Surra
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit darah yang menyerang hewan
berdarah panas terutama kuda, unta dan anjing bersifat akut maupun kronis dan
di Indonesia sering menyerang kuda, sapi, kerbau, babi, dan anjing. Nama lain
penyakit Surra adalah penyaklt Trypanosomiasis dan Penyakit Mubeng.
A. PENDAHULUAN
Surra
merupakan penyakit parasit yang menular pada hewan dan disebabkan oleh protozoa
berflagella yang tersirkulasi dalam darah secara ekstraseluler yang bernama
Trypanosoma evansi. Penyakit ini dapat bersifat akut maupun kronis, tergantung
pada inangnya. Meskipun tidak dipertimbangkan sebagai penyakit zoonosis, tetapi
kasus Surra pada manusia pernah dilaporkan pada tahun 2004 yang menyerang
peternak sapi di desa Seoni-Taluka Sindevahi, Distrik Chandrapur, Maharashtra –
India Tengah. Protozoa ini ditemukan pertama kali oleh Griffith Evans pada tahun
1880 di India, sehingga namanya diabadikan sebagai nama spesies agen penyebab
Surra, Trypanosoma evansi.
Pada
mulanya penyakit ini ditemukan pada kuda, unta dan bagal, tetapi ternyata
hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap Surra meskipun derajat
kerentaannya tidak sama. Kuda, unta dan anjing merupakan hewan yang paling
rentan. Adapun ruminansia kurang rentan.
Di
Indonesia, penyakit ini lebih sering menyerang kuda, sapi, kerbau, babi, dan
anjing. Tingkat infestasi T.evansi bervariasi tergantung pada lokasi dan
spesies inangnya. Prevalensi kejadian Trypanosomiasis pada kerbau di Sumatra,
Jawa, Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara berkisar
antara 5,8-7 %.
Penyakit
ini disebarkan lalat penghisap darah seperti Tabanus sp, Chrysops sp. dan
Haematopota sp. Surra merupakan penyakit endemik yang telah menyebar di seluruh
wilayah di Indonesia. Dibandingkan dengan sapi, kerbau diduga lebih rentan
terhadap penyakit surra. Kerbau menunjukkan parasitemia yang lebih lama dan
lebih tinggi, sehingga kerbau diduga berperan sebagi sumber penularan yang
potensial bagi ternak lain. Penyakit surra bersifat asimptomatis sehingga
sering diketahui setelah infeksi berjalan kronis.
Kerugian
ekonomi berupa pertumbuhan tubuh yang lambat, penurunan produksi susu, hewan
tidak mampu dipekerjakan optimal di sawah, penurunan kesuburan, dan aborsi.
Adapun kerugian ekonomi di benua Asia dilaporkan US $ 1,3 milyar dan dalam
skala nasional diperkirakan mencapai US $ 22,4 juta per tahun (1998). Laporan
terbaru menunjukkan bahwa hasil analisis kerugian ekonomi berdasarkan jumlah
ternak yang mati akibat Surra di delapan kecamatan daerah Waingapu Sumba Timur
dari Januari – Juni 2012 mencapai Rp. 1.416.500.000 dan apabila tidak dilakukan
tindakan pencegahan dini diperkirakan mencapai Rp. 167.224.000.000. Analisis
ini belum memperhitungkan biaya paramedik, pengobatan, pencegahan
pada ternak termasuk
biaya pengendalian vektor,
sehingga kerugian eknomi dalam delapan kecamatan tersebut dapat melebihi dari
hasil hitungan diatas.
B. ETIOLOGI
Penyakit
surra disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Protozoa ini merupakan flagellata dari
subfilum sarcomastigophora, super kelas mastigophorasica, kelas
zoomastigophorasida, ordo kinetoplastorida, familia trypanosomatidae, dan genus
Trypanosoma. Bentuk tubuhnya seperti kumparan dengan salah satu ujung lancip
dan ujung yang lain sedikit tumpul. Kebanyakan tubuhnya langsing tetapi ada
pula yang berbentuk buntak dan berbentuk tanggung (intermediate). T.evansi
berukuran panjang antara 11,7-33,3 µm (rata-rata 24 µm) dan lebar antara
1,0-2,5 µm (rata-rata 1,5 µm)
Kira-kira
di tengah tubuh terdapat inti yang bulat atau sedikit oval. Di dekat ujung
tumpul terdapat 2 buah benda, yaitu blepharoplast (benda basal) dan benda para
basal. Kedua benda tersebut dihubungkan dengan serabut halus sehingga terjadi
bentuk yang sering disebut kinetoplast. Bentuk kinetoplast dijumpai terutama
setelah pengobatan. Dari benda basal muncul serabut yang disebut axonema yang
melanjutkan sebagai benang cambuk (flagella). Benang cambuk ini terikat dengan
tubuh oleh selaput beralun (membrana undulans) dan akan melanjutkan diri ke depan
sebagai flagellum bebas.
Gambar
1. Trypanosoma evansi dalam ulasan darah
(Sumber
: http://mindanaosurra.blogspot.com/2008/07/trypanosoma-evansi-
agent-of-surra.html
Sifat
Alami Agen
Trypanosoma
evansi berada didalam sirkulasi darah secara ekstraseluler. Protozoa ini
berkembang didalam tubuh inang dengan cara mengambil asupan glukosa darah.
Disamping itu, aktivitas T.evansi pada darah memicu peningkatan asam susu dan
trypanotoksin.
Berdasarkan
derajat patogenitasnya, T.evansi di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu high pathogen (ganas), moderate (sedang) dan low pathogen
(rendah). Isolat yang ganas mampu membunuh hewan coba (mencit) dalam waktu 4-7
hari, sedangkan hewan cobat yang diinfestasi dengan isolat yang mempunyai
patogenitas rendah mampu bertahan hidup lebih dari dua minggu hingga sebulan.
Secara molekuler, T.evansi dapat dikelompokkan menjadi type A yang
mengekpresikan gen Ro Tat dan type B (no Ro Tat).
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies Rentan
Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan, hampir semua hewan berdarah panas rentan
terhadap penyakit surra, kecuali hewan sebangsa burung. Derajat kerentanan hewan
tergantung pada spesiesnya. Hanya hewan yang berkuku satu
yang paling tinggi derajat kerentanannya, dengan mortalitas mencapai 100%.
Unta, kuda, dan anjing adalah hewan yang paling rentan terhadap T.evansi.
Adapun mencit, tikus, marmut dan kelinci dapat digunakan sebagai hewan
percobaan di laboratorium. Mencit adalah hewan yang digunakan sebagai gold stardar
untuk mendiagnosis penyakit surra. Hewan ruminansia kurang rentan.
2. Pengaruh Lingkungan
Penyebaran dan
peningkatan kasus surra
terkait dengan populasi vektor lalat. Kondisi lingkungan
yang sesuai dengan perkembangan vektor, seperti kelembaban yang tinggi dan suhu
yang ideal bagi pertumbuhan lalat akan menjadi salah satu faktor penentu
meningkatnya kasus surra apabila tidak diikuti dengan pengobatan yang cepat dan
efektif.
3. Sifat
Penyakit
Protoza
T.evansi memiliki membrane protein yang tebal pada permukaannya (Variant
Surface Glicoprotein=VSG) dan bersifat imunogenik. Selama terjadinya infestasi,
T.evansi mampu mengekspresikan beberapa VSG yang berbeda-beda secara imunologi,
sehingga mampu menghindar dari respon imun inangnya. Adanya mekanisme unik ini
memungkinkan T.evansi mampu bertahan ditubuh inangnya selama bertahun-tahun.
Disamping itu, protoza ini mempunyai karakteristik mampu menghilang dari
sirkulasi darah dan bersembunyi dalam kelenjar limfe dalam waktu tertentu
(relapse). Kondisi ini yang membuat diagnosa menjadi keliru karena hewan
dianggap telah sembuh dari serangan penyakit surra.
4. Cara
Penularan
Penularan
penyakit surra melalui vector lalat pengisap darah yang termasuk golongan
Tabanidae. Cara penularannya secara mekanik murni, artinya trypanosoma tidak
mengalami siklus hidup dalam lalat tersebut.
Di
samping lalat tabanus, terdapat lalat penghisap darah lain yang mampu
menularkan penyakit surra, antara lain
Chrysops sp, Stomoxys sp, Heamatopota sp, Lyperosia sp, Haematobia sp. Selain
itu, arthropoda lain seperti Anopheles, Musca, pinjal, kutu dan caplak dapat
pula bertindak sebagai vektor. Hewan yang mengandung parasit tanpa menunjukkan
gejala sakit merupakan sumber penyakit.
5. Distribusi
Penyakit
Penyakit
Surra terdistribusi luas hamper di seluruh dunia. Di Indonesia, penyakit ini
pertama kali ditemukan pada seekor kuda di Semarang pada tahun 1897. Namun,
diduga penyakit surra sudah ada sebelumnya di Indonesia, hal ini berdasarkan
adanya laporan tentang banyaknya kematian hewan dengan gejala yang sama dengan
gejala penyakit surra, yang terjadi di Banten (1886-1888 dan 1893) di Tegal dan
Cirebon (1886-1888), serta di pulau Roti (1894-1896).
Setelah
penyakit ini ditemukan di Indonesia pada tahun 1897, kemudian di beberapa
daerah lain juga diketahui adanya kasus penyakit surra. Sampai tahun 1957
penyakit surra telah diketahui menyebar di wilayah Indonesia. kecuali Bali,
Sumba, Flores, Maluku dan Papua. Pada tahun 1974 hanya Maluku dan Papua saja
yang masih belum dilaporkan adanya kasus penyakit surra.
Kasus
penyakit surra umumnya terjadi secara sporadik, tetapi terkadang dapat juga
merupakan wabah yang menimbulkan banyak kematian. Wabah di Tegal tahun 1898
menyebabkan kematian 500 ekor kerbau dari populasi 7.000 ekor yang ada.
Kemudian wabah di Pasuruan, menyebabkan banyak kematian pada sapi pada tahun
1900-1901. Setelah hampir 70, tahun tidak terdengar adanya wabah surra, pada
tahun 1969/1970 terjadi wabah di Jawa Tengah yang menyebabkan kematian pada
lebih dari 40.000 ekor ternak.
Pada
tahun 1975, dilaporkan pula adanya kasus tyrpanosomiasis pada kambing, yaitu di
Lampung, sedangkan di Sulawesi Tenggara terjadi Surra pada kambing di tahun
1976. Selanjutnya pada tahun 1988, kembali terjadi wabah Surra di Kabupaten Bangkalan
– Madura yang menyerang kuda, sapi dan kerbau.
Adanya
kebijakan memasukkan Surra ke dalam penyakit hewan menular strategis (PHMS),
mampu menekan kejadian Surra di lapang. Namun, ketika penyakit ini dicabut dari
daftar tersebut, wabah kembali terjadi bahkan telah mengintroduksi
daerah-daerah yang sebelumnya dinyatakan bebas Surra seperti Pulau Sumba dan
Papua.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
a. Pada
Kuda
Masa
inkubasi 4-13 hari diikuti demam (temperatur lebih dari 39°C). Hewan nampak lesu
dan lemah. Mula-mula selera makan menurun kemudian pulih kembali. Kepincangan
sering terjadi pada kaki belakang, bahkan tidak jarang mengalami kelumpuhan
pada tubuh bagian belakang.
Selaput
lendir mata hiperemia disertai bintik-bintik darah (ptechiae), kemudian berubah
anemis berwarna kuning sampai pucat. Kadang- kadang ditemukan adanya keratitis.
Limflogandula submaxillaris bengkak dan apabila diraba terasa panas dan hewan
merasa sakit. Kadang- kadang terjadi urticaria tanda oedema dimulai pada bagian
bawah perut menyebar kearah bagian pada dada, alat kelamin (busung papan) dan
turun ke kaki belakang. Pada kuda jantan diikuti pembengkakan buah zakar,
kadang-kadang terjadi pembengkakan pada penis. Pada kuda bunting dapat
mengalami keguguran. Gejala klinis demikian juga dapat ditampakkan pada infeksi
oleh T. Equiperdum ataupun infeksi bakterial. Dalam waktu yang cepat (kurang
dari 2 minggu) kuda mengalami cahexia dan kelemahan yang hebat diikuti roboh
dan mati. Pada kasus-kasus tertentu terlihat gejala syaraf (mubeng/berputar di
tempat) sebelum robuh dan mati. Ini terjadi karena Trypanosoma telah masuk ke
dalam otak.
b. Pada
Sapi dan Kerbau
Setelah
melewati masa inkubasi biasanya timbul gejala-gejala umum seperti temperatur
naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu.
Biasanya
hewan dapat mengatasi keadaan demikian meskipun dalam darahnya mengandung
protozoa (Trypanosoma spp) tersebut selama bertahun-tahun. Apabila karena
sesuatu sebab hewan tersebut menjadi sakit, gejal-gejala yang nampak adalah
demam selang seling, anemia, semakin kurus, oedema di bawah dagu dan anggota
gerak dan serta bulu ronto dan selaput lendir menguning.
Mula-mula
cermin hidung kering kemudian keluar cairan dari hidung dan mata. Kadang-kadang
kerbau terlihat makan tanah
Apabila
Trypanosoma sudah masuk dalam cairan cerebrospinal, hewan menunjukkan gejala
syaraf sebagai berikut : hewan berjalan tidak tegap (sempoyongan),
berputar-putar, kejang, gerak paksa, kaku sebelum mati.
2. Patologi
Apabila
penyakit berjalan akut, hewan yang mati karena surra tidak menunjukkan
perubahan anatomi yang nyata. Hewan mati pada umumnya dalam kondisi masih baik.
Namun, pada anjing dan kucing terjadi kebengkakan limpa dan kelenjar limpa.
Hewan
yang mati akibat surra yang kronis, meskipun tidak terdapat perubahan yang
menciri, namun biasanya terlihat adanya perubahan seperti keadaan tubuh sangat
kurus, anemia, busung seperti gelatin di bawah kulit, terdapat cairan serosa
pada rongga perut dan pericardium, serta ptechie pada selaput lendir dan
selaput serosa, dan sering kali terdapat luka di lidah dan lambung. Pada kuda
terjadi pembengkakan ginjal dengan warna kuning kecoklatan.
3. Diagnosa
Pemeriksaan
mikroskopik secara langsung:
a. Pemeriksaan
preparat ulas darah natif
Darah perifer
diambil dari vena
auricularis ataupun vena
coccigea. Darah sebanyak 2-3 µl diteteskan pada kaca obyek dan ditutup
dengan kaca penutup. Kaca obyek tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop
cahaya dengan perbesaran 200x400 kali.
b. Pemeriksaan
preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa
Teteskan
10 µl darah pada kaca obyek dan diratakan. Preparat ulas darah dibiarkan hingga
mengering (sekitar 1 jam). Preparat
kemudian diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (1 tetes giemsa komersial + PBS pH
7,2) selama 25 menit.
c. Pemeriksaan
biopsi cairan limfa dan edema
Biopsi
cairan limfa dapat dilakukan pada limfonglandula prescapular atau limfoglandula
precrural. Cairan limfa tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop.
Metoda
konsentrasi
Jumlah parasit
yang menginfeksi inang
dapat bersifat sub-klinis
atau karier, sehingga tidak terdapat banyak parasit di dalam darah. Hal
tersebut membuat pengamatan mikroskopis sulit dilakukan. Metoda konsentrasi
dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan T.evansi, meskipun dalam jumlah
yang sedikit. Metoda konsentrasi tersebut dapat dilakukan dengan pengujian HMCT
(Haematocrit Centrifugation Technique),
Murray test atau BCM (Buffy Coat
Method), dan mini-anion exchange centrifugation technique.
Inokulasi
pada hewan percobaan
Trypanosoma evansi
dapat menginfestasi rodensia,
seperti tikus dan mencit.
Infestasi dilakukan dengan cara inokulasi, yaitu tikus atau mencit diinjeksi
dengan sampel darah secara intraperitoneal. Konsentrasi yang diinokulasikan
adalah 1-2 ml pada tikus dan 0,25-0,5 ml pada mencit. Setelah 48 jam, darah
mencit atau tikus dikoleksi dengan cara potong ekor, lalu diamati di bawah
mikroskop.
Deteksi
DNA Trypanosoma
Deteksi
DNA Trypanosoma dapat dilakukan dengan metode DNA probes, antigen detection,
dan PCR.
Uji
Serologi
Secara
serologi, deteksi T.evansi dapat dilakukan dengan metoda ELISA, IFAT, CAT (Card
Agglutination Tests), dan Immune Trypanolysis Tests.
4. Diagnosa
banding
Kuda:
African
horse sickness, equine viral arteritis, equine viral anemia, dourine. infestasi
larva cacing Strongylus vulgaris.
Ternak
ruminansia:
Babesiosis,
anaplasmosis, theileriasis, malnutrisi, haemorhagic septicaemia, edema di bawah
dagu pada penyakit ingusan (coryza gangraenosa bovum).
5. Pengambilan
dan Pengiriman Spesimen
Spesimen
atau sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat dikirimkan berupa:
a. Sediaan
ulas darah tipis/tebal yang sudah difiksasi dengan methanol absolut,
b. Darah
berisi anti koagulan, dan
c. Serum dalam termos berisi es.
E.
PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Belum
ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit surra, sedangkan obat surra
yang direkomendasikan adalah suramin, isometamidium klorida, dan diminizena
aceturate. Meskipun suramin diketahui paling efektif untuk mengobati
trypanosomiasis, tetapi sediaan ini tidak dijumpai di Indonesia.
2. Pelaporan,
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Bagi
para petugas yang menemukan panyakit surra pada semua ternak diwajibkan:
(1) Memberi laporan kejadian kasus penyakit surra
beserta tindakan yang telah dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat, dengan
tembusan kepada Dinas Peternakan atasannya.
(2)
Apabila dipandang perlu, dapat menyarankan kepada Kepala Pemerintahan untuk
mengeluarkan surat keputusan tentang penutupan daerah pembatasan lalulintas
ternak/hewan di dalam wilayahnya.
(3) Melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai
dengan peraturan yang berlaku dan melaporkannya kepada atasan.
b. Pencegahan
Pencegahan
melalui vaksinasi sampai saat ini belum dapat dilakukan. Tindakan pencegahan
lainnya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku adalah:
(1)
Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran yang merupakan tempat
berkembang biaknya lalat.
(2) Penyemprotan hewan/kandang dengan Asuntol
atau insektisida lain yang sama khasiatnya.
c. Pengendalian
dan Pemberantasan
(1) Pengendalian berdasarkan legislasi
a)
Ternak yang menderita surra atau tersangka sakit diisolasi sehingga terlindung
dari lalat (dengan penutupan kandang dan penggunaan insektisida) dan tidak
dapat berhubungan dengan ternak lain.
b) Bilamana
penyakit surra ditemukan lebih dalam satu halaman dari suatu kampung atau desa,
maka ternak yang sakit atau tersangka sakit pada wilayah tersebut, harus
diasingkan sejak fajar sampai matahari terbenam, kecuali jika pada ternak
tersebut telah dilakukan tindakan pencegahan.
c) Pada
pintu masuk halaman kampung atau desa yang terdapat ternak sakit atau tersangka
sakit, harus dipasang papan yang menyatakan adanya Penyakit Hewan Menular
Surra, disertai dengan bahasa daerah setempat.
d) Ternak
sebagaimana tersebut pada butir 1 dan 2, sepanjang tidak memperlihatkan gejala
sakit dapat digunakankan/dipekerjakan dalam kegiatan pertanian dan pengangkutan.
Namun selama dipekerjakan ternak tersebut harus terlindung dari lalat.
e)
Pada malam hari ternak dapat dilepaskan di padang penggembalaan dan dimandikan.
f) Apabila
pada beberapa desa dalam suatu daerah terinfeksi surra, maka pada daerah
tersebut diberlakukan larangan pemasukan dan pengeluaran ternak, serta
penyelenggaraan pasar hewan dan penggembalaan ternak pada siang hari. Ternak
yang melintas di daerah tersebut dapat di ijinkan dengan jaminan bahwa temak
tersebut telah terlindung dari lalat.
g) Setelah
ternak yang sakit sembuh, maka dokter hewan yang berwenang dapat menerbitkan
surat keterangan dan ternak yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tindakan
isolasi
h) Penyakit
dapat dianggap telah lenyap dari suatu daerah setelah lewat 3 (tiga) bulan
sejak kematian atau sembuhnya ternak yang sakit terakhir.
i) Semua ternak
yang mati karena
surra harus dibakar
atau dikubur.
j) Diagnosa, tindakan
pencegahan dan pengobatan
dalam pemberantasan penyakit Surra termasuk vektornya harus mengikuti petunjuk
Diretur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
(2) Pengendalian melalui inang
a) Pada
daerah wabah Surra
1) Semua
hewan yang peka terhadap surra diperiksa darahnya, kemudian dikelompokkan
sesuai dengan hasil pemeriksaan, yaitu:
− Hewan
dengan gejala saraf dibunuh.
− Hewan-hewan
positif diobati.
− Hewan
tersangka yang negatif, diambil darahnya untuk percobaan biologik.
2) Pemasukan
dan pengeluaran ternak yang rentan ke dan dari daerah ini dilarang
b) Pada
daerah sekitar wabah Surra
1) Hewan
tersangka diperiksa darahnya, kemudian dikelompok kan sesuai dengan hasil
pemeriksaan, yaitu :
− Hewan
positif diobati.
− Hewan negatif
diambil darahnya untuk
percobaan biologik.
2) Wajib
lapor apabila ada hewan yang mati atau sakit.
c) Pada
daerah surra
1)
Hewan tersangka diperiksa darahnya, kemudian dikelompokkan sesuai dengan hasil
pemeriksaan, yaitu:
− Hewan
positif diobati.
− Hewan negatif
diambil darahnya untuk
pemeriksaan biologik.
2) Wajib
lapor apabila terdapat hewan yang mati atau sakit.
(3) Pengendalian
melalui vektor
Insektisida
sebagai bahan untuk pemberantasan terhadap vektor.
******
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1980.
Pedoman Pengendalian Penyakit
Hewan Menular, Direktorat
Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian.
Anonim
1996. Manuals of Standards for Diagnostics Test and Vaccines, OlE. Luckins AG
1996. “Trypanosoma evansi” in Asia. Parasitology Today 4(5) : 137-
142
Murray
M and Gray AR 1984. The Current Situation on Animal Trypanosomiasis in Africa.
Prev. Vet. Med. 2 : 23-30
Soulby
JEL 1982. Heltminths, Arthropods and Protozoa of Domestics Animal,
Baelliare-TindaI, London.
The Office
of International des
Epizooties 2010. OIE
Terrestrial Manual.
Trypanosoma evansi Infection (Surra). Chapter 2.1.17.http://www.oie.
int [2 Maret 2012]
Partoutomo S
1996. Trypanosomiasis caused
by Trypanosoma evansi “Surra” In Indonesia. [prosiding]
Seminar Teknik Diagnostik
untuk Trypanosoma evansi di Indonesia. 10 Januari 1996. Balitvet, Bogor
hal.1-9
******
***
Oleh Drh. Giyono Trisnadi, disadur dari Manual Penyakit Hewan Mamalia
Diterbitkan oleh Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl.
Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar