Untuk impor maupun ekspor reptil dipersyaratkan tindakan karantina, berikut ini adalah pedoman tindakan karantina hewan terhadap reptil bagi petugas karantina dilapangan dan agar pengguna jasa (importir /eksportir) dapat memahami penanganan, pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan, sehingga tindak karantina bisa dilakukan secara cermat, cepat dan sistematis, dengan dasar ilmiah sesuai peraturan perundangan.
***********************************************
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN
NOMOR :
593/Kpts/HK.060/L/12/2009
TENTANG
PEDOMAN TINDAKAN
KARANTINA TERHADAP REPTIL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA
BADAN KARANTINA PERTANIAN,
Menimbang :a. bahwa lalulintas pemasukan dan pengeluaran
media pembawa hama dan penyakit hewan karantina berupa hewan reptil dari dan ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia cukup tinggi sehingga berpotensi untuk menyebarkan hama
dan penyakit hewan karantina di dalam dan keluar wilayah Negara Republik
Indonesia.
b.
bahwa hewan reptil memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan
pelaksanaan tindakan karantina secara spesifik;
c.
bahwa hewan reptil perlu dilindungi dari ancaman
kepunahannya;
d.
bahwa berdasarkan butir a, b dan c, serta agar ada
keseragaman pelaksanaan tindakan karantina pada media pembawa berupa reptil
sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu ditetapkan Pedoman
Tindakan Karantina terhadap Reptil;
Mengingat : 1. Undang-undang
Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3482);
2.Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang
Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4002);
4.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia;
5.Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
6.
Keputusan Presiden Nomor 131/M/Tahun 2008 tentang
Pengangkatan Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Pertanian;
7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 471/Kpts/
LB.720/8/ 2001 tentang Tempat-Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa
Hama dan Penyakit Hewan Karantina;
8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
51/Permentan/ OT.140/10/2006
tentang Pedoman Tata Hubungan Kerja Fungsional Pemeriksaan,
Pengamatan dan Perlakuan Penyakit Hewan Karantina;
9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Kpts/
OT.140/1/2007 tentang Dokumen dan Sertifikat Karantina Hewan;
10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor
110/Kpts/TN.530/2/2008 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 206/Kpts/TN.530/3/2003 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit
Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa;
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU : Pedoman
Tindakan Karantina Terhadap Reptil.
KEDUA : Pedoman
Penanganan, Pemeriksaan dan Pengujian Reptil seperti tercantum dalam lampiran keputusan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan Keputusan ini.
KETIGA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam diktum
KEDUA menjadi panduan bagi petugas karantina hewan untuk penanganan,
pemeriksaan dan pengujian terhadap reptil dalam rangka melaksanakan tindakan
karantina.
KEEMPAT : Pedoman
yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan keputusan ini.
KELIMA : Keputusan
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 30
Desember 2009
Tembusan disampaikan kepada Yth,
1. Menteri Pertanian;
2.
Para Pejabat Eselon I Departemen Pertanian;
3.
Para Pejabat Eselon II Badan Karantina Pertanian;
4.
Para Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Pertanian
di seluruh Indonesia.
Lampiran I Keputusan Kepala Badan
Karantina Pertanian
Nomor
: 593/Kpts/HK.060/L/12/2009
Tanggal
: 30 Desember 2009
PEDOMAN
PENANGANAN, PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN REPTIL
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Lalulintas
reptil di Indonesia cukup tinggi baik impor maupun ekspor sementara hewan ini
mempunyai sistem suhu dan kelembaban tubuh yang berbeda dibanding hewan spesies
lain seperti mamalia dan unggas. Kondisi
(temperatur dan kelembaban) tertentu ini dapat bermanfaat bagi satu spesies namun
dapat merugikan bagi spesies lain. Karantina Hewan mempunyai
peranan yang strategis di posisi terdepan dalam melindungi keamanan
hayati dan kesehatan reptil yang
dilalulintaskan tersebut, agar tidak berpotensi sebagai media pembawa hama
penyakit hewan karantina yang mengancam kesehatan hewan, kesehatan manusia dan
lingkungan. Untuk
meningkatkan peranan karantina hewan dalam pemeriksaan dan pengawasan
lalulintas reptil mengingat bahwa hewan ini sering tidak menunjukkan
gejala klinis (sakit) kecuali pada kondisi sakit/infeksi yang cukup parah, serta adanya
keseragaman dalam pelaksanaan tindakan karantina pada seluruh UPT dengan
mengacu ketentuan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu
disusun Pedoman Tindakan Karantina terhadap Reptil.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penyusunan pedoman
ini adalah:
a.
menyediakan pedoman bagi petugas
karantina dilapangan dalam melaksanakan penanganan, pemeriksaan dan pengujian
terhadap reptil.
b.
adanya keseragaman dalam pelaksanaan
pelayanan penanganan terhadap reptil.
c.
petugas dapat melaksanakan pelayanan
tindak karantina secara lebih cermat, cepat dan sistematis, dengan dasar ilmiah
sesuai peraturan perundangan.
d.
pengguna jasa dapat memahami penanganan,
pemeriksaan dan pengujian yang akan dilakukan petugas karantina terhadap reptil.
3. Ruang Lingkup
Pedoman ini mengatur tentang penanganan,
pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan reptil, termasuk identifikasi reptil
dan jenis penyakit yang dapat dibawa oleh reptil.
4.
Identifikasi Reptil
Hewan sejati
berkaki empat yang pertama kali mendiami daratan adalah
Labirinthodontia/Anthracosauria, pertama kali muncul di bumi lebih dari 300
juta tahun lalu dan pada awal era karbon berkembang menjadi klas vertebrata
baru yaitu Reptilia.
Era Karbon
merupakan zaman keemasan perkembangan reptil. Reptil primitif kerabat dekat
Anthracosauria pada awal zaman karbon berkembang menjadi dua cabang utama;
Anapsida, merupakan nenek moyang reptil modern (Cotylosauria) dan Synapsida,
merupakan nenek moyang mamalia. Cabang Cotylosauria merupakan sejarah
terpenting karena merupakan pendahulu reptilia diapsid yang meliputi ordo
Lepidosauria, Archosauria serta reptilia Euryapsid yang meliputi
Ichthyopterygia dan Euryapsida.
Reptilia diapsid
dan euryapsid mencapai puncak evolusi pada era Mesozoic dan berlangsung sekitar
160 juta tahun. Pada era ini karena banyaknya jenis reptilia yang hidup disebut
juga sebagai “zaman Reptilia”. Ketika zaman ini berakhir, hampir semua kelompok
besar reptil ikut menghilang (punah). Dari sekitar 20 ordo yang dikenal pada
era mesozoic sekarang tinggal tersisa 4 ordo yang masih memiliki spesies yang
hidup di bumi yaitu ordo Chelonia meliputi bangsa kura-kura dan penyu masih
tersisa sekitar 270 spesies, Ordo Squamata atau reptil bersisik meliputi bangsa
ular, biawak dan kadal masih tersisa sekitar 6280 spesies, Ordo Rynchocephalia
meliputi bangsa Tuatara masih tersisa 1 spesies dan Ordo Crocodylia meliputi
bangsa buaya dan alligator masih tersisa 22 spesies.
Saat ini
reptilia menjadi satu – satunya klas dari kingdom animalia yang masih memiliki
spesies hidup paling banyak dan sebagian diantaranya secara ilmiah masih tetap
menjadi misteri yang belum terungkap. Keragaman bentuk tubuh/anatomi,
fisiologi, habitat, behavior, pakan, reproduksi dan penyakit masih menjadi
bahasan ilmiah yang tiada habisnya.
a.
Reptil
1.
Ordo
Chelonia
Ordo Chelonia terbagi
menjadi 13 familia; lima (5) familia merupakan kura – kura dan penyu aquatik
dengan habitat air laut/lautan yaitu Carettochelyidae, Chelydridae,
Cheloniidae, Dermatemydidae dan Dermochelyidae dan enam (6) familia merupakan
kura – kura dengan habitat air tawar yang meliputi sungai, danau atau rawa-rawa baik yang bersifat
aquatik murni maupun semiaquatik yaitu Emydidae, Kinosternidae, Staurotypidae,
Trionychidae, Cheliidae dan Pelomedusidae serta dua (2) familia merupakan kura
– kura darat yang habitatnya di daratan, hutan – hutan lebat, pegunungan sampai
gurun yaitu familia Testudinidae dan
Platysternidae.
Saat ini diseluruh dunia
masih tersisa sekitar 270 spesies kura- kura air laut dan tawar. Beberapa
spesies kura – kura terkenal karena kelangkaannya atau motif karapasnya yang
unik. Usia yang bisa mencapai 2 abad juga menjadi misteri dari spesies ini. Semua
spesies Ordo Chelonia tidak memiliki gigi dan tidak berbisa (non venomous).
Ukuran tubuh dewasa berkisar dari beberapa cm dengan berat kurang dari 1 kg
sampai 2 meter lebih dengan berat badan mencapai 500 kg.
Beberapa spesies kura –
kura yang terkenal antara lain Indian star, radiata, terrapin/brazil,
aldabra, galapagos, emys darat, matahari, dll.
Adabra Matahari
2.
Ordo Squamata
Ordo ini meliputi 3 subordo yaitu Sauria, Serpentes dan
Amphisbaenia.
1)
Subordo Sauria terdiri 16 familia meliputi berbagai jenis
kadal, biawak, cecak, tokek, bunglon dan iguana. Sauria memiliki 4 kaki dan
habitat bervariasi dari tembok, sungai, pohon, hutan dan bahkan lautan. Dari
sekitar 3751 spesies ordo Sauria yang sudah teridentifikasi hanya 2 spesies
yang memiliki bisa/venom yaitu Gila monster (Heloderma suspectum)
dari Florida dan Mexican bearded lizard dari Mexico namun keduanya tidak
memiliki taring (fang) seperti pada ular.
Iguana hijau (Iguana iguana)
Komodo (Varanus komodoensis)
Gila monster (Heloderma suspectum)
2) Subordo Serpentes disebut juga Ophidia
terdiri 12 familia meliputi 409 genus dan 2426 spesies yang sudah
teridentifikasi. Subordo ini mencakup berbagai jenis ular tidak berbisa (non
venomous) dan dan berbisa (venomous) yang habitat hidupnya di tanah/daratan
(terrestrial), pepohonan (arboreal) dan air (aquatic) dari semak – semak,
pohon, sungai, kolam, gunung sampai lautan.
Rincian
familia dari subordo Serpentes :
No
|
Familia
|
Σ Genus
|
Σ Spesies
|
01
|
Leptotyphlopidae
|
2
|
78
|
02
|
Typhlopidae
|
3
|
180
|
03
|
Anomalepidae
|
4
|
20
|
04
|
Acrochordidae
|
2
|
3
|
05
|
Aniliidae
|
1
|
9
|
06
|
Uropeltidae
|
8
|
44
|
07
|
Xenopeltidae
|
1
|
1
|
08
|
Boidae
|
27
|
88
|
09
|
Colubridae
|
292
|
1562
|
10
|
Elapidae
|
61
|
236
|
11
|
Viperidae
|
7
|
187
|
12
|
Hydrophydae
|
1
|
18
|
Total
|
409
|
2426
|
Diantara 2426 spesies yang sudah teridentifikasi, 3 familia diantaranya yaitu Elapidae, Viperidae dan Colubridae mencakup ular – ular berbisa (venomous snake). Sebagian besar spesies dari familia Elapidae adalah ular berbisa dengan type venom neurotoksik tinggi (high – very high neurotoxic venom). Semua spesies dari familia Viperidae adalah ular berbisa dengan type venom hemotoksik moderat – medium (moderate – medium hemotoxic venom). Beberapa spesies dari familia Colubridae adalah ular berbisa dengan type venom hemotoksik atau neurotoksik ringan dan tidak berbahaya bagi manusia.
Beberapa spesies ular yang
terkenal sebagai satwa kelangenan antara lain sanca pohon hijau papua (Morelia
viridis), sanca karpet (Morelia spilota), sanca bodo (Python
molurus), sanca batik (Python reticulatus), dll.
Beberapa contoh ular tidak berbisa/non
venomous;
Morelia viridis Morelia
spilota variegate
Python molurus bivittatus Python reticulatus
Beberapa
contoh ular berbisa/venomous;
Boiga dendrophyla Trimeresurus
albolabris
3)
Subordo Amphisbaenia disebut juga sebagai kadal cacing,
karena anatominya seperti kadal tetapi tanpa anggota gerak/kaki dan habitatnya
di dalam tanah sehingga sering dikelirukan dengan cacing. Dari 140 spesies
amphisbaenia yang sudah teridentifikasi sebagian besar habitatnya di dalam
tanah dan tumpukan vegetasi yang membusuk sehingga sangat jarang terlihat
misalnya Tragophys sp.
Trogophis sp
b.
Ordo
Rynchocephalia
Ordo Rynchocephalia hanya
memiliki satu subordo yang tersisa yaitu Sphenodontidae dan saat ini hanya
tersisa satu genus Sphenodon terdiri satu spesies yaitu Tuatara (Sphenodon
punctatus) yang hidup di pulau – pulau terpencil New Zealand.
Tuatara (Sphenodon punctatus)
c.
Ordo
Crocodylia
Ordo Crocodylia
terbagi menjadi 3 familia; Aligatoridae, Crocodylidae dan Gabialidae. Ordo ini
meliputi berbagai bangsa buaya, alligator, caiman dan gavial dengan habitat
sungai dan danau berair tawar serta rawa – rawa ataupun muara sungai berair
payau dan bahkan air laut/air asin.
Indonesia
memiliki 4 spesies buaya dari familia Crocodylidae yaitu buaya muara (Crocodylus porosus),
buaya siam/air tawar kerdil (Crocodylus siamensis), buaya papua (Crocodylus novaeguineae) dan
buaya moncong sapit/senyulong (Tomistoma schlegelii). Dari keempat
spesies tersebut buaya siam memiliki ukuran tubuh paling kecil dengan panjang
tubuh berkisar 2.5 – 3 meter termasuk ekor dan buaya muara adalah buaya
terbesar dengan panjang tubuh dapat mencapai 6 meter (termasuk ekor) dengan
berat badan lebih dari 600 kg.
Crocodylus
porosus Tomistoma
schlegelii
Crocodylus novaeguineae
BAB II
RESTRAIN
DAN HANDLING
Reptil merupakan salah
satu jenis satwa yang unik dan eksotis. Dikatakan unik karena memiliki sifat
morfologi yang berbeda dengan satwa yang lain. Dengan keunikan tersebut maka
penanganan pada masing masing jenis reptil berbeda beda antara satu jenis
dengan jenis yang lain. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan reptil antara lain:
a.
perlunya
mengetahui sifat-sifat morfologi dan biologi reptil yang akan kita handling
agar supaya dalam melakukan perlakuan pada reptil yang kita tangani tidak
mengalami stress. Reptil yang mengalami stress akan sangat berpengaruh pada
proses metabolisme dalam tubuh yang diikuti dengan nafsu makan yang menurun.
b.
harus bisa membedakan reptil yang beracun (venomous)
dengan yang tidak beracun (non venomous), agar supaya dalam
melakukan perlakuan tidak menyebabkan stress (tekanan) yang luar biasa pada
satwa yang akan kita tangani. Dalam hal ini diperlukan ketenangan dan kesabaran serta
keahlian sebelum melakukan perlakuan. Apabila penanganan dan perlakukan
dilakukan secara kasar maka dikhawatirkan akan menyebabkan terganggunya
ketenangan satwa yang akan di tangani. Dampak negatif yang paling fatal
adalah bilamana reptil tersebut menggigit atau menyerang orang yang melakukan
perlakuan.
1.
Restrain
Restrain
pada reptil bertujuan pemeriksaan terutama untuk keamanan bagi pemeriksa
(dokter hewan), keamanan bagi satwa dan untuk keamanan transportasi. Secara
umum restrain pada reptil digolongkan menjadi dua yaitu:
a.
physical
restraint/restrain
fisik
Restrain fisik dapat
dilakukan dengan teknik satu tangan, teknik dua tangan dan penggunaan alat
bantu seperti jarring/net, snake hooks, grab stick dan clear
plastic tubing. Restrain fisik untuk reptil besar seperti buaya, ular Burmese,
Reticulatus dan Anaconda dibutuhkan beberapa orang agar tidak
menimbulkan resiko bagi satwa, klien maupun staff.
Restrain fisik dengan
teknik satu tangan dilakukan untuk reptil berukuran tubuh kecil dan jinak.
Satwa dipegang dengan satu tangan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk tepat
di belakang kepala dan jari lainnya menopang bagian leher satwa dan atau bagian
tubuh yang lain.
Restrain fisik dengan
teknik dua tangan dilakukan untuk reptil berukuran sedang atau sedikit agresif.
Satwa dipegang dengan satu tangan pada bagian tepat dibelakang kepala dan
tangan satunya memegang bagian tengah atau belakang tubuh satwa.
Restrain fisik dengan menggunakan alat bantu seperti
jaring/net, tali, grab stick, snake hook, clear plastic tubing dilakukan
pada reptil yang agresif dan ular berbisa/venomous snakes. Jaring/net
dan tali berfungsi untuk imobilisasi alat gerak dan mulut. Grab stick
berfungsi untuk menangkap dan memegang ular dari jarak jauh. Snake hook
digunakan untuk imobilisasi ular dengan cara menekan ular pada bagian belakang
kepala sebelum dipegang dengan tangan. Clear plastic tubing digunakan
untuk ular venomous berukuran tubuh pendek, dengan cara memasukkan ular
kedalam tube transparan tersebut sehingga dapat diamati bagian – bagian
tubuh ular tersebut dari luar tube.
b.
Chemical
restraint/restrain
kimiawi
Restrain kimiawi menggunakan sedativa maupun
anestetika umumnya dilakukan pada reptil yang agresif dan ular berbisa (venomous
snakes) serta untuk tujuan transportasi. Namun demikian
restrain kimiawi harus dilakukan secara hati-hati karena induksi anestesi dan recovery
yang lambat.
Restrain kimiawi dapat dilakukan dengan anestetika
inhalasi/gas seperti diethyl ether, isoflurane atau halothane.
Keuntungan anestetika inhalasi pada reptil adalah induksi anestesi yang cepat
dan recovery juga cepat. Namun recovery yang cepat ini menjadi
kelemahan manakala digunakan untuk reptile - reptil yang agresif dan
membutuhkan penanganan yang lama.
Restrain
kimiawi lainnya dapat dilakukan dengan anestetika non inhalasi. Yang sering
digunakan adalah Ketamine HCl yang dikombinasikan dengan muskulorelaksan
seperti Chlorpomazine HCl, Xylazine, Diazepam dan Midazolam.
Dosis yang dianjurkan untuk Ketamin adalah 20 – 40 mg/Kg BB untuk sedasi dan 60
– 80 mg/Kg BB untuk anestesi, Chlorpromazine 0,1 – 0,5 mg/Kg BB, Diazepam 2
mg/Kg BB, Midazolam 2 mg/Kg BB dan Xylazine 0,10 – 1,25 mg/Kg BB. Penggunaan
Xylazine hendaknya disediakan reversalnya yaitu Yohimbin dengan dosis 0,1 mg/Kg BB (Carpenter et al.,
2001). Induksi anestesi pada ular berjalan sangat lambat, sekitar 30 menit baru
teranestesi dan recoverynya juga lambat berkisar
24 – 48 jam.
2.
Handling
Untuk melakukan teknik penanganan (handling)
pada reptil yang perlu diperhatikan adalah membedakan reptil yang beracun
dengan yang tidak beracun. Penanganan pada reptil beracun khususnya ular
biasanya menggunakan alat khusus, dimana dengan bantuan alat tersebut bagian
kepala ular di tekan sedemikian rupa sehingga merasa aman bagi orang yang
melakukan perlakukan. Setelah kepala di tekan maka secara perlahan bagian
kepala tersebut dipegang dan jangan sampai lepas, agar supaya ular tersebut
tidak menggigit. Harus diingat bahwa dalam menangani ular beracun perlu keahlian
dan ketenangan.
Handling secara benar akan memberikan rasa
nyaman bagi satwa reptil. Adakalanya dibutuhkan restrain agar reptil dapat dihandle
dengan aman.
Beberapa tips agar aman pada saat menghandle
reptil:
a.
lakukan
handling dengan lembut dan tenang pada semua jenis reptil. Jangan ragu – ragu
pada saat menghandle;
b.
beberapa spesies harus dilakukan handling dengan
hati – hati, meskipun bukan satwa venomous karena satwa yang ‘kagol’
dapat menjadi agresif;
c.
spesies reptil besar seperti buaya, Python molurus,
Python reticulatus dan Anaconda (Eunectes murinus) dewasanya
dapat mencapai panjang 6 meter dan berat diatas 100 kg, diperlukan beberapa
orang untuk menghandle dengan aman. Jangan bertaruh nyawa sendirian saat
menghandle reptil besar tersebut;
d.
beberapa spesies reptil seperti ular dan biawak
seringkali defekasi dan urinasi saat dihandle/restrain manual, sabaiknya
bagian belakang tubuh satwa termasuk kloaka dan ekor tetap berada dalam
wadahnya (kantong kain atau kotak) untuk menghindari kontaminasi.
3.
Handling ular berbisa dan berbahaya
a.
handling sebaiknya dilakukan oleh staf yang sudah
berpengalaman gunakan alat bantu restrain seperti snake hook, grab stick dan
clear plastic tubing.
b.
antivenin hendaknya selalu tersedia saat menghandle ular
– ular venomous
c.sebaiknya
jangan menggunakan sarung tangan karet karena bersifat licin.
4.
Saran penting untuk Handling dan Restrain pada Reptil
a. idealnya
satwa/reptil dihandle seminimal mungkin.
b. perlu
mengetahui tentang karakter satwa tersebut dengan menanyakan pada pemilik atau
yang membawa. Tidak diperkenankan menghandle satwa secara sembarangan.
c. handling
pertama kali akan aman apabila satwa dipegang tepat dibelakang kepala sebelum
mengangkat satwa dari tempatnya.
d. untuk
keperluan transportasi jarak pendek bagi reptil tidak berbisa dan jinak,
penggunaan kantong kain cukup memadai, karena kelenturannya dapat mengikuti
gerakan satwa.
e.
handling dan restrain ular berbisa/venomous
sebaiknya menggunakan alat bantu seperti snake hook, grab stick atau clear
plastic tubing.
f.
ular (reptil) yang tidak beracun penanganan yang
dilakukan adalah:
1)
ular
terlebih dahulu dimasukkan dalam kantong agar supaya pergerakannya terbatas;
2)
kantong
yang sudah berisi ular diikat sedemikan rupa
dan diusahakan teknik pengikatan meminimalisasi pergerakan ular dalam
kantong agar supaya memudahkan penanganan yang akan dilakukan;
3)
tunggu
beberapa menit agar supaya ular dalam kantong dalam keadaan tenang, setelah itu
baru dilakukan perabaan dari luar kantong yang mengarah ke bagian kepala. Bagian
kepala yang sudah teraba segera dipegang
lalu secara perlahan kantong di sisihkan.
5.
Cara Pengemasan dan Pengiriman Reptil
1. Pengemasan.
Pengemasan pada reptil pada umumnya dilakukan dengan menggunakan kantong
yang terbuat dari bahan kain. Sebelum ular dimasukkan dalam kantong terlebih
dahulu diisi dengan sobekan-sobekan kertas diantarnya sobekan kertas koran yang
bertujuan untuk menghangatkan badan ular tersebut selama dalam perjalanan dan
juga untuk menyerap faces(kotoran) yang dikeluarkan. Isi kantong disesuaikan dengan besar kecilnya
ular yang akan dimasukkan dalam kantong. Khusus untuk ular-ular beracun
sebaiknya pengemasan dilakukan dengan menggunakan kantong dua lapis agar
keamanan bisa terjamin pada saat pengepakan dan setelah sampai di tempat tujuan.
Setiap kantong yang berisi ular-ular beracun sebaiknya diberi tanda “
Ular beracun berbahaya” ( Danger Venomous Snake).
Untuk ular-ular
yang bersifat kanibalisme sebaiknya pengemasan dilakukan terpisah, setiap
kantong hanya di isi dengan satu ekor ular.
2.
Pengiriman
Reptil
Setelah selasai pengemasan maka pengiriaman dilakukan
dengan menggunakan peti yang terbuat dari triplek, kawat nyamuk dan kawat
ayak. Peti pengiriman dibentuk
sedemikian rupa dimana keempat sisinya dilubangi dengan diameter 1 cm. Adapun
fungsi lubang tersebut adalah sebagai ventilasi (lubang udara) kemudian sisi
bagian dalam dilapisi dengan kawat nyamuk, sedangkan permukaan sisi bagian luar
di lapisi dengan kawat ayak. Kantong-kantong yang berisi ular di susun dalam
peti serapi mungkin kemudian ditutup dengan triplek. Peti yang sudah ditutup rapi sebaiknya di klem
agar agar selama dalam perjalanan tidak mengalami kerusakan. Peti yang berisi ular beracun pada bagian
luarnya diberi tanda “ Ular beracun” agar penerima lebih
hati-hati membuka peti tersebut setelah sampai di tempat tujuan.
BAB III
JENIS
PENYAKIT PADA SPESIES
1.
Parasit
a.
Ektoparasit
(caplak, aponoma, hyaloma, tungau ophionyss)
b.
Endoparasit
§
Nematoda: Ascarids (Ophidascaris sp), Hookworms
(Kalicephalus sp), Lungworm (Rhabdias sp).
§
Cestoda
§
Protozoa
Cryptosporidia (amoeba dan entamoeba
§ Pentastomid
2.
Bakteri
a.
Salmonella
Bakteri ini merupakan bakteri yang
paling sering dijumpai pada reptil. Sepanjang karapas digunakan sebagai tempat
yang potensial untuk menyebarkan salmonella. Salmonella dapat tetap virulen
sampai 89 hari pada air keran, 115 hari pada air kolam, 280 hari pada tanah
taman, 28 bulan pada feses burung. Reptil dapat menjadi carrier.
Meskipun tingkat kejadian salmonellosis
pada reptil cukup tinggi, biasanya reptil tidak menunjukkan gejala penyakit
dari infeksi salmonella. Beberapa strain salmonella menjadi penyebab penyakit
spontan pada reptil yang menunjukkan septicemia, pneumonia, coelomitis, abses,
granuloma, hypovolemic shock, dan kematian.
Reptil termasuk buaya dan ular dapat menjadi sumber salmonellosis pada
manusia.
Pseudomonas. Pseudomonas aeruginosa
dapat diisolasi dari luka pada mulut ular. Manusia tertular akibat kontak
langsung dengan organisme melalui luka goresan atau luka bekas gigitan kutu,
inhalasi (dengan cara terhirup) atau ingesti (dari makanan yang tercemar).
b.
Aeromonas
Aeromonas merupakan bakteri yang biasa
terdapat pada danau, kolam dan air tempat reptil, amphibi dan ikan. Penularan
dapat melalui kontak dengan air pada luka terbuka atau dari kutu yang berada
pada lingkungan reptil yang terinfeksi.
c.
Campylobacter
Bakteri
ini dapat menyebabkan diare dan akut gastroenteritis (radang saluran
pencernaan) pada manusia. Gejala yang tampak adalah diare, mual, muntah, nyeri
perut dan demam.
d.
Bakteri
enterik yang lain
Beberapa spesies yang bersifat patogen
yang diisolasi dari reptil yang secara klinis sehat dan yang sakit adalah
Aeromonas, Citrobacter, Enterobacter, Klebsiella, Proteus dan Serratia.
Enterobacter cloacae dan Klebsiella pneumoniae
menjadi penyebab infeksi urogenital (saluran perkencingan dan reproduksi) pada
manusia. Proteus dan beberapa bakteri enteric yang lain menyebabkan diare pada
manusia.bakteri ini ditularkan pada manusia melalui kontak langsung.
Erysipelothrix
rhusiopathiae
diisolasi dari alligator dan American crocodiles. Pada manusia menyebabkan
infeksi pada kulit, menimbulkan rasa sakit, rasa terbakar, gatal-gatal, radang
sendi dan septicemia yang dapat menyebabkan endokarditis (radang endokardium
jantung) dan kematian. Manusia tertular melalui luka atau kulit yang tergores.
Yersinia
enterocolitica dapat
menyebabkan bermacam penyakit pada manusia termasuk gastroenteritis hebat
dengan rasa sakit pada bagian perut seperti gejala radang usus buntu.
Penyebaran penyakit terjadi juga pada marmut, kelinci, kucing, tikus, domba,
burung liar, kalkun, itik, merpati dan kenari. Penyakit ini menyerang pada
anak-anak, remaja dan dewasa dengan muntah, gejala serupa radang usus buntu,
dan mesenteritic adenitis. Pada perkembangannya penyakit dapat menyebabkan
radang sendi, radang ginjal, eritrema nodusum, dan iritis.
e.
Mycobacterium
Mycobacterium
marinum menyebabkan nodul
pada kulit maupun dibawah kulit. Mycobacterium sp menyebabkan lesi
patologis yang bermacam-macam pada reptil, biasanya bersifat kronis termasuk
lesi granuloma dan non granuloma pada paru-paru, hati, limpa,kulit, jaringan
sub kutan, mukosa mulut, gonad, tulang, dan sistem saraf pusat.
Manusia tertular melalui kontak langsung
dengan organisme pada kulit yang luka, pada waktu handling hewan atau saat
membersihkan tempat reptil.gigitan kutu pada kulit, atau melalui pernafasan dan
kontak dengan mukosa mulut atau respirasi.
f.
Q
fever- Coxiella burnetii.
Penyakit ini
disebabkan oleh ricketsia Coxiella burnetii yang disebarkan oleh kutu Amblyomma
nuttalli.
g.
Fungal
Infeksi fungal biasanya berasosiasi
dengan pathogen lain dan factor predisposisi seperti manajemen pemeliharaan
yang jelek.
Beberapa jenis fungi yang dapat
menyebabkan penyakit pada reptile antara lain Mucor spp, Paecylomyces spp.,
Candida albicans, Geotrichum spp., Aspergillus spp., TYrichophyton spp., dan
Trichoderma spp. Gejala Klinis yang ditimbulkan bervariasi tergantung organ
yang terinfeksi. Perubahan yang paling umum ditemukan adalah lesi – lesi pada
kulit dan kadang diserta subspectakular abses.
Diagnosa dilakukan secara mikroskopik
dan kultur menggunakan Sabouraud’s dextrose agar. Treatment meliputi
topikal antifungal, suportif dan perbaikan manajeman pemeliharaan.
h.
viral:
1)
Inclusion
Body Disease (IBD) pada Boidaea (Python, Boa)
Penyakit viral
yang tersebar luas di seluruh dunia menyerang terutama ular famili Boidae
(python da Boa). Penyakit viral ini dinamakan mengikuti karakteristik intracytopalmic
inclusions yang terlihat dalam sel tubuh ular yang terinfeksi. Penyebab
utama penyakit ini adalah Retroviridae-like virus. Gejala klinis
terutama ditandai muntah diikuti gejala sarafi. Infeksi sekunder bakterial
biasanya mengikuti. Gejala klinis lain termasuk letargi, anoreksia, kehilangan
berat badan, pertumbuhan terhambat, mukosa mulut pucat, stomatitis, diare,
penumonia dan dermatitis. Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk
menemukan inclusion bodies, biopsi dan histologi tonsil, hati, ginjal
dan mukosa lambung serta nekropsi pada ular yang mati. Tidak ada treatmen yang
efektif sehingga disarankan ular yang positif terinfeksi IBD sebaiknya
dietanasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan prosedur karantina, kebersihan
kandang dan kontrol ektoparasit.
2)
Dermatitis
pada Colubridae
Dermatitis
pada Colubridae biasanya berasosiasi dengan manajemen kandang dan pemeliharaan
yang buruk. Kandang yang terlalu lembab dan ventilasi yang jelek manjadikan
mudahnya infeksi sekunder pada kulit ular. Gejala klinis berupa keradangan pada
kulit berupa kemerahan, kadang diikuti vesicula bahkan pustula. Diagnosa
berdasarkan pemeriksan fisik dan gejala klinis. Treatment meliputi antibiotic
topical atau sistemik diikuti perbaikan manajemen kandang dan perawatan.
3) Ophidian
Paramyxovirus (OPMV) pada Viperidae
Disebut juga
Fer-de-Lance virus reptil. Salah satu viral patogen yang penting pada reptil
terutama ular dari famili Viperidae. Penyakit ini menyebabkan imunosupresi.
Penularan penyakit melalui droplet dan muntahan. Infeksi kongenital dapat
terjadi.
Gejala klinis
yang muncul biasanya diawali anoreksia, gejala respiratorik termasuk leleran
dari glottis (kadang leleran berdarah), pada kasus berat diikuti gejala sarafi.
Diagnosa dapat
dilakukan dengan Haemaglutination inhibition test (HI Test), penegcatan negatif
dengan elektron mikroskop dari sampel feses atau paru – paru, biopsi
histopatologi, nekropsi dan isolasi virus.
Treatment yang
dapat diberikan termasuk antibiotik untuk mengatasi infeksi sekunder dan terapi
suportif. Pada kasus yang telah menunjukkan gejala sarafi disarankan untuk
dilakukan etanasi. Program pencegahan sangat penting termasuk perbaikan
manajemen kebersihan dan perawatan serta karantina ular baru selama minimal 90
hari.
3.
PEMERIKSAAN:
1.
pemeriksaan fisik (biasanya dari afrika ular
dimasukkan narkoba, sehingga beberapa negara dilakukan pemeriksaan x-ray)
2.
pemeriksaan laboratorium.
untuk pengujian sampel di laboratorium, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah:
a.
cara dan jenis pengambilan spesimen (darah, kotoran,
dll).
cara dan pengambilan spesimen dan jenis spesimen yang
diambil tergantung pada jenis reptil dan tujuan pengujian terhadap spesimen
tersebut.
b.
cara pengepakan dan pengiriman spesimen
akurasi
hasil pengujian ditentukan juga oleh cara pengepkan dan pengiriman
spesimen. Jika spesimen tidak dihandle
dengan cara yang tepat dapat menyebabkan kerusakan spesimen dan agen penyakit
sehingga hasil pengujian yang tidak valid (negatif palsu atau positif palsu).
c.
teknik dan metode pengujian laboratorium
metode pengujian yang digunakan untuk menguji spesimen harus tepat sesuai
target agen penyakit yang diuji.
Detail mengenai
pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel 2.
4.
PERAWATAN SELAMA MASA KARANTINA DAN PERLAKUAN SEBELUM
PENGIRIMAN
a.
perawatan
selama masa karantina
Perawatan reptil khususnya ular selama masa karantina
sebaiknya ditempatkan masing-masing satwa pada terarium yang terpisah satu
dengan yang lain, sehingga memudahkan pengawasan secara langsung selama masa
karantin. Disamping itu untuk menghindari adanya kontak langsung antara satu
jenis dengan jenis yang lain. Dengan cara perlakuan seperti ini akan meminimalisasi penularan penyakit dari satu jenis ke jenis yang lain.
Apabila ditemukan adanya gejala-gejala
penyakit pada reptil yang dikarantina segera ditangani dan dipindahkan ketempat
lain agar tidak menular pada jenis yang lain.
Satwa yang dikarantina jangan lupa
dikasih makan atau minum sebab reptil kalau terlambat dikasih minum akan cepat mengalami dehidrasi,
karena faces (kotoran) yang dikeluarkan sebagian besar cairan.
Disamping itu pakan yang akan
diberikan disesuaikan dengan jenis reptile yang dikarantina. Sebagai contoh
untuk jenis ular sebaiknya diberikan pakan yang hidup misalnya tikus putih,
anak ayam, burung. Jangan diberikan dalam keadaan mati. Terarium tempat reptile
sebaiknya tiap hari dibersihkan agar supaya kotoran-kotoran yang menempel tidak
menjadi media pembawa penyakit.
b.
perlakuan
sebelum pengiriman.
Perlakuan yang diberikan sebelum pengiriman adalah dengan
memuasakan ular tersebut dari makan kurang lebih 14 hari. Ular hanya dikasih
minum dan didalam minumannya ditambahkan vitamin agar supaya tidak terlalu
stress pada saat pengiriman dilaksanakan. Biasanya ular atau reptil apabila
diberikan makan 14 hari sebelum packing akan muntah (vomit) dalam perjalanan.
BAB IV
PEMUSNAHAN
1.
Untuk reptil yang termasuk dalam Apendiks I
a) Jika hewan
masih hidup dan harus dimusnahkan.
Hewan yang termasuk dalam Apendiks I adalah hewan yang sangat langka
sehingga apabila masih hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan
untuk pendidikan, penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen
penyakit, dapat dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan
yang berlaku di Karantina Hewan
b) Jika hewan sudah mati dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan yang berlaku
di Karantina Hewan
2. Untuk
reptil yang termasuk dalam Apendiks II
a) Jika
hewan masih hidup dan harus dimusnahkan.
Hewan yang termasuk dalam Apendiks II adalah hewan yang langka sehingga
apabila masih hidup dan tidak membawa agen penyakit dapat digunakan untuk
pendidikan, penelitian dan atau konservasi. Apabila terbukti membawa agen
penyakit, dapat dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan
yang berlaku di Karantina Hewan
b)
Jika hewan sudah mati dan harus dimusnahkan.
Dilakukan pemusnahan sesuai prosedur standar pemusnahan hewan sesuai
peraturan perundangan perkarantinaan hewan.
3.
Pemusnahan media pembawa berdasarkan Undang-undang No. 16
Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan dan Karantina Tumbuhan,
serta Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2000:
a)
dalam pelaksanaan pemusnahan agar sebelumnya selalu
dibuatkan berita acara penolakan untuk memberi waktu pada pemilik melengkapi
kekurangan dokumen dan atau di ekspor kembali.
b)
bila dalam waktu yang telah ditetapkan dokumen tidak
dapat dilengkapi segera diadakan pemusnahan dengan persiapan sebagai berikut :
(1)
Tentukan tempat / lokasi pemusnahan;
(2) Tentukan
hari dan tanggal pemusnahan;
(3) Melibatkan
instansi terkait (Polisi, Bea cukai, Keamanan Pelabuhan /Bandara, Pelindo,
Dinas yang menangani Kesehatan Hewan setempat, Jaksa untuk menjadi saksi dalam
berita acara pemusnahan.
- Pemusnahan (disposal) adalah prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap reptil mati (bangkai), kandang yang tercemar serta bahan dan peralatan lain terkontaminasi yang tidak dapat didekontaminasi/ didesinfeksi secara efektif.
Teknis
pemusnahan dapat dilakukan sebagai berikut :
a.
lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus jauh dari
penduduk untuk mencegah polusi maupun penyebaran penyakit;
b.
bila media pembawa berupa hewan hidup, harus dijamin
hewan tersebut sudah dibunuh sesuai etika kesejahteraan hewan seperti
dieuthanasi (hewan harus mati sempurna sebelum dibakar);
c.
dilakukan terlebih dahulu proses pembakaran didalam
lubang yang telah dipersiapkan untuk penguburan atau dapat menggunakan incenerator
untuk mencegah polusi;
d.
lubang tempat penguburan harus mempunyai kedalaman
minimal 1,5 meter dan setelah itu ditutup dengan tanah serapat mungkin dan
kemudian harus ditaburi dengan kapur secukupnya dan desinfektansia yang telah
ditetapkan.
BAB V
PERTOLONGAN
PERTAMA PADA KASUS GIGITAN ULAR BERBISA
Apabila ada kasus
gigitan ular berbisa dalam melakukan kegiatan tindak karantina atau kegiatan
lain maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.
Sebaiknya orang tersebut jangan terlalu panik, sebab
kepanikan akan membantu daya serang racun dalam tubuh.
2.
Bagian yang digigit harus sesegera mungkin diikat agar
supaya racun yang masuk kedalam tubuh bisa terblokir tidak masuk jantung.
3.
Usahakan bagian yang digigit harus diposisikan dibawah
jantung agar supaya aliran darah menuju jantung diperlambat.
4.
Segera dibawa kerumah sakit dan jangan lupa membawa data
jenis ular apa yang menggigit agar supaya anti serum yang akan disuntik
disesuikan dengan jenis ular yang menggigit.
BAB VI
PENUTUP
Demikian Pedoman Penanganan, Pemeriksaan dan Pengujian terhadap
Reptil (Herpetofauna) ini disusun untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
tindakan karantina terhadap Reptil untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama
penyakit hewan karantina (HPHK) melalui media pembawa HPHK berupa
reptil yang dilalulintaskan. Hal-hal teknis berkaitan dengan penyusunan pedoman
ini yang belum diatur akan disesuaikan kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar