Untuk melalu-lintaskan (ekspor, impor, antar area /pulau /pelabuhan laut -udara) hewan maupun produknya baik berupa bahan asal hewan
(BAH), hasil bahan asal hewan (HBAH) maupun benda lain diperlukan
pemahaman tentang Peraturan perundangan yang berkaitan mengenai hal
tersebut. berikut ini adalah Peraturan Pemerintah yang mengatur kegitan melalu-lintaskan /transportasi yang dimaksud:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2000
TENTANG
KARANTINA HEWAN
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang
:
a. bahwa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan yang
melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati hewan, sudah tidak sesuai
lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi serta perkembangan hukum
nasional dan internasional;
b. bahwa
sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal
22 ayat (2) dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Karantina Hewan;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992
tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KARANTINA HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1.
Media pembawa hama
penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut media pembawa adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal
hewan dan atau benda lain yang dapat membawa hama penyakit hewan karantina.
2. Hewan
adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang
hidup secara liar.
3.
Bahan asal
hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah lebih
lanjut.
4.
Hasil bahan
asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah diolah.
5. Benda lain
adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan, bahan asal hewan dan hasil
bahan asal hewan yang mempunyai potensi penyebaran penyakit hama dan penyakit hewan karantina.
6. Area
adalah daerah dalam suatu pulau, pulau, atau kelompok pulau di dalam negara
Republik Indonesia yang
dikaitkan dengan pencegahan penyebaran penyakit hama dan penyakit hewan karantina.
7. Pemasukan
adalah kegiatan memasukkan media pembawa dari luar ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia atau ke
suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
8. Transit
adalah singgah sementara alat angkut di suatu pelabuhan dalam perjalanan yang
membawa hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain sebelum
sampai di pelabuhan yang dituju.
9.
Pengeluaran
adalah kegiatan mengeluarkan media pembawa ke luar dari wilayah negara Republik
Indonesia atau dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
10. Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan
laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor
pos, pos perbatasan dengan negara lain dan tempat-tempat lain yang ditetapkan
sebagai tempat untuk memasukkan dan atau mengeluarkan media pembawa.
11.Tempat asal adalah tempat dimana hewan dibudidayakan,
dipelihara, ditangkar atau habitatnya dan tempat-tempat pengumpulan, pengolahan
atau pengawetan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan atau benda lain.
12.Dokumen
karantina hewan yang selanjutnya disebut dokumen karantina adalah semua formulir resmi yang ditetapkan oleh
Menteri dalam rangka tertib administrasi pelaksanaan tindakan karantina.
13. Dokumen lain adalah surat yang diterbitkan
Menteri lain yang terkait atau oleh pejabat yang ditunjuk olehnya sebagai
persyaratan utama dan atau pendukung untuk setiap pemasukan, transit, atau
pengeluaran media pembawa.
14. Hama dan penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut
hama penyakit hewan karantina adalah semua
hama, hama
penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio-ekonomi nasional dan
perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat
veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat resikonnya.
15. Hama penyakit hewan karantina golongan I adalah
hama penyakit hewan karantina yang mempunyai
sifat dan potensi penyebaran penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui
cara penanganannya, belum terdapat di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
16. Hama penyakit hewan karantina golongan II
adalah hama penyakit hewan karantina yang
potensi penyebarannya berhubungan erat dengan lalu lintas media pembawa, sudah
diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau
wilayah negara Republik Indonesia.
17.Tindakan
karantina hewan yang selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan
atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.
18.Instalasi
karantina hewan yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan
lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan
tindakan karantina.
19. Alat angkut adalah alat angkutan dan
sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan
media pembawa.
20. Kemasan adalah bahan yang
digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus media pembawa baik yang
bersentuhan langsung maupun tidak.
21.Sucihama adalah tindakan membersihkan
dari hama atau hama penyakit seperti antara lain desinfeksi,
desinsektisasi, dan fumigasi.
22. Pemilik media pembawa adalah orang
atau badan hukum yang memiliki media pembawa dan atau yang bertanggung jawab
atas pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa.
23. Penanggung jawab tempat pemasukan, transit,
atau pengeluaran adalah pimpinan instansi yang bertanggung jawab untuk
mengelola tempat pemasukan, transit atau pengeluaran.
24. Penanggung jawab alat angkut adalah
orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas kedatangan, keberangkatan,
atau transit alat angkut.
25.Petugas karantina hewan yang
selanjutnya disebut petugas karantina
adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan
karantina.
26.Dokter hewan petugas karantina yang
selanjutnya disebut dokter hewan
karantina adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri untuk
melaksanakan tindakan karantina.
27. Paramedik karantina hewan yang selanjutnya
disebut paramedik karantina adalah petugas teknis yang ditunjuk oleh
Menteri untuk membantu pelaksanaan tindakan karantina.
28. Menteri adalah Menteri yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan karantina hewan.
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA
Pasal 2
Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia,
wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang di negara asal dan negara transit;
b. dilengkapi surat
keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda
lain;
c. melalui
tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dan
d.
dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 3
Media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke
area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
a
dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh
dokter hewan karantina dari tempat pengeluaran dan tempat transit;
b
dilengkapi surat
keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda
lain;
c.
melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang
telah ditetapkan; dan
d
dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat pemasukan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 4
Media pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah negara
Republik Indonesia,
wajib :
a.
dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh
dokter hewan karantina di tempat pengeluaran;
b.
dilengkapi surat
keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda
lain;
c.
melalui tempat-tempat
pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
d.
dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di
tempat pengeluaran sebagaimana dimaksud
dalam huruf c untuk keperluan tindakan
karantina.
Pasal 5
(1)
Sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a, Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 huruf a, dapat berbentuk sertifikat
kesehatan hewan yang diperuntukkan bagi jenis hewan atau sertifikat sanitasi
yang diperuntukkan bagi jenis bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.
(2)
Sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :
a.
asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu
tertentu tidak berjangkit hama
penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui jenis hewan tersebut;
dan
b. saat pemberangkatan tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan
menular, bebas ektoparasit, dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan.
(3) Sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu
tertentu tidak berjangkit hama
penyakit hewan karantina;
b.
berasal dari jenis hewan yang sehat;
c.
bebas dari hama
dan penyakit yang dapat ditularkan melalui jenis bahan asal hewan atau hasil
bahan asal hewan tersebut; dan
d.
khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai
dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Surat
keterangan asal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Pasal 3 huruf b, dan Pasal 4 huruf b
diperuntukkan bagi benda lain, yang sekurang-kurangnya memuat keterangan
tentang : produk, negara, area, atau tempat asal dan perlakuan sanitasi.
(5)
Kurun waktu tertentu tidak berjangkitnya hama penyakit hewan
karantina pada negara, area, atau tempat asal media pembawa yang harus
dicantumkan pada sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 6
(1)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d,
Pasal 3 huruf d dan Pasal 4 huruf d, bagi hewan disampaikan paling singkat 2
(dua) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran, sedangkan bagi bahan asal hewan,
hasil bahan asal hewan dan benda lain disampaikan paling singkat 1 (satu) hari
sebelum pemasukan atau pengeluaran.
(2)
Khusus bagi pemasukan media pembawa yang dibawa oleh
penumpang, jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada saat pemasukan.
(3) Pemilik media pembawa yang tidak mengikuti ketentuan
waktu pelaporan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), atas pertimbangan
teknis pemeriksaan, kesiapan petugas, dan atau sarana prasarana yang
diperlukan, dokter hewan karantina dapat menunda pemeriksaan.
(4)
Terhadap media pembawa yang tidak dilaporkan kepada
petugas karantina pada saat pemasukan atau pengeluaran, dilakukan penahanan.
Pasal 7
(1)
Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, dalam hal tertentu Pemerintah dapat
menetapkan kewajiban tambahan.
(2)
Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berupa persyaratan teknis dan atau manajemen penyakit berdasarkan disiplin ilmu
kedokteran hewan.
(3)
Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA
BAGIAN PERTAMA
UMUM
Pasal 8
(1)
Media pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau
dikirim dari suatu area ke area lain, transit di dalam, dan atau dikeluarkan
dari wilayah negara Republik Indonesia
dikenakan tindakan karantina.
(2) Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan,
pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa
yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis.
Pasal 9
(1) Pemeriksaaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan
mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media
pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
(2) Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara fisik dengan cara :
a. pemeriksaan klinis pada hewan; atau
b.
pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik
pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan pada siang hari, kecuali dalam keadaan tertentu menurut pertimbangan
dokter hewan karantina dapat dilaksanakan pada malam hari.
(4) Jika pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
belum dapat dikukuhkan diagnosanya, maka dokter hewan karantina dapat
melanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji
diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
(5)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dilakukan
pada laboratorium yang ditunjuk.
Pasal 10
(1) Pengasingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan terhadap sebagian atau seluruh media pembawa untuk diadakan
pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan
hama penyakit hewan karantina.
(2) Lamanya waktu pengasingan sangat tergantung pada
lamanya waktu yang dibutuhkan bagi pengamatan, pemeriksaan, dan atau perlakuan
terhadap media pembawa.
(3)
Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
(4)
Masa karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh pemiliknya kepada petugas
karantina sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan karantina terhadap media
pembawa.
Pasal 11
(1)
Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama
penyakit hewan karantina dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan
karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan mempergunakan sistem semua
masuk-semua keluar
.
(2) Selain pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengamatan juga dapat dilakukan untuk mengamati situasi hama penyakit hewan karantina pada suatu
negara, area, atau tempat.
(3) Lamanya waktu pengamatan atau masa pengamatan terhitung
sejak dimulai sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan pengamatan.
(4) Masa pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan lamanya masa inkubasi, dan
sifat sub klinis penyakit serta sifat pembawa dari suatu jenis media pembawa.
(5)
Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan :
a. untuk pemasukan dari luar negeri dilakukan di instalasi
karantina atau pada tempat atau area pemasukan;
b. untuk pengangkutan antar area, diutamakan pada area
pengeluaran; atau
c. untuk pengeluaran ke luar negeri pengamatan disesuaikan
dengan permintaan negara tujuan.
(6) Penyakit-penyakit yang belum diketahui masa inkubasi,
sifat hama penyakit dan cara penularannya, belum
pernah ada, atau sudah bebas di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia, masa
pengamatannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
merupakan tindakan untuk membebaskan dan menyucihamakan media pembawa dari hama penyakit hewan
karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
sekurang-kurangnya hanya dapat dilakukan setelah media pembawa terlebih dahulu
diperiksa secara fisik dan dinilai tidak mengganggu proses pengamatan dan
pemeriksaan selanjutnya.
Pasal 13
(1)
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan karantina
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal
7, atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Menteri lain yang terkait pada
waktu pemasukan, transit, atau pengeluaran di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
(2)
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik terhadap media
pembawa dan diduga tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3)
Selama masa penahanan dapat lakukan tindakan karantina
lain yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hama penyakit hewan karantina dan penyakit
hewan lainnya dan atau mencegah kemungkinan penularannya, menurut pertimbangan
dokter hewan karantina.
Pasal 14
(1) Penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media
pembawa yang dimasukkan ke dalam atau
dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia,
apabila ternyata :
a. setelah
dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang
pemasukannya;
b. persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan
Pasal 7 tidak seluruhnya dipenuhi;
c. setelah
dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam
batas waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
d. setelah
diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan dan atau
disucihamakan dari hama
penyakit hewan karantina.
(2) Penolakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa
yang transit dan akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar
wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Penolakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh atau
berkoordinasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau
pengeluaran segera setelah memperoleh saran dari dokter hewan karantina.
(4) Jika
penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditetapkan batas waktunya
secara khusus, maka penolakannya dilakukan pada kesempatan pertama.
Pasal 15
(1) Pemusnahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia
dan atau dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia,
apabila ternyata:
a. setelah
media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan,
tertular hama
penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan
jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. media
pembawa yang ditolak tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia
atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang ditetapkan;
c. setelah
dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri; atau
d. setelah
media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan, tidak
dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama peyakit hewan karantina.
(2) Pemusnahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa
yang diturunkan pada waktu transit atau akan dikeluarkan dari satu area ke area
lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pemusnahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus disaksikan oleh petugas
kepolisian dan petugas instansi lain
yang terkait.
(4) Pemusnahan
media pembawa yang dilakukan di luar instalasi karantina tempat pemasukan dan
atau tempat pengeluaran, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
Pemerintah Daerah setempat.
Pasal
16
(1)
Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan apabila ternyata
:
a.
setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan
karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak
tertular hama
penyakit hewan karantina;
c.
setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan
karantina; atau
d.
setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang
diwajibkan dapat dipenuhi.
(2)
Pemberian sertifikat
pelepasan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan kepada dokter hewan yang berwenang di daerah
tujuan.
(3)
Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan terhadap media pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam atau
dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia,
dan diberikan sertifikat kesehatan apabila ternyata :
a.
setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan
karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak
tertular hama
penyakit hewan karantina;
c.
setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan
karantina; atau
d.
setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang
diwajibkan dapat dipenuhi.
(4)
Pemberian sertifikat kesehatan terhadap media pembawa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditujukan kepada petugas karantina di
tempat pemasukan di negara atau area tujuan.
(5)
Sertifikat pelepasan dan sertifikat kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), diterbitkan oleh dokter hewan
karantina dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam dari saat
pembebasan.
(6)
Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
merupakan tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan.
Pasal
17
(1)
Dalam melaksanakan tindakan karantina, dokter hewan
karantina dapat dibantu oleh atau dapat menugaskan kepada paramedik karantina.
(2)
Wewenang dan tanggung jawab tindakan karantina berada
pada dokter hewan karantina.
(3)
Pelaksanaan tindakan karantina oleh dokter hewan
karantina harus berdasarkan tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan.
(4)
Paramedik karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada dokter hewan karantina.
Bagian
Kedua
Pemasukan
Pasal
18
Rencana pemasukan
media pembawa oleh pemilik disampaikan kepada petugas karantina.
Pasal
19
(1) Media pembawa
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dari luar negeri
atau ke dalam suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, harus diperiksa
kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina serta kesehatannya
oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum diturunkan atau
melewati tempat pemasukan.
(2) Jika
pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
di atas alat angkut, pemeriksaan dapat dilakukan setelah media pembawa
diturunkan atau melewati tempat pemasukan dengan ketentuan pemeriksaan
pendahuluan telah selesai dilakukan, kecuali untuk hewan yang berstatus sebagai
barang muatan.
(3) Khusus untuk
media pembawa yang dibawa oleh penumpang, pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilakukan setelah diturunkan dari alat angkut atau
melewati tempat pemasukan.
Pasal 20
Selain persyaratan dokumen
karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b, Pasal 3 huruf a dan
b, serta Pasal 7, pemasukan media
pembawa harus dilengkapi :
a. keterangan
mutasi muatan untuk hewan,
keterangan tidak terjadi kontaminasi
selama dalam perjalanan atau catatan
suhu untuk bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang
dipersyaratkan diangkut dalam suhu tertentu dari penanggung jawab
alat angkut; dan atau
b.
dokumen lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 21
(1)
Jika pemasukan media pembawa tidak disertai sertifikat
kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a dan b serta Pasal 3 huruf a dan b, maka media pembawa
tersebut ditolak pemasukannya.
(2)
Media pembawa yang ditolak pemasukannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan penahan, apabila :
a.
pemiliknya menjamin sertifikat kesehatan hewan,
sertifikat sanitasi, atau surat
keterangan asal, dapat ditunjukkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;
b.
media pembawa tersebut bukan berasal dari negara, area,
atau tempat yang pemasukannya dilarang; dan
c.
pada pemeriksaan di atas alat angkut menurut
pertimbangan dokter hewan tidak ditemukan adanya gejala hama
penyakit hewan karantina golongan I dan risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II.
(3)
Jika pemilik tidak dapat menunjukkan sertifikat kesehatan
hewan, sertifikat sanitasi, atau surat
keterangan asal dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,
maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4)
Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud
dalam (1) dan ayat (3), tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara
Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) jam, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 22
(1)
Jika pemasukan media pembawa tidak dilengkapi dengan surat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, maka dilakukan penahanan dengan
ketentuan :
a.
untuk hewan apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga
sebagai akibat dari penularan hama
penyakit hewan karantina golongan I; atau
b.
untuk bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan
benda lain apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari
sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat,
terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
(2)
Tindakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus dilanjutkan dengan tindakan pengasingan, pengamatan dan pemeriksaan yang
lebih intensif, disamping persyaratan teknis yang ditetapkan.
(3)
Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4)
Lamanya penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tergantung dari lamanya waktu pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(5)
Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik
Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu paling lama
24 (dua puluh empat) jam bagi hewan, dan 3 (tiga) hari bagi bahan asal hewan
atau hasil bahan asal hewan, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 23
(1)
Jika pemasukan media pembawa tidak memenuhi kewajiban
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dan dokumen lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, maka dilakukan penahanan dan pemiliknya diberikan
waktu untuk melengkapinya paling lama 7 (tujuh) hari.
(2)
Selama masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dapat dilakukan tindakan karantina lain sesuai dengan persyaratan teknis
yang ditetapkan.
(3)
Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
Pasal 24
Dalam hal pemilik tidak dapat menyediakan alat angkut
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 22
ayat (5), Menteri dapat memberikan perpanjangan waktu dengan mempertimbangkan
tingkat risiko masuk dan menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
Pasal 25
(1)
Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas
alat angkut perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan
sebelum alat angkut yang bersangkutan sandar.
(2)
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama
penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana
pemasukan hewan tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan
mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I,
maka :
a.
dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua
hewan yang rentan terhadap hama
penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang
diturunkan, sedangkan alat angkut perairan yang bersangkutan harus segera
meninggalkan pelabuhan;
b.
dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah
negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan
karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut dan segera dimusnahkan pada
perairan yang dianggap aman oleh dokter hewan karantina atau dilakukan tindakan
sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku: atau
c.
hmdalam hal ditemukan adanya gejala hama
penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan
karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada
hewan yang tertular saja.
(3)
Terhadap alat angkut perairan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a.
disucihamakan sebelum sandar kembali; dan
b.
orang, bahan atau peralatan dan muatan lain yang
pernah berhubungan dengan hewan tersebut, diberikan perlakuan dan atau tindakan
karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 26
(1)
Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas
alat angkut udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan
segera setelah alat angkut yang bersangkutan mendarat.
(2)
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal
dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang;
berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit
hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat
dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a.
dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua
hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak
pemasukannya dan dilarang diturunkan, dan alat angkut udara yang bersangkutan
harus segera meninggalkan bandar udara atau apabila tidak memungkinkan, maka
dilakukan pengamatan sampai alat angkut udara tersebut meninggalkan bandar
udara;
b.
dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah
negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan
karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut udara dan dibawa ke tempat yang
diangap aman dalam wilayah bandar udara untuk dimusnahkan atau dilakukan
tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang
berlaku; atau
c.
dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit
hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina
tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b,
dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang
tertular saja.
(3)
Terhadap alat angkut udara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a.
disucihamakan sebelum diberangkatkan kembali;
dan
b.
orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya
yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut, diberikan perlakuan dan atau
tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 27
(1)
Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas
alat angkut darat dan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),
dilakukan segera setelah alat angkut yang bersangkutan tiba di tempat
pemasukan.
(2)
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal
dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang;
berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit
hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat
dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a.
dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua
hewan yang rentan terhadap hama
penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang
diturunkan, sedangkan alat angkut darat dan kereta api yang bersangkutan harus
segera kembali meninggalkan tempat pemasukan;
b.
dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah
negara Republik Indonesia,
semua hewan yang rentan terhadap hama
penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut darat dan kereta
api untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian
penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c.
dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit
hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina
tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat
dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang
tertular saja.
(3)
Terhadap alat angkut darat dan kereta api
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai
berikut :
a.
disucihamakan sebelum masuk kembali atau
melanjutkan perjalanan; dan
b.
orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya
yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau
tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 28
(1)
Jika dalam pemeriksaan di atas alat angkut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1)
tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I dan
risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II; tidak terdapat
hewan yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan
tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina
golongan I; atau tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari
penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka setelah dibersihkan
dari ektoparasit, hewan tersebut :
a.
diangkut langsung ke instalasi karantina apabila harus
menjalani tindakan karantina secara intensif;
b.
diangkut langsung ke rumah pemotongan apabila untuk
disembelih sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
c. dibebaskan dengan memberikan persyaratan untuk
menjalani tindakan pengasingan, pengamatan, dan atau perlakuan di tempat
pemilik, apabila tindakan tersebut tidak diharuskan secara intensif, sepanjang
sehat, tidak menunjukkan gejala hama
penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
atau
d. dibebaskan tanpa persyaratan setelah memenuhi kewajiban
lain yang ditetapkan sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan
karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Pengangkutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a dan b, dilaksanakan di bawah pengawasan petugas karantina.
Pasal 29
(1)
Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a dan c, dapat dilanjutkan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama
penyakit hewan karantina.
(2)
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya hama
penyakit hewan karantina golongan I, maka semua hewan yang rentan dan bahan
atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
(3)
Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin
dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan
penyucihamaan.
(4)
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina
golongan II, maka hewan yang sakit diasingkan, yang mati dimusnahkan dan masa
karantinanya diperpanjang sampai dinilai aman dan tidak lagi berpotensi membawa
dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, dengan ketentuan :
a.
semua jenis hewan yang rentan terhadap penyakit
tersebut diberikan perlakuan;
b.
jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan
yang rentan atau terbatas pada yang sakit dan tertular, harus dilakukan
pemusnahan; atau
c.
tindakan karantina terhadap hewan yang dimasukkan dari
area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam huruf b, dapat disesuaikan dengan pedoman pengendalian penyakit hewan
menular yang berlaku.
(5)
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan gejala penyakit hewan yang bersifat
individual, dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka
:
a.
pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain memberikan
pengobatan atau perlakuan lain: dan
b.
semua kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
harus diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
(6)
Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak
tertular dan bebas dari gejala hama
penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat
pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal
30
(1)
Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan benda lain di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1), dilakukan setelah alat angkut sandar, mendarat, atau tiba di
tempat pemasukan.
(2)
Jika pemeriksaan kesehatan di atas alat angkut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan
setelah diturunkan di tempat pemasukan atau pada instalasi karantina, setelah
dinilai aman dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3)
Jika dalam pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan
dan benda lain :
a.
yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana
pemasukannya dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang
berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media
pembawa tersebut; atau produknya termasuk yang pemasukannya dilarang, maka
ditolak pemasukannya; atau
b.
yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh,
terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan
atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil atau tidak mungkin
dilakukan, maka ditolak pemasukannya.
(4)
Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf a dan huruf b, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain tersebut dimusnahkan.
(5)
Bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain
yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b,
maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi
kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal
31
Jika dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) ditemukan
bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a.
yang bukan berasal dari negara, area, atau tempat dari
mana pemasukannya dilarang; bukan berasal dari negara, area, atau tempat di
mana sedang berjangkit hama
penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut;
produknya bukan termasuk yang pemasukannya dilarang; dan
b.
yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi
perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan
hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat
pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak
memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal
32
(1)
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dan ayat (2), memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) dan atau tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, maka dilakukan penahanan di tempat pemasukan atau di
instalasi karantina.
(2)
Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditemukan hama
penyakit yang membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan
pemusnahan.
(3)
Jika persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 tidak dapat dipenuhi, maka dilakukan penolakan.
(4)
Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), tidak ditemukan hama
penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka
dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi
kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal
33
(1)
Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta
muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media
pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(3) dan ayat (4), serta Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3), juga diberikan perlakuan
dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama
penyakit hewan karantina.
(2)
Tindakan perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan
dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), ayat (4) dan ayat
(5), Pasal 31, dan Pasal 32 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat
dilakukan terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang dimasukkan.
Bagian
Ketiga
Transit
Pasal
34
(1)
Untuk mencegah masuknya hama
penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah Republik Indonesia
melalui transit alat angkut yang membawa hewan dari luar negeri, transit hanya
dapat disetujui pada tempat-tempat yang telah ditetapkan.
(2)
Persetujuan transit pada tempat-tempat transit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3)
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di negara asal
dan atau di tempat-tempat transit sebelumnya dan kemungkinan penularannya
melalui jenis hewan tersebut.
(4)
Media pembawa yang transit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), harus memenuhi ketentuan :
a.
dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dan harus selalu
berada di bawah pengawasan dokter hewan karantina selama transit;
b.
dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dokter hewan karantina harus melakukan pemeriksaan secara umum di atas
alat angkut;
c.
jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b, ditemukan adanya gejala hama
penyakit hewan karantina golongan I atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka alat angkut yang bersangkutan diperintahkan
segera meninggalkan tempat transit oleh penanggung jawab tempat transit atas
saran dokter hewan karantina;
d.
hewan dan pemeliharanya dilarang turun selama transit,
kecuali untuk keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain atas persetujuan
dokter hewan karantina;
e.
dalam hal hewan terlanjur diturunkan atau diturunkan untuk
keperluan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, maka :
1)
jika memperlihatkan gejala hama penyakit hewan karantina golongan I,
maka hewan tersebut harus segera dimusnahkan dan alat angkutnya disucihamakan;
atau
2)
jika memperlihatkan gejala hama
penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan tersebut diperintahkan untuk
segera meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia oleh penanggung jawab
tempat transit atas saran dokter hewan karantina
f. bahan atu peralatan yang pernah berhubungan dengan
hewan, sisa pakan, kotoran dan lain-lain yang diduga berpotensi membawa dan
menyebarkan hama
penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
g. terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf f yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan
penyucihamaan.
(5) Pemindahan hewan transit ke tempat pengeluaran di luar
tempat transit harus mendapat persetujuan Menteri dengan pengawalan petugas
karantina.
(6)
Dalam hal ditemukan hama penyakit hewan karantina dan tindakan
karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c dan huruf
e, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara
tujuan.
Pasal
35
(1)
Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina
dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit
alat angkut yang membawa bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau
benda lain dari luar negeri, transit hanya dapat dilakukan pada tempat-tempat
yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan :
a. dilengkapi sertifikat sanitasi atau surat keterangan asal, harus tetap dijaga
keutuhannya dan di bawah pengawasan petugas karantina selama transit;
b. dilarang diturunkan selama transit, kecuali untuk
keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain dan dilakukan secara utuh atas
persetujuan dokter hewan karantina;
c.
dalam hal terlanjur diturunkan dari alat angkut dan
dari hasil pemeriksaan ternyata sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh,
terjadi perubahan sifat, terkontaminasi atau membahayakan kesehatan hewan dan
atau manusia, maka diperintahkan segera dimuat kembali ke alat angkut oleh
dokter hewan karantina;
d.
bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan
bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang diduga berpotensi
membawa dan menyebarkan hama
penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
e.
terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf d yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan
penyucihamaan; dan
f.
pemindahan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan
atau benda lain transit ke tempat pengeluaran di luar tempat transit harus
mendapat persetujuan dokter hewan karantina dengan pengawalan petugas
karantina.
(2)
Dalam hal sanitasi yang tidak memenuhi persyaratan dan
tindakan karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c,
harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara
tujuan.
Pasal
36
(1) Untuk
menjamin terisolasinya media pembawa yang sedang ditransitkan, penanggung jawab
tempat transit dapat menetapkan lokasi dan menyediakan fasilitas bagi keperluan
transit media pembawa yang berasal dari luar negeri dan akan dimuat ke alat angkut
lain atas persetujuan dokter hewan karantina.
(2) Jika
dalam lalu lintas internasional dipersyaratkan penyediaan fasilitas lokasi
transit langsung, maka dalam memenuhi persyaratan tersebut penanggung jawab
tempat transit mempertimbangkan saran dokter hewan karantina yang bertujuan
mencegah penularan hama
penyakit hewan karantina terutama yang ditularkan melalui serangga.
Pasal
37
(1)
Jika negara tujuan mempersyaratkan surat
keterangan transit, dokter hewan karantina dapat memberikan surat keterangan transit dimaksud.
(2) Surat keterangan transit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya menerangkan status
kesehatan atau sanitasi media pembawa, tindakan karantina dan pengamanan yang
pernah dilakukan selama tansit di wilayah negara Republik Indonesia dan
keterangan lain yang diperlukan oleh negara tujuan.
Pasal
38
(1)
Untuk mencegah penyebaran hama
penyakit hewan karantina melalui transit alat angkut yang membawa media pembawa
dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, transit hanya dapat
dilakukan pada tempat-tempat atau area-area yang telah ditetapkan.
(2)
Tempat-tempat transit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan area-area yang dilarang transit, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3)
Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan peta situasi hama penyakit hewan karantina, jalur
perjalanan, analisis risiko dan kesiapan petugas serta sarana dan prasarana
yang ada.
(4)
Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penanggung jawab tempat transit menolak
alat angkut tersebut melakukan transit atas saran dokter hewan karantina.
(5)
Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di tempat pengeluaran pada area terlarang
transit atau di tempat pemasukan area tujuan, maka dilakukan penahanan dan
ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangan yang yang berlaku.
Bagian
Keempat
Pengeluaran
Pasal
39
Rencana
pengeluaran media pembawa disampaikan oleh pemilik kepada petugas karantina.
Pasal
40
1.
Media pembawa yang dikeluarkan dari wilayah negara
Republik Indonesia ke luar negeri atau dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal
4, harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina
serta kesehatannya oleh dokter hewan
karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebelum
dimuat ke alat angkut yang mengangkutnya dari tempat pengeluaran.
2.
Jika media pembawa harus menjalani tindakan karantina
secara intensif maka pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan di instalasi karantina.
Pasal
41
1.
Media pembawa yang dikeluarkan dari area asal ke tempat
pengeluaran harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat
sanitasi atau surat
keterangan asal dan dokumen lain.
2.
Sertifikat kesehatan atau sertifikat sanitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain diterbitkan oleh dokter hewan yang
berwenang juga dapat diterbitkan oleh dokter hewan yang ditunjuk Menteri
setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi.
3.
Dalam penunjukan dokter hewan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di area atau
tempat asal, metode pengamanan penyakit, teknologi budidaya, penangkaran, atau
pengolahan produk sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
4.
Hewan kesayangan yang secara rutin kesehatannya diawasi
oleh dokter hewan atau kelompok dokter hewan, sertifikat kesehatan hewan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan oleh dokter hewan atau
kelompok dokter hewan yang bersangkutan.
Pasal
42
1.
Jika pengeluaran media pembawa tidak disertai
sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), maka ditolak penggeluarannya dan
diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2.
Hewan kesayangan, bahan asal hewan atau hasil bahan
asal hewan bukan untuk konsumsi manusia yang akan dibawa oleh penumpang, dapat
diberikan sertifikat kesehatan atau sertifikat sanitasi setelah terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan karantina di tempat
pengeluaran, dengan ketentuan :
a.
Bukan berasal dari area atau tempat dari mana
pengeluarannya dilarang atau dari daerah di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan
karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; atau
b.
Tidak termasuk yang pengeluarannya dilarang.
Pasal
43
Jika pengeluaran
media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), maka :
a.
Yang pengeluarannya dilarang, dilakukan penahanan dan
ditindaklanjuti sesuai peraturan-perundangan yang berlaku;
b.
Yang belum memenuhi persyaratan administrasi, ditolak
pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya; atau
c.
Yang belum memenuhi persyaratan teknis, ditolak
pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dimasukkan ke
instalasi karantina untuk memenuhi persyaratan teknis.
Pasal
44
1.
Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di tempat
pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan segera setelah diserahkan oleh
pemiliknya.
2.
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan
karantina, berasal dari area atau tempat dari mana pengeluaran hewan tersebut
dilarang, atau berasal dari area di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka :
a.
Semua jenis hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan
karantina tersebut, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada
pemiliknya atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit
hewan menular yang berlaku.
b.
Alat angkut yang membawa hewan tersebut dari tempat
asalnya harus disucihamakan di tempat pengeluaran atau instalasi karantina;
atau
c.
Terhadap orang, bahan atau peralatan dan muatan lain
yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau
tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal
45
Jika dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) tidak ditemukan adanya
gejala hama penyakit hewan karantina, tidak berasal dari area atau tempat dari
mana pengeluaran hewan tersebut dilarang, atau tidak berasal dari area atau
tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka :
a.
Dimasukkan langsung ke instalasi karantina apabila
harus menjalani tindakan karantina secara intensif; atau
b.
Dibebaskan dan diberikan sertifikat kesehatan apabila tidak
diharuskan menjalani tindakan karantina secara intensif sepanjang sehat, tidak
menunjukkan gejala hama
penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peratuan perundangan yang berlaku.
Pasal
46
1.
Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, dapat dilanjutkan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina.
2.
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I,
maka semua hewan yang rentan dan bahan atau peralatan yang pernah berhubungan
dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
3.
Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin
dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan
penyucihamaan.
4.
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina
golongan II, maka hewan yang mati dimusnahkan, yang sakit diasingkan dan masa
karantinanya diperpanjang atau ditunda pemberangkatannya sampai dinilai aman
dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina,
dengan ketentuan :
a.
Terhadap semua jenis hewan yang rentan terhadap
penyakit tersebut diberikan perlakuan; atau
b.
Jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak
berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan
yang rentan atau terbatas pada yang tertular, harus dilakukan pemusnahan atau
dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular
yang berlaku.
5.
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan yang bersifat individual
dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka :
a.
Pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain untuk
memberikan pengobatan atau perlakuan lain; dan
b.
Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus
diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
6.
Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak
tertular dan bebas dari gejala hama
penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat
kesehatan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal
47
1.
Dalam melakukan pembebasan terhadap hewan, dokter hewan
karantina selain telah mendeteksi bebas hama
penyakit hewan karantina, juga harus mempertimbangkan kelayakan kondisi fisik
untuk diberangkatkan sebelum dimuat ke alat angkut.
2.
Dokter hewan karantina wajib menolak pemberangkatan
hewan apabila kondisi fisik tidak layak diberangkatkan.
3.
Pelaksanaan pengangkutan hewan dari instalasi karantina
ke alat angkut harus dilakukan secara langsung dibawah pengawasan petugas
karantina.
Pasal
48
1.
Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan benda lain di tempat pengeluaran, instalasi karantina,
atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2),
dilakukan segera setelah bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda
lain tersebut diserahkan oleh pemiliknya.
2.
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditemukan bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan benda lain :
a.
Yang berasal dari area atau tempat dari mana dilarang
pengeluarannya, berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama
penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut,
atau produknya termasuk yang pengeluarannya dilarang, maka ditolak
pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dilakukan tindakan
sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
b.
Yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh,
terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan
atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil, tidak dapat,
atau tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan pemusnahan di tempat pengeluaran,
di instalasi karantina, atau di tempat asal.
3.
Terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan
benda lain yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf b, dapat dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi
setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan
pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal
49
Jika dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) ditemukan bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a.
Yang bukan berasal dari area atau tempat dari mana
dilarang pengeluarannya, bukan berasal dari area atau tempat di mana sedang
berjangkit hama
penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut,
produknya bukan termasuk yang pengeluarannya dilarang; dan
b.
Yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi
perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan hewan
dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi
setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan
pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal
50
1.
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ayat (1) memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4), belum memenuhi persyaratan teknis, dan atau belum memenuhi
persyaratan negara tujuan, maka dapat dilakukan penahanan di tempat asal, di
instalasi karantina, atau di tempat pengeluaran.
2.
Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditemukan hama
penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau kesehatan manusia,
maka dilakukan pemusnahan.
3.
Jika persyaratan teknis dan persyaratan negara tujuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka ditolak
pengeluarannya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Pasal
51
1.
Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta
muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media
pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat
(2) dan Pasal 50 ayat (2), juga diberikan perlakuan yang bertujuan untuk
mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
2.
Tindakan perlakuan, penahanan, pemusnahan, penolakan
dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
49, serta Pasal 50 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilakukan
terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang akan dikirim.
Bagian Kelima
Tindakan Karantina
terhadap Alat Angkut
Pasal 52
1.
Dalam pelaksanaan tindakan karantina, penanggung
jawab alat angkut wajib memberitahukan kedatangan alat angkut kepada
petugas karantina di tempat pemasukan, dengan ketentuan :
a.
untuk alat angkut perairan, paling singkat 12 (dua
belas) jam sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan.
b.
untuk alat angkut udara, paling singkat 2 (dua) jam
sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan; atau
c.
untuk alat angkut darat dan kereta api yang
secara khusus digunakan mengangkut media pembawa, pada saat
alat angkut tiba di tempat pemasukan.
2.
Pada saat alat angkut sebagaimana dalam ayat (1) tiba
di tempat pemasukan, penanggung jawab alat angkut harus menyampaikan
keterangan muatan dan jalur yang dilalui kepada petugas karantina di tempat
pemasukan.
Pasal 53
1.
Jika laporan penanggung jawab alat angkut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), dan atau dari hasil pemeriksaan
alat angkut tersebut diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit
hewan karantina, maka petugas karantina dapat melakukan tindakan karantina.
2.
Tindakan perlakuan terhadap alat angkut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), juga dikenakan terhadap penumpang dan muatan lainnya.
3.
Tata cara perlakuan terhadap alat angkut, penumpang dan
muatan lainnya, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 54
1.
Penanggung jawab alat angkut yang akan memuat
media pembawa, harus terlebih dahulu memeriksa telah dipenuhinya
ketentuan dan persyaratan karantina media pembawa tersebut.
2.
Penanggung jawab alat angkut dilarang mengangkut
media pembawa yang belum memenuhi ketentuan dan
persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
1.
Untuk mencegah terjadinya rudapaksa, stres dan
terganggunya kesejahteraan hewan , kerusakan dan pencemaran pada bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain; dan atau penularan hama penyakit hewan
karantina sebagai akibat pengangkutan, diperlukan persyaratan teknis alat
angkut dan keamanan media pembawa.
2.
Petugas karantina wajib melakukan pemeriksaan kelayakan
alat angkut dan kemasan media pembawa sesuai persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), sebelum dimuat di tempat pengeluaran.
3.
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditemukan alat angkut dan atau kemasan media pembawa yang tidak memenuhi
persyaraan teknis, maka pemuatan media pembawa harus dibatalkan atau ditunda
sampai dengan persyaratan teknisnya dipenuhi.
4.
Persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media
pembawa, ditetapkan dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
Bagian Keenam
Tindakan Karantina terhadap Media Pembawa Lain
Pasal 56
1.
Media pembawa lain berupa sampah, sisa makanan
penumpang, kotoran, sisa pakan dan bangkai hewan serta barang atau bahan
yang pernah berhubungan dengan hewan yang diturunkan dari alat angkut di tempat
pemasukan atau tempat transit, harus dimusnahkan oleh penanggung jawab alat
angkut di bawah pengawasan petugas karantina.
2.
Media pembawa lain berupa sisa makanan atau produk yang
tidak memenuhi persyaratan karantina yang terlanjur dibawa oleh penumpang ke
tempat pemasukan, harus dibuang pada kotak sampah karantina.
3.
Pemusnahan sampah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), harus dilakukan di dalam wilayah tempat pemasukan.
4.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan melalui koordinasi dan bantuan
penanggung jawab tempat pemasukan.
5.
Media pembawa lain berupa peralatan bekas dan peralatan
orang yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, diberikan
perlakuan.
Bagian Ketujuh
Tindakan Karantina di Luar Tempat
Pemasukan dan
Pengeluaran
Pasal 57
1.
Untuk memberikan kemudahan pelayanan dan kelancaran
arus barang di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, maka tindakan karantina
dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan atau di luar tempat pengeluaran
maupun di luar instalasi karantina, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
karantina hewan dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
2.
Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat diperhitungkan sebagai bagian dari proses pelaksanaan tindakan karantina
di instalasi karantina, tempat pemasukan, atau tempat pengeluaran berdasarkan
analisis risiko hama
penyakit hewan karantina.
Pasal 58
1.
Dalam hal pemasukan, pelaksanaan tindakan karantina
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di negara, area,
atau tempat asal, di negara atau area transit, di atas alat angkut media
pembawa selama dalam perjalanan menuju ke tempat pemasukan atau area tujuan,
dan atau di tempat tujuan.
2.
Dalam hal pengeluaran, pelaksanaan tindakan karantina
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di area atau
tempat asal, dan atau di atas alat angkut media pembawa selama dalam perjalanan
menuju ke tempat pengeluaran.
3.
Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri atau menurut
persyaratan teknis yang ditetapkan.
4.
Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dapat dilakukan atas dasar pertimbangan dokter hewan karantina
sepanjang area atau tempat asal telah dinyatakan bebas dari hama penyakit hewan karantina yang dapat
ditularkan melalui media pembawa tersebut.
Pasal 59
1.
Tindakan karantina terhadap hewan bibit, bahan biologik
reproduksi dan hewan hasil penangkaran dapat diberikan kemudahan di tempat
pemasukan dan atau pengeluaran, melalui penilaian status kesehatan dan situasi hama penyakit hewan
karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
2.
Tindakan karantina terhadap bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan benda lain dapat diberikan kemudahan di tempat pemasukan
dan atau pengeluaran, melalui penilaian status sanitasi dan situasi hama penyakit hewan
karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
3.
Tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 60
1.
Untuk mendukung pelaksanaan tindakan karantina di luar
tempat pemasukan, di luar tempat pengeluaran dan atau di luar instalasi
karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59, maka pihak lain dapat membantu pelaksanaan tindakan
karantina.
2.
Pelaksanaan tindakan karantina oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilaporkan kepada dokter hewan karantina.
3.
Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan
peundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan kewenangan profesi dokter
hewan.
Pasal 61
1.
Untuk mencegah masuknya hama
penyakit hewan karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, penilaian status atau situasi hama penyakit hewan
karantina dan atau pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis dapat
dilakukan di negara asal atau transit yang memiliki risiko tinggi.
2.
Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit
harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
3.
Tata cara pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
1.
Penilaian terhadap status atau situasi hama
penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan
persyaratan teknis di seluruh atau sebagian wilayah negara Republik Indonesia, dapat dilakukan oleh pejabat dari
negara tujuan untuk memenuhi persyaratan teknis dan analisis risiko terhadap
terbawanya hama
penyakit hewan karantina.
2.
Pejabat dari negara tujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), harus memberitahukan Menteri sebelum melakukan penilaian.
Bagian Kedelapan
Tindakan karantina
terhadap
Pengiriman melalui
Pos
Pasal 63
1.
Pengiriman media pembawa melalui pos atau usaha jasa
titipan harus mencantumkan secara jelas jumlah, jenis, atau nama media pembawa
serta negara atau area asal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
2.
Tata cara pengiriman media pembawa melalui pos dan
usaha titipan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab
di bidang pos.
Bagian Kesembilan
Tindakan Karantina
dalam
Keadaan Darurat
Pasal 64
1.
Jika alat angkut perairan, udara, atau darat dan kereta
api yang memuat media pembawa karena keadaan darurat sandar atau mendarat atau
berhenti di tempat-tempat yang tidak ditetapkan sebagai tempat pemasukan atau
pengeluaran, maka penanggung jawab alat angkut atau orang yang mengetahui
peristiwa tersebut harus melaporkan dengan segera kepada petugas karantina,
dokter hewan atau pejabat pemerintah terdekat.
2.
Dokter hewan atau pejabat Pemerintah yang menerima
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus segera melaporkannya kepada
petugas karantina terdekat.
3.
Media, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah
berhubungan dengan media pembawa tersebut, dilarang diturunkan dari alat angkut
sebelum diizinkan oleh petugas karantina, kecuali karena alasan-alasan yang
terpaksa.
4.
Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan
tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
5.
Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan
tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang transit.
Bagian Kesepuluh
Tindakan Karantina
terhadap
Penolakan Negara
Tujuan
Pasal 65
1.
Pemasukan kembali media pembawa yang ditolak di luar
negeri karena tidak memenuhi persyaratan karantina, persyaratan yang ditetapkan
oleh negara tujuan, penularan hama
penyakit hewan karantina dan atau alasan lain, dilakukan tindakan karantina
sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
2.
Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus disertai surat
keteranagan penolakan dari negara tujuan yang menerangkan alasan penolakan.
3.
Sertifikat kesehatan yang menyertai media pembawa pada
waktu pengeluaran dapat dipergunakan lagi sebagai persyaratan karantina.
4.
Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) karena alasan tidak memenuhi persyaratan karantina pada waktu
pengeluaran, dimusnahkan di tempat pemasukan atau instalasi karantina.
5.
Menteri dapat mempertimbangkan tindakan pemusnahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), apabila media pembawa termasuk yang
dilindungi Undang-undang.
Bagian Kesebelas
Tindakan Karantina terhadap Barang yang Ditahan
Pasal 66
1.
Petugas karantina hewan berwenang melaksanakan tindakan
karantina terhadap media pembawa yang berstatus sebagai barang yang ditahan
atau barang bukti dalam suatu perkara peradilan, sebelum diserahkan kepada
pejabat atau instansi yang berwenang untuk mencegah menyebarnya hama penyakit hewan
karantina.
2.
Dalam hal tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berupa tindakan pemusnahan, maka berita acara pemusnahan dapat
dijadikan sebagai barang bukti oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
Pasal 67
1.
Petugas karantina juga berwenang melaksanakan tindakan
karantina terhadap media pembawa yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai,
yang dikuasai negara dan yang menjadi milik negara, mengingat media pembawa
termasuk jenis barang barang yang sifatnya tidak tahan lama, mudah rusak, atau
mudah busuk serta dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
2.
Dalam hal media pembawa telah menjadi milik negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pertimbangan dokter hewan karantina
disampaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 68
1.
Petugas karantina dapat mengunci, menyegel dan atau
melekatkan tanda pengaman terhadap media pembawa untuk menghindari perbuatan
yang dapat mempersulit atau menghambat proses pelaksanaan tindakan karantina.
2.
Dilarang membuka, melepas, atau merusak kunci, segel
atau tanda pengaman yang telah terpasang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebelum selesai proses tindakan karantina, tanpa persetujuan dokter hewan
karantina.
Bagian Kedua Belas
Tindakan Karantina
terhadap Barang Penumpang
Pasal 69
1.
Media pembawa dari negara, area, atau tempat yang tidak
terlarang, dapat dibawa sebagai barang bawaan untuk dipergunakan sendiri.
2.
Media pembawa yang dibawa sebagai barang bawaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan pembebasan karantina
setelah melalui pemeriksaan kesehatan dan mempertimbangkan risiko penyebaran hama penyakit hewan
karantina menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Ketentuan mengenai jumlah, jenis, dan tata cara
pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Bagian Ketiga Belas
Tindakan Karantina
Khusus
Pasal 70
Ketentuan-ketentuan dalam Peratuan Pemerintah ini berlaku
bagi pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa yang dibawa atau
dikirim sebagai barang diplomatik.
Pasal 71
1. Hewan organik dapat
dikecualikan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini, sepanjang mengikuti
persyaratan :
a. Pengiriman hewan organik untuk keperluan tugas dari
suatu area ke area lain di dalam wilayah Republik Indonesia, harus dikonsultasikan
dengan dokter hewan karantina.
b. Hewan organik sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dilarang dikembangbiakkan selama bertugas di luar kesatuan atau tempat asalnya;
dan
c. Pengiriman hewan organik untuk keperluan perpindahan
kesatuan atau untuk dikembangbiakkan, hanya dapat dilakukan ke area yang tidak
terlarang bagi pemasukan jenis hewan tersebut.
2.
Tata cara tindakan karantina khusus bagi hewan organik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
BAB IV
PUNGUTAN JASA
KARANTINA
Pasal 72
1.
Pungutan jasa karantina terdiri atas biaya penggunaan
sarana atau prasarana milik pemerintah dan biaya jasa pelaksanaan tindakan
karantina terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, benda lain,
media pembawa lain dan alat angkut.
2.
Penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), merupakan pendapatan negara bukan pajak dan harus
disetor ke Kas Negara.
BAB V
KAWASAN KARANTINA
Pasal 73
1.
Penetapan area-area di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan berdasarkan status, situasi
dan epidemiologi hama
penyakit hewan karantina dengan memperhatikan sosioekonomi dan budaya
masyarakat setempat.
2.
Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dipergunakan sebagai dasar kebijaksanaan , pengaturan dan pengawasan lalu
lintas media pembawa.
3.
Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 74
1. Dalam
hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya suatu hama
penyakit hewan karantina di suatu lokasi yang semula diketahui bebas dari hama penyakit tersebut,
maka lokasi tersebut termasuk dalam pengertian atau merupakan salah satu dari
kategori penetapan daerah wabah penyakit hewan menular.
2. Dalam
hal timbulnya wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka area atau sebagian dari area sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat
(3) dapat dinyatakan untuk sementara
waktu sebagai kawasan karantina.
3. Pengaturan
mengenai pemasukan dan atau pengeluaran media pembawa dari dan ke daerah wabah,
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dipergunakan sebagai persyaratan teknis bagi pelaksanaan tindakan karantina.
4. Petugas
karantina di seluruh kawasan karantina wajib melakukan pengawasan maksimum di
setiap tempat pemasukan dan tempat pengeluaran serta berkoordinasi dengan
instansi yang bertanggung jawab menangani wabah penyakit hewan.
5. Untuk
mencegah meluasnya daerah wabah, kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
JENIS HAMA PENYAKIT HEWAN
KARANTINA
DAN MEDIA PEMBAWA
Bagian Pertama
Jenis Hama Penyakit Hewan
Karantina
Pasal 75
1.
Hama penyakit hewan
karantina digolongkan menjadi hama penyakit
hewan karantina golongan I dan hama penyakit
hewan karantina golongan II, berdasarkan daya epidemis dan patogenitas penyakit,
dampak sosioekonomi serta status dan situasinya di suatu area atau wilayah
negara Republik Indonesia.
2.
Penggolongan hama
penyakit hewan karantina golongan I dan golongan II sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) serta penetapan jenis hewan yang peka, cara penularan, masa inkubasi,
masa pengamatan, masa karantina, standarisasi pengujian dan perlakuan,
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 76
1. Kebijaksanaan karantina dan pembatasan lalu lintas
media pembawa diatur berdasarkan penggolongan hama
penyakit hewan karantina dan pemetaan hama
penyakit hewan karantina.
2. Pemetaan hama
penyakit hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menggambarkan
status suatu negara, area, atau tempat yang diperoleh melalui kegiatan
pengamatan.
3.
Kegiatan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), dapat dilakukan secara langsung di tempat pemasukan, transit, pengeluaran,
instalasi karantina, dan alat angkut atau secara tidak langsung di tempat
lainnya dengan melibatkan atau memperoleh informasi dari pihak yang berwenang
dalam kegiatan tersebut.
Bagian Kedua
Jenis Media
Pembawa
Pasal 77
1.
Media pembawa dapat digolongkan berdasarkan kerentanan,
cara penularan dan cara mendeteksi hama
penyakit hewan karantina.
2.
Penggolongan media pembawa untuk tindakan karantina
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 78
1.
Dilarang memasukkan atau mengeluarkan media pembawa
atau transit di negara atau area yang masih tertular hama
penyakit hewan karantina golongan I, dan atau sedang terjadi wabah hama penyakit hewan
karantina golongan II.
2.
Ketentuan larangan pemasukan, transit, atau pengeluaran
jenis media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
TEMPAT PEMASUKAN
DAN PENGELUARAN
Pasal 79
1.
Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media
pembawa di dalam wilayah negara Republik Indonesia
ditetapkan berdasarka status dan situasi hama
penyakit hewan karantina untuk tujuan impor, antar area, dan ekspor.
2.
Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media
pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan
Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang
perhubungan.
BAB VIII
INSTALASI
KARANTINA
Pasal 80
1. Untuk
mencegah masuk, tersebar, atau keluarnya hama
penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi
karantina di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sesuai
dengan persyaratan teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan karantina.
2. Penetapan
persyaratan teknis instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus memperhatikan risiko penyebaran hama
penyakit, kesejahteraan hewan atau keamanan produk, sosial budaya dan
lingkungan.
3. Penetapan
instalasi karantina di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), selain memperhatikan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), juga harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah
setempat.
4. Persyaratan
teknis karantina dan Instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 81
1.
Jika kapasitas instalasi karantina yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) tidak dapat menampung keseluruhan
media pembawa, dokter hewan karantina dapat menyetujui perluasan dan penambahan
sementara bangunan atau fasilitas yang tersedia atas beban pemilik media
pembawa.
2.
Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat
dilakukan di instalasi karantina pemerintah yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) karena kapasitasnya tidak mencukupi, sedang
dipergunakan atau tidak layak dipergunakan, maka Menteri dapat menunjuk
instalasi karantina pihak lain yang sifatnya sementara dan pemakaiannya hanya
satu kali atau beberapa kali untuk pengiriman bertahap.
3.
Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat
dilakukan karena fasilitas instalasi karantina pemerintah untuk jenis media
pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) belum tersedia, maka
Menteri dapat menunjuk instalasi karantina pihak lain yang sifatnya diakui
secara permanen selama masih memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 82
1.
Media pembawa yang berpotensi menularkan hama penyakit hewan
karantina dan mempunyai sifat penularan serta cara mendeteksinya memerlukan
masa pengamatan relatif lebih lama, dilakukan tindakan karantina di instalasi
karantina pasca masuk.
2.
Instalasi karantina pasca masuk dan pelaksanaan
tindakan karantinanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 83
1. Khusus bagi pelaksanaan tindakan karantina terhadap
satwa liar yang dipelihara atau ditangkarkan secara in situ dan eks
situ, tindakan karantina pasca masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
ayat (1), dilakukan secara rutin dan berkelanjutan pada wilayah tempat
pemeliharaan atau penangkarannya.
2.
Seluruh wilayah tempat pemeliharaan dan penangkaran
satwa liar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan sebagai instalasi
karantina pasca masuk permanen dengan Keputusan Menteri.
Pasal 84
1.
Untuk memenuhi kepentingan nasional, dapat dimasukkan
jenis hewan yang rentan dari negara, area, atau tempat yang masih tertular hama
penyakit hewan karantina dengan melaksanakan metode pengamanan maksimum pada
suatu tempat yang memiliki batas yang dapat dipertanggungjawabkan menurut
aturan internasional sebagai instalasi karantina pengamanan maksimum.
2.
Instalasi karantina pengamanan maksimum dan metode
pengamanannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 85
1.
Pemasukan media pembawa yang memiliki risiko tinggi
bagi masuknya hama penyakit hewan karantina ke
dalam wilayah negara Republik Indonesia,
dapat ditetapkan kewajiban berupa persetujuan instalasi karantina di negara
asal atau transit setelah mendapat pertimbangan berdasarkan penilaian dokter
hewan karantina.
2.
Penilaian dokter hewan karantina sebagaimana dimaksud
dlam ayat (1), harus berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 ayat (2).
3.
Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit
harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina melakukan
penilaian.
4.
Persetujuan instalasi karantina di negara asal atau
transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
BAB IX
PERAN SERTA
MASYARAKAT DAN
KERJA SAMA
ANTARNEGARA
Pasal 86
Untuk meningkatkan kesadaran dan mengembangkan peran serta
masyarakat dalam bidang karantina hewan dapat dilakukan melalui pendidikan,
pelatihan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi secara terencana dan
berkelanjutan, dengan melibatkan organisasi profesi, organisasi fungsional dan
lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 87
1.
Dalam melaksanakan strategi untuk mencegah masuknya
media pembawa yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina dan atau
kegiatan karantina hewan, dapat melibatkan peran serta masyarakat seluas
mungkin.
2.
Peran serta masyarakat dalam melaksanakan strategi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 88
1. Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan
dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan atau
multilateral.
2.
Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri lain yang terkait.
BAB X
PETUGAS DAN SARANA
KARANTINA
Pasal 89
1.
Pelaksanaan tindakan karantina dilakukan oleh petugas
karantina.
2.
Petugas karantina terdiri dari dokter hewan karantina
dan paramedik karantina yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
3.
Petugas karantina merupakan pejabat fungsional yang
syarat-syaratnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
4.
Petugas karantina dapat mendukung kelancaran pelayanan
media pembawa yang terkait dengan tugas perkarantinaan melalui penugasan khusus
oleh Menteri atau Menteri lain yang terkait.
Pasal 90
1.
Dalam melaksanakan tindakan karantina, petugas
karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) juga berwenang untuk :
a.
Memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade,
apron, ruang keberangkatan dan kedatangan penumpang di tempat pemasukan atau
pengeluaran, untuk mengetahui ada tidaknya media pembawa yang dilalulintaskan;
b.
Melarang setiap orang yang tidak berkepentingan
memasuki instalasi dan atau alat angkut serta tempat-tempat di mana sedang
dilakukan tindakan karantina tanpa persetujuan dokter hewan karantina;
c.
Melarang setiap orang untuk menurunkan atau memindahkan
media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina dari alat angkut;
d.
Melarang setiap orang untuk memelihara, menyembelih,
atau membunuh hewan di tempat pemasukan, pengeluaran, atau instalasi karantina,
kecuali atas persetujuan dokter hewan karantina;
e.
Melarang setiap orang untuk menurunkan atau membuang
bangkai hewan, sisa pakan, sampah, bahan, atau barang yang pernah berhubungan
dengan hewan dari alat angkut; dan atau
f.
Menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan media
pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina.
2.
Selain kewenangan dalam bidang karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), petugas karantina yang dokter hewan karantina juga
berwenang dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di
atas alat angkut, instalasi karantina, atau tempat-tempat di dalam lingkungan
wilayah tempat pemasukan atau pengeluaran.
Pasal 91
Penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, dapat
dilakukan oleh petugas karantina yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
1.
Perintah dan putusan dokter hewan karantina atau
pelaksanaan tindakan karantina, harus dilakukan secara tertulis dalam bentuk
dokumen karantina.
2.
Ketentuan mengenai dokumen karantina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
3.
Untuk menunjang kelancaran arus barang di tempat
pemasukan atau pengeluaran, dokumen karantina dapat disampaikan langsung oleh
petugas karantina yang menerbitkannya melalui fasilitas elektronik.
Pasal 93
1.
Perawatan dan atau pemeliharaan media pembawa selama
masa karantina atau penahanan menjadi urusan dan tanggung jawab pemilik.
2.
Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina terjadi
kerusakan di dalam instalasi karantina oleh pemakai jasa karantina, maka
perbaikannya menjadi beban dan tanggung jawab pemakai.
3.
Jika pelaksanaan tindakan karantina di luar tempat
kedudukan petugas karantina, maka setiap keperluan untuk menunjang kelancaran
tugasnya menjadi beban dan tanggung jawab pemilik media pembawa.
Pasal 94
1.
Dalam melaksanakan tugasnya, dokter hewan karantina
juga harus memperhatikan kode etik dokter hewan karantina.
2.
Jika dokter hewan karantina telah melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya sesuai tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), maka kerugian yang ditimbulkan
akibat pelaksanaan tindakan karantina, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pemerintah atau dokter hewan karantina.
3.
Jika dokter hewan karantina tidak melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik dan atau
pelanggaran profesi, maka Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada dokter hewan
karantina setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi dengan tidak
menutup kemungkinan dapat dikenakan sanksi perdata atau pidana.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan di bawah Peraturan Pemerintah
yang berkaitan dengan karantina hewan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dibuat yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Dengan berlakunya Peraturan pemerintah ini, ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan,
Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan sepanjang mengatur
penolakan dan karantina hewan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 97
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 September 2000
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ABDURRAHMAN
WAHID
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 19 September 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DJOHAN EFFENDI
*****************
PENJELASAN
atas
peraturan
pemeriNTah republik indonesia
nomor 82 tahun
2000
tentang
karantina hewan
UMUM
Dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
pada tanggal 8 Juni 1992, penyelenggaraan kegiatan karantina hewan, ikan dan
tumbuhan di Indonesia telah mempunyai landasan hukum baru yang lengkap dan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Sebagaimana umumnya suatu Undang-undang, Undang-undang Nomor 16 Tahun
1992 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang perlu dijabarkan lebih
lanjut dalam ketentuan-ketentuan yang lebih operasional dalam suatu Peraturan
Pemerintah yang lebih spesifik sifatnya, khusus mengatur mengenai pelaksanaan
karantina hewan.
Ada dua masalah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 yang secara
tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yaitu
masalah jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut media
pembawa. Namun demikian, hal ini tidak
menutup kemungkinan untuk mengatur lebih lanjut masalah-masalah lain di luar
kedua masalah tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah, mengingat masalah yang
akan diatur mempunyai implikasi yang luas terhadap kepentingan umum atau
menyangkut kompetensi dalam berbagai departemen sehingga pelaksanaannya
memerlukan koordinasi antar departemen.
Selain itu sebagian dari masalah tersebut merupakan materi baru atau
yang tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang tersebut. Dengan tertuangnya materi tentang karantina
dalam Peraturan Pemerintah ini, maka pelaksanaan karantina hewan akan memiliki
landasan hukum yang lebih pasti.
Selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini juga dikaitkan dan diselaraskan hubungan antara pelaksanaan
karantina hewan dengan kebijaksanaan bidang kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner sebagai kesatuan dalam mata rantai kesisteman pengamanan/perlindungan
sumber daya hayati hewan. Begitu pula
dengan kesepakatan, rekomendasi, peraturan ataupun konvensi internasional yang
menyangkut bidang karantina hewan, juga diperhatikan sebagai acuan agar
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah ini harmonis
dengan aturan main global.
Atas pertimbangan-pertimbangan
sebagaimana tersebut di atas, selain masalah jasa karantina dan transit alat
angkut, dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur lebih lanjut masalah persyaratan
karantina, tindakan karantina terhadap pemasukan, transit, atau pengeluaran
media pembawa, tindakan karantina hewan terhadap alat angkut, tindakan
karantina hewan terhadap media pembawa lain, tindakan karantina hewan di luar
tempat pemasukan dan pengeluaran, kawasan karantina, jenis hama penyakit hewan
karantina dan media pembawa, penetapan tempat pemasukan dan pengeluaran,
instalasi karantina hewan serta pengembangan peran serta masyarakat.
Pasal Demi pasal
Pasal 1
Angka 1
Cukup
jelas
Angka 2
Cukup
jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup
jelas
Angka 7
Cukup
jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup
jelas
Angka 12
Cukup
jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup
jelas
Angka 17
Cukup
jelas
Angka 18
Cukup jelas
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Yang dimaksud dengan :
-
desinfeksi adalah upaya yang dilakukan untuk
membebaskan media pembawa dari jasad renik secara fisik atau kimia, antara lain
seperti pemberian desinfektan, alkohol, NaOH, dll;
-
desinsektisasi adalah upaya yang dilakukan untuk
membebaskan media pembawa dari hama
insekta, antara lain seperti pemberian insektisida, DDT dll;
-
fumigasi adalah upaya yang dilakukan untuk
membebaskan media pembawa dari jasad renik dengan cara pemberian uap fumigan,
antara lain seperti KMnO4, dll.
Angka 22
Cukup
jelas
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Penanggung jawab
alat angkut adalah termasuk pilot, nakhoda, masinis atau pengemudi.
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup
jelas
Angka 27
Cukup
jelas
Angka 28
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Sertifikat
kesehatan dari negara asal dan dari negara transit yang diterbitkan pejabat
yang berwenang sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing negara yang pada
beberapa negara tertentu, sertifikasi bahan asal hewan dan hasil bahan asal
hewan dapat diterbitkan oleh pemeriksa (belum tentu dokter hewan) di tempat
asal media pembawa dan tidak perlu disertifikasi ulang oleh dokter hewan karantina
di tempat pengeluaran.
Huruf b
Surat
keterangan asal bagi media pembawa yang tergolong benda lain dapat diterbitkan
produsen, tempat pengumpulan, atau pengolahan sehingga tidak harus memerlukan surat keterangan dari
instansi pemerintah.
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sertifikat
sanitasi terhadap bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini diperuntukkan bagi media pembawa yang belum diolah. Khusus untuk teknis pemeriksaan bahan asal
hewan dan hasil bahan asal hewan bagi keperluan konsumsi manusia, selain
berpedoman pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 juga berpedoman pada
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1993
tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sedangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan merupakan payung dari pelaksanaan pengawasan sanitasi secara
umum bagi bahan pangan yang belum diolah maupun yang telah diolah, baik dari
segi keamanan maupun dari segi mutu dan gizi.
Ayat (2)
Ektoparasit
adalah parasit yang terdapat pada permukaan tubuh hewan, antara lain pinjal,
caplak, kutu, dan jamur. Selain itu
ektoparasit juga dapat berperan sebagai vektor yang dapat memindahkan hama penyakit hewan
karantina.
Ayat (3)
Kesehatan
masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan
bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Maksud penundaan
pemeriksaan oleh dokter hewan karantina pada ayat ini semata-mata hanya karena
alasan teknis seperti misalnya pemeriksaan pada malam hari ditunda keesokan harinya,
menunggu instalasi karantina yang masih dipakai, atau ketidaksiapan petugas
karantina karena bertepatan dengan hari libur.
Namun tetap tidak mengurangi pengamanan terhadap resiko masuk, menyebar
dan keluarnya hama
penyakit hewan karantina.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud
“dalam hal tertentu” dalam ayat ini merupakan suatu keadaan yang dinilai
memiliki potensi penyebaran penyakit yang dapat ditimbulkan oleh lalu lintas
media pembawa, melalui suatu metoda penilaian dan manejemen risiko (risk
analisys).
Ayat (2)
Ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan prosedur dasar karantina yang
harus diikuti oleh setiap pemakai jasa karantina. Bagi media pembawa yang berisiko tinggi dapat
ditetapkan kewajiban tambahan selain prosedur dasar tersebut di atas sebelum
pengeluaran dan atau pada waktu pemasukan, antara lain seperti pemeriksaan
kausa penyakit, vaksinasi, pengobatan, penetapan daerah asal, daerah transit,
daerah tujuan, pelabuhan dan instalasi karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan zoonosis dalam ayat ini adalah hama
penyakit hewan yang dapat ditularkan kepada manusia atau sebaliknya.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemeriksaan kesehatan
secara fisik disebut juga sebagai pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan
tahap awal, apabila dilakukan secara umum terhadap pengiriman media pembawa (shipment).
Isilah
organoleptik dimaksudkan sebagai pemeriksaan dengan mempergunakan panca indra
manusia antara lain seperti bau, rasa, dan lain-lain.
Ayat (3)
Pengertian
“dalam keadaan tertentu” dalam ayat ini adalah keadaan di mana kondisi media
pembawa dan situasi lingkungannya tidak mengganggu proses pengukuhan diagnosa
oleh dokter hewan karantina.
Ayat (4)
Pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat ini ditujukan
untuk mengukuhkan diagnosa melalui pemeriksaan terhadap penyebab penyakit atau
kausa penyakit, apabila pada pemeriksaan tahap awal belum dapat
dikukuhkan. Pemeriksaan kausa penyakit
tersebut selain melalui pemeriksaan laboratoris, dapat juga dilakukan melalui
pemeriksaan patologi yaitu pemeriksaan terhadap bangkai atau organ, dan uji
biologis yaitu pengujian dengan mempergunakan hewan hidup, serta uji
diagnostika yaitu pengujian yang telah memiliki alat, bahan, dan penilaian yang
mempunyai standar baku.
Ayat (5)
Laboratorium
yang ditunjuk dalam ayat ini adalah laboratorium yang telah diakreditasi oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat
(1)
Pengamatan yang
dimaksud dalam ayat ini adalah observasi, sedangkan sistem semua-masuk
semua-keluar ( all in all out) bertujuan untuk mencegah penularan hama
penyakit hewan karantina melalui kelompok media pembawa dengan pengertian bahwa
putusan pembebasan tidak boleh didasarkan atas hasil pengamatan dan pemeriksaan
individu atau sebagian dari kelompok media pembawa yang masuk ke dalam
instalasi karantina pada periode yang sama.
Ayat
(2)
Pengamatan yang
dimaksud dalam ayat ini adalah surveilance yaitu kegiatan penyidikan
penyakit yang bertujuan untuk menetapkan status penyakit suatu negara, area,
atau tempat atau pemetaan hama
penyakit hewan karantina.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Pengertian masa
inkubasi adalah lamanya waktu yang diperlukan agen penyakit sejak dari waktu
menginfeksi sampai timbulnya gejala penyakit pada media pembawa.
Sifat sub klinis
adalah sifat penyakit yang tidak menunjukkan gejala secara klinis atau
tanda-tanda penyakit pada fisik media pembawa dari luar.
Sifat pembawa (carrier)
adalah hewan yang mengandung agen penyakit, tetapi tidak menimbulkan penyakit
pada hewan yang bersangkutan namun dapat menularkannya ke media pembawa lain.
Ayat (5)
Cukup
jelas
Ayat (6)
Penyakit hewan
karantina yang belum diketahui masa inkubasinya, antara lain seperti Bovine
Spongioform Encephalomyelitis (Mad Cow), Penyakit Nipah Virus, Penyakit
Keluron Menular (Brucellocis).
Pasal 12
Ayat
(1)
Pengertian
preventif dalam ayat ini ditujukan untuk pencegahan penyakit antara lain
seperti vaksinasi.
Pengertian
kuratif ditujukan untuk penyembuhan antara lain seperti pengobatan melalui
pemberian antibiotika.
Pengertian
promotif ditujukan untuk pemulihan kondisi dan memacu pertumbuhan antara lain
seperti pemberian imbuhan pakan (feed supplement).
Ayat (2)
Tindakan
perlakuan dalam ayat ini dapat dilakukan apabila tidak menganggu proses
pemeriksaan selanjutnya antara lain seperti pemberian antibiotika dapat
menganggu proses pengujian jenis bakteri tertentu.
Pasal 13
Ayat
(1)
Mengingat fungsi
karantina yang sifatnya lintas sektoral maka dalam melaksanakan tindakan
karantina, kebijaksanaan dan pengaturan Menteri lain selain Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perkarantinaan, juga harus diperhatikan sebagai
salah satu persyaratan tindakan karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan tindakan karantina lain dalam ayat ini adalah tindakan karantina selain
penahanan, seperti pemeriksaan laboratorium, pengamatan, perlakuan, dan
lain-lain.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Tindakan
penolakan umumnya berkaitan dengan masalah kesiapan dan ketersediaan sarana
alat angkut. Oleh karena itu penolakan
dilakukan pada kesempatan pertama, agar instansi terkait lainnya ikut membantu
pengiriman kembali media pembawa tersebut setelah diputuskan untuk ditolak dan
menjadikan pengiriman kembali tersebut sebagai prioritas utama.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan
pemusnahan media pembawa, dapat juga disaksikan oleh pemilik atau kuasanya.
Ayat (4)
Cukup
jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dokter hewan yang berwenang dalam
ayat ini adalah dokter hewan pemerintah yang memiliki kewenangan dalam bidang
kesehatan hewan secara umum.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Tanggung jawab
dokter hewan karantina secara berkelanjutan adalah tanggung jawab dokter hewan
karantina terhadap sertifikat yang diberikannya walaupun media pembawa yang bersangkutan
sudak dibebaskan.
Pasal 17
Ayat
(1)
Pengertian
“menugaskan” dalam ayat ini tidak termasuk wewenang dan tanggung jawab
pelaksanaan tindakan karantina serta hak profesi dokter hewan antara lain
seperti pengukuhan diagnosa dan penentuan terapi.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Rencana pemasukan media pembawa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini adalah berupa laporan dalam bentuk formulir
sebagai rangkaian prosedur karantina
hewan yang baku.
Pasal 19
Ayat
(1)
Pengertian
“sebelum diturunkan” dalam ayat ini dimaksudkan bahwa alat angkutan yang
dipergunakan mengangkut media pembawa terbatas pada angkutan perairan meliputi
angkuan laut, angkutan sungai dan danau; angkutan penyeberangan; dan angkutan
barang sebagai sarana lalu lintas jalan berupa mobil barang.
Ayat (2)
Pengertian
“pemeriksaan pendahuluan” dapat dilihat pada penjelasan Pasal 9 ayat (2). Sedangkan pengertian “hewan yang berstatus
sebagai barang muatan” dalam ayat ini adalah hewan yang pengirimannya tercantum
dalam dokumen pengangkutan (cargo manifest, bill of loading, airway bill) dan pada umumnya pemilik hewan tidak ikut
dalam alat angkut yang sama, serta penanganannya memerlukan pengamanan khusus
(liar, ganas, dan lain-lain).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Mutasi media pembawa adalah penambahan
atau pengurangan jumlah semula media pembawa dari tempat asal dalam perjalanan
menuju ke tempat tujuan.
Huruf b
Pengertian dokumen lain antara lain berupa
dokumen yang diwajibkan pada setiap pengiriman media pembawa yang dikenakan
pembatasan dari Menteri lain.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Perpanjangan
waktu yang dimaksud dalam Pasal ini adalah kelonggaran waktu menunggu
tersedianya alat angkut tanpa mengurangi kualitas tindakan karantina yang
dilakukan. Sehingga batas jangka waktu
kelonggarannya sangat ditentukan oleh tingkat risiko dan penularan hama penyakit hewan
karantina dan kemungkinan tersedianya alat angkut.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Pengertian
“yang dianggap aman” dalam ayat ini diputuskan setelah berkonsultasi dengan
penanggung jawab tempat pemasukan atau pengeluaran dan instansi terkait.
Pedoman
pengendalian penyakit hewan menular dipergunakan sebagai pegangan setiap
petugas teknis dalam menangani kasus-kasus penyakit hewan menular yang telah
disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian
intensif dalam huruf ini biasanya dipergunakan bagi pengamatan yang dilakukan
secara individual dan terus menerus selama masa karantina, namun pengertian ini
dapat juga dipergunakan dalam tindakan karantina lainnya antara lain seperti
pemeriksaan, pengasingan dan perlakuan.
Huruf b
Pengertian
“untuk disembelih” dalam huruf ini yaitu tidak melewati proses, waktu dan
tempat lain sebelum disembelih.
Huruf c
Media pembawa
sebagai komoditas yang dilalulintaskan dengan sendirinya dapat terkait dengan
peraturan perundang-undangan lain, sehingga juga harus memperhatikan peraturan
perundangan lain yang terkait antara lain seperti ketentuan kepabeanan atau
konvensi-konvensi internasional.
Huruf d
Kewajiban lain
adalah kewajiban yang ditetapkan selain persyaratan karantina dan tindakan
karantina, antara lain seperti pungutan jasa karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian
“diperpanjang sampai dinilai aman” dalam ayat ini adalah murni merupakan
pertimbangan profesi yang didasarkan pada masa inkubasi suatu penyakit. Dalam prakteknya perpanjangan ini dihitung
mulai dari hari terakhir ditemukannya kematian dan atau ditemukannya gejala klinis
penyakit, ditambah masa inkubasi penyakit tersebut.
Ayat (5)
Yang dimaksud
dengan “gejala penyakit hewan yang bersifat individual” adalah penyakit yang
spesifik terjadi pada individu hewan tertentu atau penyakit yang bersifat
degeneratif, antara lain seperti tetanus, milk fever, colic, dan lain-lain.
Sedangkan yang
dimaksud dengan “penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina”,
antara lain seperti penyakit cacing, colibaccilosis, dan lain-lain.
Ayat (6)
Cukup
jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud
dengan “produk” dalam ayat ini adalah jenis dari bahan asal hewan, hasil bahan
asal hewan dan benda lain, antara lain seperti limpa, keju, pakan ternak.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup
jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Transit media
pembawa yang berasal dari dan atau pernah transit sebelumnya di negara yang
masih tertular penyakit golongan I dapat ditolak oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup
jelas
Ayat (6)
Cukup
jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lokasi transit
langsung dalam ayat ini, merupakan lokasi yang telah disetujui dan di bawah
pengawasan dokter hewan karantina dalam wilayah tempat transit yang secara
khusus disiapkan guna memenuhi persyaratan transit lalu lintas internasional
media pembawa. Tindakan karantina
biasanya hanya perlakuan berupa desinsektisasi untuk mencegah penularan hama penyakit hewan
karantina melalui serangga (sebagai
vektor).
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
“dokter hewan yang berwenang” dalam ayat ini lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)
sehingga yang lebih penting dijiwai adalah semangat dan pengertian pemeriksaan
berkesinambungan (in line inspection) yang menghubungkan fungsi-fungsi profesi
tanpa harus melalui jalur birokrasi dalam pemerintahan.
Pengertian
“dokter hewan yang ditunjuk Menteri” dalam ayat ini dimaksudkan untuk
memberikan istilah tersendiri kepada dokter hewan yang bekerja secara penuh (full
time) dan atau bertanggung jawab atas program kesehatan atau sanitasi media
pembawa pada suatu tempat asal yang secara rutin melakukan pengeluaran media
pembawa antara lain seperti perusahaan pembibitan, penangkaran satwa, industri
pengolahan, balai inseminasi buatan.
Penunjukan dokter hewan oleh Menteri dilakukan sesuai prosedur akreditasi. Yang penting diperhatikan adalah bahwa
sertifikasi dari tempat atau daerah asal seperti diterangkan di atas sudah
cukup sebagai dokumen pendukung/pengantar media pembawa ke dokter hewan
karantina tanpa perlu lagi keterangan atau sertifikasi ulang oleh pejabat
instansi teknis setempat.
Ayat (3)
Istilah
penangkaran biasanya dipergunakan sebagai tempat mengembang-biakkan hewan yang
termasuk satwa liar.
Ayat (4)
Pengertian
dokter hewan dalam ayat ini adalah dokter hewan praktek/mandiri.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “hewan kesayangan” adalah hewan yang dipelihara secara intensif,
dianggap sebagai bagian dari keluarga oleh pemiliknya (pet animal).
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Perlakuan
terhadap orang biasanya dilakukan dengan cara penyucihamaan terutama bagi
orang-orang yang sehari-harinya berhubungan dengan hewan antara lain seperti
perawat hewan atau petugas karantina.
Pasal 45
Cukup
jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian
“sampai dinilai aman” dalam ayat ini, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 29
ayat (4).
Ayat (5)
Cukup
jelas
Ayat (6)
Cukup
jelas
Pasal 47
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan “kelayakan kondisi fisik” dalam ayat ini adalah layak untuk diangkut (fit
for travel), yang merupakan penerapan peraturan kesejahteraan hewan (Animal
Welfare) dan merupakan persyaratan serta dicantumkan dalam sertifikasi
hewan hidup.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup
jelas
Pasal 50
Ayat
(1)
Penahanan di
tempat asal dalam ayat ini merupakan penahanan di tempat pengumpulan,
pengolahan, dan atau pengawetan antara lain seperti di rumah potong hewan pada
waktu tindakan karantina dan pemenuhan semua ketentuan sebelum diberangkatkan
dilakukan pada tempat tersebut dengan maksud agar media pembawa yang
bersangkutan terjamin isolasinya dari kontaminasi atau pencemaran, sesuai
persyaratan dan atau permintaan negara tujuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tata cara
perlakuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mengatur cara desinsektisasi dan
atau desinfeksi alat angkut serta desinfeksi penumpang dan atau muatan.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan “ruda paksa” dalam ayat ini adalah eksploitasi atau penyiksaan terhadap
hewan yang berlebihan di luar batas kewajaran.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Persyaratan
teknis alat angkut dan kemasan dalam ayat ini hanya mengatur aspek
kesejahteraan hewan untuk keselamatan hewan selama dalam perjalanan antara lain
seperti ventilasi, penyediaan pakan dan air, kapasitas tampung, serta ukuran
kemasan.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kotak sampah
karantina (quarantine garbage box) dipergunakan sebagai tempat membuang
media pembawa yang biasanya disiapkan pada terminal.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Media pembawa
lain berupa peralatan bekas dan peralatan orang yang diduga dalam ayat ini
merupakan peralatan bekas pakai media pembawa antara lain seperti pelana,
brongsong dan bekas kemasan daging, sedangkan peralatan orang antara lain
berupa sepatu, alas kaki, pakaian kerja peternak atau perawat hewan atau orang
yang sehari-harinya berhubungan dengan media pembawa.
Pasal 57
Ayat
(1)
Yang dimaksud
“kemudahan pelayanan dan kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan
pengeluaran” dalam ayat ini bukan mengenai persyaratan dan prosedur dasar
tindakan karantina, akan tetapi ditujukan bagi kemudahan persyaratan teknis
berdasarkan penilaian tempat asal sesuai prosedur akreditasi, guna menunjang
kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan pengeluaran.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 58
Cukup
jelas
Pasal 59
Ayat
(1)
Hewan bibit
adalah hewan yang diperoleh melalui serangkaian proses seleksi untuk
dikembangbiakkan.
Bahan biologik
reproduksi adalah bahan yang diperoleh dari hewan bibit untuk diproses lebih
lanjut menjadi hewan.
Sedangkan yang
dimaksud dengan “kemudahan” dalam ayat ini adalah kemudahan persyaratan teknis
karantina, dengan pertimbangan bahwa kemudahan terhadap hewan bibit, bahan
biologik reproduksi dan hewan hasil penangkaran adalah karena adanya jaminan
cara pemeriksaan status kesehatan dan sanitasi yang lebih intensif.
Ayat (2)
Metode
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat
(1), juga diterapkan terhadap media pembawa berupa bahan asal hewan, hasil
bahan asal hewan dan benda lain, yang diutamakan pada aspek sanitasi tempat
asal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan “pihak lain” dalam Pasal ini adalah orang atau badan usaha berbadan
hukum ataupun tidak, yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri untuk
membantu tindakan karantina dan atau penyediaan instalasi karantina, antara
lain seperti bantuan tindakan desinfektasi, pembuatan kandang, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat
(1)
Penilaian status
atau situasi hama
penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan
persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal atau transit, sesuai dengan
ketentuan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary
Measures (SPS) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1994.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan “alasan yang terpaksa” dalam ayat ini adalah alasan yang menyangkut alat
angkut itu sendiri antara lain seperti kapal akan tenggelam, kebakaran.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan “alasan lain” dalam ayat ini dapat berupa alasan-alaan yang tidak
berdasarkan teknis perkarantinaan antara lain seperti kualitas produk, barang
yang dilarang.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengertian tidak
memenuhi persyaratan karantina dalam ayat ini merupakan tindak pidana kerena
tidak dilaporkan, tidak diperiksa, tidak melalui tempat yang ditetapkan dan
atau diselundupkan pada waktu pengeluarannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud
dengan “pertimbangan Menteri” dalam ayat ini adalah agar memperhatikan
peraturan perundangan lain apabila akan melakukan tindakan pemusnahan, seperti
antara lain pemusnahan terhadap orang utan yang tergolong hewan yang
dilindungi/dilestarikan.
Pasal 66
Ayat
(1)
Barang yang
ditahan adalah barang yang belum memenuhi persyaratan karantina dan dilakukan
tindakan penahanan oleh karantina.
Sedangkan barang bukti adalah barang yang dijadikan bukti atau barang
yang ditahan dan telah menjadi barang bukti untuk proses pemeriksaan di pengadilan.
Ayat (2)
Pelaksanaan
pemusnahan dalam ayat ini harus juga disaksikan oleh jaksa penuntut umum.
Pasal 67
Ayat
(1)
Pengertian
“barang yang dinyatakan tidak dikuasai, dikuasai Negara dan yang menjadi milik
Negara” dalam Pasal ini merupakan pengertian dari aspek kepabeanan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang juga
berhubungan dengan tugas fungsi perkarantinaan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1992, dengan maksud untuk menghubungkan antara dua tugas fungsi
pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas agar dalam pelaksanaannya terjadi
koordinasi yang lebih harmonis.
Ayat (2)
Khusus terhadap
media pembawa yang telah dinyatakan telah menjadi milik negara, pertimbangan
dokter hewan karantina disampaikan kepada Menteri Keuangan, berdasarkan
kewenangannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup
jelas
Pasal 71
Ayat
(1)
Pengertian
“hewan organik” dalam ayat ini adalah hewan-hewan yang dilatih dan dipelihara
secara intensif guna membantu tugas-tugas kedinasan milik Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian, juga bagi hewan milik instansi pemerintah lainnya
antara lain seperti Bea Cukai, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 72
Cukup
jelas
Pasal 73
Ayat
(1)
Pengertian
“area-area” dalam ayat ini dapat berupa satu atau beberapa daerah administratif
dalam suatu pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan
penyebaran hama
penyakit hewan karantina.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat
(1)
Wabah adalah
kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu penyakit hewan
menular baru di suatu daerah atau kenaikan kasus penyakit hewan menular
mendadak.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan
kawasan karantina perupakan penetapan yang bersifat teknis berdasarkan atas
kejadian penyakit pada satu atau beberapa daerah yang semula diketahui bebas
dari hama
penyakit hewan karantina, sehingga kejadian seperti itu dapat saja melintasi
satu atau beberapa batas wilayah administratif.
Penetapan kawasan karantina ini dipergunakan sebagai dasar untuk
melakukan penutupan daerah kabupaten atau kota oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 75
Ayat
(1)
Daya epidemis
adalah daya penyebaran penyakit, sedangkan daya patogenitas adalah kemampuan
suatu agen penyakit untuk dapat menimbulkan derajat kesakitan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud
“pihak yang berwenang” dalam ayat ini adalah pihak-pihak yang tugas dan fungsi
utamanya melakukan penyidikan hama
penyakit hewan, antara lain seperti Balai Penyidikan Penyakit Hewan, Dinas Peternakan,
OIE, FAO.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam menetapkan
tempat pemasukan, transit atau pengeluaran perlu mempertimbangkan kelancaran
perekonomian dan alasan-alasan yang berasaskan kelestarian sumber daya alam
hayati hewan.
Pasal 80
Ayat
(1)
Pada prinsipnya
penyediaan fasilitas instalasi karantina menjadi tanggung jawab
pemerintah. Namun dalam kondisi keuangan
negara tidak memungkinkan, pihak lain dapat menyediakan fasilitas tersebut demi
kelancaran pelaksanaan tindakan karantina (lihat juga penjelasan Pasal 60 ayat
(1)). Dalam perkembangannya selain
Pemerintah Pusat, penyediaan fasilitas instalasi karantina tersebut dapat
dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Daerah, atau Kota.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan
persyaratan teknis dan instalasi karantina yang dimaksud dalam ayat ini adalah
untuk menjamin terpenuhinya standar persyaratan teknis instalasi karantina yang
dipergunakan sebagai acuan oleh pihak pemerintah dan pihak lain. Dalam penetapan ini juga harus mendengar
pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemakaian
instalasi karantina pihak lain seperti yang dimaksud dalam ayat ini dapat
dipergunakan oleh pihak lain sepanjang untuk keperluan pelaksanaan tindakan
karantina.
Pasal 82
Ayat
(1)
Metode Karantina
Pasca Masuk (KPM) yang dulunya belum diterapkan pada karantina hewan, dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran hewan, juga telah
diimplementasikan pada jenis media pembawa yang cara pendeteksian penyakitnya
belum dapat dilakukan menunggu pertumbuhan dan atau perkembangan media pembawa
yang bersangkutan, antara lain seperti pada bibit hewan, biologik reproduksi
dan satwa liar. Metode ini sangat erat
hubungannya dengan penyakit yang bersifat maternal dan atau manajemen kesehatan
yang tidak jelas sejarahnya. Pada
keadaan yang situasi penyakit dan manajemen kesehatannya sudah maju dan
dianggap tidak terlalu berisiko, metode
KPM tidak perlu diterapkan sepenuhnya, cukup dengan melakukan akreditasi dan
pemantauan (monitoring). Akan tetapi
dalam keadaan sebaliknya seperti pengamatan penyakit pada jenis satwa liar,
metode KPM ditetapkan tanpa batas waktu pengamatan, malah termasuk keturunannya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 83
Ayat
(1)
Pengertian “in
situ” adalah pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat alam atau
aslinya, seperti jenis hewan Badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan “eks situ” adalah
pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat buatan atau tiruan, seperti
jenis hewan Jerapah di Taman Safari atau Kebun Binatang. Adapun pengertian “tindakan karantina pasca
masuk” dalam ayat ini, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 84 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan
“kepentingan nasional” antara lain digunakan untuk kepentingan penelitian dan
ilmu pengetahuan serta peningkatan mutu genetik ternak.
Sedangkan yang
dimaksud “instalasi karantina pengamanan maksimum” dalam ayat ini adalah
instalasi yang terdiri atas suatu tempat atau lokasi yang terisolasi dari
wilayah pengembangan budi daya ternak dan dipergunakan sebagai pelaksanaan
tindakan karantina bagi hewan impor yang tertular hama penyakit hewan karantina yang menurut
hasil analisis memiliki risiko tinggi.
Metode ini biasanya diterapkan oleh negara-negara besar yang memiliki
pulau yang terisolasi antara lain seperti Australia, Amerika Serikat dan
Selandia baru. Tindakan karantina
seperti ini dilaksanakan secara maksimum yang artinya semua tindakan karantina
termasuk berbagai pengujian dan pengamatan dilakukan per individu dan berulang
kali hingga dianggap benar bebas dari kausa penyebab penyakit dan tidak
membahayakan kesehatan manusia.
Kecurigaan terhadap jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui induk (maternal),
tindakan karantinanya juga dilakukan terhadap keturunannya, sehingga bibit
impor baru dapat dibebaskan setelah menghasilkan keturunan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup
jelas
Pasal 88
Ayat
(1)
Kerjasama dengan
negara lain sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain meliputi :
kelancarana tindakan karantina, penilaian status negara, area atau tempat,
informasi situasi hama
penyakit, harmonisasi protokol dan peraturan, standarisasi pengujian dan
produk, rekomendasi, referensi dan kolsultasi teknis, pertemuan ilmiah serta
kerjasama yang saling menguntungkan.
Ayat (2)
Kerjasama dengan
negara lain dilakukan melalui atau oleh Menteri Luar Negeri, namun dalam
pelaksanaan kerjasama teknis sering melibatkan menteri lain yang terkait
seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Mengingat bahwa
semua pelaksanaan tindakan karantina harus dilaksanakan oleh petugas yang
memiliki profesi dokter hewan karantina dan dibantu petugas yang memiliki
ketrampilan sebagai paramedik karantina, maka petugas karantina tersebut dapat
diberi kewenangan untuk memangku jabatan sebagai pejabat fungsional.
Ayat (4)
Pengertian
“tindakan yang mendukung kelancaran pelayanan media pembawa” dalam Pasal ini
berkaitan dengan kewenangan Menteri atau Menteri lain yang juga dilaksanakan
oleh karantina hewan, antara lain seperti pengawasan pembatasan lalu lintas
satwa liar (fauna) yang menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab dalam
bidang konservasi sumber daya alam hayati..
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud
“fasilitas elektronik” dalam ayat ini antara lain seperti : faksimile, e-mail,
EDI (Electronic Data Interchange) dan lain-lain, tetapi tetap tidak
mengurangi kewajiban pemilik untuk melengkapi dokumen karantina aslinya.
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup
jelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar