RESIKO PENYEBARAN BRUCELLOSIS DI SULAWESI TENGGARA

Sulawesi Tenggara merupakan daerah penghasil ternak sapi potong dan sebagai pemasok ke daerah lainnya seperti ke daerah Sulawesi Selatan, dan Kalimantan. Namun kondisi daerah Sulawesi Tenggara masih bersifat endemis terhadap Brucellosis oleh karena itu peranan karantina pertanian sangat diperlukan dalam melalu lintaskannya.


******


RESIKO PENYEBARAN BRUCELLOSIS DI SULAWESI TENGGARA
Oleh: Drh. I Wayan Kertanegara


BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang ketat (Ditjennak 1998). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan sebagai zoonosis serta bersifat laten.

Pada sapi gejala klinik yang mencolok adalah terjadi abortus, terutama pada usia kebuntingan lanjut (7 – 8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami keguguran sekali saja pada kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih membawa B. abortus sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma (pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening atau fibrinopurulen). Masa inkubasi beragam, rnengikuti kematangan seksual dan tingkat kebuntingan, sedang pada sapi betina muda ada periode laten yang panjang (Adman, 2008).

Sebagian besar daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara kejadian Brucellosis masih ditemukan. Berbagai upaya dan program telah dilakukan pemerintah daerah dan Balai Besar Veteriner Maros untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Namun upaya tersebut belum menunjukan hasil yang optimal. Pada sisi lain, karakteristik peternak sapi di daerah Sulawesi Tenggara dalam sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dilepas pada padang pengembalaan sehingga lingkungan ini memungkinkan terjadinya penyebaran Brucellosis. Oleh karenanya resiko penyebaran Brucellosis ke daerah lain dari Sulawesi Tenggara berpotensi cukup tinggi.

Rumusan Masalah
Sulawesi Tenggara merupakan daerah penghasil ternak sapi potong dan sebagai pemasok ternak sapi potong ke daerah lainnya seperti ke daerah Sulawesi Selatan, dan Kalimantan. Namun kondisi daerah Sulawesi Tenggara masih bersifat endemis terhadap Brucellosis yang berpotensi  terhadap penyebaran Brucellosis ke daerah lainnya sehingga peranan karantina pertanian sangat strategis dalam pencegahan penyebaran Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Brucellosis..

Tujuan Penulisan
a. Menggambarkan tingkat resiko penyebaran Brucellosis di Sulawesi Tenggara.
b. Menentukan prosedur tindakan karantina terhadap media pembawa HPHK Brucellosis yang dikeluarkan dari daerah Sulawesi Tenggara.

Manfaat  Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada publik tentang situasi Brucellosis di Sulawesi Tenggara dan memberikan informasi kepada petugas karantina pertanian untuk meningkatkan pelayanan perkarantinaan hewan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang sangat infeksius. Leleran dari vagina, ari-ari janin dan air susu penderita merupaka sumber penularan yang sangat potensial bagi hewan dan manusia. Dilaporkan bahwa setiap kali sapi penderita mengalami keguguran atau melahirkan anak, sejumlah kuman yang dihasilkan mampu menginfeksi sekitar 600.000 ekor ternak di sekitarnya (Maria, 2005).

Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Brucella adalah bakteri yang berbentuk batang halus berukuran panjang 0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta sel epitel induk semang.

Kemampuan ini yang menyebabkan pengobatan memakai antibiotik kurang efisien dan efektif (Blood dan Radostitis, 1989) serta pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman jarang beredar di darah. Hingga saat ini terdapat tuju spesies Brucella yang diketahui yaitu B. abortus (sapi), B. melitensis (kambing dan domba), B. suis (babi, hares, rusa kutub, caribou, (binatang pengerat), B. canis (anjing dan sejenisnya), B. ovis (domba), B. neotomae (desert wood rat), B. maris (mamalia laut). Dari berbagai spesies Brucella sebagian besar bersifat patogen bagi manusia hanya B. ovis dan B. neotomae yang tidak patogen pada manusia, sedangkan B. maris belum diketahui (Pasaribu, 2007).

Penularan dan Penyebaran
Penyakit Penularan Brucella terjadi secara oral, nasal atau melalui selaput kelenjar mata. Penularan terjadi karena terkontaminasinya makanan atau minuman oleh kuman Brucella yang berasal dari sisa kelahiran, susu mentah dan produk olahannya atau kontak langsung dengan penderita dan terkena cipratan cairan dari penderita. Sapi bunting yang teinfeksi merupakan sumber penularan B. abortus yang utama. Plaseta dan cairanya serta fetus yang di absorbsikan mengandung kuman sebanyak 1012–1014 (Edelsten et al., 1990).

Penularan langsung terjadi bila sapi menjilat/terjilat sisa kelahiran tersebut. Bakteri yang dikeluarkan bersamaan dengan kelahiran tersebut mampu menularkan lagi hingga 600 ekor sapi lain. Umumnya tingkat penularan tertinggi terjadi selama satu bulan sejak induk penderita mengalami keguguran atau melahirkan.

Selanjutnya bakteri akan bersembunyi di dalam persendian, kelenjar limfe (khususnya supramaria) dan kelenjar susu (Subronto, 1995). Setelah itu infeksi akan mengalami penurunan pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini kuman Brucella tidak dapat diisolasi dari darah atau uterus tidak bunting.

Selama proses penyakit berlangsung, hewan secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan lesi yang timbul bersifat ringan. Penularan uterus terjadi melalui jalan darah. Apabila bakteri yang dibawa oleh darah dapat mencapai uterus, maka bakteri akan berkembang biak dengan cepat pada uterus sendiri maupun janin pada hewan bunting.

Perkembangan ini menyebabkan hewan yang baru terinfeksi mengalami radang akut dan berakibat aborsi/keluron pada hari ke 33 sampai ke 230 (Subronto, 1995).

Hewan bunting terinfeksi menularkan ke janinnya bila infeksi terjadi setelah janin mencapai umur 6 bulan (infeksi kongenital). Infeksi ini cenderung tetap dan bersifat laten (latent cerrier). Brucellosis pada hewan carier laten sangat sulit dideteksi secara serologis (Rompis, 2002). Hewan seperti ini pada umumnya akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama. Kondisi seperti ini tidak ditemui pada pedet yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umur kebuntingan muda. Pedet yang terinfeksi pada bulan-bulan pertama kebuntingan nampaknya kurang rentan terhadap infeksi Brucella abortus.

Gejala Klinis
Penyebab utama Brucellosis pada ternak di tentukan oleh umur hewan ketika terpapar infeksi dan tingkat keparahan infeksi yang ditentukan oleh jumlah organisme serta tingkat virulensinya (Edelsten et al., 1990).

Keluron merupakan satu-satunya gejala klinis yang nyata terlihat pada sapi (Subronto, 1995). Keluron atau abortus biasanya terjadi pada umur kebuntingan 5- 8 bulan. Keluron pada masa kebuntingan tua lebih sering terjadi dari pada masa bunting muda. Keluron pada masa bunting muda dan kemajiran seperti yang ditemukan pada Vibriosis dan Tricomoniasis tidak ditemukan pada penderita Brucellosis. Pada infeksi yang kurang akut, ternak dapat melahirkan secara sempurna dengan anak yang lahir lemah atau adanya komplikasi plasenta tertahan.

Cairan plasenta akan berwarna keruh kekuningan, walau keadaan ini tak selalu terjadi. Infertilitas dapat muncul sebagai lanjutan dari metritis kronis. Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan gejala klinis walau pembesaran tetes akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang 1984).

Perubahan degeneratif dapat terjadi dengan adanya semen bercampur nanah. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan serologi. Higroma dapat terjadi pada ternak jantan dan betina, tetapi gejala ini hanya dapat diamati pada populasi dengan tingkat infeksi yang tinggi. Gejala utamanya adalah demam tinggi terutama di malam hari.

Periode Inkubasi
Periode inkubasi pada ternak biasanya satu hingga tiga minggu tetapi kadang dapat setelah beberapa bulan baru gejala awal terlihat. Periode ini bervariasi tergantung pada usia kebuntingan dan dipengaruhi oleh jumlah kuman yang masuk serta keadaan induk semang, apakah hewan sudah pernah divaksinasi atau karena infeksi alam (Setiawan 1992).

Diagnosa Klinis
Keluron pada sapi tidak hanya disebabkan oleh bakteri.  Kejadian ini juga disebabkan oleh virus, jamur atau protozoa. Oleh karena itu diagnosis penyebabnya tidak hanya dapat didasarkan pada pengamatan sepintas atau riwayat kejadian. Namun keluron yang umum terjadi pada bulan ke enam masa kebuntingan dapat dicurigai sebagai akibat adanya Brucellosis. Diagnosa Brucellosis membutuhkan beberapa uji labolatoris (Alton et al. 1988) yang meliputi antara lain:

1. Isolasi organisme di paru-paru, lambung atau plasenta fetus. Pada hewan dewasa organisme ini dapat diperoleh dari air susu atau semen atau dari kelenjar limpa sesudah hewan dipotong. B. abortus umumnya diisolasi di dalam media kultur atau pada marmut.

2. Uji serologik terhadap aglutinin di dalam darah, yang biasanya terdapat pada waktu abortus dan sering menunggu sesudah waktu tersebut. Dalam bentuk uji tabung aglutinasi, uji piringan aglutinasi, uji inaktifasi, uji piringan antigen yang diasamkan, uji pengendapan senyawa akridin (Rivanol), dan uji fiksasi komplemen. Efisiensi pengujian-pengujian dalam menentukan infeksi B. abortus pada sekelompok ternak sapi yang terserang masing-masing adalah 52-61, 66, 93, 96, dan 98% (Nicoletti, 1969).

3. Uji aglutinasi terhadap susu termasuk uji cincin susu (Milk Ring Test) atau uji cepat diagnosa Brucellosis dilakukan dengan menggunakan antigen yang diwarnai dengan Rose Bengal (Rose Bengal Test) pada sapi yang terserang, kepekaan uji ini mencapai 92%. Pengujian semua kelompok ternak sapi perah disuatu daerah dua kali atau lebih dalam waktu satu tahun dengan Milk Ring Test (MRT) dapat mendiagnosa secara efektif dan mengeliminer sapi-sapi yang terserang (Janney et al., 1958 ). Pada uji Rose Bengal Test umumnya dapat mengenali hewan yang tertular lebih dini. Reaksi positif juga dihasilkan walau tingkat kejadian penyakit rendah dan vaksinasi pada pedet dengan strain 19 banyak dilakukan (Subronto, 1995).

4. Uji aglutinasi dapat pula dilakukan pada plasma semen sapi-sapi jantan tersangka (Kerr, 1955). Sejarah kelompok ternak sangat bermanfaat dalam mendiagnosa penyebab abortus, diagnosa perbandingan antara penyebab abortus cukup sulit dan sering tidak mungkin tanpa bantuan laboratorium yang baik. Lesio plasental pada Brucellosis, vibronosis dan penularan jamur pada sapi nampak sama.

Pengendalian dan Pemberantasan
Brucellosis pada manusia dapat dicegah dengan pengawasan atau eliminasi penyakit pada populasi ternak dan menghindari konsumsi susu mentah serta produksinya.

Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa manusia adalah titik akhir dari perjalanan Brucellosis, dalam arti manusia tidak menularkan pada manusia lain. Oleh karena itu upaya utama yang dapat dilakukan adalah mengendalikan dan mencegah penyakit berpindah dari ternak ke manusia.

Pengawasan Brucellosis dapat dimulai pada tingkat peternakan berdasarkan kombinasi antar higiene yang baik dan vaksinasi. Vaksinasi merupakan cara yang paling tepat untuk mengurangi resiko infeksi. Dimana, usaha ini secara ekonomis dipandang sudah memenuhi standar program pemberantasan penyakit. Vaksin dapat mengurangi jumlah hewan terinfeksi jika dilakukan dalam waktu 7 tahun (Rompis, 2000).

Vaksin ternak pada masa pedet akan menurunkan reaktor sekitar 2 – 4% (Subronto,1995).  Pengobatan Pengobatan terhadap ternak penderita Brucellosis dengan berbagai antibiotik telah dicoba namun hasil yang diperoleh kurang maksimal. Tindakan- tindakan higienis sangat penting dalam program pencegahan Brucellosis pada suatu kelompok ternak.

Sapi yang tertular sebaiknya dijual kejagal atau dipisahkan dari kelompoknya beberapa minggu sebelumnya, dimana penyebaran tertinggi organisme Brucella dapat terjadi. Foetus dan plasenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didisinfeksi dengan larutan kresol 4% atau disinfektan sejenis. Semua ternak yang didatangkan ke peternakan itu harus diuji kembali sebelum ditempatkan bersama kelompok ternak yang ada kecuali apabila didatangkan dari kelompok yang bebas Brucella. Prosedur pengujian awal ini sangat penting bahkan pada kelompok ternak yang sudah divaksinasi. Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi betina yang berumur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella stain 19 yang merupakan vaksin referens bagi Brucellosis. Selain itu, vaksisn strain 19 juga menyebabkan terjadinya titer antibodi persisten pada sapi yang divaksisn sehingga sulit untuk dibedakan dengan infeksi alam (hasil uji positif palsu).

Vaksin strain 19 dapat menyebabkan keguguran dan vaksin ini juga dapat diekskresikan melalui susu. Selain vaksin strain 19 vaksin lain yang biasa digunakan adalah vaksin strain 51 (RB 51). Vaksin ini tidak menyebabkan terbentuknya antibodi persisten pada sapi yang divaksin. Vaksin yang dikembangkan merupakan bakteri hidup sehingga dapat menginfeksi manusia bila penggunaannya yang kurang benar. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan pada pedet betina dengan dosis vaksin 5 ml subkutan. Reaksi vaksinasi akan terjadi setelah pubertas, karena terjadi peningkatan titer antibodi serum dengan cepat dan akan menghilang lebih dari 90% pada ternak tersebut sesudah mencapai umur 30 bulan.

Kondisi Brucellosis di Sulawesi Tenggara
Program pengendalian Brucellosis dengan Test and Slaughter pada sapi potong telah dilakukan oleh pemerintah daerah, namun hingga saat ini belum mampu untuk mengendalikan Brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Tenggara Ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab sulitnya mengendalikan Brucellosis pada sapi di Sulawesi Tenggara yaitu:

Ternak yang terserang Brucellosis biasanya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis) dan terjadinya abortus biasanya satu kali pada kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan.
1. Pemberian kompensasi oleh pemerintah terhadap ternak yang dipotong menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah ternak yang dipotong dengan kompensasi. Selain itu turunnya dana kompensasi tidak bersamaan dengan hasil uji serologis sehingga memungkinkan penularan terjadi.

2. Pengawasan lalu-lintas ternak antar wilayah di trans Sulawesi sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk melakukan pengawasan pergerakkannya.

3. Pelaksanaan Test and Slaughter belum dapat dilakukan secara serentak dan optimal karena keterbatasan dana, sumber daya manusia dan belum optimalnya sosialisasi program.

4. Adanya pemakaian vaksin B. abortus S19 dibeberapa daerah yang mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi alam.

Tabel 1.  Kondisi Penyakit Brucellosis di Sulawesi Tenggara Sesuai Hasil Surveilans BB Vet Maros Tahun 2016
No
Kab/Kota
Sampel
Positif
Apperent Prev
Kriteria
1.
Kendari
26
12
0%
Tertular ringan (<2%)
2.
Konawe Selatan
2589
0
0%
Bebas Kasus
3.
Kolaka Timur
3130
1
0,03%
Tertular Ringan (<2%)
4.
Kolaka
2500
36
1,4%
Tertular Ringan (<2%)
5.
Konawe
3000
32
1,1%
Tertular Ringan (<2%)
6.
Bombana
2000
21
0,35%
Tertular Ringan (<2%)
7.
Muna
1000
0
1,05%
Tertular Ringan (<2%)
8.
Buton
500
7
0%
Tertular Ringan (<2%)
9.
Kota Bau Bau
500
12
1,4%
Tertular Ringan (<2%)
10.
Kolaka Utara
200
0
2,4%
Tertular Berat (>2%)
SULAWESI TENGGARA
15720
130
0,83%
Tertular Ringan (<2%)

BAB III PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil surveilans terhadap Brucellosis yang dilakukan oleh BB Vet Maros di Sulawesi Tenggara Tahun 2016 dengan sampel yang diuji 15.720 sampel dan positif sejumlah 130 sampel sehingga tingkat prevalensi mencapai 0,38% atau tertular ringan (< 2%) namun terdapat daerah yang mencapai tertular berat (> 2%) terhadap Brucellosis yaitu di Kota Kendari dengan apperrent Prevalensi mencapai 46% dan reaktor ini dapat sebagai carier. Brucellosis pada hewan carier laten sangat sulit dideteksi secara serologis (Rompis 2002). Kondisi seperti ini menunjukkan masih adanya peluang penyebaran Brucellosis di Sulawesi Tenggara baik antar kabupaten/kota dan bahkan ke daerah lainnya. Belum mampunya Sulawesi Tenggara mengendalikan dan pemberantasan Brucellosis disebabkan oleh karena Ternak yang terserang Brucellosis biasanya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis) dan terjadinya abortus biasanya satu kali pada kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan.

Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit Brucellosis ke luar daerah Sulawesi Tenggara, maka peranan karantina pertanian dalam pelayanan perkarantinaan hewan adalah pengetatan pemeriksaan dokumen  psl 41 (1) PP No. 82 Tahun 2000. Titik kritis penyebaran Brucellosis ke daerah lainnya adalah ternak sapi yang berasal dari kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara yang tertular Brucellosis, sehingga terhadap media pembawa HPHK tersebut diperlukan pelakasanaan tindakan karantina secara klinis dengan peneguhan pengujian laboratorium dengan standar minimal yaitu pengujian dengan Rose Bengal Test dan jika hasilnya positif antibody Brucellosis maka dilanjutkan dengan CFT.

Tindakan pengendalian dilakukan dengan cara pemotongan bersyarat terhadap reaktor Brucellosis  atau dipisahkan dari kelompoknya beberapa minggu sebelumnya, dimana penyebaran tertinggi organisme Brucella sp. Disamping melakukan pemotongan bersyarat terhadap reaktor, juga dapat dilakukan  vaksinasi, karena Vaksin dapat mengurangi jumlah hewan terinfeksi jika dilakukan dalam waktu 7 tahun (Rompis 2000).

PENUTUP

Kesimpulan
1. Kondisi Brucellosis  Sulawesi Tenggara pada masing-masing kabupaten/ kota menunjukkan rata-rata tertular ringan (< 2%).
2. Peranan karantina pertanian di kawasan BKP Kelas II Kendari sangat strategis.
3. Banyaknya hambatan terhadap pengendalian Brucellosis di Sulawesi Tenggara

Saran
1. Dilakukan surveillans representatif / Risk Base Surveillans.
2. Pemotongan bersyarat reaktor brucellosis.
3. Sensus pada desa kasus untuk menurunkan jumlah reaktor.
4. Memperketat pengawasan lalu lintas hewan ternak.
5. Meningkatkan manajemen kelompok tani ternak dan pengawasan tehadap pola peternakan ekstensif.


V. DAFTAR PUSTAKA

(ada pada penulis /bila ada yang memerlukan bisa menghubungi penulis)

Catatan:
Tanpa merubah maksud dan mengurangi isinya, tulisan telah diedit ulang oleh: 
drh. Giyono Trisnadi

Drh. I Wayan Kertanegara
adalah dokter hewan yang bertugas di Balai Karantina Pertanian Kelas II Kendari, 
Badan Karantina Pertanian

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: