BAHAYA JAJANAN BAGI ANAK DISEKOLAH

Pangan sebagai Jajanan Anak Sekolah yang kurang higienis dapat menjadi penyebab keracuanan atau terkena penyakit dengan perantara makanan (foodboene disease). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa makanan yang dijajakan di sekolah kurang higienis dan menjadi penyebab masalah kesehatan pada anak sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka. 


******


JAMINAN KEAMANAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN SEBAGAI 
PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH (PJAS)

Oleh: Heru Susilo


ABSTRAK
Hasil bahan asal hewan dari daging banyak dijajakan di sekolah sebagai pangan jajanan anak sekolah seperti sosis, nugget dan bakso. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat berisiko terkontaminasi mikroorganisme. Minimnya pengetahuan para penjaja makanan mengenai cara mengelola makanan yang sehat dan aman, menambah besar risiko kontaminasi makanan dan minuman yang dijajakannya. Makanan yang mengandung mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit yang pada gilirannya dapat mengganggu proses belajar mengajar. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakamanan PJAS adalah berupa penyuluhan gizi dan pendampingan gizi dan keamanan pangan kepada penjaja PJAS.

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Makanan dapat pula menjadi sumber penularan penyakit bila makanan tersebut tidak dikelola secara higienis. Banyaknya permasalahan pangan di Indonesia, disebabkan rendahnya pengetahuan cara pengolahan pangan, kurangnya kontrol terhadap kebersihan dan keamanan pangan. Kasus keracunan makanan dan penyakit infeksi karena makanan cenderung meningkat. Anak-anak sering menjadi korban penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan dalam proses pengelolaan makanan.

Produk makanan belakangan ini sudah berkembang dan berbagai macam jenisnya. Perlu sikap yang bijak dalam memilih dan mengkonsumsinya, terutama untuk anak-anak karena banyak kejadian keracunan yang disebabkan mengkonsumsi makanan. Bagi anak-anak, Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang kurang higienis dapat menjadi penyebab keracuanan atau penyakit perantara makanan (foodboene disease). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa makanan yang dijajakan di sekolah kurang higienis dan menjadi penyebab masalah kesehatan pada anak sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka. Makanan yang dikonsumsi tersebut dapat berasal dari hewan berupa produk olahan dari daging misal sosis, nugget, bakso dan lain sebagainya. 

Sekitar 80% penyakit yang tertular melalui makanan disebabkan oleh bakteri patogen. Beberapa jenis bakteri yang sering menimbulkan penyakit antara lain: Salmonella, Staphylococcus, E. coli, Vibrio, Clostridium, Shigella dan Pseudomonas Cocovenenous. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan makanan, antara lain adalah hygiene perorangan yang buruk, cara penanganan makanan yang tidak sehat dan perlengkapan pengolahan makanan yang tidak bersih. Salah satunya penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan dalam  memperhatikan kesehatan diri dan lingkungannya dalam proses pengolahan makanan yang baik dan sehat (Ningsih 2014).

Perlu perhatian serius terhadap masalah keamanan pangan salah satunya pangan yang dikonsumsi anak-anak. Makanan atau jajanan yang dikonsumsi harus sehat, higienis dan dapat mendukung kecerdasan anak-anak sebagi masa depan bangsa, bukan menjadi penyebab sakit atau keracunan sehingga mengganggu proses belajar mereka. Pengetahuan tentang proses pengolahan makanan yang sehat dan higieneis bagi penjaja makanan di sekolah perlu ditingkatkan, begitu juga kebersihan perorangan dari anak-anak sebelum mengkonsumsi jajanan juga perlu ditingkatkan.


Tujuan
Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang pentingnya menjaga keamanan pangan berupa hasil bahan asal hewan sebagai pangan jajanan anak sekolah yang dikonsumsi anak-anak agar terhindar dari foodborne disease.

II TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Anak-anak di sekolah sering jajan dan mengkonsumsi hasil bahan asal hewan karena selain enak tampilannya juga menarik. Menurut UU nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang disebut hasil bahan asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah diolah. Hasil bahan asal hewan dari daging yang banyak dikonsumsi dan digemari anak-anak antara lain sosis, nugget dan bakso. Menurut UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, ada beberapa istilah yang menyangkut pangan yaitu :

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan.

Pangan Segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan.

Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.

Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi

Mutu dan keamanan mikrobiologis dari produk pangan sangat penting artinya bagi produsen, penjual dan konsumen. Mutu mikrobiologi dan keamanan mikrobiologi ini keduanya melibatkan kontaminan mikroba pada produk. Ada dua kelompok besar mikroba yang berperan pada mutu dan keamanan mikrobiologi produk: mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Mikroba patogen adalah yang sangat menentukan keamanan mikrobiologis produk dan keberadaannya bisa membahayakan kesehatan, sementara mikroba pembusuk umumnya tidak menyebabkan penyakit pada orang yang mengkonsumsinya tetapi menyebabkan terjadinya penyimpangan bau, flavor dan warna sehingga produk tidak lagi layak dikonsumsi.

Makanan jajanan memberikan kontribusi yang penting bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi anak. Secara nasional ada persoalan serius terhadap masalah keamanan makanan jajanan anak  sekolah dasar sehingga perlu diupayakan cara mengatasinya. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat berisiko terhadap cemaran kimia dan biologi.  Hasil uji  PJAS di laboratorium menunjukkan dari 4808 sampel, sebanyak  1705  sampel  (35,46%) yang berasal dari 866 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang tersebar di 30 kota di Indonesia,  tidak memenuhi persyaratan (TMS) keamanan dan atau mutu pangan. Hasil uji cemaran mikroba PJAS juga mengkhawatirkan  karena jumlahnya di atas batas maksimal, yaitu:  789  sampel  (16,41%) untuk  Angka lempeng total (ALT),  570 sampel  (11,86%) untuk  bakteri Coliform,  253 (5,26%) sampel  untuk  Angka Kapang-Khamir,  149  sampel  (3,10%) tercemar Eschericia coli,  18  sampel  (0,37%) tercemar Streptococcus aureus  dan 13  sampel (0,27%) tercemar Salmonella. Pada tahun 2011 dilaporkan ada 128 Kejadian  Luar  Biasa (KLB)/  kasus berasal dari 25  propinsi. Jenis pangan sebagai media penyebab KLB disumbangkan oleh pangan olahan dan pangan jajanan masing-masing sebesar 12,50  persen.  Berdasarkan tempat  kejadian KLB Keracunan Pangan,terlihat bahwa rumah tinggal (46%),  di SD (19%), dan di tempat terbuka (6%) (BPOM 2011)

Risiko ketidakamanan  pada  penjaja adalah  praktek higiene penjaja PJAS  yang tidak sesuai, risiko ketidakamanan pada pangan adalah penggunaan pewarna non pangan  pada saus makanan,  penguat rasa/flavour, mutu mikrobiologis es balok yang diduga tidak memenuhi standar keamanan dan penggunaan  minyak goreng yang berulang;  dan risiko ketidakamanan lingkungan adalah mengenai lokasi penjualan  dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai.  Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakamanan PJAS adalah berupa penyuluhan gizi dan pendampingan gizi dan keamanan pangan kepada penjaja PJAS. Upaya ini meningkatkan  secara nyata PSP  penjual PJAS  mengenai gizi dan keamanan makanan, tetapi hal ini  perlu dilakukan pendampingan  secara berkelanjutan dan berkala  agar praktek penjaja tidak bersifat sementara (Damayanthi et al. 2013).

Berdasarkan cara menyebabkan penyakit, maka keracunan karena mikroba dibedakan menjadi intoksikasi dan infeksi. Intoksikasi adalah penyakit akibat mengkonsumsi toksin dari bakteri atau kapang yang telah terbentuk didalam makanan, sementara infeksi disebabkan oleh masuknya bakteri patogen atau virus yang dapat tumbuh dan berkembang biak didalam saluran pencernaan melalui makanan yang telah terkontaminasi. Dari kasus keracunan pangan, sebanyak 90% kasus disebabkan oleh bakteri.

Daging dan Olahan Daging
Daging merupakan pangan bergizi tinggi, dengan kandungan air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen terlarut non protein 1.65% dan bahan-bahan anorganik 0.65%. Ketersediaan nutrisi yang lengkap ini menyebabkan daging menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Didalam daging segar, jumlah bakteri patogen (penyebab penyakit) jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah bakteri pembusuk. Tetapi yang perlu diingat juga adalah, bahwa beberapa bakteri patogen dapat menyebabkan penyakit dalam jumlah yang sangat sedikit.

Kontaminasi daging dengan mikroba patogen sampai saat ini tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menyebabkan penyakit jika terjadi kesalahan dalam penanganan, pemasakan atau penyimpanan produk. Penyakit karena keracunan makanan menyebabkan berbagai masalah termasuk juga meningkatnya biaya produksi pangan dan kesehatan. Anak-anak sering menjadi korban keracunan makanan karena konsumsi makanan yang tidak higienis dan beberapa makanan tersebut merupakan olahan dari daging. Beberapa olahan daging yang digemari anak-anak antara lain:

Sosis
Sosis dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selongsong berbentuk bulat panjang simetris baik yang terbuat dariusus hewan maupun pembungkus buatan. Sosis merupakan produk olahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Sosis kaya energi dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat, selain itu sosis mempunyai kandungan kolesterol dan sodium yang cukup tinggi sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke dan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Ketentuan mutu sosis berdasarkan SNI 01-3820-1995 adalah kadar air maksimal 67 %, abu maksimal 3 %, protein minimal 13 %, lemak maksimal 25 %, serta karbohidrat maksimal 25 %. Saat ini banyak sosis di pasaran yang memiliki komposisi gizi di bawah standar yang telah ditetapkan.

Nugget
Nugget adalah suatu bentuk produk daging giling yang dibumbui, kemudian diselimuti oleh perekat tepung, pelumuran tepung roti (breading), dan digoreng setengah matang lalu dibekukan untuk mempertahankan mutunyaselamapenyimpanan. Proses pengolahan  nugget membutuhkan bahan baku, peralatan dan pekerja yang memadai sehingga dapat dihasilkan produk yang berkualitas baik. Selain itu juga harus diperhatikan kebersi han lingkungan dan sanitasi dari proses pengolahan nugget  tersebut supaya dapat tercipta  higienitas  dan keamanan produk yang dihasilkan. Jika sanitasi lingkungan dan pekerja terabaikan, maka akan membahayakan kualitas dari produk karena proses pengolahan nugget tersebut memiliki potensi-potensi tercemarnya mikrobia berbahaya yang berasal dari lingkungan maupun pekerja yang akan menyebabkan bahaya keamanan pangan bagi konsumen.

Umumnya masyarakat saat ini lebih menyukai makanan yang praktis dan siap disajikan dalam waktu  yang relatif singkat. Nugget terbuat dari berbagai macam daging, diantaranya daging ayam, sapi, dan ikan. Standar Nasional Indonesia 01-6683 menyatakan bahwa kandungan gizi  nugget ayam adalah kadar air maksimum 60%, kadar protein minimum 12%, kadar lemak maksimum 20% dan kadar karbohidrat maksimum 25% (BSN, 2002). Nugget ayam mudah mengalami kerusakan karena salah satu faktor utama yang meningkatkan pertumbuhan mikroba adalah persediaan zat gizi dalam makanan.

Bakso
Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 g per butir. Setelah dimasak bakso memiliki tekstur yang kenyal sebagai cirri spesifiknya. Kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung dan proses pembuatannya (Widyaningsing dan Murtini 2006, dalam Sudarwati 2007). Bakso daging digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bakso daging, bakso urat dan bakso aci. Penggolongan bakso ini dilakukan berdasarkan perbandingan atas jumlah daging dengan perbandingan jumlah tepung yang digunakan dalam pembuatan bakso. Bakso daging dibuat dengan menggunakan bahan dasar tepung pati dan daging dengan jumlah yang lebih besar. Bakso urat dengan menggunakan daging yang banyak mengandung jaringan ikat dalam jumlah lebih besar disbanding dengan jumlah pati. Bakso aci dibuat dengan menggunakan pati dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan daging yang digunakan (Ngudiwaluyo dan Suharjito 2003, dalam Sudarwati 2007).

Foodborne Disease
Foodborne disease adalah penyakit akibat makanan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme atau racun. Kejadian food borne disease seperti diare, typhoid, dan infeksi cacing masih cukup rentan terhadap anak usia sekolah. Penyebab utamanya karena kurangnya perilaku menjaga kebersihan dan kesehatan, sehingga agen dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang di konsumsi. Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku anak sekolah dalam menjaga kebersihan dan kesehatan terkait pencegahan food borne disease  adalah faktor sekolah dan lingkungannya (Sholikhah dan Sustini 2013).

Makanan yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme atau racun masuk ke dalam tubuh melalui proses pencernaan yang dapat menyebabkan penyakit, seperti syndrome gastrointestinal atau gejala neurologik. Setiap tahunnya di Amerika Serikat timbulnya food borne disease ini melebihi 80 juta kasus. Frekuensi penyakit ini memang kurang mewabah, tetapi akan menimbulkan potensi yang sangat berbahaya bahkan kematian (McCue dan Kahan 2007).

Coliform, E. coli, Faecal coliform dalam makanan dan minuman merupakan indikator terjadinya kontaminasi akibat penanganan makanan dan minuman yang kurang baik. Minimnya pengetahuan para penjaja makanan mengenai cara mengelola makanan dan minuman yang sehat dan aman, menambah besar risiko kontaminasi makanan dan minuman yang dijajakannya. Makanan yang mengandung E. coli dapat menimbulkan penyakit yang pada gilirannya dapat mengganggu proses belajar mengajar. Masalahnya, berapa besar kontaminasi E. coli dalam makanan tersebut yang dijajakan pada beberapa kantin dan pedagang sekolah. Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai kualitas kesehatan makanan yang dijajakan di dalam lingkungan sekolah, perlu ditingkatkan dan dilakukan pemantauan melalui pemeriksaan bakteriologis (Susana et al. 2003). Menurut Syamsir (2010), patogen utama di dalam daging dan produk olahan daging adalah:

1. Campylobacter
Campylobacter spp bersifat termofilik artinya dapat hidup pada kisaran suhu relatif tinggi dengan suhu optimum 55°C. Bakteri ini menyebabkan infeksi campilobakteriosis dengan gejala umum sakit perut bagian bawah, kram, diare, sakit kepala, demam dan kadang-kadang diare berdarah dengan/tanpa diikuti komplikasi seperti radang sendi dan gangguan neurogical. Campylobacter telah diisolasi dari karkas dan feses ayam, sapi, babi dan produk-produk daging. Daging ayam merupakan jenis pangan yang paling sering terkontaminasi oleh bakteri ini. Sebagian besar Campylobacter ditemukan dipermukaan karkas, dan mereka dapat menembus bagian dalam daging unggas. Produk daging yang tidak dimasak dengan sempurna bisa berperan dalam terjadinya campilobakteriosis. Karena infeksi campilobakteriosis dapat disebabkan oleh hanya beberapa ratus sel sehat, maka infeksi dapat dengan mudah terjadi jika penanganan karkas dilakukan tanpa praktek sanitasi yang baik.

2. Yersinia enterolitica
Yersinia enterocolitica penyebab yersiniosis telah diisolasi dari saluran pencernaan hewan maupun produk olahannya. Yersiniosis terutama menyerang anak-anak dengan diare sebagai gejala dominan. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, mungkin juga mengalami demam dan nyeri. Komplikasi seperti nyeri di persendian dan/atau masuknya bakteri ke aliran darah bisa terjadi. Keberadaan bakteri ini pada produk disebabkan oleh kontaminasi pasca pengolahan, karena bakteri ini terbunuh dengan pemanasan pasteurisasi. Yang penting diperhatikan, bakteri ini mampu hidup dan berkembangbiak pada suhu lemari es (dibawah 5 oC).

3. Listeria monocytogenes
Listeria monocytogenes telah diisolasi dari air, kotoran hewan dan manusia. Infeksi listeriosis menyebabkan sakit seperti gejala flu dan pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran. Bakteri ini dapat dirusak dengan proses pemasakan. Tetapi, karena dia mudah ditemui pada area pengolahan yang basah, maka produk yang sudah dimasak bisa terkontaminasi kembali dengan bakteri ini jika kondisi penanganan dan sanitasinya tidak baik.

4. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus bisa dibawa oleh tangan manusia, rongga hidung dan tenggorokan sehingga bakteri ini sering dihubungkan dengan higiene pekerja. Hewan juga merupakan pembawa S. aureus pada berbagai bagian tubuhnya. Bakteri ini menyebabkan sakit melalui racunnya yang tahan panas. Racun dibentuk didalam makanan. Intoksikasi S. aureus menyebabkan pusing, muntah-muntah, kram usus, diare berdarah dan berlendir pada beberapa kasus, sakit kepala, kram otot, berkeringat, menggigil, detak jantung lemah dan pembengkakan saluran pernafasan. Sebagian besar kasus keracunannya terjadi dari kontaminasi oleh pekerja yang menangani makanan tersebut. Pencegahan keracunan dilakukan dengan penerapan praktek sanitasi dan proses pemasakan serta penyimpanan yang benar. Kontaminasi pasca pengolahan sangat berbahaya, karena S. aureus akan tumbuh dan menghasilkan toksin tanpa adanya kompetisi dengan bakteri yang lain.


5. Clostridium perfringens
Clostridium perfringens menyebabkan infeksi dengan gejala sakit perut bagian bawah, diare dan pembentukan gas; demam dan pusing jarang terjadi. Infeksi dapat terjadi jika makanan terkontaminasi, makanan tidak didinginkan secara cepat setelah proses pengolahan selesai, makanan dikonsumsi tanpa pemanasan ulang. Keracunan terjadi jika sel terkonsumsi dalam jumlah banyak dan memproduksi toksin di dalam saluran pencernaan. Selain didalam daging, bakteri ini juga ditemukan pada makanan kering, rempah dan sayuran.

Tabel 1Batasan maksimum cemaran Clostridium perfringens dalam pangan menurut standar SNI 7388:2009

No.
Kategori Pangan
Batas Maksimum
1.
Sayuran kaleng
negatif/gram
2.
Buah kaleng
negatif/gram
3.
Daging olahan dan daging ayam olahan (bakso, sosis, nugget, burger)
1 x 102 koloni/gram
4.
Sosis masak (tidak dikalengkan, siap konsumsi)
10 koloni/gram
5.
Corned beef dalam kaleng, sosis dalam kaleng
negatif/gram
6.
Herba dan rempah-rempah
1 x 103 koloni/gram
7.
Kondimen dan bumbu lainnya
1 x 102 koloni/gram
8.
Sup instan bubuk (termasuk sup krim instan bubuk)
1 x 102 koloni/gram
9.
Minuman kopi dalam kemasan
negatif/100 ml

Beberapa penyebab foodborne yang lain adalah:

1. Salmonella enteritidis

Salmonellosis mungkin adalah zoonosis yang tersebar paling luas di seluruh dunia, dimana Salmonella tersebar luas diseluruh dunia. Salah satu salmonella yang berperan penting dalam zoonosis di dunia adalah Salmonella enteritidis. Saat ini Salmonella enteritidis merupakan serotip salmonella yang paling banyak tersebar diseluruh dunia. Salmonella enteritidis secara luas dilaporkan sebagai penyebab utama food-borne gastroenteritis pada manusia dan telah diisolasi dari kasus pada manusia.

Salmonella enteritidis merupakan penyebab penting pada salmonellosis pada manusia dan hubungannya dengan keracunan makanan dengan konsumsi telur ayam yang terkontaminasi dan produk unggas. Salmonella enteritidis merupakan serovar yang paling banyak diisolasi dari salmonellosis pada unggas dan manusia. Keracunana makanan pada manusia akibat salmonelosis biasanya dimanifestasikan dengan gastroenteritis yang dikarakteristikan dengan diare, kram perut dan bakterimia.

Etiologi
Genus salmonella berasal dari family Enterobacteriaceac. Salmonella merupakan bakteri basil gram negatif, tidak berspora, panjang rata-rata 2 - 5 µm dengan lebar 0.8 – 1.5 µm (Percival et al. 2004). Salmonella merupakan bakteri motil yang menggunakan flagella peritrichous dalam pergerakannya. Secara umum salmonella tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salicin walaupun glukosa dan monosakarida lainnya difermentasi dengan menghasilkan gas. Salmonella merupakan bakteri anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase negative dan mefermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam atau asam dan gas (Jay et al. 2005). Salmonella dapat memfermentasi sukrosa tetapi jarang adonitol, urea negatif, indol negatif, tidak menghidrolisis urea atau deaminate phenylalamine, membentuk dekarboksilase lisin dan ornithine, negatif uji Voges-Proskauer, positif uji Methyl Red, tidak menghasilkan oksida sitokrom.

Salmonella tumbuh pada suhu diantara 8oC dan 45 oC dan pada pH 4 sampai pH 8. Salmonella merupakan bakteri yang sensitif panas dimana tidak tahan pada suhu lebih dari 70 oC. Pasteurisasi pada suhu 71.1 oC selama 15 menit dapat menghancurkan salmonella pada susu. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi dehidrasi dalam kurun waktu yang sama pada feses dan makanan untuk konsumsi hewan dan manusia

Secara garis besar salmonella dapat dibagi dalam dua sepsies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori dengan 2000 atau lebih serovar yang terbagi dalam lima subspesies atau grup, dimana sebagian besar diklasifikasikan didalam Salmonella enterica. Klasifikasi salmonella sangat kompleks karena organisme ini biasanya lebih merupakan sebuah kesatuan rangkaian dibanding spesies tersendiri. Anggota jenis salmonella biasanya diklasifikasikan menurut dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H dan V.

Tabel 2. Formula antigenik salmonella

Grup O
Serotipe
Formula Antigenik
D
S typhi
9, 12 (Vi):d:-
A
S paratyphi A
1,2 12:a
C1
S choleraesuis
6, 7:c:1,5
B
S typhimurium
1, 4, 5, 12:i:,2
D
S enteritidis
1, 9, 12:9, m:-

Gejala Klinis
Gejala klinis salmonellosis dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu enteritis dan penyakit sistemik. Pertama, enteritis, gastroenteritis merupakan infeksi utama yang terkait dengan serotip yang terjadi secara meluas pada hewan dan manusia. Mereka dapat menyebabkan diare dalam berbagai tingkatan sampai ke tingkat diare yang parah. Saat ini salmonella enteritidis merupakan salmonella yang paling umum sebagai penyebab enteritis. Periode inkubasi pada salmonella penyebab enteritis biasanya antara 6 – 48 jam. Gejala yang biasa muncul adalah demam ringan, mual, muntah, sakit perut dan diare selama beberapa hari, tetapi pada beberapa kasus dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih.

Tabel 3 Gejala klinis salmonellosis

Demam Enterik
Septikemia
Enterokolitis
Periode inkubasi
7-20 hari
Bervariasi
8-48 jam
Onset
Insidious
Tiba-tiba
Tiba-tiba
Demam
Gradual, kemudian plato tinggi dengan stadium typoidal
Cepat naik, kemudian suhu septic spike
Biasanya rendah
Durasi penyakit
Beberapa minggu
Bervariasi
2-5 hari
Simtom gastrointestinal
Mula-mula konstipasi, selanjutnya diare berdarah
Tidak ada
Nause, vomiting, pada onset diare
Kultur darah
Positif pada 1-2 minggu sakit
Positif selama demam tinggi
Negatif
Stool cultures
Positif selama 2 minggu, negatif pada awal sakit
Sering positif
Positif secara cepat setelah onset

Sindrom keracunan disebabkan oleh masuknya makanan yang mengandung jumlah yang signifikan salmonella. Dari waktu masuknya makanan sampai munculnya gejala biasanya berkembang dalam waktu 12-14 jam, pendek dan panjangnya waktu yang dibutuhkan telah dilaporkan. Gejala-gejalanya terdiri dari mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan an diare. Gejala-gejala ini biasanya diikuti dengan kelemahan, kelemahan otot, faintness, demam, gelisah, dan mengantuk. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama 2-3 hari (Jay et al. 2005). 

Ada beberapa bentuk salmonellosis yang terjadi pada manusia yaitu gastroenteritis, demam enteric dan septicaemia. Gastroenteritis merupakan infeksi pada colon yang biasanya terjadi selama 18-48 jam setelah masuknya salomenlla dalam tubuh manusia. Gastroenteritis dicirikan dengan diare, demam dan sakit perut. Salmonella pada manusia dapat menyebabkan infeksi intestinal yang dikarakteristikkan dengan periode inkubasi 6-72 jam setelah masuknya makanan yang terkontaminasi dan dmemam mendadak, mialgia, cephalalgia, dan malaise (tidak enak). Gejala utama pada manusia berupa sakit perut, mual, muntah dan diare. Umumnya penderita salmonellosis akan kembali pulih setelah dua sampai empat jam. Carrier dapat menyebarkan salmonella selama beberapa minggu.

Penularan
Sumber utama infeksi pada manusia adalah telur, produk telur dan daging unggas (Poirier et al. 2008). Selain ditemukan pada unggas dan produknya, Salmonella enteritidis juga dapat ditemukan pada babi. Daging babi, daging sapi, susu dan produknya (es krim, keju). Studi yang dilakukan di China menunjukkan adanya Salmonella enteritidis pada daging yang dijual di pasar (Yang et al. 2010).

Penularan pada produk hewan (telur) dapat terjadi melalui infeksi ascenden dan descenden. Salmonella yang berada keluar dari saluran pencernaan dapat menginfeksi telur, begitu juga dengan salmonella yang berada pada ovarium dan oviduct. Infeksi descenden melalui jaringan ovarium sedangkan infeksi ascenden melalui vagina dan jaringan kloaka (Jay et al. 2005).

Salmonella dikeluarkan melalui feses yang kemudian mengkontaminasi makanan asal hewan seperti telur, daging dan susu. Penularan salmonella enteritidis yang dapat terjadi secara vertikal membuat telur sebagai kendaraan umum dalam infeksi ke manusia. Kontaminasi silang juga dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui peralatan masak yang terkontaminasi. Daging dan telur menjadi kendaraan umum dalam penularan dimana daging dan telur yang tidak masak diikuti salmonella yang masih hidup/bertahan atau kontaminasi silang makanan lain yang dikonsumsi tanpa memasak lebih lanjut. Penularan pada manusia dapat terjadi melalui penularan antar penderita dengan rute faecal-oral.

Rute penularan Salmonella enteritidis pada telur dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yaitu :
1. Transovarial
2. Translokasi dari peritoneum ke kantung kuning telur atau oviduct
3. Penetrasi kulit oleh organisme pada telur melalui kloaka
4. Pencucian telur
5. Penanganan makanan

2. E. coli

Etiologi
E. coli merupakan bakteri Gram negative berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7μm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata. Enterohemoragik E. coli (EHEC) merupakan salah satu patogenik dari E. coli yang dapat menyebabkan diare dan hemoragik colitis pada manusia. Hemoragik colitis seringkali berkembang menjadi hemolytic uremic syndrome (HUS), penyebab utama gagal ginjal akut pada anak-anak. Pada orangtua, angka kematian untuk (HUS) dapat mencapai 50%. E. coli O157:H7 sudah dikenal sebagai penyebab sindrom ini sejak 1980 an. Reservoir dari EHEC O157:H7 adalah ruminansia, terutama sapi dan domba yang menginfeksi tanpa gejala dan mengeluarkan organisme lewat feses. Manusia dapat terinfeksi EHEC O157:H7 akibat kontak langsung dengan hewan carrier, feses dari hewan carrier dan air dan tanah yang terkontaminasi atau lewat produk dari hewan dan sayuran atau buah yang terkontaminasi (CFSPH 2009).


Gambar 1. E. coli


Penyakit yang ditimbulkan oleh E. coli yaitu :

1. Infeksi saluran kemih
E. coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih pada kira-kira 90 % wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering kencing, disuria, hematuria, dan piuria. Nyeri pinggang berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian atas.

2. Diare
E. coli yang menyebabkan diare banyak ditemukan di seluruh dunia. E. coli diklasifikasikan oleh ciri khas sifat-sifat virulensinya, dan setiap kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda. Ada lima kelompok galur E. coli yang patogen, yaitu :

a. E. coli enteropatogenik (EPEC)
EPEC penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara berkembang. EPEC sebelumnya dikaitkan dengan wabah diare pada anak-anak di negara maju. EPEC melekat pada sel mukosa usus kecil.

b. E. coli enterotoksigenik (ETEC)
ETEC penyebab yang sering dari diare wisatawan dan penyebab diare pada bayi di negara berkembang. Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk manusia menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil.

c.  E. coli enteroinvasif (EIEC)
EIEC menimbulkan penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis. Penyakit yang paling sering pada anak-anak di negara berkembang dan para wisatawan yang menuju negara tersebut.. EIEC menimbulkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa usus.

d.  E. coli enterohemoragik (EHEC)
EHEC menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksisnya pada sel vero, suatu ginjal dari monyet hijau Afrika.

e.  E. coli enteroagregatif (EAEC)
EAEC menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di negara berkembang.

3. Sepsis
Bila pertahanan inang tidak mencukupi, E coli dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis.

4. Meningitis
E. coli dan Streptococcus adalah penyebab utama meningitis pada bayi. E. coli merupakan penyebab pada sekitar 40% kasus meningitis neonatal (Jawetz et al. 1995)

Foodborne outbreak karena EHEC O157:H7 seringkali disebabkan karena makan makanan yang tidak dimasak atau produk hewan yang tidak dipasteurisasi, terutama daging, susu, keju. Menurut  Kepmenkes No 1096/Menkes/ Per/VI/ 2011 standarnya E.coli  0 per gram sampel makanan (Ningsih 2014)

3. Clostridium botulinum

Etiologi
C. botulinum merupakan bakteri gram positif , anaerob, berbentuk batang, oval, berukuran panjang 1,6-22,0 µm dan lebar 0,5-2,4 µm, dapat membentuk spora subterminal yang biasanya menyebabkan sel membengkak (Nevas 2006, Cato et al. 1986). C. botulinum memproduksi neurotoxin (BoNT), yang merupakan salah satu racun alami yang kuat (Nevas 2006).

Klasifikasi ilmiah:
Domain           : Bacteria
Divisi               : Firmicutes
Kelas               : Clostridia
Ordo                : Clostridiales
Famili              : Clostridiaceae
Genus              : Clostridium
Spesies            : C. Botulinum




Gambar 2 Clostridium botulinum

Pencemaran oleh bakteri yang menyebabkan toksin pada industri makanan kaleng antara lain disebabkan oleh Clostridium botulinum. Bakteri ini menghasilkan toksin yang menyebabkan botulismus. Spora C. botulinum sangat resisten terhadap panas, tahan pada suhu 100oC selama minimal 3-5 jam. Daya tahan terhadap panas berkurang pada pH asam atau konsentrasi garam tinggi. Tipe C. botulinum dibedakan melalui tipe antigenik toksin yang dihasilkan (Brooks et al. 2005). Tingkat keasaman (pH) diatas 4,6 dapat mempercepat pertumbuhan bakteri dan pembentukan toksin (Pawsey, 2002).

Tabel 4 Karakteristik grup C. botulinum

Grup
Karakteristik
I
Tipe A dan strain proteolitik dari Tipe B dan F
II
Tipe E dan nonproteolitik strain dari tipe B dan F
III
Tipe C dan D (semua nonproteolitik)
IV
Tipe G (semua proteolitik tapi nonsakarolitik)

Grup I dan II strain C. botulinum mempunyai ancaman yang besar terhadap kesehatan manusia. Strain Grup I adalah kelompok yang menghasilkan toksin tipe A, B, dan atau F yang bersifat proteolitik, memproduksi spora yang tahan panas dan sering ditemukan di tanah. Strain ini berbahaya jika terdapat pada makanan kaleng, sayur-sayuran, dan daging
Patogenesa

Botulismus terjadi karena neurotoksin yang diproduksi oleh C. botulinum. Toksin ini menghambat sinapsis kolinergik (Kakava et al. 2007) susunan saraf simpatis (Pawsey, 2002). Ada 3 (tiga) macam botulismus yaitu foodborne botulism, wound botulism, dan infant botulism (Kakava et al, 2006). Foodborne botulism muncul saat individu menelan atau terkena preformed toksin yaitu melalui makanan yang mengandung C. botulinum. Bakteri kemudian bergerminasi pada luka atau di saluran pencernaan. Bakteri ini kemudian membentuk toksin yang kemudian masuk ke peredaran darah (Kakava et al.  2007).

Gejala Klinis
Gejala klinis muncul 12-48 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar toksin C. botulinum. Gejala yang timbul antara lain : kesulitan menelan, dilatasi pupil, mulut terasa kering, mual, muntah (Waluyo, 2007). Gejala klinis yang lain adalah terjadinya inkoordinasi otot-otot mata, penglihatan ganda, ketidakmampuan menelan, dan kesulitan bicara,tanda-tanda paralisis bulber (bulber paralysis) berjalan progresif dan kematian terjadi karena paralisis pernapasan atau berhentinya jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol dan tidak terjadi demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya sampai menjelang mati. Angka kematian kasus C. botulinum ini tinggi dan penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah (Brooks, 2005).


III. PEMBAHASAN

Permenkes No. 2269/MENKES/ PER/XI/2011 menetapkan bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)  adalah sekumpulan  perilaku yang  dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Kemenkes 2011)

Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya sekitar 2,2 juta  orang di negara-negara  berkembang terutama anak-anak meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang  disebabkan oleh kurangnya air minum yang aman, sanitasi dan  hygiene  yang buruk. Sementara itu, terdapat bukti bahwa pelayanan sanitasi yang memadai, persediaan air yang  aman, sistem pembuangan sampah, serta pendidikan hygiene dapat meningkatkan angka kematian akibat diare sampai 65%, serta penyakit-penyakit lainnya sebanyak 26% (Herman et al. 2015)

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan bahwa insiden dan period prevalen  diare di Indonesia adalah 3,5% dan 7%. Dari 33 provinsi di Indonesia terdapat 5 provinsi dengan insiden dan  period prevalen  diare tertinggi yaitu Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%) (Herman et al. 2015).

Beberapa hasil penelitian yang membuktikan hubungan kebersihan dengan kejadian penyakit antara lain:

1. Hubungan Kebersihan Diri dengan Kejadian  Food Borne Disease
Kebersihan diri meliputi kebiasaan mencuci tangan dan menjaga kebersihan kuku yang akan menghindari seseorang dari penularan atau penyebaran penyakit, seperti diare, tifus maupun infeksi cacing (Sholikhah dan Sustini 2013).

Menurut Herman et al. 2015, Terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian food borne disease  dengan nilai ρ = 0,000 sehingga ρ <  0,05, artinya bahwa orang yang tidak menjaga kebersihan dirinya lebih berpotensi untuk menderita food borne disease dibandingkan dengan orang yang memiliki kebiasaan.

2. Hubungan Kebersihan Makanan dan Minuman dengan Kejadian Food Borne Disease
Menurut Herman et al. 2015, terdapat hubungan antara kebersihan makanan dan minuman dengan kejadian food borne disease dengan nilai ρ = 0,002 sehingga ρ < 0,05, artinya bahwa orang yang tidak menjaga dan memperhatikan kebersihan makanan dan minumannya lebih berpotensi untuk menderita food borne disease dibandingkan dengan orang yang memiliki kebiasaan.

Makanan yang diperoleh dari kantin cenderung lebih sehat karena kantin memiliki peralatan pengolahan dan makan  yang bersih, tempat cuci peralatan makan dan minum dengan air bersih yang mengalir, tempat cuci tangan dilengkapi dengan air bersih mengalir, sabun dan lap tangan untuk pengunjung kantin, tersedia tempat penyimpanan bahan makanan terpisah dari makanan jadi/siap saji dan tempat pajangan makanan jadi/siap yang tertutup. Kantin dilengkapi dengan tempat duduk dan saluran air limbah yang tertutup. Tersedia tempat untuk mengolah makanan sederhana (memanasi, mengukus dan memanggang) (Herman et al. 2015). Hasil penelitian ini  menunjukkan bahwa  kebersihan makanan dan minuman  responden  yang  kurang baik, lebih banyak menderita  food borne disease  sebesar  77,8% karena kebiasaan responden yang makan-makanan jajanan dan tidak diketahui kebersihannya pada saat diolah, serta makanan maupun minuman tidak ada penutupnya, yang mempermudah lalat menghinggapi makanan sehingga membawa bakteri dari lingkungan ke makanan, kemudian dalam proses mencuci piring hanya menggunakan air tampungan, sehingga bakteri yang keluar dari piring yang satu akan  menempel ke piring selanjutnya karena tidak menggunakan air yang mengalir

3. Hubungan Kesehatan Lingkungan dengan Kejadian  Food Borne Disease
Aspek kesehatan lingkungan merupakan salah satu dari 24 indikator kesehatan penentu IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat). Komponen yang dinilai secara umum terkait dengan masalah sanitasi dasar dan hygiene  perorangan, seperti akses terhadap air bersih dan jamban serta perilaku cuci tangan dengan benar (Herman et al. 2015)

Fasilitas sanitasi yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan terjadinya tempat perkembangbiakan vektor penyakit yang dapat menularkan penyakit melalui makanan (Ningsih, 2014). Menurut Herman et al. 2015, terdapat hubungan  antara kesehatan lingkungan dengan kejadian food borne disease  dengan nilai ρ = 0,002 sehingga ρ < 0,05, artinya bahwa fasilitas dan kebersihan lingkungan yang kurang lebih berpotensi untuk menderita food borne disease  dibandingkan dengan orang yang memiliki kebiasaan

Para penjual makanan yang menjajakan makanan umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, khususnya dalam hal hygiene dan sanitasi pengolahan makanan. Pengetahuan penjual makanan tentang hygiene dan sanitasi pengolahan makanan akan sangat mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan kepada masyarakat konsumen (Sujaya et al. 2009).

Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peranan penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan tidak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Makananan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu kualitas makanan baik secara bakteriologi, kimia dan fisik harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk dikonsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh  mikroorganisme.

Kontaminasi Patogen Pada Daging dan Produk Olahannya
Menurut Syamsir (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kontaminasi patogen pada daging dan produk olahannya, yaitu:

1. Patogen yang mengkontaminasi daging bisa menyebar keseluruh bagian daging pada berbagai tahap penanganan daging dan dengan melalui berbagai jalan. Mikroba pada karkas hewan besar dan unggas terutama bakteri, yang berasal dari hewan itu sendiri (kulit, rambut, bulu, saluran pencernaan, dan sebagainya), lingkungan peternakan (pakan, air, tanah, kotoran hewan) dan lingkungan tempat pemotongan (peralatan, udara, air dan pekerja). Jumlah bakteri pada karkas dari hewan yang sehat sekitar 101-3 koloni/inch2 daging. Patogen yang berasal dari hewan dan manusia, dalam jumlah kecil mungkin dijumpai. Dibandingkan dengan karkas hewan besar, maka karkas unggas berpeluang lebih besar terkontaminasi oleh Salmonella yang berasal dari kotoran hewan.

2. Tahapan proses penghilangan tulang, pemotongan dan juga penggilingan daging menyebabkan resiko kontaminasi mikrobial pada daging meningkat, karena terjadinya kontaminasi silang melalui pekerja, air dan peralatan pengolahan; serta terjadinya transfer mikroba dari permukaan daging ke bagian dalam. Beberapa peralatan yang sukar dibersihkan seperti konveyor, mesin pengiris dan penggiling daging (grinder) bisa menjadi sumber kontaminasi.

3. Pengolahan daging dengan menggunakan inggridien dan aditif yang bervariasi dan tahapan proses pengolahan yang beragam menghasilkan berbagai jenis produk olahan daging yang sangat beragam. Dari perspektif keamanan mikrobiologi daging, produk olahan daging bisa dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1). Produk yang memperoleh tahapan bakterisidal yang menyebabkan hilangnya patogen (terutama proses pemasakan); 2). Produk yang tidak memperoleh tahapan bakterisidal, dimana pada kondisi ini bakteri bisa bertahan tetapi tidak bisa memperbanyak diri pada kondisi penyimpanan yang diharapkan; dan 3). Produk yang tidak menerima tahapan bakterisidal dan bakteri bisa tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan.

4. Selama penjualan, daging segar dan produk olahan daging bisa saja mengalami proses penanganan lanjutan seperti pemotongan, pengirisan, pengemasan yang semuanya potensial menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dari pekerja, wadah dan peralatan. Di usaha katering dan di konsumen, masalah yng dihubungkan dengan patogen yag ada didalam daging dan produk olahan daging relaif sama, dan biasanya dihubungkan dengan preparasi akhir produk untuk dikonsumsi. Faktor resiko utama pada praktek preparasi mencakup: 1). Kontaminasi silang dari pangan mentah ke produk yang telah dimasak melalui refrigerator, tangan yang terkontaminasi, papan pengiris (talenan) dan lap kerja; 2). Ketidakcukupan suhu penyimpanan dingin; 3). Ketidakcukupan suhu dan waktu pemasakan; dan 4). Kesalahan dalam proses penanganan setelah proses pemasakan termasuk diantaranya proses pendinginan lambat dan/atau rekontaminasi.

5. Untuk memperpanjang umur simpan produk dan menjaga keamanan pangan produk olahannya maka diperlukan penerapan proses sanitasi yang benar untuk meminimalkan kontaminasi dan melakukan penyimpanan di suhu rendah untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri. Penerapan praktek higiene dan sanitasi serta penyimpanan di suhu rendah secara efektif, akan memperpanjang umur simpan daging dan produk olahannya, juga akan meningkatkan aspek keamanan pangannya. Hanya saja, perlu diingat bahwa penerapan aspek sanitasi dan penyimpanan disuhu rendah walaupun akan mengurangi jumlah bakteri total dan memperlambat pertumbuhan mereka, tetapi tidak menjamin hilangnya bakteri patogen. Destruksi bakteri oleh panas selama proses pemasakan adalah salah satu cara yang efektif untuk menjamin agar konsumen tidak terinfeksi oleh bakteri patogen.

Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dan Pengendalian Salmonella enteritidis
Prinsip pencegahan dan pengendalian Salmonella enteritidis berbasis pada perlindungan manusia dari infeksi dan mengurangi prevalensinya pada hewan. Inspeksi daging dan unggas serta pengawasan pasteurisasi susu dan produksi telur menjadi hal penting dalam perlindungan terhadap konsumen. Tindakan pengendalian penting lainnya adalah pendidikan mengenai penanganan makanan yang tepat, baik pada perusahaan maupun rumah tangga, tentang memasak yang benar, praktek-praktek pendinginan untuk pangan asal hewan dan tentang tentang higiene personal dan lingkungan. Higiene personal seperti tindakan mencuci tangan dalam penanganan makanan dan juga sebelum mengkonsumsi makanan menjadi hal penting. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hedican et al (2009) terhadap wabah yang terjadi di restoran di Minnesota menunjukan bahwa pekerja restoran yang menyajikan makanan menjadi media penyebaran Salmonella enteritidis kepada pengunjung restoran. Maka penanganan makanan yang tepat termasuk higiene personal didalamnya menjadi hal penting dalam pencegahan penyebaran Salmonella enteritidis.

Surveilan epidemiologi juga dibutuhkan untuk mengevaluasi tingkat masalah disetiap negara, lokasi terjadinya wabah dan mengadopsi metode untuk mengurangi resiko. Pada hewan tindakan yang dapat dilakukan meliputi eliminasi carriers, control bakteri pada pangan, imunisasi/vaksinasi dan manajemen pengelolaan ternak yang tepat dan peternakan unggas.

Peningkatan jumlah kasus manusia akibat infeksi Salmonella enteritidis yang penularannya melalui telur tidak membuat strategi hanya dilakukan pada penghasil telur/ayam tetapi juga peningkatan rekomendasi untuk konsumen dalam menangani dan memakan telur dan produknya (Okamura et al., 2007).

Selain itu semua maka penggunaan antibiotik juga harus dilakukan secara tepat. Beberapa salmonella resiten terhadap antibiotik tertentu, termasuk Salmonella enteritidis. Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira et al. (2006) menunjukan Salmonella enteritidis memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap gentamicin (12.7%), streptomycin (11.4%) dan nalidixic acid (21.5%).

Pencegahan dan Pengendalian E. coli O157: H7
Dosis infeksi E. coli O157: H7 tidak diketahui dengan pasti, tetapi dari hasil laporan yang terkumpul ternyata 10 sel bakteri enterohemoragik E. coli (EHEC) sudah dapat menyebabkan sakit (Andriani 2005). Adapun Paton dan Paton (1998) telah menyatakan bahwa dosis infeksi berkisar antara 1 sampai 100 colony forming units. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah bakteri enterohemoragik E. coli (EHEC) yang sedikit saja apabila menginfeksi anak-anak, orang tua maupun orang yang memiliki sistem kekebalan yang rendah sudah dapat menyebabkan sakit.

E. coli dapat dibunuh dengan takaran desinfektan tertentu meliputi 1% sodium hypochlorite, 70% ethanol, phenolic atau desinfektan iodine, glutaraldehyde dan formaldehyde. Organisme ini juga dapat diinaktifasi dengan panas basah (121 0C, 15 menit) atau panas kering  (160-170 0C, 1 jam). Makanan aman dikonsumsi setelah dimasak pada suhu minimal 71 0C (CFSPH 2009).

Kejadian foodborne disease dapat dikurangi dengan melaksanakan safe food handling. Safe food handling practice yang diterapkan di Canada, seperti yang ditulis (Andriani 2005) untuk mencegah food borne disease yang disebabkan oleh enterohemoragik E. coli (EHEC) terdiri dari 4 poin plan, yaitu

1. CLEAN. Mencuci tangan sebelum melakukan handling makanan adalah salah satu cara baik untuk mengurangi penyebaran foodborne disease. Mencuci peralatan yang digunakan untuk prosessing serta sanitizing dapat mengurangi jumlah bakteri dan mencegah terjadinya food borne disease

2. CHILL. Bakteri dapat tumbuh pada danger zone yaitu antara 40 dan 600 C sehingga penyimpanan makanan pada suhu refrigerator (40 C) dan freezing dapat mengurangi laju pertumbuhan bakteri.

3. SEPARATE. Bakteri yang terdapat pada raw material dapat menyebabkan kontaminasi pada pisau serta peralatan lain. Memisahkan makanan yang raw material dengan makanan yang telah siap saji perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya food borne disease.

4. COOK. Memasak makanan sampai benar-benar matang dapat menyebabkan bakteri enterohemoragik E.coli  (EHEC) yang berada dalam bahan makanan tersebut mati.

Pencegahan dan Pengendalian C. botulinum
Sel vegetatif C. botulinum dapat dimatikan dengan metode pasteurisasi. Toksin dapat diinaktivasi dengan suhu 75-80 oC (Pawsey, 2002). Spora C. botulinum tahan terhadap panas dan tahan terhadap pemanasan makanan (di bawah suhu 120oC). Perebusan makanan secara menyeluruh dengan suhu 100oC dapat menghilangkan toksin C. botulinum (Weir, 2001).

IV. KESIMPULAN

Pangan jajanan anak sekolah yang tidak higienis dapat menyebabkan keracunan dan penyakit pada anak-anak. Hal ini dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar anak. Perlu upaya peningkatan pengetahuan kepada produsen dan penjaja makanan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam memproduksi makanan yang higienis dan sehat. Selain itu, pengetahuan tentang kebersihan diri pada anak juga perlu ditingkatkan. Anak-anak harus dibiasakan mencuci tangan sebelum mengkonsumsi makanan untuk mencegah penyakit.

V. DAFTAR PUSTAKA

(ada pada penulis - bila perlu bisa menghubungi)

Drh. Heru Susilo MSi adalah
Pejabat Fungsional Medik Veteriner Muda pada Pusat Karantina Hewan dan
Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian


Tanpa merubah maksud dan mengurangi isinya, tulisan telah diedit ulang oleh:
drh. Giyono Trisnadi



******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: