Tumbuhan
dan satwa adalah bagian sumber daya alam yang tidak tenilai harganya sehingga
kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan. Pemerintah menetetapkan
dan menggolongkan Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi agar tidak punah. Berikut ini adalah PP No. 7 Tahun
1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
*********
P
R E S l D E N
REPUBLIK
INDONESIA
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa
tumbuhan dan satwa adalah bagian dan sumber daya alam yang tidak tenilai
harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis;
b. bahwa
berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat:
1. Pasal
5 Ayat (2) dan Pasa! 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang
Nomor 9 Tahun, 1.985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nonior 49Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Udang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992
No.46, Tambahan Lembaran negara No. 3478);
6. Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, lkan dan Tumbuhan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
7. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenal Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3556);
8. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Hngkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
9. Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);
10. Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestanan Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3776);
M
E M U T U S K A N
Menetapkan
:
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA.
BAB
l
KETENTUAN
UMUM
Pasal
l
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengawetan
adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.
2. Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
3. Lembaga
Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan atau
sama di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun
lembaga non pemerintah.
4. Identifikasi
jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum status
populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
5. Inventansasi
jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahul kondisi dan status
populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam
dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
6. Jenis
tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau
anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di
luar habltatnya.
7. Populasi
adalah kelompok individu dan jenis tertentu di tempat tertentu yang secara
alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai
keseimbangan populasl secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta
lingkungannya.
8. Menteri
adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang kehutanan.
Pasal
2
Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:
a. menghindarkan
jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan;
b. menjaga
kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. memelihara
keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
BAB
II
UPAYA
PENGAWETAN
Pasal
3
Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:
a. penetapan
dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan
dan pengembangbiakan.
BAB
III
PENETAPAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal
4
1. Jenis
tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:
a. tumbuhan
dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan
dan satwa yang tidak dilindungi.
2. jenis-jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
3. Perubahan
dan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan
sebaikknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan
otoritas keilmuan (Scientific Authority).
Pasal
5
1. Suatu.jenis
tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila
telah memenuhi kritena:
a.
mempunyai populasi yang kecil;
b. adanya
penurunan yang tajam pada jumlah Individu dialam;
c. daerah
penyebarannya yang terbatas (endemik).
2. Terhadap
jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kritena sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal
6
Suatu
jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak
dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu
sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan
dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB
IV
PENGELOLAAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
7
Pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah ini tidak- mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan
dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam,
Pasal
8
1. Pengawetan
Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (in situ).
2. Dalam
mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan
pengelolaan di luar habitawya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.
3. Pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a.
Identifikasi:
b. Inventarisasi;
c.
Pemantauan;
d. Pembinaan
habitat dan populasinya;
e.
Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan.
4. Pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex- situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a.
Pemeliharaan;
b.
Pengembangbiakan;
c. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan;
d.
Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian
Kedua
Pengelolaan
dalam Habitat (In Situ)
Pasal
9
1. Pemerintah
melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
2. Ketentuan
lebih lanjut mengenal identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.
Pasal
10
1. Pemerintah
melaksanakan Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b,
untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
2. Inventarisasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap potensi
jenis tumbuhan dan satwa.
3. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4. Detention
labia languet magenta inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) dan. avat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal
11
1. Pemerintah
melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa
dan waktu ke waktu.
2. Pemantauan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
3. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal
12
1. Pemerintah
melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayal (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa
dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya.
2. Pembinaan
habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. Pembinaan
padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman
dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
c. Pembuatan
fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan
jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan
tumbuhan atau satwa ash;
f. Pemberantasan
jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
3. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal
13
1. Pemerintah
melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang
terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.
2. Penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) d1laksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dan
habitatnya ke habitat di lokasi lain.
3. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal
14
1. Pemerintah
melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuban dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap
tenaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa
secara lestari.
2. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis
baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan Uji coba.
3. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian,
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenal pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan
dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
oleh Menteri.
Bagian
Ketiga
Pengelolaan,
di Luar Habitat (Ex Situ)
Pasal
15
1. Pemeliharaan
jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan
populasi jenis tumbuhan dan satwa.
2. Pemeliharaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan
satwa di lembaga konservasi.
3. Pemeliharaan
jenis diluar habitat wajib memenuhi syarat:
a. memenuhi
standar kesehatan tumbuhan, dan satwa;
b. menyediakan
tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
c. mempunyai
dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal
16
1. Pengembangbiakan
jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak
punah.
2. Kegiatan
pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
3. Pengembangbiakan
jenis diluar habitatnya wajib memenuhi syarat:
a.
menjaga kemurman jenis;
b. menjaga
keanekaragaman genetik;
c. melakukan
penandaan dan sertifikasi;
d. membuat
buku daftar silsilah (Studbook).
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa diluar
habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
oleh Menteri.
Pasal
17
1. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai upaya
untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya
jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
2. Kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan
ekologis baik dalain bentuk penehtian dasar, terapan dan Uji coba.
3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan
dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur oleh Menteri.
Pasal
18
1. Rehabilitasi
satwa diluar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d
dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di
lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
2. Rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk
dikembahkan ke habitatnya.
3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal
19
1. Penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa diluar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis
tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
2. Penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan:
a. memindahkan
jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
b. mengembalikan
ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,menyerahkan atau
menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak
memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal
20
1. Pengelolaan
di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pemerintah
dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalain ayat (1).
Pasal
21
1. Jenis
tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya
dengan syarat:
a. habitat
pelepasan merupakan bagian dan sebaran asli jenis yang dilepaskan;
b. tumbuhan
dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman
genetik yang tinggi;
c. memperhatikan
keberadaan penghuni habitat.
2. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelepasan kembah jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri
BAB
V
LEMBAGA
KONSERVASI
Pasal
22
1. Lembaga
Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurian jenisnya.
2. Disamping
mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi
juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta
pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Lembaga
Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat
Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbanum dan Taman Tumbuhan Khusus.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal
23
1. Dalam
rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan
atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:
a. pengambilan
atau penangkapan dan alam;
b. hasil
sitaan;
c.
tukar menukar;
d. pembelian,
untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
2. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal
24
1. Dalam
rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga
Konservasl dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dihndungi
dengan lembaga jenis di luar negeri.
2. Tukar
inenukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis
yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
3. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB
VI
PENGIRIMAN
ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN
DAN
SATWA YANG DILINDUNGI
Pasal
25
1. Pengiriman
atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dan jenis yang dilindungi dan dan ke suatu
tempat di wilayah Repubhk Indonesia atau dan dan keluar wilayah Repubhk
Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
2. Pengiriman
atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:
a. dilengkapi
dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dan Instansi yang berwenang;
b. dilakukan
sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
2. Ketentuan
lebih lanjut mengemi tata cara penginman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam avat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB
VII
SATWA
YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA
Pasal
26
1. Satwa
yang karena suatu sebab keluar dan habitatnya dan membahayakan kehidupa
manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan
ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali
kehabitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
2. Apabila
cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, maka satwa
yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
3. Penangkapan
atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan oleh petugas yang berwenang.
4. Ketentuan
lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan
kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur oleh Menteri.
BAB
VIII
PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN
Pasal
27
1. Dalam
rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan
pergendalian.
2. Pengawasan
dan pengendalian sebagaimana almana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pengawasan
dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui
tindakan:
a.
preventif; dan
b.
represif.
4. Tindakan
preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:
a.
penyuluhan;
b. pelatihan
penegaklan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
c. penerbitan
buku-buku manual identifikasl jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang
tidak dilindungi.
5. Tindakan
represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan
penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa.
BAB
IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
28
Dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB
XI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
29
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januan 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 27 Januarl 1999
MENTERI
NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
AKBAR
TANDJUNG
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETANAT
KABINET N.
Kepala
Biro Peraturan
Perundang-undangan
I
Lambock
V. Bahhattands
*****************************************************
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMENNTAH REPUBHK INDONESIA
NOMOR
7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
UMUM
Bangsa
Indonesia dikarunia oleh Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang terdiri dan sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati
dan ekosistemnya.
Sumber
daya alam hayati tersebut dapat dijadikan salah satu modal dasar pembangunan
pembangunan nasional Indonesia yang berkelanjutan.
Agar
sumber daya alam hayati yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan modal
dasar pembangunan nasional Indonesia tersebut tidak cepat punah sehingga dapat
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sumber daya alam
hayati tersebut perlu dikonservasikan melalui kegiatan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Mengingat
akan kepentingan-kepentingan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa diperlukan peraturan perundang-undangan berbentuk
Peraturan Pemerintah.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Angka
1
Cukup
jelas
Angka
2
Cukup
jelas
Angka
3
Cukup
jelas
Angka
4
Cukup
jelas
Angka
5
Cukup
jelas
Angka
6
Cukup
jelas
Angka
7
Kemampuan
suatu populasi untuk berkembang bergantung pada keseimbangan antara kemampuan
reproduksi dan kondisi-kondisi alam yang mempengaruhinya. Pada kondisi
lingkungan yang paling mendukung, keseimbangan populasi akan tercapai pada saat
daya dukung habitatnya terpenuhi.
Populasi
suatu jenis dapat terbagi-bagi kedalam kelompok-kelompok yang dapat disebut
sebagai sub populasi yang mempunyai keseimbangan tersendin dengari habitat dan
lingkungannya.
Angka
8
Cukup
jelas
Pasal
2
Jenis-jenis
tumbuhan dan satwa tertentu karena faktor-faktor biologis, ekologis dan
geografis dan jenis tersebut maupun faktor-faktor yang disebabkan oleh tindakan
manusia telah mengalami keadaan dimana keberlangsungan kehidupannya terancam
dan dapat punah dalam waktu dekat apabila tidak ada tindakan pengawetan.
Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa untuk mencegah atau menghindari terjadinya kepunahan
dan suatu jenis tumbuhan atau satwa. Kecuali itu, keberadaan jenis-jenis
tumbuhan dan satwa harus tetap terjaga kemurmian jenisnya serta tetap terjaga
keanekaragaman genetik tanpa merubah sifat-sifat alami jenis tumbuhan dan
satwa.
Dengan
mengawetkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, maka populasi jenis tumbuhan dan
satwa dapat meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap. Karena
suatu jenis tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dan ekosistem, maka
kemantapan populasi jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan kemantapan
ekosistem.
Pasal
3
Cukup
jelas
Pasal
4
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Dalam
hal Menteri memiliki data dan informasi ilmiah yang cukup bahwa suatu jenis
tumbuhan atau satwa telah memenuhi karena untuk dilindungi, atau Menteri
menerima usulan dan instansi pemerintah lain atau Lernbaga Swadaya Masyarakat
untuk melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa dengan informasi ilmiah yang
cukup, maka Menteri dapat menetapkan jenis tersebut untuk dilindungi. Dalam hal
usulan melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa datang dari LIPI, maka
Menteri langsung menetapkan jenis yang diusulkan menajdi dilindungi.
Pasal
5
Ayat
(1)
Suatu
jenis dikatakan mempunyai populasi yang kecil apabila dicirikan oleh paling
tidak salah satu dari hal-hal berikut:
1. berdasarkan
observasi, dugaan maupun proyeksi terdapat penurunan secara tajam pada jumlah
Individu dan luas serta kualitas habitat;
2. setiap
sub populasi jumlahnya kecil
3. mayoritas
individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi
hanya pada satu sub-populasi saja;
4. dalam
waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;
5. karena
sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi jenis tersebut
rentan terhadap bahaya kepunahan.
Huruf
b
Adanya
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dapat diketahui berdasarkan:
1. observasi
dimana saat ini sedang terjadi penurunan tajam atau terjadi di waktu yang telah
lampau namun ada potensi untuk terjadi kembali; atau
2. dugaan
atau proyeksi yang didasarkan pada paling tidak salah satu dan hal-hal berikut:
1)
penurunan areal atau kualitas habitat;
2)
ancaman dan faktor luar seperti adanya pengaruh patogen, kompetitor, parasit,
predator, persilangan, jenis asing (jenis introduksi) dan pengaruh racun atau
polutan; atau
3)
menurunnya potensi reproduksi.
Huruf
c
Daerah
penyebaran yang terbatas, dicirikan dengan paling sedikit salah Satu dan hal
berikut:
1. terjadi
fragmentasi populasi;
2. hanya
terdapat di satu atau beberapa lokasi (endemik);
3. terjadi
fluktuasi yang besar pada jumlah sub populasi atau jumlah areal penyebarannya;
4. berdasarkan
observasi, dugaan maupun, proyeksi terdapat penurunan yang tajam pada paling
tidak salah satu dan hal, berikut:
1)
areal penyebaran;
2)
jumlah sub populasi;
3)
jumlah individu;
4)
luas dan kualitas habitat;
5)
potensi reproduksi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
6
Cukup
jelas
Pasal
7
Pada
saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan mengenai kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam diatur dalam Peratuan Pemerintah Nomor 68
Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Pasal
8
Ayat
(1)
Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa yang paling ideal dilakukan di dalam habitatnya
(konservasi in situ) melalui kegiatan pengelolaan populasi dan pengelolaan
habitat sehingga dihasilkan keseimbangan antara populasl dan habitatnya.
Ayat
(2)
Dalam
banyak hal, karena adanya tekanan terhadap populasi atau habitat kegiatan
konservasi in situ saja tidak cukup untuk melakukan pengawetan jenis-jenis
tumbuhan dan satwa, sehingga harus didukung dengan pengelolaan di luar
habitatnya (konservasi ex situ). Tujuan dan konservasi ex-situ adalah
melepaskan kembali tumbuhan dan satwa ke dalam habitat sehingga dapat
berkembang secara alami dan mencapal tingkat keseimbangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
9
Ayat
(1)
Untuk
menetapkan suatu jenis tumbuhan atau sama sebagai jenis yang dilindungi harus
didasarkan pada informasi yang memadai tentang populasi, kondisi-kondisi
biologis dan ekologis jenis yang bersangkutan termasuk habitat dan
lingkungannya. Informasi yang paling akurat didapatkan melalui kegiatan inventarisasi.
Namun
demikian Inventarisasi sering membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sangat
besar, sehingga sambil menunggu inventarisasi yang lebih rinci, penetapan jenis
tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi dapat didasarkan dari hasil
identifikasi yang menggambarkan keadaan populasi jenis tersebut secara garis
besar dan dihubungkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Identidfikasi
diperlukan untuk mengetahui gambaran secara umum (kualitatif) status populasi
suatu jenis tumbuhan atau satwa. Dari identifikasi sudah dapat diketahui bahwa
suatu jenis tumbuhan atau satwa dapat digolongkan menjadi jenis yang
dilindungi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
10
Ayat
(1)
Inventarisasi
merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa
termasuk habitatnya.
Secara
rinci informasi tentang kondisi populasi yang penting diperoleh melalui
kegiatan inventarisasi diantaranya dalam rangka perumusan kebijaksanaan antara
lain berupa:
1. data
populasi termasuk status biologisnya;
2. peta
penyebaran jenis beserta habitatnya dengan skala yang cukup rinci;
keadaan habitat.
Ayat
(2)
Idealnya
jumlah individu dari suatu populasi perlu diketahui benar hal tersebut kecuali
sulit juga memerlukan biaya yang tinggi sehingga dengan inventarisasi dapat
dilakukan pendugaan-pendugaan tentang keadaan populasi suatu jenis dengan
metoda survei serta teknik-teknik lain yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan Hasil inventarisasi harus didokumentasikan secara baik
dengan menggunakan teknologi pengelolaan data yang tersedia.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
11
Ayat
(1)
Dalam
rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan, jenis tumbuhan dan satwa, harus
dilakukan pemantauan terhadap dinamika populasi.
Ayat
(2)
Pemantauan
secara berkala harus dilakukan, terutama terhadap jenis-jenis yang dilindungi
dari jenis-jenis yang diperdagangkan dari mengalami tekanan perburuan atau yang
mengalami tekanan terhadap habitatnya. Metoda pemantauan terhadap populasi
tumbuhan dari satwa, seperti survei harus standar dari secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan, serta dapat dengan mudah dilaksanakan oleh petugas
lapangan.
Dalam
menentukan metoda yang standar, Menteri perlu bekerjasama dari berkonsultasi
dengan LIPI atau lembaga-lembaga lain, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat.
Hasil pernantauan harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan
teknologi pengelolaan data yang tersedia.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
12
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Penjarangan
dilakukan apablia populasi telah melampaui daya dukung habitat dari dapat
dilakukan hanya jika jenis yang bersangkutan tidak dilindungi. Atau apabila
jenis yang bersangkutan dilindungi, daya dukung habitatnya tidak dapat
ditingkatkan atau tidak ada habitat lain yang dapat menampungnya apabila
dilakukan relokasi.
Penjarangan
sedapat mungkin dilakukan dengan cara menangkap hidup-hidup, atau melalui
kegiatan perburuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai
perburuan satwa buru atau dalam Peraturan Pemerintah mengenal pemanfaatan jenis
tumbuhan dari satwa liar.
Huruf
e
Penambahan
tumbuhan atau satwa asli dimaksudkan untuk menambah atau merehabilitasi
populasi dari atau habitat yang rusak. Yang dimaksud dengan jenis asli yaitu
jenis yang pernah hidup di daerah yang akan direhabilitasi atau daerah yang
akan direhabilitasi merupakan daerah penyebaran jenis dimaksud. Pemasukan
jenis-jenis asing harus dihindarkan.
Huruf
f
Jenis
tumbuhan dari satwa pengganggu terdiri dari golongan:
1. jenis
asli,
2. jenis
asing (exotic).
Gangguan
dari jenis-jenis asli terjadi karena adanya persaingan alami antar jenis dimana
salah satu jenis mengungguli dan cenderung memusnahkan jenis yang lain yang
umumnya terjadi pada habitat ekosistem yang tidak berada pada tingkat keseimbangan.
Pengendalian gangguan dari jenis asli dilakukan dengan pembinaan populasi
seperti penjarangan terhadap jenis pengganggu dari pembinaan habitat.
Jenis-jenis
asing (exotic) adalah jenis-jenis yang dalam sejarahnya tidak pernah hidup di
kawasan geografi yang bersangkutan secara alami. Jenis-jenis asing tersebut
berada di suatu daerah tertentu karena dibawa oleh manusia, sehingga
jenis-jenis yang demikian harus dimusnahkan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
13
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan penyelamatan merupakan pertolongan terhadap populasi jenis
tumbuhan atau satwa yang habitatnya telah menjadi sempit dari terisolasi atau
rusak karena adanya bencana alam atau karena kegiatan manusia sehigga populasi
atau sub populasi jenis yang bersangkutan menjadi terancam bahaya kepunahan
lokal apabila tetap berada di habitatnya.
Kepunahan
lokal adalah hilangnya suatu sub populasi dari wilayah habitat tertentu karena
habitatnya menjadi sangat sempit, terragmentasi (terpotong-potong) atau
terisolasi dari populasi aslinya, atau habitatnya rusak dari memerlukan waktu
lama untuk dipulihkan. Dalam keadaan demikian sub-populasi tersebut menjadi
terancam punah sehingga harus diselamatkan melalul kegiatan relokasi atau
translokasi yaitu pemindahan ke wilayah habitat lain yang lebih memadai.
Ayat
(2)
Pernindahan
ke lokasi lain (translokasi) merupakan kegiatan memindahkan seluruh
sub-populasi yang terancam kedalam habitatnya yang lain yang dapat mendukung
sub-populasi tersebut. Pemindahan dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
seperti penggiringan, pengangkutan atau cara-cara lain yang aman bagi tumbuhan
atau satwa dari bagi manusia.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
14
Ayat
(1)
Pengkajian,
penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan
adalah pengkajian, penelitian dan pengembangan yang harus menunjang tenaganya
keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem.
Sedangkan untuk kepentingan pemanfaatan, pengkajian, penelitian dan pengembangan
diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Pengkajian,
penelitian dan pengembangan pada dasarnya dapat dilakukan oleh ilmuwan baik
yang mewakili instansi maupun perorangan sesuai dengan bidang ilmu yang
dimilikinya. Namun demikian dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa, pengkajian, penelitian dan pengembangan harus tetap
menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
15
Ayat
(1)
Pemeliharaan
jenis-jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara
sumber daya genetik di luar habitatnya dalam rangka mendukung konservasi jenis
tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya. Pemeliharaan individu-individu tumbuhan
atau satwa dilakukan karena individu tersebut karena suatu. sebab tidak dapat
dikembalikan ke habitatnya sehingga lebih baik dipelihara sebagai cadangan atau
sumber plasma nutfah dalam rangka pengembangbiakan di luar habitatnya.
Pemeliharaan
jenis tumbuhan dan satwa dapat berbentuk:
1. memelihara
tumbuhan atau satwa dalam keadaan hidup;
2.
menyimpan semen beku;
3. menyimpan
biji atau benih didalam penyimpanan kering dan dingin.
Ayat
(2)
Lembaga
konservasi merupakan tempat yang paling ideal untuk memelihara jenis-jenis
tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan sumber daya genetik di luar
habitatnya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
16
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan pengembangbiakan adalah usaha memperbanyak individu secara
buatan baik di dalam maupun di luar habitatnya melalui cara-cara sebagai
berikut:
1. Untuk
tumbuhan, memperbanyak individu dilakukan dengan cara menumbuhkan material
untuk tumbuh dari tumbuhan seperti biji, stek (potongan), pemencaran dari satu
rumpun kultur jaringan tumbuhan dan spora dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya. Kemurnian jenis akan terjaga apabila tidak terjadi pembiakan silang
antar jenis (species maupun sub species).
2. Untuk
satwa, memperbanyak individu dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami
maupun buatan (inseminasi buatan) apabila cara reproduksinya adalah kawin dan
dengan cara lain apabila cara reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam
maupun di luar habitatnya. Pengembangbiakan satwa dengan campur tangan manusia
harus memperhatikan etika yang berlaku.
Dalam
rangka pengawetan jenis tumbuhan dan satwa ini, pengembangbiakan harus
ditujukan untuk dikembalikan lagi ke habitat alamnya sebagai upaya meningkatkan
populasi di alam. 01 karena itu dalam pengembangbiakan satwa yang cara.
Reproduksinya kawin harus dihindari perkawinan antar kerabat (in breeding)
perkawinan silang antar jenis atau antar anak jenis agar dihasilkan
individu-individu yang secara genetik sehat dari jenis yang murni.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
17
Ayat
(1)
Pengkajian,
penelitian dari pengembangan jenis tumbuhan dari satwa yang dilakukan di luar
habitatnya adalah dalam rangka pengawetan dan merupakan penelitian dari
pengembangan yang mendukung konservasi in situ dengan tujuan tenaganya
keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dari keanekaragaman ekosistem.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
18
Ayat
(1)
Tidak
semua satwa yang berada di luar habitat aslinya dapat langsung dikembalikan ke
habitat alamnya. Hal ini karena individu satwa tersebut telah lama berada di
lingkungan manusia yang membuat adanya ketergantungan terhadap manusia sehingga
apabila langsung dilepaskan ke habitat alamnya akan mengalami kematian,
menularkan penyakit kepada populasi asli di habitat alam, atau menurunkan mutu
genetik (degenerasi) populasi asli di habitat alam. Oleh sebab itu, untuk
mengadaptasikan dari mengkondisikan serta memilih satwa yang akan dilepaskan
kembali ke habitat alamnya perlu dilakukan rehabilitasi agar mempunyai keadaan
dan tingkah laku seperti populasi asli yang berada di alam.
Rehabilitasi
satwa dilakukan agar satwa yang telah lama berada di lingkungan manusia
mempunyai ketahanan hidup yang tinggi untuk dilepaskan kembali ke alam serta
tidak mengganggu populasi yang telah mendiami habitat tersebut melalui
penyebaran penyakit dan polusi genetik.
Ayat
(2)
Rehabilitasi
satwa meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. mengamati
kesehatan satwa;
2. melakukan
pengobatan dan pemberian vitamin dan makanan tambahan.
3. melatih
dan mengadaptasikan dengan lingkungan habitat alamnya satwa-satwa yang terpilih
untuk dilepaskan ke habitatnya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
19
Ayat
(1)
Tumbuhan
dan satwa yang secara tidak sah berada di luar habitatnya di bawah penguasaan
scseorang harus diselamatkan untuk dikembalikan ke habitatnya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
20
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
21
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
22
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan melepaskan kembali ke habitatnya adalah kegiatan mengembalikan
ke habitat alamnya satwa hasil pengembangbiakan, penyelamatan, rehabilitasi
atau hasil sitaan agar dapat berkembang biak secara alami dengan memperhatikan
daerah sebaran asal jenis yang bersangkutan, populasi yang telah mendiami
habitat tujuan, daya dukung habitat tujuan dari lingkungannya.
Dalam
melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya harus diperhatikan daya dukung
habitat yaitu kemampuan habitat untuk menjamin lestarinya jenis yang akan
dilepaskan. Termasuk dalam komponen daya dukung habitat adalah kecukupan pakan
secara alami dari ruang perlindungan. Habitat yang dipilih untuk pelepasan
kembali harus merupakan tipe habitat yang menurut sejarahnya diketahui
merupakan sebaran asli jenis yang akan dilepaskan. Sebaran asli adalah suatu
wilayah dimana suatu jenis diketahui pernah ada. Dalam melepaskan kembali satwa
ke habitat alamnya harus juga diperhatikan populasi penghuni yang telah ada
baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain sehingga dapat dinilai
kemungkinan-kemungkinan adanya persaingan, predasi, simbiose dan parasitisme.
Secara
fisik sehat berarti secara visual terlihat sehat, kuat dari aktif serta
diketahui bebas dari penyakit. Sedangkan keragaman genetik yang tinggi berarti
bukan merupakan hasil pengembangbiakan dimana terjadi kawin antar kerabat
(Inbreeding) dari sedapat mungkin merupakan keturunan terdekat dengan induk
yang berasal dari tangkapan di alam. Satwa hasil tangkapan dari alam dapat
dipastikan mempunyai keragaman genetik yang tinggi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
23
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal
24
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
25
Ayat
(1)
Surat
izin pengangkutan memuat antara lain:
1. Nomor
surat dan tanggal surat;
2. Jenis
dan jumlah tumbuhan dan atau satwa;
3.
Asal-usul satwa;
4.
Tempat tujuan;
5.
Masa berlaku surat izin;
6. Pelabuhan
atau terminal pemberangkatan;
7. Pelabuhan
atau terminal tujuan;
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Ketentuan
teknis pembuatan kandang satwa serta cara-cara pengangkutan mengikuti ketentuan-ketentuan
dengan standar internasional.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
26
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan membahayakan kehidupan manusia adalah dapat mengancam kehidupan
manusia yang hidup secara normal ditempat pemukiman atau lingkungan pemukiman sehingga
keberadaan satwa di tempat itu sangat membahayakan dan dapat mengancam jiwa
manusia warga masyarakat dalam pemukiman tersebut. Satwa yang membahayakan
kehidupan manusia tersebut dapat terjadi karena habitatnya berdampingan dengan
pemukiman manusia atau habitat satwa tersebut telah menjadi sempit dari
terisolasi oleh kegiatan manusia sehingga dalam penjelajahan sehari-hari ke
luar dari habitatnya atau karena sudah tua atau kalah bersaing dari terusir
dari kelompoknya sehingga ke luar dari habitatnya menuju pemukiman manusia.
Satwa yang berpenyakit dari karena penyakit tersebut membahayakan kehidupan
manusia, maka satwa tersebut dapat dimusnahkan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan mengancam secara langsung apabila satwa tersebut secara
langsung diduga akan mencederai atau membunuh manusia atau menularkan penyakit
yang membahayakan kehidupan manusia dan tidak ada cara lain yang lebih efektif
untuk menghindarinya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
27
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan aparat penegak hukum yang berwenang adalah Polisi Republik
Indonesla, Jagawana, Petugas Bea Cukai, Petugas Karantina dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS).
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal
28
Cukup
jelas
Pasal
29
Cukup
jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3803
*********
LAMPIRAN
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
7 TAHUN 1999
TANGGAL
27 JANUARI 1999
Jenis-jenis
Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
SATWA
|
||
I.
MAMALIA (Menyusui)
|
||
1.
|
Anoa
depressicornis
|
Anoa
dataran rendah, Kerbau pendek
|
2.
|
Anoa
quarlesi
|
Anoa
pegunungan
|
3.
|
Arctictis
binturong
|
Binturung
|
4.
|
Arctonyx
collaris
|
Pulusan
|
5.
|
Babyrousa
babyrussa
|
Babirusa
|
6.
|
Balaenoptera
musculus
|
Paus
biru
|
7.
|
Balaenoptera
physalus
|
Paus
bersirip
|
8.
|
Bos
sondaicus
|
Banteng
|
9.
|
Capricornis
sumatrensis
|
Kambing
Sumatera
|
10.
|
Cervus
kuhli; Axis kuhli
|
Rusa
Bawean
|
11.
|
Cervus
spp.
|
Menjangan,
Rusa sambar (semua jenis dari genus Cervus)
|
12.
|
Cetacea
|
Paus
(semua jenis dari famili Cetacea)
|
13.
|
Cuon
alpinus
|
Ajag
|
14.
|
Cynocephalus
variegatus
|
Kubung,
Tando, Walangkekes
|
15.
|
Cynogale
bennetti
|
Musang
air
|
16.
|
Cynopithecus
niger
|
Monyet
hitam Sulawesi
|
17.
|
Dendrolagus
spp.
|
Kanguru
pohon (semua jenis dari genus Dendrolagus)
|
18.
|
Dicerorhinus
sumatrensis
|
Badak
Sumatera
|
19.
|
Dolphinidae
|
Lumba-lumba
air laut (semua jenis dari famili Dolphinidae)
|
20.
|
Dugong
dugon
|
Duyung
|
21.
|
Elephas
indicus
|
Gajah
|
22.
|
Felis
badia
|
Kucing
merah
|
23.
|
Felis
bengalensis
|
Kucing
hutan, Meong congkok
|
24.
|
Felis
marmorota
|
Kuwuk
|
25.
|
Felis
planiceps
|
Kucing
dampak
|
26.
|
Felis
temmincki
|
Kucing
emas
|
27.
|
Felis
viverrinus
|
Kucing
bakau
|
28.
|
Helarctos
malayanus
|
Beruang
madu
|
29.
|
Hylobatidae
|
Owa,
Kera tak berbuntut (semua jenis dari famili Hylobatidae)
|
30.
|
Hystrix
brachyura
|
Landak
|
31.
|
Iomys
horsfieldi
|
Bajing
terbang ekor merah
|
32.
|
Lariscus
hosei
|
Bajing
tanah bergaris
|
33.
|
Lariscus
insignis
|
Bajing
tanah, Tupai tanah
|
34.
|
Lutra
lutra
|
Lutra
|
35.
|
Lutra
sumatrana
|
Lutra
Sumatera
|
36.
|
Macaca
brunnescens
|
Monyet
Sulawesi
|
37.
|
Macaca
maura
|
Monyet
Sulawesi
|
38.
|
Macaca
pagensis
|
Bokoi,
Beruk Mentawai
|
39.
|
Macaca
tonkeana
|
Monyet
jambul
|
40.
|
Macrogalidea
musschenbroeki
|
Musang
Sulawesi
|
41.
|
Manis
javanica
|
Trenggiling,
Peusing
|
42.
|
Megaptera
novaeangliae
|
Paus
bongkok
|
43.
|
Muntiacus
muntjak
|
Kidang,
Muncak
|
44.
|
Mydaus
javanensis
|
Sigung
|
45.
|
Nasalis
larvatus
|
Kahau,
Bekantan
|
46.
|
Neofelis
nebulusa
|
Harimau
dahan
|
47.
|
Nesolagus
netscheri
|
Kelinci
Sumatera
|
48.
|
Nycticebus
coucang
|
Malu-malu
|
49.
|
Orcaella
brevirostris
|
Lumba-lumba
air tawar, Pesut
|
50.
|
Panthera
pardus
|
Macan
kumbang, Macan tutul
|
51.
|
Panthera
tigris sondaica
|
Harimau
Jawa
|
52.
|
Panthera
tigris sumatrae
|
Harimau
Sumatera
|
53.
|
Petaurista
elegans
|
Cukbo,
Bajing terbang
|
54.
|
Phalanger
spp.
|
Kuskus
(semua jenis dari genus Phalanger)
|
55.
|
Pongo
pygmaeus
|
Orang
utan, Mawas
|
56.
|
Presbitys
frontata
|
Lutung
dahi putih
|
57.
|
Presbitys
rubicunda
|
Lutung
merah, Kelasi
|
58.
|
Presbitys
aygula
|
Surili
|
59.
|
Presbitys
potenziani
|
Joja,
Lutung Mentawai
|
60.
|
Presbitys
thomasi
|
Rungka
|
61.
|
Prionodon
linsang
|
Musang
congkok
|
62.
|
Prochidna
bruijni
|
Landak
Irian, Landak semut
|
63.
|
Ratufa
bicolor
|
Jelarang
|
64.
|
Rhinoceros
sondaicus
|
Badak
Jawa
|
65.
|
Simias
concolor
|
Simpei
Mentawai
|
66.
|
Tapirus
indicus
|
Tapir,
Cipan, Tenuk
|
67.
|
Tarsius
spp.
|
Binatang
hantu, Singapuar (semua jenis dari genus Tarsius)
|
68.
|
Thylogale
spp.
|
Kanguru
tanah (semua jenis dari genus Thylogale)
|
69.
|
Tragulus
spp.
|
Kancil,
Pelanduk, Napu (semua jenis dari genus Tragulus)
|
70.
|
Ziphiidae
|
Lumba-lumba
air laut (semua jenis dari famili Ziphiidae)
|
II.
AVES (Burung)
|
||
71.
|
Accipitridae
|
Burung
alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Accipitridae)
|
72.
|
Aethopyga
exima
|
Jantingan
gunung
|
73.
|
Aethopyga
duyvenbodei
|
Burung
madu Sangihe
|
74.
|
Alcedinidae
|
Burung
udang, Raja udang (semua jenis dari famili Alcedinidae)
|
75.
|
Alcippe
pyrrhoptera
|
Brencet
wergan
|
76.
|
Anhinga
melanogaster
|
Pecuk
ular
|
77.
|
Aramidopsis
plateni
|
Mandar
Sulawesi
|
78.
|
Argusianus
argus
|
Kuau
|
79.
|
Bubulcus
ibis
|
Kuntul,
Bangau putih
|
80.
|
Bucerotidae
|
Julang,
Enggang, Rangkong, Kangkareng (semua jenis dari famili Bucerotidae)
|
81.
|
Cacatua
galerita
|
Kakatua
putih besar jambul kuning
|
82.
|
Cacatua
goffini
|
Kakatua
gofin
|
83.
|
Cacatua
moluccensis
|
Kakatua
Seram
|
84.
|
Cacatua
sulphurea
|
Kakatua
kecil jambul kuning
|
85.
|
Cairina
scutulata
|
Itik
liar
|
86.
|
Caloenas
nicobarica
|
Junai,
Burung mas, Minata
|
87.
|
Casuarius
bennetti
|
Kasuari
kecil
|
88.
|
Casuarius
casuarius
|
Kasuari
|
89.
|
Casuarius
unappenddiculatus
|
Kasuari
gelambir satu, Kasuari leher kuning
|
90.
|
Ciconia
episcopus
|
Bangau
hitam, Sandanglawe
|
91.
|
Colluricincla
megarhyncha
|
Burung
sohabe coklat
|
92.
|
Crocias
albonotatus
|
Burung
matahari
|
93.
|
Ducula
whartoni
|
Pergam
raja
|
94.
|
Egretta
sacra
|
Kuntul
karang
|
95.
|
Egretta
spp.
|
Kuntul,
Bangau putih (semua jenis dari genus Egretta)
|
96.
|
Elanus
caerulleus
|
Alap-alap
putih, Alap-alap tikus
|
97.
|
Elanus
hypoleucus
|
Alap-alap
putih, Alap-alap tikus
|
98.
|
Eos
histrio
|
Nuri
Sangir
|
99.
|
Esacus
magnirostris
|
Wili-wili,
Uar, Bebek laut
|
100.
|
Eutrichomyias
rowleyi
|
Seriwang
Sangihe
|
101.
|
Falconidae
|
Burung
alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Falconidae)
|
102.
|
Fregeta
andrewsi
|
Burung
gunting, Bintayung
|
103.
|
Garrulax
rufifrons
|
Burung
kuda
|
104.
|
Goura
spp.
|
Burung
dara mahkota, Burung titi, Mambruk (semua jenis dari genus Goura)
|
105.
|
Gracula
religiosa mertensi
|
Beo
Flores
|
106.
|
Gracula
religiosa robusta
|
Beo
Nias
|
107.
|
Gracula
religiosa venerata
|
Beo
Sumbawa
|
108.
|
Grus
spp.
|
Jenjang
(semua jenis dari genus Grus)
|
109.
|
Himantopus
himantopus
|
Trulek
lidi, Lilimo
|
110.
|
Ibis
cinereus
|
Bluwok,
Walangkadak
|
111.
|
Ibis
leucocephala
|
Bluwok
berwarna
|
112.
|
Lorius
roratus
|
Bayan
|
113.
|
Leptoptilos
javanicus
|
Marabu,
Bangau tongtong
|
114.
|
Leucopsar
rothschildi
|
Jalak
Bali
|
115.
|
Limnodromus
semipalmatus
|
Blekek
Asia
|
116.
|
Lophozosterops
javanica
|
Burung
kacamata leher abu-abu
|
117.
|
Lophura
bulweri
|
Beleang
ekor putih
|
118.
|
Loriculus
catamene
|
Serindit
Sangihe
|
119.
|
Loriculus
exilis
|
Serindit
Sulawesi
|
120.
|
Lorius
domicellus
|
Nori
merah kepala hitam
|
121.
|
Macrocephalon
maleo
|
Burung
maleo
|
122.
|
Megalaima
armillaris
|
Cangcarang
|
123.
|
Megalaima
corvina
|
Haruku,
Ketuk-ketuk
|
124.
|
Megalaima
javensis
|
Tulung
tumpuk, Bultok Jawa
|
125.
|
Megapoddidae
|
Maleo,
Burung gosong (semua jenis dari famili Megapododae)
|
126.
|
Megapodius
reintwardtii
|
Burung
gosong
|
127.
|
Meliphagidae
|
Burung
sesap, Pengisap madu (semua jenis dari famili Meliphagidae)
|
128.
|
Musciscapa
ruecki
|
Burung
kipas biru
|
129.
|
Mycteria
cinerea
|
Bangau
putih susu, Bluwok
|
130.
|
Nectariniidae
|
Burung
madu, Jantingan, Klaces (semua jenis dari famili Nectariniidae)
|
131.
|
Numenius
spp.
|
Gagajahan
(semua jenis dari genus Numenius)
|
132.
|
Nycticorax
caledonicus
|
Kowak
merah
|
133.
|
Otus
migicus beccarii
|
Burung
hantu Biak
|
134.
|
Pandionidae
|
Burung
alap-alap, Elang (semua jenis dari famili Pandionidae)
|
135.
|
Paradiseidae
|
Burung
cendrawasih (semua jenis dari famili Paradiseidae)
|
136.
|
Pavo
muticus
|
Burung
merak
|
137.
|
Pelecanidae
|
Gangsa
laut (semua jenis dari famili Pelecanidae)
|
138.
|
Pittidae
|
Burung
paok, Burung cacing (semua jenis dari famili Pittidae)
|
139.
|
Plegadis
falcinellus
|
Ibis
hitam, Roko-roko
|
140.
|
Polyplectron
malacense
|
Merak
kerdil
|
III.
REPTILIA (Melata)
|
||
164.
|
Batagur
baska
|
Tuntong
|
165.
|
Caretta
caretta
|
Penyu
tempayan
|
166.
|
Carettochelys
insculpta
|
Kura-kura
Irian
|
167.
|
Chelodina
novaeguineae
|
Kura
Irian leher panjang
|
168.
|
Chelonia
mydas
|
Penyu
hijau
|
169.
|
Chitra
indica
|
Labi-labi
besar
|
170.
|
Chlamydosaurus
kingii
|
Soa
payung
|
171.
|
Chondropython
viridis
|
Sanca
hijau
|
172.
|
Crocodylus
novaeguineae
|
Buaya
air tawar Irian
|
173.
|
Crocodylus
porosus
|
Buaya
muara
|
174.
|
Crocodylus
siamensis
|
Buaya
siam
|
175.
|
Dermochelys
coriacea
|
Penyu
belimbing
|
176.
|
Elseya
novaeguineae
|
Kura
Irian leher pendek
|
177.
|
Eretmochelys
imbricata
|
Penyu
sisik
|
178.
|
Gonychephalus
dilophus
|
Bunglon
sisir
|
179.
|
Hydrasaurus
amboinensis
|
Soa-soa,
Biawak Ambon, Biawak pohon
|
180.
|
Lepidochelys
olivacea
|
Penyu
ridel
|
181.
|
Natator
depressa
|
Penyu
pipih
|
182.
|
Orlitia
borneensis
|
Kura-kura
gading
|
183.
|
Python
molurus
|
Sanca
bodo
|
184.
|
Phyton
timorensis
|
Sanca
Timor
|
185.
|
Tiliqua
gigas
|
Kadal
Panan
|
186.
|
Tomistoma
schlegelii
|
Senyulong,
Buaya sapit
|
187.
|
Varanus
borneensis
|
Biawak
Kalimantan
|
188.
|
Varanus
gouldi
|
Biawak
coklat
|
189.
|
Varanus
indicus
|
Biawak
Maluku
|
190.
|
Varanus
komodoensis
|
Biawak
komodo, Ora
|
191.
|
Varanus
nebulosus
|
Biawak
abu-abu
|
192.
|
Varanus
prasinus
|
Biawak
hijau
|
193.
|
Varanus
timorensis
|
Biawak
Timor
|
194.
|
Varanus
togianus
|
Biawak
Togian
|
IV.
INSECTA (Serangga)
|
||
195.
|
Cethosia
myrina
|
Kupu
bidadari
|
196.
|
Ornithoptera
chimaera
|
Kupu
sayap burung peri
|
197.
|
Ornithoptera
goliath
|
Kupu
sayap burung goliat
|
198.
|
Ornithoptera
paradisea
|
Kupu
sayap burung surga
|
199.
|
Ornithoptera
priamus
|
Kupu
sayap priamus
|
200.
|
Ornithoptera
rotschldi
|
Kupu
burung rotsil
|
201.
|
Ornithoptera
tithonus
|
Kupu
burung titon
|
202.
|
Trogonotera
brookiana
|
Kupu
trogon
|
203.
|
Troides
amphrysus
|
Kupu
raja
|
204.
|
Troides
andromanche
|
Kupu
raja
|
205.
|
Troides
criton
|
Kupu
raja
|
206.
|
Troides
haliphron
|
Kupu
raja
|
207.
|
Troides
helena
|
Kupu
raja
|
208.
|
Troides
hypolitus
|
Kupu
raja
|
209.
|
Troides
meoris
|
Kupu
raja
|
210.
|
Troides
miranda
|
Kupu
raja
|
211.
|
Troides
plato
|
Kupu
raja
|
212.
|
Troides
rhadamantus
|
Kupu
raja
|
213.
|
Troides
riedeli
|
Kupu
raja
|
214.
|
Troides
vandepolli
|
Kupu
raja
|
V.
PISCES (Ikan)
|
||
215.
|
Homaloptera
gymnogaster
|
Selusur
Maninjau
|
216.
|
Latimeria
chalumnae
|
Ikan
raja laut
|
217.
|
Notopterus
spp.
|
Belida
Jawa, Lopis Jawa (semua jenis dari genus Notopterus)
|
218.
|
Pritis
spp.
|
Pari
Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis)
|
219.
|
Puntius
microps
|
Wader
goa
|
220.
|
Scleropages
formasus
|
Peyang
malaya, Tangkelasa
|
221.
|
Scleropages
jardini
|
Arowana
Irian, Peyang Irian, Kaloso
|
VI.
ANTHOZOA
|
||
222.
|
Anthiphates
spp
|
Akar
bahar, Koral hitam (semua jenis dari genus Anthiphates)
|
VII.
BIVALVIA
|
||
223.
|
Birgus
latro
|
Ketam
kelapa
|
224.
|
Cassis
cornuta
|
Kepala
kambing
|
225.
|
Charonia
tritonis
|
Triton
terompet
|
226.
|
Hippopus
hippopus
|
Kima
tapak kuda, Kima kuku beruang
|
227.
|
Hippopus
porcellanus
|
Kima
Cina
|
228.
|
Nautilus
popillius
|
Nautilus
berongga
|
229.
|
Tachipleus
gigas
|
Ketam
tapak kuda
|
230.
|
Tridacna
crocea
|
Kima
kunia, Lubang
|
231.
|
Tridacna
derasa
|
Kima
selatan
|
232.
|
Tridacna
gigas
|
Kima
raksasa
|
233.
|
Tridacna
maxima
|
Kima
kecil
|
234.
|
Tridacna
squamosa
|
Kima
sisik, Kima seruling
|
235.
|
Trochus
niloticus
|
Troka,
Susur bundar
|
236.
|
Turbo
marmoratus
|
Batu
laga, Siput hijau
|
TUMBUHAN
|
||
I.
PALMAE
|
||
237.
|
Amorphophallus
decussilvae
|
Bunga
bangkai jangkung
|
238.
|
Amorphophallus
titanum
|
Bunga
bangkai raksasa
|
239.
|
Borrassodendron
borneensis
|
Bindang,
Budang
|
240.
|
Caryota
no
|
Palem
raja/Indonesia
|
241.
|
Ceratolobus
glaucescens
|
Palem
Jawa
|
242.
|
Cystostachys
lakka
|
Pinang
merah Kalimantan
|
243.
|
Cystostachys
ronda
|
Pinang
merah Bangka
|
244.
|
Eugeissona
utilis
|
Bertan
|
245.
|
Johanneste
ijsmaria altifrons
|
Daun
payung
|
246.
|
Livistona
spp.
|
Palem
kipas Sumatera (semua jenis dari genus Livistona)
|
247.
|
Nenga
gajah
|
Palem
Sumatera
|
248.
|
Phoenix
paludosa
|
Korma
rawa
|
249.
|
Pigafatta
filaris
|
Manga
|
250.
|
Pinanga
javana
|
Pinang
Jawa
|
II.
RAFFLESSIACEA
|
||
251.
|
Rafflesia
spp.
|
Rafflesia,
Bunga padma (semua jenis dari genus Rafflesia)
|
III.
ORCHIDACEAE
|
||
252.
|
Ascocentrum
miniatum
|
Anggrek
kebutan
|
253.
|
Coelogyne
pandurata
|
Anggrek
hitan
|
254.
|
Corybas
fornicatus
|
Anggrek
koribas
|
255.
|
Cymbidium
hartinahianum
|
Anggrek
hartinah
|
256.
|
Dendrobium
catinecloesum
|
Anggrek
karawai
|
257.
|
Dendrobium
d’albertisii
|
Anggrek
albert
|
258.
|
Dendrobium
lasianthera
|
Anggrek
stuberi
|
259.
|
Dendrobium
macrophyllum
|
Anggrek
jamrud
|
260.
|
Dendrobium
ostrinoglossum
|
Anggrek
karawai
|
261.
|
Dendrobium
phalaenopsis
|
Anggrek
larat
|
262.
|
Grammatophyllum
papuanum
|
Anggrek
raksasa Irian
|
263.
|
Grammatophyllum
speciosum
|
Anggrek
tebu
|
264.
|
Macodes
petola
|
Anggrek
ki aksara
|
265.
|
Paphiopedilum
chamberlainianum
|
Anggrek
kasut kumis
|
266.
|
Paphiopedilum
glaucophyllum
|
Anggrek
kasut berbulu
|
267.
|
Paphiopedilum
praestans
|
Anggrek
kasut pita
|
268.
|
Paraphalaenopsis
denevei
|
Anggrek
bulan bintang
|
269.
|
Paraphalaenopsis
laycockii
|
Anggrek
bulan Kaliman Tengah
|
270.
|
Paraphalaenopsis
serpentilingua
|
Anggrek
bulan Kaliman Barat
|
271.
|
Phalaenopsis
amboinensis
|
Anggrek
bulan Ambon
|
272.
|
Phalaenopsis
gigantea
|
Anggrek
bulan raksasa
|
273.
|
Phalaenopsis
sumatrana
|
Anggrek
bulan Sumatera
|
274.
|
Phalaenopsis
violacose
|
Anggrek
kelip
|
275.
|
Renanthera
matutina
|
Anggrek
jingga
|
276.
|
Spathoglottis
zurea
|
Anggrek
sendok
|
277.
|
Vanda
celebica
|
Vanda
mungil Minahasa
|
278.
|
Vanda
hookeriana
|
Vanda
pensil
|
279.
|
Vanda
pumila
|
Vanda
mini
|
280.
|
Vanda
sumatrana
|
Vanda
Sumatera
|
IV.
NEPHENTACEAE
|
||
281.
|
Nephentes
spp.
|
Kantong
semar (semua jenis dari genus Nephentes)
|
V.
DIPTEROCARPACEAE
|
||
282.
|
Shorea
stenopten
|
Tengkawang
|
283.
|
Shorea
stenoptera
|
Tengkawang
|
284.
|
Shorea
gysberstiana
|
Tengkawang
|
285.
|
Shorea
pinanga
|
Tengkawang
|
286.
|
Shorea
compressa
|
Tengkawang
|
287.
|
Shorea
semiris
|
Tengkawang
|
288.
|
Shorea
martiana
|
Tengkawang
|
289.
|
Shorea
mexistopteryx
|
Tengkawang
|
290.
|
Shorea
beccariana
|
Tengkawang
|
291.
|
Shorea
micrantha
|
Tengkawang
|
292.
|
Shorea
palembanica
|
Tengkawang
|
293.
|
Shorea
lepidota
|
Tengkawang
|
294.
|
Shorea
singkawang
|
Tengkawang
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
KABINET RI
Kepala
Biro Peraturan Perundang-undangan I
ttd
Lambock
V. Nahattands
*********