Penyakit
Flu Burung adalah penyakit yang sangat merugikan bagi peternakan itik dan
peternakan ungas lainnya, karena menyebabkan kematian yang tinggi dan mengakibatkan
penurunan produksi telur yang signifikan. Di Manokwari Papua terdapat kejadian kasus
Flu burung pada pahun 2005 s/d 2006 dan 2012, sedangkan pada tahun 2007 s/d
2011 tidak ditemukan kasus.
******
KEJADIAN
FLU BURUNG SUB CLADE BARU PADA ITIK
DI KABUPATEN MANOKWARI PAPUA BARAT
Oleh:
drh. Yuni Sulistyowati
ABSTRAK
Kejadian
penyakit Flu Burung di pertama kali terjadi di Indonesia sekitar tahun
2003-2004 kemudian muncul di wilayah Kabupaten Manokwari pada tahun 2005-2006,
pada tahun 2007 hingga 2011 sudah tidak ditemukan kasus dan tidak ada laporan
kasus kematian mendadak pada unggas yang disebabkan oleh virus Flu Burung
(H5N1). Namun pada tahun 2012 bersama dengan munculnya kasus flu burung pada
itik di beberapa wilayah di Indonesia. Flu burung juga terjadi di Kabupaten
Manokwari setelah beberapa waktu sebelumya memasukkan bibit DOD dari Mojokerto
Jawa Timur yang pada saat itu masih terjadi kematian pada unggas di wilayah
tersebut. Menurut Asmara (2012) menyatakan bahwa kasus kematian masal pada
ternak itik sebagian besar disebabkan oleh virus AI sub-tipe H5N1 clade 2.3.2.1.
Virus clade ini bukan merupakan hasil mutasi dari virus AI clade 2.1 yang
sebelumnya sudah mewabah di Indonesia. Hal yang sama dilaporkan oleh
Dharmayanti (2013), bahwa kematian pada itik tersebut disebabkan oleh adanya
introduksi virus Avian Influenza clade 2.3.2., namun dapat juga disebabkan oleh
virus AI clade 2.1.3. Hal ini menunjukkan bahwa virus AI H5N1 masih
bersirkulasi di Indonesia dan tetap menjadi ancaman bagi ternak unggas pada
umumnya maupun manusia.
Munculnya
penyakit flu burung pada itik berkaitan dengan lalu lintas/ perdagangan Day Old
Duck (DOD) yang berasal dari wilayah yang endemis Flu burung dan pola
pemeliharaan masyarakat yang masih ekstensif/ diumbar sehingga peluang itik
bertemu dengan unggas liar semakin besar. Gejala yang ditunjukkan pada unggas
yang terinfeksi virus ini, adalah seperti unggas nampak lemas, sering
berputar-putar, mata keputihan seperti katarak, produksi telur yang menurun
drastis yang dilanjutkan dengan kematian mendadak.
Kabupaten
Manokwari merupakan wilayah yang masih bergantung kepada wilayah lain untuk
pemenuhan kebutuhan bahan pangan terutama unggas dan produknya sebagai sumber
protein hewani, sehingga mau tidak mau untuk mencukupi kebutuhan tersebut
mendatangkan dari luar wilayah yang bukan merupakan daerah yang bebas/tertular
HPHK. Sehingga peluang masuknya flu burung kembali ke Kabupaten Manokwari
sangat besar, maka dari itu Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari
sebagai salah satu UPTKP senantiasa meningkatkan pengawasan guna mencegah
masuknya HPHK khususnya flu burung.
Kata
kunci: virus flu burung ancaman
BAB
I.
PENDAHULUAN
Beberapa
tahun terakhir perhatian dunia kesehatan hewan dan manusia terpusat kepada
semakin mewabahnya penularan virus AI sub tipe H5N1 yang telah menyebabkan
kerugian perekonomian yang cukup besar baik pada industri peternakan
perunggasan di dunia maupun di Indonesia. Avian influenza, atau flu burung
adalah penyakit virus yang sangat menular pada spesies unggas seperti ayam,
kalkun, itik dan burung lainnya. Avian influenza adalah penyakit zoonosis atau
penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dengan dampak mortalitas yang
tinggi. Di Indonesia pertama kali terjadinya wabah penyakit flu burung/avian
influenza (HPAI) adalah pada bulan Juni 2003, dan baru dinyatakan oleh
Pemerintah Indonesia pada tanggal 2 Februari 2004.
Perlahan-lahan
namun pasti, seluruh wilayah Indonesia terinfeksi oleh virus flu burung,
padahal negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisahkan oleh barier
alam yang begitu kuat namun masih tidak mampu menghentikan laju penyakit ini.
Mobilitas manusia, produk unggas, dan migrasi unggas baik secara alamiah maupun
adanya campur tangan manusia memiliki andil dalam penyebaran virus Avian
influenza. Mudahnya tranportasi lokal dan regional memungkinkan penyebaran
virus ke area yang lebih luas.
Vaksinasi
dengan vaksin flu burung sebagai kebijakan Pemerintah Indonesia tidak membuat
angka mortalitas menurun dan bahkan wabah terjadi pada hampir seluruh daerah di
Indonesia. Virus influenza A apathogenic (tidak patogen) dan mildly (agak
patogen) terjadi di dunia. HPAI adalah virus influenza A dari subtipe H5 dan H7
sudah terisolasi deberapa negara di dunia.(Trisnadi G., 2013)
Flu
burung kembali merebak di beberapa wilayah di Indonesia hanya saja, flu burung
kali lebih spesifik menyerang pada peternakan itik. Kejadian flu burung pada
itik muncul ke permukaan media setelah ditemukan ratusan itik yang mati
mendadak di beberapa daerah di Indonesia.
Gejala yang ditunjukkan pada unggas yang terinfeksi virus ini, adalah
seperti unggas nampak lemas, sering berputar-putar, mata keputihan seperti
katarak, produksi telur yang menurun drastis yang dilanjutkan dengan kematian
mendadak.
Sesuai
surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Peternakan dan kesehatan hewan pada
tanggal 6 Desember 2012, dinyatakan bahwa hasil analisa DNA sequencing virus
HPAI yang telah berhasil diisolasi adalah clade baru 2.3.2 dari virus AI H5N1
pada kasus AI itik saat ini. Clade baru 2.3.2 tersebut berbeda dengan clade 2.1
yang menyerang tahun 2004 pada industri perunggasan di Indonesia. Virus flu
burung yang saat ini menyerang peternakan itik di Indonesia memiliki sub tipe
yang berbeda dengan virus flu burung yang terjadi beberapa tahun lalu.
Pada
tahun 2010 virus ini sudah menyebar ke Wilayah Nepal, kemudian di India,
Bangladesh, China hinggga ditemukan pada itik di Fukushima Jepang pada tahun
2011. Besar kemungkinan masuknya virus clade 2.3.2.1 dibawa oleh burung liar
yang bermigrasi dari Asia ke pantai-pantai di Indonesia akibat musim dingin di
belahan bumi utara. Namun tidak menutup kemungkinan, masuknya virus ini akibat
adanya perdagangan antar negara yang tidak terdeteksi membawa virus AI. Hingga
31 Maret 2013, daerah yang tertular terus menyebar di 16 provinsi pada 104
kabupaten/kota (Ditjen PKH 2013), yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Timur dan Papua. Hal ini menepis anggapan bahwa itik kebal terhadap
penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian Influenza.
Propinsi
Papua Barat khususnya Kabupaten Manokwari merupakan wilayah yang sebelumnya
pernah terjadi kasus flu burung pada unggas terjadi sekitar tahun 2004-2005
lalu, sedangkan kasus flu burung sub
clade baru ini terjadi pada tahun 2012, dan bahkan sampai saat ini masih
diupayakan pembebasan terus menerus oleh instansi yang berwenang. Namun karena
Propinsi Papua Barat merupakan wilayah yang masih bergantung dengan wilayah
lain di wilayah indonesia membuat tingginya risiko masuknya penyakit terutama
Avian influenza. Konsumsi daging ayam dan telur yang tinggi tidak dibarengi
dengan produksi sehingga untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masih mendatangkan
dari luar yang merupakan daerah endemis atau tidak bebas hama penyakit hewan
terutama penyakit flu burung.
BAB
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Virus
avian influenza pertama kali ditemukan pada tahun 1878 di Itali, menyebabkan
epidemi penyakit Fowl Plague pada ternak ayam dengan angka kematian 100%. Wabah
berikutnya, di Amerika Serikat pada tahun 1983-1984 menimbulkan kematian
sekitar 17 juta ternak ayam dengan kerugian mencapai sekitar 70 juta dolar
Amerika. Sebelumnya virus avian influenza hanya menyerang kelompok unggas. Baru
pertama kali pada tahun 1997 di Hong Kong terjadi wabah flu burung yang
disebabkan virus avian H5N1 yang patogen. Ketika itu telah terjadi penularan
virus H5N1 dari spesies unggas ke manusia. Wabah flu burung tersebut menyebabkan
enam penderita meninggal dari 18 kasus flu burung. Kini virus H5N1 terbukti
dapat menginfeksi babi, harimau, macan tutul dan kucing.
Pada
Februari 2003 virus avian influenza A subtipe H7N7 mulai menyerang daratan
Eropa terutama Belanda. Wabah flu burung ini mengakibatkan seorang meninggal
dunia dari 89 penderita. Pada akhir tahun 2003 sampai awal tahun 2004, wabah
flu burung yang disebabkan virus H5N1 kembali merebak di berbagai Negara Asia
meliputi Korea Selatan, Jepang, China, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Laos.
Sedikitnya 100 juta ternak ayam telah dimusnahkan untuk menghentikan penularan.
Wabah ini telah menginfeksi 35 orang dan mengakibatkan 24 penderita meninggal
dunia. Kemudian wabah flu burung dengan cepat menjalar ke beberapa negara Asia
Tenggara lainnya termasuk Indonesia.
Situasi
flu burung di dunia saat ini pada manusia adalah terjadi akibat virus flu
burung tipe A (H7N9). Sampai tanggal 11 Agustus 2013, Kesehatan Nasional dan
Komisi Keluarga Berencana, Cina melaporkan pada WHO bahwa telah dikonfirmasi
oleh laboratorium adanya kasus infeksi pada manusia oleh virus flu burung tipe
A (H7N9). Ini adalah pertama kasus baru dikonfirmasi pada manusia terinfeksi
oleh virus flu burung tipe A (H7N9) sejak 20 Juli 2013. Pasien adalah seorang
wanita 51-tahun dari Huizhou, Provinsi Guangdong. Dia menjadi sakit pada
tanggal 27 Juli 2013 dia mengaku ke rumah sakit setempat pada tanggal 28 Juli
tahun 2013 dan dipindahkan ke rumah sakit di Kota Huizhou pada tanggal 3
Agustus 2013. Dia saat ini berada dalam kondisi kritis. Uji laboratorium yang
dilakukan oleh Pusat Provinsi Guangdong for Disease Control pada tanggal 9
Agustus 2013 adalah positif terinfeksi virus flu burung tipe A (H7N9), dan
telah dikonfirmasi oleh Center for Disease Control (CDC) pada tanggal 10
Agustus 2013. Sampai saat ini, WHO telah diberitahu dari total 135 kasus
manusia yang dikonfirmasi laboratorium dengan virus flu burung tipe A (H7N9)
termasuk 44 kematian. Saat ini, empat kasus dirawat di rumah sakit dan 87 telah
keluar. Tidak ada bukti penularan dari manusia ke manusia. (Trisnadi G, 2013).
Sejak
awal tahun 2004 pemerintah telah menetapkan secara resmi wabah flu burung di
Indonesia, meskipun sudah banyak kasus yang terjadi sejak tahun 2003, Menurut
data Koordinator Unit Reaksi Cepat Penyakit Hewan Menular Strategis Pusat
Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada kegiatan
Rakor Pembebasan Penyakit Hewan Menular II yang diselenggarakan di Manado pada
tanggal 20-22 September 2015, setidaknya sampai tahun 2015 secara kumulatif
terjadi 199 kasus dengan 167 orang meninggal, tersebar di 15 Provinsi dan 58 Kab/Kota yang frekwensi
kejadiannya terus menurun dari tahun ke tahun.
Pada
tahun 2013 terjadi 3 kasus dan semuanya meninggal di Kota Bekasi dan Kabupaten
Bekasi Jawa Barat. Sedangkan tahun 2014 terjadi setidaknya 2 kasus, pertama di
Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah pada bulan April 2014 dan yang kedua terjadi di
Jakarta Timur setelah 2 minggu sebelumnya membeli ayam hidup di Pasar
Rawamangun, Jakarta Timur. Kemudian pada tahun 2015 terjadi 2 kasus yang
terjadi pada seorang ayah bersama anaknya yang masih berusia 2,5 tahun di Kota
Tangerang, Banten. Mereka tertular karena di sekitar rumah mereka terdapat
unggas dan burung merpati yang tidak dikandangkan selain itu bias juga terjadi
setelah berkunjung dari rumah saudaranya yang memiliki burung hias di Bogor.
Selain itu kemungkinan faktor risiko yang lain berupa kontak
langsung/lingkungan dengan sumber penularan di Pasar tradisional yang menjual
unggas hidup dan pemotongan unggas, unggas pekarangan umbaran di sekitar rumah
korban.
Kejadian
Flu burung yang kembali merebak pada tahun 2012 di beberapa wilayah di
Indonesia lebih spesifik menyerang pada peternakan itik. Kejadian flu burung
pada itik muncul ke permukaan media setelah ditemukan ratusan itik yang mati
mendadak di beberapa daerah di Indonesia. Gejala yang ditunjukkan pada unggas
yang terinfeksi virus ini, adalah seperti unggas nampak lemas, sering
berputar-putar, mata keputihan seperti katarak, produksi telur yang menurun
drastis yang dilanjutkan dengan kematian mendadak.
Sesuai
surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor
06042/PD.610/F/12/2012 tanggal 6 Desember 2012 tentang Pengendalian Penyakit AI
pada Itik, dinyatakan bahwa berdasarkan hasil analisa DNA sequencing ditemukan
penyakit HPAI subtype H5N1 dengan clade 2.3, sub clade 2.3.2. clade 2.3 ini
merupakan clade yang baru pertama kali ditemukan di Indonesia. Yang sangat
berbeda dengan clade virus AI yang selama ini yakni clade 2.1 yang menyerang
sejak 2004 pada industri perunggasan di Indonesia. Beberapa kemungkinan
penyebab munculnya clade baru tersebut yang masih harus di teliti lebih lanjut
diantaranya adalah terjadinya mutasi genetic drift atau genetic shift dari virus
sebelumnya, atau adanya introduksi baru dari luar negeri berdasarkan kesamaan
Haemaglutinin pada phylogenic tree, yang mungkin disebabkan adanya pemasukan
itik dan/atau produknya dari luar negeri secara illegal, atau kemungkinan
adanya migrasi burung liar.
Menurut
para pakar pada tahun 2010 virus ini sudah menyebar ke Wilayah Nepal, kemudian
di India, Bangladesh, China hinggga ditemukan pada itik di Fukushima Jepang
pada tahun 2011. Besar kemungkinan masuknya virus clade 2.3.2.1 dibawa oleh
burung liar yang bermigrasi dari Asia ke pantai-pantai di Indonesia akibat
musim dingin di belahan bumi utara. Namun tidak menutup kemungkinan, masuknya
virus ini akibat adanya perdagangan antar Negara yang tidak terdeteksi membawa
virus AI. Hingga 31 Maret 2013, daerah yang tertular terus menyebar di 16
provinsi pada 104 kabupaten/kota (Ditjen PKH 2013), yakni Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Papua. Hal ini menepis anggapan bahwa
itik kebal terhadap penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian
Influenza (AI)
Etiologi
Virus
avian influenza termasuk family Orthomyxoviridae dengan genus influenza yang
terdiri dari 3 tipe yaitu: A, B dan C. Virus avian influenza merupakan virus
RNA yang single-stranded. Genomnya terdiri dari 8 segmen yang mengkode 10
protein. Diameter virus 80-120 nm dan panjang 200-300 nm. Karakteristik virus
ini berkapsul yang mengandung glikoprotein dan merupakan antigen permukaan atau
glikoprotein transmembran. Terdapat 2 jenis protein permukaan yaitu
hemaglutinin (H atau HA) dan neuraminidase (N atau NA). Antigen tersebut mampu
memicu terjadinya respon imun dan respon yang spesifik terhadap subtipe virus.
Hemaglutinin bersifat mengaglutinasi sel darah merah dan berfungsi untuk
melekat, menginvasi sel hospes dan kemudian bereplikasi. Neuraminidase merupakan
suatu enzim untuk memecahkan ikatan partikel virus sehingga virus baru terlepas
dan dapat menginfeksi sel baru yang lain.
Di
antara ketiga tipe virus influenza ini, hanya tipe A yang mempunyai subtipe
paling banyak, terdiri dari H1 sampai H16 dan N1 sampai N9. Virus influenza
tipe A cepat bermutasi karena antigennya bersifat drift dan shift. Antigenic
shift terjadi karena terdapat perubahan mayor pada protein HA maupun NA melalui
genetic reassortment. Bila 2 virus yang berbeda dari 2 hospes berbeda menginfeksi
hospes ke 3, misalnya babi, maka akan timbul subtipe virus baru yang mampu
menginfeksi hospes lain termasuk manusia dan tidak dikenal oleh sistem imun
hospes.
Perubahan
ini terjadi secara mendadak sehingga dalam waktu singkat dapat mengenai sejumlah
besar populasi yang rentan dan menimbulkan pandemi. Antigenic shift hanya
terdapat pada virus influenza A. Antigenic drift merupakan perubahan minor pada
komposisi antigen akibat misens mutation. Meskipun terjadi perubahan struktur
antigen, tetapi fungsinya masih sama. Adanya subtipe disebabkan perbedaan kedua
jenis antigen HA (H1–H16) dan NA (N1–N9). Kombinasi yang berbeda antara HA dan
NA akan membentuk subtipe yang berbeda beda. Hingga saat ini hanya beberapa
subtipe virus influenza A yang menimbulkan penyakit pada manusia yaitu H1N1,
H1N2 dan H3N2.
Semua subtipe virus influenza A dapat menginfeksi burung dan ternak, tetapi hanya subtipe H5 terutama H5N1 dan H7N7 yang sangat patogen dapat menginfeksi manusia serta menimbulkan wabah flu burung yang berbahaya. Virus influenza tipe B hanya memiliki variasi antigenic drift, sering menimbulkan epidemi dan hanya menginfeksi manusia. Virus influenza tipe C memiliki antigen yang stabil sehingga menyebabkan penyakit influenza ringan dan hanya menginfeksi manusia.
Virus
tidak aktif pada suhu 56ºC selama 3 jam, 60ºC selama 30 min. Selain itu virus
tidak tahan terhadap pH yang asam (≤ 2). Virus juga tidak tahan terhadap bahan
kimia seperti dengan pelarut organik dan deterjen (natrium desoxycholate,
natrium dodesil sulfat-). Bahan organik: aldehida (formaldehida,
glutaraldehid), ß-propiolaktona dan thyleneimine biner, fenolat, senyawa
surfaktan, agen pengoksidasi (natrium hipoklorit, kalium klorida
per-oxymonosulfate /sodium), asam encer (jika pH ≤ 2), hidroksilamin, dan
pelarut lipid. Selain itu virus juga dapat dilemahkan menggunakan desinfektan
misalnya senyawa formalin dan iodine. Namun virus akan bertahan hidup untuk
waktu yang lama pada jaringan, feses dan juga dalam air. (Trisnadi G, 2013)
Patogenesis
Menurut
Suarez et all dalam Kartono 2003, Bahwa Patogenesis sebagai sifat umum virus
dalam virus influensa A merupakan bakat filogenik dan sangat tergantung kepada
sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’ yang
mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi ke arah atau menjauhi
stimulus) dari jaringan dan penjamu, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran
imunitas (immune evasion mechanism).
Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap hasil
suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya
tidak dapat diduga sebelumnya. Bentuk avian influenza yang sangat patogen sampai saat ini secara
eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7. Tetapi dalam kenyataan hanya
sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang menunjukkan biotipe yang sangat patogen.
Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam
hospes alaminya dalam bentuk yang berpatogenisitas rendah. Dari reservoir ini
virus dapat ditularkan melalui berbagai
cara ke kawanan unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi
dan kemungkinan virus beradaptasi dalam populasi unggas yang rentan, virus
tersebut dapat mengalami mutasi dengan cepat menjadi bentuk yang sangat
pathogen. Penelitian melalui pengurutan (sequencing) nukleotida telah
menunjukkan bahwa sebagian besar virus
HPAI mempunyai kesamaan sifat dalam cara kerja antigen HA-nya, dalam ternak
unggas, sebagai ciri-ciri keganasan (virulensinya).
Virus
AI dikeluarkan oleh unggas melalui cairan hidung, mata dan feses. Unggas peka akan tertular bisa secara kontak
langsung dengan unggas penderita mau pun secara tidak langsung melalui udara yang
tercemar oleh droplet dikeluarkan hidung dan mata atau muntahan penderita.
Tinja yang mengering dan hancur menjadi serbuk yang mencemari udara yang
terhirup oleh manusia atau hewan lain, kemungkinan juga merupakan cara yang
efektif. Tinja dan muntahan penderita yang mengandung virus sering kali
mencemari pakan, air minum, kandang dan peralatan kandang akan menularkan
penyakit dari unggas penderita ke unggas peka dalam satu flok kandang.
Penularan virus dari peternakan datu ke peternakan lain bisa melalui perantara,
antara lain: manusia, pakaian, sepatu, kendaraan dan burung liar.
Tidak
ada indikasi penularan AI secara vertikal, dari induk kepada keturunannya.
Virus bisa terkandung dalam telur dari ayam induk pembibit yang terinfeksi,
namun embrio akan mati sebelum menetas. Namun menurut Tizard, 2009 dalam
Setyawati S. dkk (2010) pada DOC terdapat antibodi terhadap virus AI, antibodi
tersebut merupakan antibodi asal induk. Anak ayam memperoleh antibodi IgG dari
kuning telur, immunoglobulin ini diturunkan dari induk selama telur masih dalam
ovarium. Belum ada indikasi pula virus AI menular dari manusia ke manusia,
tetapi tetap harus waspada, karena bisa terjadi perubahan sifat virus secara
“antigenic drift” dalam tubuh babi sebagai “mixing vessel”, sehingga virus H5N1
bisa menginfeksi manusia.
Unggas
air seperti itik dan entog dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus)
tanpa menunjukkan gejala klinis. Unggas air biasanya berperan sebagai sumber
penularan terhadap suatu peternakan ayam atau kalkun. Penularan secara vertical
atau kongenital belum diketahui karena belum ada bukti ilmiah maupun empiris.
Masa inkubasi bervariasi dari beberapa jam sampai 3 (tiga) hari pada individual
unggas terinfeksi atau sampai 14 hari dari dalam flok. Burung migrasi, manusia
dan peralatan pertanian merupakan faktor beresiko masuknya penyakit. Pasar
burung dan pedagang pengumpul juga berperan penting bagi penyebaran penyakit.
Media pembawa virus berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan,
kotoran ayam, pupuk, alat transportasi, rak telur (egg tray), serta peralatan
yang tercemar. Manusia menyebarkan virus ini dengan memindahkan dan menjual
unggas yang sakit atau mati.
Masa
Inkubasi
Pada
ayam, masa inkubasi virus, yaitu virus masuk ke tubuh sampai timbul gejala membutuhkan
beberapa jam sampai dengan 3 hari dalam suatu individu dan 14 hari dalam satu
flok. Hal ini tergantung pada berbagai faktor, antara lain: jumlah dan potensi
virus yang menginfeksi, jenis spesies yang terinfeksi, kemampuan deteksi gejala
klinis.
Pada
manusia, inkubasi virus membutuhkan 1-3 hari, tergantung umur, kekebalan dan
kondisi individu, pada umumnya kasus terjadi pada anak-anak sistem kekebalan
pada anak belum berkembang sempurna.
Gejala
Klinis
Gejala
awal yang biasanya ditemukan adalah penurunan nafsu makan, lemah, penurunan
produksi telur, gangguan pernafasan berupa batuk, bersin, menjulurkan leher,
hiperlakrimasi (leleran mata berlebih), bulu kusam. Namun gejala klinis lain
pada unggas yang menderita Avian Infuenza yang sangat konsisten adalah kulit
pial dan jengger berwarna kebiruan (cyanosis), dan kadang-kadang disertai
bintik-bintik perdarahan (petekhi), perdarahan sub kutan dan odema pada daerah
kaki yang tidak berbulu sehingga sering disebut sebagai ayam kerokan. Ayam
biasanya ngorok yang disertai dengan keluarnya eksudat encer dari rongga hidung
dan sering juga di temukan diare.
Meskipun
kondisi ayam dan produksi telur dalam keadaan baik, kematian bias saja terjadi
sangat mendadak. Penyakit ini sangat kontagius dan menyebar sangat cepat pada
ayam yang lain dalam satu flok, yang menyebabkan peternakan musnah terserang
wabah tersebut. Angka morbiditas dan mortalitas infeksi ini mencapai 100%.
Depresi dan gejala syaraf berupa tortikolis Beberapa kasus mati mendadak, tanpa
gejala klinis. (Damayanti, 2004)
Sedangkan
gejala klinis pada manusia penderita AI, antara lain adalah penderita mengalami
demam (38 derajat celcius), sakit tenggorokan, batuk, beringus, infeksi mata,
nyeri otot, sakit kepala, lemas dan dalam waktu singkat dapat menjadi lebih
berat dengan terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia) dan kematian. Perlu
waspada jika terjadi influenza terjadi pada manusia yang kira-kira 7 hari
terahir telah kontak dengan unggas dan unggas tersebut sakit atau mati dengan
gejala klinis mengarah pada penyakit flu burung.
Dalam
perusahaan peternakan unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan
makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya
penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya
produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas yang terkena HPAI sering
hanya menunjukkan apati dan tidak banyak bergerak (imobilitas). Pada unggas petelur, pada
mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur
berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit. Menurut Wibawa H,
dkk (2013) Pada pemeriksaan secara klinis terhadap itik yang sakit, terlihat
bahwa itik yang sakit menunjukkan gejala klinis syaraf seperti tortikolis
(Gambar 5), tremor, kesulitan berdiri, kehilangan keseimbangan saat berjalan,
mata keputihan seperti katarak (Gambar 3 dan 4), dan pada kasus parah disertai
kematian.
Gambaran
Patologi Anatomi (PA)
Gambaran
pasca mati bervariasi, tergantung tingkat keparahan penyakit dan patogenitas
virus. Pada infeksi ringan, terjadi lesi ringan berupa peradangan pada sinus
endema trachea disertai eksudat cair sampai kental. Kantung udara menebal
dengan eksudat berfibrin sampai perkejuan, peritonitis, enteritis dan eksudat
pada oviduk.
Pada
infeksi virus yang sangat pathogen, gejala klinis tidak jelas, karena ternak
mati mendadak sebelum lesi berkembang. Pada kasus ini, bisa terjadi perubahan
yang mencolok, antara lain: kongesti, hemoragi dan penimbangan cairan dalam
rongga perut serta kerusakan (nekrosis) pada berbagai organ dalam
Pada
kasus-kasus infeksi virus H7N7, H5N1, H5N9 dan H5N2 terlihat beberapa perubahan
seperti endema pada kepala, bengkak pada sinus, sianosis, kongesti, hemoragi
pada pial, jengger dan kaki. Kongesti paru-paru dan hemoragi organ dalam yang
lain. Ptekie pada lemak abdominal berlebihan, endema dan hemoragi pada otak.
Menurut Penelitian Damayanti dkk, 2004 Kelainan PA yang paling menyolok yaitu
cyanosis pada kulit pial dan jengger, perdarahan sub-kutan pada kaki yang tidak
berbulu, perdarahan difus pada lapisan kulit tubuh bagian dada hingga abdomen
dan perdarahan umum pada seluruh organ ayam. Petekhi tampak pada kulit pial dan
jengger, lapisan lemak pada epikardium, myokardium dan mukosa proventrikulus.
Perdarahan yang lebih difus ditemukan pada mukosa trakhea, otot dada,
paru-paru, hati, ginjal dan ovarium. Selain itu limpa sedikit membengkak dan
hati mengalami perdarahan, nekrosis dan sangat rapuh.
Hasil
bedah bangkai pada itik tidak ditemukan perubahan yang spesifik kecuali adanya
kornea mata yang keputihan baik unilateral maupun bilateral, garis-garis
keputihan pada otot jantung yang bervariasi dari ringan sampai berat serta
adanya kongesti pada pembuluh darah dan malasea (nekrosis) pada otak dengan
variasi dari ringan sampai berat.
Gambaran
histopatologi (HP)
Umumnya
secara histopatologi terlihat berupa perdarahan sistemik dengan peradangan non
supuratif yang ditandai dengan infiltrasi sel radang jenis limfosit pada semua
organ internal ayam. Diagnosis morfologi yang terlihat berupa dermatitis pada
pial, jengger dan telapak kaki, ensefalitis yang disertai degenerasi dan
nekrosis myelin pada otak, trakheitis, myositis haemoragika pada otot dada dan
paha, pneumonia interstitialis pada paru-paru, peradangan pada epikardium dan
myokardium jantung, peradangan pada proventrikulus, peradangan, perdarahan dan
nekrosis pada hati, peradangan pada ginjal dan perdarahan pada ovarium. Selain
lesi tersebut di atas, gambaran lain yang selalu ditemui yaitu vaskulitis pada
kulit pial dan jengger, otak, paru-paru dan ginjal.
Pemeriksaan
histopatologis pada itik menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dalam jumlah
yang tinggi pada otot jantung. Pada otak terjadi peradangan akut multifocal
nekrosis dan pada kasus yang lebih kronis terjadi infiltrasi limfosit pada otak
(Gambar 8) yang diikuti oleh adanya peradangan perivascular cuffing ringan
sampai berat. Pada pewarnaan dengan metode imunohistokimia dengan menggunakan
antibodi AI H5N1 ditemukan adanya antigen virus pada sel-sel neuron otak
(Gambar 9) (Wibawa H. dkk, 2013).
Diagnosis
Diagnosa
lapangan dilakukan dengan melihat gejala klinis dan patologi anatomi. Pada
virus yang pathogen biasanya gejala klinis seperti gejala depresi berat, tidak
bernafsu, terjadinya penurunan produksi telur yang drastis, edema pada wajah
dan bengkak dan sianosis pada jengger dan pial, hemorhagi petechie pada
permukaan membran internal, kematian mendadak (mortalitas dapat mencapai 100%)
akan tampak menonjol dan cukup untuk dasar peneguhan diagnosa.
Spesimen
yang digunakan untuk pengujian dan Identifikasi agen penyakit dapat berupa swab
hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau organ berupa trakea, paru, limpa,
pankreas dan otak yang berasal dari unggas yang mati. Identifikasi dapat
dilakukan secara serologis, antara lain dengan uji Agar Gel Immunodifusion
(AGID), uji Haemagglutination Inhibition (HI). Penentuan patogenisitas virus
dilakukan dengan cara menyuntikkan isolat virus dari cairan alantois secara
intravena (IV) pada 10 ekor anak ayam umur 6 minggu atau 4-8 minggu.
Secara
molekuler keberadaan virus AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR), real time RT-PCR atau sekuensing genetik.
Secara laboratorium diagnosa dapat ditegakkan secara virologis dengan cara
inokulasi suspensi spesimen pada telur ayam berembrio umur 9-11 hari (3 telur per
spesimen) diikuti dengan haemogglutination test, imunodifusion test untuk
mengkonfirmasi keberadaan virus influenza A dan penentuan subtipe dengan
antisera monospecific. Selain itu evaluasi virulensi strain virus dapat
dilakukan dengan evaluasi indeks pathogenicity intravena (IVPI). Jika mati 6
ekor atau lebih dalam waktu 10 hari, atau intravena pathogenicity index
(IPVI)
˃ 1,2 dianggap HPAI.
Diagnosa
Banding
Gambaran
epidemiologi wabah yang mencolok adalah bahwa penyakit terjadi sangat akut dan
menyebar sangat cepat dalam satu flok dan antar flok serta menimbulkan banyak
kematian menandakan bahwa penyakit ini bersifat fatal, akut dan infeksius.
Penyakit ini menyerang semua jenis ayam, baik petelur maupun pedaging dengan
angka morbiditas dan mortalitas mencapai 100%. Walaupun demikian perlu
diperhatikan bahwa penyakit lain dengan gejala yang mirip dengan penyakit Avian
Influenza baik dari gejala klinis, maupun gejala yang lain diferensial diagnosa
seperti :
1. Velogenic
Newcastle Disease (ND)
2. Penyakit
penyakit daerah organ respirasi, khususnya Infectious Laryngotracheitis (ILT),
Infectious Bronchitis (IB)
3. Wabah
(plague) pada bebek
4. Fowl
cholera Akut
5. Infeksi
Escherichia coli
6. Kepanasan
udara, kekurangan air, dan beberapa racun.
7. Selulitis
bakterial pada jengger dan gelambir
Bentuk
HPAI yang tidak begitu parah dapat lebih membingungkan lagi. Oleh karena itu diagnosa laboratorium sangat
penting sebelum menentukan tindakan berikutnya.
Pencegahan,
Pengendalian dan Pemberantasan
Pelaksanaan
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit dilakukan berdasarkan
Kepdirjennak Nomor 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari 2004 tentang
Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular
Infuenza pada Unggas (Avian Influenza (Kepdirjennak Nomor
46/Kpts/PD.640/F/04.04 Kepdirjennak Nomor 46/PD.640/F/08.05), terdapat 9
Strategi pengendalian Avian Influenza, yaitu :
1. Biosekuriti
Biosekurity
merupaka suatu tindakan untuk mencegah semua kemungkinan penularan(kontak)
dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit melalui: pengawasan lalu
lintas dan tindakan karantina (isolasi) lokasi peternakan tertular dan lokasi
tempat-tempat penampungan unggas yang tertular, dekontaminasi (desinfeksi).
Jenis desinfektan yang dapat digunakan misalnya asam parasetat, hidroksi
peroksida, sediaan ammonium quartener, formaldehyde (formalin 2-5%), idoform
kompleks (iodin), senyawa fenol, natrium (kalium) hipoklorit.
2. Pemusnahan
unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular
Pemusnahan
selektif (depopulasi) merupakan suatu tindakan untuk mengurangi populasi unggas
yang menjadi sumber penularan penyakit dengan jalan eutanasia dengan
menggunakan gas CO2 atau menyembelih semua unggas hidup yang sakit dan unggas
sehat yang sekandang. Cara yang kedua adalah disposal, yaitu prosedur untuk
melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati (bangkai), karkas,
telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang (sekam), pupuk atau pakan ternak
yang tercemar serta bahan dan peralatan terkontaminasi lainnya yang tidak dapat
didekontaminasi (didesinfeksi) secara efektif. Lubang tempat penguburan atau
pembakaran harus berlokasi di dalam areal peternakan tertular dan berjarak
minimal 20 meter dari kandang tertular dengan kedalaman 1,5 meter. Apabila
lubang tempat penguburan atau pembakaran terletak di luar peternakan tertular,
maka harus jauh dari pemukiman penduduk dan mendapat ijin dari Dinas Peternakan
setempat.
3. Vaksinasi
Vaksinasi
dilakukan karena kebanyakan masyarakat Indonesia memelihara ayam tanpa dikandangkan,
sehingga kemungkinan terinfeksi virus dari alam akan lebih besar. Tujuan
pelaksanaan vaksinasi adalah untuk mengurangi jumlah hewan yang peka terhadap
infeksi dan mengurangi sheding virus atau virus yang dikeluarkan dari hewan
tertular sehingga mengurangi kontaminasi lingkungan (memutus mata rantai
penyebaran virus AI). Dalam pelaksanaan vaksinasi, daerah yang divaksinasi
harus dipastikan bukan daerah tertular, atau baru terjadi kejadian kasus aktif
HPAI, mengikuti acuan teknis penggunaan vaksin yang dikeluarkan oleh produsen
vaksin yg tertulis dlm brosur, memastikan unggas yang akan divaksin berada pada
flok dan lingkungan yg sehat, serta unggas dalam keadaan sehat, jarum suntik
harus diganti dan disucihamakan dalam alkohol 70% serta mencatat detail
vaksinasi pada lembar registrasi. Dosis vaksinasi yang disarankan adalah 0,5 ml
untuk unggas dewasa dengan rute intra musculer, sedangkan unggas muda 0,2 ml
dengan rute sub kutan. Jenis vaksin yang digunakan berdasarkan rekomendasi OIE,
yaitu vaksin konvensional berupa vaksin inaktif, atau vaksin rekombinan (vaksin
dengan vektor virus Fowlpox (Pox-AI:H5) atau vaksin subunit 14 Manual Penyakit
Unggas yang dihasilkan oleh ekspresi Baculovirus yang hanya mengandung antigen
H5 atau H7.
Kebijakan
vaksinasi saat ini adalah menggunakan vaksin yang sudah mendapatkan registrasi,
diperuntukkan peternakan sektor 1, 2 dan 3 swadaya, serta peternakan sektor 4
dibantu pemerintah. Evaluasi program vaksinasi AI dilakukan melalui a).
Rasional Vaksinasi: Vaksinasi menurunkan kepekaan terhadap infeksi dan
mengurangi pengeluaran virus dari tubuh unggas (baik dalam waktu dan jumlah),
sehingga merupakan alat yang tepat untuk menurunkan insidens kasus baru dan
sirkulasi virus di lingkungan; b). Syarat Suksesnya Program Vaksinasi:
Vaksinasi harus dianggap sebagai alat untuk memaksimalkan tindakan biosekriti
dan bias dikombinasikan dengan surveilans untuk mendeteksi secara cepat setiap
perubahan dari antigenik virus yang bersirkulasi.
4. Pengendalian
Lalu Lintas
Pengendalian
lalu lintas meliputi pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan
unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi) dan produk unggas lainnya (karkas /
daging unggas dan hasil olahannya), pakan serta limbah peternakan; pengawasan
lalu lintas antar area; pengawasan terhadap pelarangan maupun pembatasan lalu
lintas.
5. Surveilans
dan Penelusuran
Surveilans
merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur untuk mengetahui status
kesehatan hewan pada suatu populasi. Sasarannya adalah semua spesies unggas yang
rentan tehadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Dalam melakukan
surveilans harus dilakukan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan
menahan secara efektif penyebaran penyakit dan dilakukan minimum mulai dari
periode 14 hari sebelum timbulnya gejala klinis sampai tindak karantina mulai
diberlakukan. Tujuan utama dari surveilan AI adalah untuk memberikan informasi
yang akurat tentang tingkat penyakit AI dan faktor-faktor penyebabnya dalam
populasi untuk tujuan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan.
6. Peningkatan
kesadaran masyarakat (Public Awareness)
Merupakan
sosialisasi (kampanye) penyakit AI kepada masyarakat dan peternak. Sosialisasi
dilakukan melalui media elektronik, media massa maupun penyebaran brosur
(leaflet) dan pemasangan spanduk, agar masyarakat tidak panik.
7. Pengisian
kembali (Restocking) unggas
Pengisian
kembali (restocking) unggas ke dalam kandang dapat dilakukan sekurang-kurangnya
1 (satu) bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua tindakan
dekontaminasi (desinfeksi) dan disposal selesai dilaksanakan sesuai prosedur
8. Pemusnahan
unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru
Apabila
timbul kasus AI di daerah bebas atau terancam dan telah didiagnosa secara
klinis, patologi anatomis dan epidemiologis serta dikonfirmasi secara
laboratoris maka dilakukan pemusnahan (stamping out) yaitu memusnahkan seluruh
ternak unggas yang sakit maupun yang sehat dalam radius 1 km dari peternakan
tertular tersebut
9. Monitoring,
Pelaporan dan Evaluasi.
Monitoring
adalah usaha yang terus menerus yang ditujukan untuk mendapatkan taksiran
kesehatan dan penyakit pada populasi yang dilakukan oleh pusat dan daerah serta
laboratorium (BPPV/BBV). Pelaporan meliputi laporan situasi penyakit dan
perkembangan pelaksanaan, pengendalian dan pemberantasan penyakit. Pelaksanaan
evaluasi dilakukan setelah selesai kegiatan operasional lapangan. Materi yang
penting diantaranya adalah penyediaan dan distribusi sarana (vaksin, obat,
peralatan dan lain-lain), realisasi pelaksanaan opersional (vaksinasi,
pengamatan, diagnosa, langkah-langkah/tindakan yang telah diambil dalam
pengendalian dan pemberantasan) serta situasi penyakit (sakit,mati, stamping
out, kasus terakhir) dan lain-lain.
Pengobatan
Pada
burung, pengobatan tidak efektif. Upaya pemberian antibiotik dan multivitamin
bisa dilakukan untuk meningkatkan data tahan tubuh unggas. Penggunaan
interferon amantadin pada kasus influenza pada puyuh dan kalkun di Italia
berhasil menurunkan angka kematian hingga 50 persen. Pemberian pakan tambahan
yang bersifat menurunkan peristaltik usus akan menurunkan angka kematian dalam
suatu populasi.
Melakukan
Vaksinasi mungkin dapat dijadikan sebagai upaya pendukung untuk memberantas
wabah di daerah non-endemik, Pada masa lalu, vaksinasi telah dianggap
kontraproduktif karena beberapa vaksin individu dapat menyebabkan hewan yang
divaksin menjadi terinfeksi dan menyebarkan virus ganas. Namun, dalam wabah
terbaru di Pakistan dan Meksiko, vaksin dilemahkan telah digunakan untuk
memerangi penyakit yang cepat menyebar.
BAB
III
MATERI
DAN METODE
Materi
(bahan) tulisan adalah pengalaman kerja dan praktek yang dilaksanakan selama
bekerja di Karantina Pertanian. Metode (cara) yang digunakan adalah berdasarkan
studi literatur yang sesuai dan terkait, baik berupa buku, tulisan ilmiah,
jurnal atau artikel terkait serta pengalaman penulis dalam melaksanakan
tindakan karantina.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Studi
terdahulu menunjukkan bahwa wabah flu burung pada ayam menyebabkan kerugian
ekonomi yang besar. Kerugian yang ditimbulkan ada yang langsung akibat dari
kematian ternak dan penurunan produksi, serta kerugian tidak langsung akibat
turunnya permintaan terhadap produk ayam. Turunnya permintaan tersebut
disebabkan oleh rasa ketakutan karena penularan penyakit flu burung kepada
konsumen yang mengonsumsi produk ayam (Ilham N, 2013).
Namun
kondisi wabah flu burung yang menyerang itik saat ini, sedikit berbeda dengan
saat terjadinya wabah flu burung pada ayam tahun 2004-2005. Saat ini, penyakit
flu burung bukan lagi merupakan hal baru bagi masyarakat dan sudah menjadi
endemi. Kasus-kasus yang terjadi secara sporadis masih terjadi di berbagai
daerah, terutama menjelang dan saat musim penghujan. Mayarakat sudah mengetahui
cara-cara menghindari dari kemungkinan terinfeksi dan sudah mengetahui seberapa
besar dampaknya terhadap manusia. Oleh karena itu, diduga, wabah flu burung
yang menyerang itik tidak menurunkan permintaan terhadap produk itik. Tetapi
virus-virus H5N1 yang diisolasi dari kasus itik baru-baru ini terlihat memiliki
tingkat keparahan lesi yang lebih tinggi dibanding infeksi yang ditimbulkan
virus-virus dari clade 2.1. (Wibawa H dkk, 2012).
Pada
bulan Oktober 2012 dilaporkan bahwa penyakit flu burung telah menyerang ternak
itik di Indonesia. Hingga 31 Maret 2013, daerah yang tertular terus menyebar di
16 Provinsi pada 104 kabupaten/kota (Ditjen PKH 2013), yakni Sumatera Utara,
Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Papua. Kejadian ini tentunya diluar
dugaan para ahli, karena selama ini dianggap bahwa itik kebal terhadap penyakit
flu burung yang disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI).
Pada
wabah itik yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2012 dan hasil uji
patogenesitas pada penelitian ini memperlihatkan bahwa itik menunjukkan gejala
klinis yang jelas dan menimbulkan kematian. Hal ini juga pernah dilaporkan oleh
Capua et al (2001) dan Saito et al (2009) dalam Ilham N (2013) bahwa virus HPAI
dapat menimbulkan penyakit yang parah dengan gangguan syaraf sampai dengan
kematian pada unggas air. Selain itu, penelitian yang lain juga menunjukkan
bahwa virus-virus H5N1 yang diisolasi dari kasus outbreak di Thailand tidak
hanya mampu menyebabkan kematian pada ayam dan burung puyuh tetapi juga pada
Anseriformes (itik) dengan gejala klinis perdarahan pada paruh, depresi dan
tortikolis sebelum kematian terjadi.
Menurut
Hewajuli (2012), unggas air termasuk itik, diduga sebagai inang perantara alami
virus influenza A yang paling heterogen, sehingga semua subtipe virus AI
berkembangbiak dalam jumlah besar di dalam saluran pencernaan unggas air. Di
dalam tubuh itik, virus flu burung yang bersifat Low Pathogenic Avian Influenza
(LPAI) dapat berubah menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) melalui
proses evolusi atau adaptasi dalam tubuh itik. Virus flu burung yang sudah
mengalami perubahan dalam tubuh itik akan bersifat sangat patogen atau berbahaya
pada peternakan itik dan dapat menyebabkan kematian. Perilaku hidup berpindah,
habitat hidup dekat perairan umum dan pola pemeliharaan digembala berpotensi
besar untuk menyebarkan virus flu burung dari itik ke lingkungan disekitarnya.
Di
Indonesia kasus AI dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang signifikan
dapat dilihat pada Tabel 1., sedangkan sebaran kasus AI pada tahun 2015
terdapat di 5 Provinsi dengan kasus sedang, 19 Provinsi kasus rendah, dan 14
Provinsi tidak terjadi kasus (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, 2015) Tabel 2. Pemerintah Indonesia mentargetkan bebas AI pada tahun
2020. Adapun target pencapaian status bebas wabah AI pada tahun 2014 adalah
Provinsi Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat (Dirjen PKH 2015).
Asmara
(2012) menyatakan bahwa kasus kematian masal pada ternak itik sebagian besar
disebabkan oleh virus AI sub-tipe H5N1 clade 2.3.2.1. Virus clade ini bukan
merupakan hasil mutasi dari virus AI clade 2.1 yang sebelumnya sudah mewabah di
Indonesia. Hal yang sama dilaporkan oleh Dharmayanti (2013), bahwa kematian
pada itik tersebut disebabkan oleh adanya introduksi virus Avian Influenza
clade 2.3.2., namun dapat juga disebabkan oleh virus AI clade 2.1.3. Hal ini
menunjukkan bahwa virus AI H5N1 masih bersirkulasi di Indonesia dan tetap
menjadi ancaman bagi ternak unggas pada umumnya maupun manusia.
Penelitian
yang dilakukan terhadap karakterisasi genetik virus clade 2.3.2 secara lengkap
pada delapan gen dari virus AI. Delapan gen yang dianalisis memperlihatkan
bahwa virus clade 2.3.2 merupakan introduksi dari luar Indonesia. Jumlah tempat
glikosilasi pada protein HA dan NA tidak mengalami kenaikan ataupun penurunan,
sama seperti sebagian besar profil virus H5N1 clade 2.1.3 asal Indonesia. PDZ
binding motif pada protein NS1 memperlihatkan virus adalah avian origin karena
mempunyai motif ESEV. Selain itu, pada protein NS1 juga mempunyai delesi di
80-84. Dari analisis tersebut, karakter virus clade 2.3.2 masih menunjukkan
virus genotipe Z sama dengan virus clade 2.1 sebelumnya. Penelitian tersebut
juga memperlihatkan patogensitas virus clade 2.3.2 dan clade 2.1.3 adalah sama
karena dapat menyebabkan kematian itik pada 3-6 hari post infeksi, gejala
klinis dan shedding virus juga tidak terdapat perbedaan antara virus AI clade
2.3.2 dengan clade 2.1.3. Namun yang menarik adalah itik yang hidup tidak
ditemukan shedding virus dan ketika shedding tidak terdeteksi, titer antibodi
mulai muncul. Unggas air termasuk itik dilaporkan sebagian besar menunjukkan
resistensi terhadap virus AI sehingga unggas air hanya sebagai reservoir AI
tanpa menunjukkan gejala klinis penyakit AI yang jelas atau parah apabila
terinfeksi AI (Dharmayanti dkk, 2013).
Pola
Penyebaran Flu Burung Pada Itik
Cara
pemeliharaan
Populasi
itik tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, namun usaha peternakan itik
didominasi oleh skala kecil yang bersifat tradisional dengan keterampilan
peternak yang rendah dan modal kecil. Pola pemeliharaan juga beragam mulai dari
intensif, semi intensif dan ekstensif.
Pola
pemeliharaan semiintensif dan ekstensif biasanya berlokasi berlokasi di daerah
dekat perairan seperti persawahan, sungai, rawa, dan pantai. Pada usaha itik
petelur, pola pemeliharaan dengan menggembalakan itik sebelum masa itik
menghasilkan telur di areal persawahan, rawa atau perairan lainnya banyak
dijumpai baik di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa dengan tujuan utama untuk
menghemat biaya pakan. Karena itik mendapatkan pakan dari alam baik dalam
bentuk protein (cacing dan siput) dan karbohidrat (butiran padi dan hijauan
lainnya). Selain itu dengan pola pemeliharaan tersebut memungkinkan itik bebas
melakukan pergerakan (exercise) sehingga perkembangan organ tubuh, terutama
saluran reproduksi menjadi lebih baik. Namun pada usaha itik pedaging biasanya
pola pemeliharaan biasanya dilakukan secara intensif, sehingga diharapkan
mendapatkan peningkatan berat badan yang lebih cepat (Ilham N, 2013).
Pada
daerah-daerah dengan pola ekstensif, peluang ternak itik bertemu dengan unggas
liar sangatlah besar. Dengan kondisi yang demikian maka transmisi penyakit
antar itik dan unggas liar sangat mungkin terjadi dan mudah tersebar ke daerah
yang lebih luas. Berdasarkan kasus yang
terjadi pada ayam ras, maka dapat ditarik pelajaran bahwa pada usaha itik
pedaging dengan masa pemeliharaan sekitar dua bulan, penerapan biosekuriti
lebih baik dilakukan. Sebaliknya pada itik petelur dengan masa produksi panjang
dan pemeliharaan yang digembalakan dimana penerapan biosekuriti sulit
diaplikasikan maka vaksinasi perlu dilakukan untuk menghindari kematian dan
penurunan produksi akibat adanya wabah flu burung.
Perdagangan
Jalur
perdagangan impor itik diduga merupakan jalur masuk penyakit flu burung ke
Indonesia. Menurut Asmara (2012), virus H5N1 clade 2.3.2 dilaporkan sudah
menyebar sejak 2010 di Nepal, India, Bangladesh, Pakistan dan China hingga
ditemukan pada itik di Fukushima Jepang pada tahun 2011. Indonesia melakukan
impor itik yang berasal dari Malaysia, Amerika Serikat, Australia dan
Singapura. Dan bukan negara-negara yang sedang berjangkit wabah, sehingga
melemahkan dugaan selama ini bahwa penularan flu burung pada itik melalui impor
itik dan produk itik dari luar negeri. Namun perlu diamati dan diwaspadai lebih
lanjut, apakah produk itik yang di impor dari Malaysia dan Singapura tersebut
merupakan kegiatan reekspor yang berasal dari China. Atau kegiatan impor yang
dilakukan secara illegal mengingat banyaknya pintu-pintu pemasukan/pengeluaran
yang belum semuanya terawasi dan kondisi perbatasan Indonesia dengan negara
tetangga saat ini, masih sulit menghindari masuknya produk-produk unggas secara
ilegal yang dapat mengancam kesehatan unggas di dalam negeri
Virus
yang menyerang ternak itik ini masuk ke Indonesia diperkirakan menjelang
pertengahan hingga akhir tahun 2012. Diduga kuat masuknya virus clade 2.3.2.1
dibawa oleh burung liar yang bermigrasi dari Asia ke pantai-pantai di
Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan, masuknya virus ini akibat adanya
perdagangan antar negara yang tidak terdeteksi membawa virus AI.
Peningkatan
permintaan produk usaha ternak itik yaitu itik bibit, itik potong dan telur
dari daerah sentra produksi banyak diperdagangkan ke berbagai daerah.
Penyebaran flu burung di dalam negeri dapat melalui pergerakan itik dan
produknya melalui kegiatan pedagangan. Bibit itik yang diperdagangkan berupa
itik umur sehari (DOD), itik dara dan itik dewasa.
Perdagangan
bibit itik kebanyakan peternak membeli bibit berupa DOD dari Mojokerto, Jawa
Timur. Output usaha itik yang diperdagangkan adalah telur dan itik hidup.
Selain itu ada juga produk samping berupa kotoran itik yang diperdagangkan
sebagai pupuk kandang. Kegiatan perdagangan itik dan produknya merupakan salah
satu media tersebarnya penyakit flu burung.
Kejadian
Flu burung pada Itik di Kabupaten Manokwari
Kasus
Flu Burung di Kabupaten Manokwari pertama kali ditemukan pada tahun 2005-2006.
Pemerintah Daerah sangat mendukung kesehatan unggas peternak lokal dengan
pembatasan lalu lintas unggas dari luar Kabupaten Manokwari, sehingga
diterbitkan Instruksi Bupati Manokwari No. 07/INS/Bup/Mkw/2004 tentang Larangan
Pemasukan Unggas dan telur dari daerah tertular penyakit unggas menular Avian
Influenza ke Kabupaten Manokwari dan Peraturan Bupati Manokwari No. 3 Tahun
2005 tentang Pemasukan Unggas dan Produknya ke Kabupaten Manokwari. Hal ini
membuat tiap-tiap petugas Karantina Pertanian khususnya untuk Stasiun Karantina
Pertanian Kelas II Manokwari mendukung Papua Barat khususnya Kabupaten
Manokwari untuk menjadi daerah yang bebas Flu Burung.
Mengacu
pada UU No. 16 tahun 1992, Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari yang
merupakan salah satu unit pelaksana teknis (UPT) dengan tugas pokok dan
fungsinya melindungi Papua Barat pada umumnya dan khususnya Kabupaten Manokwari
serta wilayah kerja dari terintroduksinya HPH/HPHK baik dari luar negeri maupun
antar area yang memiliki potensi dapat mengancam budidaya peternakan, pertanian
atau komoditas agribisnis unggulan Papua Barat, terutama di Kabupaten
Manokwari.
Kejadian
penyakit Flu Burung di wilayah Kabupaten Manokwari pernah terjadi pada tahun
2005-2006, pada tahun 2007 hingga 2011 sudah tidak ditemukan kasus, tidak ada
laporan kasus kematian mendadak pada unggas yang disebabkan oleh virus Flu
Burung (H5N1). Namun pada tahun 2012 bersama dengan munculnya kasus flu burung
pada itik di beberapa wilayah di Indonesia. Masuknya Flu burung pada itik ada
kaitannya dengan lalu lintas/perdagangan Day Old Duck (DOD) yang berasal dari
wilayah yang endemis Flu burung. Berikut tabel data lalulintas DOD yang masuk ke Kabupaten Manokwari selama 5
(lima) tahun terakhir.
NO
|
TAHUN
|
VOLUME
|
SATUAN
|
FREKWENSI
|
SATUAN
|
DAERAH ASAL
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1
|
2011
|
3600
|
EKOR
|
5
|
KALI
|
MOJOKERTO
|
2
|
2012
|
6500
|
EKOR
|
5
|
KALI
|
MOJOKERTO
|
3
|
2013
|
300
|
EKOR
|
1
|
KALI
|
KEDIRI
|
4
|
2014
|
-
|
EKOR
|
-
|
KALI
|
-
|
5
|
2015
|
6803
|
EKOR
|
3
|
KALI
|
KEDIRI
|
Data lalu lintas itik yang masuk ke kabupaten manokwari dari tahun 2011-2015
(EQvet).
Penyakit
Flu Burung sub clade baru telah dinyatakan ada di wilayah Propinsi Papua Barat
pada tahun 2012 tepatnya di wilayah SP 2 Jalur 8 Desa Prafi Mulya Distrik Prafi
Kabupaten Manokwari. milik salah seorang peternak dengan jumlah populasi 2000
ekor dengan sistem budidaya semi intensif. Berdasarkan data yang ada bibit DOD
berasal dari Mojokerto Jawa Timur. Dari data di atas kasus tersebut bermula
dari kedatangan bibit DOD pada bulan November 2012 kemudian pada bulan yang
sama sebagian bibit DOD dipindahkan ke Kabupaten Teluk Bintuni sebanyak 200
ekor dan ke Kabupaten Teluk Wondama sebanyak 700 ekor. Bibit DOD yang
dipindahkan tersebut sama-sama mengalami kematian. Pemeliharaan Itik tersebut
secara semi intensif, terdiri dari 5 flok berdasarkan umur itik, pakan yang
diberikan berupa pakan konsentrat dikombinasikan dengan pakan lokal, dan
kandang berdekatan dengan kandang ayam broiler dan ada unggas lain seperti
entok dan ayam kampung di sekitar kandang.
Kejadian
ini bermula dari laporan PPL bahwa terjadi kematian mendadak itik terjadi
tanggal 19 Desember 2012 sebanyak 15 ekor pada 2 flok yang berbeda yaitu flok
umur 1 bulan dan flok itik petelur, pada flok yang berumur 1 bulan (Gambar 10)
memiliki sanitasi kandang yang jelek sedangkan pada flok itik petelur (Gambar
11) terjadi perubahan pakan secara mendadak dari pakan konsentrat ke pakan
campuran berupa dedak, nasi dan tepung ikan. Kondisi tepung ikan yang digunakan
sebagai bahan campuran pakan keadaannya berjamur, Pada tanggal 20 Desember 2012
Itik yang mati meningkat dibanding hari sebelumnya sekitar 20-35 ekor, sehingga
pada tanggal 21 Desember 2012 Petugas dari Dinas Pertanian, Peternakan Dan
Perkebunan Kabupaten Manokwari bersama dengan petugas karantina dating ke
lokasi kejadian dan melakukan uji cepat dengan Rapid Test AI namun hasilnya
negative. Gejala klinis yang tampak pada itik petelur yaitu terjadi penurunan
produksi telur drastis selain itu gejala yang terlihat berupa mata kabur berwarna
kebiruan, lesu, anorexia dan tortikolis. Tetapi entok dan ayam kampung yang
berada di sekitar peternakan tidak menunjukkan gejala sakit maupun mengalami
kematian.
Kemudian
pada tanggal 22 Desember 2012, petugas dari Dinas Pertanian, Peternakan Dan
Perkebunan Kabupaten Manokwari melakukan pengambilan spesimen darah maupun
organ itik yang berasal dari flok berumur 1 bulan sebanyak 3 ekor. Kemudian
spesimen tersebut dikirim ke Balai Besar Veteriner Maros untuk dilakukan
pengujian laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan
metode PCR dan menggunakan isolasi hasilnya menyatakan bahwa dari ketiga
spesimen tersebut positif terkena flu burung sub clade baru yang pada saat itu
sedang mewabah d Pulau Jawa. Baru setelah hasil laboratorium dinyatakan positif
maka besama-sama dengan Satpol PP, Petugas Kepolisian dan Petugas dari Distrik
pada tanggal 11 Februari 2013, melakukan tindakan depopulasi/ pemusnahan
terhadap 366 ekor itik yang masih tersisa yang berasal dari 5 flok.
Tindakan
ini sesuai dengan Kepdirjennak No: 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari
2004 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan
Menular Influenza pada Unggas (Avian Influenza (Kepdirjennak No:
46/Kpts/PD.640/F/04.04 Kepdirjennak No: 46/PD.640/F/08.05), terdapat 9 Strategi
pengendalian Flu Burung, diantaranya yaitu melakukan depopulasi untuk
mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit dengan jalan
eutanasia dengan menggunakan gas CO2 atau menyembelih semua unggas hidup yang
sakit dan unggas sehat yang sekandang.
Cara
yang kedua adalah disposal, yaitu prosedur untuk melakukan pembakaran dan
penguburan terhadap unggas mati (bangkai), karkas, telur, kotoran (feses),
bulu, alas kandang (sekam), pupuk atau pakan ternak yang tercemar serta bahan
dan peralatan terkontaminasi lainnya yang tidak dapat didekontaminasi
(didesinfeksi) secara efektif. Lubang tempat penguburan atau pembakaran harus
berlokasi di dalam areal peternakan tertular dan berjarak minimal 20 meter dari
kandang tertular dengan kedalaman 1,5 meter. Apabila lubang tempat penguburan
atau pembakaran terletak di luar peternakan tertular, maka harus jauh dari
pemukiman penduduk dan mendapat ijin dari Dinas Peternakan setempat.
Tindakan
selanjutnya yaitu melaksanakan biosecurity dan biosafety untuk mencegah semua
kemungkinan penularan (kontak) dengan peternakan tertular dan penyebaran
penyakit melalui pengawasan lalu lintas dan tindak karantina (isolasi) lokasi
peternakan tertular dan lokasi tempat-tempat penampungan unggas yang tertular,
dekontaminasi (desinfeksi) di wilayah yang diindikasikan positif tertular AI
sehingga kasus tidak menyebar ke wilayah lainnya. Pelaksanakan Pengawasan Lalu lintas unggas di
setiap check point baik wilayah perbatasan antar provinsi maupun antar wilayah
kabupaten serta memperketat pengawasan bila terjadi kasus positif di suatu
wilayah. Pengawasan dilakukan dengan pemeriksaan surat-surat kesehatan hewan
daerah kemudian melakukan penyemprotan desinfektan pada kendaraan yang
mengangkut unggas.
Sejak
ditemukannya kasus sampai dilakukannya tindakan pemusnahan tidak pernah lagi
ditemukan kasus kematian baik pada itik maupun unggas lain yang ada di sekitar
kejadian, mungkin diperlukan surveillans terhadap itik yang ada di sekitar
wilayah tersebut mengingat data Pengamatan Status dan Situasi HPHK di wilayah
Kabupaten Manokwari tahun 2015 yang dilaksanakan pada bulan Mei 2015.
Berdasarkan data pemeriksaan laboratorium aktif ditemukan beberapa spesimen
yang seropositive walaupun setelah dilihat bahwa data spesimen seropositive
tersebut berasal ayam broiler dan bukan ayam buras, selain itu pada kegiatan
tersebut tidak dilakukan pengambilan spesimen pada itik/entog maupun jenis
unggas lain.
Perlu
diperhatikan bahwa penelitian Setyawati dkk, 2010 Pada pengujian titer atibodi
terhadap virus AI H5N1 pada DOC yang dilalulintaskan di bandara Soekarno Hatta
menunjukkan hasil yang bervariasi antara titer 0 sampai 10 (log 2). Dapat
diketahui bahwa ayam dengan titer antibodi lebih rendah dari 10 maupun negative
tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI, tetapi dapat mencegah
infeksi dan shedding virus. Antibodi yang terdapat pada DOC merupakan antibodi
asal induk. Anak ayam memperoleh antibodi IgG dari kuning telur, immunoglobulin
ini diturunkan dari induk selama telur masih dalam ovarium. Vaksinasi pada
unggas diharapkan dapat meningkatkan kekebalan unggas terhadap paparan virus
dan mengurangi tingkat shedding virus sehingga mencegah kasus penyakit. Namun
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa titer antibodi yang bervariasi
mulai dari 20 sampai 29 ini tidak mempengaruhi keberadaan virus (antigen) pada
organ DOC.
Namun
pada deteksi Virus AI H5N1 menggunakan Teknik Pewarnaan Imunohistokimia,
ditemukan hasil yang positif mengandung antigen virus yang ditemukan pada
beberapa organ seperti trakhea, paru-paru dan usus sebanyak (43,3%), sedangkan
pada hati dan ginjal jarang ditemukan sebanyak (22,9%). Hal ini disebabkan
karena virus influenza lebih menyukai bereplikasi pada saluran pencernaan
sehingga menyebabkan tingginya titer virus pada feses. Antigen juga terdeteksi
pada organ paru-paru dan trakhea, karena virus AI memiliki kecenderungan berkembangbiak
pada sel epitel bersilia di saluran pernafasan. Organ saluran pernafasan
merupakan sasaran utama virus AI, sel-sel epitel dari saluran pernafasan rentan
terhadap infeksi virus. Perubahan Patologis jaringan organ DOC memperlihatkan
adanya infiltrasi limfosit dan nekrosis. Hal ini terjadi karena virus
bereplikasi pada sel sehingga menyebabkan degenerasi dan kematian sel. Menurut
Suarez et al. (1998) dalam Setyawati dkk (2010) juga membuktikan bahwa kapiler
pembuluh darah mengalami hipertropi dan berisi masa protein serta sel radang.
Fenomena ini menimbulkan hambatan suplai oksigen sehingga jaringan mengalami hipoksia
yang berakibat nekrosis.
Deteksi
antigen virus AI H5N1 pada DOC dengan teknik pewarnaan imunohistokimia
menggunakan antibodi monoklonal memiliki nilai diagnostik tinggi, karena
antibodi bereaksi dengan protein hemaglutinin (HA) dari virus AI H5N1. Antibodi
monoclonal memberikan hasil yang lebih spesifik dibandingkan dengan antibodi
poliklonal karena antibodi monoklonal hanya bereaksi terhadap satu epitop dalam
struktur antigen sehingga mampu mengenali suatu antigen virus dengan tingkat
kekhasan yang tinggi. Hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa DOC telah
terinfeksi oleh virus AI dengan gejala subklinis dan berpotensi sebagai salah
satu penyebab cepatnya penyebaran AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai
pendistribusiannya ke daerah yang masih bebas AI. Sehingga kebijakan baru
terkait dengan aturan distribusi DOC dari daerah endemis AI ke daerah yang
masih bebas AI agar penyebaran AI di Indonesia tidak meluas.
Dari
hasil penelitian di atas tidak menutup kemungkinan terjadi pada lalu lintas
bibit DOD yang didistribusikan ke wilayah indonesia dan menyebabkan timbulnya
wabah di beberapa daerah. Bibit DOD yang masuk pada saat adanya wabah flu
burung pada itik pada akhir tahun 2012 kemungkinan terinfeksi virus namun
bersifat sub klinis. Karena kondisi sanitasi yang jelek dan stress akibat
perubahan pakan secara mendadak memicu munculnya kasus flu burung di Manokwari.
Terlebih bibit DOD tersebut berasal dari wilayah Mojokerto yang pada saat itu sedang
merebak kasus flu burung.
Kabupaten
Manokwari merupakan wilayah yang masih bergantung kepada wilayah lain untuk
pemenuhan kebutuhan bahan pangan terutama unggas dan produknya sebagai sumber
protein hewani, sehingga mau tidak mau untuk mencukupi kebutuhan tersebut
mendatangkan dari luar wilayah yang bukan merupakan daerah yang bebas/tertular
HPHK. Selama bulan Januari sampai Oktober 2015 lalu lintas unggas dan produknya
ke wilayah Kabupaten Manokwari sanggat tinggi, unggas yang sering di
lalulintaskan yaitu bibit DOC/DOD/DOQ yang sebagian pasokannya berasal dari
wilayah Sulawesi Selatan. Untuk bahan asal hewan yang sering di lalu lintaskan
adalah Daging Ayam Beku dan Telur Ayam Konsumsi. Data frekwensi dan volume
pemasukan unggas dan produknya ke Kabupaten Manokwari dapat di lihat pada Tabel
4 di bawah ini.
Selain
itu dilakukan juga tindakan penahanan, penolakan dan pemusnahan terhadap media
pembawa berupa unggas dewasa yang berasal dari luar Kabupaten Manokwari,
tindakan tersebut dilakukan karena masuknya unggas-unggas tersebut tidak
dilengkapi dokumen karantina yang telah dipersyaratkan. Masuknya unggas-unggas
tersebut berpeluang untuk menyebarkan penyakit flu burung ke Kabupaten
Manokwari. Data tersebut ada pada tabel di bawah ini.
Untuk
mendukung wilayah Indonesia Timur bebas AI pada tahun 2020 Karantina Pertanian
perlu memperketat pengawasan lalu lintas unggas dan produknya sebagai prinsip
kehati-hatian (precautionary principles). Untuk mencegah berulangnya kasus
tersebut sebaiknya pengawasan tidak hanya diperkuat di daerah pengeluaran tapi
juga di daerah pemasukan dengan meningkatkan sarana dan prasarana terutama
peralatan laboratorium dan meningkatkan keterampilan sumber daya manusia di
wilayah yang masih rawan berjangkitnya HPHK.
Menurut
Permentan Nomor 37/Permentan/OT.140/3/2014 tentang tindakan karantina hewan
terhadap pemasukan dan pengeluaran unggas. Pasal 5 ayat (1) Pemasukan unggas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berasal dari negara/area bebas HPHK Golongan
I dan tidak sedang terjadi wabah HPHK Golongan II. Dari peraturan tersebut
diketahui bahwa lalu lintas dari daerah yang tidak bebas ke daerah yang tidak
bebas diperbolehkan selama tidak terjadi wabah HPHK Golongan II. Peran
Pemerintah daerah juga sangat diperlukan mungkin dengan terbitnya peraturan daerah
mengenai pembatasan lalu lintas unggas dan produknya yang mengikuti status dan
situasi penyakit yang saat ada saat ini.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
Dari
uraian dan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan beberapa hal penting,
sebagai berikut:
1. Kejadian
penyakit Flu Burung di wilayah Kabupaten Manokwari pernah terjadi pada tahun
2005-2006, pada tahun 2007 hingga 2011 sudah tidak ditemukan kasus, tidak ada
laporan kasus kematian mendadak pada unggas yang disebabkan oleh virus Flu
Burung (H5N1). Namun pada tahun 2012 muncul lagi bersama dengan munculnya kasus
flu burung pada itik di beberapa wilayah di Indonesia.
2. Analisis
filogenetika pada delapan gen genom virus memperlihatkan bahwa virus AI subtipe
H5N1 clade 2.3.2 asal Indonesia pada bukan berasal dari kelompok virus
Indonesia sehingga merupakan introduksi virus dari luar Indonesia. Virus H5N1
clade 2.3.2 mempunyai patogenesitas yang sama dengan virus H5N1 clade 2.1.3
karena mempunyai gejala klinis dan dapat membunuh itik dalam 3-6 hari setelah
infeksi dan diperkirakan kelompok virus ini lebih ganas dari kelompok virus
sebelumnya karena virus tersebut menjangkiti ternak itik yang selama ini
merupakan salah satu unggas yang kebal terhadap penyakit AI.
3. Upaya-upaya
lain yang harus dilakukan untuk mendukung program pemerintah membebaskan
Provinsi Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat dari wabah penyakit Flu
burung merupakan tugas Karantina Pertanian bersama dengan instansi yang
terkait, Stake holder, dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap
masuknya media pembawa penyakit flu burung.
4. Untuk
mencegah penyebaran flu burung antar provinsi, pengawasan perdagangan unggas
dan bahan asal unggas terutama itik melalui pelabuhan laut dan udara perlu
lebih ditingkatkan, dengan selalu berkoordinasi dengan UPTKP Pengeluaran, dan
instansi terkait di wilayah pabean seperti Syahbandar baik laut maupun udara,
Perusahaan Pelayaran, Airlines, Kargo, Karantina Kesehatan Pelabuhan terutama
yang berhubungan dengan penyakit yang bersifat zoonosis, sedangkan walaupun
perdagangan melalui lalulintas darat masih sulit dilakukan namun koordinasi
dengan dinas yang membidangi kesehatan hewan dan kesmavet serta apparat penegak
hukum.
5. Kerugian
usaha ternak itik akibat flu burung merupakan kerugian langsung yang disebabkan
kematian dan penurunan produksi telur selain itu sebaiknya usaha pengembangan
peternakan itik diarahkan pada usaha semi intensif dan intensif untuk mencegah
timbulnya penyakit.
6. Dukungan
pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang relevan dengan situasi
dan status penyakit terutama Flu burung.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmara
W., 2012, Flu Burung Jenis Baru Sebabkan Ribuan Itik dan Unggas Mati Mendadak,
Artikel Portal Berita UGM. (10 Mei 2013)
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=5218
Damayanti
R., Dharmayanti I. NLP., Indriani R., Wiyono A., Darminto, 2004, Gambaran
klinis dan patologis pada ayam yang terserang flu burung sangat patogenik
(HPAI) di beberapa peternakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, JITV Vol. 9 No 2
Dharmayanti
NLPI, Hartawan R, Hewajuli DA, Hardiman, Wibawa H, Pudjiatmoko. 2013.
Karakteristik Molekuler dan Patogenesitas Virus H5N1 clade 2.3.2 asal
Indonesia. JITV Vol. 18 No2 Th. 2013: 99-113
Ditjen
PKH. 2013. Update perkembangan kasus Avian Influenza (AI) pada unggas kondisi
s/d 31 Maret 2013 [internet]. [sitasi 27 Juni 2013]. Ditjennak.deptan.go.id.
[Dirjen
PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Penyakit Avian
Influenza. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian, Jakarta.
[Dirjen
PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Perkembangan
kasus Avian Influenza (AI) pada unggas kondisi s/d 30 September 2015. [diakses
pada 09 Nopember 2015]. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian. Jakarta. www.ditjennak.pertanian.go.id/download.php?
Hewajuli
DA, Dharmayanti NLPI. 2012. Hubungan AI dan unggas air dalam menciptakan
keragaman genetik serta peran unggas air sebagai reservoir pada penyebaran
virus AI. Wartazoa. 22:12-23.
Ilham
N. 2013. Penyebaran Flu Burung Pada Ternak Itik Dan Perkiraan Dampak Sosial
Ekonomi Belajar Dari Kasus Flu Burung Pada Ayam. Wartazoa Vol. 23 No. 2 Th.
2013.
Kartono
M. Flu Burung. Adapted from
www.InfluenzaReport.com.
Martindah
E, Indriani R, Wahyuwardani S. 2014.
Level Seroprevalensi Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe H5 Clade
2.3.2 pada Itik dan Entok di Peternakan Rakyat. JITV Vol. 19 No 4 Th. 2014:
294-301
Setyawati
S., Soejoedono R. D., Handharyani E., Sumiarto B., 2010. Deteksi Virus Avian
Influenza H5N1 pada Anak Ayam Umur Satu Hari dengan Teknik Imunohistokimia.
Jurnal Veteriner Desember 2010 Vol. 11 No. 4 : 203-209 ISSN : 1411 - 8327
Trisnadi
G., 2013. Flu Burung/Avian Influenza/Highly Pathogenic Avian Influenza
(HPAI).http://karyadrh.blogspot.co.id/2013/08/flu-burung-avian-influenza-highly.html#more
Wibawa
H., Prijono W.B, Dharmayanti I.NLP., Irianingsih S.H., Miswati Y., Rohmah A.,
Andesyha E., Romlah, Daulay RSD., Safitria K., 2012, Investigasi Wabah Penyakit
Pada Itik Di Jawa Tengah, Yogyakarta, Dan Jawa Timur : Identifikasi Sebuah
Clade Baru Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 di Indonesia, Buletin
Laboratorium Veteriner, Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta International
Standard Serial Number (ISSN) : 0863-7968 Vol : 12 No : 4 Tahun 2012 Edisi
Bulan : Oktober – Desember
***
Catatatan:
Karya
Tulis ini telah diarsipkan di Perpustakaan Stasiun Karantina Pertanian Kelas II
Manokwari, ditulis oleh: drh. Yuni Sulistyowati, Medik Veteriner Muda, Pejabat
Fungsional Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Manokwari, Badan Karantina
Pertanian, Kementerian Pertanian, dan Karya Tulis ini telah di ajukan untuk
penilaian angka kredit (DUPAK) di Badan Karantina Pertanian tahun 2016.
Tanpa
mengurangi isinya Karya tulis ini diedit ulang dan diselaraskan oleh drh Giyono
Trisnadi. Bila memerlukan tulisan secara lengkap dapat email ke
trisnadidrh@gmail.com.
******