Naskah Ilmiah adalah
salah satu bentuk Karya Tulis Ilmiah yang merupakan hasil pokok pikiran,
pengembangan dan hasil kajian /penelitian yang disusun oleh perorangan atau
kelompok, pada suatu pokok bahasan
ilmiah dengan menuangkannya dalam tulisan.
Karya Tulis
Ilmiah sangat diperlukan, selain sebagai suatu pengembangan ilmu maupun
profesi, Karya Tulis ilmiah dalam beberapa hal merupakan persyaratan kelulusan
dalam suatu pendidikan atau bisa juga merupakan persyaratan kenaikan untuk
jabatan tertentu di suatu institusi dalam suatu Kementerian.
Berikut adalah
contoh Karya Tulis Ilmiah dalam bidang ilmu kesehatan hewan (Rumpun Ilmu
Hayat) yang ditulis oleh drh. Uti Ratnasari Herdiana (Penulis Tamu). Karya tulis ini dibuat berdasarkan (sistematikaa) Keputusan Menteri
Pertanian No. 34/PERMENTAN/OT.140/6/2011 tentang Pedoman Penyusunan Karya Tulis
Ilmiah Bagi Pejabat Fungsional Rumpun Ilmu Hayat Lingkup Pertanian, Berupa
karya tulis ilmiah berbentuk naskah yang tidak dipublikasikan tetapi
didokumentasikan di perpustakaan Intansi /lembaga dengan bukti adanya nomor
katalog buku (registrasi) dan pengesahan dari perustakaan.
**************************************************************************
CONTOH KARYA
TULIS ILMIAH DALAM BENTUK NASKAH
**************************************************************************
PERANAN KARANTINA HEWAN DALAM PENGAWASAN IMPORTASI PANGAN
ASAL HEWAN
Oleh: drh. Uti Ratnasari Herdiana
ABSTRAK
Peranan dan
fungsi karantina dalam era perdagangan bebas (impor dan ekspor), globalisasi
ekonomi dan kemajuan teknologi (transportasi, telekomunikasi dan informasi)
semakin dirasakan sangat penting. Maksud
dan tujuan dalam pengawasan dan pemeriksaan karantina terhadap importasi pangan
asal hewan (produk hewan) adalah untuk memastikan dan meyakinkan bahwa media
pembawa tersebut tidak mengandung /tidak tertular atau tidak dapat lagi
menularkan hama penyakit hewan karantina serta tidak lagi membahayakan
kesehatan manusia. Untuk lebih efektif dan efisiensi pelaksanaan tindakan
karantina dalam pengawasan lalu-lintas media pembawa hama penyakit hewan
karantina, perlu adanya harmonisasi
seluruh perangkat peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan pemasukan /pengeluaran
media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, sehingga semua kepentingan
dapat terakomodasi.
Kata kunci: Pengawasan, impor,
bahan pangan
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peranan dan
fungsi karantina dalam era perdagangan bebas, globalisasi ekonomi dan kemajuan
teknologi (transportasi, telekomunikasi dan informasi) semakin dirasakan sangat
penting. Akibat perkembangan global meningkatkan
tuntutan konsumen mengenai keamanan pangan yang mewajibkan komoditi pertanian
bebas mikroba pathogen yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk itu
Karantina Pertanian berperan untuk menjalankan Sanitary and Pythosanitary
(SPS)-WTO terhadap lalu lintas produk pertanian dalam melindungi kehidupan dari
ancaman bahaya masuknya penyakit zoonosa atau makanan yang tercemar mikroba dan
residu (antibiotika, logam berat, hormon, pertisida dan bahan kimia berbahaya
lainnya) yang dikenal sebagai new
emergency food borne diseases dapat berakibat pada kematian atau gangguan
kesehatan manusia atau kesehatan hewan.
Selain sebagai
unit pelayanan masyarakat, karantina juga saat ini berperan sebagai alat
perdagangan dalam proteksi membanjirnya produk-produk import yang secara
potensial dapat merugikan sisi perekonomian negara dan masyarakat. Praktek-praktek subsidi, dumping dan
perdagangan tidak sehat lainnya banyak terjadi dengan berkedok sebagai
technical barrier to trade (mutu, grade, residu, bioterrorism, genetic modified
organism (gmo), transgenetika, dan lain-lain).
Untuk itu petugas karantina yang merupakan aparat penegakan hukum yang
diberi kewenangan dalam melakukan penyidikan dan penindakan terhadap
pelanggaran hukum perkarantinaan yang berlaku harus bersikap tegas dan memberi
sangsi sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan diproses secara hukum bagi pelaku pelanggaran tindak karantina. Tanpa adanya penegakan hukum, maka peran
karantina akan dipandang sebelah mata dalam kancah perdagangan bebas yang saat
ini telah terjadi.
2. Maksud dan
Tujuan
Berkaitan dengan
isu tersebut diatas, kedudukan dan peran Karantina Pertanian khususnya
Karantina Hewan menjadi sangat penting dan strategis. Sebagai lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas antara lain mencegah masuknya dan tersebarnya
hama penyakit hewan yang dapat mengancam kesehatan manusia, kesehatan hewan
serta kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup, maka dalam melaksanakan
tugas dan fungsi tersebut, Badan Karantina Pertanian melalui unit pelaksana
teknis (UPT) Karantina di pintu-pintu masuk dan keluar (entry/exit point) diharuskan melakukan pengawasan dan tindakan
karantina. Pengawasan dilakukan terhadap
lalu lintas (masuk dan keluar) produk pertanian (bahan asal hewan, hasil bahan
asal hewan, dan media pembawa yang tergolong benda lain) yang dapat bertindak
sebagai media pembawa hama penyakit hewan.
Maksud dan tujuan
dalam pengawasan dan pemeriksaan karantina terhadap importasi pangan asal hewan
adalah untuk memastikan dan meyakinkan bahwa media pembawa tersebut tidak
mengandung atau tidak dapat lagi menularkan hama penyakit hewan karantina serta
tidak lagi membahayakan kesehatan manusia, menjaga ketenteraman bathin
masyarakat, mengangkat harkat dan martabat hidup masyarakat melalui kecukupan
pangan yang bermutu dan bergizi, serta ikut menjaga kelestarian sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
Berdasarkan
ketentuan SPS Agreement, Badan
Karantina Pertanian sebagai salah satu unsur CIQ (Custom, Immigration and Quarantine) di setiap pelabuhan laut
atau bandar udara internasional secara tidak langsung diserahi tugas untuk
melaksanakan pengawasan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, khususnya dalam
lalu lintas perdagangan masuk dan keluar produk pertanian.
3. Ruang Lingkup
Dalam
melaksanakan pengawasan importasi pangan asal hewan Karantina Hewan yang
diserahi kewenangan sebagai “enquiry point”. Dalam prosedur importasi pangan
asal hewan memerlukan pelayanan yang
CEPAT, karena merupakan komoditi yang peka waktu sehingga perlu ditetapkan
Prosedur Pelayanan yang cepat namun tetap efektif dari sisi Pengawasan. Untuk memudahkan
pengawasan perlu adanya koordinasi dan kerjasama dengan intansi terkait (Dirjen
Bina Produksi Peternakan, Bea dan Cukai, Deperindag, Polri, Dephub, Depkes,
BPOM, LP POM MUI dan lain-lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah).
******
II. TINJAUAN PUSTAKA
Karantina adalah
tempat pengasingan dan /atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya
hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu
area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia, dan Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan
sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama
dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah
negara Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 1992).
Media pembawa
yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area lain,
transit di dalam, dan atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
dikenakan tindakan karantina. Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan,
pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa
yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis (PP No.
82 Tahun 2000).
Media pembawa
hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina adalah hewan, bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang
dapat membawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina, Sedangkan yang
dimaksud dengan Bahan asal
hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah lebih lanjut (UU
NO 16 Tahun 1992).
Sesuai dengan
Pasal 19 dan Pasal 40 PP No. 82 Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap pemasukan
media pembawa harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen
serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum
diturunkan atau melewati tempat pemasukan, kecuali alat angkut udara yaitu
segera setelah pesawat tersebut mendarat.
Demikian juga terhadap setiap pengeluaran media pembawa harus diperiksa
kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen serta kesehatannya oleh dokter
hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina atau tempat asal
sebelum dimuat ke alat angkut. Bilamana dokumen yang dipersyaratkan tidak dapat
dipenuhi (tindak lengkap, tidak benar/tidak sesuai dan tidak sah), maka media
pembawa tersebut ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya atau pemakai jasa
karantinanya untuk daerah pengeluaran, serta ditolak pemasukannya untuk daerah
pemasukan.
******
BAB III
MATERI DAN METODE
Materi
(bahan) tulisan adalah pengalaman kerja
dan praktek yang dilaksanakan di instalasi karantina hewan. Metode (cara) yang
digunakan adalah dengan study literature
yang terkait dan sesuai dengan pokok bahasan.
******
IV. PEMBAHASAN
1. Fakta
Badan Karantina Pertanian dalam hal pemasukan dan
pengeluaran komoditi strategis hasil pertanian mengambil kebijakan umum
berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000
tentang Karantina Hewan bahwa setiap pemasukan maupun pengeluaran komoditi
hasil pertanian (hewan, bahan asal hewan, dan hasil bahan asal hewan) harus
memenuhi persyaratan umum sebagai berikut :
a. Harus disertai Sertifikat Kesehatan Hewan,
Bahan asal hewan, atau Hasil bahan asal hewan;
b. Harus melalui pintu masuk dan atau pintu
keluar yang telah ditetapkan pemerintah
c. Harus
dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk dilakukan tindakan
karantina.
Disamping ketiga
persyaratan tersebut, lalu-lintas komditi hasil pertanian (hewan, bahan asal
hewan, maupun hasil bahan asal hewan) dapat pula diwajibkan memenuhi persyaratan teknis lainnya yang ditetapkan
pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian SPS –WTO. Sebagaimana diketahui pelaksanaan tindakan
karantina didasarkan atas UU No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan merupakan bagian dari pelaksanaan perjanjian SPS dengan tujuan
untuk mencegah masuk, tersebar dan keluarnya hama penyakit berbahaya yang dapat mengancam keamanan dan kesehatan
manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan, serta kelestarian lingkungan hidup.
Secara umum pelaksanaan tindakan karantina khususnya
terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina terdiri dari :
Pemeriksaan:
Dalam pemeriksaan yang dilakukan adalah memeriksa dokumen
(Surat Keterangan Kesehatan Hewan /Health Certificate) termasuk keabsahannya
dan memeriksa keadaan fisik dan kesehatan hewan/media pembawa tesebut apakah
sehat/layak atau tidak.
Pengasingan:
Setelah pemeriksaan selesai untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap adanya
hama dan penyakit hewan yang kemungkinan
terbawa oleh hewan / media pembawa tersebut.
Pengamatan:
Selama pengasingan dilakukan pengamatan untuk pemeriksaan lebih lanjut
dalam rangka mendeteksi adanya hama dan
penyakit hewan karantina atau tidak.
Perlakuan:
Perlakuan
diberikan untuk mencegah/mengebalkan hewan apabila di daerah asalny belum
terdapat penyakit hewan karantina golongan II sebagaimana yang terdapat (yang
ada) di daerah tujuan, juga diberikan untuk mengobati/memperlakukan apabila
diperlukan/ditemukan penyakit hewan yang bukan penyakit hewan karantina.
Penahanan:
Penahanan dilakukan apabila dokumen
yang menyertainya tidak lengkap atau
dalam pemeriksaan masih diperlukan konfirmasi lebih lanjut.
Penolakan:
Dilakukan
penolakan apabila media pembawa tersebut berasal dari daerah/negara
terlarang karena masih terdapat/tertular
atau sedang wabah penyakit hewan karantina golongan I, atau pada waktu
pemeriksaan ditemukan gejala adanya penyakit hewan karantina golongan I, atau
pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi dengan dokumen karantina (sertifikat
kesehatan).
Pemusnahan:
Pemusnahan dilakukan apabila media
pembawa yang ditahan tersebut melewati batas waktu yang ditentukan dan
pemilik/kuasanya tidak dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan, atau
terhadap media pembawa tersebut ditemukan adanya hama dan penyakit hewan
karantina golongan I atau golongan II tetapi telah diobati ternyata tidak dapat
disembuhkan, atau hewan yang ditolak tidak segera di berangkatkan/tidak mungkin
dilakukan penolakan dan media pembawa tersebut berasal dari daerah terlarang
atau daerah yang tidak bebas dari
penyakit hewan karantina golongan I.
Pembebasan:
Pembebasan
dilakukan apabila semua kewajiban dan persyaratan untuk memasukkan/mengeluarkan
media pembawa tersebut telah dipenuhi dan dalam pemeriksaan tidak ditemukan
adanya/dugaan adanya gejala hama dan penyakit hewan karantina, atau selama
pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya hama dan penyakit hewan karantina.
Pembebasan untuk masuk diberikan dengan sertifikat pelepasan/pembebasan sedang
pembebasan keluar diberikan dengan Sertifikat kesehatan.
Kebijakan
tindakan karantina terhadap pangan asal hewan
(daging, daging olahan, telur, susu, dan lain-lainnya) dapat dikaitkan
dari segi kesehatan masyarakat veteriner.
Untuk itu kebijakan importasi diharapkan untuk bersikap hati-hati
terhadap kemungkinan masuknya dan tersebarnya agen penyakit atau bahan
berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan manusia, sehingga karantina mempunyai kewajiban untuk
mengamankan melalui pemeriksaan dari segi keamanan dan mutu produk pertanian
tersebut.
Selain itu
berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 ditegaskan bahwa pemasukan dan
pengeluaran harus telah diuji atau diperiksa dari segi keamanan, mutu dan atau
gizi serta dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan. Dalam
melaksanakan tugas ini karantina perlu dibekali dengan seperangkat alat deteksi
dan laboratorium yang sedapat mungkin telah terakreditasi sehingga diakui dunia
internasional.
Pengawasan
pemasukan dan pengeluaran terhadap media pembawa berupa pangan asal hewan
dilakukan pada pintu-pintu pemasukan/pengeluaran, baik melalui bandara,
pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan (ferry), cek point
lintas darat, dan kantor pos.
Sesuai dengan
Pasal 19 dan Pasal 40 PP No. 82 Tahun 2000 dinyatakan bahwa setiap pemasukan
media pembawa harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen
serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum
diturunkan atau melewati tempat pemasukan, kecuali alat angkut udara yaitu
segera setelah pesawat tersebut mendarat.
Demikian juga terhadap setiap pengeluaran media pembawa harus diperiksa
kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen serta kesehatannya oleh dokter
hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina atau tempat asal
sebelum dimuat ke alat angkut. Bilamana dokumen yang dipersyaratkan tidak dapat
dipenuhi (tindak lengkap, tidak benar/tidak sesuai dan tidak sah), maka media
pembawa tersebut ditolak dan dikembalikan kepada pemiliknya atau pemakai jasa
karantinanya untuk daerah pengeluaran, serta ditolak pemasukannya untuk daerah
pemasukan.
2. Kasus
Salah satu kasus yang menimbulkan permasalahan pengawasan karantina terhadap bahan asal hewan pada tahun 2004 adalah masalah importasi daging asal USA, yang melibatkan instansi terkait dalam penyelesainya. Sebagaimana dimaklumi bahwa sejak tanggal 24 Desember 2003 yang lalu dilakukan Penghentian Sementara pemasukan (impor) ruminansia dan produknya dari Amerika Serikat sehubungan dengan kasus kejadian penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) di negara bagian Washington, sehingga tidak diterbitkan persetujuan pemasukannya dari institusi yang berwenang berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor: 96/KL.050/F.1/12.03 dan ditindaklanjuti oleh Badan Karantina Pertanian dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1736/PD.670.210/L/12/03.
Penghentian
sementara ini telah dilakukan sosialisasi kepada semua stakeholder sebagai
upaya untuk menanggulangi kemungkinan masuk dan menyebarnya penyakit BSE
tersebut melalui media pembawa (daging sapi) dari negara yang tertular
BSE. Namun berdasarkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor: 2882/PD.630/F.5/05/04 tanggal
31 Mei 2004 dinyatakan bahwa terhadap produk-produk ruminansia dapat disetujui kembali pemasukannya secara
bertahap, karena kejadian penyakit BSE (single case) di Amerika Serikat telah
dilakukan penanganan sesuai standar internasional, yang kemudian disetujui
dalam Sidang Umum OIE ke 72 pada akhir bulan Mei 2004 lalu.
Komoditas produk
ruminansia yang disetujui pemasukannya antara lain daging, semen, ova, hati dan jantung, sedangkan
pemasukan paru-paru, daging dengan tulang serta Meat Bone Meal tetap dilarang. Hal
ini menimbulkan permasalahan dilapangan dengan banyaknya kontainer daging dari
USA yang ditahan oleh Bea dan Cukai maupun Karantina Hewan. Dimana dalam pemusnahan dan re-ekspor kontainer yang ditahan
pemerintah mengeluarkan biaya yang cukup besar
dan melibatkan banyak instansi terkait.
3. Permasalahan
A. Teknis
a. Sistem dan
Prosedur Pengawasan Importasi Pangan Asal Hewan.
Belum adanya kesepakatan
bersama dan kurangnya koordinasi dengan instansi terkait baik di pelabuhan laut
dan udara dalam penanganan importasi pangan asal hewan. Misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mempunyai otoritas dalam pengawasan dan perijinan
importasi bahan pangan hewani
olahan. Dirjen Bea dan Cukai dalam prosedur pengawasan importasi komoditi
pertanian yang wajib periksa karantina dikatagorikan berdasarkan analyzing
point, manajemen resiko sesuai dengan profil importir dan profil komoditi,
adanya jalur pelayanan melalui jalur merah, jalur hijau dan jalur prioritas.
Lembaga Pengujian dan Pemeriksaan Obat, Makanan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM –MUI) menangani sertifikasi halal pangan asal hewan. Akibat
kelemahan ini, dalam kegiatan importasi pangan
asal hewan dalam rangka mencegah masuk
dan menyebarnya penyakit hewan menular seringkali tidak diindahkan oleh
pelaku bisnis (Importir).
b. Kekeliruan
kebijakan penetapan pintu pemasukan/tempat pengeluaran dan kurangnya sumberdaya manusia serta sarana,
prasarana dalam pengawasan
Negara Indonesia
adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang sebagai pintu
masuk/keluar sehingga semakin besar kemungkinan lolosnya lalulintas pangan asal
hewan yang tidak melalui pengawasan dan pemeriksaan karantina hewan, sehingga
terjadi pemasukan melalui tempat yang bukan tempat pemasukan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau-pulau, sedemikian luas pantainya dan jumlahnya cukup banyak yang rawan
penyelundupan terutama lalu-lintas domestik merupakan titik rawan yang harus
segera diatasi. Kurangnya ketrampilan dan pengetahuan petugas karantina
mengenai penanganan, penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran
tindakan karantina terutama didaerah perbatasan sebagai dukungan pelaksanaan
tugas, pokok dan fungsi karantina hewan dalam pemeriksaan dan pengawasan
lalulintas pangan asal hewan.
c. Masalah Transit di Negara
ketiga
Lalu lintas
pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri dalam sistim perdagangan
Internasional yang memungkinkan terjadinya persinggahan di tempat/pelabuhan
antara (transit/transhipment), sehingga ketentuan teknis yang telah ditetapkan
seringkali diabaikan. Akibat dari
importasi yang senantiasa melalui pelabuhan transit, akan menyebabkan
terjadinya kemungkinan dilakukan repacking, labeling, pencampuran dengan
bahan-bahan lain dan sebagainya. Ketentuan teknis karantina tersebut
dimaksudkan untuk mengurangi resiko kemungkinan masuknya penyakit hewan menular
dari luar negeri melalui media pembawa sehingga
harus langsung diangkut dari negara pengekspor (negara asal). Transit di negara ketiga dapat dilakukan, jika mendapat persetujuan dari Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan. Diajukan sebagai
persyaratan pada saat importir meminta ijin Surat Persetujuan Pemasukan (SPP)
pangan asal hewan.
B. Ekonomis
a. Perbedaan Harga yang Tajam
Adanya perbedaan
harga komoditas daging yang cukup tajam antara dalam negeri dan luar negeri, sehingga
menimbulkan peluang bagi pihak yang tidak bertangggung jawab dan hanya
mementingkan keuntungan finansial semata
dengan melakukan tindakan illegal /penyelundupan pangan asal hewan tanpa
memperhatikan aspek-aspek teknis yang dipersyaratkan terutama di daerah
perbatasan darat, perbatasan laut dan perbatasan udara. Hal ini merupakan ancaman
masuk dan tersebarnya penyakit hewan eksotik dan penyakit hewan berbahaya
lainnya, serta dapat mengancam dan
mengganggu perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sumber daya alam
hayati Indonesia.
b. Produksi dan Produktivitas Dalam Negeri
Akibat suplai produksi dan produktifitas pangan asal
hewan dalam negeri yang belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dan
belum terdistribusi merata di seluruh wilayah Indonesia maka memberi peluang
bagi pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri (importasi) baik dilakukan
secara legal maupun ilegal ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
c. Penerapan Peraturan Pemerintah mengenai Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Akibat adanya kenaikan pungutan PNBP yang cukup tinggi
pada beberapa komoditas wajib periksa karantina merupakan salah satu faktor
indikasi orang melakukan penyelundupan pangan asal hewan dari luar negeri dan
tidak melaporkan ke pada petugas karantina baik di pintu pemasukan/pengeluaran
untuk menghindari pungutan PNBP tersebut. Hal ini menambah beban biaya
pengeluaran importir yang akhirnya dibebankan pada konsumen.
C. Sosial dan Budaya
Di Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama islam, terjaminnya kehalalan pangan asal hewan sangatlah
penting agar tidak menimbulkan gangguan akan ketentramanan batin masyarakat.
Dengan adanya pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri (importasi) yang tidakjelas
status kesehatan dan kehalalan akan memberi dampak negatif terhadap perekonomian
dan keresahan pada masyarakat.
Meningkatnya tingkat pendapatan dan pendidikan dan gaya
hidup menimbulkan kesenjangan sosial di
Indonesia, dimana konsumen golongan
mampu lebih peduli akan pangan yang aman dan berkualitas, sedangkan konsumen yang kurang mampu kurang
peduli terhadap keamanan dan mutu pangan asal hewan. Hal ini memberi peluang pratek illegal importasi pangan asal hewan.
D. Filosofi
Dengan semakin
meningkatnya arus lalu lintas hewan, produk hewan maupun orang antar negara
dalam abad ini, membuat batas antar negara tidak tampak. Sebagai akibat
terbukanya perdagangan antar negara berdampak pula pada terbukanya pasar
hewan/ternak, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dari suatu negara ke
negara lain tanpa hambatan yang berarti. Keadaan ini menimbulkan ancaman bagi
keamanan dan kesehatan hewan, yang berdampak pada kerugian sosial-ekonomi yang
sangat luas pada suatu negara.
Hal tersebut
menyebabkan peranan karantina hewan sangat penting dalam era perdagangan bebas
ini sesuai dengan tupoksi karantina hewan melakukan tindakan penolakan,
pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit hewan menular, penyakit baru (exotic
disease) dan pencegahan penyebarannya di dalam wilayah negara Republik
Indonesia melalui pengawasan dan pemeriksaan lalu lintas hewan, bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan dan media pembawa. Disamping itu Karantina hewan
juga berperan dalam kesehatan bahan pangan asal hewan yang dilalulintaskan dari
bahaya penyakit yang berasal dari hewan dan kontaminasinya, menjaga ketentraman
batin masyarakat melalui pengawasan keamanan pangan yang dilalu lintaskan
sehingga produk hewan yang dilalu lintaskan Aman. Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
PEMECAHAN MASALAH
Untuk melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan pangan asal hewan agar sesuai dengan tugas dan fungsi pokok karantina. Maka disarankan ditindak lanjuti dengan :
1. Memperkuat
sistem peraturan perundangan dan prosedur tindakan karantina yang baku dengan
membuat Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Menteri yang diamanatkan UU No.
16 tahun 1992 tentang karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dan PP. No. 82 tahun
2000 tentang Karantina Hewan sehingga tindakan karantina dapat berjalan secara
professional sesuai internasional; menyiapkan petugas karantina yang handal dan
professional serta dilengkapi dengan PPNS yang dapat menegakkan peraturan
karantina (law enforcement); serta mempersiapkan sarana dan prasarana karantina
yang modern dan berstandar internasional; mengelola suatu sistem kesiagaan
darurat yang handal pada kemungkinan terjadinya wabah penyakit hewan; mengelola
suatu system informasi dan deteksi dini (early warning system)
penyakit-penyakit hewan melalui suatu analisa resiko (risk analysis) penyakit
hewan dan peta penyakit hewan karantina.
2. Menerapkan perjanjian
Sanitary And Phytosanitary – World Trade Organitation (SPS – WTO) untuk
meningkatkan pengawasan/ monitoring/screening lalulintas perdagangan pangan
asal hewan dan media pembawanya secara ketat di pintu-pintu masuk dan keluar untuk
menghambat laju importasi pangan asal hewan; memberikan pelayanan teknis
karantina hewan yang optimal sehingga komoditi pertanian yang dihasilkan
memenuhi persyaratan teknis kesehatan, keamanan dan mutu yang berlaku sesuai
standar nasional dan internasional.
3. Pengembangan
Kerjasama Internasional melalui kerjasama bilateral dan multilateral di bidang
karantina hewan, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner dalam
bentuk magang, pelatihan, symposium, seminar, workshop, public awareness.
4. Peningkatan
sarana karantina hewan melalui peningkatan sarana laboratorium karantina hewan
yang terakreditasi dengan ditujukan terhadap pemeriksaan sederhana, cepat dan
tidak memerlukan teknik pemeriksaan yang rumit dengan melakukan networking atau
bekerjasama dengan laboratorium lain (BPPV, Balivet, Laboratorium Dinas
Peternakan dan lain-lain); peningkatan sarana instalasi karantina hewan
terutama kandang dan tempat penyimpanan produk hewan yang memenuhi standar
internasional serta diadakan secara selektif melalui pertimbangan persyaratan
teknis lokasi dan instalasi karantina.
5. Meningkatan
koordinasi, sosialisasi, konsolidasi dengan instansi terkait (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
Departemen Perhubungan, BPOM, Dinas yang menangani Kesehatan Hewan dan
Kesehatan Masyarakat dan lain-lainnya) dan pengguna jasa karantina dengan
membuat sistem prosedur pengawasan dan pemeriksaan di pintu-pintu pemasukan/pengeluaran
serta segera ditindaklanjuti dalam suatu kesepakatan bersama yang berbentuk MoU
yang berkekuatan hukum jelas dan tegas. Kerjasama dan koordinasi lintas
sektoral perlu terjalin dengan baik sehingga akan terjadi sinkronisasi dan
harmonisasi yang baik. Dengan demikian dapat mampu menbangun dan mengembangkan
kewaspadaan karantina (Quarantine Awareness) yaitu suatu sitem pengawasan
lalulintas yang komprehensif dan efisien.
******
V. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan dan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dan
disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam era globalisasi dan kemajuan tehnologi transportasi serta semangat
otonomi daerah, masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap pelayanan yang
diperoleh. Untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan masyarakat tersebut, diperlukan perangkat aturan
hukum yang memadai dan dapat mengakomodasikan semua kepentingan yang terkait di
dalamnya, sehingga secara teknis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan sekaligus
mengurangi pelanggaran terhadap pemasukan/pengeluaran media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina.
2. Kebijakan tindakan karantina hewan dan pelaksanaan karantina hewan
didasarkan atas ketentuan perundangan dan ketentuan teknis yang diselaraskan
dengan ketentuan/kesepakatan internasional. Tindakan karantina yang terdiri
dari 8 P (pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan, dan pembebasan) dilaksanakan dengan mengacu kepada
UU No.16 / 1992 dan PP No. 82 Tahun 2000 serta ketentuan pelaksanaan lainnya
pada pintu-pintu masuk dan pintu keluar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
3. Belum semua pintu pemasukan/pengeluaran media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina ditetapkan pemerintah dan dilengkapi dengan sarana prasarana,
serta tenaga teknis karantina hewan. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan
penyebarluasan informasi tentang pentingnya karantina hewan dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan karantina.
4. Untuk lebih efektif dan efisiensi pelaksanaan tindakan karantina dalam
pengawasan lalu-lintas media pembawa hama penyakit hewan, perlu adanya harmonisasi seluruh perangkat peraturan
perundangan yang mengatur pelaksanaan pemasukan/pengeluaran media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina, sehingga semua kepentingan dapat terakomodasi
termasuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan pelayanan jasa yang mudah,
cepat dan akurat serta aman bagi kepentingan masyarakat/ daerahnya. Hal ini
dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat secara terpadu, yang didukung oleh
pengetahuan dan perhatian aparat di daerah terhadap pentingnya peranan
karantina hewan. Upaya lainnya dalam rangka peningkatan pengawasan lalu-lintas
media pembawa hama dan penyakit hewan karantina dilakukan melalui
penyebarluasan informasi tentang prosedur, persyaratan dan tata cara tindakan karantina,
baik melalui media massa, papan peringatan, sticker, spanduk, maupun
pertemuan-pertemuan.
******
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2000.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2000 Tentang Karantina
Hewan.
Anonimous, 1992.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 Tentang karantina Hewan
Ikan dan tumbuhan.
Bambang Erman.
2005. Konsep Sistem dan Prosedur Pengawasan dan Pemeriksaan Produk Pangan.
Rapat Pembahasan dan Penyusunan ” Pedoman Sertifikasi Impor dan Ekspor Produk
Pangan dalam Rangka Pengawasan Keamanan Pangan” tanggal 22- 23 Maret 2005 di
Bogor.
Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai. 2005. Prosedur Pengawasan Importasi Komoditi Pertanian Yang Wajib Karantina. RAPAT TIM KERJA TERPADU Bidang Pengawasan &
Penegakan Hukum. Jakarta.
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2004. Kumpulan Peraturan dan
Perundangan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Edisi ke II.
Pusat Karantina Hewan. 2003. Buku Saku Peraturan
Perundangan Karantina Hewan.
Pusat Karantina Hewan. 2001. Rencana Strategis Pusat
Karantina Hewan Tahun 2001- 2005.
******