PERAN SALMONELLA ENTERITIDIS DALAM KEAMANAN PANGAN

Salmonella adalah penyakit bacterial yang penting yang harus diwaspadai dalam Keamanan Pangan bagi manusia. Karya Tulis berikut membahas betapa pentingnya Salmonella, dan apa yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk menjamin keamanan pangan (admin).

***

PERAN SALMONELLA ENTERITIDIS DALAM KEAMANAN PANGAN

Oleh : Drh. Agus Jaelani, M.Si,
Medik Veteriner Muda, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, alamat: Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta Selatan, Gedung E Lantai 3


ABSTRAK
Salmonella enteritidis merupakan penyebab utama kasus food-borne gastroenteritis pada manusia dan telah berhasil diisolasi. Pada manusia, Salmonella enteritidis erat hubungannya dengan kasus keracunan makanan. Hewan dan produknya khususnya ayam, daging dan telur merupakan sumber utama infeksi pada manusia. Saat ini Salmonella enteritidis menjadi serotip yang paling banyak diisolasi dari makanan dan khususnya bertanggung jawab untuk keseluruhan meningkatnya kasus infeksi salmonellosis pada manusia. Serotipe ini juga paling banyak dihubungkan dengan infeksi Salmonella di seluruh dunia. Salmonella enteritidis menjadi permasalahan keamanan pangan dunia.

Kata kunci : salmonella enteritidis, salmonellosis, serotipe, keamanan pangan

*********

PERAN SALMONELLA ENTERITIDIS DALAM KEAMANAN PANGAN

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir kasus keamanan pangan menjadi perhatian dunia internasional. Kasus yang terus terjadi tidak saja di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Amerika Serikat merupakan salah satu negara maju dengan tingkat kasus keamanan penyakit yang cukup tinggi. Salah satu penyebab adalah peran bakteri sebagai kontaminan dalam pangan. Beberapa bakteri berperan penting dalam wabah food-borne disease yang terjadi di banyak negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.

Salah satu bakteri yang sering menjadi penyebab food-borne disease adalah Salmonella. Salmonella menjadi pemeran utama dalam banyak wabah food-borne disease di banyak negara. Gejala berupa gangguan pencernaan menjadi salah satu tipikal dari gejala klinis yang muncul akibat infeksi Salmonella. Kasus infeksi pada manusia lebih banyak disebabkan karena proses penularan yang bersumber dari produk hewan seperti telur dan daging.

Salmonelosis merupakan foodborne diseases yang sangat penting dan terus menjadi perhatian dunia internasional. Meskipun mempunyai mortalitas yang relatif rendah, namun tingkat morbiditas yang tinggi serta banyaknya variasi makanan yang dapat menjadi sumber penularan penyakit menyebabkan kasus ini mendapatkan perhatian besar di dunia. Laporan Salmonelosis pada manusia banyak dilaporkan di Amerika, Brazil, China, Inggris, dan beberapa negara lain  akibat mengkonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi Salmonella enteritidis. Hal ini menunjukkan bahwa selama pemrosesan bahan pangan mulai dari bahan mentah sampai menjadi makanan siap saji, kontaminasi tetap dapat terjadi, terutama pada saat penanganan, penyimpanan, serta transportasi bahan makanan tersebut.

Salmonella spp memiliki kemampuan bertahan hidup pada beberapa kondisi yang buruk sehingga menjadi tantangan dalam keamanan pangan. Penanganan terhadap pangan khususnya bahan pangan asal hewan menjadi begitu penting karena pangan merupakan vehicle salmonelosis. Penerapan praktek higiene dalam rantai pangan dan sistem keamanan pangan di suatu negara sangat berpengaruh terhadap terjadinya salmonelosis. Selain itu penggunaan dan penyalahgunaan antibiotik pada peternakan dapat menyebabkan resistensi terhadap beberapa antibiotik yang digunakan. Munculnya strain Salmonella dengan virulensi yang tinggi dan resistensi terhadap antibiotik dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu utama kesehatan masyarakat di dunia.

Gastroenteritis parah merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia dan paling berkontribusi dalam kematian dan penularan penyakit di negara berkembang (Collard JM et al. 2007). Salah satu penyebab gastroenteritis adalah Salmonella. Salmonelosis merupakan salah satu zoonosis yang tersebar paling luas di seluruh dunia. Salah satu Salmonella yang berperan penting dalam zoonosis di dunia adalah Salmonella enteritidis. Saat ini Salmonella enteritidis merupakan serotip Salmonella yang paling banyak tersebar diseluruh dunia. Data surveilan secara global mengindikasikan insiden infeksi gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis telah meningkat secara masif selama beberapa dekade terakhir (Akhtar et al. 2010). Selain wabah yang terjadi di Amerika, Inggris dan beberapa negara eropa lainnya, studi juga menunjukan bahwa Salmonella enteritidis yang merupakan serovar Salmonella paling banyak dalam wabah foodborne disease yang terjadi di Brazil (Oliveira et al 2006).

Salmonella enteritidis secara luas dilaporkan sebagai penyebab utama food-borne gastroenteritis pada manusia dan telah diisolasi dari kasus pada manusia. Hewan dan produknya khususnya ayam, daging dan telur merupakan sumber utama infeksi pada manusia yang diakibatkan oleh patogen ini. Saat ini Salmonella enteritidis menjadi serotip yang paling banyak diisolasi dari makanan dan khususnya bertanggungjawab untuk secara keseluruhan meningkatnya kasus infeksi salmonellosis pada manusia. Serotip ini  juga paling banyak dihubungkan dengan infeksi Salmonella di seluruh dunia (Molbak & Neimann, 2002). Setiap tahun Salmonella menyebabkan jutaan orang sakit di Amerika Serikat dengan tingkat kematian mencapai 380 orang (CDC, 2015).

Salmonella enteritidis merupakan penyebab penting pada salmonellosis pada manusia dan hubungannya dengan keracunan makanan dengan konsumsi telur ayam yang terkontaminasi dan produk unggas. Salmonella enteritidis merupakan serovar yang paling banyak diisolasi dari salmonellosis pada unggas dan manusia. Keracunan makanan pada manusia akibat salmonellosis biasanya dimanifestasikan dengan gastroenteritis yang dikarakteristikan dengan diare, kram perut dan bakterimia.

Tujuan.
Tujuan pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah: 1. Memberikan gambaran tentang peranan Salmonella enteritidis dalam keamanan pangan; 2. Memberikan gambaran tentang distribusi Salmonella enteritidis di Indonesia.

Manfaat 
Manfaat karya tulis ilmiah ini adalah: 1. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi petugas karantina tentang Salmonella enteritidis dan peranannya; 2. Membantu petugas karantina dalam mendukung tugas dan fungsinya khususnya dalam melakukan tindakan karantina.

BAB II
MATERI DAN METODE

Materi dan Metode
Tulisan tentang Peran Salmonella enteritidis Dalam Keamanan Pangan disusun berdasarkan studi literatur. Materi atau literatur yang dijadikan referensi tulisan berasal dari buku, hasil studi/penelitian, jurnal ilmiah, dan artikel-artikel.

Waktu dan Tempat
Pembuatan karya tulis ilmiah ini dilaksanakan di Jakarta dan Bogor pada bulan Januari sampai Pebruari 2015.

BAB III
PEMBAHASAN

Salmonella
Salmonelosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella spp. Menurut Portillo (2000) genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar atau serotipe. World Health Organization (WHO) membagi dalam dua spesies besar yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica merupakan spesies terbanyak dari genus Salmonella, dimana terdiri dari enam sub spesies yang didasarkan pada perbedaan karakter atau reaksi biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya yaitu Salmonella enterica subsp enterica, Salmonella enterica subsp salamae, Salmonella enterica subsp arizonae, Salmonella enterica subsp diarizone, Salmonella enterica subsp houtenae, dan Salmonella enterica subsp indica (OIE, 2000).

Klasifikasi Salmonella sangat kompleks karena organisme ini biasanya lebih merupakan sebuah kesatuan rangkaian dibanding spesies tersendiri. Salmonella diklasifikasikan menjadi serotipe berdasarkan perbedaan susunan antigenik somatik (O) atau lipopolisakarida dan antigen protein flagella (H) (OIE, 2000). Contoh pembagian berdasarkan formula antigenik sebagaimana terihat pada Tabel 1 dibawah.

Tabel 1. Formula antigenik Salmonella
Grup O
Serotipe
Formula Antigenik
D
S typhi  9
12 (Vi):d:-
A
S paratyphi A
1, 2 12:a
C1
S choleraesuis   6
6, 7:c:1,5
B
S typhimurium
1, 4, 5, 12:i:, 2
D
S enteritidis
1, 9, 12:9, m:-




Salmonella mempunyai habitat normal di saluran gastrointestinal dari hewan ternak, hewan liar, rodensia, pets, reptil, serangga (Adams & Moss, 2008). Infeksi Salmonella pada hospes sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya (Ariyanti & Supar, 2010). Berdasarkan pada faktor tersebut serovar Salmonella dikelompokan dalam 3 kelompok. Kelompok I adalah serovar yang patogen dan menyebabkan penyakit hanya pada manusia atau primata tingkat tinggi. Salmonella yang masuk dalam kelompok ini diantaranya adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi dan Salmonella sendai (ARS, 2002). Kelompok I dapat menyebabkan demam tifoid dan paratifoid. Salmonellosis akibat serovar ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik yang biasa dikenal dengan salmonellosis-tifoid. 

Kelompok II merupakan serovar yang mampu beradaptasi pada hewan yang spesifik. Beberapa serovar dari kelompok II diantaranya adalah Salmonella pullorum / Salmonella gallinarum pada ayam, Salmonella dublin pada sapi, dan Salmonella abortus ovis pada domba. Beberapa serovar dari kelompok ini dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada hospes lain seperti Salmonella dublin dapat menginfeksi manusia.

Kelompok III adalah serovar yang tidak memiliki hospes spesifik. Serovar ini sangat berbahaya karena bersifat patogen pada manusia dan hewan. Salah satu contoh dari kelompok ini adalah Salmonella enteritidis. Serovar pada kelompok ini umumnya menyebabkan gastroenteritis dengan infeksi yang terbatas pada saluran pencernaan dan masa inkubasi yang pendek.  Infeksi Salmonella dari kelompok ini biasa dikenal dengan salmonellosis non tifoid atau gastroenteritis (Cooper, 1994; Portillo, 2000).

Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi Salmonella pada manusia meliputi virulensi dan kinfasifan serotipe, jumlah sel bakteri yang teringesti, dan faktor resistensi. Faktor resistensi tergantung dari tiga faktor yaitu umur, mikroflora normal, dan kondisi kesehatan (muda, usia lanjut, wanita hamil, immunosupresi).

Secara umum orang yang terinfeksi Salmonella biasanya mengalami demam, kram perut, dan diare yang dimulai dari 12 sampai 72 jam setelah mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi. Sakit biasanya berakhir 4 sampai 7 hari, dan banyak orang membaik tanpa menggunakan antibiotik. Bagaimanapun diare dapat berlangsung parah, dan pasien memerlukan tindakan yang intensif di rumah sakit.

Gambar 1. Infeksi Salmonella pada manusia (wiki.ggc.edu)

Orang lanjut usia, bayi, dan orang dengan gangguan sistem imun dapat memiliki gejala klinis yang lebih parah. Pada pasien ini, infeksi menyebar dari sistem pencernaan ke aliran darah, dan kemudian ke bagian tubuh yang lain dan dapat menyebabkan kematian kecuali pasien diobati dengan antibiotik secara cepat (CDC, 2015).

Gejala klinis salmonelosis dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu enteritis dan penyakit sistemik. Pertama, enteritis, gastroenteritis merupakan infeksi utama yang terkait dengan serotip yang terjadi secara meluas pada hewan dan manusia. Mereka dapat menyebabkan diare dalam berbagai tingkatan sampai ke tingkat diare yang parah. Saat ini Salmonella enteritidis merupakan Salmonella yang paling umum sebagai penyebab enteritis. Periode inkubasi pada Salmonella penyebab enteritis biasanya antara 6 – 48 jam. Gejala yang biasa muncul adalah demam ringan, mual, muntah, sakit perut dan diare selama beberapa hari, tetapi pada beberapa kasus dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih.

Tabel 2. Gejala klinis                                      

Demam Enterik
Septikemia
Enterokolitis
Periode inkubasi
7-20 hari
Bervariasi
8-48 jam
Onset
Insidious
Tiba-tiba
Tiba-tiba
Demam
Gradual, kemudian plato tinggi dengan stadium typoidal
Cepat naik, kemudian suhu septic spike       
Biasanya rendah
Durasi penyakit
Beberapa minggu
Bervariasi
2-5 hari
Simtom gastrointestinal
Mula-mula konstipasi, selanjutnya diare berdarah
Tidak ada
Nause, vomiting, pada onset diare
Kultur darah
Positif pada 1-2 minggu sakit
Positif selama demam tinggi
Negatif
Stool cultures
Positif selama 2 minggu, negatif pada awal sakit
Sering positif
Positif secara cepat setelah onset

Sindrom keracunan disebabkan oleh masuknya makanan yang mengandung jumlah yang signifikan Salmonella. Dari waktu masuknya makanan sampai munculnya gejala biasanya berkembang dalam waktu 12-14 jam, pendek dan panjangnya waktu yang dibutuhkan telah dilaporkan. Gejala-gejalanya terdiri dari mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan an diare. Gejala-gejala ini biasanya diikuti dengan kelemahan, kelemahan otot, demam, gelisah, dan mengantuk. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama 2-3 hari (Jay et al. 2005).

Ada beberapa bentuk salmonellosis yang terjadi pada manusia yaitu gastroenteritis, demam enteric dan septicaemia. Gastroenteritis merupakan infeksi pada kolon yang biasanya terjadi selama 18-48 jam setelah masuknya Salmonella dalam tubuh manusia. Gastroenteritis dicirikan dengan diare, demam dan sakit perut.

Salmonella pada manusia dapat menyebabkan infeksi intestinal yang dikarakteristikkan dengan periode inkubasi 6-72 jam setelah masuknya makanan yang terkontaminasi dan demam mendadak, mialgia, cephalalgia, dan malaise (tidak enak). Gejala utama pada manusia berupa sakit perut, mual, muntah dan diare. Umumnya penderita salmonellosis akan kembali pulih setelah dua sampai empat jam. Carrier dapat menyebarkan Salmonella selama beberapa minggu.

Salmonella enteritidis
Salmonella enteritidis merupakan salah satu serotipe dari subspesies Salmonella enterica (OIE, 2000). Salmonella enteritidis ditemukan pada spesies unggas dan dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging ayamn yang terkontaminasi (Agricultural Research Service, 2002). Salmonellosis yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis banyak terjadi pada ternak ayam dan dapat mengakibatkan kontaminasi pada produk ayam sehingga perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak (GAST, 1997). Wabah salmonelosis akibat Salmonella enteritidis yang sering dilaporkan pada manusia akibat mengkonsumsi telur mentah.

Salmonella enteritidis satu dari banyak serotipe Salmonella yang dilaporkan di seluruh dunia. Selama periode 1980-an, emergensi Salmonella enteritidis sebagai kasus penting penyebab penyakit pada manusia di Amerika Serikat. Telur menjadi sumber pangan yang dihubungkan dengan infeksi Salmonella enteritidis. Salmonella enteritidis dapat berada di dalam telur yang kelihatan normal. Jika telur terkontaminasi Salmonella enteritidis kemudian dikonsumsi dalam kondisi mentah atau belum cukup masak maka bakteri akan menyebabklan sakit. Sejak tahun 2000-an, unggas ditemukan sebagai sumber pangan utama infeksi Salmonella enteritidis. Sedikit sekali Salmonella enteritidis teridentifikasi pada susu mentah, babi, daging sapi, tauge, dan almond mentah. Perjalanan internasional dan kontak dengan reptil juga telah dihubungkan dengan infeksi Salmonella enteritidis.

Habitat utama Salmonella enteritidis adalah saluran pencernaan hewan berdarah panas (Portillo, 2000). Salmonella enteritidis juga dapat ditemukan pada feses dan lingkungan seperti air, tanah, dan tanaman. Pangan asal hewan yang sering terkontaminasi Salmonella enteritidis adalah telur dan olahannya, daging ayam, daging sapi, susu, ikan dan olahannya, dan udang (Duguid dan North, 1991 ; Supardi dan Sukamto, 1999).

Gambar 2. Salmonella enteridis (original by wifss.ucdavis.edu)

Etiologi
Genus Salmonella berasal dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak berspora, panjang rata-rata 2 - 5 µm dengan lebar 0.8 – 1.5 µm (Percival et al. 2004). Secara umum Salmonella tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salicin walaupun glukosa dan monosakarida lainnya difermentasi dengan menghasilkan gas (Jay et al. 2005). Salmonella merupakan bakteri anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase negatif dan memfermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam atau asam dan gas (Jay et al. 2005). Salmonella dapat memfermentasi sukrosa tetapi jarang adonitol, urea negatif, indol negatif, tidak menghidrolisis urea atau deaminate phenylalamine, membentuk dekarboksilase lisin dan ornithine, negatif uji Voges-Proskauer, positif uji Methyl Red, tidak menghasilkan oksida sitokrom.

Salmonella dapat hidup pada kondisi dengan nilai pH 4 sampai pH 8 dengan pH optimum berkisar antara 6,5 sampai 7, umumnya sensitif terhadap konsentrasi garam tinggi. Aw minimum untuk pertumbuhan bakteri sekitar 0,93 namun sel bertahan pada baik pada makanan yang kering. Survival rate bakteri berbanding terbalik dengan penurunan nilai Aw nya. Salmonella tumbuh pada suhu diantara 8oC dan 45 oC dengan suhu optimum pada 37 oC. Salmonella merupakan bakteri yang sensitif panas dimana tidak tahan pada suhu lebih dari 70 oC. Pasteurisasi pada suhu 71.1 oC selama 15 menit dapat menghancurkan Salmonella pada susu. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi dehidrasi dalam kurun waktu yang sama pada feses dan makanan untuk konsumsi hewan dan manusia (PAN America Health Organization, 2001).

Penularan
Penularan pada manusia dapat terjadi melalui berbagai media pembawa. Beberapa penelitian menunjukan peran utama dari produk hewan dalam penularan Salmonella enteritidis ke manusia. Porier et al. (2008) menyatakan bahwa sumber utama infeksi pada manusia adalah telur, produk telur dan daging unggas. Selain ditemukan pada unggas dan produknya, Salmonella enteritidis juga ditemukan pada daging babi, daging sapi, susu dan produknya (es krim, keju). Studi yang dilakukan di China menunjukkan adanya Salmonella enteritidis pada daging yang dijual di pasar (Yang et al. 2010). Salmonella enteritidis dapat diisolasi pada daging yang diperjual belikan di pasar.

Banyak studi menunjukan bahwa telur menjadi sumbser utama dalam penularan atau infeksi Salmonella enteritidis pada manusia. Di beberapa negara Eropa dan Amerika, kasus Salmonelosis berasal dari pangan yang mengandung telur. Sebanyak lebih dari 44% Salmonelosis yang terjadi di dunia melibatkan konsumsi telur, produk asal telur yang terkontaminasi akibat kontaminasi pada saat telur diinkubasi selama pengeraman dan cara memasak telur yang kurang sempurna, seperti dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah .

Penularan pada produk hewan khususnya pada telur dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu secara ascenden  dan descenden. Salmonella yang keluar dari saluran pencernaan dapat menginfeksi telur, begitu juga dengan Salmonella yang berada pada ovarium dan oviduct. Infeksi descenden melalui jaringan ovarium sedangkan infeksi ascenden melalui vagina dan jaringan kloaka ayam (Jay et al. 2005).

 Gambar 3. Salmonella enteritidis pada telur ayam (original by: femsre.oxfordjournals.org)

Salmonella enteritidis dikeluarkan melalui feses yang kemudian mengkontaminasi makanan asal hewan seperti telur, daging dan susu. Pada penularan Salmonella enteritidis yang terjadi secara vertikal membuat telur sebagai kendaraan umum dalam infeksi ke manusia. Kontaminasi silang juga dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui peralatan masak yang terkontaminasi. Daging dan telur menjadi kendaraan umum dalam penularan dimana daging dan telur yang tidak masak diikuti Salmonella yang masih hidup/bertahan atau kontaminasi silang makanan lain yang dikonsumsi tanpa memasak lebih lanjut. Penularan pada manusia dapat terjadi melalui penularan antar penderita dengan rute faecal-oral.

Rute penularan Salmonella enteritidis pada telur dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yaitu transovarial, translokasi dari peritoneum ke kantung kuning telur atau oviduct, penetrasi kulit oleh organisme pada telur melalui kloaka, pencucian telur, dan penanganan makanan.

Gambar 4. Cara Penularan (original by PAN American Health Organization, 2001).

Patogenesa
Berdasarkan gejala klinis yang muncul, Salmonelosis dapat dikelompokkan dalam dua tipe, yaitu enteritis dan sistemik. Tipe enteritis merupakan infeksi utama yang terkait dengan serotip yang terjadi secara meluas pada hewan dan manusia. Tipe ini dapat menyebabkan diare dalam berbagai tingkatan. Salmonella enteritidis merupakan bakteri yang paling umum sebagai penyebab enteritis.

Pada penyakit enteritik dapat digambarkan prosesnya dimulai masuknya Salmonella kedalam tubuh inang, Salmonella enteritidis tahan terhadap asam lambung, menempel pada sel epitel ileum melalui mannose-resistant fimbriae. Mereka ditelan oleh sel dalam proses yang dikenal sebagai receptor mediated endocytosis. Kemampuan Salmonella untuk masuk ke sel non-phago-cytic merupakan sifat penting untuk patogenisitasnya. Endosit Salmonella melewati sel-sel epitel dalam vakuola membran yang terikat, dimana Salmonella memperbanyak diri dan kemudian keluar menuju lamina propria melalui membrane sel basal. Hal ini menyebabkan sel inflamasi mengeluarkan prostaglandin yang mengaktifkan adenylate cyclase memproduksi cairan yang disekresikan kedalam lumen usus. (Adams & Moss, 2008).

Sementara pada penyakit sistemik prosesnya dimulai dengan serotip yang dapat beradaptasi dengan inang lebih invasif dan menyebabkan penyakit sistemik pada inang, sifat/ciri ini dikaitkan dengan resisten terhadap fagositosis. Salmonella melakukan penetrasi terhadap epithelium usus dan terbawa oleh lymphatic ke limfonodus mensenterika. Setelah multiflikasi di makrofag, Salmonella dilepaskan untuk mengalir kedalam aliran darah dan kemudian disebarkan keseluruh tubuh. Salmonella dibersihkan dari darah oleh makrofag tetapi kembali memperbanyak diri. Hal ini mampu membunuh makrofag yang kemudian mengeluarkan bakteri dalam jumlah banyak kedalam darah yang menyebabkan septicaemia. Setelah mengalami multiplikasi di makrofag, Salmonella dilepaskan ke dalam aliran darah, membunuh sel makrofag, berkembang biak kembali dan kemudian disebarkan kembali ke seluruh tubuh. (Adams & Moss 2008).

Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan pada sejarah penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium dengan melakukan  isolasi dan identifikasi Salmonella  enteritidis secara biokimia maupun serotiping. Pada manusia diagnosa klinis yang disebabkan oleh Salmonella dikonfirmasi dengan isolasi agen, serologis, dan ketika kita membutuhkan tipe fase dan profil plasmid. Pada kasus septikemia, agen dapat diisolasi dari darah selama minggu pertama dan feses pada minggu kedua dan ketiga. Diagnosa Salmonella pada manusia juga dibuat dengan kultur feces. Screening test juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa awal Salmonella enteritidis. Uji serologis dapat dilakukan dengan menggunakan Enzym-linked Immunosorbent Assay dan Polymerase Chain Reaction.

Identifikasi dan isolasi Salmonella pada produk hewan dapat dilakukan dengan menggunakan metode konvensional yaitu pemupukan pada media penyubur dan selektif (Ariyanti & Supar, 2005). Saat ini telah dikembangkan beberapa metode deteksi cepat terhadap Salmonella seperti Enzym-linked Immunosorbent Assay (ELISA), metode immunodifusi, metode hibridasi asam nukleat maupun Polymerase Chain Reaction (PCR). Beberapa keunggulan metode deteksi cepat tersebut adalah waktu pemeriksaan yang lebih cepat, hasil pemeriksaan yang lebih tepat, lebih sensitif dan lebih spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (Feng, 2001).

Diagnosa Banding
Salmonella enteritidis selalu dikaitkan dengan gastro-enteritis. Sehingga beberapa penyakit yang menyebabkan diare dan gastro-enteritis menjadi diagnosa banding dari Salmonella enteritidis. Diagnosa banding dari Salmonella enteritidis diantaranya adalah Shigella, Campylobacter, Escherichia coli, keracunan makanan akibat toksin  (Clostridium perfringens, Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus), Amoeba dan Giardia.

Distribusi di Indonesia
Keberadaan Salmonella enteritidis di Indonesia telah lama dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalivet). Balai Besar Penelitian Veteriner telah berhasil mengisolasi sebanyak 87 isolat Salmonella enteritidis. Pada periode tahun 1996-1999 jumlahnya meningkat menjadi 259 isolat, dan makin meningkat pada tahun 1999-2003, sebanyak 305 isolat. Sebanyak 53 isolat Salmonella enteritidis telah dilakukan phage typing dan diketahui bahwa 2 isolat termasuk phage tipe 2 dan 46 isolat adalah phage tipe 4. Isolat-isolat Salmonella enteritidis yang telah diisolasi di BBalitvet berasal dari ayam, telur ayam, bulu ayam, litter paper box, pakan ayam, daging ayam, embrio ayam, air lingkungan peternakan, dari hewan lain seperti tikus, kucing, burung bayan, burung makao, dan juga dari manusia.

Salmonella enteritidis yang ditemukan di Indonesia kemungkinan besar berasal dari Eropa karena isolat tersebut ditemukan bersamaan dengan masuknya bibit ayam petelur maupun bibit ayam pedaging dari luar negeri dan phage tipe yang ditemukan sama yaitu phage tipe 4. Hasil studi yang dilakukan oleh Poernomo (2004) menunjukan bahwa wilayah penyebaran Salmonella enteritidis meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Bulan dan Sumatera Utara.

Pencegahan dan Pengendalian
Prinsip pencegahan dan pengendalian Salmonella enteritidis berbasis pada perlindungan manusia dari infeksi dan mengurangi prevalensinya pada hewan. Inspeksi daging dan unggas serta pengawasan pasteurisasi susu dan produksi telur menjadi hal penting dalam perlindungan terhadap konsumen. Tindakan pengendalian penting lainnya adalah pendidikan mengenai penanganan makanan yang tepat, baik pada perusahaan maupun rumah tangga, tentang memasak yang benar, dan praktek-praktek pendinginan untuk pangan asal hewan. Pengetahuan tentang penanganan makanan sangat penting karena beberapa faktor dapat mempengaruhi kejadian salmonelosis akibat mengkonsumsi makanan yaitu suhu pemanasan tidak cukup sempurna, pendinginan lambat, pemanasan ulang tidak sempurna, waktu masak-santap cukup lama (tersimpan pada suhu 4-60 oC).

Pengetahuan tentang higiene personal dan lingkungan menjadi penting dalam mencegah terjadinya salmonelosis. Higiene personal seperti tindakan mencuci tangan dalam penanganan makanan dan juga sebelum mengkonsumsi makanan menjadi hal penting. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hedican et al. (2009) terhadap wabah yang terjadi di restoran di Minnesota menunjukan bahwa pekerja restoran yang menyajikan makanan menjadi media penyebaran Salmonella enteritidis kepada pengunjung restoran. Maka penanganan makanan yang tepat termasuk higiene personal didalamnya menjadi hal penting dalam pencegahan penyebaran Salmonella enteritidis.

Surveilan epidemiologi juga dibutuhkan untuk mengevaluasi tingkat masalah disetiap Negara, lokasi terjadinya wabah dan mengadopsi metode untuk mengurangi resiko. Pada hewan tindakan yang dapat dilakukan meliputi eliminasi carriers, kontrol bakteri pada pangan, imunisasi/vaksinasi dan manajemen pengelolaan ternak yang tepat dan peternakan unggas.

Peningkatan jumlah kasus manusia akibat infeksi Salmonella enteritidis yang penularannya melalui telur tidak membuat strategi hanya dilakukan pada penghasil telur/ayam tetapi juga peningkatan rekomendasi untuk konsumen dalam menangani dan memakan telur dan produknya (Okamura et al., 2007). Penanganan telur dan produk hewan lainnya sebelum dikonsumsi merupakan salah satu critical point dalam penularan Salomonella enteritidis. Sosialisasi penanganan terhadap telur sebelum dikonsumsi harus terus dilakukan.

Selain itu semua maka penggunaan antibiotik juga harus dilakukan secara tepat. Perlu regulasi yang mengatur penggunaan antibiotik secara tepat khususnya pada peternakan unggas. Penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab akan menyebabkan munculnya resistensi Salmonella enteritidis terhadap antibiotik. Beberapa Salmonella resiten terhadap antibiotik tertentu, termasuk Salmonella enteritidis. Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira et al. (2006) menunjukan Salmonella enteritidis memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap gentamicin (12.7%), streptomycin (11.4%) dan nalidixic acid (21.5%). Resistensi Salmonella terhadap antibiotik menjadi ancaman serius bagi dunia kesehatan. Ketika Salmonella resisten terhadap beberapa antibiotik yang biasa digunakan dalam pengobatan manusia maka harus ada pilihan jenis antibiotik lain yang mampu membunuh Salmonella. Hal ini tidak mudah karena biasanya akan meningkatkan dosis antibiotik yang lebih tinggi dan ini tentu tidak baik bagi kesehatan manusia.

Di Amerika Serikat, Salmonella enteritidis dihubungkan dengan konsumsi telur mentah atau telur yang belum masak. Kasus salmonelosis lebih banyak disebabkan karena penularan dari telur akibat mengkonsumsi telur yang belum masak/mentah. Melihat kondisi yang ada maka Center for Disease Control and Prevention sebagai pusat pencegahan dan pengendalian penyakit merekomendasikan beberapa hal yaitu pertama, telur mentah atau belum dimasak harus dihindari khususnya untuk bayi, orang lanjut usia dan orang yang menderita immunocompromised, kedua, ketika telur tidak dimasak dengan baik, pasteurisasi produk telur harus dilakukan, ketiga, telur harus dimasak pada suhu ≥ 145 °F (63°C) selama 15 menit atau sampai kedua kuning dan putih telur keras dan kemudian harus dimakan dengan segera, keempat, tempat makan dan peralatan makan lainnya yang mengandung telur mentah harus dimasak sampai suhu 160 °F (71°C), dan kelima, telur mentah harus disimpan pada suhu ≤ 45 °F (7.2 °C).

Peran Badan Karantina Pertanian
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan , dan Tumbuhan serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan maka tanggung jawab pengawasan lalu lintas media pembawa termasuk produk hewan di dalamnya adalah petugas karantina. Dalam memberikan jaminan keamanan dan kesehatan terhadap produk hewan yang dilalu-lintaskan atau didistribusikan ke masyarakat, petugas karantina melakukan pemeriksaan mulai dari pemeriksaan fisik sampai laboratorium. Pemeirksaan laboratorium dilakukan untuk meneguhkan diagnosa terhadap jenis agen penyebab penyakit. Saat ini Badan Karantina Pertanian memiliki fasilitas pengujian mulai dari rapid test sampai tingkat molekular.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238 tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa, Salmonella enteritidis tidak masuk dalam HPHK. Dalam Keputusan Menteri Pertanian tersebut hanya Salmonella gallinarum yang dikategorikan sebagai HPHK. Padahal kalau dilihat dari dampak dan potensi bahaya dari Salmonella enteritidis perlu dipertimbangkan masuk dalam kategori HPHK.

Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan kajian lebih lanjut tentang urgensi memasukan Salmonella enteritidis dalam kategoris HPHK. Hal ini dirasa sangat penting bagi jaminan keamanan media pembawa khususnya produk hewan yang dilalu-lintaskan. Dengan sistem biosekuriti di peternakan unggas yang masih sangat beragam, kemudian telah ditemukannya isolat Salmonella enteritidis perlu kiranya Badan Karantina Pertanian memfokuskan pemeriksaan media pembawa produk hewan kaitannya dengan Salmonella enteritidis.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Salmonella enteritidis menjadi salah satu isu global dalam keamanan pangan dunia.
2. Telur menjadi sumber utama pada kasus salmonelosis di manusia.
3. Penanganan pada telur dan produk hewan sebelum dikonsumsi dangat penting dalam rangka mencegah infeksi Salmonella enteritidis.
4. Peran Badan Karantina Pertanian sangat penting dalam rangka memberikan jaminan media pembawa (produk hewan) yang dilalu lintaskan bebas dari kontaminasi Salmonella enteritidis.

Saran 
1. Sosialisasi kepada masyarakat tentang tindakan pencegahan terhadap Salmonella enteritidis.
2. Perlu dikaji kembali kemungkinan Salmonella enteritidis masuk dalam kategori HPHK.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology Third Edition. RSC Publishing; 235 - 249. UK.

Agricultural Research Service. 2002 . A focus on Salmonella. http ://www.nal.usda.Rov/fsirio/research/(sleets/fsheetlO.htm.April 12, 2005).

Agricultural Research Service, 2002. A focus on Salmonella. http://www.nal.usda. gov/fsirio/research/fsleets/fsheet10.htm.

Akhtar F,  Khan A,  Rahman SU. 2010. Prevalence and Antibiogram Studies of Salmonella Enteritidis Isolated from Human and  Poultry Sources. Pakistan Veterinary Journal (22).

Ariyanti T & Supar. 2005. Peranan Salmonella Enteritidis Pada Ayam dan Produknya. Wartazoa Vol. 15 No. 2 Th. 2005.

Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2015. Salmonella. http://www.cdc.gov/salmonella/. (11 Mei 2015).
Collard JM, Bertrand S, Dierick K, Godard C, Wildemauwe C, Vermeersch K, Duculota J, Immerseel FV, Pasman F, Imberecht H, Quinet C. Drastic decrease of Salmonella Enteritidis isolated from humans in Belgium in 2005, shift in phage types and influence on foodborne outbreaks. Epidemiol. Infect. (2008), 136, 771–781 (9).

Cooper, GL. 1994. Salmonellosis-infection in man and the chicken: pathogenesis and development of live vaccines-a review. Vet.Bull. 64(2):124.

GAST,R.K. and S.T. BESTON. 1995. The comparative virulences for chicks of Salmonella enteritidis phage type 4 isolates and isolates of phage type commonly found in the United State. Avian Dis . 39 : 567-574.

Hedican E,  Hooker C,  Jenkins T,  Medus C,  Jawahir S, Leano F, Smith K. 2009. Restaurant Salmonella Enteritidis Outbreak Associated with an Asymptomatic Infected Food Worker. Journal of Food Protection, Vol. 72, No. 11, 2009, Pages 2332–2336 .

Jay James M, Loessner Martin J, Golden David A. 2005. Modern Food Microbiology Seventh Edition Foodnorne Gastroenteritis Caused by Salmonella and Shigella. Springer. page : 619-631.

Mølbak K and Neimann J. 2002. Risk Factors for Sporadic Infection with Salmonella Enteritidis, Denmark, 1997–1999. American Journal of Epidemiology; Vol. 156, No. 7.

OIE. Office International Des Epizootis. 2000. Salmonellosis. In Manual of standards for diagnostic test and vaccines. World organization for animal health, pp 691-699.

Okamura M, Kikuchi S, Suzuki A, Tachizaki H, Takehara K, Nakamura M. 2007. Effect of Fixed or Changing Temperatures During Prolonged Storage On the Growth of Salmonella enterica serovar Enteritidis Inoculated Artificially Into Shell Eggs. Epidemol. Infect. (2008). 136, 1210-1216.

Oliveira FA, Brandelli A, Tondo EC. 2006. Antimicrobial resistance in Salmonella Enteritidis from foods involved in human salmonellosis outbreaks in southern Brazil. The New Microbiologica, 29, 49-54 (01).
PAN American Health Organization. 2001. Zoonoses And Communicable Diseases Common To Man And Animals Thrid Edition Volume 1 Bacterioses and Mycoses. PAN American Health Organization; 233 – 246.

Percival S, Chalmers R, Embrey M, Hunter P, Sellwood J and Wyn-Jones P. 2004. Microbiology of Waterborne Diseases Salmonella. Elsevier Academic Press ; 173 – 182.

Poernomo S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa Vol. 14., No. 4., Hal:143-159.

Poirier E, Watier L, Espie E, Weill FX, Devalk H, Desenclos JC. 2008. Evaluation of the impact on human salmonellosis of control measures targeted to Salmonella Enteritidis and Typhimurium in poultry breeding using time-series analysis and intervention models in France.  Epidemiol. Infect. (2008), 136, 1217–1224.

Portillo, FG. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis First Edition. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7.

Yang B, Qu D, Zhang X, Shen J, Cui S, Shi Y, Xi M, Sheng M, Zhi S, Meng J. 2010. Prevalence and characterization of Salmonella serovars in retail meats of marketplace in Shaanxi, China. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 63–72.

*********

PENTING UNTUK PETERNAKAN: