Penyakit Selakarang adalah penyakit infeksi jamur
pada kuda dengan gejala menciri adanya radang bernanah pada kelenjar limfe dan bersifat
kronis. Nama lain penyakit ini adalah: Pseudoglanders, Saccharomycosis,
Pseudomalleus, African farcy, Histoplasmosis kuda, Epizootic lymphangitis,
Equine cryptococcosis
A. PENDAHULUAN
Selakarang merupakan suatu penyakit mikotik yang
menular kronis. Penyakit ini juga bersifat zoonosis sehingga dapat menular ke
manusia. Penyakit ini menyerang hewan jenis Equidae (kuda, keledai, bagal dan
sebangsanya), ditandai dengan radang bernanah pada saluran maupun simpul limfe,
yang selanjutnya menyebabkan ulserasi pada kulit di atas saluran limfe dimana
tempat jamur bersarang. Adanya benjolan terutama pada daerah saluran limfe
(limfangitis) dapat dicurigai sebagai tanda penyakit selakarang. Tingkat
mortalitas rendah sekitar 10-15%. Secara ekonomi merugikan karena dapat
menurunkan produktifitas kerja kuda.
Selain itu, bersifat kronis
sehingga pengobatannya memerlukan biaya dan waktu yang cukup mahal.
Adakalanya pada kuda yang memiliki daya tahan baik dapat menunjukkan respon
kesembuhan spontan yang diikuti dengan sifat kekebalan yang baik.
B. ETIOLOGI
Selakarang merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh cendawan jenis Histoplasma farciminosum (Cryptococcus farciminlosus,
Saccharomyces fareiminosus, Endomyces fareiminosa, Saccharomyces, Blastomyces
fareiminosa atau Zygonema farciminosa). Tergolong dimorfik yaitu cendawan yang
dalam temperatur tubuh 37oC berbentuk khamir yang bersifat parasitik namun pada
temperatur kamar akan berubah menjadi seperti miselia yang tumbuh pada kultur.
Cendawan dimorfik ini mempunyai bentuk khamir mulai
dari bentuk ovoid sampai dengan globos dengan diameter berukuran 2-5µm, dapat
ditemukan pada ekstaseluler dan intraseluler di dalam sel makrofag dan sel
raksasa. Pada bentuk miselia pertumbuhannya lambat dengan kondisi aerob.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap selakarang adalah family
Equidae yaitu kuda, keledai, bagal dan sebangsanya. Pernah dilaporkan
kejadiannya pada sapi dan unta tetapi hewan ini tidak begitu peka. Hewan
laboratorium (mencit, kelinci) pada umumnya tahan terhadap penularan penyakit
ini.
2. Pengaruh Lingkungan
Ketahanan hidup agen penyakit di alam tergantung oleh
suhu, kelembaban, pH dan kondisi tanah. Agen dapat diisolasi dari tanah
terutama di dataran rendah di sekitar sungai dimana kelembaban tinggi. Agen
penyakit tahan terhadap suhu beku tetapi tidak tahan lama pada suhu 40 °C.
3. Sifat Penyakit
Selakarang merupakan suatu penyakit hewan menular kronis
dan bersifat zoonosis, namun hingga saat ini masih sangat sedikit laporan
kejadian dan publikasinya.
4. Cara Penularan
Penularan selakarang dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui luka di kulit,
dimana spora cendawan dari hewan penderita. Penularan secara tidak langsung terjadi
melalui peralatan, pakaian, selimut, atau sikat kuda, dan lain-lain. Luka
sering terjadi di daerah kaki sebelah bawah. Jamur secara alami bertumbuh
saprofit di tanah sehingga infeksi biasanya bermula dari bagian bawah kaki
penderita.
Transmisi penyakit ini dapat terjadi melalui lalat Musca
spp dan Stomoxys spp Pencemaran terjadi pada saat lalat menempel pada luka yang
terbuka dari hewan yang telah terinfeksi, selanjutnya menempel pada luka hewan
lain.
Pada area endemik di negara tertentu, penularan dapat
terjadi secara inhalasi melalui debu dan spora yang akan mengakibatkan
pneumoni.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya selakarang adalah
adanya luka yang memungkinkan berkembangnya penyakit tersebut. Kuda berumur di
bawah 6 tahun lebih rentan terhadap penyakit ini.
6. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit dapat meliputi benua Asia, Afrika,
Amerika Utara dan Hindia Barat. Selakarang
dikenal telah menimbulkan masalah besar pada kuda yang dipakai dalam
perang Boer dan perang Dunia pertama. Penyakit ini tersebar di banyak negara
Asia, Afrika dan Timur Tengah maupun di Eropa. Penyebab penyakit ini pertama
kali ditemukan oleh Rivolta pada tahun 1873.
Pada tahun 1921 oleh Babberman, telah dilaporkan kejadiannya
di Indonesia pada saat berusaha mengobati selakarang dengan cara pengebalan.
Selanjutnya penyakit ini pernah dilaporkan di beberapa tempat di Indonesia
Sulawesi, Jawa Tengah. DI. Yogyakarta dan DKI Jakarta.
Pada tahun 1974, BPPV Regional VII Maros berhasil
mengisolasi Histoplasma farciminosum dari kuda di kabupaten Polmas, Sulawesi
Selatan. Kasus selakarang pada tahun 1999 pernah dilaporkan ditemukan di
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti kabupaten Polmas, Wajo,
Pinrang, Maros, Pangkep dan bahkan di Sulawesi Utara. Kasus selakarang semakin
menurun laporannya, ada kemungkinan tidak dilaporkan karena tidak termasuk
dalam penyakit strategis yang wajib dilaporkan, atau karena populasi kuda
semakin menurun.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit ini dapat terjadi dalam
bentuk kutaneus (kulit), respiratori (pernafasan), okuler (mata) dan pada hewan
yang karier bersifat asymptomatik (tidak timbul gejala klinis).
Pada bentuk kutaneus ditandai dengan luka pada
kulit yang bersifat undulatif. Bisul – bisul ditemukan pada bagian kaki, dada,
leher, bibir, skrotum, ambing dan punggung yang selanjutnya ditandai dengan
penebalan limfe bagian superficial, pembesaran nodus limfangitis regimal,
pembentukan abses bernanah bercampur darah dan berakhir dengan terbentuknya
ulcer pada kulit yang lebih kecil yang lama-kelamaan ulcer ini akan menjadi
satu.
Gambar 1. Lymphangitis ulseratif
(Sumber : Knottenbelt DC, Pascoe RR, Diseases and
Disorders of the Horse, Saunders, 2003)
Pada bentuk okuler jarang terjadi. Infeksi terjadi
ditandai dengan konjungtivitis atau infeksi nasolakrimal, yaitu terlihat adanya
lendir bening pada satu atau kedua mata dan terjadi kebengkakan pada sekitar
mata yang dapat diikuti dengan terjadinya ulcerasi.
Pada bentuk respiratori ditandai dengan nodul pada mukosa
hidung. Lesi terjadi mulai dari saluran pernafasan bagian atas sampai dengan
paru. Sinusitis maupun radang paru dapat terjadi sebagai akibat terhisapnya
spora ke jaringan tersebut.
Pada kasus asymptomatic hewan karier dapat diidentifikasi
dengan uji serologis dan uji sensitifitas intradermal.
2. Patologi
Apabilaluka diiris terlihat jaringan granulasi yang
mengandung nanah kuning dan cairan serosa. Pada permulaan proses, kelenjar
limfa mengandung butir kecil dan lunak, kemudian bisa terjadi penyatuan bungkul
yang Iebih besar. Bungkul tersebut dilingkungi oleh kapsul yang tebal. Apabila
luka diikuti infeksi kuman yang berat bisa terjadi radang sendi dan radang
pinggiran tulang.
Secara histopatologi dapat terlihat adanya jaringan
granulomatous dan terdapat banyak sel makrofag dan sel raksasa, serta organisme
berbentuk oval dengan diameter 2-5 µm yang dikelilingi oleh ’halo’.
Gambar 2. Lymphangitis epizootic
(Sumber: http://www.thedonkeysanctuary.org.et/site/index.php/photo-gallery/category/12-health-problems-of-donkey)
Pada pemeriksaan nanah penderita dapat dilihat fase
ragi yang berbentuk lonjong atau agak bulat dimana salah satu kutub lebih kecil
dari yang lain. Ukuran panjang 2,5-3,5 µ dan Iebar 2-3 µ dengan sitoplasma
berbutir (granuler).
Gambar 3. Preparat ulas Histoplasma farciminosum dengan
pewarnaan Gram dari nodul pada kuda yang menderita epizootic lymphangitis.
(Sumber:
http://www.vef.unizg.hr/vetarhiv/papers/68-3/alani.htm)
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan
mikroskopis jaringan, nanah dan kultur. Identifikasi agen. Secara mikroskopis
dapat dilakukan dengan pewarnaan gram positif pada kerokan, pewarnaan
Hematoxilin-Eosin secara histopatologi dan dengan menggunakan mikroskop elektron.
Secara kultur dapat dilakukan dengan media SDA (Saboroud’s Dextrose Agar).
Inokulasi hewan percobaan (mencit, kelinci, marmut) juga dapat dilakukan untuk
penunjang diagnosa.
Kerokan
dapat diperiksa langsung
dengan pewarnaan gram
akan terlihat organisme gram positif berbentuk pleomorphic, oval dan
bulat. Pemeriksaan mikroskopis dengan sediaan histologis yang diwarnai dengan
Haematoxilin dan Eosin memperlihatkan radang granulomatosa bernanah dengan
banyak makrofag dan netrofil. Daerah radang bernanah itu dilingkungi oleh
kapsula yang tebal, makrofag kelihatan membesar. Dalam makrofag dapat ditemukan
organisme penyebab penyakit dalam bentuk khamir yang ditengahnya berwarna
gelap, dikelilingi oleh bagian yang tidak terwarnai. Cendawan ini dapat
ditemukan pula diluar makrofag.
Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ulas darah yang
telah diwamai dengan Lactophenol Cotton Blue atau Pilikrom Metilen Blue
cendawan ini terlihat bentuknya seperti ragi. Dari hasil pernbiakan terlihat
bentuk miselia dan ragi sedangkan secara uji antibodi fluoresensi secara tak
langsung (FAT) juga akan terlihat bentuk ragi dari H. farciminosum.
Gambar 4. Gambaran H. farciminosum pada agar
mikobiotik setelah inkubasi selama 42 hari pada suhu 26 oC: timbul, tepi
kasar, berwarna lebih terang di bagian tepinya, koloni yang saling menempel
(Sumber : http://www.vef.unizg.hr/vetarhiv/papers/68-3/alani.htm)
Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat hifa yang
bersekat, tebal dan pendek. Pada ujungnya mempunyai klamidospora.
Pada kultur yang lama klamidospora menjadi bebas
berbentuk bulat dengan dinding yang tebal. Pada kultur cair cendawan ini tumbuh
sedikit dengan pembentukan endapan yang halus, dan tidak memfermentasi gula.
Diagnosa secara serologis dengan Fluorescent Antibody
Test (FAT), Agar Gel Immunodiffusion Test, Haemaglutination Test, Enzyme
Linked- Immunosorbent Assay (ELISA), dan Skin hipersensitivity test.
4. Diagnosa Banding
Adanya
luka dan benjolan
pada kulit dapat
dikelirukan dengan penyakit
malleus, sporotrichosis atau habronemiasis. Untuk membedakan selakarang dengan
penyakit tersebut harus ditemukan /diisolasi agen penyebabnya.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pada umumnya bahan untuk pemeriksaan cendawan diperlukan
untuk pemeriksaan langsung dan pemupukan. Untuk tujuan ini dapat diambil nanah
atau sayatan jaringan. Sebaiknya bahan pemeriksaan diambil dari benjolan yang
belum terbuka dan diambil secara steril. Nanah diambil dengan alat suntik yang
steril, diberi tanda yang jelas dan keterangan yang lengkap tentang penyakit
tersebut. Apabila tidak memungkinkan bahan pemeriksaan dapat dibubuhi dengan
antibiotik, misalnya penicillin 100 µg /ml atau sreptomycin 500 /ug /ml. Untuk
pemeriksaan histologis, bahan pemeriksaan berupa jaringan kulit diolesi dengan
formalin 10 % dan dikirim dengan cara yang sama.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pengobatan selakarang yang belum meluas dapat dilakukan
dengan extirpasi (pengangkatan) jaringan yang mengalami granuloma dan diikuti
dengan pemberian antiseptika, perak nitrat atau yodium tinctur dapat mengalami
kesembuhan. Atau dapat diberikan:
a. Suntikan HgCI 21 % intravena dosis 50 ml,
b. Pengobatan dengan Griseofulvin yang merupakan
fungsida yang kuat dimana secara ekonomis perlu diperhitungkan karena mahal,
c. Penyuntikan dengan Natrium JIodida.
Apabila penyakit sudah meluas, lebih baik hewan dieutanasi dan seluruh peralatan yang tercemar
dimusnahkan dengan jalan dibakar atau didesinfeksi. Penderita harus diisolasi
untuk mencegah penularan penyakit sampai hewan dinyatakan sembuh.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Di Indonesia sampai sekarang belum ada vaksin yang dapat
memberi perlindungan dengan baik untuk pengobatan terhadap selakarang. Oleh
karena itu cara yang sebaik-baiknya adalah menjauhi dan mengisolasi hewan yang
menunjukkan tanda selakarang, demikian pula menjauhi atau tidak memakai tempat
atau alat bekas penderita. Mengobati luka dengan sempurna meskipun luka itu
hanya kecil.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Isolasi penderita atau tersangka penderita, sampai ada
kepastian bahwa penyakit tersebut telah sembuh. Peralatan yang tercemar dan
kandang penderita harus didesinfeksi dengan formalin atau desifektan. Bahan
yang tercemar dan tidak dipergunakan harus dimusnahkan atau dibakar.
F. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad R Z.
2005. Mengenal Penyakit
Zoonosis Selakarang Pada
Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Hal 314 – 319.
Al-Ani FK 1999. Epizootic Lymphangitis in Horses :
a Review of the Literature. Departement
of Veterinary Clinical
Science, Faculty of
Veterinary Medicine, Jordan University of Science and Technology.
Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New
Jersey, USA.
Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry
of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed.
Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Bullen JJ 1999. The Yeast like Form of Crytococcus
farciminosus (Rivolta): (Histoplasma farciminosum). Cambridge.
Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit
Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan,
Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
OIE. 2008. Epizootic Lymphangitis. Chapter 2.5.4. website:
www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.05.04_EPIZ_LIMPHANGITIS.pdf
Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC,
Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease.
Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine
A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine.
Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney
Toronto.
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak
III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis
Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia)
Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial,
dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Disadur oleh Drh Giyono Trisnadi dari: Manual
Penyakit Hewan Mamalia Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.
Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu,
Jakarta 12550.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar