Q
fever adalah penyakit pada
berbagai jenis hewan dan manusia yang disebabkan oleh riketsia dengan gejala utama demam. Celakanya CDC memasukan Coxiella burnetii sebagai penyebab Q
fever dalam daftar B material bioterorisme. Nama lain penyakit
Query (Q) Fever adalah Demam Q atau Demam Meragukan.
******
Q
FEVER DAN DAMPAKNYA
Oleh:
Drh.
Agus Jaelani, M.Si
Medik
Veteriner Muda, Badan Karantina Pertanian
Jl.
Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta Selatan, Gedung E Lantai 3
ABSTRAK
Q
fever /Query Fever /Demam Query merupakan zoonosis yang menjadi perhatian dunia
internasional. Bahkan Center for Disease Control and Prevention memasukan
Coxiella burnetii sebagai penyebab Q fever dalam daftar B material yang dapat
digunakan untuk bioterorisme. Q fever memiliki multiplier effect yang tinggi
pada aspek ekonomi dan kesehatan. Beberapa studi yang dilakukan di Indonesia
menunjukan bahwa Q fever sudah ada di Indonesia. Keberadaan Q fever tidak dapat
dipisahkan dari kebijakan Indonesia dalam mengimpor hewan khususnya sapi dari
negara endemis Q fever khususnya Australia.
Kata
kunci : q fever, zoonosis, multiplier effect
******
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Q
fever merupakan salah satu zoonosis yang terus mendapat perhatian dunia
internasional. Saat ini Q fever menjadi masalah kesehatan masyarakat (public
health) dunia (Angelakis dan Raoult, 2010). Tingginya ancaman Q fever terhadap
kesehatan manusia dan hewan membuat pihak Eropa meminta European Commission
melakukan kajian risiko Q fever pada manusia dan hewan (ECDC, 2010; EFSA,
2010). Hal ini sebagai bentuk kewaspadaan pihak Uni Eropa terhadap dampak yang
dapat diakibatkan oleh Q fever.
Center
for Disease Control and Prevention (CDC) menggolongkan Q fever sebagai agen
potensial bioterorisme dalam daftar (list) B. Bukan tanpa alasan CDC
mengolongkan Q fever dalam list B, sifat agen penyakit yang dapat bertahan pada
berbagai kondisi lingkungan dan mudahnya penularan terhadap manusia menjadikan
Q fever dikategorikan sebagai agen potensial bioterorisme kelompok B (CDC,
2012). Kemampuan Q fever dalam menginfeksi manusia cukup tinggi. Hanya
dibutuhkan 1-10 sel agen penyakit Q fever untuk menyebabkan manusia sakit
(CFSPH, 2007). Beberapa studi menunjukan bahwa hewan khususnya ruminansia
menjadi peran utama dalam penularan Q fever pada manusia. Kedekatan manusia
dengan hewan menjadi critical point dalam penularan Q fever.
Saat
ini Indonesia mengimpor ruminansia khususnya sapi dari negara yang belum bebas
Q fever yaitu Australia. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, dan
Australia merupakan negara endemis Q fever. Australia merupakan negara dengan
prevalensi Q fever yang tinggi. Kasus pada manusia tiap tahunnya mencapai lebih
dari 300 kasus. Kebijakan pemerintah Australia yang tidak melakukan vaksinasi Q
fever pada hewan dan tidak mengkategorikan sebagai notifiable animal disease
membuat Q fever sulit dikontrol. Importasi ini tentu memiliki potensi besar
dalam penyebaran Q fever ke Indonesia.
Beberapa
studi yang telah dilakukan menunjukan bahwa Q fever sudah ada di Indonesia. Studi yang dilakukan
menggunakan pengujian serologis dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Melalui
kajian yang komprehensif akhirnya pemerintah menyatakan bahwa Q fever
digolongkan dalam Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang sudah ada di
Indonesia.
Tujuan
Tujuan
pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Memberikan
gambaran tentang Q fever.
2. Memberikan
gambaran tentang distribusi Q fever di Indonesia.
Manfaat
Manfaat
karya tulis ilmiah ini adalah sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi
petugas karantina tentang Q fever.
******
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Coxiella
burnetii
Coxiella
burnetii merupakan riketsia penyebab Q fever yang bersifat elative. C. burnetii
merupakan obligat intraseluler yang tidak dapat tumbuh pada medium axenic (Angelakis
dan Raoult, 2008). Agen ini dapat
bereplikasi dalam jumlah besar dalam vakuola parasitophorous pada sel inang
eukariotik dan mampu bereplikasi menjadi dua kali dalam waktu 20-45 jam. C.
burnetii memiliki bentuk pleomorfik, berukuran lebar 0.2-0.4 µm, panjang
0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora, mempunyai bentuk besar (large-cell
variant) dan bentuk kecil (small-cell variant) (Maurin dan Raoult, 1999).
Bentuk
besar dari C. burnetii merupakan bentuk elative yang menginfeksi monosit dan
makrofag. Sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga sebagai
bentuk yang infeksius. C. burnetii mengalami diferensiasi sporogenic untuk
menghasilkan resistensi, bentuk spora, dan bentuk sel kecil. Ini dikeluarkan
ketika sel lisis dan dapat bertahan untuk waktu yang lama dalam lingkungan.
C.
burnetii memiliki dua bentuk antigen yaitu antigen fase I dan antigen fase II.
Antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan elative elative terhadap
antigen fase I pada infeksi akut. Sedangkan pada infeksi kronis elative
terhadap antigen fase I lebih berperan penting. Kedua elative ini dapat
bertahan lama (berbulan-bulan) setelah infeksi (Field et al., 2002).
Antigen
fase I memiliki susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa
dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus
dan berperan dalam menentukan patogenitasnya. Sedangkan pada antigen fase II
tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa serta terlihat
lebih kasar (Fournier et al., 1998).
C.
burnetii tahan terhadap lingkungan panas, kering, beberapa konsentrasi
desinfektan, etanol dan formaldehid (CFSPH, 2007). Pada susu segar yang
disimpan pada suhu 4-6 Oc, C. burnetii dapat bertahan selama 42 bulan dan 40
bulan pada susu skim (CFSPH, 2007).
C.
burnetii merupakan agen yang sangat berbahaya bagi manusia. Hal ini disebabkan
oleh kemampuannya menyebabkan penyakit dalam kelompok besar manusia dengan
dosis kecil yang infektif. Sifat Coxiella burnetii yang dapat bertahan pada
berbagai kondisi lingkungan dan mudahnya penularan terhadap manusia menjadikan
Q fever dikategorikan sebagai agen potensial bioterorisme kelompok B (CDC,
2012).
Mekanisme
penularan
Q
fever merupakan zoonosis yang memiliki induk semang (host) sangat beragam. Hal
ini mendukung keberlangsungan (survival) agen ini dalam berbagai kondisi.
Mekanisme penularan Q fever secara garis besar dibagi dua yaitu siklus pada
hewan elative dan pada hewan liar dimana ektoparasit khususnya caplak memegang
peranan penting.
Gambar 1 Mekanisme penularan pada hewan liar (PAN American Health Organization, 2003).
Mekanisme penularan Q fever pada hewan liar, caplak merupakan elati yang memiliki peran penting dalam penularan. Caplak seperti Ixodidae spp. Dan Argasidae spp. Dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan elative. Induk semang dari larva dan nimfa caplak-caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, lagomorphs dan marsupial (Angelakis dan Raoult, 2010). Pada tubuh caplak, C. burnetii berada pada fase I yang sangat infeksius serta mempunyai daya tahan lingkungan yang panas dan kering (Maurin dan Raoult, 1999). Penularan Q fever dari hewan ke manusia melalui caplak secara langsung jarang terjadi.
Gambar
2 Mekanisme penularan melalui ternak (PAN American Health Organization, 2003).
Ada indikasi hewan elative terinfeksi melalui caplak yang terinfeksi tetapi infeksi pada hewan elative tidak tergantung elative ini. Rute umum infeksi pada hewan elative adalah melalui inhalasi aerosol dari material plasenta yang terkontaminasi, cairan amnion dan kotoran. Plasenta hewan terinfeksi dapat mengandung sebanyak-banyaknya 109 gram agen penyebab yang dapat disebarkan melalui bahan tidak bergerak. Karena kekuatan resistennya, agen dapat diisolasi dari tanah sepanjang 6 bulan setelah hewan terinfeksi meninggalkan area. Infeksi baru akan terjadi ketika hewan terinfeksi masuk ke peternakan yang bebas.
Infeksi
C. burnetii pada ternak ruminansia menyebabkan elative, frekuensi pernafasan
meningkat, abortus, retensio plasenta, plasentitis, endometritis, tidak elativ
dan beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati
(Arricau-Bouvery dan Rodolakis, 2005). Pada sapi perah kadang terihat
pneumonia, sedangkan pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van
den Brom dan Vellema, 2009).
Sumber
utama infeksi pada manusia adalah hewan elative dan produk kontaminasinya
(kulit dan wool). Di rumah potong hewan, aerosol dihasilkan oleh penanganan
fetus, plasenta, uterus, kulit dan wool. Mekanisme utama penularan adalah
melalui aerosol. Orang yang dekat dengan hewan terinfeksi atau produknya karena
pekerjaan atau tempat tinggalnya lebih berisiko tertular.
Q
fever merupakan zoonosis yang penularannya dapat melalui makanan (food-borne
disease) (Muramatsu et al., 2006). Beberapa penelitian menunjukan C. burnetii
dapat ditemukan dalam susu (Kim et al., 2005). Hirai et al. (2005) menemukan
DNA C. burnetti pada 131 sampel dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket
di Tokyo. Sedangkan Fretz et al. (2007) menemukan 17 sampel positif DNA C.
burnetii dari 359 sampel susu sapi di Swiss.
Gejala
klinis Q fever pada manusia umumnya menunjukkan gejala klinik yang tidak
spesifik. Pada wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami
keguguran pasa semester perrtama atau lahir elative (Arricau-Bouvery dan
Rodolakis, 2005).
Q
fever Pada Hewan
Ternak
merupakan reservoir utama dari Q fever. Selain ternak Q fever juga dapat
menginfeksi hewan kesayangan dan satwa liar. Beberapa jenis hewan yang dapat
terinfeksi C. burnetii diantaranya adalah sapi, kambing, domba, babi, unta,
anjing, kucing, kuda, ayam, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolakis,
2005).
C.
burnetii memiliki sifat resistensi yang tinggi di lingkungan. Dalam waktu lama
melalui aerosol dapat infektif selama dua minggu dan mengkontaminasi tanah
selama lima bulan (Welsh et al., 1958), dapat bertahan selama 30 hari pada
sputum kering, dan bertahan dalam debu selama 120 hari (CFSPH, 2007). C.
burnetii dapat bertahan bulanan sampai tahunan di lingkungan dan dapat
ditemukan di tanah sampai 150 hari (Marrie, 1990). Kontaminasi C. burnetii di
lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan terutama melalui cairan
kelahiran, plasenta, feses dan urin. Selain cairan kelahiran, feses juga
memiliki peran penting dalam penyebaran Q fever. Kandungan C. burnetii dalam
feses cukup besar, Sinclair et al. (2008) menyatakan bahwa feses dari hewan
terinfeksi mengandung C. burnetii berkisar antara 103-104 per gram feses. Pada
beberapa kejadian wabah Q fever disebabkan adanya pendedahan (exposure) manure
dari hewan terinfeksi.
Pada
umumnya hewan terinfeksi secara aerosol dari material terkontaminasi C.
burnetii. Hewan terinfeksi melalui gigitan ektoparasit (caplak) dan inhalasi
partikel terinfeksi. Pada umumnya hewan terinfeksi secara inhalasi dari
lingkungan yang terkontaminasi Q fever (Woldehiwet, 2004). Hewan yang
terinfeksi tidak menunjukan gejala klinis, bahkan lebih sering tidak ada gejala
yang muncul. Pada fase akut C. burnetii dapat ditemukan di dalam darah,
paru-paru, hati dan limpa hewan yang terinfeksi, sedangkan infeksi kronis tidak
menunjukan gejala (Maurin dan Raoult, 1999). Penyakit umumnya berkanjut secara
kronis dan secara terus menerus hewan akan mengekskresikan C. burnetii dalam
feses dan urin.
Q
fever Pada Manusia
Q
fever merupakan zoonosis yang terus menjadi perhatian dunia. Q fever dianggap
sebagai masalah bagi kesehatan masyarakat (public health). Australia merupakan
negara yang memiliki tingkat laporan kasus Q fever tertinggi di dunia dengan
tingkat dua kali lebih tinggi elative Perancis, tiga kali lebih tinggi elative
Uni Eropa, dan enam kali lebih tinggi dari pada United Kingdom (GIDEON, 2008).
Infeksi
C. burnetii pada manusia umumnya asymptomatic, khususnya pada kelompok berisiko
tinggi seperti dokter hewan dan petugas RPH, petugas kandang dan petugas
laboratorium. Gejala akut dari Q fever diantaranya adalah flu (flu like
syndrome), demam, sakit kepala, muntah, diare dan penurunan berat badan. Jika
penyakit ini tidak diobat dalam waktu dua minggu maka dapat berlanjut menjadi
pneumonia dan hepatitis.
Pneumonia
merupakan gejala klinis yang muncul dari infeksi akut Q fever. Selain
pneumonia, infeksi akut Q fever juga dapat menyebabkan hepatitis. Pada infeksi
kronis Q fever umunya terjadi gangguan pada jantung seperti elatives. Pada
manusia infeksi Q fever secara kronis jarang terjadi tetapi menghasilkan
kematian yang lebih tinggi elative infeksi akut. Fatality pada Q fever akut
jarang terjadi dengan tingkat kematian kurang dari 1%. Inkubasi dapat terjadi
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan tingkat keparahan infeksi
bervariasi.
Diagnosa
Diagnosa
Q fever pada hewan secara klinis sangat sulit dilakukan karena gejala klinis
yang muncul bersifat subklinis dan sangat umum. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan elative Q fever. Ada beberapa metode serodiagnosa
yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever yaitu elative tube
agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA)
(Setiyono et al., 2005). Salah satu metode serodiagnosa yang banyak digunakan
dalam pemeriksaan Q fever adalah IFA.
IFA
merupakan metode yang direkomendasikan oleh banyak negara dan peneliti
(Setiyono et al., 2005). Hal ini mengingat IFA memiliki beberapa keunggulan
yaitu cepat, elative, elative murah, serta tidak ditemukan adanya reaksi
kontaminasi silang dengan infeksi penyakit lain dan dapat digunakan untuk
jumlah sampel yang banyak (Setiyono et al., 2005).
Hasil
studi yang dilakukan Field et al. (2000) dengan membandingkan dua uji serologis
untuk mendiagnosa Q fever dengan metode ELISA dan IFA dihasilkan sensitivitas
IFA sebesar 99% dengan spesifisitas 98%. Sedangkan ELISA memiliki sensitivitas
sebesar 95% dan spesifisitas 88%.
******
BAB
III
MATERI
DAN METODE
Materi
dan Metode
Tulisan
tentang Q fever disusun berdasarkan studi elative. elative elative yang
dijadikan referensi tulisan berasal dari buku, hasil studi/penelitian, jurnal
ilmiah, dan artikel-artikel.
Waktu
dan Tempat
Pembuatan
karya tulis ilmiah ini dilaksanakan di Jakarta dan Bogor pada bulan Januari
sampai Maret 2015.
******
BAB
IV
PEMBAHASAN
Perkembangan
Q Fever di Dunia
Kejadian
Q fever pertama kali terjadi di Australia pada tahun1935. Kasus pertama berupa
wabah yang menyerang para pekerja rumah pemotongan hewan di Brisbane,
Australia. Saat ini Q fever tersebar diseluruh dunia kecuali New Zealand. Dari
tahun 1999 sampai 2004 dilaporkan 18 kejadian wabah dari 12 negara yang berbeda
yang melibatkan dua sampai 289 orang. Enam wabah melibatkan domba; tiga
melibatkan kambing; satu hasil dari exposure kotoran kambing; satu dari
exposure kotoran domba; satu melibatkan exposure hewan liar; satu melibatkan
exposure kucing dan anjing; dan dua wabah dari sumber yang tidak diketahui (Arricau-Bouvery dan Rodolakis, 2005).
Studi
epidemiologi Q fever di hewan dalam sepuluh tahun terakhir menunjukan
seroprevalensi pada populasi sapi diantaranya sebesar 24% di Newfoundland
(Hatchette et al., 2002), 14.3% di Republik Afrika Tengah (Nakoune et al.,
2004), 25.6% di Korea (Kim et al., 2006), 24% di Siprus (Psaroulaki et al.,
2006), 87.9% di Albania (Cekani et al.,
2008), 10.75% di Iran (Khalili dan Sakhee, 2009), dan 6.2% di Northern Ireland
(McCaughey, 2010).
Sebagian
besar Negara-negara di Eropa telah tertular Q fever. Bahkan saat ini sebagai
bentuk keprihatinan Eropa terhadap risiko pemaparan Q fever maka pihak Eropa
telah meminta saran kepada para pakar dari European Commission dan meminta
mereka untuk menilai risiko (risk assessment) pada manusia dan hewan (ECDC,
2010; EFSA, 2010). Salah satu Negara Eropa yang memilik kasus Q fever cukup
banyak adalah Belanda. Pada tahun 2007, sebanyak 182 kasus manusia telah
dikonfirmasi. Kemudian kejadian terluang pada tahun 2008 dan sebanyak 1000
kasus manusia telah dilaporkan. Kasus Q fever manusia pada tahun 2008 di
Belanda menjadi kasus dengan jumlah manusia terinfeksi terbesar di dunia (Van
dan Vellema, 2009). Pada tahun 2005, Q fever untuk pertama kalinya didiagnosa
sebagai penyebab aborsi pada dua peternakan kambing perah. Pada tahun 2006,
2007, dan 2008, enam, tujuh dan tujuh kasus baru pada peternakan kambing perah
telah dikonfirmasi. Selain Belanda, Negara Eropa lain yang memiliki kasus Q
fever cukup banyak adalah Perancis.
Gambar
3 Distribusi Q fever di dunia (OIE, 2015).
Di
Asia salah satu Negara dengan kasus Q fever cukup banyak adalah Jepang. C.
burnetii tersebar luas diantara populasi sapi di Jepang (4.4 juta ekor). Sapi
memegang peranan penting dalam menjaga infeksi dan keberlangsungan organisme
dalam lingkungan (Beaudeau et al., 2006; Guatteo et al., 2006; Rodolakis et
al., 2007). Selain sapi, kasus Q fever di Jepang juga menginfeksi kambing,
domba, kucing dan anjing. Kasus Q fever di Jepang menjadi penyebab penting pada
pneumonia atypical (To et al., 1996), kasus hepatitis juga telah dilaporkan dan
dapat berpotensi fatal (Kuroiwa et al., 2007). C. burnetii dispesifikasikan
sebagai salah satu organisme spesifik penyebab pneumonia atypical dalam
Japanese Respiratory Society Guideline untuk manajemen masyarakat penderita
pneumonia (Okimoto et al., 2004; Watanabe dan Takahashi, 2008).
Q
Fever di Australia
Kejadian
Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1934 yang terjadi di
rumah potong hewan di Brisbane, Queensland, Australia. Kasus pertama menyerang
petugas rumah pemotongan hewan. Setelah kejadian tersebut Q fever menyebar ke
wilayah lain di Australia.
Setelah
kasus yang terjadi pada petugas rumah pemotongan hewan di Brisbane maka wabah Q
fever yang lain di Australia selalu dihubungkan dengan petugas rumah pemotongan
hewan (Derrick, 1973). Kasus Q fever yang terjadi selama periode 20 tahun
terakhir di Southern Australia sebanyak 92% dari 111 kasus diantaranya adalah
petugas rumah pemotongan hewan (Spelman, 1982). Di North Queensland, studi
kasus Q fever selama 1994-2006 menemukan 22% pasien Q fever akut dan 33% kronis
dilaporkan terdedah sapi (Gale et al., 2007). Tren ini meluas secara
internasional dimana pekerja industri pengolahan daging dihubungkan dengan
peningkatan risiko infeksi Q fever (Maurin dan Raoult, 1999).
Terkait
dengan penularan Q fever ke manusia di Australia, Cooper et al. (2011)
menyatakan bahwa hewan domestik seperti sapi, domba dan kambing merupakan
sumber utama penularan Q fever. Selain hewan domestik, kanguru (Banazis et al.,
2010) dan bandicoots (Derrick et al,. 1940)
telah diidentifikasi sebagai reservoar potensial Q fever di Australia.
Prevalensi Q fever pada hewan di Australia sulit diperoleh. Hal ini dapat
disebabkan Q fever pada hewan di Australia bukan merupakan penyakit yang wajib
dilaporkan (not notifiable disease). Salah satu studi pada tahun 2011 dilakukan
oleh Cooper et al. (2011) pada sapi potong di Queensland yang menghasilkan
seroprevalensi sebesar 16.8%.
Kejadian
infeksi Coxiella burnetii pada sapi potong memiliki implikasi terhadap
kesehatan masyarakat pada pekerja yang ter-exposure khususnya produsen dan
dokter hewan dan dekatnya tempat sapi potong dengan wilayah pemukiman di
Queensland (Cooper et al., 2011). Dalam melakukan pengendalian Q fever
pemerintah Australia melakukan kebijakan vaksinasi pada manusia berisiko tinggi
(population at risk) seperti dokter hewan, peternak, petugas rumah pemotongan
hewan, dan petugas industri pengolahan daging. Kebijakan vaksinasi ini hanya
dilakukan pada manusia tidak pada hewan.
Pada
tahun 2000 pemerintah Federal Australia menyediakan $10 juta untuk vaksinasi Q
fever pada manusia (DHA, 2000). Sekitar 100 000 pekerja pada industri daging
dan peternakan khususnya yang berbasis di regional dan desa di Australia.
Pemerintah Australia menyatakan bahwa untuk penanganan kesehatan terhadap
pasien yang terinfeksi Q fever mencapai $50 000 setiap pasien. Pada tahun yang
sama pemerintah Australia juga mengadakan pendanaan untuk program manajemen Q
fever nasional (National Q fever Management Program). Program yang ditujukan
untuk pengendalian Q fever pada manusia diimplementasikan di Queensland, South
Australia, Victoria, dan Western Australia pada tahun 2001, dan di tahun 2002
di ibu kota wilayah Australia (ACT), New South Wales (NSW) dan Tasmania.
Program yang dijalankan termasuk pembiayaan untuk screening dan vaksinasi
(Gidding et al., 2009).
Australia
merupakan negara tertular Q fever (OIE, 2011) dengan kasus cukup tinggi pada
manusia setiap tahunnya. Pemerintah Australia melakukan kebijakan vaksinasi
terhadap manusia yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi seperti peternak,
dokter hewan, dan petugas rumah pemotongan hewan. Sementara terhadap
hewan/ternak pemerintah Australia tidak melakukan vaksinasi.
Penyakit
Q fever pada hewan di Australia bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan
(not notifiable disease). Hal ini menyulitkan untuk mendapatkan data prevalensi
Q fever yang sebenarnya pada ternak di Australia. Salah satu data penelitian
yang dilakukan di Queensland yang merupakan salah satu wilayah dengan populasi
sapi terbesar di Australia menunjukan tingkat prevalensi (seroprevalensi) pada
sapi potong mencapai 16.8% (Cooper et al., 2011). Tetapi kondisi ini tidak
dapat menggambarkan tingkat prevalensi yang sebenarnya di Australia. Kasus Q
fever pada manusia di Australia cukup tinggi.
Australia
merupakan negara yang memiliki tingkat laporan kasus Q fever tertinggi di dunia
dengan tingkat dua kali lebih tinggi dibanding Perancis, tiga kali lebih tinggi
dibanding Uni Eropa, dan enam kali lebih tinggi dari pada United Kingdom
(GIDEON, 2008). Pada tahun 2009 sebanyak 310 kasus dan pada tahun 2010 sebesar
305 kasus (AHA, 2011). Tingginya kasus manusia dapat menjadi indikator adanya
infeksi C. burnetii pada hewan khususnya sapi yang menjadi penyebab utama
penularan Q fever dari hewan ke manusia di Australia.
Kebijakan
Australia yang hanya fokus pada penanganan Q fever pada manusia menjadikan
risiko infeksi Q fever pada sapi sangat besar. Tidak adanya treatment dan upaya
pengendalian Q fever pada ternak dapat meningkatkan peluang importasi sapi terinfeksi
Q fever semakin besar. Disisi lain pada masa karantina di Australia sapi-sapi
yang akan diekspor ke Indonesia juga tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan ada tidaknya infeksi Q fever. Dengan tidak adanya penanganan
yang tepat sebelum sapi diekspor ke Indonesia maka sapi-sapi yang berasal dari
Australia berisiko terhadap Q fever.
Q
Fever di Indonesia
Melalui
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026 tahun 2013 tentang Penetapan Jenis
Penyakit Hewan Menular Strategis, pemerintah telah menetapkan Q fever sebagai
salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis yang sudah ada di Indonesia. Q
fever ditetapkan sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis bersama 24
penyakit lainnya.
Pertama
kali studi yang menunjukkan Q fever dilakukan oleh Kaplan dan Bertagna (1955)
yang mana ditemukan antibodi pada 188 serum sapi dengan menggunakan capillary
agglutination test (CAT). Studi yang dilakukan oleh Mahatmi (2006) menggunakan
nested polymerase chain reaction pada sapi bali dan brahman cross diperoleh
sebesar 6.1% positif DNA Q fever. Selanjutnya Setiyono et al. (2008) melakukan
penelitian dan menghasilkan seroprevalensi Q fever pada domba (31.9%) dan
kambing (20.3%) di Jawa Barat.
Infeksi
Q fever pada manusia juga telah ditemukan dan dihasilkan data penelitian yang
menunjukkan infeksi Q fever pada penderita pneumonia yang pernah tinggal di
Indonesia. Sebanyak 2.1% seropositif Rickettsia ditemukan pada penduduk di
Kepulauan Gag Irian Jaya dengan metode ELISA (Richards et al., 2003).
Hasil
studi yang dilakukan oleh Jaelani (2012) menunjukan bahwa peluang masuknya Q
fever melalui importasi sapi potong dari Australia yang masuk melalui pelabuhan
Tanjung Priok dinilai tinggi. Pada tahun yang sama Kusumawati (2012) melakukan
penelitian pada sapi perah ex-impor asal Australia dan diperoleh 50% positif
dengan menggunakan ELISA.
Keberadaan
Q fever di Indonesia sangat kuat hubungannya dengan importasi sapi dari
Australia. Huebner dan Bell (1951) menyatakan ketika sapi diimpor dari daerah
endemis maka sebanyak 40% sapi yang awalnya tidak terinfeksi menjadi terinfeksi
dalam kurun waktu 6 bulan. Keberadaan Q fever di Indonesia bisa jadi disebabkan
importasi sapi dari Australia yang selama ini dilakukan.
Sebelum
ditetapkannya Q fever sebagai Penyakit Hewan Menular Strategis, kebijakan
importasi sapi Indonesia yang tertuang dalam health requirements hanya
mempersyaratkan sapi berasal dari daerah bebas wabah Q fever dan sapi tidak
menunjukan gejala klinis. Kedua persyaratan ini tidak dapat mencegah masuknya
hewan terinfeksi. Hal ini disebabkan sifat penyakit Q fever yang sub klinis
sehingga tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik. Tidak adanya
pemeriksaan laboratorium sebelum sapi diberangkatkan dari Australia tidak dapat
memastikan sapi bebas dari C. burnetii.
Kebijakan
perkarantinaan juga belum mendukung dalam pencegahan masuknya Q fever ke
Indonesia melalui importasi sapi dari Australia. Saat ini tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan selama masa karantina terhadap sapi impor dari Australia.
Tidak adanya kebijakan penanganan Q fever memperbesar peluang masuk dan
menyebarnya Q fever di Indonesia. Untuk itu diperlukan kebijakan penanganan Q
fever terhadap importasi sapi dari Australia. Jika tidak ada kebijakan yang
tepat maka akan banyak sapi-sapi di Indonesia yang terinfeksi Q fever.
Dampak
Q Fever
Q
fever memiliki multiplier effect yang cukup tinggi. Konsekuensi yang cukup
terlihat adalah dampak terhadap kesehatan manusia dan ekonomi. Mudahnya
penularan Q fever dari hewan ke manusia menyebabkan kerugian besar pada aspek
kesehatan masyarakat. Negara-negara di Uni Eropa sangat mewaspadai terjadinya
penularan penyakit ini. Dengan gejala asimptomatik maka biasanya penderita
tidak menyadari telah terinfeksi Q fever. Penyakit Q fever seringkali bersifat
menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi
hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang sering
terjadi adalah peradangan jantung (endocarditis) yang berakibat fatal. Q fever
berbahaya dan mudah menular (contagious) baik pada hewan maupun manusia. Bahkan
Australia yang merupakan negara dengan sistem pengendalian Q fever yang memadai
pada manusia tetap memiliki kasus cukup besar tiap tahunnya. Setiap tahunnya
sebanyak lebih dari 300 kasus Q fever pada manusia terjadi di Australia.
Sedangkan
pada hewan, gejala yang muncul berupa gejala sub klinis sehingga menyulitkan
untuk mendiagnosa terjadinya infeksi Q fever pada hewan. Untuk memastikan
ternak terinfeksi Q fever diperlukan uji laboratorium tidak cukup hanya dengan
pemeriksaan fisik.
Dampak
ekonomi berupa konsekuensi ekonomi untuk biaya penanganan penyakit pada hewan
(pengobatan, pengendalian, surveilan, eradikasi) dan biaya penanganan kesehatan
manusia. Biaya ekonomi dalam penanganan Q fever pada hewan dan manusia cukup
besar. Belanda mengeluarkan dana sebesar € 336 juta ketika menangani wabah Q
fever yang terjadi di peternakan kambing dan domba serta manusia pada tahun
2011. Biaya penanganan pada manusia akibat Q fever juga tinggi. Hal ini
terutama biaya yang dikeluarkan dalam program vaksinasi. Australia mengeluarkan
biaya sebesar A$ 1 juta setiap tahunnya untuk menangani Q fever (Garner et al.,
1997). Pada tahun 2000 pemerintah Federal Australia menyediakan A$10 juta untuk
vaksinasi Q fever pada manusia (DHA, 2000). Pemerintah Australia menyatakan
bahwa untuk penanganan kesehatan terhadap pasien yang terinfeksi Q fever
mencapai A$ 50 000 setiap pasien.
Konsekuensi
lanjutan yang sangat mungkin terjadi adalah koneskuensi psikologis terhadap
ancaman penularan Q fever. Jika suatu negara kasus Q fever baik pada hewan atau
manusianya sangat tinggi tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap
psikologis masyarakat setempat dan tentunya sektor pariwisata. Ancaman
penularan Q fever yang tinggi akan mempengaruhi pilihan turis terhadap negara
yang akan dikunjungi.
Q
fever terbukti menyebabkan multiplier effect yang tidak dapat dianggap kecil.
Konsekuensi ekonomi yang tinggi akibat penanganan wabah Q fever dan embargo
perdagangan internasional serta dampak terhadap kesehatan manusia yang tidak
dapat diukur secara ekonomi dengan pasti dan dampak psikologis yang diakibatkan
cukup menggambarkan tingginya ancaman Q fever.
Kebijakan
Importasi
Saat
ini Indonesia masih mengimpor sapi dari negara tertular Q fever khususnya
Australia. Melihat perkembangan yang ada maka perlu dicermati kebijakan
importasi kita selama ini. Terutama jika kita kaitkan dengan ancaman Q fever
yang sampai saat ini masih endemis di Australia. Kebijakan Australia yang tidak
melakukan vaksinasi pada ternak sapi yang akan diekspor jelas meningkatkan
risiko penyebaran Q fever ke Indonesia. Walaupun beberapa penelitian telah
menunjukan adanya Q fever di Indonesia secara serologis tetapi sampai saat ini
belum pernah diisolasi agennya dan tidak diketahui secara pasti prevalensi Q
fever sebenarnya, apalagi saat ini pemerintah telah menyatakan bahwa Q fever
sebagai Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang artinya perlu ada
penanganan terhadap penyakit tersebut.
Hasil
studi yang dilakukan oleh Jaelani (2012) menunjukan bahwa importasi sapi potong
dari Australia memiliki risiko yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan beberapa
hal diantaranya tidak adanya penanganan Q fever pada hewan (ternak) di
Australia dan juga belum adanya kebijakan penanganan Q fever di Indonesia.
Studi
lain yang dilakukan oleh Kusumawati (2012) ditemukan sebesar 50% seropositif Q
fever pada sapi perah yang masuk melalui Bandara Soekarno Hatta dengan
menggunakan ELISA. Dengan kebijakan pemerintah Australia yang tidak melakukan
vaksinasi maka besar kemungkinan sapi perah impor yang masuk benar-benar
terinfeksi Q fever.
Melihat
kondisi yang ada maka perlunya perbaikan dalam kebijakan importasi sapi dari
negara-negara tertular Q fever. Perlunya perbaikan dalam health requirements
pemerintah Indonesia terhadap importasi sapi. Health requirement yang ada harus
dapat memastikan kecilnya potensi agen penyakit Q fever masuk ke Indonesia.
Beberapa
poin penting yang dapat dimasukan dalam health requirement diantaranya adalah
kewajiban vaksinasi Q fever bagi negara tertular Q fever yang akan mengekspor sapi/ruminansia ke
Indonesia, harus dapat dibuktikan secara laboratorium dari negara asal bahwa
ruminansia yang diekspor ke Indonesia bebas Coxiella burnetii, dan di negara
asal sebelum sapi/ruminansia dikapalkan maka harus dilakukan treatment untuk
memastikan bebas dari vektor Q fever khususnya caplak.
Selanjutnya
yang tidak kalah penting adalah perbaikan dalam kebijakan perkarantinaan. Saat
ini Q fever tidak masuk dalam daftar penyakit hewan karantina (HPHK)
berdasarkan Kepmentan No. 3238 tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama
Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa. Sehingga
tidak ada penanganan Q fever selama masa karantina sapi impor. Untuk itu
perlunya memasukan Q fever sebagai dalah satu penyakit hewan karantina (HPHK).
Agar kedepan kebijakan penanganan Q fever terhadap sapi-sapi impor menjadi
bagian dari kebijakan perkarantinaan.
Dalam
konteks perbaikan kebijakan perkarantinaan, hal yang tidak kalah penting adalah
penyediaan instalasi karantina hewan di dalam pelabuhan. Keberadaan instalasi
karantina hewan di dalam pelabuhan sangat penting dan mendesak dalam rangka
meminimalkan potensi penyebaran agen penyakit ke wilayah Indonesia. Komoditi
impor yang keluar dari pelabuhan harus dibebaskan terlebih dahulu dari potensi
adanya agen penyakit.
Jika
instalasi karantina hewan sebagai tempat untuk melakukan pengamatan, perlakuan
dan pengujian terhadap potensi penyakit yang dibawa oleh komoditi impor berada
di luar pelabuhan maka akan sangat berisiko terhadap penularan penyakit di
wilayah Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan agen Q fever yang cukup sulit
dideteksi. Gejala klinis yang sub klinis dan potensi vektor yang ada menyebabkan
sulitnya memastikan ruminansia impor bebas dari agen penyakit Q fever atau
vektornya.
******
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
1. Q
fever merupakan zoonosis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. Q
fever menyebabkan multiplier effect yang sangat besar.
3. Indonesia
perlu mengantisipasi ancaman Q fever.
4. Perlu
perbaikan kebijakan importasi ruminansia khususnya dikaitkan dengan Q fever.
Saran
1. Perlu
perbaikan dalam health requirement dikaitkan dengan Q fever.
2. Perlu
dimasukan Q fever dalam daftar Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) sebagai
landasan hukum bagi petugas karantina dalam melakukan tindakan karantina
terhadap importasi ruminansia.
3. Perlu
dibuat Instalasi Karantina Hewan (IKH) di pelabuhan masuk.
******
BAB
V
DAFTAR
PUSTAKA
Agroindonesia.
2011. Swasembada Daging. Vol. VI No. 339, 1-7 Maret 2011. Jakarta:
Agroindonesia.
Animal
Health Australia [AHA]. 2011. Animal Health in Australia 2010. Canberra: Animal
Health Australia.
Angelakis
E, Raoult D. 2008. Review Q fever. Vet Microbiol 140:297–309.
Angelakis
E, Raoult D. 2010. Q fever. Vet Microbiol 140:297-309.
Arricau-Bauvery
N, Rodolakis A. 2005. Is a Q fever an emerging or re-emerging zoonosis?. Vet
Res 36:327-349.
APFINDO
(Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia). 2012. Menuju Swasembada Daging Tahun
2014. Makalah disampaikan pada pertemuan Koordinasi Komisi Bibit dan Pakar,
DIrektorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian republic Indonesia.
Bandung: 8-10 Juni 2010.
Banazis
MJ et al. 2010. A survey of Western Australian sheep, cattle and kangaroos to
determine the seroprevalence of Coxiella burnetii. Vet Microbiol 143:337–345.
Beaudeau
F, Guatteo R, Seegers H. 2006. Voies d’excre´ tion de Coxiella burnetii par la
vache laitie` re: implication pour le de´ pistage et la maıˆtrise de
l’infection en e´ levage. Epide´ miol Et sante´ anim 49:1–4.
CDC (Centre
for Disease Prevention and Control), 2012b. Bioterrorism agents/disease by
category. http://emergency.cdc.gov/agent/agentlist-category.asp. [19 April
2012].
Cekani
M et al. 2008. Report of a serological study of Coxiella burnetii in domestic
animals in Albania. Vet J 175:276–278.
CFSPH
(Center for Food Security and Public Health), 2007. Q fever. Ames Iowa USA:
Iowa State University College of Veterinary Medicine. Last update hlm 1-6.
www.cfsph.iastate.edu/.
Cooper
A, Hedlefs R, McGowan M, Ketheesana N, Govana B. 2011. Serological evidence of
Coxiella burnetii infection in beef cattle in Queensland. Aust Vet J
89:260-264.
Derrick
EH, Smith DJW. 1940. Studies in the epidemiology of Q fever, the isolation of
three strains of Rickettsia burnetii from the bandicoot Isoodon torosus. Aust J
Exp Biol Med Sci 18:99–102.
Derrick
EH. 1973. The course of infection with Coxiella burnetii. Med J Aust 1:1051–1057.
[DHA]
Department of Health and Ageing. 2000. Federal government provides $10 million
for free Q Fever vaccinations.
http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/health-mediarel-yr2000-mw-mw20095.htm.
[20 April 2012].
ECDC
(European Centre for Disease Prevention and Control), 2010. Panel with
Representatives from the Netherlands, France, Germany, United Kingdom, United
States of America. Risk assessment on Q fever. ECDC Technical Report, 40 pp.
doi:10.2900/28860. Available online: www.ecdc.europa.eu
EFSA
(European Food Safety Authority), 2010. Panel on animal health and welfare
(AHAW); scientific opinion on Q fever. EFSA Journal 8: 114 pp.
doi:10.2903/j.efsa.2010.1595. Available online: www.efsa.europa.eu
Field
PR et al. 2000. Comparison of a Commercial Enzyme Linked Immunosorbent Assay
with Immunofluorescence and Complement Fixation Test for Detection of Coxiella
burnetii (Q fever) Immunoglobulin M. J Clin Microbiol 38(4):1645-1647.
Field
PR, Santiago A, Chan SW. 2002. Evaluation of a novel commercial immunoglobulin
G for Q fever prevaccination screening and diagnosis. J Clin Microbiol
40:3526-3529.
Fournier
PE, Marrie TJ, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever. J Clin Microbiol
36:1823-1834.
Fretz
R, Schaeren W, Tanner M, Baumgartner A. 2007. Screening of various foodstuffs
for occurence of Coxiella burnetii in Switzerland. Int J Food Microbiol
116:414-418.
Gale
M et al. 2007. Q fever cases at a North Queensland centre during 1994–2006. Int
Med J 37:644–646.
Garner
MG, Longbottom HM, Cannon RM, Plant AJ. 1997. A review of Q fever in Australia
1991-1994. Aust NZJ Public Hlth 21:772-30.
Gidding
HF, Wallace C, Lawrence GL, McIntyre PB. 2009. Australia’s national Q fever
vaccination program. Vaccine 27:2037-2041.
GIDEON
(Global Infectious Diseases and Epidemiology Network), 2008. GIDEON
Informatics. http://www.gideononline.com/ [last accessed October 22, 2008].
Guatteo
R et al. 2006. Shedding routes of Coxiella burnetii in dairy cows: implications
for detection and control. Vet Res 37:827–833.
Hatchette
T et al. 2002. Seroprevalence of Coxiella burnetii in selected populations of
domestic ruminants in Newfoundland. Can Vet J 43:363–364.
Hirai
A et al. 2005. Investigation of Coxiella burnetii contamination in commercial
milk and PCR method for the detection of Coxiella burnetii in egg. Shokukin
Eiseigaku Zasshi 46:86-92.
Huebner
RJ, Bell JA. 1951. Q fever studies in Southern California. Summary of current
results and a discussion of possible control measures. J Am Med Assoc
145:301–305.
Jaelani
A. 2012. Penilaian RIsiko Kualitatif Masuknya Q Fever Melalui Pemasukan Sapi
Potong Dari Australia Melalui Pelabuhan Tanjung Priok [tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kaplan
MM, Bertagna P. 1955. The geographical distribution of Q fever. Bull WHO
13:829-860.
Khalili
M, Sakhee E. 2009. An update on a serologic survey of Q fever in domestic
animals in Iran. Am J Trop Med Hyg 80:1031–1032.
Kim
SG, Kim EH, Lafferty CJ, Dubovi E. 2005. Coxiella burnetii in bulk tank milk
samples in United States. Emerg Infect Dis 11:619-621.
KimWJ
et al. 2006. Seroprevalence of Coxiella burnetii infection in dairy cattle and
non-symptomatic people for routine health screening in Korea. J Korean Med Sci
21:823–826.
Kuroiwa
Y et al. 2007. Persistent hepatitis and repeated wheezing in an infant Q fever.
Pediatr Infect Dis J 26:763–769.
Kusumawati
E. 2012. Studi Q Fever Pada Sapi Perah Impor Dari Australia Melalui Bandar
Udara Soekarno-Hatta [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Mahatmi
H. 2006. Studi Q fever pada ruminansia di wilayah Bogor dan Provinsi Bali
menggunakan metode nested-polymerase chain reaction dan uji indirect
immunofluorescent antibody [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Marrie
TJ. 1990. Q fever Volume I The disease. Boca Raton: CRC Press.
Maurin
M, Raoult D. 1999. Q fever. Clin Microbiol Rev 12:518-553.
Mccaughey
C et al. 2010. Coxiella burnetii (Q fever) seroprevalence in cattle. Epidemiol
Infect 138:21–27.
Muramatsu
Y et al. 2006. Seroepidemiologic survey of Coxiella burnetii and attempt to
detect Coxiella DNA in aged non-laying chickens in a prefecture of Japan where
poultry farming prospers. J Vet Med Sci 68:1007-1008.
Nakoune
E et al. 2004. Serological surveillance of brucellosis and Q fever in cattle in
the Central African Republic. Acta Tropica 92:147–151.
OIE (Office
International des Epizooties), 2011. Terrestrial Animal Health Code Chapter
2.1. Import Risk Analysis. http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.2.1.htm.
[1 Desember 2011].
OIE (Office
International des Epizooties), 2015. Map Distribution: Q fever.
http://www.oie.int/wahis_2/public/wahid.php/Diseaseinformation/Diseasedistributionmap?.
[4 Pebruari 2015].
Okimoto
N et al. 2004. Clinical features of Q fever pneumonia. Respirology 9: 278–282.
PAN
American Health Organization. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases Common
to
Man
and Animals Thrid Edition Volume 1 Bacterioses and Mycoses. Washington : PAN
American Health Organization. hlm 233-246.
Porter
SR, Czaplicki G, Mainil J, Guatt’eo R, Saegerman C. 2011. Review article Q
fever : current state of knowledge and perspectives of research of a neglected
zoonosis. Int J Microbiol 2011:1-22
Psaroulaki
A et al. 2006. Epidemiological study of Q fever in humans, ruminant animals,
and ticks in Cyprus using a geographical information system. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis 25:576–586.
Richards
A et al. 2003. Serologic evidence of infection with erlichia and spotted fever
group Rickettsiae among residents of Gag Island Indonesia. Am J Trop Med Hyg
68:480-484.
Rodolakis
A et al. 2007. Comparison of Coxiella burnetii shedding in milk of dairy
bovine, caprine, and ovine herds. J Dairy Sci 90:5352–5360.
Setiyono
A, AM Ogawa, YC Ai, S Shiga, TK Ishimoto, IK Urane.2005. New cruteria of
immunofluorescence assay for Q fever diagnosis in Japan. J. Clin. Microbiol.
43:5555-5559.
Setiyono
A, Handharyani E, Mahatmi H. 2008. Seroprevalensi Q fever pada Domba dan
Kambing di Wilayah Jawa Barat. JITV 13(1):61-66.
Sinclair
RG, Christopher Y, Choi CY, Riley MR, Gerba CP. 2008. Pathogen surveillance
through monitoring of sewer systems. Adv Appl Microbiol 65: 249-269.
Spelman
DW. 1982. Q fever: a study of 111 consecutive cases. Med J Aust 1:547–553.
To H
et al. 1996. Q fever pneumonia in children in Japan. J Clin Microbiol 34:
647–651.
Van
den Brom R, Vellema P. 2009. Q fever Outbreaks in Small Ruminant and People in
the Netherlands. Small Ruminant Res 86:74-79.
Watanabe
A, Takahashi H. 2008. Diagnosis and treatment of Q fever: attempts to clarify
current problems in Japan. J Infect Chemother 14:1–7.
Welsh
HH, Lennette EH, Abinanti FR, Winn JF. 1958. Airborne transmission of Q fever:
the role of parturition in the generation of infective aerosols. Ann NY Ac Sci
70:528–540.
Woldehiwet
Z. 2004. Q fever (coxiellosis): epidemiology and pathogenesis. Res Vet Sci
77:93–100.
******