A. PENDAHULUAN
Atropic
rhinitis adalah penyakit menular pada babi ditandai dengan adanya sekresi
hidung yang bersifat purulen, disertai perubahan bentuk hidung berupa moncong
hidung membengkok, atrofi tulang turbinatum dan penurunan produktifitas. Atropic
rhinitis kemungkinan telah tersebar diseluruh dunia. Amerika serikat dan
beberapa negara di Eropa menderita kerugian cukup besar oleh penyakit ini.
B. ETIOLOGI
Pada
bentuk parah dan progresif, penyebab penyakit ini adalah Pasteurella multocida
yang toksigenetik disertai atau tidak disertai oleh Bordetella bronchoseptica.
Bentuk ringan sampai sedang, disebabkan oleh Bordetella bronchoseptica saja,
atau disertai oleh flora normal pada hidung.
Bordetella
bronchoseptica adalah bakteri berbentuk batang atau coccobacillus, Gram
negatif. Bakteri ini motil, tidak membentuk
spora dan bersifat aerob. Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa
B.bronchoseptica sendiri dapat menimbulkan atrofi turbinatum bila ditularkan
secara intra nasal pada anak babi Specific Pathogenic Free (SPF) umur di bawah
tiga minggu.
Pasteurella
multocida adalah bakteri yang pada awalnya dianggap sebagai bakteri penyebab
kedua pada atropic rhinitis, tetapi belakangan diketahui P.multocida merupakan penyebab utama atropic
rhinitis pada babi.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies
rentan
Atropic rhinitis
merupakan penyakit khas
pada babi dari
berbagai umur, namun demikian
gejala klinis lebih
banyak ditemukan pada
babi muda.
2. Pengaruh
lingkungan
Keparahan
penyakit erat hubungannya dengan cara pengelolaan intensif misalnya
pemeliharaan babi dalam jumlah banyak dalam ruangan terbatas (over stocking),
hygiene kandang dan Iingkungannya yang tidak memadai.
Peningkatan
konsentrasi ammonia dalam ruang kandang yang dipergunakan untuk penggemukan
babi, juga sering menyebabkan peningkatan kasus atropic rhinitis.
3. Sifat
Penyakit
Rhinitis ini
menyebabkan peradangan pada
jaringan di dalam
hidung yang umumnya bersifat ringan. Selama proses infeksi secara perlahan tulang turbinatum hidung
akan rusak dan dapat mengecil (atrofi) atau menjadi terdistorsi. Kondisi ini
jarang menyebabkan penyakit klinis pada hewan dewasa, tetapi jika babi
terinfeksi sejak lahir akan menyebabkan distorsi pada muka di masa dewasanya.
Ada
dua bentuk penyakit yaitu :
a. Ringan
dan non-progresif di mana infeksi atau iritasi terjadi selama 2 sampai 3
minggu, namun radang tidak berkembang sehingga
tulang turbinatum dapat kembali ke bentuk normal.
b. Penyakit
serius menyebabkan rhinitis atrofi progresif (PAR) di mana bakteri P.multocidia
akan memproduksi racun, menyebabkan peradangan yang terus-menerus dan progresif
sehingga menyebabkan terjadinya atrofi jaringan dan distorsi hidung. PAR dapat
menyerang baik pada babi yang sedang menyusui atau pada babi yang sedang tumbuh. Bila kelompok babi
telah terinfeksi, semua ternak akan menunjukkan beberapa derajat non-progresif
rhinitis atrofi.
4. Cara
penularan
Penularan terjadi
secara aerosol, dari
babi tertular ke
babi sehat, melalui droplet yang
dikeluarkan babi tertular saat bersin. Penularan dapat terjadi pada semua umur
dari beberapa hari atau minggu. Induk babi yang tertular secara kronis akan
menularkan penyakit pada anak-anak babi secara kontak langsung lewat hidung
mereka.
5. Faktor
Predisposisi
Faktor-faktor manajemen
dan lingkungan, seperti
cara pemeliharaan tidak intensif,
ternak terlalu padat, ventilasi kurang, dan higiene makanan kurang baik, dapat
merupakan predisposisi terjadinya penyakit atropic rhinitis.
6. Distribusi
penyakit
Sejauh ini
atropic rhinitis belum
pernah dilaporkan di
Indonesia. Namun demikian dengan perkembangan peternakan babi dan
mobilitas ternak yang cukup pesat belakangan ini, keberadaan atropic rhinitis
harus diwaspadai.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
Atropic rhinitis
mempunyai 2 manifestasi
klinis yaitu bentuk
ringan sampai sedang, serta bentuk progresif dan parah. Gejala Klinis
yang mula- mula terlihat adalah babi terlihat bersin-bersin kemudian diikuti
oleh eksudat bersifat mukus keluar dari lubang hidung.
Gejala
pertama ini sudah dapat dilihat pada anak babi umur 7 hari. Apabila penyakit
menjadi Iebih parah dapat ditemukan lakrimasi dan sekresi hidung berubah
menjadi mukopurulen. Pada tahap ini kerusakan tulang turbinatum terjadi.
Kadang-kadang sekresi hidung disertai bercak-bercak darah, sebagai akibat
kerusakan pada tulang turbinatum.
Apabila
kerusakan tulang turbinatum berlanjut, maka panjang dan diameter lubang hidung
menjadi berkurang dan terlihat dari luar sebagai tulang hidung memendek dan
melengkung. Kelainan ini menyebabkan pertumbuhan anak babi terhambat karena
kesulitan makan.
2. Patologi
Apabila dari
luar batang hidung
sudah terlihat membengkok,
maka kelainan tulang turbinatum mudah diduga. Dalam hal kelainan bentuk
batang hidung tidak terlihat, maka perlu dilakukan pemotongan memanjang (cross
section) rongga hidung setinggi gigi premoral kedua. Patologi yang mencolok
adalah hipoplasia turbinatum nasalis. Dalam mukosa lubang hidung ditemukan
eksudat mukopurulen.
Gambar
1. Atropic Rhinitis pada babi. Babi ini
mengalami destruksi total pada tulang turbinatum hidung setelah infeksi alami
oleh kuman tipe D toksigenik P.multocida
(Sumber:
Departemen Patologi, Universitas Guelph)
(Sumber:
http://www.merckvetmanual.com/mvm/htm/bc/resrp01.htm)
Gambar
2. Apabila dibandingkan dengan gambar
dua turbinatum bagian atas, pada babi ke-5 dan ke-6, terlihat hanya ada sedikit
jaringan turbinatum tidak beraturan yang ditandai adanya perluasan rongga
udara.
(Sumber:
Mark R. Ackermann, Richard B. Rimrer, And John R. Thurston, Experimental Model of
Atrophic Rhinitis in Gnotobiotic Pigs, National Animal Disease Center,
Agricultural Research Service, U.S. Department of Agriculture, Iowa 50010,
May-July 1991.)
Gambar
3. Tulang turbinatum
terlihat kecil dan
tidak beraturan, hanya berupa serpihan tulang trabekula.
Trabekula digantikan oleh jaringan fibrosis.
(Sumber:
Mark R. Ackermann, Richard B. Rimrer, And John R. Thurston, Experimental Model
of Atrophic Rhinitis in Gnotobiotic Pigs, National Animal Disease Center,
Agricultural Research Service, U.S. Department of Agriculture, Iowa 50010,
May-July 1991.)
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan
pada perubahan histopatologi pada pemeriksaan tulang turbinatum, isolasi
dan identifikasi bakteri penyebab. Perubahan histopatologi termasuk penggantian
jaringan fibrosa pada lempeng
conchae bagian bawah,
terkadang diikuti dengan
peradangan dan perubahan reparatif. Isolasi P.multocida dari
B.bronchoseptica sebagai penyebab harus disertai dengan deteksi toksin.
4. Diagnosa
Banding
Atropic rhinitis
pada babi terutama
bentuk ringan sampai
sedang, dapat dikelirukan dengan infeksi saluran pernafasan yang lain,
misalnya swine influenza.
5. Pengambilan
dan Pengiriman Spesimen
Swab (usapan
kapas) dari hidung
atau tonsil merupakan
spesimen yang baik untuk tujuan isolasi bakteri penyebab. Apabila jarak
antara tempat pengambilan spesimen dengan laboratorium agak jauh spesimen di
atas perlu dimasukkan ke dalam media transport atau garam fisiologis.
E.
PENGENDALIAN
1. Pengobatan
B.bronchoseptica
sensitive terhadap sulfonamida. Preparat sulfa yang dipergunakan ialah
sulfamethazine dalam makanan atau sodium sulfathiazole dalam air minum.
Sulfamethazine dengan dosis 100-125 g per ton pakan cukup efektif untuk mengobati
atropic rhinitis. Sodium sulfathiazole dengan dosis 0,33-0,5 g/3,8 liter air
minum disarankan untuk pengobatan penyakit ini. Untuk menuntaskan infeksi
B.bronchoseptica pada anak babi memerlukan sekurangnya 5 minggu, sedangkan pada
hewan yang lebih tua memerlukan waktu sekitar 4 minggu.
2. Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan
Pencegahan
atropic rhinitis dapat dengan cara vaksinasi. Vaksin yang digunakan merupakan
kombinasi B.brochoseptica dan P.multocida. Induk babi yang divaksinasi pada
waktu bunting, akan memberikan kekebalan kepada anaknya lewat kolostrum.
Imunisasi pada anak babi dapat menghindarkan anak babi dari gejala rhinitis dan
mengurangi kejadian atropic rhinitis pada babi. Di Belanda dilakukan managemen
”all in all out” untuk menghindari terjadinya kasus atropic rhinitis.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim
2011. The Merck Veterinary Manual 11th
Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.
Anonim
2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews
AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing
Company Australia.
Carter
R and Wise DJ 2003. Diagnostic Procedures In Veterinary Bacteriology and
Mycology, 6th Edition. Wiley Blackwell.
Direktur
Kesehatan Hewan, 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta
Indonesia.
Plumb
DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd
Edition. Iowa State University Press Ames.
Quinn
PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell
Publishing Company Australia.
Radostids
OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle,
Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th
Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith
BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science,
St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto
dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto
2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.
*** Disadur
oleh Drh Giyono Trisnadi, dari: Manual Penyakit Hewan Mamalia. Diterbitkan oleh:
Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian. Jl. Harsono RM
No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar