Haemorrhagic Septicemia atau Hemoragik Septikemia adalah
penyakit bakterial dan termasuk penyakit
utama sapi dan kerbau dengan karakteristik penyakit akut, septikemia yang
sangat mematikan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian Penyakit
Penyakit ini terdapat
di Indonesia dan kejadiannya telah dilaporkan ke pada OIE oleh Pemerintah
Indonesia setiap tahun. Di banyak negara Asia wabah penyakit ini sebagian besar
terjadi selama kondisi iklim khas monsun / muson (kelembaban tinggi dan suhu
tinggi).
Hemoragik septikemia merupakan penyakit penting di Asia, Afrika, beberapa negara di Eropa selatan, dan Timur Tengah. Serotipe B : 2 telah terlihat di Eropa selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, Mesir, dan Sudan. Serotipe E : 2 telah dilaporkan di Mesir, Sudan, Republik Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya. Selama sepuluh tahun terakhir belum pernah dilaporkan terjadi di Australia.
Hospes / Inang
Sapi dan kerbau air (Bubalus bubalis) adalah inang / hospes utama hemoragik septikemia, dan secara luas dianggap bahwa kerbau adalah lebih rentan. Di amerika utara menyerang bison. Wabah septikemia hemoragik pernah dilaporkan menyerang domba, kambing dan babi, namun tidak sering. Kasus jarang pada rusa, unta, gajah, kuda, keledai dan yak. Kelinci dan tikus laboratorium sangat rentan terhadap infeksi percobaan. Sapi, kerbau, dan bison tampaknya menjadi reservoir infeksi. Tidak ada laporan kasus infeksi pada manusia.
Penularan
1. Penyakit bekterial ini ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan muntahan; 2. Sapi dan kerbau menjadi terinfeksi ketika mereka menelan atau menghirup organisme penyebab, yang mungkin berasal dari nasofaring dari hewan yang terinfeksi. Di daerah endemik, sampai dengan 5 % dari sapi dan kerbau mungkin biasanya menjadi pembawa penyakit; 3. Wabah terburuk terjadi selama musim hujan , pada hewan dalam kondisi fisik yang buruk; 4. Stres karena kurangnya pakan diyakini akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Juga kandang yang penuh sesak dan kondisi yang basah tampaknya berkontribusi terhadap penyebaran penyakit; 5. penyakit dapat bertahan selama berjam-jam dan mungkin ber hari hari di tanah lembab atau air, organisme tidak ditemukan di tanah atau padang rumput setelah 2-3 minggu; 6. Gigitan arthropoda tampaknya tidak menjadi vektor yang signifikan agen penyakit; 7. Septikemia terjadi pada tahap pertengahan kejadian penyakit, oleh karena itu sampel darah yang diambil dari hewan sakit sebelum kematian mungkin tidak selalu berisi organisme penyakit; 8. Agen penyakit juga tidak konsisten hadir dalam hewan yang sakit pada pengambilan sampel sekresi hidung.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian Penyakit
Hemoragik septikemia merupakan penyakit penting di Asia, Afrika, beberapa negara di Eropa selatan, dan Timur Tengah. Serotipe B : 2 telah terlihat di Eropa selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, Mesir, dan Sudan. Serotipe E : 2 telah dilaporkan di Mesir, Sudan, Republik Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya. Selama sepuluh tahun terakhir belum pernah dilaporkan terjadi di Australia.
Hospes / Inang
Sapi dan kerbau air (Bubalus bubalis) adalah inang / hospes utama hemoragik septikemia, dan secara luas dianggap bahwa kerbau adalah lebih rentan. Di amerika utara menyerang bison. Wabah septikemia hemoragik pernah dilaporkan menyerang domba, kambing dan babi, namun tidak sering. Kasus jarang pada rusa, unta, gajah, kuda, keledai dan yak. Kelinci dan tikus laboratorium sangat rentan terhadap infeksi percobaan. Sapi, kerbau, dan bison tampaknya menjadi reservoir infeksi. Tidak ada laporan kasus infeksi pada manusia.
Penularan
1. Penyakit bekterial ini ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi dan muntahan; 2. Sapi dan kerbau menjadi terinfeksi ketika mereka menelan atau menghirup organisme penyebab, yang mungkin berasal dari nasofaring dari hewan yang terinfeksi. Di daerah endemik, sampai dengan 5 % dari sapi dan kerbau mungkin biasanya menjadi pembawa penyakit; 3. Wabah terburuk terjadi selama musim hujan , pada hewan dalam kondisi fisik yang buruk; 4. Stres karena kurangnya pakan diyakini akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Juga kandang yang penuh sesak dan kondisi yang basah tampaknya berkontribusi terhadap penyebaran penyakit; 5. penyakit dapat bertahan selama berjam-jam dan mungkin ber hari hari di tanah lembab atau air, organisme tidak ditemukan di tanah atau padang rumput setelah 2-3 minggu; 6. Gigitan arthropoda tampaknya tidak menjadi vektor yang signifikan agen penyakit; 7. Septikemia terjadi pada tahap pertengahan kejadian penyakit, oleh karena itu sampel darah yang diambil dari hewan sakit sebelum kematian mungkin tidak selalu berisi organisme penyakit; 8. Agen penyakit juga tidak konsisten hadir dalam hewan yang sakit pada pengambilan sampel sekresi hidung.
ETIOLOGI
Klasifikasi Agen Penyebab
Penyakit
Pasteurella multocida. Ordo: Pasteurellales. Famili: Pasteurellaceae. Penyakit ini disebabkan oleh serotipe tertentu Pasteurella multocida, coccobacillus Gram negatif (-) yang tinggal sebagian besar sebagai komensalisma di saluran pernapasan bagian atas hewan. Serotipe Asia B : 2 dan Serotipe Afrika E : 2 (Sistem Carter dan Heddleston), serotipe 6: B, 6 : E klasifikasi (sistem Namioka - Carter), serotipe lainnya, yaitu A : 1, A : 3, telah dikaitkan dengan kondisi hemoragik septikemiai pada sapi dan kerbau di India dengan pneumonia terutama yang menyebabkan kematian.
Ketahanan Terhadap Tantangan Fisik Dan Kimia
1. Suhu : P. multocida rentan terhadap panas ringan ( 55 ° C ).
2. Desinfektan : P. multocida rentan terhadap sebagian besar desinfektan rumah sakit.
3. Ketahan hidup hidup : Selama musim hujan di Asia Tenggara, diperkirakan bahwa organisme dapat bertahan selama benerapa jam dan mungkin beberapa hari di air dan tanah yang lembab.
DIAGNOSA
Diagnosa semestinya berdasar pada beberapa karakteristik epidemiologi dan gambaran klinis sejarah wabah sebelumnya. Kasus sporadis lebih sulit untuk mendiagnosa secara klinis. Kejadian tinggi pada kawanan, dengan demam dan pembengkaan edema menunjukkan khas Penyakit ini. Lesi nekropsi yang karakteristik mendukung diagnosis klinis, konfirmasi dengan isolasi karakterisasi patogen dan konvensional dan molekuler.
Masa inkubasi bervariasi dari 3-5 hari. Pada infeksi percobaan dengan dosis mematikan, sapi atau kerbau menunjukkan tanda-tanda klinis dalam beberapa jam dan mati dalam waktu 18-30 jam. Morbiditas tergantung pada kekebalan tubuh dan kondisi lingkungan, termasuk cuaca dan peternakan, morbiditas lebih tinggi bila hewan diternak di kandang yang padat, dalam kondisi buruk, atau terkena kondisi basah. Angka kematian bisa mencapai 100 % kecuali hewan diobati di awal penyakit, ada beberapa hewan yang selamat setelah mereka menunjukkan gejala klinis. Pengobatan dengan antibiotik akan efektif jika dimulai pada waktu yang sangat awal, selama tahap demam (pyrexic). Berbagai vaksin dapat memberikan perlindungan selama 6 - 12 bulan.
Gejala Klinis
Sebagian besar kasus pada sapi dan kerbau adalah akut atau peracute. Demam, kusam, dan keengganan untuk bergerak adalah tanda pertama. Kemudian terjadi leleran mulut dan leleran serous hidung, dan pembengkakan edema menjadi jelas di wilayah faring, pembengkakan tersebut menyebar ke daerah leher bawah dan pangkal leher bawah (brisket). Kongesti selaput lendir. Terjadi kesulitan bernafas, dan hewan biasanya ambruk dan mati 6 - 24 jam setelah tanda-tanda pertama terlihat. Kematian bisa terjadi mendadak atau kematian dengan proses yang lama hingga 5 hari juga dimungkinkan.
Hewan dengan tanda-tanda klinis, terutama kerbau, jarang sembuh. Kasus kronis tampaknya tidak terjadi. Kerbau umumnya lebih rentan terhadap Penyakit ini daripada binatang ternak dan menunjukkan penyakit yang lebih parah dengan tanda-tanda klinis yang jelas.
Di daerah endemis kebanyakan kematian terbatas pada sapi lebih tua dan dewasa muda. Kejadian penyakit besar-besaran dapat terjadi di daerah endemik serta daerah non endemik. Di saat lalu, Penyakit ini telah diidentifikasi sebagai komplikasi sekunder pada sapi dan kerbau menyusul wabah penyakit mulut dan kuku ( PMK ). Kasus kematian mendekati 100 % jika pengobatan tidak dilakukan pada tahap awal infeksi.
Lesi
Pasteurella multocida. Ordo: Pasteurellales. Famili: Pasteurellaceae. Penyakit ini disebabkan oleh serotipe tertentu Pasteurella multocida, coccobacillus Gram negatif (-) yang tinggal sebagian besar sebagai komensalisma di saluran pernapasan bagian atas hewan. Serotipe Asia B : 2 dan Serotipe Afrika E : 2 (Sistem Carter dan Heddleston), serotipe 6: B, 6 : E klasifikasi (sistem Namioka - Carter), serotipe lainnya, yaitu A : 1, A : 3, telah dikaitkan dengan kondisi hemoragik septikemiai pada sapi dan kerbau di India dengan pneumonia terutama yang menyebabkan kematian.
Ketahanan Terhadap Tantangan Fisik Dan Kimia
1. Suhu : P. multocida rentan terhadap panas ringan ( 55 ° C ).
2. Desinfektan : P. multocida rentan terhadap sebagian besar desinfektan rumah sakit.
3. Ketahan hidup hidup : Selama musim hujan di Asia Tenggara, diperkirakan bahwa organisme dapat bertahan selama benerapa jam dan mungkin beberapa hari di air dan tanah yang lembab.
DIAGNOSA
Diagnosa semestinya berdasar pada beberapa karakteristik epidemiologi dan gambaran klinis sejarah wabah sebelumnya. Kasus sporadis lebih sulit untuk mendiagnosa secara klinis. Kejadian tinggi pada kawanan, dengan demam dan pembengkaan edema menunjukkan khas Penyakit ini. Lesi nekropsi yang karakteristik mendukung diagnosis klinis, konfirmasi dengan isolasi karakterisasi patogen dan konvensional dan molekuler.
Masa inkubasi bervariasi dari 3-5 hari. Pada infeksi percobaan dengan dosis mematikan, sapi atau kerbau menunjukkan tanda-tanda klinis dalam beberapa jam dan mati dalam waktu 18-30 jam. Morbiditas tergantung pada kekebalan tubuh dan kondisi lingkungan, termasuk cuaca dan peternakan, morbiditas lebih tinggi bila hewan diternak di kandang yang padat, dalam kondisi buruk, atau terkena kondisi basah. Angka kematian bisa mencapai 100 % kecuali hewan diobati di awal penyakit, ada beberapa hewan yang selamat setelah mereka menunjukkan gejala klinis. Pengobatan dengan antibiotik akan efektif jika dimulai pada waktu yang sangat awal, selama tahap demam (pyrexic). Berbagai vaksin dapat memberikan perlindungan selama 6 - 12 bulan.
Gejala Klinis
Sebagian besar kasus pada sapi dan kerbau adalah akut atau peracute. Demam, kusam, dan keengganan untuk bergerak adalah tanda pertama. Kemudian terjadi leleran mulut dan leleran serous hidung, dan pembengkakan edema menjadi jelas di wilayah faring, pembengkakan tersebut menyebar ke daerah leher bawah dan pangkal leher bawah (brisket). Kongesti selaput lendir. Terjadi kesulitan bernafas, dan hewan biasanya ambruk dan mati 6 - 24 jam setelah tanda-tanda pertama terlihat. Kematian bisa terjadi mendadak atau kematian dengan proses yang lama hingga 5 hari juga dimungkinkan.
Hewan dengan tanda-tanda klinis, terutama kerbau, jarang sembuh. Kasus kronis tampaknya tidak terjadi. Kerbau umumnya lebih rentan terhadap Penyakit ini daripada binatang ternak dan menunjukkan penyakit yang lebih parah dengan tanda-tanda klinis yang jelas.
Di daerah endemis kebanyakan kematian terbatas pada sapi lebih tua dan dewasa muda. Kejadian penyakit besar-besaran dapat terjadi di daerah endemik serta daerah non endemik. Di saat lalu, Penyakit ini telah diidentifikasi sebagai komplikasi sekunder pada sapi dan kerbau menyusul wabah penyakit mulut dan kuku ( PMK ). Kasus kematian mendekati 100 % jika pengobatan tidak dilakukan pada tahap awal infeksi.
Lesi
- Perdarahan luas, edema, dan hiperemi, dengan sepsis berat. Edema terdiri dari massa gumpalan serofibrinous dengan cairan kekuning-kuningan atau bercampur darah.
- Pembengkakan kepala, leher, dan pangkal leher bawah (brisket) terjadi dalam hampir semua kasus. Pembesaran serupa juga dapat ditemukan di daerah otot.
- Pendarahan petekie subserosa dapat terjadi di seluruh tubuh, rongga dada dan perut sering mengandung cairan warna darah. Sebaran Petechiae dapat terlihat dalam jaringan dan kelenjar getah bening, khususnya kelenjar faring dan kelenjar daerah leher, kelenjar ini sering bengkak dan berdarah
- Pneumonia atau gastroenteritis sesekali terjadi , tetapi biasanya tidak luas. Kasus atipikal, tanpa bengkak di tenggorokan dan pneumonia yang luas, kadang-kadang terlihat.
- Tidak ada gambaran mikroskopis yang spesifik untuk septikemia hemoragik semua lesi konsisten dengan syok endotoksik yang parah dan kerusakan kapiler besar.
Diagnosa Banding
1. Shipping fever; 2. Blackleg;
3. Anthrax; 4. Salmonellosis; 5. Mycoplasmosis; 6. Pneumonic pasteurellosis.
Diagnosa Laboratorium
Sampel:
1. P. Multocida tidak selalu ditemukan dalam sampel darah sebelum tahap terminal penyakit, dan tidak selalu ada dalam sekresi hidung; 2. Pada hewan yang baru mati, sampel darah dengan heparin atau swab harus diambil dari hati dalam beberapa jam kematian, dan swab rongga hidung; 3. Sebuah tulang panjang dari jaringan harus diambil dari hewan yang lama sudah mati; 4. Hati; 5. Paru; 6. Ginjal; 7. Limpa; 8. Jika nekropsi tidak memungkinkan, sampel darah dapat diambil dari vena jugularis melalui aspirasi atau insisi, sampel darah harus ditempatkan dalam media transportasi standar dan diangkut pada paket es; 9. Limpa dan sumsum tulang merupakan sampel yang sangat baik untuk laboratorium, karena material ini terkontaminasi relatif terlambat dalam proses post-mortem oleh bakteri lain.
Identifikasi Agen Penyakit:
1. P. Multocida tidak selalu ditemukan dalam sampel darah sebelum tahap terminal penyakit, dan tidak selalu ada dalam sekresi hidung; 2. Pada hewan yang baru mati, sampel darah dengan heparin atau swab harus diambil dari hati dalam beberapa jam kematian, dan swab rongga hidung; 3. Sebuah tulang panjang dari jaringan harus diambil dari hewan yang lama sudah mati; 4. Hati; 5. Paru; 6. Ginjal; 7. Limpa; 8. Jika nekropsi tidak memungkinkan, sampel darah dapat diambil dari vena jugularis melalui aspirasi atau insisi, sampel darah harus ditempatkan dalam media transportasi standar dan diangkut pada paket es; 9. Limpa dan sumsum tulang merupakan sampel yang sangat baik untuk laboratorium, karena material ini terkontaminasi relatif terlambat dalam proses post-mortem oleh bakteri lain.
Identifikasi Agen Penyakit:
1. Diagnosa Penyakit tergantung
pada isolasi organisme penyebab P. multocida dari darah atau sumsum tulang dari
hewan mati dengan metode biologis dan kultural, identifikasi organisme dengan
metode biokimia, serologi dan molekuler; 2. Ulas darah dari hewan yang terkena
dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram, Leishman atau pewarnaan metilen blue.
Organisme muncul sebagai Gram (-) negatif, bipolar batang pendek; 3. Tidak ada kesimpulan
diagnosis yang pasti pada pemeriksaan mikroskopis tunggal; 4. Sampel dapat
dikultur pada agar kasein / sukrosa / ragi yang mengandung 5 % darah; 5. Dengan
metode serotipe termasuk rapid slide agglutination test, indirect
haemagglutination test, somatic antigen agglutination tests, agar gel
immunodiffusion dan counter immunoelectro-phoresis; 6. Teknologi PCR dapat
diterapkan untuk pemeriksaan cepat, sensitif dan spesifik untuk mendeteksi P.
Multocida.
Tes Serologis:
Tes serologis biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa penyakit ini.
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Pencegahan Dengan Sanitasi
Tes Serologis:
Tes serologis biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosa penyakit ini.
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Pencegahan Dengan Sanitasi
1. Lakukan biosecurity ketat di
daerah endemik; 2. Menghindari keadaan kandang dengan isi berdesakan, terutama
selama musim / kondisi basah, juga akan mengurangi timbulnya penyakit .
Pencegahan Secara Medis
1. Antimicrobial susceptibility
testing (AST) / uji kerentanan antimikroba sangat diperlukan untuk P. multocida
yang resisten terhadap antimikrobia yang umum digunakan; 2. Obat yang bisa
dipakai: penisilin, amoksisilin (atau ampisilin), sefalotin, ceftiofur,
cefquinome, streptomisin, gentamisin, spektinomisin, florfenicol, tetrasiklin,
sulfonamida, trimetoprim / sulfametoksazol, eritromisin, tilmicosin,
enrofloxacin (atau floroquinolones lainnya), amikasin dan norfloksasin; 3. Hewan
yang terkena Pasteurella multocida serotipe 6 : B 6 : E dan yang bertahan bisa
diberikan vaksin inaktif; 4. Lakukan vaksinasi rutin di daerah endemik.
*** Penulis: drh.
Giyono Trisnadi – Dari berbagai sumber.
English Version
HAEMORRHAGIC
SEPTICAEMIA
Hemorrhagic septicemia is a bacterial disease and classified major diseases of cattle and buffalo with acute illness characteristics, highly lethal septicemia with a high morbidity and mortality.
EPIDEMIOLOGY
Occerrence
The disease was found in Indonesia and the incidence has been reported to the OIE by the Government of Indonesia every year. In many Asian countries HS disease outbreaks mostly occur during the climatic conditions typical of monsoon (high humidity and high temperatures).
Haemorrhagic septicemia is an important disease in Asia, Africa, some countries in southern Europe, and the Middle East. Serotype B: 2 has been seen in southern Europe, the Middle East, Southeast Asia, Egypt, and Sudan. Serotype E: 2 have been reported in Egypt, Sudan, the Republic of South Africa and some other African countries. Over the last ten years has not been reported in Australia.
Hosts
Cattle and water buffaloes (Bubalus bubalis) are the principal hosts of hemorrhagic septicaemia, and it is widely considered that buffaloes are the more susceptible. North American range bison may also be infected. Although outbreaks of hemorrhagic septicaemia have been reported in sheep, goats and swine, it is not a frequent or significant disease. Infrequent cases have been reported in deer, camels,elephants, horses, donkeys and yaks. Laboratory rabbits and mice are highly susceptible to experimental infection. There are no reported cases of human infection. Cattle, water buffalo, and bison appear to be the reservoirs of infection.
Transmission
1. P. Multocida is transmitted by direct contact with infected animals and on fomites; 2. Cattle and buffalo become infected when they ingest or inhale the causative organism, which probably originates in the nasopharynx of infected animals. In endemic areas, up to 5% of cattle and water buffalo may normally be carriers; 3. The worst epidemics occur during the rainy season, in animals in poor physical condition; 4. Stresses such as a poor food supply are thought to increase susceptibility to infection, and close herding and wet conditions seem to contribute to the spread of the disease; 5. P. Multocida can survive for hours and possibly days in damp soil or water; viable organisms are not found in the soil or pastures after 2–3 weeks; 6. Biting arthropods do not seem to be significant vectors Sources of the agent; 7. Blood: septicaemia in HS occurs at the terminal stage of the disease, therefore, blood samples taken from sick animals before death may not always contain P. Multocida organisms; 8. Nasal secretions: organisms are also not consistently present in sick animals.
AETIOLOGY
Classification Of The Causative Agent
Pasteurella
multocida. Order: Pasteurellales. Family: Pasteurellaceae. The disease is
caused by certain serotypes of Pasteurella multocida, a Gram-negative
coccobacillus residing mostly as a commensal in the upper respiratory tract of
animals. The Asian serotype B:2 and the African serotype E:2 (Carter and
Heddleston system), corresponding to the newer 6:B and 6:E classification
(Namioka-Carter system), are mainlyresponsible for the disease. Other
serotypes, namely A:1, A: 3, have been associated with a HS-like condition in
cattle and buffaloes in India with mainly pneumonia leading to death. The
letter denotes the capsular antigen and the number stands for the somatic
antigen
Resistance To Physical And Chemical Action
1. Temperature: P. Multocida is susceptible to mild heat (55°C).
2. Disinfectants: P. Multocida is susceptible to most hospital disinfectants.
3. Survival: During the monsoon rains in southeast Asia, it is thought that the organisms can survive for hours and probably days in the moist soil and water.
Resistance To Physical And Chemical Action
1. Temperature: P. Multocida is susceptible to mild heat (55°C).
2. Disinfectants: P. Multocida is susceptible to most hospital disinfectants.
3. Survival: During the monsoon rains in southeast Asia, it is thought that the organisms can survive for hours and probably days in the moist soil and water.
DIAGNOSIS
Some
characteristic epidemiologic and clinical features aid in the recognition of
HS. Of particular significance is a history of earlier outbreaks. Sporadic
cases are more difficult to diagnose clinically. The season of the year, rapid
course, and high herd incidence, with fever and oedematous swellings indicate
typical HS. Characteristic necropsy lesions support the clinical diagnosis;
confirmation is by isolation of the pathogen and conventional and molecular
characterisation.
The
incubation period varies from 3–5 days. In experimental infections with lethal
doses, cattle or buffalo develop clinical signs within a few hours and die
within 18–30 hours. Morbidity depends on immunity and environmental conditions,
including both weather and husbandry; morbidity is higher when animals are
herded closely, in poor condition, or exposed to wet conditions. Mortality is
nearly 100% unless the animal is treated very early in the disease; few animals
survive once they develop clinical signs. Antibiotic treatment is effective if
it is started very early, during the pyrexic stage. Various vaccines can
provide protection for 6–12 months Clinical diagnosis.
Clinical Sign
Most cases in cattle and buffalo are acute or peracute. A fever, dullness, and reluctance to move are the first signs. Salivation and a serous nasal discharge develop, and oedematous swellings become apparent in the pharyngeal region; these swellings spread to the ventral cervical region and brisket. Mucous membranes are congested. Respiratory distress occurs, and the animal usually collapses and dies 6–24 hours after the first signs are seen. Either sudden death or a protracted course up to 5 days is also possible.
Animals with clinical signs, particularly buffalo, rarely recover. Chronic cases do not seem to occur. Buffaloes are generally more susceptible to HS than cattle and show more severe forms ofdi sease with profound clinical signs.
In endemic areas most deaths are confined to older calves and young adults. Massive epizootics may occur in endemic as well as non-endemic areas. In the recent past, HS has been identified as a secondary complication in cattle and buffalos following outbreaks of foot and mouth disease (FMD). Case fatality approaches 100% if treatment is not followed at the initial stage of infection.
Lesions
Clinical Sign
Most cases in cattle and buffalo are acute or peracute. A fever, dullness, and reluctance to move are the first signs. Salivation and a serous nasal discharge develop, and oedematous swellings become apparent in the pharyngeal region; these swellings spread to the ventral cervical region and brisket. Mucous membranes are congested. Respiratory distress occurs, and the animal usually collapses and dies 6–24 hours after the first signs are seen. Either sudden death or a protracted course up to 5 days is also possible.
Animals with clinical signs, particularly buffalo, rarely recover. Chronic cases do not seem to occur. Buffaloes are generally more susceptible to HS than cattle and show more severe forms ofdi sease with profound clinical signs.
In endemic areas most deaths are confined to older calves and young adults. Massive epizootics may occur in endemic as well as non-endemic areas. In the recent past, HS has been identified as a secondary complication in cattle and buffalos following outbreaks of foot and mouth disease (FMD). Case fatality approaches 100% if treatment is not followed at the initial stage of infection.
Lesions
- Widespread haemorrhages, oedema, and hyperaemia, consistent with severe sepsis. Oedema consists of a coagulated serofibrinous mass with straw-coloured or bloodstained fluid.
- Swelling of the head, neck, and brisket occurs in nearly all cases. Similar swellings can also be found in the musculature.
- Subserosal petechial haemorrhages may occur throughout the body, and the thoracic and abdominal cavities often contain blood-tinged fluid. Scattered petechiae may be visible in the tissues and lymph nodes, particularly the pharyngeal and cervical nodes; these nodes are often swollen and hemorrhagic.
- Pneumonia or gastroenteritis occasionally occurs, but usually is not extensive. Atypical cases, with no throat swelling and extensive pneumonia, are sometimes seen.
- There are no microscopic features that are specific for hemorrhagic septicaemia – all lesions are consistent with severe endotoxic shock and massive capillary damage.
Differential
Diagnosis
1. Shipping fever; 2. Blackleg; 3. Anthrax; 4. Salmonellosis; 5. Mycoplasmosis; 6. Pneumonic pasteurellosis.
Laboratory Diagnosis
Samples:
1. P. Multocida is not always found in blood samples before the terminal stage of the disease, and is not consistently present in nasal secretions; 2. In freshly dead animals, a heparinised blood sample or swab should be collected from the heart within a few hours of death, and a nasal swab; 3. A long bone freed of tissue should be taken from animals that have been dead for a long time; 4. Liver; 5. Lung; 6. Kidney; 7. Spleen; 8. If a necropsy is not feasible, blood samples can be taken from the jugular vein by aspiration or incision; blood samples should be placed in a standard transport medium and transported on ice packs; 9. Spleen and bone marrow provide excellent samples for the laboratory, as these are contaminated relatively late in the post-mortem process by other bacteria.
Procedures Identification Test Of The Agent:
1. Shipping fever; 2. Blackleg; 3. Anthrax; 4. Salmonellosis; 5. Mycoplasmosis; 6. Pneumonic pasteurellosis.
Laboratory Diagnosis
Samples:
1. P. Multocida is not always found in blood samples before the terminal stage of the disease, and is not consistently present in nasal secretions; 2. In freshly dead animals, a heparinised blood sample or swab should be collected from the heart within a few hours of death, and a nasal swab; 3. A long bone freed of tissue should be taken from animals that have been dead for a long time; 4. Liver; 5. Lung; 6. Kidney; 7. Spleen; 8. If a necropsy is not feasible, blood samples can be taken from the jugular vein by aspiration or incision; blood samples should be placed in a standard transport medium and transported on ice packs; 9. Spleen and bone marrow provide excellent samples for the laboratory, as these are contaminated relatively late in the post-mortem process by other bacteria.
Procedures Identification Test Of The Agent:
1. The
diagnosis of HS depends on the isolation of the causative organism, P.
multocida, from the blood or bone marrow of a dead animal by cultural and
biological methods, and the identification of the organism by biochemical,
serological and molecular methods; 2. Blood smears from affected animals can be
stained with Gram, Leishman’s or methylene blue stains. The organisms appear as
Gram-negative, bipolar-staining short bacilli; 3. No conclusive diagnosis can
be made on direct microscopic examinations alone; 4. Samples may be cultured on
casein/sucrose/yeast agar containing 5% blood. Details, including biochemical
methods for identification of the organisms, may be found in the OIE
TerrestrialManual; 5. Serotyping methods include the rapid slide agglutination
test, indirect haemagglutination test, somatic antigen agglutination tests,
agar gel immunodiffusion and counter immunoelectro-phoresis. Details are in
theOIE Terrestrial Manual; 6. PCR technology can be applied for rapid,
sensitive and specific detection of P. Multocida.
Serological Tests:
Serological tests are not normally used for diagnosis to HS.
PREVENTION AND CONTROL
Sanitary Prophylaxis
1. Biosecurity have to practiced in endemic areas; 2. Avoiding crowding, especially during wet conditions, will also reduce the incidence of disease.
Medical Prophylaxis
1. Antimicrobial susceptibility testing (AST) is particularly necessary for P. Multocida for which resistance to commonly used antimicrobial agents has occurred; 2. The following agents have proven their clinical efficacy: penicillin, amoxicillin (or ampicillin), cephalothin, ceftiofur, cefquinome, streptomycin, gentamicin, spectinomycin, florfenicol, tetracycline, sulfonamides, trimethoprim/ sulfamethoxazole, erythromycin, tilmicosin, enrofloxacin (or other floroquinolones), Amikacin and norfloxacin; 3. Animals that are exposed to Pasteurella multocida serotypes 6:B and 6:E and that survive are considered solidly immune Inactivated vaccines; 4. Vaccination is routinely practiced in endemic areas.
Serological Tests:
Serological tests are not normally used for diagnosis to HS.
PREVENTION AND CONTROL
Sanitary Prophylaxis
1. Biosecurity have to practiced in endemic areas; 2. Avoiding crowding, especially during wet conditions, will also reduce the incidence of disease.
Medical Prophylaxis
1. Antimicrobial susceptibility testing (AST) is particularly necessary for P. Multocida for which resistance to commonly used antimicrobial agents has occurred; 2. The following agents have proven their clinical efficacy: penicillin, amoxicillin (or ampicillin), cephalothin, ceftiofur, cefquinome, streptomycin, gentamicin, spectinomycin, florfenicol, tetracycline, sulfonamides, trimethoprim/ sulfamethoxazole, erythromycin, tilmicosin, enrofloxacin (or other floroquinolones), Amikacin and norfloxacin; 3. Animals that are exposed to Pasteurella multocida serotypes 6:B and 6:E and that survive are considered solidly immune Inactivated vaccines; 4. Vaccination is routinely practiced in endemic areas.
*** Created by Giyono Trisnadi, DVM - With many references.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar