Swasembada daging (ayam, sapi dll) untuk mencukupi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan di suatu negara. Untuk mencapai swasembada daging diperlukan langkah strategis yang dilakukan oleh Negara dalam melindungi usaha peternakan di wilayahnya. Makalah berikut membahas masalah tersebut (admin).
VIRUS WEST NILE SEBAGAI EMERGING ZOONOSIS DI INDONESIA
Oleh: Dede Sri Wahyuni, Medik Veteriner Muda, Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Hewani, Badan Karantina Pertanian.
Abstrak
Virus
West Nile merupakan salah satu
kelompok Flavivirus yang menyerang
unggas, terutama unggas liar yang
tidak di kandang tertutup. Penyakit ini menyebabkan gejala syaraf yang dapat
berakibat fatal. Penularan penyakit
harus melalui gigitan vektor serangga. Kontak dengan burung yang terinfeksi
tidak menimbulkan penyakit
meskipun pada burung yang terinfeksi. Antibodi dan isolasi virus dapat diperoleh
baik melalui feses maupun
organ. Unggas merupakan amplifier virus West
Nile. West Nile di Indonesia
belum pernah dilaporkan
dan diteliti tetapi dengan tingginya mobilitas hewan dan manusia memungkinkan
untuk terjadinya penularan
penyakit ini. Oleh karena itu tulisan ini menjabarkan tentang virus West Nile, sehingga diharapkan dapat menambah wawasan tentang
arbovirus yang
lain disamping Japanese Encephalitis.
Kata kunci: Virus West Nile,
emerging zoonosis
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perkembangan
yang sangat cepat di dunia peternakan terutama sektor perunggasan dapat
mempengaruhi ekologi lingkungan sekitarnya.
Meningkatnya usaha peternakan terutama unggas, baik unggas peliharaan
seperti burung hias atau berkicau dan unggas komersial secara tidak langsung
telah meningkatkan penyebaran penyakit yang bersifat zoonosis.
Banyak
kejadian penyakit zoonosa baru (emerging
zoonosis) yang
mulai muncul. Kasus penyakit tertentu
yang ada di suatu negara kemudian menyebar ke negara lain sehingga menjadi
penyakit eksotik yang sangat berbahaya.
Penyebaran ini semakin cepat terjadi dengan tingginya volume perdagangan
antar negara, perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain yang dapat
dilakukan dengan mudah. Di era
globalisasi, sektor pariwisata telah menjadi salah satu faktor tidak langsung
semakin cepatnya penyebaran penyakit di dunia.
West Nile merupakan salah satu penyakit
yang diakibatkan oleh virus serta pertama kali ditemukan pada manusia di daerah
West Nile, Uganda. Penyakit ini kemudian secara cepat menyebar ke
negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia. Pada pertengahan tahun 1990-an, penyakit ini
hanya terjadi secara sporadis dan masih
menimbulkan resiko yang kecil pada manusia, sampai terjadinya wabah di Aljazair
pada tahun 1994 dengan penyakit West Nile
yang menyebabkan ensefalitis. Sedangkan wabah besar yang terjadi di Rumania
pada tahun 1996, sebagian besar dalam bentuk neuroinvasif. Virus ini pertama kali diisolasi pada saat
terjadi wabah ensefalitis pada
manusia, kuda, burung liar dan burung peliharaan di kota New York, Amerika
Serikat (Senne et al. 2000). Penyakit ini juga telah dilaporkan telah
membunuh 286 orang di Amerika Serikat pada tahun 2012.
Laporan ataupun penelitian tentang penyakit West Nile di Indonesia sampai sejauh ini
belum ada atau belum pernah dilaporkan.
Meskipun banyak kejadian penyakit
dengan gejala-gejala yang mengarah ke penyakit west nile, tetapi hal tersebut belum menjadikan penyakit West Nile ini menjadi perhatian bagi
kita. Dengan semakin tingginya tingkat
perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain, tidak menjadi sesuatu yang
mustahil penyakit ini sudah ada di Indonesia.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyakit west nile, sifat agen penyebabnya, data epidemiologik, serta
tindakan pencegahan dan pengendaliannya.
PEMBAHASAN
PENYAKIT WEST NILE
Akhir-akhir ini perkembangan dunia peternakan terutama
di bidang perunggasan terjadi sangat cepat, sehingga mempengaruhi ekologi
lingkungan sekitarnya. Meningkatnya usaha perternakan unggas baik unggas
peliharaan maupun komersial, berdampak pada meningkatnya penularan penyakit
dari hewan ke manusia, yang dikenal sebagai penyakit zoonosis.
Salah satu penyakit zoonosis yang dalam beberapa tahun
terakhir mulai mencuat ke permukaan, adalah kasus penyakit arbovirus, pada
manusia yang disebabkan oleh gigitan nyamuk, diantaranya adalah Japanese Encephalitis, Rift Valley Fever dan Ross River. West Nile merupakan salah satu penyakit arbovirus yang dalam
beberapa tahun terakhir mulai mengisi berita utama di luar negeri.
Banyak kasus penyakit zoonosis arbovirus baru yang
akhir-akhir ini mulai muncul. Kasus penyakit tertentu yang hanya ada di suatu
negara, mulai menyebar ke negara lain sehingga menjadi suatu penyakit eksotik
yang berbahaya. Terlebih lagi dalam rangka globalisasi dimana pergerakan
wisatawan mulai menaik secara signifikan, secara tidak langsung dapat
menyebabkan terjadinya kasus baru di negara tersebut.
West Nile pertama kali
ditemukan pada manusia di daerah West Nile, Uganda, Afrika, kemudian di
laporkan di negara lain seperti Eropa, Asia dan Amerika. West Nile pertama kali diisolasi pada saat terjadi wabah ensefalitis
pada manusia, kuda, burung liar dan burung peliharaan di New York, Amerika
Serikat (Senne et al. 2000). Pada
manusia kasus klinis jarang sekali terjadi, tetapi apabila ada kasus, umumnya
menimbulkan gejala demam, meningitis dan encephalitis.
Agen Penyebab
West Nile disebabkan
oleh virus West Nile yang termasuk
keluarga Flaviridae dan genus Flavivirus. Virus ini merupakan virus RNA single stranded dengan ukuran 40-60 nm,
beramplop dan mempunyai simetri iksohedral (Petersen dan Martin 2002). Virus
ini tersusun dari mantel protein atau kapsul yang terdiri dari asam nukleid
sebagai intinya. Kapsul ini diselubungi dengan amplop dengan diameter 50
nanometer yang terdiri dari protein, lemak, logam berat dan karbohidrat. Kapsul
virus ini sendiri mempunyai diameter dengan ukuran setengah dari diameter amplopnya.
Amplop dari virus ini tidak tahan dengan kekeringan, sinar ultra violet dan
detergen.
Gambar 1. West
Nile virus yang dilihat dengan mikroskop elektron (Original picture by Wikipedia
2013)
Ordo : Unassigned
Keluarga : Flaviviridae
Genus : Flavivirus
Spesies : Virus west nile
Penularan
Induk semang
Bangsa unggas dapat terserang virus west nile. Jenis burung yang lebih peka
terhadap infeksi ini diantaranya adalah crows
(Corvus spp.), Chilean flamingos (Phoenicopterus
chilensis), cormorants (Phalacrocorax sp.) dan Asian pheasants (Tragopan sp.) (Senne et al.
2000). Beberapa Ordo burung yang dapat terserang virus West Nile diantaranya Passeriformes
(burung pengicau), Ciconiiformes
(Bangau, kuntul, egret, ibis, dan spoonbill), Pelecaniformes (burung laut), Charadriiformes (pelagik), Anseriformes (bebek-bebekan), Galliformes (ayam
hutan, puyuh), Falconiformes (elang) dan Strigiformes
(burung hantu) (Steele et al. 2000).
Burung liar dan burung yang dipelihara sangat rentan
jika dibandingkan dengan unggas lainnya seperti ayam, kalkun, dan itik.
Ayam, burung,
dan unggas lainnya yang dipelihara di dalam rumah biasanya tidak terinfeksi West Nile karena tidak dapat kontak
dengan vektor nyamuk. Ayam buras, yang dipelihara secara ekstensif, berpeluang
terinfeksi virus west nile. Di
Israel, angsa dan bebek yang dipelihara ekstensif dapat terinfeksi West Nile (Swayne et al. 2000).
Penelitian terakhir juga ditemukan infeksi alam West Nile pada anak Arctic wolf (Canis lupus)
berumur 4 bulan dengan gejala muntah, tidak mau makan, ataksia, dan mati.
Pemeriksaan patologi
anatomi (PA) menunjukkan adanya kerusakan yang hebat pada ginjal (Lanthier
et al. 2004).
Gambar 2. Siklus hidup virus West Nile (Original picture by CDC 2005)
Pada kuda, infeksi West
Nile dapat menimbulkan gejala klinis berupa gangguan syaraf (Abutarbush et al. 2004). Manusia, kuda, dan mamalia
lainnya merupakan induk semang akhir (dead-end).
Virus ini juga dapat menyerang burung/unggas, anjing, kucing, kuda, dan mamalia
lain seperti kelelawar, kelinci, lamma, bajing,
skunks, dan chipmunks.
Secara infeksi buatan, domba dan babi dapat terinfeksi oleh virus west nile, tetapi tidak menimbulkan gejala
klinis (CDC 2005).
Infeksi buatan virus West Nile pada anjing dan kucing menunjukkan bahwa anjing dan
kucing dapat terinfeksi. Virus berada dalam darah yang singkat dan antibodi dapat terdeteksi,
namun tidak menimbulkan gejala klinis. Deteksi virus West Nile tidak diekskresikan melalui air liur anjing dan kucing. Anjing
dan kucing bukan merupakan ampliflyng
host (Austgen et al. 2004).
Unggas yang dipelihara secara ekstensif berpeluang
lebih besar terkena infeksi West Nile dari
pada unggas yang dipelihara secara intensif. Hal ini disebabkan karena unggas
yang dipelihara secara ekstensif berpeluang lebih besar tergigit serangga
vektor.
Vektor
Gigitan nyamuk yang mengandung virus West Nile merupakan kunci utama bagi
penularan infeksi. Turell (2000) menyatakan bahwa Culex pipens, Aedes japonicus, Aedes sollicitans, Aedes taeniorchynchus
dan Aedes vexans merupakan vektor west nile. Bahkan Aedes japonicus merupakan vektor yang paling potensial dalam
menularkan virus west nile. Culex pipiens dan Culex molestus, merupakan vektor yang potensial di Amerika yang
dapat menularkan virus West Nile secara
transovary (Fonesca et al. 2004).
Medlock et al.
(2005), melaporkan bahwa di daratan Eropa terutama di Inggris, Culex pipiens, Ochlerodatus caspius pallas, Ochlerodatus
detritus halliday,
Ochlerodatus dorsalis (Meipgen), Coquilettidia richiardi ficalbi,
Cullisetta annulata dan Cullisetta morsitans,
Aedes cinereus, Ochlerodatus cantans, Ochlerodatus
punctor merupakan vektor West
Nile yang menjembatani terjadinya infeksi dari unggas ke manusia.
Gambar 3 Nyamuk sebagai vektor (Original picture by CDC
2005)
Turell et al.
(2000) menduga bahwa pada ayam, saat terjadi puncak viremia, dapat menginfeksi
nyamuk tersebut dan virus bertindak sebagai amplifier bagi west nile. Penemuan ini didukung oleh hasil temuan Senne et al. (2000), yang menyatakan bahwa
penularan infeksi West Nile tidak
terjadi akibat kontak langsung dengan feses dan ayam yang terinfeksi west nile.
Patogenesis
Virus West Nile ditularkan
melalui nyamuk betina, yang merupakan vektor utama virus (Hayes et al. 2005). Nyamuk yang terinfeksi
menularkan virus West Nile ke
berbagai jenis burung terutama jenis Passiformes.
Virus akan berkembang biak setelah burung terinfeksi. Dalam burung gagak dan
burung robin, infeksi berakibat fatal pada waktu 4-5 hari.
Vektor nyamuk akan terinfeksi bila menghisap darah
burung yang terinfeksi virus West Nile dan
virus tersebut akan berkembang biak dalam beberapa hari pada tubuh nyamuk
tersebut, dan membawanya ke kelenjar air liur nyamuk yang siap ditularkan ke
burung atau manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Pada burung yang telah
terinfeksi, viremia dapat bertahan selama 4 hari, dan bila burung tersebut
dapat sembuh maka antibodi akan
terbentuk dan bertahan sangat lama (Senne et
al. 2000).
Nyamuk betina yang menghisap darah unggas terinfeksi,
virus bereplikasi di usus nyamuk dan kelenjar saliva dan ditransmisikan ke
dalam cairan ludah saat menghisap darah berikutnya (Marfin dan Gubler 2001). Penularan
dari nyamuk ke manusia akibat virus West
Nile pada saliva nyamuk diinokulasikan ke dalam kulit sewaktu menghisap
darah. Saliva nyamuk terdiri dari protein yang dapat mempengaruhi penyempitan
pembuluh darah, pembekuan darah, agregasi trombosit, peradangan, dan kekebalan.
Inokulasi saliva di kulit akan mengubah respon imun yang dapat menguntungkan
untuk virus (Wanasen et al. 2004).
Gambar 4. Siklus hidup virus west nile. Amplop virion berikatan dan masuk ke dalam membran sel,
diikuti dengan uncoating dari
nukleokapsid dan pelepasan genom RNA ke dalam sitoplasma. Genom
virus berfungsi sebagai RNA messenger (mRNA) (Original picture by Filette et al. 2012).
Virus West Nile pada
manusia akan menyebar ke kelenjar getah bening dan ke peredaran darah.
Penetrasi virus ke dalam sistem saraf pusat mengikuti stimulasi reseptor toll-like dan peningkatan kadar tumor nekrosis faktor-α, yang
meningkatkan permeabilitas blood-brain
barrier. Virus West Nile langsung
menginfeksi neuron, terutama di bagian inti dan materi abu-abu otak, batang
otak, dan sumsum tulang belakang. Kerusakan sel saraf dapat menyebabkan
kelumpuhan.
Kerusakan jaringan sistem imun juga dapat menyebabkan
perubahan patologis dalam beberapa kasus. Meskipun sebagian besar infeksi virus
West Nile nonfatal dapat dieliminasi
oleh respon imun inang, namun virus dapat bertahan dalam beberapa host
vertebrata (Wang et al. 2004).
Penularan langsung dari manusia ke manusia disebabkan
oleh akibat kontak dengan darah yang terinfeksi, melalui transfusi darah, organ
transplantasi, intrauterin, dan akibat menyusui. Sejak tahun 2003, bank darah
di Amerika Serikat secara rutin menguji virus West Nile terhadap para pendonor.
Penularan vertikal pada nyamuk terjadi dari betina ke anaknya (Montgomery
et al. 2005). Burung yang terinfeksi
berinteraksi dengan vektor nyamuk dapat menularkan ke hewan lain dan manusia.
Kontak langsung antara unggas yang diinfeksi virus West Nile tidak terjadi. Hal ini terlihat dari tidak
ditemukannya antibodi dan virus pada tubuh ayam tersebut (Senne et al. 2000).
Data
Epidemiologik
Penyakit West Nile pertama kali diisolasi di Uganda pada tahun
1937, penyakit ini juga merupakan penyebab epidemi pada manusia di Israel pada
tahun 1951. Kejadian di Mesir pada tahun 1950 telah menemukan bahwa nyamuk
merupakan salah satu penular virus dan burung liar diidentifikasi sebagai
reservoir virus dalam waktu yang sama. Kejadian penyakit pada spesies burung ternakan ditemukan pada tahun 1997.
Sebelum tahun 1994 penyakit West
Nile hanya terjadi secara sporadis pada manusia dan kuda atau epidemi yang
relatif kecil di daerah pedesaan. Sebelum tahun 1999 tidak pernah
didokumentasikan terjadi di belahan bumi bagian barat. Antara tahun 1994 dan
1999, virus West Nile terdapat pada
belahan bumi timur dengan adanya laporan wabah yang terjadi di Aljazair,
Rumania, Maroko, Tunisia, Italia, Rusia dan Israel, kemudian virus West Nile menyebar ke Amerika Utara pada
tahun 1999 (CFSPH 2009).
Virus West Nile pertama kali dilaporkan di Amerika Utara pada
akhir musim panas tahun 1999 di New York City dan dalam 4 tahun telah menyebar
melintasi mayoritas wilayah Amerika Serikat. Penyakit ini muncul untuk pertama
kalinya kemungkinan besar melalui impor burung yang terinfeksi dan menyebabkan
kematian pada burung liar, kuda, serta manusia di New York. Virus West Nile terdeteksi di Amerika Utara ketika
burung-burung yang mati mulai muncul di New
York City dan Long Island New
York (Germendia et al. 2001).
Menurut Peterson et al.
(2003) dalam waktu kurang dari 10 tahun, virus tersebar di seluruh
Amerika Utara termasuk Meksiko, Kanada hingga Amerika Selatan. Penyebaran virus
West Nile yang cepat di Amerika Utara
dan Karibia dipercaya terjadi akibat dari pergerakan atau perpindahan
burung-burung yang terinfeksi (Peterson et al. 2003).
Gambar 5. Distribusi
geografis virus West Nile di daratan Amerika (Original
picture by Wikipedia
2013)
Setelah musim dingin pada tahun 1999 sampai 2000, virus West Nile kembali muncul di New York dan New Jersey di musim semi tahun 2000 dan mulai menyebar ke
utara melalui timur laut Amerika Serikat (Marfin et al. 2001). Pada awal
tahun 2001 virus West Nile kembali terdeteksi di Timur
Laut Amerika Serikat dan Florida, kemudian dengan cepat menyebar ke utara
negara bagian Midwestern pada
awal musim panas diikuti dengan penyebaran sepanjang sungai Mississippi selama
akhir musim panas dan awal musim gugur (Blackmore et al. 2003). Pada
akhir 2002, setiap negara bagian di timur gunung Rocky telah dilaporkan adanya
virus West Nile (O’Leary et al. 2002).
Sebanyak hampir 200 ekor burung mati ketika virus West Nile muncul di
Amerika Utara pada tahun 1999 (Phalen dan Dahlhausen 2004). Lebih dari 30.000
orang di Amerika Serikat
telah dilaporkan terinfeksi penyakit West Nile sejak tahun 1999, dari jumlah
tersebut sekitar 13.000 orang sakit serius dan lebih dari 1.200 meninggal dunia
(CDCa 2011). Tahun 2007 di Amerika Serikat terdapat 121 orang meninggal dunia
karena demam West Nile (OIE 2013).
Kejadian wabah West Nile pada kuda telah dilaporkan di
Italia dan Perancis sejak tahun 1998. Survei di beberapa bagian Eropa dan Timur
Tengah telah menunjukkan bahwa sampai sepertiga dari kuda yang dilakukan
pemeriksaan telah terinfeksi virus West Nile tanpa menunjukkan gejala klinis (OIE
2013).
Tanggal 23 Agustus
1999, ahli penyakit menular dari rumah sakit Northern Queens menghubungi Departemen Kesehatan New York (NYCDOH)
melaporkan adanya 2 pasien encephalitis.
Kemudian dilakukan penyelidikan, NYCDOH mengidentifikasikan sekelompok
pasien berjumlah 6 orang yang mengidap encephalitis dimana 5 orang mengalami
gejala otot yang melemah dengan 4 orang mengalami axonal neuropathy. Central Diseases and Control (CDC)
melakukan uji dan positif Arbovirus pada tanggal 3 September. Kemudian ditemukan kembali 8 orang pada area
2 x 2 mil Northern Queens. Atas dasar
ini, dilakukan pengujian pada nyamuk dan larvanya terhadap kemungkinan adanya
virus tersebut.
NYCDOH kemudian
melakukan surveilan pada tanggal 30 Agustus diteruskan oleh Westchester County Department of Health and
the Nassau County Department of Health pada tanggal 3 September. Surveilan ini dilakukan di area sekitar
kejadian tersebut. Kasus-kasus viral
encephalitis dengan tanda klinis kelemahan otot atau acute flaccid paralysis, Guillain-Barre syndrome, aseptic meningitis
yang ada setelah tanggal 1 Agustus.
Sebelum dan selama
wabah, pegawai kesehatan daerah menemukan adanya peningkatan kematian burung di
kota New York terutama burung gagak.
Selama tanggal 7-9 September, pegawai kebun binatang Bronx mencatat
kematian 1 ekor cormorant, 2 ekor Chilean flamingoes dan 1 ekor Asian pheasant. Hasil nekropsi
menunjukkan terjadinya meningoencephalitis dan myocarditis.
Spesimen kemudian
dikirimkan ke U.S. Department of
Agriculture National Veterinary Services Laboratories (NVSL) di Ames, Iowa
pada 10 September untuk dilakukan pengujian terhadap patogen pada burung dan equine encephalitis virus dan hasilnya
semua negatif. Kemudian isolat virus
tersebut dikirimkan ke CDC pada tanggal 20 September untuk dilakukan
identifikasi virus.
Pengujian isolate virus di CDC pada tanggal 23
September dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) dan DNA sequencing
menunjukkan kedekatan dengan West
Nile virus (WNV). Hasil sequencing
menunjukkan adanya kemiripan antara virus yang diisolasi dari burung dan virus
dari spesimen
manusia yang mengidap encephalitis.
Tanggal 28 September, total 17 orang yang dinyatakan positif terinfeksi
virus West Nile dan 20 orang
kemungkinan terinfeksi serta terdapat kematian pada 4 orang.
Tabel 1. Jumlah kasus infeksi virus West Nile di
Amerika Serikat pada tahun 2011 (CDCa 2011)
No
|
Inang /Hospes
|
Jumlah kasus
|
1
|
Manusia
|
268
|
2
|
Burung
|
562
|
3
|
Nyamuk
|
8.227
|
Pada tahun 2003, aktivitas virus West
Nile pada nyamuk dan burung liar pertama dilaporkan di California dan wabah utama pada
manusia, kuda, dan burung terjadi di Collorado
dan utara negara bagian Midwestern
(Reisen et al. 2004). Selama waktu itu virus West Nile juga telah menyebar melalui
sebagian besar timur dan tengah Kanada dan masuk ke Meksiko dan Karibia (Drebot
et al. 2003; Dupuis et al. 2003).
Wabah di Eropa dan Israel juga hasil dari migrasi burung-burung yang
mengalami viremia (Peterson et al. 2003). Studi yang dilakukan di Itali
menunjukan bahwa virus West Nile telah
menjadi endemis di Itali melalui burung liar lokal dan nyamuk yang memungkinkan
virus bertahan dalam musim dingin. Kebanyakan terjadi pada spesies Magpie,
Eurasian jay, Carrion Crow dan Culex pipiens dan
mungkin Ochlerodatus caspius (Monaco et al. 2010).
Burung merupakan salah satu vertebrata penting dalam kelangsungan
siklus virus west nile. Peran burung liar sebagai reservoir memudahkan penyebaran virus
West Nile ke berbagai wilayah. Berbagai studi menunjukan keterkaitan yang kuat
antara pergerakan (migrasi) burung liar terinfeksi terhadap penyebaran virus west nile. Sejak terdeteksi, virus West Nile telah menyebar secara cepat melalui Amerika
Utara.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dusek et al. (2009)
membuktikan bahwa burung yang bermigrasi menjadi agen penyebar virus West Nile di Amerika Utara dan virus West Nile berada pada berbagai spesies
burung. Beragamnya spesies burung yang dapat terinfeksi dan berperan sebagai reservoir memudahkan proses
penyebaran virus West Nile antar wilayah. Periode migrasi burung yang
terjadi tiap tahun memungkinkan perluasan penyebaran virus antar negara bahkan
tidak menutup kemungkinan antar benua. Negara yang memiliki keanekaragaman
burung yang tinggi dan disertai keberadaan nyamuk sebagai vektor memiliki
risiko yang lebih besar dalam penularan virus west nile.
Kejadian
di Indonesia
Di
Indonesia, baik kasus klinis maupun data serologis tentang infeksi West Nile belum pernah diteliti dan
dilaporkan. Meskipun kasus ensefalitis dan meningitis pada manusia telah banyak
ditemukan di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia (Gautama 2005). Begitu
gencarnya pemberitaan kasus West Nile pada
manusia di negara lain, dan frekuensi perpindahan hewan dan manusia dari satu
negara ke negara lain sangat tinggi, sehingga tidak menutup kemungkinan
masuknya penyakit-penyakit eksotik dan zoonosis ke Indonesia. Untuk itu
penelitian awal mengenai keberadaan infeksi virus West Nile pada unggas di Indonesia perlu dilakukan, sehingga
antisipasi dini dapat dilakukan dengan lebih bijak dan arif agar kerugian
ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin.
Namun
kini, di Institute of Tropical Disease
Universitas Airlangga Surabaya berhasil mengidentifikasi virus West Nile.
Beberapa pasien yang dicurigai terinfeksi oleh virus ini kemudian
diidentifikasi. Dari 59 sampel darah, ternyata ada 19 sampel yang menunjukkan
keberadaan virus ini. Kemudian temuan ini dikonfirmasi dengan Gene Bank yang
terstandarisasi oleh WHO (World Health Organization) dan ternyata sequencing-nya sesuai. Dengan demikian,
saat ini Indonesia telah mampu melakukan inovasi diagnosis virus West Nile yang
semula underdiagnosis, kini menjadi terdiagnosis tanpa perlu ke luar negeri
untuk melakukan pemeriksaan terhadap infeksi virus tersebut.
Gejala
Klinis
a. Gejala Klinis
pada Hewan
Virus
West Nile telah dilaporkan menyerang lebih dari 150 spesies burung
di Amerika Utara (CDCb 2011). Burung biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi sampai tahap terakhir penyakit yaitu
ensefalitis (radang otak) dan miokarditis.
Tanda lain yang kemungkinan dijumpai pada burung yang terinfeksi adalah burung
tidak dapat terbang, terkulai atau berjalan dengan baik. Spesies burung yang
rentan seperti angsa menunjukkan berbagai gejala neurologis mulai dari terkulai
dan kelumpuhan sayap, tidak mampu bergerak, dan mungkin inkoordinasi. Tingkat
mortalitas pada angsa mencapai 20 - 60% (OIE 2013).
Virus
West Nile pada kuda sangat berbahaya
jika virus menginfeksi otak. Hal ini karena virus dapat menyebabkan peradangan
otak dan selanjutnya mengganggu fungsi normal dari sistem saraf pusat kuda.
Setelah sistem saraf pusat kuda terkena dampak serius maka kemungkinan besar
dapat terjadi kematian. Gejala pada kuda menunjukkan adanya kelemahan kaki
belakang, ketidakmampuan berdiri, lesu, dan gemetar (CDCb 2011).
Menurut
OIE (2013), beberapa gejala klinis yang ditemukan pada kuda yang menderita
penyakit West Nile antara lain
hilangnya nafsu makan, depresi, kelumpuhan parsial, gangguan penglihatan,
kejang, berputar-putar, dan ketidakmampuan untuk menelan. Selain itu juga seringkali
disertai kelemahan pada kaki belakang, kemudian diikuti kelumpuhan yang
selanjutnya dapat menyebabkan koma dan kematian. Kuda terinfeksi virus West Nile melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Melalui gigitan
nyamuk tersebut virus masuk ke dalam sistem peredaran darah kuda, terjadi
replikasi atau perbanyakan virus dan menimbulkan gejala klinis (CDCb 2011).
b. Gejala Klinis pada Manusia
Penyakit
West Nile ini biasanya terjadi pada
musim hangat saat nyamuk aktif di lingkungan. Infeksi di manusia jarang
menunjukkan tanda klinis, hanya sekitar 20% menunjukkan gejala demam West Nile dan 1% neuroinvasif, dimana neuroinvasif
ini kemungkinan lebih sering terjadi pada penderita lanjut usia diatas 50 tahun
dan penderita imunocompresi. Case Fatality Rate (CFR) yang
dilaporkan selama wabah di Amerika Serikat bervariasi antara 4% - 15% (CFSPH
2009).
Gejala
penyakit West Nile pada manusia
sering asimptomtis dan pada umumnya terbagi menjadi gejala demam West Nile yang ringan dan gejala
neuroinvasif yang parah. Demam West Nile umumnya
akan berlangsung selama beberapa hari, sedangkan gejala yang parah (ensefalitis
atau meningitis) dapat berlangsung beberapa minggu. Masa inkubasi pada manusia
selama 2-14 hari.
Diperkirakan
sekitar 20% pasien yang terinfeksi menunjukkan gejala ringan yang disebut demam
West Nile dengan gejala klinis
seperti demam, malaise, sakit kepala, nyeri pada tubuh, anoreksia,
limfadenopati, mual, diare, muntah, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis.
Terkadang dapat juga disertai dengan eritematosa, makula nonpruritis, atau
papular (ruam kulit). Kebanyakan infeksi tidak parah dan dapat sembuh dalam 2-6
hari (CFSPH 2009).
Sekitar
1 dari 150 orang yang terinfeksi virus West
Nile akan
berkembang menjadi bentuk yang parah dan berkembang menjadi neuroinvasif west nile. Neuroinvasif
West
Nile merupakan
bentuk yang parah dan menyebabkan kematian karena mempengaruhi sistem syaraf.
Gejala neuroinvasif ini menunjukkan gejala klinis seperti sakit kepala, demam
tinggi, kekakuan leher, disorientasi, koma, tremor, kejang, kelemahan otot, dan
kelumpuhan. Efek neurologis yang ditimbulkan kemungkinan bersifat permanen
(CDCb 2011).
Tiga
sindrom yang sering terlihat yaitu ensefalitis, meningitis, dan acute
flaccid paralysis. Meningitis ditandai dengan demam, sakit kepala atau
leher, kaku dan fotofobia. Sedangkan pasien dengan West Nile ensefalitis memiliki
perubahan dalam kesadaran, disorientasi maupun ataksia, inkoordinasi, tremor
dan tanda-tanda yang menyerupai penyakit Parkinson.
Pasien penderita tidak mentransmisikan penularan ke orang lain melalui kontak,
namun West Nile virus dapat
ditransmisikan melalui transfusi darah dan transplantasi organ dari orang yang
tidak menunjukkan tanda klinis (CFSPH 2009).
c. Patologi Anatomi dan Histopatologi
Perubahan PA yang paling jelas dari kasus West Nile pada ayam adalah miokarditis, yang terjadi pada 5-10 hari
post infeksi (Senne et al. 2000).
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan
adanya miokardial nekrosis dan miokarditis limfositik. Perivaskuler cuffing dapat ditemukan pada otak ayam.
Diagnosa
Diagnosis virus
West Nile berdasarkan pengamatan
gejala. Pada manusia, timbulnya gejala ensefalitis dan meningitis yang tidak diketahui penyebabnya,
kemungkinan dapat disebabkan oleh infeksi ini. Namun diagnosis yang tepat perlu
dilakukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serum dan cairan
serebrospinalis melalui uji IgM antibody capture
ELISA, yang akhir-akhir ini sering diterapkan untuk pemeriksaan kasus ensefalitis dan
meningitis akibat infeksi Japanese
Encephalitis (JE). Uji ini dinilai sangat sensitif, mudah dan akurat untuk
menentukan penetapan diagnosis west nile.
Secara
serologis West Nile termasuk dalam kelompok
JE serokompleks, yang terdiri dari JE, St. Louis Encephalitis, Murray Valley Encephalitis,dan
Kunjin, sehingga reaksi silang antara West
Nile dan kelompok tersebut dapat terjadi (Petersen dan Martin 2002). Pada ayam, virus West Nile dapat
diisolasi dari plasma darah hingga 8 hari pasca inokulasi (HPI), swab kloaka
(4-5 HPI), swab trachea dan organ seperti miokardium, timus, limpa, ginjal, dan
usus pada hari ke 3 hingga ke 10 PI. Setelah hari ke 10 post infeksi, virus
tidak dapat diisolasi dari organ tersebut. Antibodi terhadap virus dapat terdeteksi
paling cepat 5 hari pasca inokulasi dan masih terdeteksi hingga lebih dari 3 minggu
(Senne et al. 2000).
Weingart et al. (2004) membuktikan bahwa virus
dapat terdeteksi pada darah, swab kloaka, swab trakea dengan menggunakan PCR. Di
darah, limpa, ginjal, hati, usus, jantung, dan paru-paru,
virus dapat terdeteksi 1 hari post infeksi. Sel mononuklear merupakan target virus West Nile untuk berkembang biak. Sampel diinokulasikan pada biakan jaringan
yang telah membentuk line cell VERO.
Diagnosis West Nile sulit dilakukan pada unggas,
mengingat tidak semua unggas yang terinfeksi menyebabkan gejala klinis. Seandainya
terdapat gejala klinis berupa gangguan syaraf, umumnya gejala klinis tersebut
hampir sama dengan infeksi virus lainnya. Untuk itu pemeriksaan serologis dan deteksi
antigen sangat diperlukan untuk konfirmasi adanya infeksi west nile.
Beberapa uji
serologis dapat dilakukan untuk menentukan ada tidaknya antibodi terhadap West Nile antara lain serum netralisasi,
plaque reduction netralization test
(PRNT), indirect fluorescent antibody
(IFA) (Senne et al. 2000). PRNT merupakan
test yang paling spesifik untuk membedakan antibodi antara virus West Nile dan virus St. Louis Encephalitis (SLE).
Patologi
Anatomi dan Histopatologi
Perubahan
Patologi Anatomi yang paling jelas
dari kasus WN pada ayam adalah miokarditis,
yang terjadi pada 5-10 hari PI (Senne
et al. 2000). Hasil pemeriksaan histopathology menunjukkan
adanya miokardial
nekrosis dan miokarditis limfositik. Perivaskuler cuffing dapat ditemukan pada otak ayam.
Reaksi
silang
Virus
West
Nile adalah anggota dari virus Japanese encephalitis,
sehingga reaksi silang dengan
virus JE pada uji serologis sering terjadi.
Sejak terjadinya wabah Virus West Nile
tahun 1999,
perubahan genetik
Virus West Nile
telah terjadi di
Amerika. Reaksi silang secara serologis dengan menggunakan uji
antibody-capture-ELISA antara lain dengan Yellow
fever, Japanese
encephalitis, dengue, St Louis encephalitis
and Murray Valley encephalitis (CDC, 2004). Ubntuk itu, uji
lanjutan seperti serum
netralisasi sering dilakukan untuk konfirmasi.
Diferensial diagnosis
Penyakit ini sering dikacaukan dengan infeksi virus
lainnya seperti Japanese encephalitis, meningitis, poliomyelitis.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit West Nile
Pencegahan infeksi ini dengan cara mengurang kontak
dengan nyamuk yang terinfeksi dan melakukan vaksinasi. Karena penyakit West Nile berbahaya bagi manusia, maka
vaksinasi pada hewan terutama pada kuda dapat dilakukan. Akhir-akhir ini
rekombinan vaksin West Nile telah
dikembangkan (Minke et al. 2004).
Pembasmian sarang nyamuk di rumah dengan menjaga
kebersihan lingkungan ikut berperan dalam mengeliminasi media perkembangbiakan
nyamuk. Selain pemberian abate sebagai larvasida pada air yang tergenang,
penggunaan larvasida biologis dapat digunakan seperti Bacillus thuringiensis var. israelensis dan Bacillus sphaericus (Petersen and Martin 2002).
Fogging yang dilakukan
pemerintah saat ini dalam rangka pencegahan penyakit demam berdarah dapat
mengurangi populasi nyamuk yang ada. Penggunaan repellent cukup efektif untuk menghindari kontak langsung dengan vektor.
Keamanan pekerja dalam melakukan penelitian ini
sebaiknya mengikuti aturan BSL 3. Pekerjaan ini dapat dilakukan pada
laboratorium dengan fasilitas BSL 2 plus. Vaksin pada manusia hingga saat ini
masih belum tersedia. Pencegahan sebaiknya dengan meminimalkan gigitan serangga
vektor, seperti penggunaan repellent, memakai
kelambu atau menyemprot ruangan dengan anti nyamuk. Karantina yang ketat dalam
pemasukan hewan terutama dari daerah dimana infeksi West Nile telah terjadi diperlukan. Unggas yang terinfeksi virus West Nile dapat dikonsumsi setelah
dimasak lebih dulu.
Sebagai contoh di Canada tindakan pengamanan untuk
mengurangi resiko terinfeksi West Nile virus
dilakukan melalui pendidikan, surveilans, prevention
bekerja sama dengan departemen kesehatan, departemen-departemen federal dan
propinsi, serta kerjasama dengan Wildlife
Health Centre. Melalui pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan
informasi tentang West Nile virus
melalui brosur,
media pertemuan, berita, dan websites. Sedangkan surveilans difokuskan
terutama untuk identifikasi keberadaan virus West Nile pada burung, nyamuk dan kuda.
Indonesia merupakan negara tropis dengan lingkungan
yang masih harus berbenah, pendidikan yang belum ideal, serta belum terbiasanya
perilaku hidup sehat bagi sebagian masyarakat menjadi peluang nyamuk Culex berkembang di Indonesia. Dengan
demikian, Indonesia berpotensi mengalami tahap Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk
penyakit tersebut. Selain faktor lingkungan, penyebaran virus ini juga terkait
dengan hobi memelihara burung. Minuman burung dapat menjadi tempat
berkembangnya nyamuk Culex yang jika menghisap darah dari burung dapat
memindahkan virus West Nile ke
manusia melalui gigitannya.
Untuk mencegah penyebaran nyamuk Culex dan mengurangi resiko terinfeksi virus West Nile, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Diantaranya
adalah dengan mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang ketika
beraktivitas di luar ruangan, menggunakan obat penolak serangga pada kulit. Selain
itu, setiap kali menggunakan obat pembasmi nyamuk/insektisida selalu baca
aturan pemakaiannya.
Melakukan langkah-langkah preventif baik di dalam
rumah maupun di luar rumah seperti menutup dan menguras tempat penampungan air,
serta mengubur barang-bara bekas juga dapat mencegah penyebaran nyamuk Culex. Kemudian jika menemukan burung
mati jangan menangani bangkai tersebut tanpa sarung tangan. Langkah-langkah
tersebut akan sangat membantu mengurangi penyebaran virus West Nile di Indonesia (Nasronudin 2013).
Cara pencegahan virus West Nile yang paling sederhana dan paling efektif adalah
menghindari gigitan nyamuk jenis apapun, mengantisipasi tempat perkembangbiakan
nyamuk dan memberantas nyamuk di dalam rumah maupun di lingkungan sekitar. Hal
yang perlu dilakukan antara lain secara rutin menguras air di bak mandi, kolam
renang, dan bak penampungan air lainnya. Hendaknya secara teratur mengganti air
di tempat minum burung, pot bunga, mengosongkan tempat yang mungkin secara
tidak sengaja menyimpan air seperti kaleng bekas, ban bekas, mainan anak-anak,
pelepah pisang, dan lain-lain.
Ketika keluar rumah dianjurkan untuk memakai sepatu,
kaus kaki, celana panjang dan kemeja lengan panjang untuk menghindari potensi
gigitan nyamuk. Selain itu dianjurkan pula menggunakan penolak nyamuk
(repellent) yang mengandung bahan aktif 30-50% DEET (N,N-diethylmetatoluamide)
terutama saat fajar dan sore hari dimana pada saat-saat tersebut merupakan
waktu aktif nyamuk untuk berkeliaran dan mencari makan.
Tindakan Pengamanan
Keamanan pekerja dalam
melakukan penelitian ini sebaiknya mengikuti aturan BSL III. Pekerjaan ini
dapat dilakukan pada laboratorium dengan fasilitas BSL II plus. Vaksin pada
manusia hingga saat ini masih belum tersedia. Pencegahan sebaiknya dengan
meminimalkan gigitan serangga vector, seperti penggunaan repellen, memakai
kelambu atau menyemprotkan ruangan dengan anti nyamuk.
Karantina yang ketat dalam
pemasukan hewan terutama dari daerah dimana infeksi virus West Nile telah terjadi diperlukan, karena penularan virus West Nile dapat melalui serangga nyamuk.
Unggas yang terinfeksi virus West Nile dapat
dikonsumsi setelah dimasak lebih dulu.
Sebagai contoh di Canada
tindakan pengamanan untuk mengurangi resiko terinfeksi virus West Nile dilakukan melalui pendidikan,
surveillan, prevention bekerja sama dengan departemen kesehatan,
departement-departemen federal dan propinsi, serta kerjasama dengan Wildlife Health Centre. Melalui
pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan informasi tenatang virus West Nile melaui brosur, media
pertemuan, berita dan websites. Sedangkan surveillan difokuskan terutama untuk
identifikasi keberadaan virus West Nile pada
burung, nyamuk dan kuda.
PENUTUP
Kesimpulan
Penularan virus West
Nile pada manusia dan hewan rentan lainnya hanya dapat terjadi melalui gigitan
vektor. Kontak langsung dengan hewan terinfeksi tidak dapat terjadi. Penelitian
respon imunologi dapat memfasilitasi desain pembuatan vaksin dan imunoterapi
yang lebih tertarget.
Upaya-upaya tersebut juga kemungkinan akan meningkatkan pemahaman kita tentang
patogenesis flaviviruses ensefalitis
terkait penyebab penyakit pada manusia.
Saran
Virus West Nile belum
pernah ditemukan di Indonesia, sehingga diperlukan surveilan terhadap vector
seperti burung-burung liar dan nyamuk yang ada di Indonesia. Virus ini bisa
menjadi penyakit eksotik jika masuk ke Indonesia, oleh karena itu, diperlukan
suatu kajian resiko jika akan dilakukan pemasukan atau importasi satwa atau
burung-burung yang bisa menjadi vektor bagi virus West Nile.
DAFTAR PUSTAKA
Abutarbush SM, O’connor BP, Clark C, Sampieri F, Naylor JM. 2004.
Clinical West Nile Virus Infection in
2 Horses in Western Canada. Canadian Vet.
J. 45(4): 315-317.
Austgen LE, Bowen RA, Bunning ML, Davis BS, Mitchell CJ, Chang GJ. 2004.
Experimental Infection of Cats and Dogs With West Nile Virus. Emerging Infectious
Diseases. 10(1): 82-86.
Blackmore CGM, Stark LM, Jeter WC, Oliveri RL, Brooks RG, Conti LA,
Wiersma ST. 2003. Surveillance Results From the First West Nile Virus Transmission Season in Florida,
2001. Am J Trop Med Hyg 69: 141–150.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2005. Virology,
Pathology, and Clinical Manifestations of West Nile Virus Disease [internet]. [diunduh 2013 Oktober 4] Tersedia dari: http://wwWest
nilec.cdc.gov/eid/article/11/8/05-0289b_article.htm.
[CDC]
Centers for Disease Control and Prevention. 2011. West Nile Infection
[internet]. [diunduh 2013 Oktober 3]. Tersedia dari:
http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/westnile/qa/symptoms.htm.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2011. West Nile Virus [internet]. [diunduh 2013 Oktober
3]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/Features/WestNileVirus/.
[CFSPH]
The Center For Food Security and Public Health, 2009. West Nile Virus
Infection [internet]. [diunduh
2013 Oktober 3]. Tersedia dari: Iowa State University.
http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/west_nile_fever.pdf.
Drebot MA, Lindsay LR, Barker IK, Buck PA, Fearon M, Hunter F, Sockett
P, Artsob H. 2003. West Nile Virus
Surveillance and Diagnostics: a Canadian Perspective. Can J Infect Dis. 14: 105–114.
Dupuis AP II, Marra PP, Kramer LD. 2003. Serologic Evidence of West Nile
Virus Transmission, Jamaica, West Indies. Emerg
Infect Dis. 9: 860–863.
Dusek RJ, McLean RG, Kramer LD, Ubico SR, Dupuis II AP, Ebel GD, Guptill
SC. 2009. Prevalence of West Nile Virus
in Migratory Birds During Spring and Fall Migration. Am J Trop Med Hyg. 81(6): 1151–1158.
Filette MD, Ulbert S, Diamond M, Sanders NN. 2012. Recent Progress in West
Nile Virus Diagnosis and Vaccination.
Vet Res. 43(1): 16.
Fonesca DM, Keyghobadi N, Malcolm CA, Mehmet C, Schaffner F, Mogi M,
Fleischer RCc. 2004. Emerging Vectors in the Culex pipiens complex. Science.
303(5663): 1421-1564.
Gautama K. 2005. Pelaksanaan Surveilans JE di Bali. Jakarta: In:
workshop and training surveilans JE di rumah sakit”. 17-19 Februari, 2005.
Germendia AE, Van Kruiningen HJ, French RA. 2001. The West Nile Virus: its Recent Emergence in
North America. Microbes Infect. 3:
223–229.
Hayes EB, Komar N, Nasci RS, Montgomery SP, O'Leary DR, Campbell GL.
2005. Epidemiology and Transmission Dynamics of West Nile Virus Disease. Emerging
Infect Dis. 11 (8): 1167–73.
Lanthier I, Hebert M, Tremblay D, Harel J, Dallaire AD, Girard C. 2004.
Natural West Nile Virus Infection in
a Captive Juvenile Arctic Wolf (Canis
lupus). J Vet Diagn Invest.
16(4): 326-329.
Marfin AA & Gubler DJ.
2001.
West Nile Encephalitis: an Emerging
Disease in the United States. Emerging
Infections. 2001(33): 1713.
Marfin AA, Petersen LR, Eidson M, Miller J, Hadler J, Farello C, Werner
B, Campbell GL, Layton M, Smith P, et al.
2001. Widespread West Nile Virus Activity, Eastern United States, 2000. Emerg Infect Dis. 7: 730–735.
Medlock JM, Snow KR, Leach S. 2005. Potential Transmission of West Nile Virus in The British Isles: an
Ecological Review of Candidate Mosquitoe Bridge Vectors. Medical and Veterinary Entomology. 19: 2.
Minke JM, Siger L, Karaca K, Austgen L, Gordy P, Bowen R, Renshaw RW,
Loosmore S, Audonnet JC, Nordgren B. 2004. Recombinant Canarypoxvirus Vaccine
Carrying the Prm/E Genes of West Nile Virus
Protectshorses Against a West Nile Virus
– Mosquito Challenge. Archives of
Virology. (Suppl). 18: 221-230.
Monaco F, Lelli R, Teodori L, Pinoni C, Di Gennaro AP, Polci A, Calistri
P, Savini G. 2010. Re-emergence of West Nile
Virus in Italy. Zoonoses and Public
Health. 57: 476–486.
Montgomery SP, Chow CC, Smith SW, Marfin AA, O'Leary DR, Campbell GL
2005. Rhabdomyolysis in Patients With West Nile Encephalitis and Meningitis. Vector
Borne Zoonotic Dis. 5 (3): 252–257.
O’Leary DR, Marfin AA, Montgomery SP, Kipp AM, Lehman JA, Biggerstaff
BJ, Elko VL, Collins PD, Jones JE, Campbell GL. 2004. The Epidemic of West Nile Virus in the United States 2002. Vector Borne Zoonotic Dis. 4: 61–70.
[OIE] Office International des Epizootic. 2013. West Nile Fever [internet]. [diunduh 2013 Oktober
3]. Tersedia dari: www.oie.int.
Petersen LR and Martin AA. 2002. West Nile Virus: A Primer for the Clinician. Ann of Internal Med. 137 (3): 173-179.
Peterson AT, Vieglais DA, Andreasen JK. 2003. Migratory Birds Modeled as
Critical Transport Agents for West Nile Virus
in North America. Vector-Bourne Zoonotic
Dis. 3:27-37.
Phalen DN, Dahlhausen B. 2004. West Nile Virus. Seminars in Avian and
Exotic Pet Medicine. 13 (2): 67-78
Reisen W, Lothrop H, Chiles R, Madon M, Cossen C, Woods L, Husted S,
Kramer V, Edman J. 2004. West Nile Virus
in California. Emerg Infect Dis. 10:
1369–1378.
Senne DA, Pedersen JC, Hutto DL, Taylor WD, Schmitt BJ, Panigrahy B.
2000. Pathogenicity of West Nile Virus
in Chickens. Avian Diseases. 44:
642-649.
Steele KE, Linn MJ, Schoepp RJ, Komar N, Eisbert TW, Manduca RM, Calle
PP, Raphael BL, Clippinger TL, Larsen T et
al. 2000. Pathology of Fatal West Nile
Virus Infections in Native and Exotic Birds During the 1999 Outbreak in New
York City. Vet Pathol. 37: 208-224.
Swayne DE, Beck JR, Zaki S. 2000. Pathogenicity of West Nile Virus for Turkeys. Avian Diseases. 44: 932-937.
Turell MJ, Sardelis MR, Dohm DJ, O'Guinn, ML. 2000. Potential For North
American Mosquitoes to Transmit West Nile
Virus. Am J of Tropical Medicine and
Hygiene. 62: 413-414.
Wanasen N, Nussenzveig RH, Champagne DE, Soong L, Higgs S. 2004.
Differential Modulation of Murine Host Immune Response by Salivary Gland
Extracts From the Mosquitoes Aedes
aegypti and Culex quinquefasciatus.
Med Vet Entomol. 18 (2): 191–9.
Wang T, Towestnile T,
Alexopoulou L, Anderson JF, Fikrig E, Flavell RA. Toll-Like Receptor 3 Mediates
West Nile Virus Entry Into the Brain
Causing Lethal Encephalitis. Nat Med.
2004 (10):1366–1373.
Weingart HM, Neufeld JL, Copps J, Marszal P. 2004. Experimental West
Nile Virus Infection in Blue Jays (Cyanocitta cristata) and Crows (Corvus brachyrchynchos). Vet. Pathol. 41(4): 362-370.
[Wikipedia]. 2013. West Nile virus [internet]. [diunduh 2013 Oktober
3]. Tersedia dari: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wnv_map_MX.jpg.
********