PENTINGNYA BIOSAFETY DAN BIOSECURITY PADA PENYELENGGARAAN KARANTINA HEWAN

Karya Tulis Ilmiah “Pentingnya Biosafety Dan Biosecurity Pada Penyelenggaraan Karantina Hewan” Penulis: Drh. Sri Yusnowati, Medik Veteriner Madya, Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani. ***Drh. Sri Yusnowati adalah ketua IDHKI (Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia).


ABSTRAK
Penyelenggaraan karantina hewan sudah berjalan sejak jaman Hindia Belanda, namun baru pada tahun 1992, pelaksanaan tugas Karantina memiliki legalitas dengan adanya Undang-undang No. 6 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan tahun 2000 terbit Peraturan Pemerintah No. 82 tentang Karantina Hewan.  Tugas pokok karantina hewan adalah mencegah masuk hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah RI dan atau mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah RI ke luar negeri dan atau tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari satu area ke area lain dalam wilayah RI yang terefleksi dalam bentuk tindakan karantina hewan yang merupakan tindakan 8 P (pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, pembebasan). Pelaksanaan tindakan karantina dikenakan terhadap media pembawa hama penyakit hewan karantina (MP HPHK: hewan, bahan asal hewan (BAH) dan hasil bahan asal hewan (HBAH) termasuk benda lain) yang dilalulintaskan melalui pintu pemasukan/pengeluaran dan harus memenuhi persyaratan karantina hewan. Penyelenggaraan karantina banyak terkait dengan situasi penyakit suatu negara, regional, wilayah atau area; kesehatan hewan, bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan selain peraturan karantina ataupun peraturan lain terkait perkarantinaan; juga menyangkut penanganan komoditi yang merupakan media pembawa agen biologik yang dipindahkan karena adanya pergerakan lalulintas komoditi tersebut dikarenakan akibat perdagangan, mutasi personel atau mutasi dari komoditi atau media pembawa itu sendiri. Sesuai dengan prinsip Biosafety yang mencegah terpaparnya agen biologik/ biohazard ke luar kontenmen untuk menjaga keselamatan pekerja yang bertugas menangani agen biologik/ biohazard, dan Biosekuriti yang biosekuriti yang mencegah keluar agen biologik/ biohazard dari bangunan laboratorium karena kecurian, dan disalahgunakannya penggunaan agen biologik/ biohazard, maka institusi karantina dalam penyelenggaraan perkarantinaannya juga mulai memperhatikan prinsip biosafety dan biosekuriti, tentu saja dengan analogi dari prinsip-prinsip Biosafety dan biosekuriti tersebut dari kondisi laboratorium pada kondisi lapangan terutama di instalasi karantina hewan. Tindakan pemeriksaan berdasarkan atas 3 (tiga) tingkat risiko media pembawa (rendah, sedang dan tinggi), dengan penanganan karantina yang mengacu pada prinsip-prinsip Biosafety dan biosekuriti dapat dijelaskan sebagai berikut untuk Media Pembawa dengan tingkat risiko rendah penanganan karantinanya dapat dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran dengan menerapkan prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 1 dan jika dilakukan pemeriksaan laboratorium dalam laboratorium dengan fasilitas laboratorium tingkat 1; Media Pembawa dengan tingkat risiko sedang, penanganan karantina dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran ataupun dikenakan tindakan karantina di dalam instalasi karantina yang memerlukan masa karantina tertentu dengan prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 2 dan fasilitas laboratorium tingkat 2; Media Pembawa dengan risiko tinggi, penanganan karantina dilakukan di dalam instalasi karantina hewan selama masa karantina yang telah ditentukan  yang mengacu pada prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 3 dan pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di dalam laboratorium dengan fasilitas  tingkat 3. Pada tindakan karantina pengasingan, pengamatan,  perlakuan dan pemusnahan, penerapan prinsip Biosafety dan Biosekuriti pada Instalasi Karantina Hewan dapat dianalogikan bahwa bangunan/ruang sebagai kontenmen sekunder dan di dalamnya terutama kandang isolasi dianggap sebagai kontenmen primer.  Terkait dengan itu, petugas karantina yang melaksanakan tindakan karantina dan langsung berhubungan dan menangani media pembawa harus mengikuti prosedur penanganan media pembawa mempergunakan pakaian pelindung diri (PPE) dengan tipe yang disesuaikan dengan kebutuhan.Untuk tindakan karantina penahanan, penolakan dan pembebasan yang merupakan lanjutan atas hasil dari tindakan karantina pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan tidak memerlukan penerapan prinsip Biosafety dan Biosekuriti.

Kata kunci: penyelenggaraan karantina (8P) – prinsip Biosafety dan Biosekuriti – penerapan di lapangan

PENTINGNYA BIOSAFETY DAN BIOSECURITY PADA PENYELENGGARAAN KARANTINA HEWAN

BAB I
PENDAHULUAN

Penyelenggaraan karantina hewan sudah berjalan sejak jaman Hindia Belanda walaupun pada waktu itu hanya bagian dari Direktorat Kesehatan Hewan karena tugas perkarantinaan masuk ke dalam bagian dari penanggulangan penyakit hewan.  Namun sejak tahun 1983, Karantina Hewan masuk ke dalam organisasi Pusat Karantina Pertanian.  Namun baru pada tahun 1992, tugas Karantina memiliki legalitas dengan adanya Undang-undang No. 6 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan.  Baru pada tahun 2000 terbit Peraturan Pemerintah No. 82 tentang Karantina Hewan.   
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000, tugas pokok karantina hewan adalah mencegah masuk hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah RI dan atau mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah RI ke luar negeri dan atau tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari satu area ke area lain dalam wilayah RI.  Pelaksanaan tugas pokok karantina terefleksi dalam bentuk tindakan karantina hewan yang merupakan tindakan 8 P (pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, pembebasan).  Sampai dengan era tahun 2000-an, tindakan karantina dilaksanakan sesuai dengan peraturan karantina dan dilaksanakan sesuai ilmu kedokteran hewan dan secara lege artis. 
Penyelenggaraan karantina saat ini tidak hanya melakukan pencegahan penyebaran HPH/HPHK, tapi juga mengurusi pengawasan keamanan hayati hewani yang menyangkut keamanan pangan.  Dengan masuknya negara Indonesia menjadi anggota WTO, berarti juga perdagangan komoditi pertanian harus memenuhi persyaratan dalam persetujuan SPS dimana semua penyelenggaraan perkarantinaan harus berdasarkan atas teknis ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.  Karena perdagangan saat ini tidak ada batasan negara dan tidak ada lagi batasan perdagangan atas dasar tarif (tarrif barrier), namun mengacu pada technical barrier.  Karantina sebagai institusi bagian dari CIQ (Custom, Immigration, Quarantine) yang ada di semua pintu masuk / keluar komoditi harus melakukan penyelenggaraan karantinanya berdasarkan peraturan nasional dan internasional.
Seiring dengan berjalannya waktu, terutama peraturan internasional lebih berkembang dinamis dengan memperhatikan keselamatan dan keamanan komoditi yang dilalulintaskan maupun petugas yang bekerja menangani komoditi tersebut, untuk itu tentu saja negara Indonesia pun harus mengikuti peraturan internasional terkait karantina yang berlaku selain peraturan karantina hewan.  Karantina juga harus melakukan penyelenggaraan karantinanya dengan memperhatikan issu internasional, misalnya masalah mengenai kesejahteraan hewan, biosafety dan bioscurity, bioterorisme.
Karantina sebagai penyelenggara pelayanan kepada masyarakat, maka dalam penyelenggaraan karantina juga mengacu pada Undang-undang no. 25 Tahun 2009 yang sesuai dengan pelayanan sistim manajemen mutu dimana salah satu komponen Standar Pelayanan Publik adalah memberi jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen dan memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan. 
Bagi institusi karantina, rasa aman, bebas dari bahaya tidak hanya terkait dengan keamanan ataupun bahaya atas akses dari personel yang tidak berwenang misalnya pencuri saja, namun karena karantina berhubungan/menangani agen penyakit yang patogen, infeksius dan contagius maka terminologi rasa aman, bebas dari bahaya dapat diperluas menjadi aman dari risiko terjadinya pelepasan ataupun paparan agen patogen ataupun bahan berbahaya lain yang ditangani karantina.  Apalagi apabila terkait dengan masalah bioterorisme yang menyalahgunakan penggunaan agen patogen sebagai ancaman penyebaran penyakit menular kepada masyarakat dalam suatu negara.  Untuk itulah perlunya petugas karantina memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai biosafety dan biosecurity yang akan menjadi dasar dalam menanganani agen patogen dan bahan berbahaya (biohazard) yang kemungkinan ada dalam komoditi yang dilalulintaskan terutama dari negara atau daerah yang endemis.

BAB II
MATERI DAN METODE
Materi (bahan)  tulisan adalah pengalaman kerja dan praktek yang dilaksanakan di karantina hewan. Metode (cara) yang digunakan adalah dengan  study literature yang terkait dan sesuai dengan pokok bahasan.Dalam penulisan

BAB III
pembahasan

Penyelenggaraan Karantina
Penyelenggaraan karantina mencakup pelayanan administrasi karantina (sertifikasi dan kuitansi pembayaran), pelayanan terkait inspeksi karantina (dalam hal ini tindakan karantina 8 P), pelayanan pengujian laboratorium.  Penyelenggaraan karantina yang utama adalah pelayanan inspeksi karantina yang merupakan pelaksanaan tindakan karantina 8 P terdiri dari pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.  
Pelaksanaan tindakan karantina dikenakan terhadap media pembawa hama penyakit hewan karantina (MP HPHK) yang dilalulintaskan melalui pintu pemasukan/pengeluaran.  MP HPHK yang dimaksud dalam peraturan karantina adalah hewan, bahan asal hewan (BAH) dan hasil bahan asal hewan (HBAH) termasuk benda lain.  MP HPHK yang akan dilalulintaskan harus memenuhi persyaratan karantina hewan yaitu (1) harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan atau sertifikat sanitasi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di negara atau area asal, (2) melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang ditetapkan oleh Menteri yang berwenang, (3) dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran untuk dilakukan tindakan karantina.
Pemeriksaan karantina mencakup pemeriksaan dokumen, fisik, klinis dan laboratorium.  Pemeriksaan dokumen dilakukan pada saat pengguna jasa melaporkan dan menyerahkan permohonan pemeriksaan karantina dan pada saat komoditi akan diberangkatkan.  Unsur yang diperiksa adalah kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen. Pemeriksaan fisik, klinis dan laboratorium dilakukan terkait dengan pelaksanaan tindakan karantina di instalasi karantina.  Pemeriksaan fisik dan klinis terkait dengan pemeriksaan kesehatan hewan atau sanitasi BAH/HBAH untuk mendeteksi secara kasat mata gejala serangan HPHK.  Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi atau mengidentifikasi hama atau patogen penyebab penyakit.  
Berdasarkan atas KepMentan No. 3238 Tahun 2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis HPHK, penggolongan dan klasifikasi media pembawa, ada 2 golongan HPHK yaitu HPHK golongan I (penyakit hewan yang belum ada di Indonesia/penyakit eksotik, misalnya Bovine Spongiform Encephalopathy, African Horse Sickness, Ebola) dan HPHK golongan II (penyakit hewan yang sudah ada di sebagian area atau seluruh area di Indonesia, misalnya Rabies, Brucellosis, Anthrax).  Sampai saat ini, pemeriksaan fisik, dan klinis karantina hewan yang dilaksanakan belum memperhatikan prinsip-prinsip biosafety maupun biosekuriti.  Demikian juga pemeriksaan laboratorium pun belum memperhatikan prinsip biosafety dan biosekuriti laboratorium.  Padahal karantina dalam melaksanakan tugasnya berhubungan dengan penanganan media pembawa yang harus selalu dianggap bahan berbahaya yang kemungkinan mengandung agen penyebab penyakit hewan menular dan mudah menyebar, terutama komoditi impor yang kemungkinan berasal dari negara endemis.
Pengasingan (isolasi) dilakukan pada MP Hewan yang dikenakan tindakan karantina di instalasi karantina dalam masa karantina, apabila pada waktu pemeriksaan fisik dan klinis terlihat gejala penyakit.  Apabila penyebab gejala penyakit dapat terdeteksi dan teridentifikasi melalui pemeriksaan laboratorium sebagai agen penyakit HPHK golongan II, maka diperlukan pengamatan serta perlakuan sampai hewan yang bersangkutan sehat dan dibebaskan bersama dengan hewan lainnya yang sehat.  Namun apabila teridentifikasi agen penyakit HPHK golongan I, hewan tersebut harus dimusnahkan.
Tindakan penahanan dilakukan apabila persyaratan karantina belum seluruhnya dipenuhi, misalnya belum dilengkapi sertifikat kesehatan atau surat keterangan tertentu sebagai kewajiban tambahan. Selama penahanan, MP HPHK tersebut sepenuhnya berada di bawah pengawasan Petugas Karantina dan tidak boleh dipindahkan tanpa seizin Petugas Karantina.
Tindakan perlakuan merupakan tindakan yang dilakukan apabila setelah pemeriksaan kesehatan, atau setelah pengamatan di tempat pengasingan, MP HPHK tersebut tertular atau diduga tertular HPH/HPHK golongan II. Perlakuan antara lain dilakukan dengan cara fisik, kimia, atau biologi. Perlakuan secara fisik dapat berupa radiasi, pemanasan, dan pendinginan; perlakuan secara kimia diantaranya insektisida, pestisida, desinfektasi atau dekontaminasi, antibiotika, dan kemoterapeutik; dan perlakuan secara biologi antara lain dengan pemberian serum, vaksin.
Tindakan penolakan adalah tindakan menolak masuknya MP HPHK ke dalam wilayah Indonesia, atau dari satu área ke suatu area lain dalam wilayah Indonesia, dan apabila setelah diperiksa di atas alat angkut, ternyata MP HPHK tertular HPHK golongan I, atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya; atau berasal dari negara/área yang dilarang pemasukannya atau negara/área yang sedang wabah, maka MP HPHK harus di re-ekspor atau dikembalikan ke negara/área asal.  Penolakan juga dilakukan terhadap MP HPHK yang akan diekspor atau dikeluarkan dari satu area dalam wilayah RI dimana pada masa karantina terdeteksi atau teridentifikasi adanya agen penyebab penyakit HPHK golongan II, maka MP HPHK tersebut ditolak untuk dikeluarkan dan dikembalikan kepada pemilik.

Tindakan pemusnahan merupakan tindakan memusnahkan MP HPHK apabila setelah diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, ternyata tertular HPHK golongan I, atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya; atau setelah dilakukan perlakuan dalam masa karantina ternyata MP HPHK tidak dapat disembuhkan atau tidak terbebas dari HPHK.  Pemusnahan dapat dilakukan dengan cara manual yaitu secara fisikal maupun mekanikal.

Tindakan pembebasan adalah tindakan memperbolehkan MP HPHK, untuk dimasukkan atau dilalulintaskan ke dalam wilayah Negara Indonesia, atau ke suatu area dalam wilayah Indonesia; atau membolehkan keluarnya media pembawa ke luar negeri atau ke area lain dalam wilayah Indonesia apabila setelah dilakukan pemeriksaan fisik, klinis dan laboratorium hasilnya tidak tertular HPHK golongan I, atau setelah dilakukan pengamatan dan pengasingan, ternyata tidak tertular HPHK golongan II, atau setelah diberikan perlakuan, MP HPHK tersebut dapat disembuhkan; atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang menjadi alasan penahanannya dapat dipenuhi.

Terkait dengan pelaksanaan tindakan karantina, fungsi karantina yang baru sejak tahun 2004 yaitu melakukan pengawasan keamanan pangan (keamanan hayati hewani), keamanan pakan dan keamanan lingkungan.  Namun penerapan kebijakan ini belum dapat terlaksana dengan optimal.

Penyelenggaraan karantina ini terkait dengan tanggung jawab, kewenangan, beban kerja dan risiko kerja yang diterima petugas karantina.  Kesalahan dalam melakukan tindakan karantina dapat berakibat fatal bagi petugas karantina sendiri; terhadap perekonomian nasional yang berakibat pada adanya gejolak sosial di masyarakat; adanya tuntutan dari pengguna jasa, negara pengimpor ataupun negara pengekspor; kerusakan lingkungan, terganggunya kesehatan populasi ternak disekeliling ataupun terganggunya kesehatan masyarakat; bahkan dapat saja membahayakan pertahanan dan keamanan negara apabila sudah menyangkut bioterorisme.  Dengan SDM petugas karantina yang terbatas jumlahnya, sedangkan tempat pemasukan/pengeluaran yang harus diawasi banyak dan tersebar, jam tugas petugas karantina hampir tidak mengenal batas waktu karena lalulitas MP HPHK dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam, 7 hari dalam seminggu dan tidak ada waktu libur.

Biosafety dan Biosekuriti
Biosafety dalam terminologi pada pedoman bekerja di laboratorium yang dikeluarkan oleh WHO dimaksudkan merupakan prinsip-prinsip dan kondisi kontenmen, teknologi dan prosedur kerja yang diterapkan untuk mencegah terpaparnya atau terlepasnya agen patogen atau toksin secara tidak disengaja.  Biosafety ditujukan lebih kepada perlindungan bagi personel.  Sedangkan terminologi Biosekuriti menggambarkan perlindungan, pengendalian dan akuntabilitas terhadap bahan-bahan biologik yang berharga (VBM) dari akses orang yang tidak berwenang, kehilangan, kecurian, penggunaan yang disalah gunakan, pelepasan yang tidak disengaja atau yang dialihkan.  Biosekuriti lebih terkait dengan  perlindungan agen patogen dan bahan biologik berbahaya dari akses personel yang tidak berwenang (5).  Definisi Biologikal Safety dimaksudkan sebagai penerapan pengetahuan, teknik dan peralatan yang akan mencegah paparan agen biologik atau bahaya pada personel, laboratorium dan lingkungan. (8).
Terminologi Biosafety dan Biosekuriti digunakan secara luas dalam konsep dan kerangka kerja yang berbeda yang mencakup pekerjaan menangani agen biologik dan toksin yang dilakukan dengan aman di berbagai tempat kerja dan lingkungan yang berbeda (11).  Perlindungan yang dilakukan bagi lingkungan memerlukan perhatian terhadap keselamatan dan keamanan biologik.
Biosafety
Terminologi Biosafety biasanya lebih terkait dengan laboratorium yang dalam pelaksanaan tugasnya secara rutin mendeteksi dan mengidentifikasi agen biologik yang ada dalam sampel yang diperiksa.  Fasilitas prasarana maupun sarana laboratorium yang menangani agen biologik disesuaikan dengan risiko dari agen biologik yang ditangani yang ada dalam kelompok risiko yang telah ditentukan secara nasional.  Kelompok risiko agen biologik ini berbeda di setiap negara tergantung pada situasi penyakit dari negara tersebut.  Sepanjang negara Indonesia belum memiliki kelompok risiko agen biologik sendiri, maka dapat dipergunakan kelompok risiko yang ada pada ketentuan WHO dan OIE (5,9).  Penetapan kelompok risiko dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain (5, 8, 9):

  • kemampuan agen biologik/patogen dalam menginfeksi dan menyebabkan penyakit terhadap inang yang peka
  • virulensi penyakit sebagaimana pengukuran atas keparahan penyakit yang ditimbulkan
  • ketersediaan tindakan pencegahan dan perlakuan yang efektif terhadap penyakit
  • kemungkinan jalannya penyakit misalnya pemindahan infeksi di laboratorium
  • jumlah dosis agen biologik yang menyebabkan infeksi
  • kestabilan agen biologik dalam lingkungan
  • kisaran inang
  • dll

Berdasarkan atas faktor-faktor pertimbangan, maka WHO dan OIE menetapkan ada 4 kelompok risiko agen biologik/patogen sebagai berikut:

  1. Kelompok risiko 1 merupakan mikroorganisme yang tidak mungkin menyebabkan penyakit pada manusia maupun hewan.  Biasanya merupakan penyakit pada hewan yang bersifat enzootik namun tidak menjadi urusan pengendalian penyakit hewan.Kelompok yang memiliki risiko yang rendah atau bahkan tidak ada risiko mikroorganisme kelompok ini terhadap individu dan masyarakat, misalnya Eschericia coli
  2. Kelompok risiko 2 merupakan agen biologik/patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan tapi tidak mungkin menyebabkan bahaya yang serius kepada pekerja laboratorium, masyarakat, ternak ataupun lingkungan.  Biasanya ada perlakuan efektif dan tindakan pencegahan terhadap kelompok risiko ini dan risiko penyebarannyapun terbatas. Jadi kelompok ini untuk memindahkan penyakitnya tidak bergantung pada vektor atau inang antara, dibatasi berdasarkan jenis hewannya, dibatasi lokasi geografik, cara transmisi primer melalui pencernaan, inokulasi atau mukosa membran, penyakitnya mungkin bersifat enzootik atau eksotik namun risiko penyebarannya rendah dan masuk dalam program pengendalian penyakit. Kelompok yang memiliki risiko yang sedang terhadap individu dan memberi risiko rendah terhadap masyarakat, misalnya Salmonella sp, Clostridium botulinum, Toxoplasma gondii, Herpes virus, New Castle Disease virus, dll
  3. Kelompok risiko 3 yaitu agen biologik/patogen yang biasanya menyebabkan penyakit yang serius terhadap manusia atau hewan dan dapat menyebar dalam masyarakat dan/atau populasi hewan, dan tidak biasanya menyebar dari satu individu yang terinfeksi kepada individu lain.  Namun memiliki perlakuan dan pencegahan penyakit yang efektif. Kelompok ini mungkin tergantung pada vektor atau inang antara untuk transmisinya dan transmisinya dapat terjadi diantara jenis hewan yang berbeda dan lebih mudah terjadi infeksi langsung dari individu yang terinfeksi kepada individu lain; penyebaran secara geografik dapat terjadi; penyakitnya menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan terlihat gejala penyakit yang siginifikan; cara transmisi kemungkinan dapat melalui udara atau kontak langsung; merupakan penyakit enzootik ataupun eksotik yang penyebarannya menyebabkan risiko sedang serta masuk ke dalam program pengendalian penyakit.Kelompok ini memiliki risiko yang tinggi terhadap individu dan memberi risiko rendah pada masyarakat, misalnya Rabies, Avian Influenza, Bacillus anthracis, Brucella spp, Mycobacterium sp
  4. Kelompok risiko 4 yaitu agen biologik/patogen yang menyebabkan penyakit yang parah bahkan dapat mematikan pada manusia dan hewan yang dapat menginfeksi secara langsung ataupun tidak langsung dari individu yang terinfeksi ke individu lain.  Kelompok risiko ini biasanya belum ada tindakan pencegahan atau perlakuannya. Kelompok ini mungkin tergantung pada vektor atau inang antara untuk transmisinya dan transmisinya dapat terjadi diantara jenis hewan yang berbeda dan lebih mudah terjadi infeksi langsung dari individu yang terinfeksi kepada individu lain; penyebaran secara geografik sifatnya meluas; penyakitnya menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar dan terlihat gejala penyakit yang siginifikan; cara transmisi kemungkinan dapat secara kontak langsung ataupun tidak langsung; merupakan penyakit yang penyebarannya menyebabkan risiko tinggi dalam lingkungan dan populasi hewan secara nasional. Kelompok ini memiliki risiko yang tinggi terhadap individu maupun masyarakat, misalnya Maburg, Ebola 

Kelompok risiko agen biologik/patogen ditangani dalam fasilitas laboratorium (kontenmen) yang ditetapkan berdasarkan atas fitur rancangan bangunan, ruang dan lokasi peralatan; fasilitas kontenmen; peralatan; praktikal dan prosedur operasional (5).  Tingkat kelompok risiko mikroorganisme ditangani dalam fasilitas kontenmen pada tingkat yang sejalan dengan risiko yang  ditangani.  Sesuai dengan jumlah kelompok risiko mikroorganisme yang ada empat kelompok, maka tingkat keamanan laboratorium pun ada empat dengan fasilitas yang berbeda , yaitu:
  1. Kontenmen Tingkat 1 untuk menangani kelompok risiko mikroorganisme 1.  Kontenmen Tingkat 1 merupakan kontenmen tingkat dasar dimana tidak memerlukan peralatan keamanan dan pekerja laboratorium dapat bekerja  di atas meja yang terbuka, namun bekerja sesuai dengan panduan mikrobiologik (GMT: Good Microbiological Technique).  Biasanya tingkat 1 dipergunakan untuk pengajaran laboratorium tingkat dasar dan untuk penelitian laboratorium terhadap agen biologik dengan risiko rendah.
  2. Kontenmen Tingkat 2, masih merupakan kontenmen tingkat dasar yang dipergunakan untuk menangani kelompok risiko mikroorganisme 2.  Dalam fasilitas ini, pekerjaan dilakukan di meja kerja terbuka yang dilengkapi juga dengan BSC (biosafety cabinet) yang digunakan untuk menangani agen biologik yang berpotensi memapar ke luar laboratorium melalui udara (aerosol).  Namun pekerjaan dilakukan tidak hanya dengan menggunakan GMT namun juga dengan menggunakan pakaian pelindung dan di depan pintu ruang laboratorium dipasang tanda biohazard (berbahaya).  Kontenmen Tingkat 2 dapat dipergunakan sebagai laboratorium layanan kesehatan primer, layanan diagnostik atau penelitian yang mempergunakan agen biologik kelompok risiko 2.
  3. Kontenmen Tingkat 3, merupakan kontenmen yang dilengkapi dengan fasilitas peralatan BSC dan atau perangkat primer lain untuk semua kegiatan yang dilakukan di dalamnya.  Dalam melaksanakan kegiatan dalam laboratorium wajib menjalankan GMT plus pakaian pelindung juga dilengkapi dengan pengendalian akses masuk bagi orang yang tidak berkepentingan dan ruangan bekerja dilengkapi dengan sistem alir udara dengan penyaringan.  Kontenmen tingkat 3 ini digunakan bagi layanan diagnostik yang khusus dan untuk mengerjakan penelitian yang mempergunakan agen biologik kelompok risiko 3.
  4. Kontenmen Tingkat 4, disebut juga sebagai kontenmen maksimum, merupakan fasilitas kontenmen untuk menangani kelompok agen biologik risiko tingkat 4.  Di dalamnya dilengkapi fasilitas BSC kelas III atau pekerja laboratorium mempergunakan pakaian pelindung dilengkapi dengan tekanan positif yang dihubungkan dengan BSC Kelas II, tersedianya autoclave dua pintu yang dipasang melalui dinding kontenmen serta dilakukannya penyaringan udara.  Dalam pelaksanaan kegiatannya, selain menerapkan GMT, pakaian pelindung, akses masuk, sistem alir udara dengan penyaringan, juga dilengkapi dengan sistem penguncian udara pada waktu masuk fasilitas kontenmen ini,  penggunaan shower di tempat ke luar, tersedianya  pembuangan limbah yang khusus.  Kontenmen tingkat 4 ini dipergunakan khusus sebagai unit yang menangani agen patogen yang berbahaya. Jadi perlu ada penilaian risiko atas agen biologik yang ditangani laboratorium sehingga dapat ditentukan kelompok risiko agen biologik tersebut yang akan juga menentukan fasilitas laboratorium yang harus tersedia sesuai dengan tingkat kontenmen.
Biosekuriti
Biosekuriti merupakan pendekatan strategis dan terintegrasi untuk menganalisa dan mengelola risiko yang relevan terhadap kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan serta risiko yang berhubungan dengan lingkungan.  Biosekuriti mencakup food safety, penyakit zoonosis, penyakit hewan dan tumbuhan serta hama, organisme hasil rekayasa genetik, organisme jenis infasive alien. Jadi biosekuriti merupakan konsep yang langsung memiliki relevansi dengan pertanian, kesehatan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan termasuk keanekaragaman hayati(7). 
Dalam manajemen tingkat peternakan, biosekuriti merupakan manajemen praktis yang mencegah penyakit infeksius dari luar  masuk ke dalam kelompok ternak.  Tujuan program biosekuriti adalah untuk menghentikan transmisi penyakit dengan cara mencegah, meminimalkan atau mengendalikan kontaminasi silang cairan tubuh antar hewan, antara hewan dengan pakan, atau dengan peralatan yang kemungkinan kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan hewan yang mengalami infeksi.  Biosekuriti manajemen praktis yang efektif dirancang untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan pergerakan organisme biologik dan vektornya ke dalam kelompok ternak.  Manajemen praktis berdasarkan pada prinsip dimana lebih mudah mencegah daripada mengobati (10).
Dengan meningkatnya perdagangan makanan, tanaman dan hewan di perdagangan internasional pada 10 tahun terakhir ini, kemungkinan muncul wabah baru dari penyakit lintas batas negara/area yang berpengaruh pada hewan, tumbuhan dan manusia yang menyebabkan meningkatnya kesadaran atas keanekaragaman biologik dan perhatian yang lebih besar terhadap lingkungan serta dampak dari pertanian pada kelestarian lingkungan. 
Meningkatnya keanekaragaman hewan, tumbuhan dan produk hewan/produk tumbuhan serta meningkatnya volume perdagangan internasional dari komoditi tersebut merupakan kontributor utama dalam penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain.  Perubahan kegiatan di bidang pertanian mengakibatkan bahaya yang baru terhadap kesehatan yang dapat dengan mudah melintasi batas wilayah/negara.  Merubah ekologi dan perilaku juga memberikan kontribusi terhadap kejadian dan penyebaran yang lebih besar dari bahaya terhadap kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.  Teknologi yang baru misalnya organisme dan produk yang berasal dari bioteknologi perlu dievaluasi terhadap adanya potensi yang menyebabkan risiko kesehatan (7).
Namun, biosafety dan biosecurity tidak hanya merujuk pada perlindungan kepada manusia dan lingkungan sekitar terhadap agen biologik yang berbahaya, tapi juga memberi perlindungan terhadap agen biologik yang dipergunakan sebagai senjata pemusnah massal. Karena itu, isu keamanan hayati  dan biosekuriti perlu dipertimbangkan secara interdispliner berdasarkan atas perjanjian multilateral mengenai proliferasi senjata biologik, perlindungan kesehatan masyarakat dan lingkungan (11). 

Penerapan Biosafety dan Biosekuriti pada penyelenggaraan karantina
Penyelenggaraan karantina banyak terkait dengan situasi penyakit suatu negara, regional, wilayah atau area; kesehatan hewan, bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan selain peraturan karantina ataupun peraturan terkait perkarantinaan.  Biosekuriti yang diterapkan pada isu kesehatan hewan terkait dengan pengendalian kesehatan impor, domestik dan ekspor.
Penyelenggaraan karantina menyangkut penanganan komoditi yang merupakan media pembawa agen biologik yang dipindahkan karena adanya pergerakan lalulintas komoditi tersebut dikarenakan akibat perdagangan, mutasi personel atau mutasi dari komoditi atau media pembawa itu sendiri.  Penanganan media pembawa yang dilalulintaskan terutama untuk pemasukan dari luar negeri atau antar area perlu lebih ketat terkait dengan pencegahan masuknya HPHK (Hama Penyakit Hewan Karantina) dari luar negeri dan tersebarnya antar area dalam wilayah RI terutama juga terhadap masuknya HPHK dengan kategori penyakit eksotik (bagi negara Indonesia atau area dalam wilayah RI dengan status bebas).  Karena itulah, institusi karantina dalam penyelenggaraan perkarantinaannya juga mulai memperhatikan prinsip biosafety dan bisekuriti dimana kedua pokok pembicaraan ini di negara maju sudah diterapkan di berbagai bidang terutama bidang yang langsung berhubungan dan menangani agen biologik atau agen yang berbahaya lainnya/biohazard (fisik, bahan kimia, radioaktif).    
Sesuai dengan prinsip Biosafety yang mencegah terpaparnya agen biologik/ biohazard ke luar kontenmen untuk menjaga keselamatan pekerja yang bertugas menangani agen biologik/ biohazard, walau biasanya dipergunakan di laboratorium dan biosekuriti yang mencegah keluar agen biologik/ biohazard dari bangunan laboratorium karena kecurian, dan disalah gunakannya agen biologik/ biohazard, maka jika dianalogikan dengan laboratorium, maka instalasi karantina hewan merupakan suatu kontenmen dimana di dalamnya petugas karantina menangani media pembawa HPHK. 
Penanganan tindakan karantina terhadap media pembawa berdasarkan atas 2 (dua) macam pendekatan tingkat risiko yaitu pendekatan atas dasar media pembawanya dan pendekatan berdasarkan atas HPHK yang diasumsikan mungkin terbawa di dalam media pembawanya.  Ada 3 (tiga) tingkat risiko yaitu risiko rendah, sedang dan tinggi.   Tingkat risiko yang dibagi berdasarkan atas pendekatan media pembawa dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Media Pembawa dengan tingkat risiko rendah merupakan media pembawa yang memiliki potensi rendah untuk membawa agen penyakit karantina.  Umumnya adalah produk hewan yang sudah diolah lebih lanjut dan siap untuk dikonsumsi, misalnya dendeng, baso, sosis, keju, yogurt.  Oleh karena itu penanganan karantinanya dapat saja dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran dan setelah dilakukan pemeriksaan dokumen memenuhi yang dipersyaratkan, maka media pembawa tersebut dapat dibebaskan dengan mengeluarkan sertifikat Sanitasi.
  2. Media Pembawa dengan tingkat risiko sedang merupakan media pembawa yang memiliki potensi sedang untuk membawa agen penyakit karantina dengan risiko penyebaran penyakitnya tidak berakibat fatal terutama untuk pemasukan importasi dari luar negeri atau domestik masuk.  Pelaksanaan tindakan karantina atas media pembawa dapat dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran atau di dalam instalasi karantina yang memerlukan masa karantina tertentu sesuai dengan diagnosa Dokter Hewan Karantina. Media pembawa dimaksud mencakup produk hewan yang belum diolah (misalnya daging, susu, telur konsumsi dll) atau hewan yang sudah didomestikasi dan memiliki riwayat kesehatan yang jelas (misalnya hewan peliharaan: anjing, kucing, burung, ayam, sapi perah, kuda dll).  Walaupun untuk kasus tertentu status penyakit negara/daerah asal media pembawa masuk menjadi salah satu unsur penilaian risiko misalnya adanya wabah penyakit di negara/daerah asal. 
  3. Media Pembawa dengan risiko tinggi merupakan media pembawa yang memiliki potensi tinggi membawa (carrier) agen penyakit karantina yang juga berisiko tinggi dan memerlukan penanganan karantina di dalam instalasi karantina hewan selama masa karantina yang ditentukan oleh Dokter Hewan Karantina sesuai dengan diagnosa.  Media pembawa yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah hewan yang berpotensi sebagai pembawa penyakit hewan dapat bersifat zoonosis maupun tidak dan dapat menularkan penyakitnya secara langsung maupun melalui inang antara ataupun vektor. Media Pembawa yang dimasukkan dalam kelompok ini misalnya hewan penular rabies (anjing, kucing, kera), sapi bibit (yang berpotensi membawa penyakit Brucellosis, BSE, Paratuberculosis, dll)
Sedangkan untuk tingkat risiko berdasarkan atas pendekatan agen penyakit dapat diklasifikasi sebagai berikut:
  1. Agen penyakit dengan risiko rendah merupakan risiko yang dapat diterima,  tidak ada dampak pada kesehatan dan kerugian ekonomi.  Kalaupun ada menimbulkan kerugian ekonomi dapat tergantikan dengan cepat, dimana penanganannya berdasarkan atas bahaya yang telah diidentifikasi dan harus diamati agar tidak berubah naik ke tingkat risiko yang lebih tinggi;
  2. Agen penyakit dengan risiko sedang  merupakan risiko yang menimbulkan dampak tidak langsung pada kesehatan atau dampak yang timbul bersifat sementara, dan jika timbul kerugian ekonomi masih dapat tergantikan;
  3. Agen penyakit risiko tinggi menimbulkan pengurangan kesehatan dan kerugian ekonomi yang besar yang tidak dapat dikembalikan serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah atau pemberi layanan kesehatan (12). 
Penetapan tingkat risiko terhadap suatu agen biologik akan berbeda di lokasi/wilayah yang berbeda tergantung pada situasi penyakit di wilayah tersebut.  Misalnya tempat pemasukan media pembawa karantina di wilayah dengan status penyakit hewan endemis Anthrax mungkin akan menetapkan penyakit Anthrax dalam tingkat risiko sedang, sedangkan tempat pemasukan yang berada di wilayah dengan status penyakit hewan bebas Anthrax akan menempatkan penyakit Anthrax dalam tingkat risiko tinggi yang memerlukan pengawasan ketat agar media pembawa berupa mamalia berkuku genap dari wilayah endemis tidak masuk/di lalulintaskan.
Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik /klinis /organoleptik
Namun institusi karantina sebagai salah satu institusi pemerintah yang melayani publik (walaupun publik terbatas yang menggunakan jasa karantina) dalam melaksanakan pelayanannya harus mengacu pada Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.  Terkait dengan standar pelayanan publik, maka prosedur penanganan setiap risiko harus sama dimanapun lokasi instalasi karantina hewan.  Untuk itu, terkait dengan pelayanan publik, Badan Karantina Pertanian telah menetapkan untuk mempergunakan tingkat risiko berdasarkan pendekatan media pembawa.  Setelah persyaratan dokumen terpenuhi (hasil pemeriksaan kebenaran dan keabsahan dokumen adalah benar dan absah), maka rincian prosedur penanganan sebagai berikut:
  1. Untuk media pembawa dengan tingkat risiko rendah, maka petugas karantina akan melakukan pemeriksaan langsung di tempat pemasukan/pengeluaran yang dianalogikan sebagai meja kerja terbuka dan pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas karantina yang mempergunakan pakaian pelindung berupa pakaian lapangan dan gloves. Pemeriksaan yang dilakukan terkait sanitasi atas produk hewan yang diperiksa dengan juga memperhatikan aspek kehalalan walaupun bukan termasuk unsur utama yang dipersyaratkan dalam peraturan perundangan karantina .
  2. Untuk media pembawa dengan tingkat risiko sedang, maka media pembawa masih memiliki potensi untuk memaparkan dan menyebarkan penyakit walaupun secara tidak langsung baik kepada petugas karantina, hewan, manusia ataupun lingkungan, dan memerlukan penanganan dengan persyaratan fasilitas kontenmen tingkat 2.  Sebagaimana klasifikasi kontenmen tingkat 2 dari WHO atau OIE, pekerjaan yang dilakukan dalam klasifikasi kontenmen ini dapat dilakukan di meja kerja terbuka dengan mempergunakan prosedur sesuai GMT atau mempergunakan fasilitas BSC apabila menangani agen biologik yang berpotensi menyebar melalui udara (airborne).  Oleh karena itu, penanganan media pembawa dapat dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran yang dianalogikan sebagai meja kerja terbuka atau dilakukan dalam fasilitas instalasi karantina hewan dengan fasilitas kandang isolasi yang dapat dianalogikan sebagai kontenmen primer, sedangkan pagar luar instalasi dianalogikan sebagai kontenmen sekunder.Petugas karantina yang melakukan tindakan karantina memakai baju lapangan dan gloves.Jika diperlukan untuk deteksi dan/atau identifikasi agen biologiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan tingkat biosafety laboratorium-2. 
  3. Untuk media pembawa dengan tingkat risiko tinggi, maka umumnya media pembawa yang ditangani adalah hewan hidup yang dapat secara langsung memindahkan atau menyebarkan agen biologik penyakit hewan kepada petugas karantina, hewan sejenis ataupun lingkungan.  Penanganan media pembawa hewan dilakukan di dalam instalasi karantina hewan dan menerapkan prosedur sesuai persyaratan Biosafety kontenmen tingkat 3 dimana penanganan lebih ketat dengan pakaian pelindung petugas karantina yang wajib dikenakan.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa instalasi karantina dengan akses terbatas dapat dianalogikan sebagai bangunan yang menangani objek media pembawa yang berpotensi memaparkan agen biologik ke luar bangunan baik tidak disengaja maupun adanya kemungkinan dicuri atau kehilangan (dengan kesengajaan).  Jadi akses masuk ke dalam instalasipun dibatasi dimana hanya petugas karantina yang ditugaskan menanganai tindakan karantina di instalasi itu saja yang dapat masuk instalasi. 
Ada perlakuan desinfektasi terhadap hewan dan alat angkut pada waktu akan dimasukkan ke dalam instalasi untuk dikenakan tindakan karantina.  Perlakuan desinfektasi ini dilakukan juga terhadap alat angkut yang akan masuk ke area halaman instalasi karantina atau kepada orang yang akan masuk instalasi karantina DOC.  Perlakuan desinfektasi ini memberi jaminan keamanan bagi media pembawa di dalam instalasi tidak terpapar oleh kemungkinan masuknya agen penyakit dari luar yang terbawa hewan/orang/alat angkut. 
Terkait dengan penerapan biosekuriti di instalasi, selain adanya ketentuan akses terbatas, perlakuan desinfektasi, juga adanya ketentuan pagar keliling instalasi,  pintu pagar yang selalu terkunci dengan adanya petugas keamanan atau dilengkapi CCTV, prosedur akses masuk tamu (orang yang bukan petugas karantina yang ditunjuk) yang kesemuanya untuk memberi jaminan keamanan tidak ada kemungkinan pengambilan dengan disengaja, pencurian media pembawa dari dalam ke luar instalasi atau penyalahgunaan media pembawa. 
Instalasi karantina, di dalamnya memerlukan kelengkapan fasilitas ruang/kandang isolasi untuk mengasingkan dan mengamati hewan yang diduga menunjukkan gejala penyakit HPHK.  Ruang/kandang isolasi inilah yang dianalogikan sebagai kontenmen primer (BSC), sehingga diperlukan prosedur yang lebih ketat dalam pelaksanaan tindakan karantinanya. Misalnya akses masuk ke ruang/kandang isolasi benar-benar terbatas sehingga yang masuk ke dalamnya hanyalah petugas yang ditunjuk untuk mengamati, memberi perlakuan terhadap hewan yang diisolasi dan diamati tersebut, adanya ketentuan desinfektasi alas kaki bagi petugas yang akan masuk ke dalam ruang/kandang isolasi, prosedur penggunaan baju pelindung berikut kelengkapannya bagi petugas karantina yang langsung menangani hewan yang sedang diisolasi dan tersedia di dalam kandang isolasi (antara lain gloves, masker, sepatu boot) , drainage sekeliling kandang, apabila diperlukan menutup kandang isolasi dengan kawat kasa agar insekta tidak dapat masuk dan lain-lain.  Kondisi ini diberlakukan terkait dengan penerapan biosafety dan biosekuriti di instalasi.
b.Pemeriksaan laboratoris
Dalam melakukan pemeriksaan laboratorium, institusi Karantina sudah memiliki Pedoman Rancang Bangunan Laboratorium Karantina yang mengacu pada ketentuan WHO dan OIE mengenai Biosafety Laboratory.  Rancang bangunan ditetapkan bagi laboratorium Karantina Hewan, Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Hewani dan Keamanan Hayati Nabati dengan klasifikasi 4 (empat) tingkat Biosafety Laboratorium Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, 4 (empat) tingkat Biosafety Laboratorium Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati.  Pembagian tingkat dibedakan atas dasar tingkat risiko dari media pembawa yang ditangani sehingga tata letak ruang dan fasilitas ruang utama pengujian dan ruang penunjang dari setiap tingkat Biosafety Laboratorium juga berbeda tergantung pada metode uji yang dilakukan.  Namun dalam penggunaan ruangan maupun peralatan bagi laboratorium karantina hewan, karantina tumbuhan maupun keamanan hayati (hewani dan nabati) harus seefisien mungkin tanpa mengganggu kegiatan pengujian yang dilakukan dan dengan memperhatikan volume dan frekuensi sampel masuk, kompleksitas pengujian serta kompetensi personel masing-masing laboratorium.
Berdasarkan keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 282/kpts/KH.130/L/01/2013 tentang Klasifikasi Laboratorium Karantina Hewan dan Kehati Hewani, ada 4 (empat) tingkatan laboratorium yaitu:
  1. Laboratorium Tingkat 1, merupakan laboratorium di UPT yang melayani lalu lintas media pembawa dengan risiko rendah dengan frekuensi yang rendah.  Untuk itu diperlukan kemampuan pengujian dengan metode uji cepat (rapid test) saja atau metode uji yang menggunakan kit komersial (ELISA kit).  Laboratorium terdiri dari ruang utama pengujian dan ruang penunjang.  Dimana ruang utama pengujian dapat terdiri dari ruang preparasi pengujian, ruang pengujian serologi dan ruang pengujian parasit.  Sedangkan ruang penunjang dapat terdiri dari ruang penerimaan sampel, ruang bahan, ruang alat dan sterilisasi, ruang analis (untuk melakukan kegiatan administrasi teknis pengujian) Walaupun fasilitas minimal, pada waktu melakukan pengujian petugas karantina tetap menerapkan Good Microbiological Technique (GMT) untuk Laboratorium Tingkat 1 yaitu analis menggunakan pakaian pelindung (jas laboratorium), gloves
  2. Laboratorium Tingkat 2, merupakan laboratorium di UPT yang melayani lalu lintas media pembawa dengan risiko rendah sampai sedang dengan frekuensi lalu lintas yang rendah sampai sedang, sehingga diperlukan kemampuan pengujian yang lebih tinggi dari kemampuan laboratorium tingkat 1 selain kemampuan pengujian dengan metode uji cepat (rapid test) saja atau metode uji yang menggunakan kit komersial (ELISA kit) sebagaimana pada laboratorium tingkat 1.   Ruang laboratorium yang dimiliki juga semakin banyak untuk memfasilitasi kemampuan laboratorium yaitu ruang laboratorium yang terdiri dari ruang preparasi pengujian, ruang pengujian virus, ruang pengujian bakteri, ruang pengujian parasit, ruang pengujian keamanan pangan dan toksik.  Disamping itu perlu dilengkapi dengan ruang penunjang laboratorium yang terdiri dari ruang penerimaan sampel, ruang bahan, ruang alat, ruang sterilisasi, ruang analis, dan fasilitas pengolahan limbah serta insinerator. Dalam bekerja di laboratorium, analis wajib menggunakan pakaian pelindung (jas laboratorium dengan tangan panjang dan kerut karet diujung lengan), gloves dan masker.
  3. Laboratorium Tingkat 3, merupakan laboratorium di UPT yang melayani lalu lintas media pembawa dengan risiko sedang sampai tinggi dengan frekuensi lalu lintas yang sedang sampai tinggi yang memerlukan kemampuan uji lebih tinggi dari kemampuan laboratorium tingkat 1 dan 2 terutama terkait dengan kegiatan importasi dimana diasumsikan media pembawa yang masuk kemungkinan membawa HPHK risiko sedang sampai tinggi. Ruang laboratorium dan fasilitas yang perlu ada harus dapat memfasilitasi pelaksanaan pengujian yang lebih beragam dan kompleks, namun itupun tergantung pada jenis media pembawa yang dilalulintaskan dan kemungkinan jenis HPHK yang terbawa.  Walaupun ruang pengujian dan ruangan penunjang laboratorium bisa saja sama dengan Laboratorium Tingkat 2 namun ada ruang pengujian PCR berikut fasilitasnya.  
  4. Laboratorium Tingkat 3, merupakan laboratorium di UPT yang memiliki tugas fungsi sebagai laboratorium rujukan, melakukan pengujian yang sangat kompleks, melakukan pengembangan metode uji laboratorium dan uji coba laboratorium.  Karena itu untuk laboratorium tingkat 4 harus tersedia semua fasilitas yang dapat digunakan untuk deteksi, identifikasi dan isolasi agen penyakit termasuk agen HPHK risiko tinggi dan eksotik.  Selain memiliki ruang laboratorium pengujian serologi, virus, bakteri, fungi, parasit, bioteknologi RNA dan DNA, sequencing DNA, tissue culture, ruang nekropsi, mikrobiologi dan toksik, juga adanya ruang BSL-2 enhanced dan BSL-3.  Ruang penunjang laboratorium yang perlu tersedia adalah ruang penerimaan sampel, penyimpanan arsip sampel, ruang bahan, alat, sterilisasi, ruang koleksi, pengolahan limbah dan insinerator, termasuk juga ruang ganti (ante room) disamping tersedianya ruang seminar,ruang analis, ruang tamu, pantry dan toilet.
Risiko
Media Pembawa yang ditangani
Tingkat Keamanan Laboratorium Karantina Hewan
Sarana Ruang Laboratorium
Prosedur Laboratorium
Peralatan Keamanan Laboratorium
1
Laboratorium Tingkat 1
1.  ruang utama pengujian:
ü ruang preparasi pengujian,
ü  ruang pengujian serologi
ü ruang pengujian parasit. 
2.  ruang penunjang:
ü ruang penerimaan sampel,
ü ruang bahan,
ü ruang alat dan sterilisasi,
ü  ruang analis
GMT (Good Microbiological Technique)
ü Tidak Ada
ü Meja Kerja Terbuka
2
Laboratorium Tingkat 2
1.   ruang utama pengujian:
ü ruang preparasi pengujian,
ü  ruang pengujian serologi
ü ruang pengujian parasit. 
ü ruang pengujian bakteri
ü ruang pengujian virus
ü ruang pengujian keamanan pangan dan toksik
2.  ruang penunjang:
ü ruang penerimaan sampel,
ü ruang bahan,
ü ruang alat
ü ruang sterilisasi,
ü ruang analis
ü ruang pengolahan limbah
ü incinerator
ü GMT
ü Pakaian Pelindung      


ü Tanda Biohazard


üMeja Kerja Terbuka
üBSC

3
Laboratorium Tingkat 3
1.   ruang utama pengujian:
ü ruang preparasi pengujian,
ü  ruang pengujian serologi
ü ruang pengujian parasit. 
ü ruang pengujian bakteri
ü ruang pengujian fungi
ü ruang pengujian virus
ü ruang pengujian bioteknologi
ü ruang pengujian keamanan pangan dan toksik
ü ruang nekropsi
2.  ruang penunjang:
ü ruang penerimaan sampel,
ü ruang bahan,
ü ruang alat
ü ruang sterilisasi,
ü ruang analis
ü ruang pengolahan limbah
ü insinerator
ü Prosedur Tingkat 2   
ü Akses masuk terkendali


ü Diterapkannya sistem aliran udara
ü Memakai pakaian khusus


üBSC (pelindung primer) untuk semua kegiatan pengujian
BSC yang dipergunakan memiliki sistem double filter dan salah satunya adalah HEPA filter


4
Laboratorium Tingkat 4
1.   ruang utama pengujian:
ü ruang preparasi pengujian,
ü  ruang pengujian serologi
ü ruang pengujian parasit. 
ü ruang pengujian bakteri
ü ruang pengujian fungi
ü ruang pengujian virus
ü ruang pengujian bioteknologi
ü ruang pengujian keamanan pangan dan toksik
ü ruang nekropsi
ü BSL-2 enhanced
ü BSL-3
2.  ruang penunjang:
ü ruang penerimaan sampel
ü ruang penyimpanan arsip sampel
ü ruang koleksi, cooling room
ü ruang bahan,
ü ruang alat
ü ruang sterilisasi,
ü ruang analis
ü ruang ganti
ü ruang pengolahan limbah
ü incinerator
ü Prosedur Tingkat 3   
ü Diterapkannya sistem aliran udara, terutama di ruang BSL-2 enhanced dan BSL-3 dengan tekanan negatif yang berbeda

ü BSC sebagaimana pada tingkat 3 dan tersedianya BSC di ruang penerimaan sampel, ruang koleksi
ü Ruang maintenance ME untuk BSL-3









ü Double door autoclave




Penerapan prosedur Biosafety dan Biosekuriti di laboratorium dengan maksud untuk mencegah terjadinya pemaparan agen HPHK secara tidak disengaja ke pada petugas karantina yang melakukan pemeriksaan laboratorium, pekerja di laboratorium atau ke luar ruangan laboratorium karena kekurang pengetahuan mengenai prosedur Biosafety dari petugas laboratorium atau fasilitas yang tidak memenuhi syarat. 
Pengetahuan mengenai GMT secara umum yang dapat diterapkan di laboratorium karantina sebagai berikut:
  • Memakai jas laboratorium selama bekerja di laboratorium dengan bentuk jas sesuai dengan tingkatan laboratoriumnya yang akan melindungi paparan mikroorganisme yang ditangani petugas yang bekerja di laboratorium
  • Tidak makan atau minum selama berada di dalam laboratorium, karena beberapa agen patogen dapat menyebar melalui saluran pencernaan.  Lagipula makanan dapat membawa/mengandung mikroorganisme yang mungkin dapat mengkontaminasi biakan yang sedang dikerjakan.
  • Sebaiknya mempergunakan penutup kepala (hat cap) atau mengikat rambut pada waktu bekerja di laboratorium agar tidak mengkontaminasi biakan atau identifikasi DNA.
  • Harus selalu menggunakan alas kaki tertutup atau menggunakan sepatu yang ditutupi dengan shoes cap agar jika terjadi tumpahan bahan kimia tidak mencelakai petugas.
  • Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah bekerja di laboratorium.  Terutama untuk laboratorium tingkat 3 dan 4 serta di ruang BSL-2 enhanced dan BSL-3 dilengkapi dengan wastafel otomatis (hands free washing facilities)
  • Bersihkan dengan desinfektan permukaan meja kerja sebelum dan sesudah bekerja di laboratorium
  • Tidak meletakkan barang yang tidak penting di atas meja kerja laboratorium. Jadi jangan menggunakan meja kerja laboratorium  untuk meletakkan alat tulis, lab jas dll
  • Tidak membawa biakan keluar laboratorium.  Jika diperlukan membawa biakan ke luar ruang laboratorium, maka biakan harus dimasukkan ke dalam kontener tertutup dan aman.
  • Buang semua bahan yang terkontaminasi (atau dianggap terkontaminasi) ke dalam kantong biohazard untuk disterilisasi dalam autoclave
  • Perlakukan semua biakan mikroorgnisme sebagai biakan mikroorganisme patogen
  • Segera laporkan kepada penanggung jawab laboratorium (Biosafety Officer) apabila terjadi kecelakaan dan tumpahan dalam laboratorium.  Sambil menunggu tindakan lebih lanjut, jika terjadi tumpahan larutan yang mengandung mikroorganisme maka tutupi tumpahan tersebut dengan kertas handuk yang telah diberi larutan desinfektan minimal selama 15 menit.
  • Baca semua petunjuk penggunaan bahan yang akan digunakan bekerja di laboratorium.
  • Tanyakan kepada penanggung jawab laboratorium (Biosafety Officer) jika ada keraguan dalam bekerja di laboratorium.
Pengasingan, Pengamatan dan Perlakuan
Pengasingan dilakukan terhadap media pembawa hewan yang sakit atau diduga sakit dan dimasukkan ke dalam kandang isolasi/pengasingan untuk kemudian dilakukan pengamatan sampai diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium untuk nantinya dilakukan perlakuan sampai hewan dinyatakan sembuh atau dimusnahkan terkait dengan teridentifikasinya agen HPHK golongan 1.  Selama berada di dalam kandang pengasingan berlaku prosedur terkait biosafety sebagaimana disebutkan pada bahasan Pemeriksaan fisik/klinis di Instalasi.
Tindakan perlakuan dapat berupa pengobatan, vaksinasi, desinfeksi/ sterilisasi/fumigasi, dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan keselamatan petugas karantina dan media pembawanya itu sendiri.  Misalnya pada waktu mengerjakan pengobatan ataupun vaksinasi, hewan dimasukkan dalam kandang jepit atau gangway agar perlakuan dilakukan secara efeektif dan menjamin keamanan petugas karantina serta hewannya. Untuk perlakuan bentuk desinfeksi/sterilisasi/fumigasi yang dikenakan pada produk hewan non-pangan atau sarana/fasilitas kandang instalasi, petugas karantina harus memiliki pengetahuan mengenai jenis desinfektan atau fumigan, sifat-sifat atau karakteristiknya, efektifitas, juga perlu diperhatikan luasan ruangan, jenis, ketebalan dan bentuk media pembawa sehingga dapat ditentukan dosis dan cara yang harus dipergunakan, larutan campuran, waktu pelaksanaan yang efektif.   
Petugas karantina yang melaksanakan tindakan pengasingan, pengamatan dan perlakuan dilengkapi dengan pakaian pelindung terutama pada waktu melakukan desinfeksi atau fumigasi selain pakaian pelindung juga dilengkapi dengan gloves dan masker anti gas. Berbagai tipe pakain pelindung, gloves dan masker yang perlu diketahui dapat dilihat pada Lampiran 1 bahasan ini.

Penahanan, Penolakan, Pemusnahan dan Pembebasan
Penetapan keempat bentuk tindakan karantina ini merupakan hasil dari tindakan Pemeriksaan, pengasingan dan pengamatan yang dilakukan.  Bentuk tindakan penolakan dan penahanan ditetapkan setelah dilakukannya tindakan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik/klinis terhadap media pembawa yang dilalu lintaskan.
Penetapan tindakan penahanan berdasarkan atas:
-1Belum memenuhi persyaratan karantina:
->Belum dilengkapi sertifikat kesehatan (sertifikat kesehatan hewan atau sertifikat sanitasi) atau surat keterangan asal bagi benda lain
-Tidak melalui tempat-tempat pemasukan/pengeluaran yang telah ditetapkan
-Tidak dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan/pengeluaran
-2Dugaan adanya potensi membawa dan menyebarkan HPHK setelah dilakukan tindakan pemeriksaan fisik terhadap media pembawa.
Selama masa penahanan, terhadap media pembawa, Dokter Hewan Karantina dapat mengenakan tindakan pemeriksaan laboratorium  untuk mendeteksi kemungkinan adanya HPHK atau HPH lainnya, atau dapat juga dilakukan tindakan perlakuan (pengobatan, desinfeksi atau vaksinasi) untuk mencegah kemungkinan penularan jika sudah terdeteksi sebelumnya.
Sedangkan penetapan tindakan penolakan hanya dikenakan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam negara RI atau dari satu area ke area lain dalam wilayah RI, dan setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut diperoleh hasil bahwa:
  1. Persyaratan karantina yang belum dipenuhi setelah batas waktu yang ditentukan masih belum dapat dilengkapi
  2. Hewan yang diperiksa secara fisik/klinis terlihat gejala klinis tertular HPHK tertentu sebagaimana dalam peraturan Menteri, atau
  3. BAH/HBAH atau Benda lain setelah diperiksa secara fisik ditemukan busuk atau rusak, atau termasuk jenis-jenis yang dilarang pemasukannya, atau
  4. Setelah hewan diberi pengobatan di atas alat angkut, hewan tidak dapat disembuhkan atau setelah diberi perlakuan lain HPH/HPHK tidak dapat hilang.
Penolakan ini juga dikenakan terhadap media pembawa  yang:
>>Dalam perjalanan menuju negara RI atau area tujuan dalam wilayah RI, media pembawa mengalami transit
Penolakan dilakukan begitu diperoleh hasil pemeriksaan (pada kesempatan pertama), apabila batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh Dokter Hewan Karantina yang menanganinya.
Tindakan pembebasan dilakukan terhadap media pembawa:
  1. Memenuhi persyaratan karantina yang diwajibkan untuk dipenuhi;
  2. Dinyatakan tidak tertular HPHK setelah dilakukan pemeriksaan fisik/klinis atau pengamatan, atau
  3. Dinyatakan sembuh dari HPHK setelah dilakukan perlakuan.
Tindakan pembebasan dinyatakan dengan menerbitkan sertifikat Kesehatan Hewan atau sertifikat Sanitasi (bagi media pembawa yang akan dikeluarkan ke negara lain atau ke area lain dalam wilayah RI); atau sertifikat Pelepasan (bagi media pembawa yang dimasukkan ke dalam negara Indonesia atau dari area lain dalam wilayah RI).
Untuk tindakan pemusnahan dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam negara RI atau dari satu area dalam wilayah RI dan ternyata:
  1. Setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut dan diturunkan dari alat angkut atau dimasukkan ke dalam instalasi ternyata hewan terdeteksi adanya gejala penyakit HPHK atau BAH/HBAH/Benda Lain ditemukan rusak, busuk atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya; atau
  2. Setelah dilakukan pengasingan dan pengamatan di dalam instalasi karantina dideteksi adanya gejala HPHK, atau
  3. Setelah hewan diberi perlakuan (pengobatan, vaksinasi) tidak dapat sembuh atau BAH/HBAH/Benda Lain tidak dapat bebas dari HPHK setelah diberi perlakuan desinfeksi/sterilisasi, atau
  4. Media pembawa yang dikenakan tindakan penolakan tidak segera dikeluarkan dari negara Indonesia atau dari area tujuan dan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan untuk dikeluarkan;
Ketentuan pemusnahan ini berlaku untuk:
  • Media pembawa yang pada waktu transit diturunkan dari alat angkut.
  • Limbah/sampah laboratorium, sisa sampel uji yang telah terkontaminasi pada waktu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pemusnahan dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu
1. Pemusnahan secara manual
  • Dikubur dalam tanah dengan ke dalaman tertentu tergantung volume kubikasi media pembawa yang akan dimusnahkan dan diberikan taburan bubuk kapur dan ada space tanah sedalam 1-2 meter.  Bubuk kapur yang diberikan dimaksudkan untuk menetralkan keasaman yang timbul akibat pembusukan hewan atau produk hewan yang dikubur.
  • Dibakar secara manual, namun akan menghasilkan polutan yang mengganggu lingkungan, misalnya SO2, NO dan NO2, HCl, HF, CO, TOC, Logam berat, dioksin dan furan dan debu.
2. Pemusnahan secara mekanik dengan insinerator permanen.
Metode insinerasi yaitu suatu metode pemusnahan dimana proses pengolahan buangannya dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (> 800ºC) yang dimaksudkan untuk mereduksi sampah yang mudah terbakar (combustible) yang sudah tidak dapat didaur ulang lagi. Biasanya dilakukan untuk memusnahkan bahan infeksius dan toksik. Dalam melakukan pemusnahan, petugas karantina yang menanganinya mempergunakan pakaian pelindung, gloves dan masker.

IV
KESIMPULAN

Sebagaimana amanat yang tercantum pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 bahwa penyelenggaraan kegiatan karantina hewan dengan tugas pokoknya mencegah masuk dari luar negeri dan keluarnya dari negara RI serta tersebarnya dari satu area ke area lain dalam wilayah RI hama penyakit hewan karantina dilaksanakan oleh petugas karantina hewan dalam hal ini Dokter Hewan Karantina dan Paramedik Karantina yang berada di bawah institusi karantina.    
Mengacu pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 bahwa penyelenggaraan karantina hewan dikaitkan dan diselaraskan dengan kebijakan di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, kesepakatan atau rekomendasi atau peraturan ataupun konvensi internasional menyangkut bidang karantina hewan sehingga penyelenggaraan karantina berjalan dengan harmonis sesuai aturan main yang bersifat global.  Prinsip-prinsip Biosafety dan Biosekuriti yang merupakan aturan main relatif baru diterapkan terutama untuk pekerjaan yang terkait dengan penanganan agen biologik/mikroorganisme patogen/bahan berbahaya lain perlu diperhatikan dan sudah saatnya diterapkan oleh institusi karantina yang dalam penyelenggaraan karantina di era sekarang ini terkait dengan penanganan media pembawa dengan klasifikasi “media pembawa yang mungkin mengandung agen infeksius”, “agen infeksius” itu sendiri dan mungkin juga “material yang belum diketahui” namun harus dianggap sebagai bahan berbahaya.
Dari  bahasan yang dikemukakan di atas, dapat difahami bahwa bagaimana pentingnya penerapan prinsip-prinsip Biosafety dan Biosekuriti pada penyelenggaraan karantina, tentu saja dengan analogi dari prinsip-prinsip Biosafety dan biosekuriti tersebut dari kondisi laboratorium pada kondisi lapangan terutama di instalasi karantina hewan. 
Untuk itu dapat ditarik beberapa hal yang merupakan inti sari dari bahasan mengenai pentingnya penerapan prinsip-prinsip Biosafety dan Biosekuriti pada penyelenggaraan karantina hewan sebagai berikut:
1. Pada tindakan pemeriksaan berdasarkan atas 3 (tiga) tingkat risiko media pembawa (rendah, sedang dan tinggi) dimana pada pelaksanaan penanganan karantinanya mengacu pada prinsip-prinsip Biosafety dan biosekuriti sebagai berikut:
  • Media Pembawa dengan tingkat risiko rendah penanganan karantinanya dapat dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran dengan menerapkan prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 1 dan jika dilakukan pemeriksaan laboratorium dalam laboratorium dengan fasilitas laboratorium tingkat 1.
  • Media Pembawa dengan tingkat risiko sedang, penanganan karantina dilakukan di tempat pemasukan/pengeluaran ataupun dikenakan tindakan karantina di dalam instalasi karantina yang memerlukan masa karantina tertentu.  Pemeriksaannya mengacu pada prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 2 dengan mempergunakan fasilitas laboratorium tingkat 2 jika dilakukan pemeriksaan laboratorium.
  • Media Pembawa dengan risiko tinggi, penanganan karantina dilakukan di dalam instalasi karantina hewan selama masa karantina yang telah ditentukan.  Pelaksanaan tindakan karantinanya mengacu pada prinsip Biosafety dan Biosekuriti tingkat 3 dan pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di dalam laboratorium dengan fasilitas  tingkat 3.
2. Prinsip Biosafety dan Biosekuriti diterapkan pada tindakan karantina pengasingan, pengamatan,  perlakuan dan pemusnahan walau penerapannya di instalasi karantina hewan dianalogikan atas penerapan prinsip Biosafety dan Biosekuriti pada kondisi laboratorium.   Instalasi Karantina Hewan dapat dianggap sebagai bangunan/ruang yang merupakan kontenmen sekunder dan di dalamnya terutama kandang isolasi dianggap sebagai kontenmen primer.  Terkait dengan itu, petugas karantina yang melaksanakan tindakan karantina dan langsung berhubungan dan menangani media pembawa harus mengikuti prosedur penanganan media pembawa yang mengacu pada Biosafety dan Biosekuriti antara lain dengan mempergunakan pakaian pelindung dengan tipe yang disesuaikan dengan kebutuhan. 
3. Untuk tindakan karantina penahanan, penolakan dan pembebasan yang merupakan lanjutan atas hasil dari tindakan karantina pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan tidak memerlukan penerapan prinsip Biosafety dan Biosekuriti.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan.
  2. Undang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
  4. Keputusan Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa.
  5. World Health Organization. Laboratory biosafety manual. Third edition. Geneva, World Health Organization, 2004 (http://www.who.int /csr /resources /publications /biosafety /WHO_CDS _CSR _LYO _2004 _11/en/).
  6. World Health Organization.Biosafety and Biosecurity. Submitted by the Implementation Support  Unit. 2004.
  7. Food and Agriculture Organization of the United Nations. FAO Biosecurity Toolkit. Rome, FAO, 2007.
  8. Michigan State University.Biological Safety Manual. Environmental Health and Safety Office of Radiation, Chemical and Biological Safety. 2007.
  9. OIE. Biosafety and Biosecurity in the Veterinary Microbiology Laboartory and Animal Facilities. OIE Terrestrial Manual. 2012.
  10. Dr. Ray Mobley. Biosecurity at the Farm Level. Florida A&M University.
  11. Anna Bielecka and Ali Akbar Mohammadi.State of  the Art in Biosafety and Biosecurity in European Countries
  12. Anonim.Definition of Likelihood, consequence and risk levels.
  13. NIOSH. Personel Protection Equipment. Use in a Chemical Environment Bulletin.
  14. Ir. Yenni Ruslonda, MT.Transformasi Thermal.Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik-Universitas Andalas.

***Lampiran 1
BERBAGAI JENIS TIPE JAS LABORATORIUM
Tipe jas lab 1

Fungsi
Jas Laboratorium sekali pakai (Disposible).
Jas Lab sekali pakai ini berguna jika bekerja menangani hewan dan /atau bahaya biologik. Begitu selesai digunakan dan terkontaminasi (dianggap terkontaminasi), jas lab ini harus segera dibuang sesuai prosedur yang benar (dimasukkan ke dalam kantong sampah bagi limbah berbahaya /biologik atau radiologik.

Penutup jas lab di bagian samping atau di bagian belakang sebaiknya digunakan untuk petugas lab yang menangani bahan biologik

Jas lab sekali pakai ini digunakan untuk melindungi petugas dari paparan kontaminasi karena biasanya pada jas lab tipe ini lapisan di bawah lapisan pabrikan memiliki lapisan anti mikroba.
Atau ada juga jas lab yang terbuat dari lapisan plastik yang mencegah pemakai terpapar cairan seperti darah.
Tipe jas lab 2

Fungsi:
Jas Laboratorium (yang dapat digunakan kembali)
1. Jas Lab tahan api,
Digunakan apabila bekerja menangani pyrophoric, api yang terbuka, atau bahan yang sangat reaktif. Bahan Nomex merupakan bahan yang kuat, fleksibel, tahan sobek dan melindungi hampir semua larutan, asam dan basa, namun bahan ini akan terurai jika terkena pemutih khlorin.
2.Jas Lab katun tahan api,
Bahan katun ini diberi perlakuan dengan bahan yang tahan api, namun akan hilang setelah dicuci beberapa kali.
3.Jas Lab 100% katun
Dipergunakan untuk pekerjaan laboratorium umumnya yang tidak memerlukan jenis jas laboratorium tertentu.  Jas lab ini jika dipergunakan dan dicuci terus menerus akan rusak dan terdegradasi apabila kena cairan asam.
4.Jas Lab campuran katun dan sintetis
Jas lab terbuat dari 100% polyester dan campuran antara katun dan polyester paling mudah terbakar dan dianggap tidak tepat jika dipergunakan untuk pekerjaan menangani bahan yang mudah terbakar.  Jas Lab ini harus rutin dicuci oleh layanan pencucian professional
Tipe jas lab 3

Fungsi
Apron
Apron tidak dapat menggantikan jas laboratorium, kalaupun digunakan di luar dari jas lab.  Apron dapat terbuat dari berbagai jenis bahan tergantung kebutuhannya.  Namun ada apron yang terbuat dari bahan pelindung perak yang tahan terhadap banyak jenis bahan kimia tapi harganya mahal. Penilaian risiko dapat menentukan tipe apron terbaik bagi pekerjaan yang ditangani.

Apron digunakan untuk bahaya tertentu, antara lain larutan asam, cipratan bahan kimia risiko tinggi, bahaya panas termasuk oven, autoclave, pencuci gelas, pekerjaan menangani bahaya biologik tertentu dengan adanya risiko percikan
Tipe jas lab 4

Fungsi
Pakaian pembatas
Pakaian pembatas berwarna kuning (di Fasilitas Pemeliharaan Hewan UVM) digunakan dalam fasilitas pemeliharaan hewan untuk melindungi hewan, karena pakaian ini tidak melindungi petugas dari bahan yang berbahaya (misal bahan kimia, biologik atau radiologik).
Pakaian warna biru digunakan jika bekerja dalam BSL-2.
Bahan untuk membuat pakaian pembatas ini bermacam-macam misalnya ada yang terbuat dari poplypropilene, SMS, pelindung-poly dan bahan yang akan digunakan kembali, yang penggunaannya berdasarkan atas penilaian risiko.
Pakaian ini dibuka dari belakang dan dilengkapi dengan penutup leher dan pergelangan tangan.
Tipe jas lab 5

Fungsi
Lengan baju
Dalam beberapa kasus, potongan lengan baju dapat memberikan perlindungan tambahan. Lengan baju pelindung bukan sebagai pengganti baju pelindung hanya digunakan sebagai tambahan jas labnya.  Lengan baju tambahan ini digunakan apabila ada risiko tinggi atas kontak atau cipratan bahan berbahaya. 
Kebanyakan lengan baju tambahan bersifat sekali pakai (disposible)
Catatan: sarung tangan (gloves) harus dipakai diujung lengan

 ******


*** admin:
Karena beberapa pertimbangan (web view dll) Karya Tulis Ilmah ini diedit oleh admin termasuk Lampiran 1 (Tipe Jas Lab). Untuk Lampiran 2 Masker, Lampiran 3 Glasses and google, Lampiran 4 Gloves, Lampiran 5 Footwear ada pada penulis (drh Sri Yusnowati).

PENTING UNTUK PETERNAKAN: