SATWA LIAR, HEWAN EKSOTIS, DAN EMERGING ZOONOSIS

Emerging infectious diseases memiliki pengaruh besar pada kesehatan manusia dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa. Hewan, terutama hewan liar diduga menjadi sumber penular lebih dari 70% pada semua kasus infeksi yang muncul. Untuk mengurangi risiko emerging zoonosis, masyarakat harus tahu risiko yang terkait dengan satwa liar.


******


SATWA LIAR, HEWAN EKSOTIS, DAN EMERGING ZOONOSIS
(Terjemahan)

Oleh:
drh. Dede Sri Wahyuni, MSi

(Terjemahan dari: WILDLIFE, EXOTIC PETS, AND EMERGING ZOONOSES, Bruno B. Chomel*. Albino Belotto†, and François-Xavier Meslin‡ Author affiliations: *School of Veterinary Medicine, University of California, Davis, Davis, California, USA; †Pan American Health Organization, Washington, DC, USA; ‡World Health Organization, Geneva, Switzerland Volume 13, Number 1—January 2007)

ABSTRAK
Umumnya emerging infectious disease merupakan zoonosis; satwa liar merupakan populasi yang besar dan sering menjadi reservoir yang tidak diketahui. Satwa liar juga dapat menjadi sumber re-emerging zoonosis yang telah dikendalikan sebelumnya. Meskipun penemuan zoonosis sering berhubungan dengan peralatan diagnostik yang lebih baik, penyebab utama munculnya zoonosis adalah perilaku manusia dan modifikasi habitat alami (perluasan populasi manusia dan perambahan manusia pada habitat satwa liar), perubahan praktek pertanian, dan globalisasi perdagangan. Namun, faktor-faktor lain termasuk perdagangan satwa liar dan translokasi, perdagangan hewan hidup dan daging hewan liar, konsumsi makanan eksotis, pengembangan ekowisata, akses ke kebun binatang, dan kepemilikan hewan peliharaan eksotis. Untuk mengurangi risiko emerging zoonosis, masyarakat harus dididik mengenai risiko yang terkait dengan satwa liar, daging satwa liar, dan perdagangan hewan peliharaan eksotis; serta pelaksanaan sistem surveilans yang tepat harus dilaksanakan.


SATWA LIAR, HEWAN EKSOTIS, DAN EMERGING ZOONOSIS

Emerging dan reemerging infectious diseases telah mendapat perhatian lebih sejak akhir abad ke-20. Diperkirakan 75% emerging infectious diseases adalah zoonosis, terutama berasal dari virus, dan umumnya ditularkan melalui vektor (Taylor et al. 2001). Kemunculan dan penyebaran West Nile virus dengan cepat di Amerika Utara dan wabah monkeypox pada anjing padang rumput peliharaan merupakan peristiwa kebangkitan besar bagi kesehatan masyarakat yang menegaskan kebutuhan untuk bekerjasama yang lebih erat antara profesi dokter hewan, ahli satwa liar, dan tenaga kesehatan masyarakat (Daszak et al. 2004, CDC 2003). Peristiwa ini menekankan peran yang dokter hewan dan ahli satwa liar lainnya bisa bermain dalam pengawasan, pengendalian, dan pencegahan emerging zoonosis, seperti pelatihan dalam pengenalan penyakit dan pengobatan masyarakat agar dapat melakukn jejaring dalam melaksanakan deteksi dini (Blancou et al. 2005).

Patogen infeksius dari satwa liar tidak hanya mempengaruhi kesehatan manusia dan produksi pertanian tetapi juga perekonomian berbasis satwa liar dan konservasi satwa liar. Patogen zoonosis yang menginfeksi hewan domestik dan satwa liar lebih mungkin untuk muncul (Cleaveland et al. 2001). Selain itu, kontak yang intens dengan satwa liar dan hewan peliharaan eksotis menempatkan kita pada risiko paparan zoonosis.

Efek Ekonomi dari Satwa Liar
Satwa liar merupakan sumber utama pendapatan, baik secara langsung untuk penggunaan nilai konsumtif atau produktif maupun secara tidak langsung untuk nilai wisata dan ilmiah (Chardonnet et al. 2002). Misalnya, pariwisata satwa liar merupakan salah satu kegiatan ekspor tertinggi bagi Tanzania dan Kenya serta menghasilkan pendapatan tahunan sekitar setengah miliar dolar AS (Chardonnet et al. 2002). Bahkan di negara-negara industri, kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar dapat menghasilkan pendapatan besar. Di Amerika Serikat, total pengeluaran untuk kegiatan yang berhubungan dengan satwa liar adalah 101 miliar $ pada tahun 1996, setara dengan 1,4% dari perekonomian nasional (Chardonnet et al. 2002).

Kegiatan berburu bagi 10 juta pemburu di Eropa menghasilkan aliran keuangan hampir 10 miliar euro dan setara dengan 100.000 pekerjaan. Eropa juga merupakan pengimpor terbesar di dunia untuk daging rusa (> 50.000 ton/tahun). Demikian pula, di Amerika Serikat, kegiatan berburu menghasilkan> 700.000 pekerjaan (Chardonnet et al. 2002). Di Afrika, perdagangan daging hewan liar menghasilkan ratusan juta dolar (Karesh et al. 2005). Di lembah Kongo, perdagangan dan konsumsi lokal daging hewan liar bisa mencapai 4,5 juta ton per tahun; permintaan daging hewan liar di Afrika Barat dan Tengah bisa mencapai hingga 4× permintaan daging satwa liar di lembah Amazon (Wolfe et al. 2005). Di seluruh dunia, peternakan rusa telah berkembang secara dramatis. Di Selandia Baru, sekitar 2 juta rusa peternakan, yang merupakan setengah dari populasi rusa ternak di dunia menghasilkan pendapatan tahunan sebesar NZ $ 200.000.000 (Chardonnet et al. 2002).

Ekspansi Populasi Manusia dan Perambahan pada Habitat Satwa Liar
Pertumbuhan eksponensial dari populasi manusia, dari sekitar 1 miliar pada 1900 menjadi 6,5 miliar pada tahun 2006, telah menyebabkan perubahan ekologis utama dan pengurangan habitat satwa liar secara drastis. Banyak contoh munculnya atau munculnya kembali zoonosis terkait dengan perambahan manusia pada habitat satwa liar yang ada.

Deforestasi, pembangunan habitat manusia, dan kegiatan pertambangan telah diteliti sebagai faktor risiko yang terkait dengan munculnya kembali vampir kelelawar pembawa rabies pada manusia di lembah Amazon. Pada tahun 2004, 46 orang meninggal karena rabies yang ditularkan oleh vampir kelelawar, terutama di Brazil (22 kasus) dan Kolombia (14 kasus); hanya 20 kasus rabies pada manusia yang ditularkan oleh anjing di seluruh Amerika Latin (Schneider et al. 2005). Tren serupa teramati lagi untuk tahun 2005.

Ketika pertama kali dijelaskan pada tahun 1957, penyakit Kyasanur Forest terbatas dengan daerah yang lebih kecil (300 mil persegi) di India dibandingkan yang sebenarnya yaitu 2.000 mil persegi daerah endemik (Varma 2001). Penyakit tickborne terjadi di hutan hujan tropis yang hijau yang diselingi dengan patch gugur dan lokasi terbuka lahan untuk menanam padi dan pemukiman manusia. Pekerja hutan sangat beresiko; tingkat kematiannya dapat mencapai 10%. Pada tahun 1983, epidemi besar terjadi ketika beberapa monyet mati, yaitu 1.555 manusia yang terinfeksi, dan 150 manusia meninggal.

Wabah yang terjadi di hutan yang sebelumnya tidak terganggu di mana sekitar 400 ha yang ditebang habis untuk membangun perkebunan pohon mete. Sebagian besar pasien pada manusia adalah pekerja imigran yang dipekerjakan untuk membersihkan hutan (Varma 2001). Sebanyak 1.000 kasus pada manusia terjadi setiap tahun, dan jumlah ini terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Kasus umumnya terjadi pada musim kemarau (Januari-Mei), ketika aktivitas nymphal (bentk serangga dewasa) maksimal. Zoonosis merupakan contoh yang bagus dari deforestasi dan pembangunan pertanian yang menyebabkan ekspansi habitat manusia menjadi fokus alami infeksi virus. Hal ini karena area luas yang dibersihkan digunakan untuk penggembalaan ternak yang merupakan host utama untuk caplak dewasa, daerah-daerah tersebut paling disukai untuk proliferasi caplak Haemaphysalis spinigera.

Sebaliknya, reduksi lahan pertanian tradisional dan penggantian dengan kawasan hutan merupakan rumah bagi reservoir utama dan host dari Borrelia burgdorferi. Hal ini menyebabkan peningkatan kasus Lyme disease yang signifikan pada manusia di Amerika Serikat yang berkaitan dengan pemukiman masyarakat di daerah pinggiran kota (Walker et al. 1996).

Diperkirakan 32.400.000 ruminansia liar merupakan amplifier utama bagi caplak Ixodes scapularis dewasa yang hidup di Amerika Utara (Nettles 1992). Diperkirakan ada sekitar 23-40 juta rusa ekor putih yang mendiami Amerika Utara sebelum kedatangan bangsa Eropa. Populasi rusa ini terus berkurang akibat hilangnya habitat dan perburuan terus menerus. Namun, pada pertengahan abad ke-20 populasi rusa ini dipulihkan kembali di seluruh Amerika Utara, dan diperkirakan 14-20 juta rusa ekor putih telah menghuni kembali Amerika Serikat. Di banyak daerah di Amerika Serikat bagian timur, populasinya telah melonjak melebihi populasi sebelumnya (http://www.aphis.usda.gov/ws/nwrc/is/living/deer.pdf).

Aktivitas manusia juga dapat menjadi sumber infeksi pada satwa liar, yang bisa membuat reservoir baru untuk patogen pada manusia. Wabah terbaru dari tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis pada rakun dan musang adalah salah satu akibat tidak langsung dari penyakit manusia yang menular ke populasi satwa liar (Alexander et al. 2002). Musang bergaris yang diamati pola makannya secara teratur di lubang sampah, akibatnya musang terkena kotoran manusia dan bahan infeksius tuberkulosis dari manusia.

Perubahan Praktek Pertanian dan Munculnya Zoonosis Satwa Liar
Munculnya demam berdarah Argentina di timur-tengah Argentina selama tahun 1950an, dan meluas ke utara-tengah Argentina. Hal ini terjadi akibat adanya kegiatan pengembangan pertanian (terutama tanaman jagung) yang mendukung reservoir utama virus yaitu tikus jagung (Calomys musculinus). Demam berdarah Argentina yang disebabkan oleh virus Junin mempengaruhi pekerja pertanian terutama laki-laki dewasa selama musim panen (Charrel dan de Lamballerie 2003).

Pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, epidemi rabies terjadi pada antelop (Tragelaphus strepsiceros) di Namibia (Hubschle 1988). Populasi antelop telah meningkat pesat sebagai akibat kondisi yang menguntungkan dan perubahan lingkungan buatan manusia. Perilaku sosial antelop memberikan kondisi yang sesuai bagi penularan pada populasi antelop setelah infeksi awal oleh karnivora rabies, seperti menjelajah di pohon akasia berduri dan menghasilkan lesio dalam rongga mulut antelop, dan mengekskresikan titer virus yang relatif tinggi pada air liur hewan yang terinfeksi (Hubschle 1988).

Wabah infeksi virus Nipah di Malaysia selama tahun 1998-1999, yang menyebabkan 265 kasus ensefalitis virus pada manusia dengan angka kematian 38%. Hal ini juga merupakan akibat dari beberapa perubahan ekologis dan lingkungan yang terkait dengan deforestasi dan perluasan peternakan nonindustri pada babi dihubungkan dengan produksi pohon penghasil buah (Daszak et al. 2001). Kombinasi tersebut menyebabkan infeksi pada babi, dengan gejala yang berkembang pada pernapasan dan saraf setelah terpapar langsung oleh kelelawar buah yang terinfeksi virus Nipah. Babi yang sakit merupakan sumber berikutnya bagi infeksi pada manusia (Daszak et al. 2001).

Peternakan spesies hewan liar menyebabkan munculnya kembali zoonosis seperti tuberkulosis sapi pada populasi rusa di penangkaran. Rusa dengan tingkat kepadatan rendah di wilayah aslinya memiliki kemungkinan yang kecil untuk terpapar penyakit. Namun, penyakit menjadi salah satu faktor dalam manajemen intensif rusa (Wilson 2002). Munculnya kembali penyakit zoonosis yang telah disebabkan oleh reservoir hewan domestik juga menjadi perhatian utama. Hewan liar dapat menjadi reservoir infeksi baru dan mungkin menyebabkan infeksi kembali pada hewan domestik. Sebagai contoh tuberkulosis sapi di Inggris yang terkait dengan infeksi Mycobacterium bovis pada luwak madu (Meles Meles) (Sharp 2006) dan brucellosis pada babi yang dilepasliarkan di Eropa akibat dari spillover dari brucellosis babi liar (Brucella suis biovar 2) sebagai reservoir (Godfroid et al. 2005).

Perdagangan dan Translokasi Satwa Liar
Perdagangan satwa liar menyebabkan terjadinya mekanisme untuk transmisi penyakit pada tingkat yang tidak hanya menyebabkan wabah penyakit pada manusia tetapi juga mengancam ternak, perdagangan internasional, mata pencaharian di pedesaan, populasi satwa liar asli, dan kesehatan ekosistem (Karesh et al. 2005). Di seluruh dunia, diperkirakan 40.000 primata, 4 juta burung, 640.000 reptil, dan 350 juta ikan tropis diperdagangkan hidup-hidup pada setiap tahunnya (Karesh et al. 2005). Perdagangan satwaliar secara internasional diperkirakan menjadi 6 miliar $ US (20 ).

Translokasi hewan liar dikaitkan dengan penyebaran beberapa zoonosis. Rabies diintroduksi di negara-negara Atlantik tengah pada tahun 1970-an ketika perburuan dilakukan pada populasi dengan menggunakan rakun sebagai umpan di zona endemis rabies di Amerika Serikat bagian selatan (Woodford dan Rossiter 1993). Di Eropa Timur, anjing rakun (Nyctereutes procyonoides) menjadi reservoir baru untuk rabies, selain reservoir serigala merah. Anjing rakun telah menyebar ke habitat baru akibat pelepasan yang tidak disengaja dari hewan yang diternakan untuk perdagangan bulu (Gylys et al. 1998). Possum ekor sikat (Trichosurus Vulpecula) dari Tasmania diintroduksi ke Selandia Baru sebagai spesies hewan baru penghasil bantalan bulu.

Translokasi populasi satwa liar terus menjamur dan sekarang diperkirakan >70 juta, dengan sekitar 3%-30% yang mungkin terinfeksi oleh M. bovis, yang merupakan ancaman tetap pada industri peternakan sapi dan rusa (Woodford dan Rossiter 1993). Translokasi kelinci dari Eropa tengah dan timur untuk tujuan olahraga menyebabkan beberapa wabah tularemia, introduksi B. suis biovar 2 ke Eropa Barat, dan strain brucellosis pada populasi babi hutan dari Eropa Barat (Godfroid et al. 2005). Selama tahun 1993-2003, infeksi B. suis biovar 2 dilaporkan di >40 peternakan babi yang dilepasliarkan di Perancis (Godfroid et al. 2005).

Perdagangan ilegal juga dapat menjadi sumber kemungkinan infeksi pada manusia. Pada bulan Maret tahun 1994, psittacosis menginfeksi di beberapa petugas bea cukai di Antwerp, Belgia (De Schrijver 1998). Seorang petugas bea cukai dirawat di rumah sakit dengan pneumonia selama 10 hari setelah kontak dengan burung parkit impor ilegal oleh pelaut India. Risiko tertular psittacosis yaitu 2,8 × lebih tinggi pada petugas yang kontak > 2 jam dengan burung parkit dibandingkan mereka yang terpapar hanya sebentar. Demikian pula, virus highly pathogenic avian influenza A H5N1 telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari elang jambul yang diselundupkan ke Eropa melalui perjalanan udara (Van Borm et al. 2005), meskipun pada pemeriksaan kontak antara manusia dan burung tidak menunjukkan adanya penularan.

Perdagangan Daging Hewan Liar, Pasar Basah, Makanan Eksotis, dan Penyakit Zoonosis
Faktor risiko lain yang terkait dengan munculnya zoonosis dari satwa liar akibat terjadinya peningkatan konsumsi daging satwa liar di banyak belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah Amazon, dengan masing-masing konsumsi setiap tahunnya yaitu 1-3,4 juta ton dan 67-164 juta kg (Karesh et al. 2005).

Virus yang berasal dari kera telah diidentifikasi sebagai retrovirus yang zoonosis menginfeksi manusia yang kontak langsung dengan daging primata segar. Temuan ini menunjukkan bahwa zoonosis seperti lebih frekwen, lebih luas, dan kontemporer dari sebelumnya. Demikian pula, retrovirus baru, T-lymphotropic virus jenis manusia tipe 3 dan 4 ditemukan pada pemburu, tukang daging, atau berada di monyet atau kera sebagai hewan peliharaan di Kamerun selatan (Wolfe et al. 2005).

Kombinasi kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap daging satwa liar (bisnis bernilai miliaran dolar) dan akses yang lebih mudah ke habitat primata dengan disediakannya akses penebangan ke hutan telah meningkatkan jumlah perburuan di Afrika, sehingga telah meningkatkan frekuensi paparan retrovirus primata dan agen penyebab penyakit lainnya. Demikian pula, beberapa wabah virus Ebola di Afrika Barat telah dikaitkan dengan konsumsi daging satwa liar, terutama simpanse (Georges-Courbot et al. 1997).

Pasar makanan tradisional dan lokal di banyak belahan dunia dapat dikaitkan dengan emerging zoonosis. Pasar hewan hidup, juga dikenal sebagai pasar basah, selalu menjadi tempat yang penting untuk komersialisasi unggas dan banyak spesies hewan lainnya. Keberadaan pasar seperti ini, sangat jarang di Amerika Serikat dan sampai saat ini di California, muncul sebagai modus baru komersialisasi oleh kelompok etnis tertentu dengan jaminan produk segar tetapi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Wabah flu burung, yang dimulai di Asia Tenggara pada tahun 2003 dan baru-baru ini menyebar ke belahan negara lain di dunia. Hal ini secara langsung berkaitan dengan penjualan unggas hidup yang terinfeksi flu burung di pasar tradisional. Pasar burung hidup memfasilitasi penyebaran virus avian influenza H5N1 ini dengan burung liar (Hayden dan Croisier 2005).

Demikian pula, severe acute respiratory syndrome yang baru ditemukan terkait coronavirus yang berkaitan dengan perdagangan hewan hidup, karnivora liar, terutama musang, di Republik Rakyat Cina (Daszak et al. 2004). Namun, data terakhir menunjukkan bahwa musang mungkin hanya amplifier dari siklus alami yang melibatkan perdagangan dan konsumsi kelelawar (Li et al. 2005).

Trichinellosis telah lama dikaitkan dengan konsumsi daging hewan liar setengah matang, seperti beruang, dan sekarang konsumsi daging rusa dan babi hutan mentah baru-baru ini dikaitkan dengan munculnya kasus hepatitis E parah pada para pemburu di Jepang (Takahashi et al. 2005). Negara-negara industri yang memiliki cita rasa baru untuk makanan eksotis juga telah dikaitkan dengan berbagai patogen zoonosis atau parasit, seperti protozoa (Toksoplasma), trematoda (Fasciola sp., Paragonimus spp.), cestoda (Taenia spp., Diphyllobothrium sp.), dan nematoda (Trichinella spp., Anisakis sp., Parastrongylus spp.).

Ekowisata
Perjalanan petualangan merupakan pangsa pasar yang tumbuh paling pesat pada industri perjalanan liburan. Tingkat pertumbuhan telah mencapai 10% per tahun sejak tahun 1985 (Adventure Travel Society, pers. comm.). Tipe perjalanan ini meningkatkan risiko bagi wisatawan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti safari, wisata, olahraga petualangan, dan wisata ekstrem, sehingga akan menyebabkan kontak dengan patogen yang tidak biasa di negara-negara industri. Infeksi Rickettsia yang paling sering ditemui sebagai penyakit African tick bite fever, yang disebabkan oleh Rickettsia africae dan ditularkan di perkampungan sub-Sahara Afrika oleh caplak pada hewan ungulata dari genus Amblyomma. Telah dilaporkan lebih dari 350 kasus African tick bite fever yang diimpor ke sejumlah benua selama beberapa tahun terakhir (Jensenius et al. 2004). Kebanyakan pasien yang terinfeksi selama wisata berburu satwa liar dan berjalan di semak belukar. Selain itu, karena ekowisata menjadi semakin populer di kalangan wisatawan internasional, sehingga lebih banyak impor kasus Rickettsiosis yang mungkin terjadi di Eropa, Amerika Utara, dan di tempat lain di tahun-tahun mendatang.

Cercopithecine herpesvirus 1 (virus herpes B) merupakan virus herpes alfa yang endemik pada kera Asia, yang sebagian besar membawa virus ini tanpa ada gejala penyakit yang jelas. Namun, infeksi zoonosis oleh virus herpes B pada manusia biasanya menyebabkan encephalomyelitis fatal atau gangguan neurologis berat (Huff dan Barry 2003). Virus herpes B sebagai penyebab sekitar 40 kasus meningoencephalitis pada manusia yang kontak langsung atau tidak langsung dengan kera percobaan di laboratorium. Sebuah survei yang dilakukan pada pekerja di sebuah kuil Hindu Bali dengan daya tarik wisata utama di mana kera berkeliaran bebas, menunjukkan bahwa kontak antara manusia dan kera umumnya mampu menularkan virus herpes B. Selanjutnya, 31 (81,6%) dari 38 kera di lokasi tersebut memiliki antibodi terhadap virus herpes B (Huff dan Barry 2003).

Satwa Kebun Binatang dan Hewan Eksotis
Kebun binatang merupakan tempat di mana anak-anak diperbolehkan untuk mendekati dan memberi makan satwa liar hasil tangkaran dan hewan domestic. Hal ini telah dikaitkan dengan beberapa wabah zoonosis, termasuk infeksi yang disebabkan oleh Escherichia coli O157:H7, Salmonella, dan Coxiella burnetii (Bender dan Shulman 2004). Lebih dari 25 wabah penyakit infeksius pada manusia yang berhubungan dengan pengunjung pameran hewan yang teridentifikasi selama tahun 1990-2000 (Bender dan Shulman 2004)).

Dalam wabah salmonellosis di kebun binatang Colorado sebanyak 65 kasus (sebagian besar dari kasus tersebut terjadi pada anak-anak) yang dikaitkan dengan menyentuh penghalang kayu di sekitar pameran komodo. Organisme Salmonella telah diisolasi dari 39 kasus/pasien, komodo dragon, dan penghalang kayu. Anak-anak yang tidak terinfeksi diduga telah mencuci tangan setelah mengunjungi pameran (Friedman et al. 1998).

Paparan dengan satwa liar dalam penangkaran di tempat sirkus atau kebun binatang juga bisa menjadi sumber infeksi zoonosis. Dua belas pawang gajah sirkus di sebuah peternakan hewan eksotis di Illinois terinfeksi M. tuberculosis, dan 1 orang dengan gejala infeksi aktif yang konsisten setelah 3 gajah dinyatakan mati akibat tuberkulosis. Riwayat medis dan pengujian pada pawang menunjukkan bahwa gajah telah menjadi sumber kemungkinan paparan untuk sebagian besar orang yang terinfeksi (Michalak et al. 1998). Setelah terjadi wabah M. bovis pada badak dan monyet di kebun binatang di Louisiana, 7 orang pawang hewan yang sebelumnya negatif tuberculosis memberikan hasil tes positif (Stetter et al. 1995).

Hewan peliharaan eksotis juga merupakan sumber dari beberapa infeksi manusia yang bervariasi dari mulai monkeypox parah terkait dengan anjing padang rumput peliharaan atau lyssavirus di kelelawar peliharaan sampai dengan infeksi ringan seperti ringworm yang umum terjadi pada landak kerdil Afrika atau Chinchilla. Epidemiologi dan investigasi penelusuran kembali pada hewan menegaskan bahwa kasus dapatan monkeypox pertama pada manusia terjadi di Amerika Serikat (71 kasus) berasal dari kontak dengan anjing padang rumput yang terinfeksi yang telah ditampung atau diangkut bersamaan dengan tikus Afrika yang diimpor dari Ghana (CDC 2003 ).

Demikian pula, wabah yang disebabkan oleh Francisella tularensis tipe B terjadi pada hewan hasil tangkapan alam seperti anjing padang rumput yang diperdagangkan secara komersial. Antibodi F. tularensis terdeteksi pada 1 orang sebagai bukti pertama penularan tularemia dari anjing padang rumput ke manusia (Avashia et al. 2004). Landak kerdil Afrika telah berperan dalam kasus salmonellosis pada manusia di Amerika Serikat dan Kanada (Riley dan Chomel 2005).

Di Amerika Serikat banyak reptil diperjualbelikan, terutama iguana impor per tahunnya telah meningkat pesat mencapai sekitar 1 juta. Jumlah kasus salmonellosis pada manusia, terutama pada anak-anak terus meningkat secara dramatis seiring dengan peningkatan kepemilikan iguana peliharaan. The Centers for Disease Control and Prevention memperkirakan bahwa sekitar 7% dari infeksi salmonella pada manusia di Amerika Serikat terkait dengan kepemilikan reptil. Kebanyakan iguana secara alami membawa Salmonella serotipe pada saluran pencernaannya dan secara kontinyu mengeluarkan Salmonella dalam kotoran mereka (Burnham 1998).

Delapan kasus rabies yang disebabkan oleh virus rabies varian baru dilaporkan di negara bagian Ceará, Brasil, dari tahun 1991 sampai 1998. Marmoset (Callithrix jacchus jacchus) telah bertanggung jawab menjadi sumber paparan. Primata jenis ini merupakan hewan peliharaan yang umum. Kasus umumnya terjadi pada manusia yang telah mencoba untuk menangkap marmoset tersebut, dan 1 kasus rabies telah dilaporakn ditularkan oleh marmoset peliharaan (Favoretto et al. 2001). Pada tahun 1999, ensefalitis didiagnosis terdapat pada kelelawar rousette Mesir (Rousettus egyptiacus) yang telah diimpor dari Belgia dan dijual di toko hewan peliharaan di barat daya Perancis. Kelelawar peliharaan terinfeksi oleh lyssavirus dari kelelawar di Lagos dan mengakibatkan pengobatan 120 orang terinfeksi (Y. Rotivel, pers. Comm.).
KESIMPULAN

Emerging infectious diseases memiliki pengaruh besar pada kesehatan manusia dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang luar biasa. Hewan, terutama hewan liar diduga menjadi sumber penular lebih dari 70% pada semua kasus infeksi yang muncul (Kuiken et al. 2005). Faktor tertinggi emerging zoonosis adalah eksploitasi hutan yang tidak seimbang dan tidak selektif serta pembangunan pertanian agresif terkait dengan peningkatan eksponensial dalam perdagangan daging hewan liar (Wolfe et al. 2005).

Demikian pula dengan peningkatan ekowisata, sering terjadi dalam lingkungan primitif dengan tingkat kebersihan yang terbatas. Hal ini dapat dikaitkan dengan agen zoonosis dapatan. Oleh karena itu, pengembangan program yang tepat dalam pengawasan dan pemantauan emerging diseases untuk reservoar satwa liar sangat penting. Umumnya patogen hewan yang dilakukan surveilans yaitu yang ada berhubungannya dengan hewan ternak, serta sedikit sekali bahkan tidak ada program yang khusus ditujukan untuk satwa liar.

Dua pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi adalah 1) untuk memantau dan mengidentifikasi keberadaan patogen yang telah muncul sebagai patogen pada manusia dan 2) untuk menyelidiki dalam spesies satwa liar, mengingat adanya agen infeksi yang diketahui atau tidak diketahui. Selanjutnya, konservasi habitat keanekaragaman hayati penting dilakukan untuk mencegah munculnya reservoar baru atau spesies amplifier.

Langkah-langkah kunci untuk mengurangi penyebaran emerging zoonosis termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan, pendidikan yang memadai kepada wisatawan tentang risiko kegiatan di luar ruangan, dan kontrol yang lebih baik dari perdagangan hewan hidup (hewan peliharaan eksotis, pasar basah, daging satwa liar). Pelayanan kesehatan masyarakat dan praktisi klinis (dokter, dokter hewan) harus lebih aktif mendidik masyarakat tentang risiko memiliki hewan peliharaan eksotis dan mengadopsi hewan liar.

Seperti yang disarankan oleh Kuiken et al. (2005 ), sekarang saatnya untuk membentuk "ahli gabungan kelompok kerja untuk merancang dan menerapkan sistem pengawasan hewan global untuk patogen zoonosis serta memberikan peringatan dini mengenai munculnya pathogen. Hal in terintegrasi erat dengan surveilans kesehatan masyarakat dan memberikan kesempatan untuk mengendalikan patogen sebelum patogen dapat mempengaruhi kesehatan manusia, suplai makanan, ekonomi atau keanekaragaman hayati”.

Tugas utama yang harus dilakukan oleh masyarakat internasional termasuk mengintegrasikan secara lebih baik dan koordinasi sistem pengawasan secara nasional di negara-negara industri dan negara-negara berkembang, meningkatkan sistem pelaporan dan berbagi informasi secara internasional, surveilans aktif pada penduduk pedesaan dan habitat satwa liar, terutama di mana kemiskinan dan pendapatan rendah meningkatkan risiko untuk penularan pathogen, pelatihan profesional seperti dokter hewan dan ahli biologi dalam manajemen kesehatan satwa liar, serta pembentukan tim yang berasal dari multidisiplin ilmu sehingga siap bergabung dalam pengendalian ketika wabah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander KA, Pleydell E, Williams MC, Lane EP, Nyange JF, Michel AL. 2002. Mycobacterium tuberculosis: an emerging disease of free-ranging wildlife. Emerg Infect Dis. 2002; 8: 598–601.

Avashia SB, Petersen JM, Lindley CM, Schriefer ME, Gage KL, Cetron M. 2004. First reported prairie dog-to-human tularemia transmission, Texas, 2002. Emerg Infect Dis. 2004; 10:483–6.

Bender JB, Shulman SA. 2004. Reports of zoonotic disease outbreaks associated with animal exhibits and availability of recommendations for preventing zoonotic disease transmission from animals to people in such settings. J Am Vet Med Assoc. 2004; 224:1105–9. 

Blancou J, Chomel BB, Belotto A, Meslin FX. 2005. Emerging or re-emerging bacterial zoonoses: factors of emergence, surveillance and control. Vet Res. 2005; 36:507–22. 

Burnham BR, Atchley DH, DeFusco RP, Ferris KE, Zicarelli JC, Lee JH. 1998. Prevalence of fecal shedding of Salmonella organisms among captive green iguanas and potential public health implications. J Am Vet Med Assoc. 1998; 213:48–50.

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2003. Update: multistate outbreak of monkeypox-Illinois, Indiana, Kansas, Missouri, Ohio, and Wisconsin, 2003. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2003; 52:642–6.

Chardonnet P, des Clers B, Fischer J, Gerhold R, Jori F, Lamarque F. 2002. The value of wildlife. Rev Sci Tech. 2002; 21:15–51.

Charrel RN, de Lamballerie X. 2003. Arenaviruses other than Lassa virus. Antiviral Res. 2003; 57:89–100. 

Check E. 2004. Health concerns prompt US review of exotic-pet trade. Nature. 2004; 427:277.
Cleaveland S, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristics, host range and the risk of emergence. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 2001; 356:991–9. 

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD. 2001. Anthropogenic environmental change and the emergence of infectious diseases in wildlife.Acta Trop. 2001; 78:103–16. 

Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann N Y Acad Sci. 2004; 1026:1–11. 

De Schrijver K. 1998. A psittacosis outbreak in customs officers in Antwerp (Belgium). Bull Inst Marit Trop Med Gdynia. 1998; 49:97–9.

Favoretto SR, de Mattos CC, Morais NB, Alves Araujo FA, de Mattos CA. 2001. Rabies in marmosets (Callithrix jacchus), Ceará, Brazil. Emerg Infect Dis. 2001; 7:1062–5.

Friedman CR, Torigian C, Shillam PJ, Hoffman RE, Heltzel D, Beebe JL. 1998. An outbreak of salmonellosis among children attending a reptile exhibit at a zoo. J Pediatr. 1998; 132:802–7. 

Georges-Courbot MC, Sanchez A, Lu CY, Baize S, Leroy E, Lansout-Soukate J. 1997. Isolation and phylogenetic characterization of Ebola viruses causing different outbreaks in Gabon. Emerg Infect Dis. 1997; 3:59–62.

Godfroid J, Cloeckaert A, Liautard JP, Kohler S, Fretin D, Walravens K. 2005. From the discovery of the Malta fever’s agent to the discovery of a marine mammal reservoir, brucellosis has continuously been a re-emerging zoonosis. Vet Res. 2005; 36:313–26. 

Gylys L, Chomel BB, Gardner IA. 1998Epidemiological surveillance of rabies in Lithuania from 1986 to 1996. Rev Sci Tech. 1998; 17:691–8.

Hayden F, Croisier A. 2005. Transmission of avian influenza viruses to and between humans. J Infect Dis. 2005; 192:1311–4. 

Hubschle OJ. 1998. Rabies in the kudu antelope (Tragelaphus strepsiceros). Rev Infect Dis. 1988; 10 (Suppl 4): S629–33.

Huff JL, Barry PA. 2003. B-virus (Cercopithecine herpesvirus 1) infection in humans and macaques: potential for zoonotic disease. Emerg Infect Dis. 2003; 9:246–50.

Jensenius M, Fournier PE, Raoult D. 2004. Rickettsioses and the international traveler. Clin Infect Dis. 2004; 39:1493–9. 

Karesh WB, Cook RA, Bennett EL, Newcomb J. 2005. Wildlife trade and global disease emergence. Emerg Infect Dis. 2005; 11:1000–2.

Kuiken T, Leighton FA, Fouchier RA, LeDuc JW, Peiris JS, Schudel A. 2005. Public health: pathogen surveillance in animals. Science. 2005; 309:1680–1.

Li W, Shi Z, Yu M, Ren W, Smith C, Epstein JH. 2005. Bats are natural reservoirs of SARS-like coronaviruses. Science. 2005; 310:676–9. 

Michalak K, Austin C, Diesel S, Bacon MJ, Zimmerman P, Maslow JN. 1998. Mycobacterium tuberculosis infection as a zoonotic disease: transmission between humans and elephants. Emerg Infect Dis. 1998; 4:283–7.

Nettles VF. 1992. Wildlife diseases and population medicine. J Am Vet Med Assoc. 1992; 200:648–52.

Riley PY, Chomel BB. 2005. Hedgehog zoonoses. Emerg Infect Dis. 2005; 11:1–5.

Schneider MC, Belotto A, Ade MP, Leanes LF, Correa E, Tamayo H. 2005. Epidemiologic situation of human rabies in Latin America in 2004. Epidemiol Bull. 2005; 26:2–4.

Sharp D. 2006. Bovine tuberculosis and badger blame. Lancet. 2006; 367:631–3.

Stetter MD, Mikota SK, Gutter AF, Monterroso ER, Dalovisio JR, Degraw C. 1995. Epizootic of Mycobacterium bovis in a zoologic park. J Am Vet Med Assoc. 1995; 207:1618–21.

Takahashi K, Kitajima N, Abe N, Mishiro S. 2004. Complete or near-complete nucleotide sequences of hepatitis E virus genome recovered from a wild boar, a deer, and four patients who ate the deer. Virology. 2004; 330:501–5. 

Taylor LH, Latham SM, Woolhouse ME. 2001.Risk factors for human disease emergence. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 2001; 356:983–9.

Van Borm S, Thomas I, Hanquet G, Lambrecht B, Boschmans M, Dupont G. 2005. Highly pathogenic H5N1 influenza virus in smuggled Thai eagles, Belgium. Emerg Infect Dis. 2005; 11:702–5.

Varma MGR. 2001. Kyasanur Forest disease. In: Service MW, editor. The encyclopedia of arthropod-transmitted infections. New York: CABI Publishing; 2001. p. 254–60.

Walker DH, Barbour AG, Oliver JH, Lane RS, Dumler JS, Dennis DT. 1996. Emerging bacterial zoonotic and vector-borne diseases. Ecological and epidemiological factors. JAMA. 1996; 275:463–9. 

Wilson PR. 2002. Advances in health and welfare of farmed deer in New Zealand. N Z Vet J. 2002; 50(Suppl):105–9.

Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonoses emergence. Emerg Infect Dis. 2005; 11:1822–7.

Wolfe ND, Heneine W, Carr JK, Garcia AD, Shanmugam V, Tamoufe U. 2005. Emergence of unique primate T-lymphotropic viruses among central African bushmeat hunters. Proc Natl Acad Sci U S A. 2005; 102:7994–9.

Woodford MH, Rossiter PB. 1993. Disease risks associated with wildlife translocation projects. Rev Sci Tech. 1993; 12:115–35.

***
Tulisan Asli: WILDLIFE, EXOTIC PETS, AND EMERGING ZOONOSES, Bruno B. Chomel*. Albino Belotto†, and François-Xavier Meslin‡ Author affiliations: *School of Veterinary Medicine, University of California, Davis, Davis, California, USA; †Pan American Health Organization, Washington, DC, USA; ‡World Health Organization, Geneva, Switzerland Volume 13, Number 1—January 2007.

***
Catatatan:
Makalah terjemahan ini tidak dipublikasikan tetapi telah diarsipkan di Perpustakaan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani dengan Nomor katalog: 602.02.0020.PUSKH.II.2015.

******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: