Tetrasiklin adalah antibiotik yang umum
digunakan sebagai obat hewan. Penggunaan pada sapi dapat
meninggalkan residu pada produk hewan misalnya susu. Residu tetrasiklin pada
susu dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan manusia.
Makalah berikut
ditulis drh Uti Ratnasari Dkk membahas masalah tersebut.
******
MODEL PEMERIKSAAN RESIDU
TETRASIKLIN PADA SUSU BUBUK SKIM
(Detection
Model of Tetracycline Residue in Powdered Skim Milk)
Oleh:
Uti Ratnasari Herdiana,
Anjar Maryati, Ika
Suharti, Winda
Rahmawati
ABSTRACT
Tetracyline (TC), common applied in the veterinary to prevent any
pathogenic diseases infection. High dose application of tetracycline in cow may lead the existing residues in animal products such as milk and its other products. Potential tetracycline residue
in milk may cause negative impact to human health. The objectives of study was to detect
tetracycline residue in the qualitative and quantitative in the powdered skim milk. A total of 20 samples of imported powdered skim milk from 6 countries was collected from Tanjung Priok Agricultureal Quarantine Office. Four
methods were used in the study namely: Bioassay
of SNI 7424:2008; ELISA; TLC Silica gel 60 G F254; HPLC. The
results undetected tetracycline in the powdered skim milk by using bioassay, TLC and HPLC. An eight out of 20 samples of powdered skim milk was detected
tetracycline residue using ELISA method with the range quantity of 0.805-2.7 ppb.
Key words : Milk; Tetra; ELISA
ABSTRAK
Tetrasiklin (TC) adalah jenis antibiotik yang umum digunakan sebagai obat
hewan. Penggunaan
yang berlebihan pada sapi dapat meninggalkan residu pada
produk
hewan misalnya susu dan produk olahannya. Residu tetrasiklin pada susu
menyebabkan dampak negative pada kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan mengkaji teknik
pemeriksaan residu tetrasiklin secara kualitatif dan
kuantitatif residu tetrasiklin yang terdapat pada susu bubuk skim. Sejumlah 20
sampel susu bubuk
skim impor berasal dari 6 negara yang sering dilalulintaskan melalui Balai
Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jakarta. Empat metode yang digunkan untuk penelitian
ini yaitu: Bioassay mengacu kepada SNI 7424:2008: Kit Elisa; TLC dengan Plate Silica gel 60 G F254 (Merck) dan HPLC. Hasil pengujian pada susu
bubuk skim tidak terdeteksi dengan
Bioassay, HPLC maupun TLC. 8 dari 20 sampel susu bubuk skim mengandung
residu
tetrasiklin dengan pengujian
ELISA dengan
kadar berkisar antara 0,805-2,7 ppb.
Kata kunci: Susu;
Tetra; ELISA
******
PENDAHULUAN
Dalam produk
hewan asal ternak, selain cemaran mikroba yang dapat ditularkan pada manusia
perlu juga diwaspadai residu kimia seperti antibiotika, hormon, pestisida dan
mikotoksin. Susu
berpotensi mengandung residu akibat pemakaian obat-obatan dalam bidang
peternakan tidak dapat dihindarkan untuk menjaga kesehatan dan sebagai pemacu
pertumbuhan ternak (Murdiati dan Bahri, 1991).
Keberadaan residu antibiotika dalam
pangan asal hewan yang melebihi batas maksimum residu dapat mengakibatkan efek
yang buruk bagi manusia, diantaranya alergi, keracunan, karsinogen dan
resistensi terhadap antibiotika tertentu (Rico, 1986).
Aplikasi
antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara berbeda yaitu
mulut (peroral), intravena, intramuscular, subcutaneus, intrauterin dan
intramamamari. Berbagai teknik aplikasi tersebut dapat memicu terjadinya residu
antibiotika dalam susu (Mitchell et al.
1995).
Tetrasiklin bersifat bakteriostatik
dan bekerja dengan cara menghambat sintesis protein mikroba. Tetrasiklin
memiliki spektrum luas, dengan kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri patogen
(Yuningsih, 2004).
Metode pengujian yang umum digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu
antibiotika terdiri dari tiga jenis metoda yaitu uji penghambatan mikroba (microbial inhibition test), uji spesifik
untuk kelompok atau substansi antibiotika (group-or
substance-spesific test) dan metode konfirmasi kuantitatif (quantitative confirmatory method)
(Kurittu et al., 2000).
Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengujian residu tetrasiklin
pada susu bubuk skim dan mengidentifikasi kualitatif dan kuantitatif residu
tetrasiklin pada susu bubuk skim.
******
BAHAN DAN METODA
Sampel Uji
Sampel uji yang
digunakan sebanyak 20 sampel susu skim bubuk impor dari
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Jakarta
masing-masing diambil 500 gram. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan bulan Februari
2011 sampai dengan bulan September 2011 di Balai Uji Terap Teknik dan Metode
Karantina Pertanian.
Teknik Deteksi
2. Bioassay
Pengujian bioassay berdasarkan SNI 7424:2008, 2 ml larutan stok baku
tetrasiklin, diencerkan sampai dengan 20 ml dengan dapar nomor 2 dihomogenkan
agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml. Selanjutnya diperoleh pengenceran
serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.
Persiapan media
agar: Sebanyak 6 g peptone, 1,5 g beef extract, 3 g yeast extract, 1,35 g KH2PO4,
15 g bacto agar dilarutkan dalam 1.000 ml air suling kemudian dididihkan dan
sterilisasi dalam autoklaf pada embranent 121o C selama 15 menit.
Persiapan Sampel Uji: Susu bubuk ditimbang 10 g ditambahkan 20 ml buffer fosfat
No. 2 homogenkan dengan menggunakan alat homogenizer sentrifus 3.000 rpm selama
10 menit, ambil 75µl embranent teteskan pada kertas saring cakram (paper disk
berdiameter 8 mm) dan dikering embra pada laminar flow.
Pelaksanaan pengujian: Pipet 1 ml biakan bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 (konsentrasi kuman 1.1 x 10-8)
dicampurkan
ke dalam 100 ml media uji temperature 55oC hingga merata. Sebanyak 8 ml media yang telah
mengandung bakteri dituang ke dalam cawan Petri steril yang telah diberi kode,
didiamkan pada suhu kamar hingga mengental. Sebanyak 50 µl sampel diteteskan pada
kertas cakram, kemudian diletakkan di atas agar yang sudah terisi bakteri. Setiap
cawan Petri diberi embran embrane (dapar posfat 2) dan embran positif golongan tetrasiklin menggunakan
standar konsentrasi 1 µg/ml. Cawan Petri diinkubasi di dalam embrane selama
16-18 jam, untuk golongan tetrasiklin
pada suhu 30 ± 1 ºC. Setelah 16-18 jam diinkubasi, daerah hambatan (clear zone) pertumbuhan bakteri
yang terbentuk di sekeliling kertas cakram diamati dan diukur dengan menggunakan jangka sorong. Kontrol positif harus membentuk daerah
hambatan dari tepi kertas cakram. Kontrol embrane tidak membentuk daerah
hambatan (BSN, 2008).
b. ELISA
(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
Satu gram sampel yang telah embrane dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuse, kemudian ditambahkan 4 ml TCA (Trichloacetic acid) 3%
lalu dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama 30 menit
dengan reciprocating shaker. Sampel
didinginkan pada embranent 4°C dalam refrigerator, kemudian disentrifuse dengan
kecepatan 2000 rpm selama 10 menit pada embranent 4°C lalu diambil 200 μl
bagian embranent yang jernih. Selanjutnya diencerkan dengan 200 μl dilution
buffer dengan pH 7.4 dengan 20 μl 1 M
NaOH. Standar sampel dan enzyme
conjugate dimasukkan kedalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi
dengan tetrasiklin antibody dan di inkubasi pada suhu ruang.
Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang
semua ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzyme di
tentukan dengan penambahan sejumlah larutan substrate chromagen (Tetramethyl
benzidine) lalu diinkubasikan. Selama inkubasi enzyme mengubah
larutan chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, kemudian
ditambahkan stop reagen (1 N sulfuric acid) untuk menghentikan reaksi. Data diperoleh
berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA Reader dengan
panjang gelombang 450 nm (Panggabean dkk., 2009).
c. TLC (Thin Layer Chromatography)
1 gr sampel susu bubuk
skim dilarutkan
dalam 10 ml pelarut hexanes disentrifuse 3.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan
diuapkan dengan menggunakan tabung evaporator ukuran 50 ml sampai kering. Elutan
didinginkan pada suhu – 20oC selama 2 jam ditambahkan 2 ml aceton
disaring dengan filter embrane dengan
pori-pori berukuran 1µ dan 0,45 mm.
Preparasi Plate Silica: Plate
Silica TLC dipotong sesuai ukuran panjang 12 cm lebar 5 cm, untuk penetesan sample uji yang telah dilarutkan dan diaktivasi
pada suhu 50 oC – 60 oC selama 15 – 20 menit. Dengan
menggunakan pensil tandai pelat TLC dengan garis sepanjang 0,5 cm dari dasar
plate.
Preparasi Standar
Tetrasiklin (embran positif): timbang 0,1 gram standar tetrasiklin dilarutkan
dengan 4 ml aceton.
Penotolan dan deteksi: menyiapkan
larutan solvent chloroform-acetone (90:10, v/v) kemudian dituangkan ke dalam
beaker gelas hingga kedalaman 0,5 cm sejajar dengan tanda TLC plates. Ambil
sampel sebanyak 5µl sampel dan standar
tetrasiklin lalu diteteskan pada plate TLC yang telah ditandai garis pansil.
Plate TLC dikeringkan di laminar air flow kemudian plate TLC di elusi pada
larutan solvent chloroform-aceton
(90:10, v/v) kemudian dikering anginkan sebelum diperiksa dibawah sinar UV
dengan panjang gelombang 256 nm – 312 nm. Kecepatan dari daya kapiler band
sejalan dengan retention factor (Rf) dalam penggunaan sinar ultraviolet (Howell
and Stipanovic, 1980: Shanahan et al.,
1992; Okamoto et al., 1998). Rf untuk
tetrasiklin pada TLC plates adalah sebagai berikut:
Jarak titik tetes pada garis pensil hingga
batas terbentuk fluorescent target uji
Rf =
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Jarak garis pensil
hingga batas maksimal capaian solvent/pelarut pada TLC
d. HPLC (High Performance Liquid Chromatography )
Ekstraksi dan Pemurnian Sampel: Sebanyak 5,0 gram susu skim bubuk ditempatkan dalam tabung
sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan asam trikloroasetat 20%
kemudian dikocok menggunakan embra. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml
larutan buffer Mcllvaine-EDTA kemudian diputar pada kecepatan 3000 rpm selama
10 menit. Larutan embranent hasil sentrifuse dipisahkan dari residunya kemudian
dimasukkan kedalam kolom. Ekstraksi diulangi kembali dengan menambahkan 10 ml
larutan buffer Mcllvaine-EDTA, lalu
dikocok menggunakan embra. Proses ekstraksi selesai selanjutnya dilanjutkan
dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge (kolom) C 18.
Aktifasi kolom: kolom diaktifkan terlebih dahulu
dengan 20 ml methanol dan 20 ml air. Setelah itu 10 ml sampel dimasukkan ke
dalam kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml methanol 5%. Kemudian kolom
tersebut dielusi dengan 6 ml methanol oksalat. Filtrate dikeringkan dalam oven
suhu 40oC kemudian dilarutkan dengan 200 µL methanol oksalat.
Sebanyak 40 µL yang telah disaring dengan filter embrane 1 µ sampel dianalisis
dengan HPLC.
1. Larutan standar tetrasiklin: sebanyak 20 mg
standar tetrasiklin dilarutkan dengan 5 ml methanol untuk mendapat konsentrasi
larutan standar 2.000 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga
diperoleh konsentrasi tetrasiklin 100 ppm. Larutan tersebut dapat diencerkan
kembali untuk pengujian parameter analisis yang lebih rendah lagi untuk
mendapatkan konsentrasi sesuai keperluan. Larutan disaring dengan filter
membrane berukuran 1µ.
2. Analisis menggunakan HPLC: sebanyak 40 µL alikuot
diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu seri LC 20AD
******
HASIL
Hasil
pengujian dengan bioassay pada 20 sampel susu skim bubuk
memberikan hasil pengujian negatif terhadap antibiotika dengan tidak terbentuknya daerah hambatan di sekitar
kertas cakram
Gambar 1. Hasil pengujian
bioassay, hasil pengujian negatif pada
sampel (c dan d), kontrol positif (a) kontrol negatif (b)
Hasil pengujian residu antibiotika
tetrasiklin dengan kit Elisa RIDASCREEN® Tetracyclin (Art. No.: R3503) adalah 12
sampel menunjukkan hasil negatif
dan 8 sampel hasil positif. Kadar tetrasiklin
tertinggi ditemukan
pada sampel
susu bubuk yang diimpor dari Australia, rata-rata sebesar 2,7 ppb. Sementara residu
antibiotik tetrasiklin terendah
ditemukan pada
sampel susu
bubuk
yang diimpor dari Kanada
dengan nilai rata-rata 0,88 ppb. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah
ini.
Tabel 1. Kadar
tetrasiklin pada sampel
susu skim bubuk yang terdeteksi melalui
pengujian
ELISA
Hasil pengujian residu antibiotika
tetrasiklin dengan metode TLC
menunjukkan hasil negatif. Menurut uji standar dengan Rf : 0,632, berdasarkan
sampel susu bubuk skim yang diuji tidak ditemukan spot fluoresen pada nilai Rf
tersebut.
Hasil pengujian
lanjut dengan HPLC Shimadzu LC 20AD pada 8 sampel susu yang terindikasi positif mengandung
tetrasiklin dari pengujian ELISA
menunjukkan indicator retensi
3 menit dengan kandungan sangan rendah dan tidak terukur.
Hasil pengujian residu antibiotika
tetrasiklin pada seluruh sampel susu
bubuk skim yang telah dikumpulkan kemudian di uji dan di
analisis dengan menggunakan berbagai jenis pengujian yaitu dengan uji bioassay,
ELISA, TLC. Hasil positif pada ketiga metode dikonfirmasi menggunakan HPLC, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian residu
antibiotika pada susu bubuk dengan menggunakan uji bioassay, ELISA, TLC dan
HPLC
No.
|
Kode
Sampel
|
Uji
Bioassay
|
Uji ELISA
(ppb)
|
Uji TLC
|
Uji HPLC (ppb)
|
1.
|
B1
|
-
|
-
|
-
|
|
2.
|
B2
|
-
|
-
|
-
|
|
3.
|
B3
|
-
|
-
|
-
|
|
4.
|
B4
|
-
|
-
|
-
|
|
5.
|
B5
|
-
|
0,936
|
-
|
≥0
|
6.
|
B6
|
-
|
0,805
|
-
|
≥0
|
7.
|
B7
|
-
|
-
|
-
|
|
8.
|
B8
|
-
|
-
|
-
|
|
9.
|
B9
|
-
|
2,32
|
-
|
≥0
|
10.
|
B10
|
-
|
-
|
-
|
|
11.
|
B11
|
-
|
-
|
-
|
|
12.
|
B12
|
-
|
-
|
-
|
|
13.
|
B13
|
-
|
-
|
-
|
|
14.
|
B14
|
-
|
-
|
-
|
|
15.
|
B15
|
-
|
0,880
|
-
|
≥0
|
16.
|
B16
|
-
|
0,977
|
-
|
≥0
|
17.
|
B17
|
-
|
-
|
-
|
|
18.
|
B18
|
-
|
1,05
|
-
|
≥0
|
19.
|
B19
|
-
|
1,83
|
-
|
≥0
|
20.
|
B20
|
-
|
2,70
|
-
|
≥0
|
-
= hasil uji negatif
******
PEMBAHASAN
Metode pengujian
yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika bioassay beragam
dengan spesifisitas dan sensitifitas yang bervariasi. Hal ini diketahui bahwa
sumber susu beragam asal usulnya. Hasil pengujian dengan bioassay pada 20
sampel susu bubuk memberikan hasil pengujian negatif terhadap tetrasiklin
(tidak terbentuk zona hambatan disekeliling kertas cakram). Hal ini dapat
diartikan bahwa pada sampel yang diuji tidak mengandung residu antibiotika
tetrasiklin atau kalaupun ada jumlahnya sangat rendah atau berada di bawah
limit deteksi dari metode pengujian ini.
Peran zat
antimikroba alami pada susu sebagai penyebab timbulnya hambatan dapat diabaikan
karena umumnya zat ini akan rusak pada suhu tinggi, sistem laktoperoksidase
misalnya menurut Mullan (2000), zat ini akan terinaktifasi secara total pada
pemanasan 800C selama 5 menit.
Metode mikrobiologis bersifat murah,
cepat dan mudah dilakukan akan tetapi kelemahan metode ini adalah tidak
spesifik, sehingga hasil positif pada analisa tidak dapat menentukan jenis
residu antibiotika yang terkandung dalam contoh. Selain itu juga metode ini
kurang sensitif dibandingkan dengan metode kimia fisika (Haagsma dan Van der
Water, 1990).
Keterbatasan pada beberapa metode
pengujian tidak jarang menjadi hambatan untuk mengetahui keberadaan residu
antibiotika pada produk pangan termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil
olahan susu yang telah mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap
mengandung residu antibiotika walaupun hanya dalam jumlah yang kecil, untuk itu
dalam penelitian ini pengujian residu antibiotika tetrasiklin dilakukan dengan
metode ELISA. Pada pengujian residu antibiotika tetrasiklin dengan metode ELISA
dari 20 sampel susu bubuk yang di uji 8 sampel menunjukkan hasil positif
mengandung residu antibiotika tetrasiklin yaitu pada sampel dengan kode B5, B6,
B9, B15, B16, B18, B19 dan B20. Hal ini
mungkin disebabkan karena hewan ternak baru saja mendapat suntikan tetrasiklin
atau diberi pakan yang mengandung tetrasiklin, sebelum masa henti obat ternak
tersebut segera diambil susunya sehingga
dapat meninggalkan residu antibiotika didalam susu atau produk ternak lainnya
(Riti et al., 2002).
Pada pengujian ELISA terlihat bahwa
sampel yang menunjukkan hasil pengujian positif dengan total kandungan
tertinggi 2,70 µg/kg. Menurut BSN No. 01-6366-2000 batas maksimum residu
antibiotika tetrasiklin membahayakan untuk susu segar adalah 50 µg/kg. Sehingga
hasil pengujian residu tetrasiklin dengan ELISA
tersebut nilainya masih lebih
rendah dibandingkan dengan nilai yang
dipersyaratkan oleh BSN dan tergolong katagori masih aman
untuk dikonsumsi.
Pada prinsipnya metode ELISA
didasarkan pada reaksi spesifik antara antigen dan antibodi yang dapat
dideteksi menggunakan enzim. Pengamatan dilakukan dari perubahan warna yang
terjadi sebagai akibat reaksi enzim dan substrat (Panggabean dkk., 2009).
Umumnya ELISA yang dikembangkan untuk deteksi residu antibiotika dalam pangan
hewani adalah ELISA kompetitif sedangkan teknik ELISA sandwich umumnya tidak
digunakan untuk molekul kecil karena faktor halangan sterik (Haagsma and Water,
1992).
ELISA merupakan
metode yang sensitif, spesifik, cepat, mudah dan ekonomis. Dengan metode ini,
sejumlah sampel dapat dideteksi dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan
sedikit reagen. Beberapa kelemahan dari metode deteksi ELISA yaitu akurasi yang
sangat terbatas karena adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki
struktur inti sama sehingga terjadi kesalahan estimasi (Haagsma dan Van der
Water, 1990).
Prinsip deteksi dengan TLC berdasarkan
visualisasi senyawa yang telah dipisahkan pada lempeng TLC, baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui
pengamatan di bawah sinar UV (Deng dan West, 2010). Pengujian dengan metode TLC
mempunyai kelemahan yaitu hanya sesuai untuk skrining dengan sensitivitas dan
akurasi yang rendah, bersifat semikuantitatif, sering terjadi interferensi oleh
senyawa lain dan menggunakan pelarut organik yang bersifat karsinogenik. Namun
demikian TLC mempunyai keunggulan yaitu dapat mendeteksi dengan cepat,
membutuhkan fasilitas laboratorium dan bahan kimia yang sedikit serta ekonomis
(Maryam, 2007). Hal
yang perlu diperhatikan pada saat pengujian dengan metode TLC yaitu menghindari
kontak langsung dan menghirup bau dengan semua bahan yang digunakan karena
bersifat karsinogenik.
Hasil pengujian
lanjut dengan HPLC pada 8 sampel susu yang terindikasi positif mengandung
residu tetrasiklin dari pengujian ELISA menunjukkan hasil 0 ppb pada retensi ke 3 menit
(Swadesh, 1997). Hal ini dapat diartikan bahwa pada sampel yang diuji tidak
terdeteksi mengandung residu antibiotika tetrasiklin dengan pengujian HPLC yang
disebabkan
limit deteksi HPLC Shimadzu
LC 20AD yang lebih terbatas yaitu hanya mampu
mendeteksi kadar
residu tetrasiklin minimal 5 ppb, dengan
demikian kadar
residu tetrasiklin
hasil pengujian ELISA
(<3
ppb) menjadi tidak
terdeteksi.
HPLC merupakan suatu teknik
kromatografi dengan fase gerak cairan dan fase diam cairan atau padat.
Parameter HPLC yang digunakan untuk analisis kuantitatif ialah waktu retensi
atau volume retensi. Perhitungan kuantitatif didasarkan pada pengukuran tinggi
puncak atau luas puncak suatu komponen zat.
Populernya penggunaan HPLC disebabkan teknik ini memiliki beberapa
keunggulan yaitu mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran,
kecepatan analisis, sensitivitas yang tinggi dan resolusi yang baik serta dapat
mendeteksi lebih dari satu jenis antibiotika dalam setiap pemeriksaan. Namun
demikian HPLC mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama terutama
pada tahapan ekstraksi, instrumentasi yang mahal, bahan kimia yang dipergunakan cukup banyak
dan umumnya mahal serta operator yang terlatih (Adnan, 1997).
******
KESIMPULAN
Pengujian residu tetrasiklin
pada susu bubuk skim dengan pengujian ELISA dapat terdeteksinya 8 dari 20 sampel susu skim bubuk
positif mengandung residu tetrasiklin dengan kadar berkisar antara 0,805-2,7
ppb.
******
AKNOWLEDGEMENT
Ucapan terima kasih
kepada Dr. Antarjo Dikin, Senior Scientist pada Applied Research Institute of
Agricultural Quarantine atas kontribusinya bimbingan teknis dan penyempurnaan
dalam penulisan.
******
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan
Makanan. Yogyakarta. Andi Pr.
BSN (Badan Standarisasi Nasional).
2008. SNI 7424. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada
daging, telur dan susu secara bioassay. Jakarta.
BSN (Badan Standarisasi Nasional). 2000. SNI No. 01-6366-2000.
Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Batas
Maksimun
Residu Dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta.
Deng, S., West, B. J. and Jensen.
2010. A quantitative comparison of phytochemical components in global noni
fruits and their commercial products. Food Chem., 122 : 267-270.
Haagsma,
N., Van der Water, C. 1992. Immunochemical Methods in the Analysis of
Veterinary Drugs Residues. Plenum Press. 81-93.
Haagsma,
N., Van der Water, C. 1990. Sensitive Streptavidin Biotin Enzyme linked
immunosorbent Assay for Rapid Screening of Chloramphenicol residue in Swine
muscle Tissue. J Asso. Anal Chem. 73:534-540.
Howell,
C. R. and Stipanovic, R. D. 1980. Suppression of Pythium ultimum induced damping-off of cotton seedlings by Pseudomonas fluorescens and its antibiotic,
pyoluteorin. Phytopathology 70: 712-715.
Kurittu,
J., Lomberg, S., Virta, M., Karp, M. 2000. Qualitative Detection of
Tetracycline Residues in Milk with a Luminescence-Based Microbial Method: The
Effect of Milk Composition and Assay Performance in Relation to an Immunoassay
and a Microbial Inhibition Assay. J. Food Prot. 63(7):953-957.
Maryam,
Romsyah. 2007. Metode Deteksi Mikotoksin. Bogor.
Mitchell,
J. M., Griffiths, M. W., McEwen, S. A., McNab, W. B. 1998. Antimicrobial drug
residues in milk and meat : causes, concerns, prevalence, regulations, tests
and performance. J. food Prot.6:742-756.
Mullan,
W. M. A. 2001. Inhibition in Milk Dairy and Food Technology. Available at: http://www.diaryscience.info/inhibitors.htm
Murdiati,
T. B. and Bahri, S. 1991. Pola Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan Ayam di
Jawa Barat, Kemungkinan Hubungan dengan Masalah Residu. Proceeding Kongres
Ilmiah ke-8 ISFI, Jakarta.
Okamoto,
H., Sato, M., Koiso, Y., Iwasaki, S. and
Isaka, M. 1998. Identification of antibiotic red pigments of Serratia
marcescens F-1-1, a biocontrol agent of damping –off of cucumber, and
antimicrobial activity against other plant pathogens. Annal Phytopathology
Society. Japan. 64:294-298.
Panggabean,
Arsentina, T., Inanusantri dan Evi
Mardiastuty. 2009. Identifikasi Residu Neomycin Pada Daging Ayam di DKI
Jakarta.
Rico,
A. G. 1986. Drug Residues in Animal. Toulose: Academic Press.
Riti,
N., Handayani, N., Dewi, A. 2002. Survei residu antibiotika asal hewan di
Kabupaten Badung tahun 2002. http://poultryindonesia.com/antibiotik-dalam-pakan-ternak.
pdf. 10 Pebruari 2009.
Shanahan,
P., Sullivan, D. J., Simpson, P., Glennon, J. D. and Gara, F. 1992. Isolation
of 2,4-diacetylphloroglucinol from a fluorescent pseudomonad and investigation
of physiological parameters influencing its production. Applied and
Environmental Microbiology 58 (1): 353-358.
Swadesh,
J. 1997. HPLC Practical and Industrial Applications. CRC Press. USA.
Yuningsih.
2004. Keberadaan residu antibiotika dalam produk peternakan (susu dan daging).
Di dalam Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Bogor: Balai
Penelitian Veteriner. Hlm 48-55.
******