KEJADIAN SPARGANOSIS PADA MANUSIA DITINJAU DARI PENGAWASAN PEMERINTAH

Kejadian Sparganosis Pada Manusia Ditinjau Dari Pengawasan Pemerintah, Oleh: Heri Yulianto, Medik Veteriner Pertama, Pusat karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Hewani. Perpustakaan Pusat Karantina Hewan, Nomor Katalog: 602.01.0003. PUSKH. 11.2014. Komplek Kementerian Pertanian Gedung E Lantai 5 Jl. Harsono RM No. 3 Pasar Minggu Jakarta Selatan. 


Abstrak
Sparganosis merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari cacing pita Pseudophyllidea terutama yang berasal dari genus Spirometra seperti Spirometra mansoni, S. ranarum, S. mansonoides, S. erinacei. parasit ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Indo-Cina, Afrika, Eropa, Australia, Amerika Utara-Selatan dan Indonesia. Manusia terinfeksi spargana dengan minum air yang terkontaminasi procercoid, makan daging kodok atau ular terinfeksi spargana, atau dengan menempatkan tapal daging kodok atau kulit ular  pada mata, luka terbuka dan lesi lainnya. Foodborne  zoonosis cestoda oleh Spirometra spp. relatif jarang di Indonesia. Sejauh ini, hanya satu kasus diphyllobothriasis dan 4 kasus sparganosis yang dikonfirmasi pada tahun 2004 di Jakarta. Sparganosis di Indonesia terjadi di daerah yang memiliki kebiasaan makan daging katak. Spargana sering ditemukan di katak yang tinggal di ladang di sekitar Jakarta. Untuk itu pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk meminimalkan dan menjauhkan risiko penularan kepada manusia dan juga dengan menghentikan konsumsi katak dan ular mentah atau kurang matang, jangan minum air yang terkontaminasi, dan menghentikan penggunaan daging atau kulit katak untuk luka terbuka.

Kata kunci : pengawasan, sparganosis, spirometra, zoonosis

PRAKATA

Indonesia merupakan salah satu negara  ekspor­tir daging katak terbesar selain Thailand dan China serta ular yang merupakan media pembawa dari saparganosis. Daging katak, terutama bagian paha (ekstremitas posterior), diekspo­r ke beberapa negara Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Kanada, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura.



Ancaman zoonosis yang dapat ditularkan baik dari hewan maupun bahan asal hewan seperti daging. Untuk mencegah risiko tertularmya penyakit zoonosis yang salah satunya bisa disebabkan oleh parasit cacing (sparganosis) perlu dilakukan pengawasan dan penecagahan yang sangat ketat baik terhadap hewan maupun bahan asal hewan yang merupakan media pembawa penyakit tersebut yang dilalulintaskan baik impor, ekspor maupun antar area di wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia. Instansi pemerintah yang mempunyai tugas untuk melakukan tindakan pengawasan tersebut adalah Badan Karantina Pertanian.



Harapan penulis semoga dengan tulisan ini memberikan tambahan informasi dan masukan kepada pemerintah terutama Badan Karantina serta semoga dapat diaplikasikan sehingga bisa membantu petugas di lapangan.  Kami sadar masih banyak kekurangan, kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini. Untuk itu besar harapan penulis masukan dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini. semoga tulisan ini dapat bermanfaat.



Jakarta,   November 2014

Penulis
 
 DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................
i
PRAKATA................................................................................
ii
DAFTAR ISI.............................................................................
iii
BAB I    PENDAHULUAN..........................................................
1
BAB II   MATERI DAN METODE................................................
3
BAB III  PEMBAHASAN............................................................
4
A.           Sparganosis............................................................
4
1.            Eetiologi....................................................................
4
2.            Siklus Hidup..............................................................
4
3.            Gejala Klinis..............................................................
6
4.            Diagnosis............................................................
7
5.            Kejadian Pada Manusia......................................
9
6.            Kejadian di Indonesia.........................................
21
7.            Epidemiologi dan Aspek Sosial Masyarakat.........
23
8.            Pengobatan........................................................
24
B.           Tindakan Pengawasan dan Pencegahan...............
26
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................
30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................
31



BAB I
PENDAHULUAN

Perdagangan bebas melanda diseluruh belahan dunia dimuka bumi ini. Perdagangan bebas atau biasa disebut dengan globalisasi membawa dampak meningkatnya volume, frekwensi dan pola perdagangan. Semakin cepatnya laju perdagangan yang semakin mengglobal juga berimbas dengan semakin besarnya resiko penyebaran  penyakit yang mungkin terjandung dalam komoditas yang dilalulintaskan. Resiko penyakit yang paling berbahaya dan sangat mengancam kesehatan manusia adalah terjadinya zoonosis yang berasal dari hewan dan produk hewan yang dilalulintaskan (Barantan 2010). Zoonosis adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia dan sebaliknya. Penyebab zoonosis meliputi prion, virus, bakteri, dan parasit. 

Parasit mengancam kesehatan manusia dan  hewan secara global.  Diperkirakan lebih dari 60% dari manusia di planet bumi membawa setidaknya satu parasit dengan spesies yang berbeda-beda. Untuk itu penelitian, pencegahan dan pengendalian parasit harus dilakukan secara bersama-sana yang dilakukan secara terintegrasi  termasuk strategi pengobatan, pengendalian, pencegahan serta public awareness (Alasaad  et al. 2011). Menurut Anantaphruti (2001), lebih dari 40 juta orang dari total 750 juta orang yang berisiko di seluruh dunia diperkirakan terinfeksi trematoda asal pangan. Infeksi ini prevalensinya sangat tinggi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Nematoda dan cestoda asal daging banyak ditemukan di beberapa daerah di dunia. Sumber yang dilaporkan adalah ternak babi dan sapi serta daging hewan liar, ikan air tawar dan laut, siput dan amfibia seperti katak dan ular. Parasit yang dapat diperoleh dengan makan makanan ini dalam bentuk mentah adalah cacing dan protozoa. Infeksi cacing yang penting adalah trichinosis, gnathostomiasis, angiostrongiliasis, anisakiasis, taeniasis, toksoplasmosis dan sparganosis. Infeksi parasit ini sangat tinggi prevalensinya di Asia.

Manusia dapat berfungsi sebagai intermediate host  untuk beberapa spesies cestodes, misalnya infeksi Taenia spp.  yang  menyebabkan sistiserkosis dan Echinococcus spp. menyebabkan hidatidosis. Manusia juga dapat berperan sebagai secondary intermediate host untuk beberapa cestoda dari Pseudophyllidea (Wiwanitkit 2005).  Daging reptil, amfibi dan ikan dapat terinfeksi berbagai parasit, termasuk trematoda (Opisthorchis spp, Clonorchis sinensis), cestodes (Diphyllobothrium spp., Spirometra), nematoda (Gnathostoma spp., Anisakidae), dan pentastomids dapat menyebabkan zoonosis pada manusia yang mengkonsumsi dalam bentuk mentah atau tidak dimasak dengan benar. Pembekuan dan pengawetan daging lainnya, seperti penggaraman dapat mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penularan jika dilakukan dengan benar. Pengasapan atau pengawetan tidak selalu efektif untuk menghilangkan larva infektif (Dorny et al. 2009; Magnino et al. 2009).

Berbagai macam produk makanan mungkin terkontaminasi satu atau lebih parasit dan akibatnya memungkinkan transmisi ke manusia. Prevalensi parasit tertentu dalam makanan bervariasi antar negara dan wilayah. Sumber makanan yang umum terkontaminasi parasit antara lain babi, ternak, ikan, kepiting, udang, siput, katak, ular dan tanaman air. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi prevalensi infeksi parasit  adalah kebiasaan dan tradisi makan makanan mentah atau tidak cukup matang. Foodborne  ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Foodborne mempengaruhi  manusia, peternakan, pertanian,  dan pengolahan makanan. Makanan yang tidak aman harus dikutuk dan dihancurkan (Anantaphruti 2001). Untuk itu perlu dialkukan pengawasan yang ketat terhadap media pembawa baik hewan maupun bahan asal hewan yanga dapat menyebabkan penularan dan penyebaran parasit zoonosis ini.


BAB II
MATERI DAN METODE

Tulisan tentang kejadian sparganosis pada manusia ditinjau dari pengawasan pemerintah  ini di susun berdasarkan studi literatur yang terkait dan sesuai baik melalui buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang berupa jurnal dan artikel yang berkaitan. 


BAB III
PEMBAHASAN

A.           SPARGANOSIS
Sparganosis merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari cacing pita Pseudophyllidea terutama yang berasal dari genus Spirometra seperti Spirometra mansoni, S. ranarum, S. mansonoides, S. erinacei. Sparganosis pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Manson pada jaringan dari penduduk asli yang diutopsi di Amoy RRC (Wongkulab et al. 2011). Sparganosis tersebar diberbagai penjuru dunia, ternasuk Jepang, China, Korea, Asia Tenggara termasuk Indonesia (Soeharsono 2005). Penyakit ini disebabkan oleh larva migrans cacing pita Spirometra . Infeksi ini dilaporkan di banyak negara tetapi yang paling umum di Asia Timur. Migrasi terjadi di mata, jaringan subkutan, sistem saraf pusat atau organ. Infeksi diperoleh melalui minum terkontaminasi air atau makan daging hewan seperti amphibi dan ular (Dorny et al. 2009).

1.  Etiologi
Penyebab sparganosis adalah larva tahap kedua cacing pita spirometra sp. Morfologi Spirometra sp. Sulit dibedakan dengan Diphillobothrium sp., yakni cacing pita yang menyerang anjingdan kucing. Beberapa jenis spirometra sp. Yang berkaitan dengan bidang medik adalah S. mansoni, S. mansonoides, S. erinacei-eurapaei, S. theileri, dan S. proliferum (Soeharsono 2005).

2. Siklus hidup
Siklus hidup Spirometra melibatkan tiga inang. Cacing dewasa berlokasi di usus halus karnivora seperti kucing dan anjing. Telurnya dilepaskan dalam feses dan menetas di air tawar, melepaskan larva 1, yaitu korasidia. Larva ini dimakan oleh Cyclops spp. dimana mereka berkembang menjadi larva 2 yaitu proserkoid. Cyclops spp. yang terinfeksi dimakan oleh inang perantara kedua seperti katak, larva menembus dinding usus inang baru dan bermigrasi ke berbagai organ dan jaringan dimana proserkoid berkembang menjadi sparganum.

Berbagai macam inang paratenik seperti amfibia, reptil dan bahkan mamalia ditemukan terinfeksi oleh sparganum secara alami. Terbukti sulit untuk membuktikan identifikasi rute infeksinya, dan keduanya dimakan oleh Cyclops yang dimangsa oleh katak. Jika inang perantara kedua dimakan oleh kucing atau anjing, maka sparganum akan berkembang menjadi cacing pita dewasa dalam usus halusnya dalam waktu sekitar 3 minggu. Cacing dewasa kemudian hidup hingga 3-4 tahun. Katak dan ular dapat terinfeksi sparganum apabila terminum air yang terkontaminasi cyclop yang terinfeksi larva precercoid. Larva precercoid akan menembus dinding usus dan berger­ak ke otot atau jaringan subkutan, di mana larva ini akan tumbuh menjadi larva sparganum. Larva kemudian dapat bermigrasi ke jaringan subkutan dan menampakkan bentukan nodul yang tidak teratur, edematus, dan hiperemia  (Lee et al. 2010; Lv et al. 2010).

Menurut Gandahusada et al.(2000) dalam tubuh manusia sparganum dapat mengembara di otot dan fasia akan tetapi larva ini tidak dapat menjadi dewasa. Daur hidupnya sama D. latum. Dalam hospes perantara pertama yaitu  Cyclops, dibentuk proserkoid dan dalam hospes pernatara kedua yaitu hewan pengerat kecil, ular dan kodok ditemukan pleroserkoid atau sparganum.

3. Gejala Klinis
Gejala klinis sparganosis bervariasi sesuai dengan jaringan dan organ tempat migrasi parasit. Peradangan dan nyeri dapat berkurang setelah kematian sparganum. Sparganum yang menyerang jaringan subkutan, benjolan yang terbentuk di bawah kulit dan lesi tersebut biasanya disebut sebagai "creeping tumor" karena parasit bermigrasi ke jaringan (Dorny et al. 2009). Menurut Soeharsono (2005), gejala klinis yang mencolok adalah kegatalan (pruritis) kadang-kadang disertai urticaria. Temuan klinis sparganosis adalah munculnya nodul migrasi subkutaneus pada dinding abdominal, skrotum, alat gerak bagian bawah, dinding rongga dada, payudara dan otak dimana parasit menyebabkan hilang kesadaran, sakit kepala dan paraplegia. Cerebral dan breast sparganosis telah dilaporkan sebelumnya, tetapi hanya beberapa kasus kejadian sparganosis subkutan dan intramuskular yang dilaporkan (Park et al. 2009).

Neurosparganosis (NSP) memiliki manifestasi klinis yang tergantung pada daerah yang terinfeksi. Hilangnya kesadaran, hemiparesis dan sakit kepala merupakan gejala yang umum. Sekitar 84% dari seluruh pasien dengan NSP mengalami sejarah panjang hilang kesadaran. Durasi gejala bervariasi, berkisar antara 2 minggu hingga 24 tahun dengan rata-rata 36 bulan. Kebanyakan pasien menunjukkan konvulsi umum, diikuti kelemahan motorik alat gerak. Manifestasi klinis jangka panjang cenderung berkaitan dengan disfungsi kognitif umum dan perubahan degeneratif umum pada substansi alba, menunjukkan penyakit inflamatorik progresif kronis. Neurospraganosis dan kebengkakan subkutaneus jarang muncul secara simultan, yang kemungkinan berhubungan dengan pengamatan bahwa manusia biasanya terinfeksi hanya oleh satu atau sedikit spargana. Gejala bergantung pada lokasi lesi; gambaran klinis khas adalah nyeri punggung diikuti dengan kelemahan progresif anggota tubuh bagian bawah. Pada stadium awal, pasien dapat mengalami demam ringan berulang selama beberapa bulan. Inkontinensia biasa terjadi pada sparganosis spinal. Pada stadium berikutnya, pasien menderita degenerasi atau kehilangan sensasi seperti nyeri dan suhu pada daerah yang terkena (Lv et al. 2010). 

4.  Diagnosis
Diagnosis pasti biasanya visualisasi langsung dari parasit, dan pemeriksaan patologi biopsi jaringan. Panjang larva adalah beberapa milimeter sampai satu sentimeter, berwarna putih seperti pita dan keriput. Di Thailand pernah tercatat panjang larva lebih dari 2 mm. Uji serologis dengan antibodi monoklonal IgG dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent (ELISA) telah dijadikan pilihan diagnosis sparganosis pada kulit dan otak (Wongkulab et al. 2010).

Diagnosis definitif NSP didasarkan pada penemuan sparganum di otak atau sumsum tulang belakang. Dalam kebanyakan kasus, parasit ditemukan selama operasi atau pada otopsi. Diagnosis preoperatif NSP didasarkan pada kombinasi faktor seperti sejarah paparan, manifestasi klinis dan temuan dari pemeriksaan fisik dantes  laboratorium. Meskipun pemaparan ini kompleks, indikasinya adalah kebiasan dan perilaku (misalnya makan kodok mentah, kecebong dan ular atau minum ular empedu dan darah). Faktor-faktor risiko yang hadir di beberapa populasi di Timur Jauh dan Asia Tenggara, seperti praktik penerapan tapal yang terbuat dari daging katak untuk luka terbuka.

Tidak ada gejala neurologis yang spesifik menunjukkan NSP. sakit kepala, kejang, paraestesia, hemiparesis dan homonymous hemianopsia telah dilaporkan dan tergantung pada lokasi cacing serta jumlah granulasi jaringan. Pemeriksaan sitologi biasanya normal. Eosinofilia tidak selalu hadir dalam NSP, mungkin karena kebanyakan pasien mengalami sakit yang lama (kronis). Studi terbaru menunjukkan bahwa Magnetic resonance imaging (MRI)  lebih tinggi dari CT. Temuan paling penting adalah tanda terowongan dan beberapa mengkonglomerasi cincin berbentuk perangkat tambahan pada MRI (Lv et al. 2010). 

Tes imunologi untuk NSP telah dikembangkan dan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik sparganum telah banyak digunakan. Kim et al. (1984) melaporkan kinerja serum ELISA untuk mendiagnosis individu pasien. Studi ini menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas tinggi (masing-masing 100% dan 95,7%,), tetapi ada reaktivitas silang antara Spirometra spp. dan Taenia spp. NSP sulit untuk membedakan tumor otak berdasarkan gejala dan temuan neuroradiological. NSP harus dipertimbangkan bila pasien memiliki sejarah yang tidak biasa yang tidak kompatibel dengan tumor otak, terutama di daerah endemis sparganosis. Metastatik tumor otak sering memiliki efek massa dan kompres ventrikel, sedangkan sparganosis jarang memiliki efek massa tetapi dikaitkan dengan pelebaran ventrikel. Selain itu, sparganosis menunjukkan gambar yang unik tanda terowongan pasca-kontras MRI. Diagnosis dapat lebih rumit oleh migrasi larva dan bentuk proliferatif. Masa inkubasi sparganosis tidak didefinisikan dengan baik, dan parasit diperkirakan hidup sampai 20 tahun pada manusia (Lv et al. 2010).

5. Kejadian pada manusia
a. Penularan dan sumber infeksi
Manusia terinfeksi spargana dengan minum air yang terkontaminasi procercoid, makan daging kodok atau ular terinfeksi spargana, atau dengan menempatkan tapal daging kodok atau kulit ular  pada mata, luka terbuka dan lesi lainnya. Pada manusia, spargana bisa menyerang otak, mata, sumsum tulang belakang, payudara, dan jaringan subkutan, yang menghasilkan kerusakan jaringan lokal, kebutaan, kelumpuhan, dan bahkan kematian. Ini merupakan ancaman utama bagi kesehatan manusia (Li et al. 2011).

Manusia tertular sparganosis lewat tiga cara, yaitu secara tidak sengaja makan kepiting yang mengandung procercoid. Procercoid tersebut akan migrasi ke jariangan subkutis atau ke otot dan berkembang menjadi pleurocercoid. Kedua, termakan procercoid yang berada pada induk semang antara kedua (babi piaraan ataupun babi hutan). Di Australia dan timur jauh, babi hutan banyak terinfeksi oleh S. erinacei . pleurocercoid atau spargana dapat ditemukan di jaringan ikat pada otot terutama otot abdomen, kaki belakang, dibawah peritoneum, pericardium dan pleura. Ketiga, didaerah tertentu daging katak atau ular yang digunakan untuk mengobati luka atau sakit maata. Pada keadaan seperti ini, saprgana dapat migrasi ke otot atau ke mata. Masa inkubasi yang diperoleh dari 10 kasus yang makan katak mentah, bervariasi antara 20 hari hingga 14 bulan (Soeharso 2005). Sparganosis okuler dapat dikaitkan dengan kontak langsung pada air yang terkontaminasi, dan infeksi transplasental juga telah dihipotesiskan (Lv et al. 2010).

Cacing dewasa S. mansoni pertama kali dilaporkan pada tahun 1929, saat cacing dewasa berhasil diisolasi dari usus halus hewan yang terinfeksi secara eksperimental. Enam tahun kemudian, Mueller menemukan spesies yang serupa pada kucing Syracuse di Amerika Serikat dan secara temporer menamainya Diphyllobothrium mansonoides. Studi selanjutnya menunjukkan bahwa spesies ini berbeda secara morfologis dari S. mansoni dan variasi dalam sejarah hidupnya dicatat, menunjukkan suatu spesies baru, yaitu Spirometra mansonoides. Patogenesitasnya mirip dan saat ini masing-masing dipertimbangkan bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus sparganosis pada manusia di Asia dan Amerika. Pada tahun 1918, Takeuchi melaporkan kasus pertama neurosparganosis (NSP). Diperkirakan 3.2% dari seluruh pasien menderita NSP (Lv et al. 2010). 

Pada manusia, larva ditemukan diseluruh bagian badan, terutama di mata, juga dikulit, jaringan otot, toraks, perut, paha, daerah inguinal dan dada bagian dalam. Sparganum dapat menyebar ke seluruh jaringan. Perentangan dan pengerutan larva menyebabkan peradangan dan edema jaringan sekitarnya yang nyeri. Larva yang rusak menyebabkan peradangan lokal yang dapat menjadi nekrosis. Penderita dapat menunjukkan sakit lokal, urtikaria raksasa yang timbul secara periodik, edema dan kemerahan yang disertai dengan menggigil, demam dan hipereosinofilia. Infeksi pada bola mata yang relatif sering terjadi di Asia Tenggara, menyebabkan konjungtuvitis disertai bengkak dengan lakrimasi (Gandahusada et al. 2000). 

Kejadian yang dilaporkan di Korea, 3 kasus pertama kalinya dilaporkan pada tahun 1924, tetapi lebih dari 100 kasus kemudian dilaporkan sebelum akhir era 80-an. Kasus foodborne sparganosis telah ditelusuri dari konsumsi daging ular tetapi tidak untuk buaya, kadal atau kura-kura. Plerocercoid memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke bagian manapun dari tubuh manusia termasuk otak dan rongga mulut. Analisis dari 135 kasus yang dilaporkan di Republik Korea sampai dengan tahun 1987 migrasi terjadi di perut (38 kasus, 28,1%), organ urogenital (30; 22,2%), ekstremitas (24; 17,8%), sistem saraf pusat (16, 11,9%), dada (14; 10,4%), daerah orbital (11; 8,1%) dan payudara (2; 1,5%). 

Manusia menderita sparganosis karena minum air yang mengandung cyclops yang infektif, makan kodok, ular atau binatang yang mengandung  pleroserkoid, dan mempergunakan daging yang infektif sebagai obat. Di daerah yang endemik, air minum perlu dimasak atau disaring dan daging hospes perantara harus dimasak dengan sempurna (Gandahusada et al. 2000). Infeksi di Timur Jauh disebabkan larva plerocercoid S. mansoni, di Amerika Serikat untuk S. mansonoides, di Eropa S. europaei, di Afrika S. theileri, dan di Australia S. erinacei Di antara reptil, ular merupakan host intermediate yang paling penting Sebanyak 91 % dari 1240 ular yang ditangkap antara tahun 1980 dan 1988 di Prefektur Ehime, Jepang, terinfeksi dengan S. erinacei. Dalam studi lain, S. mansoni baru ditemukan sebesar 61% dari 100 ular yang berasal dari 11 wilayah dari 13 lokasi di Korea Selatan yang diperiksa selama tahun 1981 dan 1982 (Dorny et al. 2009).Di Jepang, sashimi katak, ular, dan ayam kampung merupakan sumber utama infeksi spraganosis  pada manusia. Sekitar 500 kasus telah dilaporkan di Jepang, tetapi angka realistis tentu lebih tinggi (Nawa et al. 2005). 

Kejadian yang dilaporkan dari Vietnam, kasus diantara emigran Vietnam dan tradisi makan katak yang telah lama mengakar menunjukkan bahwa penyakit ini endemik. NSP tidak umum terjadi; hanya 5 kasus yang teridentifikasi diantara 34 pasien sparganosis di Thailand. Dua dari 63 kasus di Korea menunjukkan lesi spinal. Kurang dari 5% dari seluruh kasus di Cina daratan menunjukkan keterlibatan sistim saraf pusat. Akhir-akhir ini, jumlah sparganosis sistim saraf pusat meningkat di Cina, kemungkinan karena kemajuan alat diagnostik yang mampu mengungkapkan adanya cacing di sistim saraf pusat. Namun demikian, peningkatan nyata jumlah NSP tidak dapat ditentukan dan mungkin berasosiasi dengan perubahan kebiasaan makan dan keterlibatan spesies inang baru. Sparganum dilaporkan terjadi meluas pada kodok dan katak di Filipina, dan pada 1-2% katak dan ular di Hong Kong pada tahun 1970-an. Beberapa kasus manusia dilaporkan pula di Filipina, India, dan Hong Kong. Beberapa kasus dilaporkan pula dari Taiwan (Anantaphruti 2001; Lv et al. 2010).

Ular juga memainkan peran paling penting sebagai sumber infeksi terjadinya sparganosis. Sebagian besar kasus sparganosis pada manusia merupakan foodborne setelah konsumsi daging ular yang kurang matang. Jumlah plerocercoids yang dikumpulkan dari ular berkisar antara 0-427 per ular dengan rata-rata 12 (untuk Elaphe quadrivirgata), dan 0-130 dengan rata-rata 9 (untuk Rhabdophis tigrinus). Pembekuan daging ular mungkin akan menghancurkan plerocercoids, namun tidak ada data yang sesuai untuk pengobatan dan pencegahan sparganosis dari konsumsi daging ular (Dorny et al. 2009).

b. Kasus sparganosis
Cerebral sparganosis. Cerebral sparganosis pada manusia merupakan penyakit parasit langka yang disebabkan migrasi larva plerocercoid (sparganum) dari Spirometra. Penyakit ini telah dilaporkan di seluruh dunia, tetapi paling umum di Asia Timor. Cara terbaik untuk mengobati cerebral sparganosis adalah dengan pengangkatan cacing dan granuloma. 


Sparganum biasanya berpindah di parenkim otak dan menyebabkan kerusakan saraf yang progresif. Pada penderita cerebral sparganosis perubahan patologis yang terjadi beberapa tahapan. Pertama, rute invasi sparganum ke parenkim otak dapat langsung penetrasi dari permukaan pial. Kedua, dalam tahap serebral sparganosis akut ketika cacing itu hidup, menghasilkan peradangan lokal, menghasilkan efek massa dan nodular sekitarnya tidak teratur. Ketiga, setelah migrasi dari sparganum hidup situs materi sebelumnya kortikal atau putih menjadi atrophia dengan dilatasi ventrikel ipsilateral. Kadang-kadang terjadi daerah atrophia, mungkin peningkatan punctate calcifications sekitarnya  (Kim et al. 2010).

Spinal sparganosis. Spinal sparganosis terjadi pada seorang sopir bis di Korea. Orang tersebut memeiliki sejarah pernah memakan katak yang kurang masak beberapa tahun sebelum timbulnya paresthesia perianal. Hasil uji laboratorium menunjukan tidak ada leukositosis dan eosinofilia yang terdeteksi pada darah perifer. MRI dari tulang belakang menunjukkan nodular, massa seperti lesi di konus medullaris dan adhesi dari cauda equina (Kwon dan Kim 2004). 


Hasil pengujian ELISA negatif untuk sistiserkosis atau paragonimiasis, sedangkan titer untuk sparganosis secara signifikan meningkat. Pada operasi, selaput arachnoid yang menebal dengan perubahan warna kekuningan keputihan akibat inflamasi dan adhesi yang parah. Kebengkakan, lobulated, jaringan granulasi kekuningan yang berpegang pada cauda equina.


Cacing ditemukan setelah pembedahan dengan pangjang 1 – 2 mm berwarna putih susu, lembut. Cacing ni memiliki fitur mikroskopis karakteristik sparganum. Pengujian menggunakan antisparganum antibodi (IgG) telah terbukti memiliki sensitivitas yang tinggi (85,7% -100%) dan spesifisitas (95,7%). Kasus spinal sparganosis menunjukan gejala klinis antara lain kesulitan buang air kecil,kelemahan anggota badan, gangguan sensorik dan nyeri.
 
Ocular sparganosis. Ocular sparganosis pada manusia dilaporkan dalam buku “Compendium of Medical Herbs” pada awal 1596. Ocular sparganosis umum ditemukan di Vietnam, Thailand, dan China. Gejala awalnya adalah adanya massa subconjunctival asimptomatis, alergi konjungtivitis, atau blepharitis. Setelah 3 – 5 bulan dapat ditemukan jendolan pada kelompak mata, umumnya dibagian kelopak mata atas. 


Penderita mungkin menderita sakit, epiphora, chemosis, dan ptosis. Sparganosis subconjunctival dapat menyebabkan gejala serupa orbital selulitis, exophthalmos, ulkus kornea dan mengekspos. Jika cacing menyerang orbit bisa menyebabkan peradangan berat atau kebutaan. Ocular sparganosis dapat dilakukan pembedahan dengan diagnosis tergantung larva dari lesi. Diferensial diagnosis dari sparganosis manusia harus mempertimbangkan trematoda dan bentuk larva cestodes lain seperti cysticercus, coenurus dan hidatidosa. Diagnosis biasanya dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologis pascaoperasi. Serodiagnosis dari sparganosis menggunakan ELISA sangat membantu. Tidak ada obat yang terbukti efektif terhadap sparganum. Terapi utama adalah operasi pengangkatan (Yang et al. 2007)


Breast sparganosis. Spargana memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke bagian tubuh manusia manapun termasuk otak dan  rongga mulut. Kasus breast sparganosis yang terjadi di Korea terjadi pada wanita usia antara 39 tahun sampai 70 tahun (Park et al. 2006; Hong et al. 2010).


Pada kasus breast sparganosis berkenaan dengan sumber infeksi, mayoritas pasien memiliki pengalaman makan berbagai jenis hewan, termasuk ular dan katak, dan bahwa beberapa pasien telah minum air yang tidak ditreatment. Breast sparganosis muncul sebagai nodul jaringan lunak yang susah dibedakan dengan massa neoplastik di gambar radiologi sehingga perlu dilakukan konfirmasi diagnosis dengan mengekstraksi cacing setelah dilakukan pembedahan. Temuan karakteristik mamografi dapat dan sangat berguna untuk diagnosis pra-operatif. Temuan ultrasonografi mungkin juga berguna untuk diagnosis pra-operasi payudara atau organ lain (Park et al. 2006).


Scrotum sparganosis. Empat belas kasus sparganosis dalam skrotum dilaporkan dari 1924-1974 dan kemudian 4 kasus tambahan dilaporkan. Kasus skrotum sparganosis merupakan kasus yang langka. Diagnosa menggunkan sonografi menunjukkan hasil yang kurang baik. Lesi pada dinding skrotum tidak umum dibandingkan dengan testis dan epididimis. Kondisi Inflamasi dinding skrotum termasuk selulitis, abses, dan fournier gangren karena biasanya disertai dengan nyeri, eritema, dan leukositosis (Kim et al. 2007). 


Diagnosis dapat dibuat dengan mudah pada kebanyakan kasus. Neoplasma jarang melibatkan dinding skrotum dan sering dimanifestasikan sebagai massa. Diagnosis sparganosis jarang dibuat sebelum operasi atau pemeriksaan patologis karena fitur klinis dan laboratorium Temuan sering tidak spesifik. Faktor kebiasaan makan daging katak atau ular merupakan  kebiasaan yang memiliki risiko tinggi untuk tertular sparganosis, hanya 20% dari pasien kebiasaan tersebut sisanya dianggap terkait dengan minum air murni (Kim et al. 2007).

6. Kejadian di Indonesia
Foodborne  zoonosis cestoda oleh Spirometra spp. relatif jarang di Indonesia. Sejauh ini, hanya satu kasus diphyllobothriasis dan 4 kasus sparganosis yang dikonfirmasi pada tahun 2004 di Jakarta. Morfologi telur dan proglottids gravid mengungkapkan kasus pertama yang disebabkan oleh spesies Diphyllobothrium. Namun, identifikasi molekuler spesies tidak berhasil. Sparganosis tidak mungkin sangat langka di Indonesia, karena spesies Spirometra sering ditemukan pada kucing dan hewan lainnya (Margono et al. 2007).

Spirometra erinacei terdeteksi dari kucing dan anjing oleh de Hartogh dan Meijer pada tahun 1932 dan 1937. Sejak itu ada beberapa laporan tentang infeksi eksperimental Diphyllobothrium spp. pada hewan domestik, terutama kucing. Kasus pertama sparganosis manusia terjadi pada seorang perwira angkatan laut yang menetap di Ambon. Sparganum ditemukan dalam kandung kemih oleh von Römer. Sebuah laporan tentang kasus otopsi di Institut Patologi di Batavia (Jakarta) ditemukan sparganum yang sangat besar pada arteri paru kanan dari orang Melayu (Indonesia) yang meninggal di rumah sakit jiwa. Pemeriksaan histologik mengungkapkan suatu infark hemoragik yang luas dari paru-paru kanan. Infark juga ditemukan pada ginjal, serta perdarahan di korteks serebral dan ganglia basal dan sedikit  peritonitis fibrinosa colon ascending. Pada awal 1970, kasus pertama sparganosis okular didiagnosis di Purwodadi, Semarang oleh Lokollo dan Wilardjo. Pemeriksaan menunjukan bahwa konjungtiva berwarna kemerahan dan ketajaman mata kiri agak menurun. Organisme bergerak  sekitar 1 cm terdeteksi di ruang mata anterior. Organisme memamnjang menjadi fragmen yang di diagnosis sebagai oculi sparganosis (Margono et al. 2007). 

 Seroprevalensi sparganosis di Papua, Sumatera Utara dan Bali (Margono et al. 2007)
Provinsi
Jumlah sampel
Seroprevalensi (%)
Papua
257
2,7 (7/257)
Sumatera Utara
105
2,9 (3/105)
Bali
29
6,9 (2/29)
Total
391
3,1 (12/391)

Sparganosis di Indonesia terjadi di daerah yang memiliki kebiasaan makan daging katak. Spargana sering ditemukan di katak yang tinggal di ladang di sekitar Jakarta (dulu Batavia). Seroprevalensi kejadian sparganosis terdeteksi di beberapa wilayah Indonesia. Di Indonesia, dua dari tiga kasus sparganosis terjadi pada penderita  gangguan mental. Keberadaan spragana diduga terkait dengan prilaku yang tidak higienis seperti air minum yang tercemar  cyclops atau memakan daging katak yang mentah atau kurang matang atau binatang lain yang terinfeksi dengan spargana. Kebiasaan makan daging katak dan ular terutama di kalangan keturunan Cina di Indonesia. Informasi risiko infeksi dari katak dan daging ular yang terkontaminasi spargana tidak begitu banyak. Kadang-kadang darah segar kobra diminum sebagai afrodisiak. Namun, lebih dari 90% orang di Indonesia adalah Muslim, yang dilarang untuk mengkonsumsi amphibians dan reptil serta daging babi. Oleh karena itu, kemungkinan besar sparganosis diperoleh dari minum air yang terkontaminasi cyclops yang terinfeksi procercoids (Margono et al. 2007).

7. Epidemiologi dan Aspek Sosial Masyarakat
Sparganosis dilaporkan di seluruh dunia, terutama Asia, khususnya di Korea, Cina, Jepang, Taiwan, Vietnam, dan Thailand (Dorny et al. 2009). Sedangkan menurut Gandahusada et al. (2000), parasit ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Indo-Cina, Afrika, Eropa, Australia, Amerika Utara-Selatan dan Indonesia.

Lebih dari 1400 kasus sparganosis pada manusia telah dilaporkan dari setidaknya 39 negara, termasuk kasus importasi yang berkaitan dengan perjalanan dan migrasi internasional. Pada skala global, kebanyakan kasus dilaporkan dari Timur Jauh, termasuk Cina, Jepang dan Republik Korea (Korea) dimana penyakit ini bersifat endemik. Sebelum 1998, 632 kasus telah didokumentasikan di Cina, dan lebih dari 100 kasus dilaporkan di Jepang. Sebuah tinjauan literatur mendokumentasikan 63 kasus di Korea selama periode 1917-1971 dan banyak kasus sporadis telah dilaporkan setelahnya. Asia Tenggara endemik menengah. 34 kasus telah dilaporkan di Thailand, dan beberapa kasus telah dilaporkan dari Indonesia, dimana agen penyebabnya kemungkinan spesies selain Spirometra mansoni (Margono et al. 2007). 

Perkembangan sosial budaya, pola hidup, diet dan ekonomi berdampak pada faktor risiko, dan juga distribusi sparganosis. Perbaikan akses terhadap air bersih menurunkan risiko infeksi, dan konsumsi katak dan kodok mentah untuk tujuan medis atau menutupkan daging katak mentah pada luka terbuka tidak populer lagi karena adanya pengobatan model barat. Namun demikian, di beberapa daerah pedalaman dan pegunungan, masih dianut kepercayaan bahwa katak dan kodok dapat mengatasi beberapa macam penyakit seperti bisul pada kulit atau mulut, demam dan luka terbuka. Bertolak belakang dengan penggunaan katak untuk pengobatan tradidional, konsumsi katak dan ular tampaknya semakin meningkat popularitasnya, meskipun biasanya dimasak cukup matang. Tinjauan terakhir menunjukkan bahwa 34.6% dari 104 pasien sparganosis dari Cina memiliki sejarah makan katak atau ular. Faktor risiko baru telah dilaporkan; konsumsi darah ular dan empedu ular mentah yang meningkat kepopulerannya dan beberapa kasus sparganosis berkaitan dengan kebiasaan ini (Sianto et al. 2009; Lv et al. 2010).

Makan daging ular atau katak mentah adalah rute yang paling sering menyebabkan infeksi di Asia Timur, terutama di Jepang dan Korea. Alasan untuk mengkonsumsi daging mentah dari hewan-hewan di Korea adalah untuk mempotensiasi aktivitas maskulin, memperoleh nutrisi khusus, menyembuhkan beberapa penyakit, bertahan hidup dalam pertempuran, dan karena kesukaan mengkonsumsi daging (Lee et al. 2011).

Menurut Dorny et al. (2009), daging reptil dan amphiibi dapat terinfeksi dengan berbagai parasit, termasuk cestodes (Diphyllobothrium spp, Spirometra) yang dapat menyebabkan infeksi zoonotik pada manusia ketika dikonsumsi mentah atau dimasak tidak benar. Pembekuan, memasak dan perawatan daging lainnya, seperti penggaraman, mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penularan , namun pengasapan atau pengawetan tidak selalu efektif dapat  dalam menghilangkan larva infektif. Pola dan kebiasanan masyarakat, seperti kebiasaan kuliner memainkan peran utama dalam paparan parasit ini. Secara tradisional, parasit zoonosis ini paling umum di Asia karena pola dan budaya masyarakat.

8. Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan bedah dan pengambilan larva merupakan treatment terbaik. Kerusakan lebih lanjut dapat dicegah ketika larva hidup dikeluarkan dari organ vital seperti otak. Melepaskan larva yang mati dan granuloma tidak mungkin memperbaiki defisit neurologis di kasus cerebral sparganosis. Utrasonografi mungkin bisa berguna untuk diagnosis pra-operasi payudara atau organ lainnya yang mengalami sparganosis. Penggunaan obat cacing seperti mebendazol, Albendazol, dan praziquantel belum terbukti bermanfaat (Wongkulab et al. 2008; Dorny et al. 2009).

Menurut Lv et al. (2010), tidak ada pengobatan yang tersedia untuk mengatasi sparganosis, dan sejauh ini tidak ada evaluasi sistimatis terhadap obat antelmintik yang telah dilakukan. Data klinis mengindikasikan bahwa praziquantel tidak mampu membunuh larva atau bermanfaat bagi pasien yang tidak menempuh pembedahan. Jadi, operasi adalah satu-satunya pilihan untuk memperbaiki kondisi pasien yang mengalami NSP. Literatur lain melaporkan bahwa kasus-kasus sparganosis pleural berhasil ditangani menggunakan pemberian praziquantel per oral dengan dosis 75 mg/kg per hari selama 3 hari, dan protokol ini dapat diaplikasikan pada bentuk lain penyakit ini. Untuk mencegah dan mengendalikan sparganosis dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, keamanan pangan dan metode untuk mencegah penyakit ini harus ditekankan dan ditingkatkan. Pemberitahuan kepada masyarakat untuk menghindari makan kodok mentah atau daging ular. Merubah kebiasaan seperti mengobati luka atau luka terbuka menggunakan daging atau kulit katak. Kedua, pelarangan membunuh dan memasarkan katak dan ular ilegal untuk melindungi ekologi lingkungan. Ketiga, cestodiasis pada hewan seperti anjing dan kucing, yang berfungsi sebagai final host harus secara teratur di obati untuk menghilangkan sumber infeksi (Li et al. 2011).

B. TINDAKAN PENGAWASAN DAN PENCEGAHAN
Ancaman zoonosis yang dapat ditularkan baik dari hewan maupun bahan asal hewan seperti daging. Untuk mencegah risiko tertularmya penyakit zoonosis yang salah satunya bisa disebabkan oleh parasit cacing (sparganosis) perlu dilakukan pengawasan dan penecagahan yang sangat ketat baik terhadap hewan maupun bahan asal hewan yang merupakan media pembawa penyakit tersebut yang dilalulintaskan baik impor, ekspor maupun antar area di wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia. Instansi pemerintah yang mempunyai tugas untuk melakukan tindakan pengawasan tersebut adalah Badan Karantina Pertanian (Barantan).

Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar, dan atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina meliputi tindakan 8 P yang terdiri dari pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Tindakan karantina tersebut dilakukan oleh petugas karantina ditempat pemasukan dan atau pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instalasi karantina.  Setiap media pembawa hama dari penyakit hewan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit bagi hewan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan, dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina  (Deptan 1992).

Perkarantinaan diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian sumberdaya alam hayati hewan. Hal ini mengandung arti bahwa segala tindakan karantina yang dilakukan semata-mata ditujukan untuk melindungi kelestarian sumberdaya alam hayati hewani dari serangan penyakit hewan karantina. Ancaman yang secara global telah diidentifikasi dapat dikendalikan efektif melalui penyelenggaraan perkarantinaan antara lain adalah anacaman terhadap kesehatan hewan, invassive species, penyakit zoonosis, bioterorisme, pagan yang tidak sehat termasuk GMO yang belum dapat diidentifikasi keamanannya, kelestarian plasma nutfah/keanekaragaman hayati, hambatan teknis erdagangan dan ancaman terhadap kestabilan perekonomian nasional. Ancaman-ancaman tersebut dapat juga dikelola dengan baik agar tidak masuk danmenyebab kedalam negeri melalui pemeriksaaan dan sertifikasi karantina (Barantan 2010).

Peraturan Pemerintah dan kebijakan pemerintah ini ditujukan antara lain  untuk melindungi konsumen dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan (foodborne diseases) akibat menggunakan baik untuk dipakai atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman baik masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan penularan zoonosis yang sumbernya berasal dari kerugian-kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi. Pada saat ini ancaman yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya alam, ketentraman dan kesehatan masyarakat, kesehatan pangan, gangguan terhadap produksi sektor pertanian serta lingkungan. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya tindakan karantina dalam menunjang kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi serta untuk melindungi  kelestarian sumber daya alam hayati hewan (Barantan 2010).

Indonesia merupakan salah satu negara  ekspor­tir daging katak terbesar selain Thailand dan China serta ular yang merupakan media pembawa dari saparganosis. Daging katak, terutama bagian paha (ekstremitas posterior), diekspo­r ke beberapa negara Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Kanada, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Di Indonesia sendiri banyak permintaan daging katak untuk rumah makan. Apabila katak terinfeksi parasit cacing, kualitasnya dan harganya menurun serta dagingnya tidak dapat di­manfaat­kan. Dari data yang ada di Badan Karantina Pertanian, media pembawa penyakit sparganosis seprti katak (amphibi, ular) banyak dilalulintaskan di wilayah Republik Indonesia. 

Perdagangan reptil dilakukan dalam jumlah yang besar dengan nilai yang sangat komersil. Direktorat Jendral PHKA, sampai tahun 1999 telah mencatat 161 spesies reptil diperdagangkan ke luar negeri. Sejumlah 54 spesies atau 33.5% diantaranya diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging dan produk jadi. Amerika Serikat dan Eropa merupakan negara tujuan penjualan reptil sebagai hewan peliharaan. Hongkong, Cina dan Taiwan merupakan negara pengimpor utama daging reptil dan produk obat-obatan dari Indoensia (Soehartono dan Mardiastuti 2003). 

Untuk mengurangi risiko penularan dan penyebaran penyakit saparganosis yang bersifat zoonosis ini sangat perlu untuk selalu ditingkatkan. Peran karantina sebagai garda terdepan untuk mencegah masuk dan menyebarnya hama dan penyakit karantina sangat vital. Menurut Dorny et al. (2009), kejadian sparganosis dapat ditularkan dan sebarkan melalui melalui akuakultur dan transportasi baik lokal maupun  internasional. Selain itu praktek kuliner yang mengalami perubahan karena adanya travelling dan pariwisata yang meningkat memungkinan terjadinya penyebaran dari zoonosis ini. Untuk itu karantina harus bisa menjadi institusi yang bisa memberikan ketentram di masyarakat akan risiko dari zoonosis ini.

Tindakan yang dilakukan oleh karantina sebagai istitusi yang berperan untuk pencegahan penyebaran penyakit dilakukan dengan tindakan karantina yang meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakukan, penahanan, penolakan,  pemusnahan dan pembebasan atau biasa disebut tindakan 8P. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut. Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dilakukan secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis pada hewan atau pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain. Pemeriksaan dapat dikukuhkan diagnosanya dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi (Deptan 2000).

Tindakan pembebasan terhadap reptil dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina, atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi. Pembebasan terhadap reptil yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina, setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina atau setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi (Deptan 2000).

BAB IV
KESIMPULAN

Sparganosis merupakan zoonosis parasit yang tersebar luas di belahan dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini dapat ditularkan dan sebarkan melalui media atau agen yang banyak dilalulintaskan baik lokal maupun internasional. Untuk itu pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk meminimalkan dan menjauhkan risiko penularan kepada manusia dan juga dengan menghentikan konsumsi katak dan ular mentah atau kurang matang, jangan minum air yang terkontaminasi, dan menghentikan penggunaan daging atau kulit katak untuk luka terbuka.


DAFTAR PUSTAKA
Alasaad S, Walton S,Rossi L, Bornstein S, Madi MA, Soriguer TC, Fitzgerald S, Zhu QZ, Zimmermann W, Ugbomoiko US, PeiKJC, Heukelbach J. 2011. Sarcoptes-World Molecular Network (Sarcoptes-WMN): integrating Research on Scabies. International Journal of Infectious Diseases 1248 :  1 - 4.

[Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2008. Laporan Tahunan Badan Karantina pertanian Tahun 2007. Jakarta : Barantan.

[Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2010. Rencana Strategis Badan Karantina Pertanian Tahun 2010 – 2014. Jakarta : Barantan.

[Deptan] Departemen Pertanian. 1992. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Jakarta : Deptan.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2000. Pertaturan Pemerintah Tahun 2000 tentang Karantina Hewan. Jakarta : Deptan.

Dorny P, Praet N, Deckers N, Gabriel S. 2009. Emerging food-borne parasites. J Veterinary Parasitology 163 : 196–206.

Gandahusada S, Iiahude HD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hong SJ, You Me Kim, Min Seo, Kyu Soon Kim. 2010. Breast and Scrotal Sparganosis. J Ultrasound Med  29 : 1627–1633.

Kim YJ,  Min Woo Lee, Hae Jeong Jeon,Jeong Geun Yi, Sung Hyun Paick, Hyeong Gon Kim, So Dug Lim, Tae Sook Hwang. 2007. Sparganosis in the Scrotum. J Ultrasound Med 26 : 129 – 131.

Kim MS, In Kyu Yu,  Kee-Hyun Chang, Moon Hee Han, Myung Soon Kim, Byung-Hee Lee, Yun Hee Le. 2010. Cerebral Sparganosis : The Differential Features between Live and Degenerated Worms on CT and MR Images. J Korean Soc Radiol 63 : 1-7.

Kwon J-H,  Kim JS. 2004. Sparganosis Presenting as a Conus Medullaris Lesion :Case Report and Literature Review of the Spinal Sparganosis. Arch Neuro. 61 : 1126 – 1128.

Lee K-J, Myung N-H, Park H-W. 2010. A Case of sparganosis in the leg. Korean J Parasitol 48 : 309-312.

Lee J-H, Gi-Hyun Kim, Sang Min Kim, Sang Yeub Lee, Won-Yik Lee, Jang-Whan Bae, Kyung-Sub Shin, Kyung-Kuk Hwang, Dong-Won Kim, Myeong-Chan Cho. 2011. Case of Sparganosis That Presented as a Recurrent Pericardial Effusion. Korean Circ J 41 : 38 – 42.

Li M-W, Hui-Qun Song, Chun Li, Hong-Ying Lin, Wei-Tian Xie, Rui-Qin Lin, Xing-Quan Zhu. 2011. Review : Sparganosis in mainland China. International Journal of Infectious Diseases 15 : 154156.

Lv S, Zhang Y, Steinmann P, Zhou X-N, Utzinger J. 2010. Helminth infections of the Central Nervous System occurring in Southeast Asia and the Far East. Di dalam: Zhou X-N, Bergquist R, Olveda R, Utzinger J, editor. Advances in Parasitology. Important Helminth Infections in Southeast Asia: Diversity and Potential for Control and Elimination, Part A, Volume 72. Ed. ke-1. London, UK: Academic Press.

Magnino S, Pierre Colin, Eduardo Dei-Cas, Mogens Madsen, Jim McLauchlin, Karsten Nöckler, Miguel Prieto Maradona, Eirini Tsigarida, Emmanuel Vanopdenbosch, Carlos Van Peteghem. 2009. Biological risks associated with consumption of reptile products. International Journal of Food Microbiology 134 : 163–175.

Margono SS, Sutjahyono RW, Kurniawan A, Nakao M, Mulyani T, Wandra T, Ito A. 2007. Diphyllobothriasis and sparganosis in Indonesia. Trop Med Health 35:301–305

Nawa Y, Christoph Hatz, and Johannes Blum. 2005. Sushi Delights and Parasites: The Risk of Fishborne and Foodborne Parasitic Zoonoses in Asia. Clinical Infectious Diseases 41:1297–303.

Park J-H, Jee-Won Chai, Nariya Cho, Nam-Sun Paek, Sang-Mee Guk, Eun-Hee Shin, Jong-Yil Chai1. 2006. A surgically confirmed case of breast sparganosis showing characteristic mammography and ultrasonography findings.  Korean Journal of Parasitology  44 : 151-156.

Park J-H, Park N-H, Lee E-J, Park C-S, Lee S-M, Park S-I. 2009. Ultrasonographic findings of subcutaneous and muscular sparganosis. J Korean Soc Radiol 61:183-187.
Sianto L, Chame M, Silva CSP, Gonçalves MLC, Reinhard K, Fugassa M, Araújo A. 2009. Animal Helminths in Human Archaeological Remains : A Review of Zoonoses in The Past. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo 3:119-130.

Soehartono T dan Mardiastuti. 2003. Pelaksanan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta. Japan International Cooperation Agency (JIC)
Soeharsono. 2005. Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 2. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Wongkulab P, Kom Sukontason, Romanee Chaiwarith. 2011. Sparganosis: A Brief Review. J Infect Dis Antimicrob Agents   28 : 77 – 80.

Wiwanitkit V. 2005. A review of human sparganosis in Thailand. International Journal of Infectious Diseases  9 :  312 – 316.

Yang JW, Jeong Heon Lee, Mi Seon Kang. 2007.  A Case of Oular Sparganosis in Korea. Korean Journal of Ophthalmology 1: 48-50.



Lampiran Peraturan Menteri Pertanian
Nomor : 34/Permentan/OT.140/6/2011
Tanggal : 20 Juni 2011

PERNYATAAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH 
PEJABAT FUNGSIONAL MEDIK VETERINER 
BADAN KARANTINA PERTANIAN KEMENTERIAN  PERTANIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama:   
NIP:   
Pangkat/Gol.:   
Jabatan:   
Unit Kerja:   
Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah berjudul “KEJADIAN SPARGANOSIS PADA MANUSIA DITINJAU DARI PENGAWASAN PEMERINTAH” dengan nomor katalog: 602.01.0003.PUSKH.11.2014 benar-benar di susun oleh Pejabat Fungsional di bawah ini:

Nama:   
NIP:   
Pangkat/Gol.:  
Jabatan :  
Unit Kerja:   

Demikian pernyataan ini kami buat untuk digunakan sebagaimana mestinya dengan penuh tanggung jawab


Jakarta,   November 2014
Pejabat... Unit Kerja................................



Nama .......................
NIP. ...............................................
  

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: