MODEL PEMERIKSAAN RESIDU TETRASIKLIN PADA SUSU BUBUK SKIM

Tetrasiklin adalah antibiotik yang umum digunakan sebagai obat hewan. Penggunaan pada sapi dapat meninggalkan residu pada produk hewan misalnya susu. Residu tetrasiklin pada susu dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan manusia. Makalah berikut ditulis drh Uti Ratnasari Dkk membahas masalah tersebut.


******


MODEL PEMERIKSAAN RESIDU TETRASIKLIN PADA SUSU BUBUK SKIM
(Detection Model of Tetracycline Residue in Powdered Skim Milk)

Oleh:
Uti Ratnasari Herdiana, Anjar Maryati, Ika Suharti, Winda Rahmawati


ABSTRACT

Tetracyline (TC), common applied in the veterinary to prevent any pathogenic diseases infection. High dose application of tetracycline in cow may lead the existing residues in animal products such as milk and its other products. Potential tetracycline residue in milk may cause negative impact to human health. The objectives of study was to detect tetracycline residue in the qualitative and quantitative in the powdered skim milk. A total of 20 samples of imported powdered skim milk from 6 countries was collected from Tanjung Priok Agricultureal Quarantine Office. Four methods were used in the study namely: Bioassay of SNI 7424:2008; ELISA; TLC Silica gel 60 G F254; HPLC. The results undetected tetracycline in the powdered skim milk by using bioassay, TLC and HPLC. An eight out of 20 samples of powdered skim milk was detected tetracycline residue using ELISA method with the range quantity of 0.805-2.7 ppb.

Key words : Milk; Tetra; ELISA


ABSTRAK

Tetrasiklin (TC) adalah jenis antibiotik yang umum digunakan sebagai obat hewan. Penggunaan yang berlebihan pada sapi dapat meninggalkan residu pada produk hewan misalnya susu dan produk olahannya. Residu tetrasiklin pada susu menyebabkan dampak negative pada kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan mengkaji teknik pemeriksaan residu tetrasiklin secara kualitatif dan kuantitatif residu tetrasiklin yang terdapat pada susu bubuk skim. Sejumlah 20 sampel susu bubuk skim impor berasal dari 6 negara yang sering dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jakarta. Empat metode yang digunkan untuk penelitian ini yaitu: Bioassay mengacu kepada SNI 7424:2008: Kit Elisa; TLC dengan Plate Silica gel 60 G F254 (Merck) dan HPLC. Hasil pengujian pada susu bubuk skim tidak terdeteksi dengan Bioassay, HPLC maupun TLC. 8 dari 20 sampel susu bubuk skim mengandung residu tetrasiklin dengan pengujian ELISA dengan kadar berkisar antara 0,805-2,7 ppb.

Kata kunci: Susu; Tetra; ELISA

******


PENDAHULUAN

Dalam produk hewan asal ternak, selain cemaran mikroba yang dapat ditularkan pada manusia perlu juga diwaspadai residu kimia seperti antibiotika, hormon, pestisida dan mikotoksin. Susu berpotensi mengandung residu akibat pemakaian obat-obatan dalam bidang peternakan tidak dapat dihindarkan untuk menjaga kesehatan dan sebagai pemacu pertumbuhan ternak (Murdiati dan Bahri, 1991).

Keberadaan residu antibiotika dalam pangan asal hewan yang melebihi batas maksimum residu dapat mengakibatkan efek yang buruk bagi manusia, diantaranya alergi, keracunan, karsinogen dan resistensi terhadap antibiotika tertentu (Rico, 1986).

Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara berbeda yaitu mulut (peroral), intravena, intramuscular, subcutaneus, intrauterin dan intramamamari. Berbagai teknik aplikasi tersebut dapat memicu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).

Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis protein mikroba. Tetrasiklin memiliki spektrum luas, dengan kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Yuningsih, 2004).

Metode pengujian yang umum digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika terdiri dari tiga jenis metoda yaitu uji penghambatan mikroba (microbial inhibition test), uji spesifik untuk kelompok atau substansi antibiotika (group-or substance-spesific test) dan metode konfirmasi kuantitatif (quantitative confirmatory method) (Kurittu et al., 2000).

Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengujian residu tetrasiklin pada susu bubuk skim dan mengidentifikasi kualitatif dan kuantitatif residu tetrasiklin pada susu bubuk skim.

******


BAHAN DAN METODA

Sampel Uji
Sampel uji yang digunakan sebanyak 20 sampel susu skim bubuk impor dari Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jakarta masing-masing diambil 500 gram. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Februari 2011 sampai dengan bulan September 2011 di Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian.

Teknik Deteksi

2. Bioassay
Pengujian bioassay berdasarkan SNI 7424:2008, 2 ml larutan stok baku tetrasiklin, diencerkan sampai dengan 20 ml dengan dapar nomor 2 dihomogenkan agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml. Selanjutnya diperoleh pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.

Persiapan media agar: Sebanyak 6 g peptone, 1,5 g beef extract, 3 g yeast extract, 1,35 g KH2PO4, 15 g bacto agar dilarutkan dalam 1.000 ml air suling kemudian dididihkan dan sterilisasi dalam autoklaf pada embranent 121o C selama 15 menit.

Persiapan Sampel Uji: Susu bubuk ditimbang 10 g ditambahkan 20 ml buffer fosfat No. 2 homogenkan dengan menggunakan alat homogenizer sentrifus 3.000 rpm selama 10 menit, ambil 75µl embranent teteskan pada kertas saring cakram (paper disk berdiameter 8 mm) dan dikering embra pada laminar flow.

Pelaksanaan pengujian: Pipet 1 ml biakan bakteri Bacillus cereus  ATCC 11778 (konsentrasi kuman 1.1 x 10-8) dicampurkan ke dalam 100 ml media uji temperature 55oC hingga merata. Sebanyak 8 ml media yang telah mengandung bakteri dituang ke dalam cawan Petri steril yang telah diberi kode, didiamkan pada suhu kamar hingga mengental. Sebanyak 50 µl sampel diteteskan pada kertas cakram, kemudian diletakkan di atas agar yang sudah terisi bakteri. Setiap cawan Petri diberi embran embrane (dapar posfat 2) dan embran positif golongan tetrasiklin menggunakan standar konsentrasi 1 µg/ml. Cawan Petri diinkubasi di dalam embrane selama 16-18 jam, untuk golongan tetrasiklin pada suhu 30 ± 1 ºC. Setelah 16-18 jam diinkubasi, daerah hambatan (clear zone) pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekeliling kertas cakram diamati dan diukur  dengan menggunakan jangka sorong. Kontrol positif harus membentuk daerah hambatan dari tepi kertas cakram. Kontrol embrane tidak membentuk daerah hambatan (BSN, 2008).

b. ELISA  (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Satu gram sampel yang telah embrane dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse, kemudian ditambahkan 4 ml TCA (Trichloacetic acid) 3% lalu dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama 30 menit dengan reciprocating shaker. Sampel didinginkan pada embranent 4°C dalam refrigerator, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit pada embranent 4°C lalu diambil 200 μl bagian embranent yang jernih. Selanjutnya diencerkan dengan 200 μl dilution buffer dengan  pH 7.4 dengan 20 μl 1 M NaOH. Standar  sampel dan enzyme conjugate dimasukkan kedalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan tetrasiklin antibody dan di inkubasi pada suhu ruang.

Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang semua ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzyme di tentukan dengan penambahan sejumlah larutan substrate chromagen (Tetramethyl benzidine) lalu diinkubasikan. Selama inkubasi enzyme mengubah larutan chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, kemudian ditambahkan stop reagen (1 N sulfuric acid) untuk menghentikan reaksi. Data diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm (Panggabean dkk., 2009).

c. TLC (Thin Layer Chromatography)
1 gr sampel susu bubuk skim dilarutkan dalam 10 ml pelarut hexanes disentrifuse 3.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan diuapkan dengan menggunakan tabung evaporator ukuran 50 ml sampai kering. Elutan didinginkan pada suhu – 20oC selama 2 jam ditambahkan 2 ml aceton disaring dengan filter embrane dengan pori-pori berukuran 1µ dan 0,45 mm.

Preparasi Plate Silica: Plate Silica TLC dipotong sesuai ukuran panjang 12 cm lebar  5 cm, untuk penetesan sample uji yang telah dilarutkan dan diaktivasi pada suhu 50 oC – 60 oC selama 15 – 20 menit. Dengan menggunakan pensil tandai pelat TLC dengan garis sepanjang 0,5 cm dari dasar plate.

Preparasi Standar Tetrasiklin (embran positif): timbang 0,1 gram standar tetrasiklin dilarutkan dengan 4 ml aceton.

Penotolan dan deteksi: menyiapkan larutan solvent chloroform-acetone (90:10, v/v) kemudian dituangkan ke dalam beaker gelas hingga kedalaman 0,5 cm sejajar dengan tanda TLC plates. Ambil sampel sebanyak  5µl sampel dan standar tetrasiklin lalu diteteskan pada plate TLC yang telah ditandai garis pansil. Plate TLC dikeringkan di laminar air flow kemudian plate TLC di elusi pada larutan  solvent chloroform-aceton (90:10, v/v) kemudian dikering anginkan sebelum diperiksa dibawah sinar UV dengan panjang gelombang 256 nm – 312 nm. Kecepatan dari daya kapiler band sejalan dengan retention factor (Rf) dalam penggunaan sinar ultraviolet (Howell and Stipanovic, 1980: Shanahan et al., 1992; Okamoto et al., 1998). Rf untuk tetrasiklin pada TLC plates adalah sebagai berikut:


         Jarak titik tetes pada garis pensil hingga batas terbentuk fluorescent target uji
Rf = --------------------------------------------------------------------------------------------------
          Jarak garis pensil hingga batas maksimal capaian solvent/pelarut pada TLC


d. HPLC (High Performance Liquid Chromatography )
Ekstraksi dan Pemurnian Sampel: Sebanyak 5,0  gram susu skim bubuk ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan asam trikloroasetat 20% kemudian dikocok menggunakan embra. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA kemudian diputar pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Larutan embranent hasil sentrifuse dipisahkan dari residunya kemudian dimasukkan kedalam kolom. Ekstraksi diulangi kembali dengan menambahkan 10 ml larutan  buffer Mcllvaine-EDTA, lalu dikocok menggunakan embra. Proses ekstraksi selesai selanjutnya dilanjutkan dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge (kolom) C 18.

Aktifasi kolom: kolom diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml methanol dan 20 ml air. Setelah itu 10 ml sampel dimasukkan ke dalam kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml methanol 5%. Kemudian kolom tersebut dielusi dengan 6 ml methanol oksalat. Filtrate dikeringkan dalam oven suhu 40oC kemudian dilarutkan dengan 200 µL methanol oksalat. Sebanyak 40 µL yang telah disaring dengan filter embrane 1 µ sampel dianalisis dengan HPLC.

1. Larutan standar tetrasiklin: sebanyak 20 mg standar tetrasiklin dilarutkan dengan 5 ml methanol untuk mendapat konsentrasi larutan standar 2.000 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi tetrasiklin 100 ppm. Larutan tersebut dapat diencerkan kembali untuk pengujian parameter analisis yang lebih rendah lagi untuk mendapatkan konsentrasi sesuai keperluan. Larutan disaring dengan filter membrane berukuran 1µ.

2. Analisis menggunakan HPLC: sebanyak 40 µL alikuot diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu seri LC 20AD

******

HASIL

Hasil pengujian dengan bioassay pada 20 sampel susu skim bubuk memberikan hasil pengujian negatif terhadap antibiotika dengan tidak terbentuknya daerah hambatan di sekitar kertas cakram   

Gambar 1. Hasil pengujian bioassay,  hasil pengujian negatif pada sampel (c dan d), kontrol positif (a) kontrol negatif (b)

Hasil pengujian residu antibiotika tetrasiklin dengan kit Elisa RIDASCREEN® Tetracyclin (Art. No.: R3503) adalah 12 sampel menunjukkan hasil negatif dan 8 sampel hasil positif. Kadar tetrasiklin tertinggi ditemukan pada sampel susu bubuk yang diimpor dari Australia, rata-rata sebesar 2,7 ppb. Sementara residu antibiotik tetrasiklin terendah ditemukan pada sampel susu bubuk yang diimpor dari Kanada dengan nilai rata-rata 0,88 ppb. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Kadar tetrasiklin pada sampel susu skim bubuk yang terdeteksi melalui pengujian ELISA

Hasil pengujian residu antibiotika tetrasiklin dengan metode TLC menunjukkan hasil negatif. Menurut uji standar dengan Rf : 0,632, berdasarkan sampel susu bubuk skim yang diuji tidak ditemukan spot fluoresen pada nilai Rf tersebut.

Hasil pengujian lanjut dengan HPLC  Shimadzu LC 20AD pada 8 sampel susu yang  terindikasi positif mengandung tetrasiklin dari pengujian ELISA menunjukkan indicator retensi 3 menit dengan kandungan sangan rendah dan tidak terukur.

Hasil pengujian residu antibiotika tetrasiklin pada seluruh sampel susu bubuk skim yang telah dikumpulkan kemudian di uji dan di analisis dengan menggunakan berbagai jenis pengujian yaitu dengan uji bioassay, ELISA, TLC. Hasil positif pada ketiga metode dikonfirmasi menggunakan HPLC, disajikan pada Tabel 2.


Tabel 2. Hasil pengujian residu antibiotika pada susu bubuk dengan menggunakan uji bioassay, ELISA, TLC dan HPLC


No.
Kode
Sampel
Uji
Bioassay
Uji ELISA
(ppb)
Uji TLC
Uji HPLC (ppb)
1.
B1
-
-
-

2.
B2
-
-
-

3.
B3
-
-
-

4.
B4
-
-
-

5.
B5
-
0,936
-
0
6.
B6
-
0,805
-
≥0
7.
B7
-
-
-

8.
B8
-
-
-

9.
B9
-
2,32
-
≥0
10.
B10
-
-
-

11.
B11
-
-
-

12.
B12
-
-
-

13.
B13
-
-
-

14.
B14
-
-
-

15.
B15
-
0,880
-
≥0
16.
B16
-
0,977
-
≥0
17.
B17
-
-
-

18.
B18
-
1,05
-
≥0
19.
B19
-
1,83
-
≥0
20.
B20
-
2,70
-
≥0

- = hasil uji negatif

******

PEMBAHASAN

Metode pengujian yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika bioassay beragam dengan spesifisitas dan sensitifitas yang bervariasi. Hal ini diketahui bahwa sumber susu beragam asal usulnya. Hasil pengujian dengan bioassay pada 20 sampel susu bubuk memberikan hasil pengujian negatif terhadap tetrasiklin (tidak terbentuk zona hambatan disekeliling kertas cakram). Hal ini dapat diartikan bahwa pada sampel yang diuji tidak mengandung residu antibiotika tetrasiklin atau kalaupun ada jumlahnya sangat rendah atau berada di bawah limit deteksi dari metode pengujian ini.

Peran zat antimikroba alami pada susu sebagai penyebab timbulnya hambatan dapat diabaikan karena umumnya zat ini akan rusak pada suhu tinggi, sistem laktoperoksidase misalnya menurut Mullan (2000), zat ini akan terinaktifasi secara total pada pemanasan 800C selama 5 menit.

Metode mikrobiologis bersifat murah, cepat dan mudah dilakukan akan tetapi kelemahan metode ini adalah tidak spesifik, sehingga hasil positif pada analisa tidak dapat menentukan jenis residu antibiotika yang terkandung dalam contoh. Selain itu juga metode ini kurang sensitif dibandingkan dengan metode kimia fisika (Haagsma dan Van der Water, 1990).

Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi hambatan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika pada produk pangan termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil olahan susu yang telah mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung residu antibiotika walaupun hanya dalam jumlah yang kecil, untuk itu dalam penelitian ini pengujian residu antibiotika tetrasiklin dilakukan dengan metode ELISA. Pada pengujian residu antibiotika tetrasiklin dengan metode ELISA dari 20 sampel susu bubuk yang di uji 8 sampel menunjukkan hasil positif mengandung residu antibiotika tetrasiklin yaitu pada sampel dengan kode B5, B6, B9, B15,  B16, B18, B19 dan B20. Hal ini mungkin disebabkan karena hewan ternak baru saja mendapat suntikan tetrasiklin atau diberi pakan yang mengandung tetrasiklin, sebelum masa henti obat ternak tersebut  segera diambil susunya sehingga dapat meninggalkan residu antibiotika didalam susu atau produk ternak lainnya (Riti et al., 2002).

Pada pengujian ELISA terlihat bahwa sampel yang menunjukkan hasil pengujian positif dengan total kandungan tertinggi 2,70 µg/kg. Menurut BSN No. 01-6366-2000 batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin membahayakan untuk susu segar adalah 50 µg/kg. Sehingga hasil pengujian residu tetrasiklin dengan ELISA tersebut nilainya masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang dipersyaratkan oleh BSN dan tergolong katagori masih aman untuk dikonsumsi.

Pada prinsipnya metode ELISA didasarkan pada reaksi spesifik antara antigen dan antibodi yang dapat dideteksi menggunakan enzim. Pengamatan dilakukan dari perubahan warna yang terjadi sebagai akibat reaksi enzim dan substrat (Panggabean dkk., 2009). Umumnya ELISA yang dikembangkan untuk deteksi residu antibiotika dalam pangan hewani adalah ELISA kompetitif sedangkan teknik ELISA sandwich umumnya tidak digunakan untuk molekul kecil karena faktor halangan sterik (Haagsma and Water, 1992).

ELISA  merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat, mudah dan ekonomis. Dengan metode ini, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan dari metode deteksi ELISA yaitu akurasi yang sangat terbatas karena adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur inti sama sehingga terjadi kesalahan estimasi (Haagsma dan Van der Water, 1990).

Prinsip deteksi dengan TLC berdasarkan visualisasi senyawa yang telah dipisahkan pada lempeng TLC, baik secara langsung  maupun tidak langsung melalui pengamatan di bawah sinar UV (Deng dan West, 2010). Pengujian dengan metode TLC mempunyai kelemahan yaitu hanya sesuai untuk skrining dengan sensitivitas dan akurasi yang rendah, bersifat semikuantitatif, sering terjadi interferensi oleh senyawa lain dan menggunakan pelarut organik yang bersifat karsinogenik. Namun demikian TLC mempunyai keunggulan yaitu dapat mendeteksi dengan cepat, membutuhkan fasilitas laboratorium dan bahan kimia yang sedikit serta ekonomis (Maryam, 2007). Hal yang perlu diperhatikan pada saat pengujian dengan metode TLC yaitu menghindari kontak langsung dan menghirup bau dengan semua bahan yang digunakan karena bersifat karsinogenik.

Hasil pengujian lanjut dengan HPLC pada 8 sampel susu yang terindikasi positif mengandung residu tetrasiklin dari pengujian ELISA menunjukkan hasil 0 ppb pada retensi ke 3 menit (Swadesh, 1997). Hal ini dapat diartikan bahwa pada sampel yang diuji tidak terdeteksi mengandung residu antibiotika tetrasiklin dengan pengujian HPLC yang disebabkan limit deteksi HPLC Shimadzu LC 20AD yang lebih terbatas yaitu hanya mampu mendeteksi kadar residu tetrasiklin minimal 5 ppb, dengan demikian kadar residu tetrasiklin hasil pengujian ELISA  (<3 ppb)  menjadi tidak terdeteksi.

HPLC merupakan suatu teknik kromatografi dengan fase gerak cairan dan fase diam cairan atau padat. Parameter HPLC yang digunakan untuk analisis kuantitatif ialah waktu retensi atau volume retensi. Perhitungan kuantitatif didasarkan pada pengukuran tinggi puncak atau luas puncak suatu komponen zat.  Populernya penggunaan HPLC disebabkan teknik ini memiliki beberapa keunggulan yaitu mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, kecepatan analisis, sensitivitas yang tinggi dan resolusi yang baik serta dapat mendeteksi lebih dari satu jenis antibiotika dalam setiap pemeriksaan. Namun demikian HPLC mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama terutama pada tahapan ekstraksi, instrumentasi yang mahal,  bahan kimia yang dipergunakan cukup banyak dan umumnya mahal serta operator yang terlatih (Adnan, 1997).

******


KESIMPULAN

Pengujian residu tetrasiklin pada susu bubuk skim dengan pengujian ELISA dapat terdeteksinya 8 dari 20 sampel susu skim bubuk positif mengandung residu tetrasiklin dengan kadar berkisar antara 0,805-2,7 ppb.

******


AKNOWLEDGEMENT

Ucapan terima kasih kepada Dr. Antarjo Dikin, Senior Scientist pada Applied Research Institute of Agricultural Quarantine atas kontribusinya bimbingan teknis dan penyempurnaan dalam penulisan.

******


DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta. Andi Pr.

BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2008. SNI 7424. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan susu secara bioassay. Jakarta.

BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2000. SNI No. 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimun Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta.

Deng, S., West, B. J. and Jensen. 2010. A quantitative comparison of phytochemical components in global noni fruits and their commercial products. Food Chem., 122 : 267-270.

Haagsma, N., Van der Water, C. 1992. Immunochemical Methods in the Analysis of Veterinary Drugs Residues. Plenum Press. 81-93.

Haagsma, N., Van der Water, C. 1990. Sensitive Streptavidin Biotin Enzyme linked immunosorbent Assay for Rapid Screening of Chloramphenicol residue in Swine muscle Tissue. J Asso. Anal Chem. 73:534-540.

Howell, C. R. and Stipanovic, R. D. 1980. Suppression of Pythium ultimum induced damping-off of cotton seedlings by Pseudomonas fluorescens and its antibiotic, pyoluteorin. Phytopathology 70: 712-715.

Kurittu, J., Lomberg, S., Virta, M., Karp, M. 2000. Qualitative Detection of Tetracycline Residues in Milk with a Luminescence-Based Microbial Method: The Effect of Milk Composition and Assay Performance in Relation to an Immunoassay and a Microbial Inhibition Assay. J. Food Prot. 63(7):953-957.

Maryam, Romsyah. 2007. Metode Deteksi Mikotoksin. Bogor.

Mitchell, J. M., Griffiths, M. W., McEwen, S. A., McNab, W. B. 1998. Antimicrobial drug residues in milk and meat : causes, concerns, prevalence, regulations, tests and performance. J. food Prot.6:742-756.

Mullan, W. M. A. 2001. Inhibition in Milk Dairy and Food Technology. Available at: http://www.diaryscience.info/inhibitors.htm

Murdiati, T. B. and Bahri, S. 1991. Pola Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan Ayam di Jawa Barat, Kemungkinan Hubungan dengan Masalah Residu. Proceeding Kongres Ilmiah ke-8 ISFI, Jakarta.

Okamoto, H., Sato, M., Koiso, Y.,  Iwasaki, S. and Isaka, M. 1998. Identification of antibiotic red pigments of Serratia marcescens F-1-1, a biocontrol agent of damping –off of cucumber, and antimicrobial activity against other plant pathogens. Annal Phytopathology Society. Japan. 64:294-298.

Panggabean, Arsentina, T.,  Inanusantri dan Evi Mardiastuty. 2009. Identifikasi Residu Neomycin Pada Daging Ayam di DKI Jakarta.

Rico, A. G. 1986. Drug Residues in Animal. Toulose: Academic Press.

Riti, N., Handayani, N., Dewi, A. 2002. Survei residu antibiotika asal hewan di Kabupaten Badung tahun 2002. http://poultryindonesia.com/antibiotik-dalam-pakan-ternak. pdf. 10 Pebruari 2009.


Shanahan, P., Sullivan, D. J., Simpson, P., Glennon, J. D. and Gara, F. 1992. Isolation of 2,4-diacetylphloroglucinol from a fluorescent pseudomonad and investigation of physiological parameters influencing its production. Applied and Environmental Microbiology 58 (1): 353-358.

Swadesh, J. 1997. HPLC Practical and Industrial Applications. CRC Press. USA.

Yuningsih. 2004. Keberadaan residu antibiotika dalam produk peternakan (susu dan daging). Di dalam Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Veteriner. Hlm 48-55.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: