VIRUS WEST NILE SEBAGAI EMERGING ZOONOSIS DI INDONESIA

Swasembada daging (ayam, sapi dll) untuk mencukupi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan di suatu negara. Untuk mencapai swasembada daging diperlukan langkah strategis yang dilakukan oleh Negara dalam melindungi usaha peternakan di wilayahnya. Makalah berikut membahas masalah tersebut (admin).


 VIRUS WEST NILE SEBAGAI EMERGING ZOONOSIS DI INDONESIA

Oleh: Dede Sri Wahyuni, Medik Veteriner Muda, Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Hewani, Badan Karantina Pertanian.

Abstrak
Virus West Nile merupakan salah satu kelompok Flavivirus yang menyerang unggas, terutama unggas liar yang tidak di kandang tertutup. Penyakit ini menyebabkan gejala syaraf yang dapat berakibat fatal. Penularan penyakit harus melalui gigitan vektor serangga. Kontak dengan burung yang terinfeksi tidak menimbulkan penyakit meskipun pada burung yang terinfeksi. Antibodi dan isolasi virus dapat diperoleh baik melalui feses maupun organ. Unggas merupakan amplifier virus West Nile. West Nile di Indonesia belum pernah dilaporkan dan diteliti tetapi dengan tingginya mobilitas hewan dan manusia memungkinkan untuk terjadinya penularan penyakit ini. Oleh karena itu tulisan ini menjabarkan tentang virus West Nile, sehingga diharapkan dapat menambah wawasan tentang arbovirus yang lain disamping Japanese Encephalitis.
Kata kunci: Virus West Nile, emerging zoonosis

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan yang sangat cepat di dunia peternakan terutama sektor perunggasan dapat mempengaruhi ekologi lingkungan sekitarnya.  Meningkatnya usaha peternakan terutama unggas, baik unggas peliharaan seperti burung hias atau berkicau dan unggas komersial secara tidak langsung telah meningkatkan penyebaran penyakit yang bersifat zoonosis. 

Banyak kejadian penyakit zoonosa baru (emerging zoonosis) yang mulai muncul.  Kasus penyakit tertentu yang ada di suatu negara kemudian menyebar ke negara lain sehingga menjadi penyakit eksotik yang sangat berbahaya.  Penyebaran ini semakin cepat terjadi dengan tingginya volume perdagangan antar negara, perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain yang dapat dilakukan dengan mudah.  Di era globalisasi, sektor pariwisata telah menjadi salah satu faktor tidak langsung semakin cepatnya penyebaran penyakit di dunia.

West Nile merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh virus serta pertama kali ditemukan pada manusia di daerah West Nile, Uganda.  Penyakit ini kemudian secara cepat menyebar ke negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia.  Pada pertengahan tahun 1990-an, penyakit ini hanya terjadi secara sporadis dan masih menimbulkan resiko yang kecil pada manusia, sampai terjadinya wabah di Aljazair pada tahun 1994 dengan penyakit West Nile yang menyebabkan ensefalitis.  Sedangkan wabah besar yang terjadi di Rumania pada tahun 1996, sebagian besar dalam bentuk neuroinvasif.  Virus ini pertama kali diisolasi pada saat terjadi wabah ensefalitis pada manusia, kuda, burung liar dan burung peliharaan di kota New York, Amerika Serikat (Senne et al. 2000).  Penyakit ini juga telah dilaporkan telah membunuh 286 orang di Amerika Serikat pada tahun 2012.

Laporan ataupun penelitian tentang penyakit West Nile di Indonesia sampai sejauh ini belum ada atau belum pernah dilaporkan.  Meskipun banyak kejadian  penyakit dengan gejala-gejala yang mengarah ke penyakit west nile, tetapi hal tersebut belum menjadikan penyakit West Nile ini menjadi perhatian bagi kita.  Dengan semakin tingginya tingkat perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, tidak menjadi sesuatu yang mustahil penyakit ini sudah ada di Indonesia.
             
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyakit west nile, sifat agen penyebabnya, data epidemiologik, serta tindakan pencegahan dan pengendaliannya.

PEMBAHASAN

PENYAKIT WEST NILE
Akhir-akhir ini perkembangan dunia peternakan terutama di bidang perunggasan terjadi sangat cepat, sehingga mempengaruhi ekologi lingkungan sekitarnya. Meningkatnya usaha perternakan unggas baik unggas peliharaan maupun komersial, berdampak pada meningkatnya penularan penyakit dari hewan ke manusia, yang dikenal sebagai penyakit zoonosis.

Salah satu penyakit zoonosis yang dalam beberapa tahun terakhir mulai mencuat ke permukaan, adalah kasus penyakit arbovirus, pada manusia yang disebabkan oleh gigitan nyamuk, diantaranya adalah Japanese Encephalitis, Rift Valley Fever dan Ross River. West Nile merupakan salah satu penyakit arbovirus yang dalam beberapa tahun terakhir mulai mengisi berita utama di luar negeri.

Banyak kasus penyakit zoonosis arbovirus baru yang akhir-akhir ini mulai muncul. Kasus penyakit tertentu yang hanya ada di suatu negara, mulai menyebar ke negara lain sehingga menjadi suatu penyakit eksotik yang berbahaya. Terlebih lagi dalam rangka globalisasi dimana pergerakan wisatawan mulai menaik secara signifikan, secara tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya kasus baru di negara tersebut.

West Nile pertama kali ditemukan pada manusia di daerah West Nile, Uganda, Afrika, kemudian di laporkan di negara lain seperti Eropa, Asia dan Amerika. West Nile pertama kali diisolasi pada saat terjadi wabah ensefalitis pada manusia, kuda, burung liar dan burung peliharaan di New York, Amerika Serikat (Senne et al. 2000). Pada manusia kasus klinis jarang sekali terjadi, tetapi apabila ada kasus, umumnya menimbulkan gejala demam, meningitis dan encephalitis.

Agen Penyebab
West Nile disebabkan oleh virus West Nile yang termasuk keluarga Flaviridae dan genus Flavivirus.  Virus ini merupakan virus RNA single stranded dengan ukuran 40-60 nm, beramplop dan mempunyai simetri iksohedral (Petersen dan Martin 2002). Virus ini tersusun dari mantel protein atau kapsul yang terdiri dari asam nukleid sebagai intinya. Kapsul ini diselubungi dengan amplop dengan diameter 50 nanometer yang terdiri dari protein, lemak, logam berat dan karbohidrat. Kapsul virus ini sendiri mempunyai diameter dengan ukuran setengah dari diameter amplopnya. Amplop dari virus ini tidak tahan dengan kekeringan, sinar ultra violet dan detergen.

Gambar 1. West Nile virus yang dilihat dengan mikroskop elektron (Original picture by Wikipedia 2013)

Ordo          :  Unassigned
Keluarga    :  Flaviviridae
Genus       :  Flavivirus
Spesies     :  Virus west nile

Penularan

Induk semang
Bangsa unggas dapat terserang virus west nile. Jenis burung yang lebih peka terhadap infeksi ini diantaranya adalah crows (Corvus spp.), Chilean flamingos (Phoenicopterus chilensis), cormorants (Phalacrocorax sp.) dan Asian pheasants (Tragopan sp.) (Senne et al. 2000). Beberapa Ordo burung yang dapat terserang virus West Nile diantaranya Passeriformes (burung pengicau), Ciconiiformes (Bangau, kuntul, egret, ibis, dan spoonbill), Pelecaniformes  (burung laut), Charadriiformes (pelagik), Anseriformes (bebek-bebekan), Galliformes (ayam hutan, puyuh), Falconiformes (elang) dan Strigiformes  (burung hantu) (Steele et al. 2000).

Burung liar dan burung yang dipelihara sangat rentan jika dibandingkan dengan unggas lainnya seperti ayam, kalkun, dan itik. Ayam, burung, dan unggas lainnya yang dipelihara di dalam rumah biasanya tidak terinfeksi West Nile karena tidak dapat kontak dengan vektor nyamuk. Ayam buras, yang dipelihara secara ekstensif, berpeluang terinfeksi virus west nile. Di Israel, angsa dan bebek yang dipelihara ekstensif dapat terinfeksi West Nile (Swayne et al. 2000).

Penelitian terakhir juga ditemukan infeksi alam West Nile pada anak Arctic wolf (Canis lupus) berumur 4 bulan dengan gejala muntah, tidak mau makan, ataksia, dan mati. Pemeriksaan patologi anatomi (PA) menunjukkan adanya kerusakan yang hebat pada ginjal (Lanthier et al. 2004).
 
Gambar 2. Siklus hidup virus West Nile (Original picture by CDC 2005)

Pada kuda, infeksi West Nile dapat menimbulkan gejala klinis berupa gangguan syaraf (Abutarbush et al. 2004). Manusia, kuda, dan mamalia lainnya merupakan induk semang akhir (dead-end). Virus ini juga dapat menyerang burung/unggas, anjing, kucing, kuda, dan mamalia lain seperti kelelawar, kelinci, lamma, bajing, skunks, dan chipmunks. Secara infeksi buatan, domba dan babi dapat terinfeksi oleh virus west nile, tetapi tidak menimbulkan gejala klinis (CDC 2005).

Infeksi buatan virus West Nile pada anjing dan kucing menunjukkan bahwa anjing dan kucing dapat terinfeksi. Virus berada dalam darah yang singkat dan antibodi dapat terdeteksi, namun tidak menimbulkan gejala klinis. Deteksi virus West Nile tidak diekskresikan melalui air liur anjing dan kucing. Anjing dan kucing bukan merupakan ampliflyng host (Austgen et al. 2004).

Unggas yang dipelihara secara ekstensif berpeluang lebih besar terkena infeksi West Nile dari pada unggas yang dipelihara secara intensif. Hal ini disebabkan karena unggas yang dipelihara secara ekstensif berpeluang lebih besar tergigit serangga vektor.

Vektor

Gigitan nyamuk yang mengandung virus West Nile merupakan kunci utama bagi penularan infeksi. Turell (2000) menyatakan bahwa Culex pipens, Aedes japonicus, Aedes sollicitans, Aedes taeniorchynchus dan Aedes vexans merupakan vektor west nile. Bahkan Aedes japonicus merupakan vektor yang paling potensial dalam menularkan virus west nile. Culex pipiens dan Culex molestus, merupakan vektor yang potensial di Amerika yang dapat menularkan virus West Nile secara transovary (Fonesca et al. 2004).

Medlock et al. (2005), melaporkan bahwa di daratan Eropa terutama di Inggris, Culex pipiens, Ochlerodatus caspius pallas, Ochlerodatus detritus halliday, Ochlerodatus dorsalis (Meipgen), Coquilettidia richiardi ficalbi, Cullisetta annulata dan Cullisetta morsitans, Aedes cinereus, Ochlerodatus cantans, Ochlerodatus punctor merupakan vektor West Nile yang menjembatani terjadinya infeksi dari unggas ke manusia.

Gambar 3 Nyamuk sebagai vektor (Original picture by CDC 2005)

Turell et al. (2000) menduga bahwa pada ayam, saat terjadi puncak viremia, dapat menginfeksi nyamuk tersebut dan virus bertindak sebagai amplifier bagi west nile. Penemuan ini didukung oleh hasil temuan Senne et al. (2000), yang menyatakan bahwa penularan infeksi West Nile tidak terjadi akibat kontak langsung dengan feses dan ayam yang terinfeksi west nile.

Patogenesis
Virus West Nile ditularkan melalui nyamuk betina, yang merupakan vektor utama virus (Hayes et al. 2005). Nyamuk yang terinfeksi menularkan virus West Nile ke berbagai jenis burung terutama jenis Passiformes. Virus akan berkembang biak setelah burung terinfeksi. Dalam burung gagak dan burung robin, infeksi berakibat fatal pada waktu 4-5 hari.

Vektor nyamuk akan terinfeksi bila menghisap darah burung yang terinfeksi virus West Nile dan virus tersebut akan berkembang biak dalam beberapa hari pada tubuh nyamuk tersebut, dan membawanya ke kelenjar air liur nyamuk yang siap ditularkan ke burung atau manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Pada burung yang telah terinfeksi, viremia dapat bertahan selama 4 hari, dan bila burung tersebut dapat sembuh maka antibodi akan terbentuk dan bertahan sangat lama (Senne et al. 2000).

Nyamuk betina yang menghisap darah unggas terinfeksi, virus bereplikasi di usus nyamuk dan kelenjar saliva dan ditransmisikan ke dalam cairan ludah saat menghisap darah berikutnya (Marfin dan Gubler 2001). Penularan dari nyamuk ke manusia akibat virus West Nile pada saliva nyamuk diinokulasikan ke dalam kulit sewaktu menghisap darah. Saliva nyamuk terdiri dari protein yang dapat mempengaruhi penyempitan pembuluh darah, pembekuan darah, agregasi trombosit, peradangan, dan kekebalan. Inokulasi saliva di kulit akan mengubah respon imun yang dapat menguntungkan untuk virus (Wanasen et al. 2004).

Gambar 4. Siklus hidup virus west nile. Amplop virion berikatan dan masuk ke dalam membran sel, diikuti dengan uncoating dari nukleokapsid dan pelepasan genom RNA ke dalam sitoplasma. Genom virus berfungsi sebagai RNA messenger (mRNA) (Original picture by Filette et al. 2012).

Virus West Nile pada manusia akan menyebar ke kelenjar getah bening dan ke peredaran darah. Penetrasi virus ke dalam sistem saraf pusat mengikuti stimulasi reseptor toll-like dan peningkatan kadar tumor nekrosis faktor-α, yang meningkatkan permeabilitas blood-brain barrier. Virus West Nile langsung menginfeksi neuron, terutama di bagian inti dan materi abu-abu otak, batang otak, dan sumsum tulang belakang. Kerusakan sel saraf dapat menyebabkan kelumpuhan.

Kerusakan jaringan sistem imun juga dapat menyebabkan perubahan patologis dalam beberapa kasus. Meskipun sebagian besar infeksi virus West Nile nonfatal dapat dieliminasi oleh respon imun inang, namun virus dapat bertahan dalam beberapa host vertebrata (Wang et al. 2004).

Penularan langsung dari manusia ke manusia disebabkan oleh akibat kontak dengan darah yang terinfeksi, melalui transfusi darah, organ transplantasi, intrauterin, dan akibat menyusui. Sejak tahun 2003, bank darah di Amerika Serikat secara rutin menguji virus West Nile terhadap para pendonor.  Penularan vertikal pada nyamuk terjadi dari betina ke anaknya (Montgomery et al. 2005). Burung yang terinfeksi berinteraksi dengan vektor nyamuk dapat menularkan ke hewan lain dan manusia. Kontak langsung antara unggas yang diinfeksi virus West Nile tidak terjadi. Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya antibodi dan virus pada tubuh ayam tersebut (Senne et al. 2000).

Data Epidemiologik
Penyakit West Nile pertama kali diisolasi di Uganda pada tahun 1937, penyakit ini juga merupakan penyebab epidemi pada manusia di Israel pada tahun 1951. Kejadian di Mesir pada tahun 1950 telah menemukan bahwa nyamuk merupakan salah satu penular virus dan burung liar diidentifikasi sebagai reservoir virus dalam waktu yang sama. Kejadian penyakit pada spesies burung ternakan ditemukan pada tahun 1997.

Sebelum tahun 1994 penyakit West Nile hanya terjadi secara sporadis pada manusia dan kuda atau epidemi yang relatif kecil di daerah pedesaan. Sebelum tahun 1999 tidak pernah didokumentasikan terjadi di belahan bumi bagian barat. Antara tahun 1994 dan 1999, virus West Nile terdapat pada belahan bumi timur dengan adanya laporan wabah yang terjadi di Aljazair, Rumania, Maroko, Tunisia, Italia, Rusia dan Israel, kemudian virus West Nile menyebar ke Amerika Utara pada tahun 1999 (CFSPH 2009).

Virus West Nile pertama kali dilaporkan di Amerika Utara pada akhir musim panas tahun 1999 di New York City dan dalam 4 tahun telah menyebar melintasi mayoritas wilayah Amerika Serikat. Penyakit ini muncul untuk pertama kalinya kemungkinan besar melalui impor burung yang terinfeksi dan menyebabkan kematian pada burung liar, kuda, serta manusia di New York. Virus West Nile terdeteksi di Amerika Utara ketika burung-burung yang mati mulai muncul di New York City dan Long Island New York (Germendia et al. 2001).

Menurut Peterson et al. (2003) dalam waktu kurang dari 10 tahun, virus tersebar di seluruh Amerika Utara termasuk Meksiko, Kanada hingga Amerika Selatan. Penyebaran virus West Nile yang cepat di Amerika Utara dan Karibia dipercaya terjadi akibat dari pergerakan atau perpindahan burung-burung yang terinfeksi (Peterson et al. 2003).

Gambar 5. Distribusi geografis virus West Nile di daratan Amerika (Original picture by Wikipedia 2013)

Setelah musim dingin pada tahun 1999 sampai 2000, virus West Nile kembali muncul di New York dan New Jersey di musim semi tahun 2000 dan mulai menyebar ke utara melalui timur laut Amerika Serikat (Marfin et al. 2001). Pada awal tahun 2001 virus West Nile kembali terdeteksi di Timur Laut Amerika Serikat dan Florida, kemudian dengan cepat menyebar ke utara negara bagian Midwestern pada awal musim panas diikuti dengan penyebaran sepanjang sungai Mississippi selama akhir musim panas dan awal musim gugur (Blackmore et al. 2003). Pada akhir 2002, setiap negara bagian di timur gunung Rocky telah dilaporkan adanya virus West Nile (O’Leary et al. 2002).

Sebanyak hampir 200 ekor burung mati ketika virus West Nile muncul di Amerika Utara pada tahun 1999 (Phalen dan Dahlhausen 2004). Lebih dari 30.000 orang di Amerika Serikat telah dilaporkan terinfeksi penyakit West Nile sejak tahun 1999, dari jumlah tersebut sekitar 13.000 orang sakit serius dan lebih dari 1.200 meninggal dunia (CDCa 2011). Tahun 2007 di Amerika Serikat terdapat 121 orang meninggal dunia karena demam West Nile (OIE 2013).

Kejadian wabah West Nile pada kuda telah dilaporkan di Italia dan Perancis sejak tahun 1998. Survei di beberapa bagian Eropa dan Timur Tengah telah menunjukkan bahwa sampai sepertiga dari kuda yang dilakukan pemeriksaan telah terinfeksi virus West Nile tanpa menunjukkan gejala klinis (OIE 2013).

Tanggal 23 Agustus 1999, ahli penyakit menular dari rumah sakit Northern Queens menghubungi Departemen Kesehatan New York (NYCDOH) melaporkan adanya 2 pasien encephalitis.   Kemudian dilakukan penyelidikan, NYCDOH mengidentifikasikan sekelompok pasien berjumlah 6 orang yang mengidap encephalitis dimana 5 orang mengalami gejala otot yang melemah dengan 4 orang mengalami axonal neuropathy.  Central Diseases and Control (CDC) melakukan uji dan positif Arbovirus pada tanggal 3 September.  Kemudian ditemukan kembali 8 orang pada area 2 x 2 mil Northern Queens. Atas dasar ini, dilakukan pengujian pada nyamuk dan larvanya terhadap kemungkinan adanya virus tersebut.

NYCDOH kemudian melakukan surveilan pada tanggal 30 Agustus diteruskan oleh Westchester County Department of Health and the Nassau County Department of Health pada tanggal 3 September.  Surveilan ini dilakukan di area sekitar kejadian tersebut.  Kasus-kasus viral encephalitis dengan tanda klinis kelemahan otot atau acute flaccid paralysis, Guillain-Barre syndrome, aseptic meningitis yang ada setelah tanggal 1 Agustus.

Sebelum dan selama wabah, pegawai kesehatan daerah menemukan adanya peningkatan kematian burung di kota New York terutama burung gagak.  Selama tanggal 7-9 September, pegawai kebun binatang Bronx mencatat kematian 1 ekor cormorant, 2 ekor Chilean flamingoes dan 1 ekor Asian pheasant. Hasil nekropsi menunjukkan terjadinya meningoencephalitis dan myocarditis.

Spesimen kemudian dikirimkan ke U.S. Department of Agriculture National Veterinary Services Laboratories (NVSL) di Ames, Iowa pada 10 September untuk dilakukan pengujian terhadap patogen pada burung dan equine encephalitis virus dan hasilnya semua negatif.  Kemudian isolat virus tersebut dikirimkan ke CDC pada tanggal 20 September untuk dilakukan identifikasi virus.

Pengujian isolate virus di CDC pada tanggal 23 September dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan DNA sequencing  menunjukkan kedekatan dengan West Nile virus (WNV).  Hasil sequencing menunjukkan adanya kemiripan antara virus yang diisolasi dari burung dan virus dari spesimen manusia yang mengidap encephalitis.  Tanggal 28 September, total 17 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus West Nile dan 20 orang kemungkinan terinfeksi serta terdapat kematian pada 4 orang.

Tabel 1. Jumlah kasus infeksi virus West Nile di Amerika Serikat pada tahun 2011 (CDCa 2011)

No
Inang /Hospes
Jumlah kasus
1
Manusia
268
2
Burung
562
3
Nyamuk
8.227

Pada tahun 2003, aktivitas virus West Nile pada nyamuk dan burung liar pertama dilaporkan di California dan wabah utama pada manusia, kuda, dan burung terjadi di Collorado dan utara negara bagian Midwestern (Reisen et al. 2004). Selama waktu itu virus West Nile juga telah menyebar melalui sebagian besar timur dan tengah Kanada dan masuk ke Meksiko dan Karibia (Drebot et al. 2003; Dupuis et al. 2003).

Wabah di Eropa dan Israel juga hasil dari migrasi burung-burung yang mengalami viremia (Peterson et al. 2003). Studi yang dilakukan di Itali menunjukan bahwa virus West Nile telah menjadi endemis di Itali melalui burung liar lokal dan nyamuk yang memungkinkan virus bertahan dalam musim dingin. Kebanyakan terjadi pada spesies Magpie, Eurasian jay, Carrion Crow dan Culex pipiens dan mungkin Ochlerodatus caspius (Monaco et al. 2010).

Burung merupakan salah satu vertebrata penting dalam kelangsungan siklus virus west nile. Peran burung liar sebagai reservoir memudahkan penyebaran virus West Nile ke berbagai wilayah. Berbagai studi menunjukan keterkaitan yang kuat antara pergerakan (migrasi) burung liar terinfeksi terhadap penyebaran virus west nile. Sejak terdeteksi, virus West Nile telah menyebar secara cepat melalui Amerika Utara.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dusek et al. (2009) membuktikan bahwa burung yang bermigrasi menjadi agen penyebar virus West Nile di Amerika Utara dan virus West Nile berada pada berbagai spesies burung. Beragamnya spesies burung yang dapat terinfeksi dan berperan sebagai reservoir memudahkan proses penyebaran virus West Nile antar wilayah. Periode migrasi burung yang terjadi tiap tahun memungkinkan perluasan penyebaran virus antar negara bahkan tidak menutup kemungkinan antar benua. Negara yang memiliki keanekaragaman burung yang tinggi dan disertai keberadaan nyamuk sebagai vektor memiliki risiko yang lebih besar dalam penularan virus west nile.

Kejadian di Indonesia
Di Indonesia, baik kasus klinis maupun data serologis tentang infeksi West Nile belum pernah diteliti dan dilaporkan. Meskipun kasus ensefalitis dan meningitis pada manusia telah banyak ditemukan di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia (Gautama 2005). Begitu gencarnya pemberitaan kasus West Nile pada manusia di negara lain, dan frekuensi perpindahan hewan dan manusia dari satu negara ke negara lain sangat tinggi, sehingga tidak menutup kemungkinan masuknya penyakit-penyakit eksotik dan zoonosis ke Indonesia. Untuk itu penelitian awal mengenai keberadaan infeksi virus West Nile pada unggas di Indonesia perlu dilakukan, sehingga antisipasi dini dapat dilakukan dengan lebih bijak dan arif agar kerugian ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin.

Namun kini, di Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga Surabaya berhasil mengidentifikasi virus West Nile. Beberapa pasien yang dicurigai terinfeksi oleh virus ini kemudian diidentifikasi. Dari 59 sampel darah, ternyata ada 19 sampel yang menunjukkan keberadaan virus ini. Kemudian temuan ini dikonfirmasi dengan Gene Bank yang terstandarisasi oleh WHO (World Health Organization) dan ternyata sequencing-nya sesuai. Dengan demikian, saat ini Indonesia telah mampu melakukan inovasi diagnosis virus West Nile yang semula underdiagnosis, kini menjadi terdiagnosis tanpa perlu ke luar negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap infeksi virus tersebut.

Gejala Klinis

a. Gejala Klinis pada Hewan
Virus West Nile telah dilaporkan menyerang lebih dari 150 spesies burung di Amerika Utara (CDCb 2011).  Burung biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi sampai tahap terakhir penyakit yaitu ensefalitis (radang otak) dan miokarditis. Tanda lain yang kemungkinan dijumpai pada burung yang terinfeksi adalah burung tidak dapat terbang, terkulai atau berjalan dengan baik. Spesies burung yang rentan seperti angsa menunjukkan berbagai gejala neurologis mulai dari terkulai dan kelumpuhan sayap, tidak mampu bergerak, dan mungkin inkoordinasi. Tingkat mortalitas pada angsa mencapai 20 - 60% (OIE 2013).

Virus West Nile pada kuda sangat berbahaya jika virus menginfeksi otak. Hal ini karena virus dapat menyebabkan peradangan otak dan selanjutnya mengganggu fungsi normal dari sistem saraf pusat kuda. Setelah sistem saraf pusat kuda terkena dampak serius maka kemungkinan besar dapat terjadi kematian. Gejala pada kuda menunjukkan adanya kelemahan kaki belakang, ketidakmampuan berdiri, lesu, dan gemetar (CDCb 2011).

Menurut OIE (2013), beberapa gejala klinis yang ditemukan pada kuda yang menderita penyakit West Nile antara lain hilangnya nafsu makan, depresi, kelumpuhan parsial, gangguan penglihatan, kejang, berputar-putar, dan ketidakmampuan untuk menelan. Selain itu juga seringkali disertai kelemahan pada kaki belakang, kemudian diikuti kelumpuhan yang selanjutnya dapat menyebabkan koma dan kematian. Kuda terinfeksi virus West Nile melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Melalui gigitan nyamuk tersebut virus masuk ke dalam sistem peredaran darah kuda, terjadi replikasi atau perbanyakan virus dan menimbulkan gejala klinis (CDCb 2011).

b. Gejala Klinis pada Manusia
Penyakit West Nile ini biasanya terjadi pada musim hangat saat nyamuk aktif di lingkungan. Infeksi di manusia jarang menunjukkan tanda klinis, hanya sekitar 20% menunjukkan gejala demam West Nile dan 1% neuroinvasif, dimana neuroinvasif ini kemungkinan lebih sering terjadi pada penderita lanjut usia diatas 50 tahun dan penderita imunocompresi. Case Fatality Rate (CFR) yang dilaporkan selama wabah di Amerika Serikat bervariasi antara 4% - 15% (CFSPH 2009).

Gejala penyakit West Nile pada manusia sering asimptomtis dan pada umumnya terbagi menjadi gejala demam West Nile yang ringan dan gejala neuroinvasif yang parah. Demam West Nile umumnya akan berlangsung selama beberapa hari, sedangkan gejala yang parah (ensefalitis atau meningitis) dapat berlangsung beberapa minggu. Masa inkubasi pada manusia selama 2-14 hari.

Diperkirakan sekitar 20% pasien yang terinfeksi menunjukkan gejala ringan yang disebut demam West Nile dengan gejala klinis seperti demam, malaise, sakit kepala, nyeri pada tubuh, anoreksia, limfadenopati, mual, diare, muntah, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis. Terkadang dapat juga disertai dengan eritematosa, makula nonpruritis, atau papular (ruam kulit). Kebanyakan infeksi tidak parah dan dapat sembuh dalam 2-6 hari (CFSPH 2009).

Sekitar 1 dari 150 orang yang terinfeksi virus West Nile akan berkembang menjadi bentuk yang parah dan berkembang menjadi neuroinvasif west nile. Neuroinvasif  West Nile merupakan bentuk yang parah dan menyebabkan kematian karena mempengaruhi sistem syaraf. Gejala neuroinvasif ini menunjukkan gejala klinis seperti sakit kepala, demam tinggi, kekakuan leher, disorientasi, koma, tremor, kejang, kelemahan otot, dan kelumpuhan. Efek neurologis yang ditimbulkan kemungkinan bersifat permanen (CDCb 2011).

Tiga sindrom yang sering terlihat yaitu ensefalitis, meningitis, dan acute flaccid paralysis. Meningitis ditandai dengan demam, sakit kepala atau leher, kaku dan fotofobia. Sedangkan pasien dengan West Nile ensefalitis memiliki perubahan dalam kesadaran, disorientasi maupun ataksia, inkoordinasi, tremor dan tanda-tanda yang menyerupai penyakit Parkinson. Pasien penderita tidak mentransmisikan penularan ke orang lain melalui kontak, namun West Nile virus dapat ditransmisikan melalui transfusi darah dan transplantasi organ dari orang yang tidak menunjukkan tanda klinis (CFSPH 2009).

c. Patologi Anatomi dan Histopatologi
Perubahan PA yang paling jelas dari kasus West Nile pada ayam adalah miokarditis, yang terjadi pada 5-10 hari post infeksi (Senne et al. 2000). Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya miokardial nekrosis dan miokarditis limfositik. Perivaskuler cuffing dapat ditemukan pada otak ayam.

Diagnosa
Diagnosis virus West Nile berdasarkan pengamatan gejala. Pada manusia, timbulnya gejala ensefalitis dan meningitis yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan dapat disebabkan oleh infeksi ini. Namun diagnosis yang tepat perlu dilakukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serum dan cairan serebrospinalis melalui uji IgM antibody capture ELISA, yang akhir-akhir ini sering diterapkan untuk pemeriksaan kasus ensefalitis dan meningitis akibat infeksi Japanese Encephalitis (JE). Uji ini dinilai sangat sensitif, mudah dan akurat untuk menentukan penetapan diagnosis west nile.

Secara serologis West Nile termasuk dalam kelompok JE serokompleks, yang terdiri dari JE, St. Louis Encephalitis, Murray Valley Encephalitis,dan Kunjin, sehingga reaksi silang antara West Nile dan kelompok tersebut dapat terjadi (Petersen dan Martin 2002). Pada ayam, virus West Nile dapat diisolasi dari plasma darah hingga 8 hari pasca inokulasi (HPI), swab kloaka (4-5 HPI), swab trachea dan organ seperti miokardium, timus, limpa, ginjal, dan usus pada hari ke 3 hingga ke 10 PI. Setelah hari ke 10 post infeksi, virus tidak dapat diisolasi dari organ tersebut. Antibodi terhadap virus dapat terdeteksi paling cepat 5 hari pasca inokulasi dan masih terdeteksi hingga lebih dari 3 minggu (Senne et al. 2000).

Weingart et al. (2004) membuktikan bahwa virus dapat terdeteksi pada darah, swab kloaka, swab trakea dengan menggunakan PCR. Di darah, limpa, ginjal, hati, usus, jantung, dan paru-paru, virus dapat terdeteksi 1 hari post infeksi. Sel mononuklear merupakan target virus West Nile untuk berkembang biak. Sampel diinokulasikan pada biakan jaringan yang telah membentuk line cell VERO.

Diagnosis West Nile sulit dilakukan pada unggas, mengingat tidak semua unggas yang terinfeksi menyebabkan gejala klinis. Seandainya terdapat gejala klinis berupa gangguan syaraf, umumnya gejala klinis tersebut hampir sama dengan infeksi virus lainnya. Untuk itu pemeriksaan serologis dan deteksi antigen sangat diperlukan untuk konfirmasi adanya infeksi west nile.

Beberapa uji serologis dapat dilakukan untuk menentukan ada tidaknya antibodi terhadap West Nile antara lain serum netralisasi, plaque reduction netralization test (PRNT), indirect fluorescent antibody (IFA) (Senne et al. 2000). PRNT merupakan test yang paling spesifik untuk membedakan antibodi antara virus West Nile dan virus St. Louis Encephalitis (SLE).

Patologi Anatomi dan Histopatologi
Perubahan Patologi Anatomi yang paling jelas dari kasus WN pada ayam adalah miokarditis, yang terjadi pada 5-10 hari PI (Senne et al. 2000). Hasil pemeriksaan histopathology menunjukkan adanya miokardial nekrosis dan miokarditis limfositik. Perivaskuler cuffing dapat ditemukan pada otak ayam.

Reaksi silang
Virus West Nile adalah anggota dari virus Japanese encephalitis, sehingga reaksi silang dengan virus JE pada uji serologis sering terjadi. Sejak terjadinya wabah Virus West Nile tahun 1999, perubahan genetik Virus West Nile telah terjadi di Amerika. Reaksi silang secara serologis dengan menggunakan uji antibody-capture-ELISA antara lain dengan Yellow fever, Japanese encephalitis, dengue, St Louis encephalitis and Murray Valley encephalitis (CDC, 2004). Ubntuk itu, uji lanjutan seperti serum netralisasi sering dilakukan untuk konfirmasi.

Diferensial diagnosis
Penyakit ini sering dikacaukan dengan infeksi virus lainnya seperti Japanese encephalitis, meningitis, poliomyelitis.

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit West Nile
Pencegahan infeksi ini dengan cara mengurang kontak dengan nyamuk yang terinfeksi dan melakukan vaksinasi. Karena penyakit West Nile berbahaya bagi manusia, maka vaksinasi pada hewan terutama pada kuda dapat dilakukan. Akhir-akhir ini rekombinan vaksin West Nile telah dikembangkan (Minke et al. 2004).

Pembasmian sarang nyamuk di rumah dengan menjaga kebersihan lingkungan ikut berperan dalam mengeliminasi media perkembangbiakan nyamuk. Selain pemberian abate sebagai larvasida pada air yang tergenang, penggunaan larvasida biologis dapat digunakan seperti Bacillus thuringiensis var. israelensis dan Bacillus sphaericus (Petersen and Martin 2002).

Fogging yang dilakukan pemerintah saat ini dalam rangka pencegahan penyakit demam berdarah dapat mengurangi populasi nyamuk yang ada. Penggunaan repellent cukup efektif untuk menghindari kontak langsung dengan vektor.

Keamanan pekerja dalam melakukan penelitian ini sebaiknya mengikuti aturan BSL 3. Pekerjaan ini dapat dilakukan pada laboratorium dengan fasilitas BSL 2 plus. Vaksin pada manusia hingga saat ini masih belum tersedia. Pencegahan sebaiknya dengan meminimalkan gigitan serangga vektor, seperti penggunaan repellent, memakai kelambu atau menyemprot ruangan dengan anti nyamuk. Karantina yang ketat dalam pemasukan hewan terutama dari daerah dimana infeksi West Nile telah terjadi diperlukan. Unggas yang terinfeksi virus West Nile dapat dikonsumsi setelah dimasak lebih dulu.

Sebagai contoh di Canada tindakan pengamanan untuk mengurangi resiko terinfeksi West Nile virus dilakukan melalui pendidikan, surveilans, prevention bekerja sama dengan departemen kesehatan, departemen-departemen federal dan propinsi, serta kerjasama dengan Wildlife Health Centre. Melalui pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan informasi tentang West Nile virus melalui brosur, media pertemuan, berita, dan websites. Sedangkan surveilans difokuskan terutama untuk identifikasi keberadaan virus West Nile pada burung, nyamuk dan kuda.

Indonesia merupakan negara tropis dengan lingkungan yang masih harus berbenah, pendidikan yang belum ideal, serta belum terbiasanya perilaku hidup sehat bagi sebagian masyarakat menjadi peluang nyamuk Culex berkembang di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia berpotensi mengalami tahap Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk penyakit tersebut. Selain faktor lingkungan, penyebaran virus ini juga terkait dengan hobi memelihara burung. Minuman burung dapat menjadi tempat berkembangnya nyamuk Culex yang jika menghisap darah dari burung dapat memindahkan virus West Nile ke manusia melalui gigitannya.

Untuk mencegah penyebaran nyamuk Culex dan mengurangi resiko terinfeksi virus West Nile, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Diantaranya adalah dengan mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang ketika beraktivitas di luar ruangan, menggunakan obat penolak serangga pada kulit. Selain itu, setiap kali menggunakan obat pembasmi nyamuk/insektisida selalu baca aturan pemakaiannya.

Melakukan langkah-langkah preventif baik di dalam rumah maupun di luar rumah seperti menutup dan menguras tempat penampungan air, serta mengubur barang-bara bekas juga dapat mencegah penyebaran nyamuk Culex. Kemudian jika menemukan burung mati jangan menangani bangkai tersebut tanpa sarung tangan. Langkah-langkah tersebut akan sangat membantu mengurangi penyebaran virus West Nile di Indonesia (Nasronudin 2013).

Cara pencegahan virus West Nile yang paling sederhana dan paling efektif adalah menghindari gigitan nyamuk jenis apapun, mengantisipasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan memberantas nyamuk di dalam rumah maupun di lingkungan sekitar. Hal yang perlu dilakukan antara lain secara rutin menguras air di bak mandi, kolam renang, dan bak penampungan air lainnya. Hendaknya secara teratur mengganti air di tempat minum burung, pot bunga, mengosongkan tempat yang mungkin secara tidak sengaja menyimpan air seperti kaleng bekas, ban bekas, mainan anak-anak, pelepah pisang, dan lain-lain.

Ketika keluar rumah dianjurkan untuk memakai sepatu, kaus kaki, celana panjang dan kemeja lengan panjang untuk menghindari potensi gigitan nyamuk. Selain itu dianjurkan pula menggunakan penolak nyamuk (repellent) yang mengandung bahan aktif 30-50% DEET (N,N-diethylmetatoluamide) terutama saat fajar dan sore hari dimana pada saat-saat tersebut merupakan waktu aktif nyamuk untuk berkeliaran dan mencari makan.

Tindakan Pengamanan
Keamanan pekerja dalam melakukan penelitian ini sebaiknya mengikuti aturan BSL III. Pekerjaan ini dapat dilakukan pada laboratorium dengan fasilitas BSL II plus. Vaksin pada manusia hingga saat ini masih belum tersedia. Pencegahan sebaiknya dengan meminimalkan gigitan serangga vector, seperti penggunaan repellen, memakai kelambu atau menyemprotkan ruangan dengan anti nyamuk.

Karantina yang ketat dalam pemasukan hewan terutama dari daerah dimana infeksi virus West Nile telah terjadi diperlukan, karena penularan virus West Nile dapat melalui serangga nyamuk. Unggas yang terinfeksi virus West Nile dapat dikonsumsi setelah dimasak lebih dulu.

Sebagai contoh di Canada tindakan pengamanan untuk mengurangi resiko terinfeksi virus West Nile dilakukan melalui pendidikan, surveillan, prevention bekerja sama dengan departemen kesehatan, departement-departemen federal dan propinsi, serta kerjasama dengan Wildlife Health Centre. Melalui pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan informasi tenatang virus West Nile melaui brosur, media pertemuan, berita dan websites. Sedangkan surveillan difokuskan terutama untuk identifikasi keberadaan virus West Nile pada burung, nyamuk dan kuda.

PENUTUP

Kesimpulan
Penularan virus West Nile pada manusia dan hewan rentan lainnya hanya dapat terjadi melalui gigitan vektor. Kontak langsung dengan hewan terinfeksi tidak dapat terjadi. Penelitian respon imunologi dapat memfasilitasi desain pembuatan vaksin dan imunoterapi yang lebih tertarget. Upaya-upaya tersebut juga kemungkinan akan meningkatkan pemahaman kita tentang patogenesis flaviviruses ensefalitis terkait penyebab penyakit pada manusia.

Saran
Virus West Nile belum pernah ditemukan di Indonesia, sehingga diperlukan surveilan terhadap vector seperti burung-burung liar dan nyamuk yang ada di Indonesia. Virus ini bisa menjadi penyakit eksotik jika masuk ke Indonesia, oleh karena itu, diperlukan suatu kajian resiko jika akan dilakukan pemasukan atau importasi satwa atau burung-burung yang bisa menjadi vektor bagi virus West Nile.

DAFTAR PUSTAKA
Abutarbush SM, O’connor BP, Clark C, Sampieri F, Naylor JM. 2004. Clinical West Nile Virus Infection in 2 Horses in Western Canada. Canadian Vet. J. 45(4): 315-317.
Austgen LE, Bowen RA, Bunning ML, Davis BS, Mitchell CJ, Chang GJ. 2004. Experimental Infection of Cats and Dogs With West Nile Virus. Emerging Infectious Diseases. 10(1): 82-86.
Blackmore CGM, Stark LM, Jeter WC, Oliveri RL, Brooks RG, Conti LA, Wiersma ST. 2003. Surveillance Results From the First West Nile Virus Transmission Season in Florida, 2001. Am J Trop Med Hyg 69: 141–150.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2005. Virology, Pathology, and Clinical Manifestations of West Nile Virus Disease [internet]. [diunduh 2013 Oktober 4] Tersedia dari: http://wwWest nilec.cdc.gov/eid/article/11/8/05-0289b_article.htm.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. West Nile Infection [internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/westnile/qa/symptoms.htm.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. West Nile Virus [internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/Features/WestNileVirus/.
[CFSPH] The Center For Food Security and Public Health, 2009. West Nile Virus Infection [internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: Iowa State University. http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/west_nile_fever.pdf.
Drebot MA, Lindsay LR, Barker IK, Buck PA, Fearon M, Hunter F, Sockett P, Artsob H. 2003. West Nile Virus Surveillance and Diagnostics: a Canadian Perspective. Can J Infect Dis. 14: 105–114.
Dupuis AP II, Marra PP, Kramer LD. 2003. Serologic Evidence of West Nile Virus Transmission, Jamaica, West Indies. Emerg Infect Dis. 9: 860–863.
Dusek RJ, McLean RG, Kramer LD, Ubico SR, Dupuis II AP, Ebel GD, Guptill SC. 2009. Prevalence of West Nile Virus in Migratory Birds During Spring and Fall Migration. Am J Trop Med Hyg. 81(6): 1151–1158.
Filette MD, Ulbert S, Diamond M, Sanders NN. 2012. Recent Progress in West Nile Virus Diagnosis and Vaccination. Vet Res. 43(1): 16.
Fonesca DM, Keyghobadi N, Malcolm CA, Mehmet C, Schaffner F, Mogi M, Fleischer RCc. 2004. Emerging Vectors in the Culex pipiens complex. Science. 303(5663): 1421-1564.
Gautama K. 2005. Pelaksanaan Surveilans JE di Bali. Jakarta: In: workshop and training surveilans JE di rumah sakit”. 17-19 Februari, 2005.
Germendia AE, Van Kruiningen HJ, French RA. 2001. The West Nile Virus: its Recent Emergence in North America. Microbes Infect. 3: 223–229.
Hayes EB, Komar N, Nasci RS, Montgomery SP, O'Leary DR, Campbell GL. 2005. Epidemiology and Transmission Dynamics of West Nile Virus Disease. Emerging Infect Dis. 11 (8): 1167–73.
Lanthier I, Hebert M, Tremblay D, Harel J, Dallaire AD, Girard C. 2004. Natural West Nile Virus Infection in a Captive Juvenile Arctic Wolf (Canis lupus). J Vet Diagn Invest. 16(4): 326-329.
Marfin AA & Gubler DJ. 2001. West Nile Encephalitis: an Emerging Disease in the United States. Emerging Infections. 2001(33): 1713.
Marfin AA, Petersen LR, Eidson M, Miller J, Hadler J, Farello C, Werner B, Campbell GL, Layton M, Smith P, et al. 2001. Widespread West Nile Virus Activity, Eastern United States, 2000. Emerg Infect Dis. 7: 730–735.
Medlock JM, Snow KR, Leach S. 2005. Potential Transmission of West Nile Virus in The British Isles: an Ecological Review of Candidate Mosquitoe Bridge Vectors. Medical and Veterinary Entomology. 19: 2.
Minke JM, Siger L, Karaca K, Austgen L, Gordy P, Bowen R, Renshaw RW, Loosmore S, Audonnet JC, Nordgren B. 2004. Recombinant Canarypoxvirus Vaccine Carrying the Prm/E Genes of West Nile Virus Protectshorses Against a West Nile Virus – Mosquito Challenge. Archives of Virology. (Suppl). 18: 221-230.
Monaco F, Lelli R, Teodori L, Pinoni C, Di Gennaro AP, Polci A, Calistri P, Savini G. 2010. Re-emergence of West Nile Virus in Italy. Zoonoses and Public Health. 57: 476–486.
Montgomery SP, Chow CC, Smith SW, Marfin AA, O'Leary DR, Campbell GL 2005. Rhabdomyolysis in Patients With West Nile Encephalitis and Meningitis. Vector Borne Zoonotic Dis. 5 (3): 252–257.
O’Leary DR, Marfin AA, Montgomery SP, Kipp AM, Lehman JA, Biggerstaff BJ, Elko VL, Collins PD, Jones JE, Campbell GL. 2004. The Epidemic of West Nile Virus in the United States 2002. Vector Borne Zoonotic Dis. 4: 61–70.
[OIE] Office International des Epizootic. 2013. West Nile Fever [internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: www.oie.int.
Petersen LR and Martin AA. 2002. West Nile Virus: A Primer for the Clinician. Ann of Internal Med. 137 (3): 173-179.
Peterson AT, Vieglais DA, Andreasen JK. 2003. Migratory Birds Modeled as Critical Transport Agents for West Nile Virus in North America. Vector-Bourne Zoonotic Dis. 3:27-37.
Phalen DN, Dahlhausen B. 2004. West Nile Virus. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine. 13 (2): 67-78
Reisen W, Lothrop H, Chiles R, Madon M, Cossen C, Woods L, Husted S, Kramer V, Edman J. 2004. West Nile Virus in California. Emerg Infect Dis. 10: 1369–1378.
Senne DA, Pedersen JC, Hutto DL, Taylor WD, Schmitt BJ, Panigrahy B. 2000. Pathogenicity of West Nile Virus in Chickens. Avian Diseases. 44: 642-649.
Steele KE, Linn MJ, Schoepp RJ, Komar N, Eisbert TW, Manduca RM, Calle PP, Raphael BL, Clippinger TL, Larsen T et al. 2000. Pathology of Fatal West Nile Virus Infections in Native and Exotic Birds During the 1999 Outbreak in New York City. Vet Pathol. 37: 208-224.
Swayne DE, Beck JR, Zaki S. 2000. Pathogenicity of West Nile Virus for Turkeys. Avian Diseases. 44: 932-937.
Turell MJ, Sardelis MR, Dohm DJ, O'Guinn, ML. 2000. Potential For North American Mosquitoes to Transmit West Nile Virus. Am J of Tropical Medicine and Hygiene. 62: 413-414.
Wanasen N, Nussenzveig RH, Champagne DE, Soong L, Higgs S. 2004. Differential Modulation of Murine Host Immune Response by Salivary Gland Extracts From the Mosquitoes Aedes aegypti and Culex quinquefasciatus. Med Vet Entomol. 18 (2): 191–9.
Wang T, Towestnile T, Alexopoulou L, Anderson JF, Fikrig E, Flavell RA. Toll-Like Receptor 3 Mediates West Nile Virus Entry Into the Brain Causing Lethal Encephalitis. Nat Med. 2004 (10):1366–1373.
Weingart HM, Neufeld JL, Copps J, Marszal P. 2004. Experimental West Nile Virus Infection in Blue Jays (Cyanocitta cristata) and Crows (Corvus brachyrchynchos). Vet. Pathol. 41(4): 362-370.
 [Wikipedia]. 2013. West Nile virus [internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wnv_map_MX.jpg.


********

PENTING UNTUK PETERNAKAN: