Erysipelas adalah penyakit pada babi yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala penyakit yang menciri adanya bercak kemerahan seperti berlian di kulit dan kekakuan sendi yang bersifat menular. dan bersifat zoonosis.. Nama lain penyakit ini adalah
Diamond skin disease, Erisipelas.
A. PENDAHULUAN
Erysipelas
adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri dan terutama
menyerang babi. Bakteri Erysipelothrix rusiopathiae penyebab penyakit tersebut
berkesan seperti berlian atau Erysipelathrix insidiosa. Erysipelas pada babi
biasanya menimbulkan bercak-bercak merah pada kulit sehingga sering disebut
“diamond skin disease”. Disamping itu, erysipelas dapat menimbulkan
polyarthiritis pada babi. Penyakit tersebut pernah dilaporkan di Amerika,
Eropa, Rusia, Australia, Papua New Guinea, Asia, termasuk Indonesia. Kerugian
ekonomi penyakit erysipelas cukup serius yang antara lain meliputi hewan tidak
produktif, penurunan produksi daging, angka kematian yang tinggi pada anak babi.
Selain
pada babi erysipelas juga menyerang domba, unggas, dan secara spontan menyerang
berbagai jenis hewan lainnya termasuk manusia. Pada manusia infeksi bersifat
lokal dan menimbulkan bintik-bintik merah pada kulit disebut erysipoloid.
B. ETIOLOGI
E.insidiosa
berbentuk batang langsing, kecil, lurus, membentuk kurva atau membentuk filamen,
membentuk koloni halus (S), koloni kasar (R) dan koloni antara halus dan kasar
(RS) tergantung type dari erysipelas. Bakteri yang berasal dari koloni halus
berbentuk batang halus, panjang 0,5-2,5 micrometer sedangkan yang berasal
koloni kasar membentuk filamen, bercabang atau membentuk lingkaran, dengan
ukuran panjang antara 4,15 micrometer. Bakteri ini tidak membentuk spora, tidak
bergerak dan bersifat Gram positif, biasa terdapat pada tonsil dan selaput
lendir pada babi sehat dan hewan lain. Selain itu, dalam lendir tubuh ikan air
tawar dan asin, cysta bakteri-bakteri biasanya hidup dan berkembang biak selama
musim panas pada tanah yang alkalis.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Sifat
Alami Agen
Erysipelothrix
termasuk bakteri yang memiliki resistensi tinggi terhadap pengaruh lingkungan
baik fisik maupun kimiawi tetapi sensitif terhadap panas. Bakteri ini akan mati
pada pemanasan 550C selama 10 menit. Di alam bebas dibawah sinar matahari
langsung bakteri erysipelothrix tahan hidup selama 12 hari, di dalam air
minimum 4-5 hari sedangkan didalam air selokan atau aquarium tahan 12-14 hari.
Di dalam tempat yang terlindung, bakteri ini dapat tahan hidup lebih lama
misalnya di dalam feses dapat hidup selama 1-5 bulan, di dalam karkas yang
membusuk 4 bulan, di dalam karkas yang dikubur 9 bulan, di dalam lendir yang
menutup tubuh ikan tahan 4- 6 bulan pada suhu 10-12°C.
Bakteri
Erysipolothrix tidak mati oleh proses pengawetan daging secara penggaraman,
pengasaman maupun pengasapan. Di dalam daging yang diawetkan dengan penggaraman
serta ditambah KNO akan tahan selama 30 hari didalam daging yang diasamkan 170
hari, dan di dalam daging yang diasapkan tahan 3 bulan. Mengingat sifat daya
tahan bakteri erysipolothrix di alam maka sangat penting artinya terutama dalam
hal terjadinya infeksi langsung pada hewan maupun pada manusia.
2. Spesies
rentan
Spesies
rentan adalah babi, domba, kalkun, dan unggas lain, karnivora, serta kuda
sedangkan pada sapi kurang peka.
Pada
hewan percobaan, mencit dan burung dara paling peka, kelinci kurang peka,
marmot bersifat resisten. Pada ikan bakteri ini bersifat saprofit, terdapat pada
lendir menyelimuti tubuhnya kadang-kadang pada ikan dapat menyebabkan septisemia
dan peradangan pada kulit. Selain pada hewan peliharaan infeksi bakteri
Erysipelothrix didapatkan pada babi liar, burung liar, rodentia, tikus rumah
serta tikus. Infeksi E.insidiosa pada manusia berhubungan erat dengan sifat
pekerjaannya, misalnya manusia yang banyak terserang ialah pemeliharaan,
pengolah daging babi, pekerja di rumah potong hewan, penjual ikan, nelayan,
dokter hewan dan mahasiswa kedokteran hewan, serta petani yang bekerja
disekitar peternakan babi.
3. Pengaruh
Lingkungan
Musim
panas dan musim hujan dapat langsung mempengaruhi, namun penyakit dapat mewabah
apabila disertai faktor stres.
4. Sifat
penyakit
Sifat
penyakit erysipelas pad babi sporadic dan dapat mewabah dengan mortalitas
tinggi dan morbiditas sangat bervariasi, pada domba kematian jarang terjadi.
5. Cara
Penularan
Yang
dapat bertindak sebagai reservoir penyakit adalah :
a. semua
hewan yang terinfeksi
b. tanah
bekas peternakan babi yang pernah terserang erysipelas, yang merupakan sumber
infeksi selama bertahun-tahun.
c. tempat
pembuatan kotoran hewan dan kotoran dari RPH, empang dan pasar ikan.
d. tikus
liar, tikus rumah dan rodensia lainnya yang hidup ditempat-tempat tersebut
diatas.
e. daging
asal babi sakit (pemotongan gelap), sebelum maupun sesudah mengalami proses
penggaraman, pengasaman atau pengasapan.
f. ikan
dan tepung ikan.
Penularan pada
hewan dapat terjadi
lewat saluran pencernaan
atau secara oral, lewat kulit yang tidak utuh atau secara kutan dan
intrauterin. Ektoparasit seperti kutu anjing, caplak dan lalat dapat bertindak
sebagai vektor mekanik. Pada manusia cara penularan dapat terjadi melalui kulit
atau secara kutan.
1. Faktor
Predisposisi
Erysipelas
terjadi oleh penyebaran infeksi yang diawali dengan berbagai kondisi yang
berpotensi timbulnya kolonisasi bekteri, misalnya: luka, koreng, infeksi
penyakit kulit lain,luka operasi dan sejenisnya, serta kurang hygiene. Selain
itu, Erisipelas dapat terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan daya
tahan tubuh, misalnya: diabetes millitus,malnutrisi (kurang gizi), dan
lain-lain.
2. Distribusi
Penyakit
Sekitar
tahun 1964 terjadi wabah penyakit pada satu perusahaan babi di daerah Cibinong,
kabupaten Bogor dengan tanda-tanda bercak- bercak merah pada kulit dan angka
kematian tinggi pada anak babi, sedang pada babi dewasa tampak kurus atau badan
seperti papan. Salah satu perusahaan babi di Kapok, Cengkareng Jakarta Barat
pada Februari 1979 dilaporkan ada
kematian sebanyak 143 babi. Kematiannya terjadi secara tiba-tiba, kadang-kadang
didahului oleh tanda-tanda atau gejala klinis seperti hewan tampak menyendiri,
sering menggigil, berteriak-teriak, merebahkan badannya, napasnya cepat, dan
adanya warna kemerahan pada kulit hampir di seluruh permukaan tubuh.
Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 1979, akhirnya dapat diisolasi bakteri
erysipelas dari darah dan limpa babi oleh FKH IPB, 1982 diisolasi oleh OPPH
Maros, tahun 1988 BPPH Medan.
Penyakit babi
yang secara klinis
diduga erysipelas dinyatakan
telah terjadi pada peternakan babi rakyat di beberapa daerah di pulau
Bali, dan menyebabkan banyak kematian terutama pada babi muda.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
a.
Pada Babi
Penyakit Erysipelas
pada babi dapat
terjadi secara akut,
sub akut dan kronik.
(1) Bentuk akut
Pada
bentuk akut sering disebut bentuk septisemia hewan menunjukkan suhu tinggi,
bahkan beberapa tahun hewan akan mati tanpa menunjukkan gejala disertai diare
dan diikuti konstipasi. Babi yang sakit tidak ada nafsu makan, tidak suka
bergerak dan biasanya berjalan kaku dengan punggung yang melengkung karena babi
tersebut menahan sakit.
Gambar
1. Bercak-bercak merah pada kulit babi penderita Erysipelas
(Original picture by: http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E05.htm)
Beberapa
babi muntah-muntah, gemetar atau bernafas dengan susah dan batuk. Pada matanya
bengkak dan merah serta mengeluarkan air mata. Tidak jarang terjadi kelumpuhan
kaki. Pada tahap akut babi dapat menunjukkan bercak-bercak merah yang menonjol
pada kulit, yang disebut ”diamond skin disease”. Lesi kulit dengan kebengkakan
tersebut dalam beberapa hari berkurang kemudian menghilang. Pada kasus yang
lain bercak-bercak merah tersebut menjadi satu dan menyerang daerah kulit yang
luas yang kemudian menjadi merah kehitam-hitaman mengeras dan akhirnya terjadi
pengelupasan.
(2) Bentuk sub akut
Bentuk
ini kurang hebat dari bentuk akut. Babi biasanya tidak begitu sakit, suhu tidak
begitu tinggi dan masih ada nafsu makan. Lesi kulit mulai tampak kemerahan.
Kasus kematian Iebih rendah. Hewan yang dapat bertahan pada kondisi akut maupun
sub akut tidak selalu sembuh secara sempurna dan sering kali berubah menjadi
kronik.
(3) Bentuk kronik
Bentuk
ini merupakan lanjutan dari bentuk akut dan sub akut, tetapi kadang-kadang
dapat berdiri sendiri. Arthiris akan timbul, persendian membengkak, panas dan
nyeri sehingga babi menjadi lumpuh. Kemudian terjadi kelainan-kelainan nekrotik
pada kulit yang dapat mengelupas misalnya pada ekor dan ujung telinga. Tidak
jarang jantungnya akan terkena bila terjadi pertumbuhan serupa bunga kol pada
kutub jantung yang mengganggu fungsi organ tersebut. Hewan dapat mati dengan
mendadak tanpa gejala-gejala yang menyolok.
b.
Pada Domba
Tanda-tanda
penyakit adalah kebengkakan
persendian pada salah satu kaki atau lebih, terjadi penebalan
pada kapsul persendian berisi cairan yang tidak bernanah tetapi bergranulasi.
Kadang-kadang disertai proses pernanahan, yang disebabkan adanya infeksi
sekunder oleh bakteri-bakteri pyogenes. Hewan susah berjalan/kaku, sering
berbaring, bila sudah berbaring susah untuk bangun, sedang nafsu makan ada
kalanya tetap baik. Umumnya tidak didapatkan kelainan pada organ- organ tubuh
maupun bagian tubuh lainnya.
Domba
umur 2 – 3 bulan rentan terhadap penyakit ini meskipun hewan tua juga dapat
terserang. Selain melalui luka, infeksi juga dapat terjadi lewat tali pusar.
c. Pada
Sapi
Pada
umumnya terjadi arthiritis pada sendi tibio-tarsal atau di daerah sendi karpal.
Dari persendian yang terinfeksi bakteri erysipelas dapat diisolasi. Pernah
dilaporkan suatu kasus encephalomielitis yang disebabkan oleh E.rhusiopathiae.
d. Pada
Unggas
Tanda-tandanya adalah
terjadinya ptekie sampai
hemorragi pada otot dada dan paha.
e. Pada
hewan lain
Di Amerika
pernah dilaporkan E.insidioae
rnenyerang buaya dan lumba-lumba.
2. Patologi
Pada
babi kelainan pasca mati pada bentuk akut tidak khas. Dapat terjadi radang pada
lambung, usus, kandung kemih dan ginjal tetapi kelainan ini juga didapati pada
penyakit lain. Jika terdapat lesi pada kulit akan sangat membantu diagnosa.
Pada kasus kronik akan terjadi penebalan kapsul di sekeliling persendian dan
permukaan tulang persendian akan menjadi kasar dan mengalami erosi.
3. Diagnosa
Diagnosa
laboratorium dilakukan dengan:
a. Pemupukan
bahan pemeriksaan pada Media Tryptose Broth, Tryptose Phospat Agar dan agar
darah dan pengeraman selama 24-48 jam pada suhu 37°C.
b. Pemeriksaan
mikroskopik isolat yang telah ditumbuhkan.
c. Identifikasi isolat
isolat yang telah
ditumbuhkan berdasarkan sifat biokimiawi.
d. Uji
biologik dengan memakai hewan percobaan seperti mencit, tikus, burung, merpati,
kelinci, dan hamster.
Diagnosa secara
serologis tidak dianjurkan
sebab tidak memberikan reaksi yang spesifik.
4. Diagnosa
Banding
Penyakit erysipelas
yang bersifat akut
pada hewan muda
secara klinis sulit dibedakan dari penyakit septisemia lainnya seperti
kolera babi, salmonellosis akut atau infeksi bakterial Iainnya.
Arthritis
yang disebabkan oleh Mycoplasma hycosinoviae sangat mirip dengan arthritis yang
disebabkan erysipelas.
Arthritis
dapat pula disebabkan oleh Streptococus, Staphylococus. Corynebacterium dan
Brucella yang biasanya juga disertai dengan kelumpuhan.
Nekrosis dan
deskuamasi beberapa daerah
dari kulit, yang
kadang- kadang terjadi sebagai akibat dari erysipelas babi akut, dapat
dikacaukan dengan kejadian terbakar matahari yang hebat, fotosensitasi,
pengaruh ektoparasit dan para keratosis.
5. Pengambilan
dan Pengiriman Spesimen
Untuk
tujuan isolasi dan indentifikasi erysipelas dapat dikirim bahan - bahan seperti
tonsil darah, feses, air kemih, organ limpa, hati, ginjal, kelenjar limfe,
sunsum tulang, cairan persendian yang terserang, eksudat peritonial, otot dan
pada manusia biopsi kulit yang meradang. Sebagai media transport dapat dipakai
kaldu daging ditambah 1% glukose. Dari segi keberhasilan isolasi bakterinya
urutan dari organ-organ yang akan dikirim untuk pemeriksaan adalah ginjal,
limpa, hati, dan persendian serta tonsil.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Serum
kebal, digunakan untuk tujuan profilaksis dan pengobatan.
Profilaksis:
- Diberikan
5 ml serum untuk hewan yang beratnya sama dengan atau kurang dari 50 kg. Untuk
tiap kenaikan berat badan 10 kg di atas 50 kg diberikan tambahan 1 ml serum.
- Imunitas
yang ditimbulkan tidak lebih dari 15 hari.
2. Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan
a. Vaksin
(1) Attenuated
vaccine: atenuasi dilakukan
pada kelinci. Kekebalan yang ditimbulkan 8-12 bulan. Untuk
ternak bibit dilakukan vaksinasi ulang selang 1 tahun.
(2) EVA: Erysipelas Vaccine Avirulent. EVA
adalah single lyophilized culture dari E.insidiosa yang bersifat avirulen.
Penggunaanya bisa secara tunggal atau secara simultan dengan pemberian serum
kebal. Pada babi dapat diberikan secara oral, dapat menimbulkan/membentuk
kekebalan selama 6 bulan.
b.
Tindakan Higiene
(1) Untuk menekan jumlah pencemaran maka harus
diadakan sistem drainase perkandangan yang lancar, disediakan tempat khusus
untuk pembuangan kemih dan feses, lantai kandang harus terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan.
(2) Bila ada hewan yang mati karena erysipelas
harus dibakar dan semua peralatan bekas pakai harus disinfektan.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim
2011. The Merck Veterinary Manual 11th
Edition, Merek & CO, Inc Rahway,
New Jersey, USA.
Anonim
2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews
AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing
Company Australia.
Direktur
Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta
Indonesia.
Howard
W Dunne 1999. Disease of Swine, Fourth Edition, The Jowa State University,
Press, Ames, Jowa, USA.
Plumb
DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd
Edition. Iowa State University Press
Ames.
Quinn
PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd.
Blackwell Publishing Company Australia.
Radostids
OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle,
Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th
Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith
BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science,
St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto
dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto
2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Di
sadur oleh Drh Giyono Trisnadi, dari MANUAL PENYAKIT HEWAN MAMALIA, dengan
judul “ERYSIPELAS”, Tahun 2014. Diterbitkan
oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jl. Harsono RM
No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar