mungkin untuk saat ini sudah perlu dievaluasi kembali dan direvisi menjadi peratuaran daerah (perda). Selain itu dukungan dari Instansi terkait baik instansi terkait di pintu pemasukan/pengeluaran (pelabuhan maupun bandara) seperti Kesyahbandaran Otorita Pelabuhan Laut serta Otorita Bandara, Jasa Pelayaran, Jasa Pengiriman/Kargo, Airlines tetapi juga instansi yang membidangi fungsi kesehatan hewan, dokter hewan praktek untuk bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit rabies dan kerugiannya jika sampai penyakit ini masuk ke wilayah Papua sehingga tumbuh kesadaran masyarakat.

Upaya-upaya selanjutnya yang harus dilakukan untuk mempertahankan wilayah ini bebas adalah melakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat umum, kalangan akademisi (perguruan tinggi), aparat penegak hukum Polisi dan TNI, pengguna jasa karantina berkaitan dengan HPR dan dampak rabies apabila mewabah di Pulau Papua khususnya Manokwari, meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi (instansi terkait dan UPTKP pengeluaran) khususnya dengan aparat penegak hukum lainnya sehubungan kasus rabies khususnya di Kabupaten NTB dan Maluku, dan membentuk tim koordinasi antar instansi dengan melibatkan aparat kepolisian di tempat pemasukan yang belum ada petugas karantina serta melakukan penegakan hukum/penindakan terhadap siapapun yang memasukkan media pembawa HPR secara ilegal.

Penyakit Rabies sangat berbahaya karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia), masuknya penyakit ini ke Wilayah Pulau Papua khususnya Manokwari akan menimbulkan kerugian diberbagai sektor,  kita tahu bersama budaya masyarakat setempat yang masih melepasliarkan anjing-anjing yang mereka miliki, serta banyaknya masyarakat pendatang yang mengkonsumsi daging hewan pembawa rabies sehinggga tentunya jika rabies masuk ke wilayah Manokwari tidak hanya mengancam kesehatan manusia tetapi juga hewan-hewan lain. Jika penyakit ini sampai masuk ke Wilayah Papua maka untuk memberantas penyakit ini diperlukan dana yang tidak sedikit baik untuk vaksinasi maupun tindakan lainnya seperti depopulasi anjing dengan kebiasaan masyarakat terutama sistem denda maka akan sangat besar dana yang dikeluarkan untuk mengganti kerugian (membayar denda) tersebut.

Mencegah masuknya rabies ke wilayah Papua dan Papua Barat bebas secara historis bukan merupakan tanggung jawab satu instansi saja namun merupakan tanggung jawab kita bersama dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Sangat diperlukan komitmen pemerintah pusat maupun daerah baik dari segi peraturan perundang-undangan, tindakan pencegahan, surveilance serta senantiasa berinovasi mencari metode yang tepat untuk mencegah masuknya penyakit rabies terutama di pintu-pintu masuk yang tidak resmi. Namun dukungan dari masyarakat mutlak diperlukan terutama pemilik Hewan Pembawa Rabies sehingga harus selalu diberikan pendidikan tentang pentingnya mencegah penyakit ini masuk ke Pulau Papua khususnya Kabupaten Manokwari.

******


BAB V
KESIMPULAN


Untuk mempertahankan wilayah Papua dan Papua Barat bebas dari penyakit Rabies, sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096/Kpts/TN.120/10/1999, maka perlu Strategi dan upaya sebagai berikut:

1. Perlu pengawasan secara intensif pemasukan anjing /kucing ke wilayah Manokwari dari wilayah Sorong, karena hasil pemantauan pada tahun 2007 ditemukan 74,04% seropositif protektif rabies.

2. Perlu pengawasan secara intensif pemasukan dari pulau sekitanya dimana Papua berdekatan dengan daerah endemis rabies yaitu kepulauan Maluku Tengah dan Maluku Utara (Ambon, P. Halmahera), dan Manokwari merupakan pintu gerbang kedua ke wilayah lainnya di Propinsi Papua setelah Sorong.

3. Perlu pengawasan secara intensif pemasukan anjing /kucing karena adanya transportasi melalui udara dan laut dari daerah endemis serta adanya trend hobbies Anjing Ras.

4. Perlunya koordinasi dan dukungan dari Instansi terkait baik instansi terkait di pintu pemasukan /pengeluaran (pelabuhan maupun bandara) seperti Kesyahbandaran Otorita Pelabuhan Laut serta Otorita Bandara, Jasa Pelayaran, Jasa Pengiriman /Kargo, Airlines juga instansi yang membidangi kesehatan hewan, dokter hewan praktek untuk bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat jangan sampai penyakit ini masuk ke wilayah Papua karena banyak pelabuhan-pelabuhan rakyat yang bisa digunakan sebagai tempat pemasukan Hewan Pembawa Rabies (HPR) khususnya Manokwari.

5. Upaya-upaya lain yang harus dilakukan untuk mempertahankan wilayah ini bebas adalah melakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat umum, kalangan akademisi (perguruan tinggi), aparat penegak hukum Polisi dan TNI, pengguna jasa karantina berkaitan dengan HPR dan dampak rabies apabila mewabah di Pulau Papua khususnya Manokwari, meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi (instansi terkait dan UPTKP pengeluaran) khususnya dengan aparat penegak hukum lainnya sehubungan kasus rabies khususnya di Kabupaten NTB dan Maluku, dan membentuk tim koordinasi antar instansi dengan melibatkan aparat kepolisian di tempat pemasukan yang belum ada petugas karantina serta melakukan penegakan hukum (pemberkasan perkara) terhadap siapapun (subyek hukum) yang memasukkan HPR secara ilegal.

******


DAFTAR PUSTAKA

Akoso B.T. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular pada Hewan dan Manusia. Percetakan Kanisius. Yogyakarta

Anonimus. 2010. Pemantauan Rabies di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari. Manokwari

Anonimus. Penyakit Rabies (Anjing Gila). http://medicastore.com/penyakit/225/Rabies_anjing_gila.html

Dharmojono. 2001. 15 Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Milenia Populer. Jakarta. 

Naipospos. T. S. P. 2010. Rabies dan Budaya Suku di Indonesia.  

Ressang A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: