Penyakit
Tuberkulosis adalah penyakit menular, dapat terjadi pada manusia maupun hewan (sapi
dan mamalia lainnya, juga unggas, reptilia dll), bersifat kronis, di
sebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberculosis (tbc), pada infeksi awal gejala tidak nampak jelas, gejala gejala yang timbul tergantung organ dimana penyakitnya menginfeksi.
Sebagai
penyakit menular tuberculosis sudah dikenal sejak lebih dari
2000 tahun yang
lalu, ditemukan tanda
menciri dari penyakit
ini pada tulang mumi Mesir kuno. Robert Koch, antara tahun 1882-1884
berhasil memperlihatkan agen penyebab pada jaringan berpenyakit melalui
pewarnaan, kemudian menumbuhkannya secara murni pada media dan membuktikan
sifat kepenularan penyakit ini pada hewan percobaan.
Sebutan
Mycobacterium bermakna bakteri yang menyerupai jamur suatu penamaan yang diangkat
dari kenyataan, bahwa bakteri penyebab tuberkulosis dalam pertumbuhannya pada
media cair, sesudah beberapa lama, akan membentuk lapisan tebal seperti jamur
(pellicle) yang terdapat pada bagian atas media.
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis
Sapi.
Selain
menyerang sapi dan berbagai jenis hewan lian, tuberkulosis sapi menyerang
manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuberkulosis sapi termasuk
kedalam salah satu penyakit zoonosis penting yaitu penyakit yang dapat
menyerang baik ke hewan maupun manusia yang perlu diwaspadai.
Pada
Perusahaan Pembibitan harus bebas dari dua jenis penyakit hewan menular yaitu
brucellosis dan tuberkulosis. Juga sapi jantan yang dipelihara di Balai
Inseminasi Buatan (BIB) untuk pembuatan semen beku harus bebas dari tuberkulosis
sapi. Status bebas penyakit demikian harus dipantau setiap tahunnya dengan
menerapkan uji tuberkulin pada setiap individu sapi yang ada dalam Peternakan
atau BIB yang bersangkutan.
Kerugian
ekonomi akibat tuberkulosis sapi tidak mudah dinilai. Dalam hubungan ini,
kerugian ekonomi bukan saja berupa kematian sapi penderita, tetapi juga karena
kehilangan efisiensi produksi (diperkirakan hingga mencapai 10-25%) pada sapi
yang sakit, baik karena kehilangan atau menurunnya produksi susu maupun karena
kehilangan daging dan tenaganya.
B. ETIOLOGI
Tuberkulosis
adalah penyakit menular bersifat menahun (kronis) yang disebabkan oleh bakteri
dari genus Mycobacterium. Agen penyebab tuberkulosis pada manusia, sapi dan
unggas, semula dikenal berturut-turut dengan nama Mycobacterium tuberkulosis
(human type), M.tuberkulosis (bovine type) dan M.tuberkulosis (avian type).
Kemudian diketahui, bahwa ternyata ketiganya memiliki sejumlah perbedaan baik
dalam sifat-sifat pertumbuhan maupun patogenisitasnya pada hewan laboratorium,
maka sehubungan dengan hal tersebut
dapat dibedakan 3 tipe tuberkulosis dengan agen penyebabnya
masing-masing sebagai berikut. Tuberkulosis manusia (human type tuberculosis),
dengan agen penyebab M.tuberculosis, tuberkulosis sapi (bovine type tuberkulosis),
dengan agen penyebab M.bovis dari tuberkulosis unggas (avian type
tuberculosis), dengan agen penyebab M.avium.
M. avium
ada yang menyatakan ini merupakan spesies tersendiri disebut-sebut sebagai sangat
dekat dengan M. intracellulare, yang
oleh sebagian peneliti diberi nama gabungan
M.avium-intracellular. Para peneliti di Amerika serikat, menambahkan satu
spesies lagi, yakni M. scrofulaceum, yang kemudian menyebut kelompok tersebut
sebagai M. avium-intracellulare-scrofulaceum complex, yang lebih dikenal dengan
singkatannya MAIS complex. Selain itu, dikenal pula M. africanum, yang
diketahui memiliki sifat-sifat yang menjembatani antara sifat yang dimiliki M. tuberkulosis
dan sifat dari M. bovis.
Dari
khasanah mikobacteria sering disebut-sebut istilah MOTT, adalah singkatan dari
Mycobacteria other than tuberkulosis, merupakan semua bakteri yang termasuk
dalam mikobacteria, kecuali M.tuberculosis.
Tuberkulosis
sapi adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
bovis, dengan sifat penyakit yang berjalan menahun (kronis) dan ditandai dengan
terbentuknya lesi yang berupa bungkul /benjolan (dikenal sebagai tuberkel) yang
disertai dengan proses perkejuan dan perkapuran.
Gambar
1. Paru dan Limfonodus Rusa. Terdapat focal nekrosis perkejuan yang diselaputi
jaringan berkapsul berwarna pucat (tuberkel). Hampir seluruh Limfonodus
dipenuhi dengan debris nekrosa perkejuan yang disebabkan oleh Corynebacterium
pseudotuberculosis.(Original
picture by: http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-images.
php?name=bovine-tuberculosis&lang=en)
Bila
penyakit berlanjut, maka hewan sakit akan menunjukkan gejala batuk dengan
kelenjar limfe di daerah kepala dan ususnya membesar (beberapa kali lipat dari
ukuran normal) yang dapat dilihat dan diraba, serta kondisi tubuh penderita
yang sangat kurus (emasiasi).
M. bovis
adalah bakteri yang tidak motil, tidak berspora, biasanya berbentuk batang
Iurus Iangsing, berukuran 0,5 x 2-4 um (kadang-kadang terlihat pleomorfik
berfilamen atau bercabang), bersifat tahan asam dan patogenik bagi berbagai
jenis hewan menyusui, unggas dan juga manusia. Dengan pewarnaan Gram, bakteri
penyebab tuberkulosis sapi termasuk bakteri Gram-positif.
Karena
bakteri penyebab tuberkulosis ini memiliki sifat tahan asam, maka untuk
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium biasa digunakan pewarnaan preparat
menurut cara Ziehl-Neelsen (Z-N). Sebagai pewarnaan alternatif, preparat juga
dapat diwarnai menurut cara Kinyoun, atau menggunakan pemeriksaan teknik
mikroskoopik fluorescence antibody technique (FAT).
Untuk
menumbuhkan M. bovis secara in vitro di laboratorium, dituntut tersedianya
medium penumbuh yang
khusus, seperti medium
Lowenstein-Jensen, media Stonebrink atau media Middlebrook 7H10 atau
7H11. Mengingat M. bovis termasuk kedalam mikrobakteria yang lambat tumbuh
(slowly growing mycobakteria), maka untuk melihat adanya pertumbuhan bakteri
penyebab dibutuhkan waktu inkubasi pada suhu 37° C dan perlakuan tanpa atau
dengan C02 sampai sekurang kurangnya 8 minggu, dengan pengamatan setiap hari
untuk minggu pertama dan pada setiap minggu untuk sisa waktu selebihnya.
Hewan
tua penderita biasanya memperlihatkan lesi lesi tuberkulosis yang lebih hebat
dari pada hewan muda tertular. Sapi yang terinfeksi tuberkulosis merupakan
sumber penularan penyakit yang utama. Pada tahun awal penyakit sebelum gejala
klinis terlihat, sapi tertular telah mengeluarkan agen penyebab kedalam rongga
hidung dan mukus trakea. Sedangkan pada tahap lanjut, M. bovis dikeluarkan dari
tubuh penderita bukan saja melalui udara pernafasan, tetapi juga melalui dahak,
feses, susu, urin, sekresi (discharge) dari vagina dan sekresi dari uterus,
bahkan melalui sekresi kelenjar limfe terserang yang pecah.
Di
alam, genangan air (yang tidak mengalir) dimana diketahui hewan sakit
tuberkulosis sapi terakhir meminumnya masih tetap infektif selama 18 hari
berikutnya. Lebih lanjut, air yang tidak mengalir (stagnant water) diketahui
merupakan sumber paling berpotensi akan kandungan mikobakteria saprofitik dan
ini harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh, karena dapat memunculkan
terjadinya reactor reaktor tuberkulosis yang non spesifik. Dalam hal tingkat
infektivitas suatu padang gembalaan (pasture) yang tercemar oleh feses hewan
sakit, bervariasi tergantung pada cuaca setempat. Pada cuaca yang kering
misalnya, maka padang gembalaan demikian masih infektif selama 1 minggu.
Sedangkan pada cuaca yang basah, maka tingkat infektivitas padang gembalaan
tersebut mecapai 6 - 8 minggu lamanya.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Sapi merupakan
inang (hospes) alami
tuberkulosis sapi. Selain
sapi, ternak kambing dan babi,
juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan sejumlah hewan lain
seperti kerbau, onta, jenis rusa, kuda, bison dan berbagai satwa liar baik yang
hidup di alam bebas (seperti harimau, singa, leopard) maupun yang hidup
terkurung dalam kebun binatang (seperti bangsa kera), juga anjing dan kucing,
semuanya dapat terserang tuberkulusis. Bangsa unggas (burung) dapat tertular
dan menjadi sumber infeksi bagi ternak sapi yang ada di dekatnya. Di Selandia
Baru, possums (Trichusurus vulpecula) dan di lnggris badgers (Meles meles)
merupakan satwa-satwa liar setempat yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran
tuberkulosis baik bagi kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan
domba lokal di Selandia Baru. Bahkan bangsa reptile juga bisa terinfeksi
tuberculosis.
2. Pengaruh
lingkungan
Agen penyebab
tuberkulosis sapi, yakni
M. bovis, memiliki ketahanan yang sedang saja baik terhadap
panas, kekeringan maupun terhadap berbagai bahan penghulas hama, seperti
ortofenil 1 %, kresol 2 – 3 %, senyawa fenol 2 – 3 % atau etialkohol 50 – 95 %.
Sementara itu, pada lingkungan yang kering M. bovis akan mati oleh cahaya
matahari langsung. Sedangkan bila lingkungan sekitarnya cukup panas dan lembab
serta terlindung, maka M. bovis mampu bertahan hidup untuk beberapa minggu
lamanya. Telah diketahui pula, bahwa M.bovis yang terdapat dalam susu tercemar
akan terbunuh pada suhu pasteurisasi.
Sapi dari
bangsa Zebu, seperti
Brahman, diketahui lebih
tahan terhadap infeksi dalam arti bahwa bila terserang tuberkulosis,
maka sapi yang termasuk bangsa Zebu akan menampakkan gejala Klinis yang lebih
ringan ketimbang sapi dari bangsa-bangsa Eropa, seperti Friesian Holstein (FH).
3. Sifat Penyakit
Pada peternakan sapi, serangan tuberkulosis sapi cenderung bersifat sporadik dengan angka prevalensi yang rendah. Bagi sekawanan sapi yang dipelihara di
padang gembaIaan sepanjang tahun misalnya, maka angka morbiditas karena
serangan tuberkulosis sapi dapat mencapai 60-70%. Sementara itu, angka
morbiditas pada sapi Zebu yang digemukkan secara intensif dalam kandang
(feedlot cattle) dapat mencapai 60% dengan disertai rendahnya pencapaian
penambahan bobot badan sapi yang terinfeksi. Dari kelompok sapi dalam suatu
peternakan tertular tuberkulosis, maka setiap ekor sapi anggota kelompok dapat
memperlihatkan gejala klinis yang berbeda, hal itu tergantung pada stadium
penyakit yang sedang menyerang.
4. Cara
Penularan
Terdapat
2 cara penularan tuberkulosis sapi yang paling umum dijumpai yaitu:
a. Penularan
melalui saluran pernafasan (per inhalasi), dengan terisapnya M.bovis yang
dikeluarkan bersama udara ketika penderita bernafas, yang kemudian mencemari
udara dalam kandang (droplet infection) oleh hewan sehat yang berada di
dekatnya.
b. Penularan
melalui saluran pencernaan makanan (per ingesti), dengan termakannya M. bovis
yang terdapat pada pakan atau air minum tercemar oleh hewan sehat yang ada di
sekitar hewan tertular.
Penularan per
inhalasi sering terjadi
pada sapi yang
dipelihara secara terus-menerus
dalam kandang, seperti sapi perah dan sapi yang digemukkan. Sedangkan penularan
per ingesti lazim dijumpai pada sapi yang hidup biasa merumput di padang
gembalaan. Penularan pada pedet umumnya terjadi karena pedet menyusu pada induk
sakit atau diberi susu berasal dari induk sapi sakit.
Cara
penularan lain yang mungkin terjadi, meskipun jarang, adalah secara intrauterin
(pada saat coitus), pada saat inseminasi dengan semen atau peralatan inseminasi
tercemar) dan secara intramammari (karena penggunaan peralatan mesin pemerahan
susu tercemar), bahkan pada babi penularan dapat terjadi karena babi diberi
makan karkas yang berasal dari hewan sakit tuberkulosis. Penularan pada manusia
biasanya terjadi karena manusia mengkonsumsi susu (yang tidak dipasteurisasi)
yang berasal dari sapi sakit tuberkulosis. Sistem perkandangan dan praktek zero
grazing merupakan faktor-faktor predisposisi penyakit yang tidak kalah
pentingnya.
5. Faktor
Predisposisi
Daya
tahan tubuh yang rendah merupakan salah satu factor penyebab tuberkulosis.
Lingkungan kandang kotor, padat populasi, gelap, lembab, dan ventilasi udara
kurang baik dapat memudahkan penularan tuberkulosis dan berlangsung cepat.
Faktor predisposisi lainnya yang memudahkan terjangkitnya tuberkulosis adalah
ternak dalam kondisi kurus dan malnutrisi.
6. Distribusi
Penyakit
Tuberkulosis sapi
terdapat hampir di
seluruh negara di
dunia, termasuk di Indonesia. Di banyak negara, tuberkulosis sapi
merupakan salah satu dari sekian banyak masalah penting pada peternakan sapi,
terutama pada sapi perah. Namun, di negara maju tertentu, pada beberapa di
antaranya, seperti di Denmark, Luksemburg, Norwegia, Swedia dan Swiss dan juga
di negara kecil tertentu, seperti di Gabon, Siprus, Suriname dan Papua Nugini,
tuberkulosis sapi memang bukan masalah lagi karena negaratersebut sudah
berhasil memberantasnya atau karena di negara tertentu tadi penyakit
tuberkulosis sapi memang tidak ditemukan.
Di Indonesia, tuberkulosis sapi termasuk salah satu penyakit hewan menular yang wajib dilaporkan dengan segera, bila
mengetahui keberadaannya. Tuberkulosis sapi pertama kali dilaporkan oleh
Penning pada tahun 1905 terjadi pada Perusahaan Susu di Semarang, Jawa Tengah.
Lebih lanjut dilaporkan oleh Penning, bahwa dari 303 ekor sapi perah yang diuji
tuberkulin (Penning menggunakan tuberkulin impor dari Jerman), pada waktu itu
ditemukan oleh Penning 3 ekor sapi reakctor tuberkulosis. Seekor reaktor di
antaranya, adalah sapi jantan, setelah ditelusuri sejarahnya diketahui bahwa
seekor dari sapi perah impor dari Australia. Sejak itu, tuberkulosis sapi mulai
diperhatikan dan banyak dilaporkan oleh berbagai Dinas Peternakan Daerah di
Jawa. Seperti diketahui, pada sekitar tahun akhir abad ke 18 dan awal abad
ke-19 Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengimporan sapi perah, seperti
Friesian Holstein (FH), baik dari negeri Belanda maupun dari Australia.
Catatan:
Kira kira pada kurun waktu yang bersamaan diketahui bahwa tuberkulosis sapi
merupakan salah satu penyakit hewan menular yang ditemukan di Australia. Namun
setelah dilakukan upaya pemberantasan yang memakan waktu puluhan tahun, maka
sejak tahun 1992 Australia menyatakan negaranya bebas tuberkulosis sapi.
Mengingat semakin pentingnya tuberkulosis, maka sejak tahun 1911 Pemerintah
Kolonial Belanda mulai memberlakukan uji tuberkulin pada setiap Perusahaan
Ssusu yang memelihara sapi perah.
Penelitian pengembangan di Balivet, Bogor telah dihasilkan tuberkulin
purified protein derivative (PPD) bovine menggunakan galur standar ANS, dan
setelah diteliti ternyata memiliki mutu yang sama dengan mutu tuberkulin PPD
bovine buatan CSL, Melbourne, Australia. Implikasi yang timbul dari
keberhasilan itu adalah bahwa untuk kegiatan uji tuberkulin di lapangan,
Indonesia sudah tidak lagi bergantung pada tuberkulin PPD bovin impor.
Penerapan
uji tuberkulin di lapangan secara terbatas yang dilakukan oleh Balitvet, Bogor
di 8 kabupaten/Kodya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat pada tahun 1994 pada
sapi perah diketahui bahwa prevalensi tuberkulosis sapi ternyata sangat endah
(0,17%). Oleh karena itu, penerapan uji yang sama secara terbatas pada sapi
potong oleh Balivet pada 6 Kabupaten pada ternak di Jawa Tirnur dan Jawa Tengah
pada tahun 1995, dihasilkan bahwa prevalensi tuberkulosis sapi pada sapi potong
adalah 0%.
D. PENGENALAN
PENYAKIT
1. Gejala
klinis
Pada hewan,
gejala Klinis tuberkulosis dapat
bervariasi, hal itu tergantung pada dimana lesi yang berupa
bungkul atau tuberkel itu tersebar dalam organ tubuh penderitanya. Dalam banyak
hal, gejala klinis tuberkulosis sapi yang menciri kurang terlihat atau tidak
mudah diamati, bahkan pada sapi dengan tahap lanjut banyak organ terserang.
Pada awal serangannya, banyak sapi yang tidak menampakkan gejala klinis,
penyakit tuberculosis sapi biasanya berlangsung menahun (kronis), meskipun
tidak selalu demikian halnya.
Pada sapi,
kuda, domba dan
kambing, penyakit dapat
bersifat akut dan progresif,
menyerang banyak organ tubuh. Sapi sakit terlihat kondisi badan menurun, dengan
bulu-penutup yang bervariasi mungkin kasar atau mungkin lembut. Bila paru-paru
terkena, maka terjadi bronkopneumoni yang ditandai dengan terdengarnya batuk
serta kesulitan bernapas (dyspnoea) akibat pembesaran kelenjar limfe bronkial
yang menekan jalan pernapasan. Bila penyakit berlanjut, maka terlihat
membesarnya kelenjar limfe (beberapa kali lipat dari ukuran kelenjar normal)
yang ada pada daerah kepala dan leher. Bahkan kadang-kadang kelenjar yang
membesar itu sampai pecah dan mengeluarkan isinya. Isi kelenjar, limfe yang
keluar ini mengandung agen penyebab
yang bersifat infektif.
Bila saluran
pencernaan makanan yang
terkena (tetapi ini
jarang), maka hal itu ditandai dengan adanya diare yang hilang timbul
(intermittent) atau mungkin terjadi konstipasi. Pembesaran kelenjar limfe
mediastinal dihubungkan dengan terjadinya kembung rumen pada penderita, bahkan
kembung rumen tersebut dapat berlangsung menetap. Kekurusan tubuh yang sangat
nyata serta kesulitan bernapas yang akut menandai babak akhir dari serangan
tuberkulosis pada seekor hewan. Lesi pada alat kelamin betina (seperti
metritis, vaginitis) mungkin dapat ditemukan, sedangkan lesi pada alat kelamin
jantan (orchitis) jarang dilihat.
2. Patologi
Meskipun pada
dasarnya semua organ
tubuh dapat diserang
oleh M.bovis, namun kerusakan organ atau lesi yang ditimbulkannya,
berbentuk bungkul (nodule) bisa disebut granuloma atau sering pula dikenal
dengan sebutan tuberkel (tubercle), pada umumnya kejadiannya diawali dengan
organ yang ada dalam rongga dada (organ paru-paru) dan kadang-kadang ada
kelenjar limfe (lymph nodes) di daerah kepala atau pada usus (kelenjar limfe
retropharyngeal, bronkial, mediastinal dan mesenterik).
Gambar
2. Paru Sapi. Parenkim paru hampir dipenuhi oleh nodul yang menyatu dengan
berbagai ukuran dan terlihat pucat. (Original picture by: http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-images.php?name=bovine-tuberculosis&lang=en)
Gambar 3. Limfonodus Tracheobronchial babi. Limfonodus dipenuhi dengan debris
perkejuan. (Original picture by: http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-images.php?name=bovine-tuberculosis&lang=en)
Gambar
4. Uterus Sapi. Endometrium berisi tuberkel. (Original picture by: http://www.
cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-images.php?name=bovine-tuberculosis&lang=en)
Selain
itu, lesi yang berupa tuberkel tadi juga ditemukan pada organ lain, seperti
pada hati, limpa, glnjal, pleura dan pada membran serous lainnya. Bila penyakit
berlanjut maka tuberkel tadi ditemukan menyebar pada organ dan jaringan yang
secara primer jarang terkena, seperti kelenjar susu atau ambing yang
memungkinkan penularan penyakit melalui konsumsi susu, uterus dan selaput otak.
Catatan:
Tuberkel hanya dapat dilihat bila dilakukan bedah bangkai (nekropsi) pada hewan
penderita tuberkulosis yang mati akibat penyakit ini. Tuberkel terdiri dari sel
epiteloid yang merupakan sarang bakteri penyebab (yang kemungkinan masih dapat
lolos dan menyebar ke organ lain) dan kumpulan makrofag serta sel-sel raksasa
tipe Langhans.
Adanya
tuberkel pada hewan terserang tuberkulosis merupakan upaya dari tubuh penderita
untuk melokalisasi infeksi oleh serangan M. bovis. Pada bedah bangkai tadi,
biasanya tuberkel terlihat kekuningan dan berkonsistensi seperti keju, keju
berkapur atau seperti kapur, kadang-kadang bernanah. Bagian tengah dari
jaringan berkeju tadi biasanya kering, keras, diselimuti selubung bersifat
fibrosa dengan ketebalan
yang bervariasi.
Ukuran besarnya tuberkel yang dapat ditemukan sangat
bervariasi, dari yang terlembut begitu lembutnya sehingga tidak nampak bila
dilihat dengan mata telanjang sampai yang terbesar, yakni sedemikian besarnya
sehingga menduduki bagian terbanyak dari suatu organ yang terserang. Sering
terjadi bahwa tuberkel yang besar itu, sesungguhnya merupakan gabungan dan
sejumlah lesi yang lembut tersebut.
3. Diagnosa
Tuberkulosis sapi
dapat didiagnosa baik
pada waktu hewan
masih hidup maupun sesudah mati. Mengingat gejala klinis yang jelas pada
hewan tertular tuberkulosis sapi jarang terlihat, maka untuk mendiagnosa
penyakit ini tidak mudah. Pada hewan penderita masih hidup, maka diagnosanya
didasarkan pada gejala klinis penyakit yang terlihat dan terutama dititik
beratkan pada terdapatnya reaksi hipersensitivitas tipe tertunda (delayed
hypersensitivity reactions) dari hewan tersangka, yang dilakukan dengan penerapan
uji tuberkulin per individu hewan dari kawanan sapi yang dicurigai tertular
tuberkulosis (uji tuberkulin). Pada ternak sapi, uji tuberkulin masih merupakan
uji standar dan dipakai dalam perdagangan internasional. Bagi hewan tersangka
tuberkulosis sapi yang sudah mati, maka diagnosanya didasarkan pada hasil
pemeriksaan pasca mati terhadap bangkainya, yang dilengkapi dengan
hasilpemeriksaan di laboratorium, antara lain pemeriksaan histopatologi dan
bakteriololgi. Dalam hal ini, pemeriksaan bakteriologi yang dimaksud meliputi
pemeriksaan mikroskopik preparat dan isolasi yang dilanjutkan dengan
identifikasi dari bakteri yang ditemukan.
Berbagai cara
pemeriksaan lain yang
dikembangkan pada tahun akhir ini, seperti teknik reaksi
polimerase berantai (PCR), ELISA, uji proliferasi limfosit (lymphocyte
proliferation assay) dan uji gamma interferon (Gamma interferon assay, IFN-y)
memang dapat dipergunakan untuk mendiagnosa tuberkulosis sapi. Namun uji-uji
tersebut menuntut tersedianya fasilitas serta logistik yang memadai dari
laboratorium pemeriksa, SDM yang terlatih dan dapat dipergunakan misalnya untuk
mendiganosa tuberkulosis pada sapi liar dan pada hewan liar penghuni kebun
binatang. Pada hewan dengan teknik radiologi seperti pada manusia mendiagnosa
tuberkulosis tidak lazim dilakukan, kecuali pada kera dan domba/kambing
Catatan:
Menyadari akan bahaya penularan M.bovis kepada manusia maka petugas
laboratorium diagnostik harus mewaspadai bahwa tuberkulosis sapi besifat
zoonosis, sehingga segala pekerjaan
yang menyangkut pemrosesan spesimen tuberkulosis harus dilakukan dalam suatu
alat yang disebut biohazard cabinet, dapat memberi perlindungan bagi petugas
terhadap bahaya kemungkinan penularan dari spesimen yang sedang dikerjakannya.
4. Diagnosa
Banding
Penyakit tuberkulosis
sapi dapat dikelirukan
dengan berbagai penyakit berikut:
a. Kekurusan
tubuh pada hewan penderita dapat dikelirukan dengan hewan yang terserang
paratuberkulosis. Selain tubuh yang kurus, penderita paratuberkulosis biasanya
juga mengalami diare yang menetap.
b.
Infestasi cacing gastrointestinal yang berat mengakibatkan kekurusan tubuh
penderita yang disertai dengan diare dapat dikelirukan dengan penderita
tuberkulosis sapi tahap lanjut.
c. Hewan
kurang gizi (baik kuantum maupun mutunya) yang berat dan yang berlangsung lama
mengakibatkan kekurusan tubuh hewan yang bersangkutan. Dapat dikelirukan dengan
penderita tuberkulosis sapi tahap lanjut.
d. Contagious
bovine pleuro pneumonia (CBPP) kronis dapat dikelirukan, terutama bagi daerah
yang endemik penyakit ini (perhatian: CBPP tidak didapatkan di Indonesia).
e. Actinobasilosis dan
infeksi Actinomyces pyogenes dapat
dikelirukan dengan tuberkulosis sapi. Actinobasilosis pada pedet sering
disebut sebagai Calf Pneumonia, yang gejala klinisnya jelas bila pedet telah
berumur 2-3 bulan, sedangkan pada infeksi Actinomyces, selain sapi terlihat
kurus juga terdapat infeksi pada organ paru-parunya.
5. Pengambilan
dan Pengiriman Spesimen
Pada bedah
bangkai hewan yang
mati tersangka tuberkulosis, spesimen yang diperlukan
adalah sebagai berikut:
a. Potongan
organ yang menyimpang atau tidak normal diambil secara aseptik antara bagian
jaringan yang masih sehat dan bagian yang ada tuberkelnya (masing-masing berukuran
kira-kira 2 cm) seperti paru-paru, hati dan limfa, juga semua kelenjar-kelenjar
limfe pada bagian kepala dan usus, termasuk dahak yang ada dalam saluran
pernapasan.
b. Organ
tersebut dimasukkan dalam wadah steril tanpa pengawet dan dalam keadaan dingin
(masukkan ke dalam termos es) dikirimkan segera ke laboratorium, spesimen ini
untuk pemeriksaan kultur di laboratorium.
c. Bila
spesimen tersebut diperkirakan tiba di laboratorium melebihi waktu 24 jam, maka
pada spesimen tadi perlu ditambahkan asam borak dengan kepekatan akhir 0,5%
(w/v), yang dimaksudkan untuk mencegah pencemaran oleh bakteri lainnya.
E. PENGENDALIAN
Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan
Pada
dasarnya pengendalian tuberkulosis sapi pada kelompok ternak sapi meliputi
langkah-langkah seperti berikut :
1. Mendeteksi
adanya tuberkulosis dan
mengeluarkan sapi reaktor
dari kelompok;
2. Mencegah penyebar luasan infeksi dalam
kelompok;
3. Mencegah masuknya kembali penyakit ke dalam
kelompok.
Ketiga
langkah tersebut dianggap sangat penting untuk dikerjakan secara
sungguh-sungguh. Dengan tidak mengerjakan salah satu langkah tersebut akan
mengakibatkan program pengendalian tidak berhasil dengan baik.
Deteksi
sapi reaktor dilakukan dengan penerapan uji tuberkulin seperti dengan
menggunakan metode penyuntikkan tunggal tuberkulin PPD secara intradermal
(single intradermal, SID) pada sapi umur 3 bulan ke atas, hal ini harus
dilakukan dan ditafsirkan hasilnya secara hati-hati.
Catatan:
Sapi sakit dengan tahap lanjut penyakit pada uji tuberkulinnya, bahkan akan
memberikan hasil negatif (negatif palsu); juga terhadap sapi betina bunting tua
pada menjelang dan kira-kira 4-6 minggu pasca partus, yang mungkin akan
memberikan reaksi negatif palsu. Sedangkan sapi yang tersensitifikasi oleh
Mycobacterium sp umumnya akan memberi hasil reaksi positif palsu.
Selanjutnya,
sapi reaktor yang terdeteksi diafkir dan dikeluarkan dari peternakan untuk
dipotong di Rumah Potongan Hewan (kebijakan ’test and slaughter’) dengan
pengawasan dokter hewan yang berwenang. Sesudah reaktor disingkirkan, maka
segera tindakan higienis perlu dilakukan (seperti penyuci hamaan tempat pakan,
tempat minum) serta tindakan lainnya (seperti mengisolasi sapi-sapi tersangka
dari sapi negatif, namun masih dalam peternakan yang sama) wajib dilakukan.
Bila
pada suatu peternakan jumlah reaktor yang ditemukan tinggi, maka uji tuberkulin
harus dilakukan setiap 2 bulan, serta pada keadaan lain, dimana sapi reaktor
tidak banyak, maka uji tuberkulin diulang setiap 3 bulan, sampai diperoleh
hasil uji yang negatif. Peternakan dengan negatif sapi reaktor, diklasifikasikan
sebagai Peternakan bebas tuberkulosis sapi, namun uji tuberkulin harus
dilakukan setiap satu tahun sekali.
Sapi baru yang dimasukkan ke dalam peternakan
yang sudah bebas penyakit sebagai ternak pengganti, harus berasal dari
peternakan yang diketahui bebas penyakit tuberkulosis dan sapi pengganti
tersebut pada uji tuberkulin memberi hasil negatif. Untuk melindungi para
pekerja kandang atau pemerah terhadap kemungkinan penularan tuberkulosis dari
sapi yang dikelolanya dan atau sebaliknya, maka pengecekan kesehatan mereka
harus dilakukan secara berkala.
Catatan:
OlE mencatat bahwa banyak negara pada akhirnya berhasil memberantas
tuberkulosis sapi. Sejumlah faktor yang ada mempengaruhi metode pemberantasan
yang mereka gunakan. Namun pada akhirnya kebijakan uji dan potong (”the test
and slaughter policy”) merupakan satu-satunya cara pemberantasan yang paling
efektif. Mengingat pemberantasan tuberkulosis sapi pada suatu negara memerlukan
waktu yang lama (tergantung antara lain pada prevalensi penyakit) dan dana yang
besar, maka hal-hal berikut ini harus menjadi perhatian:
1. Menyiapkan satu
pengorganisasian
pemberantasan (dari tingkat
pusat sampai daerah) yang handal.
2. Memberi
penyuluhan seluas-luasnya kepada masyarakat (terutama peternak sapi) dan pihak
terkait lainnya akan manfaat, tujuan pemberantasan dan peran serta aktif
mereka.
3. Mengetahui
lebih dahulu prevalensi penyakit pada daerah yang akan melaksanakan program
pemberantasan.
4. Menentukan
metode pemberantasan yang tepat, menetapkan kriteria, termasuk menghitung besar
uang kompensasi bagi sapi yang harus diafkir.
5. Melakukan
evaluasi kemajuan program yang dicapai serta mengatasi berbagai kendala yang muncul.
Dalam
hal-hal tertentu, misalnya bila untuk sementara waktu tindakan pemberantasan
belum dapat dilakukan tetapi mempunyai tujuan mengurangi jumlah kejadian
penyakit secara maksimal, maka program vaksinasi menjadi pilihan. Sayangnya,
vaksin khusus untuk tindakan pencegahan tuberkulosis sapi belum tersedia. Untuk
pemakaian di lapangan, vaksin yang kini tersedia adalah vaksin BCG, yang
memiliki banyak kelemahan. Diperlukan dosis vaksin yang tinggi (50-100 ml)
disuntikkan secara subkutan pada kulit dan dapat mengakibatkan terlihatnya gumpalan di bawah
kulit pada tempat suntikan.
Vaksinasi
harus diulang setiap tahun dan dengan konsekuensi bahwa sapi yang pernah
divaksin akan memberi reaksi positif pada uji tuberkulinnya. Sesudah sapi
lahir, maka secepatnya pedet harus divaksinasi. Kekebalan belum akan muncul
sebelum pedet tersebut berumur 6 minggu serta kekebalan yang terbentukpun tidak
cukup kuat, sehingga pedet yang sudah divaksinasi pun masih dapat terserang
penyakit yang hebat.
UJI
TUBERKULIN
Tuberkulin,
Sediaan yang didapat dan pertumbuhan M.bovis (galurAN5) in vitro pada medium
sintetik, yang setelah dipanen dan dipekatkan melalui pemanasan, kemudian
diproses lebih lanjut, maka akan dihasilkan suatu produk yang disebut
tuberkulin heat concentrated synthetic
medium (HCSM). Tapi bila protein dalam filtrat dipresipitasikan
secara kimiawi, yakni dengan penambahan amonium sulfat dan asam triklor asetat
(TCA), kemudian dicuci dan disuspensi kembali, maka yang diperoleh adalah
tuberkulin purified protein derivative (PPD) bovin. Dibandingkan dengan
tuberkulin HCSM, diketahui bahwa tuberkulin PPD bovin Iebih unggul dalam
hal-hal spesifisitas yang tinggi serta lebih mudahnya distandarisasi. Setelah
melalui serangkaian uji (uji keamanan produk dan uji potensi) baik pada marmot
maupun pada sapi percobaan di laboratorium, maka tuberkulin PPD bovin yang
telah teruji itu siap digunakan dalam uji tuberkulin di lapang.
Catatan:
Dalam kaitan dengan perdagangan intemasional ternak sapi, uji tuberkulin telah
disepakati sebagai uji standar untuk mendiagnosa tuberkulosis sapi.
Dasar
uji
Reaksi
berupa sensitifikasi akan timbul dalam tubuh hewan setelah terjadinya infeksi
oleh Mycobacterium sp.Adanya infeksi Mycobacterium sp akan merangsang timbulnya
kekebalan yang diperantarai oleh imunitas seluler yang diperankan oleh limfosit
T yang bersifat antigen spesifik. Bila dilakukan uji tuberkulin maka sel
limfosit T akan merespon antigen tersebut dengan perantaraan aktivitas makrofag
yang secara klinis akan terlihat adanya kebengkakan dan endurasi di tempat
suntikan. Atau dalam hal ini yang muncul adanya respon yang dikenal dengan
bentuk hipersensitas tipe tertentu (delayed hypersentivity) yaitu berupa
kebengkakan dalam kulit di tempat suntikan beberapa lama sesudah hewan yang bersangkutan
disuntik tuberkulin.
Cara
aplikasi
Dikenal
beberapa cara aplikasi uji tuberkulin yaitu:
1. Single intradermal (SID) test,
2. Short thermal test,
3. Intravenous tubereulin test dan
4. Stormont test
Bila
sensitifikasi non-spesifik menjadi masalah, maka comparative test perlu
digunakan.
Tempat
suntikan
Tempat
suntikan dapat dipilih salah satu tempat berikut:
1. Kulit
dekat pangkal ekor (caudal fold) atau pada kulit vulva, di sini kulit tidak
berbulu, metode ini banyak digunakan di Amerika Serikat dan di Australia
2. Kulit
pada leher (cervical fold), bulu setempat harus dicukur lebih dahulu, metode
ini banyak digunakan di Inggris.
Adapun
perbedaan kedua metode dapat dilihat sebagai berikut:
Metode Sensitisasi
|
Sensitivitas
|
Spesifisitas
|
Coudal
fold
|
85
%
|
85
%
|
Cervical
|
91
%
|
76
%
|
Dapat
dilihat bahwa metode caudal fold memiliki spesifitas yang lebih tinggi dari pada
metode cervical fold, sebaliknya sensitivitas dari metode cervical fold
ternyata lebih baik dari pada metode caudal fold.
Uji tuberkulin
di lapangan
Penerapan
uji tuberkulin di lapangan dengan SID test dikerjakan sebagai berikut :
Pada
hari pertama
1. Sapi
yang ingin diketahui status tuberkulosisnya ditambatkan pada kandangnya, sapi
diikat sedemikian rupa supaya kaki belakang tidak leluasa bergerak dan tidak
menendang petugas.
2. Dicatat
identitas sapi tersebut, di dalam lembar laporan yang disediakan (contoh daftar
terlampir). Perlu diperhatikan bahwa selama uji sapi tidak boleh dipindahkan
tempatnya.
3. Dengan
alat ukur khusus (calipers, cutimeter) ketebalan kulit (dalam ukuran mm) tempat
suntikan (dekat pangkal ekor) diukur dan dicatat dalam lembar yang tersedia.
4. Dengan
menggunakan alat suntik plastik kapasitas 1 ml, berisi tuberkulin PPD bovin
Balivet, disuntikan sebanyak dosis untuk 1 ekor sapi (0,1 ml) secara intra
dermal (jarum suntik diposisikan semiring mungkin), setelah tempat suntikan
terlebih dahulu disuci hamakan dengan olesan kapas beralkohol.
Pada
72 jam berikutnya
1. Dilakukan
pembacaan (dilanjutkan dengan penafsiran) reaksi yang timbul pada tempat
suntikan. Perlu diperhatikan kebengkakan kulit, peradangan (melalui observasi)
dan rasa kesakitan (melalui palpasi). Selanjutnya dilakukan pengukuran bengkak
kulit tempat suntikan untuk kedua kali dan hasilnya dicatat pada lembar yang
tersedia.
2. Selanjutnya
dihitung perbedaan atau selisih hasil pengukuran kedua tebal kulit setelah
dikurangi dengan hasil pengukuran pertama (dalam mm).
Penafsiran
uji
Besarnya
perbedaan atau selisih angka dari kedua pengukuran tempat suntikan (langkah 6)
menjadi dasar penafsiran uji, (OIE 1996).
Negatif:
Hasil uji disebut negatif bila bengkak kulit terjadi minimal, penambahan tebal
tidak lebih dari 2 mm dan tanpa disertai terdapatnya gejala klinis, seperti
busung (difus atau ekstensif), eksudasi, kesakitan atau peradangan dari
kelenjer limfe atau saluran limfe regional.
Positif:
Hasil uji disebut positif bila ditemukan adanya kebengkakan pada kulit tempat
suntikan, penambahan tebal kulit sama atau lebih dari 2 mm, dan disertai
terdapatnya gejala klinis seperti busung (difus atau ekstensif), eksudasi,
kesakitan atau peradangan dari kelenjer limfe atau saluran limfe regional.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim
2011. The Merck Veterinary Manual 11th
Edition, Merek & CO, Inc. Rahway, New Jersey, USA.
Anonim
2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy
RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Direktur
Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta
Indonesia.
Hardjoutorno
S 1988. Fesesuan Penyakit Tuberkulosis di Indonesia kurun waktu 1901- 1985.
Hemerazoa, 73 (1): 35-45.
Hardjoutorno
S dan Harnidjojo AN 1994. Mernbandingkan rnutu antara Tuberkulin PPD bovin
buatan Balivet, Bogordan tuberkulin PPD bovin buatan CSL, Melbourne. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Veteriner Untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan Dan
Penanganan Bahan Pangan Asal Ternak, Cisarua, 22-24 Maret 1994: 210-217. Balai
Penelitian Vetedner, Bogor.
Konyha
LD, Hirnes EM and Thoen CO 1980. Bovine Tuberkulosis. In: CRE Handbook Series
in Zoonoses. Section A, Vol.11:109-139. Stoenner H, Kaplan W, Torten T Edition.
CRE Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Kusurnaningsih A
dan Hardjoutorno S
1997. Tuberkulosis sapi
potong di Kabupaten pada ternak
di Jawa Tirnur dan Jawa Tengah. Hemerazoa,
79:13-21.
Kusurnaningsih
A dan Hardjoutorno S 1995. Penelitian tuberkulosis sapi perah di Beberapa
Propinsi di Pulau Jawa 1994. Inforrnasi Pengamatan Penyakit Hewan, No.2: 2-3.
Nunn
MJ and PM Thornber 1996. Animal Health in Austaralia 1994. Australia Government
Publishing Service, Canberra.
Plumb
DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd
Edition. Iowa State University Press Ames.
Quinn
PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell
Publishing Company Australia.
Radostids
OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle,
Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th
Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith
BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science,
St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto
dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto
2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Di
sadur oleh Drh Giyono Trisnadi, dari: MANUAL PENYAKIT HEWAN MAMALIA Diterbitkan
oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jl. Harsono RM
No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar