Bruselosis adalah penyakit yang menyebabkan abortus
pada hewan bunting yang disebabkan bakteri, bersifat menular, walaupun jarang
menyebabkan kematian pada hewan penderita tetapi menyebabkan kerugian ekonomi
yang besar pada peternakan. Nama lain dari penyakit Brusellosis adalah: Bang’s
disease, Contagious abortion, Brucellosis, Bruselosis, penyakit Keluron
menular, Demam malta.
A. PENDAHULUAN
Brucellosis merupakan penyakit hewan menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder menyerang berbagai jenis hewan Iainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron (abortus) menular atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disebut “Demam Malta”. Bruce pada tahun 1887 mengisolasi jasad reniknya yang disebut Micrococcus melitensis dan kemudian disebut Brucella melitensis.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa keluron, anak hewan yang dilahirkan lemah kemudian mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu. Menurut perhitungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kerugian akibat penyakit ini ditaksir mencapai lebih dari 5 milyar rupiah per tahun. Penyakit ini bersifat zoonosis dapat menular dari hewan ke manusia, dan biasanya sulit diobati sehingga sampai saat ini brucellosis merupakan zoonosis penting dan strategis.
B. ETIOLOGI
Bakteri brucella untuk pertama kali ditemukan oleh Bruce pada tahun 1887 pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus melitensis. Kemudian Bang dan Stribolt pada tahun 1897 mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita keluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa kedua jasad renik tersebut termasuk dalam genus Brucella.
Bakteri brucella bersifat Gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran panjang 0,5 - 2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan bersifat aerob. Brucella merupakan bakteri intraseluler, dan dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Pada saat ini genus Brucella diketahui mempunyai 6 species yaitu Brucella melitensis, B.abortus, B.suis, B.neotomae, B.ovis dan B.cans. Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 species yaitu B.melitensis yang menyerang kambing, B.abortus yang menyerang sapi dan B.suis yang menyerang babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A sedangkan B.abortus dan B.suis sebaliknya. Brucella mempunyai antigen bersama (“Common antigen”) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan Yersinia enterocolobacter. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah, karena antibodi tidak terlalu berperan.
Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Sapi dan anjing dapat terinfeksi oleh B.abortus dan menunjukkan gejala keluron menular, kambing, kuda dan babi juga pernah diisolasi B.abortus.
Brucellosis pada babi terutama disebabkan oleh B.suis. Bakteri ini juga menyerang anjing, dan kelinci hutan (wild hares) dan kelinci hutan diduga merupakan ”carrier” bagi brucellosis babi yang bersifat enzootik di Denmark. Inang utama B.melitensis adalah kambing dan domba meskipun pernah dilaporkan adanya infeksi pada anjing, sapi dan kelinci hutan.
2. Pengaruh Lingkungan
B. abortus dapat disebarkan melalui konsumsi produk peternakan yang terkontaminasi seperti susu, selain itu juga melalui feses yang terkontaminasi, atau melalui kontak langsung terutama dengan ternak sakit yang sedang melahirkan, perkawinan alami dengan hewan yang terinfeksi.
Sapi terinfeksi dengan mudah dapat menularkan saat sapi melahirkan, karena banyaknya bakteri yang dikeluarkan. Kondisi yang memungkinkan kontak antar hewan dan atau kondisi setelah melahirkan akan menaikkan kecepatan penularan antar hewan. Jumlah kelompok ternak yang besar, tingkat jual beli dan lalu lintas tinggi serta pola pengembalaan adalah faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi yang tinggi.
3. Sifat Penyakit
Brucellosis merupakan penyakit hewan menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder menyerang berbagai jenis hewan Iainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron (abortus) menular atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disebut “Demam Malta”. Bruce pada tahun 1887 mengisolasi jasad reniknya yang disebut Micrococcus melitensis dan kemudian disebut Brucella melitensis.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa keluron, anak hewan yang dilahirkan lemah kemudian mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu. Menurut perhitungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kerugian akibat penyakit ini ditaksir mencapai lebih dari 5 milyar rupiah per tahun. Penyakit ini bersifat zoonosis dapat menular dari hewan ke manusia, dan biasanya sulit diobati sehingga sampai saat ini brucellosis merupakan zoonosis penting dan strategis.
B. ETIOLOGI
Bakteri brucella untuk pertama kali ditemukan oleh Bruce pada tahun 1887 pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus melitensis. Kemudian Bang dan Stribolt pada tahun 1897 mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita keluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa kedua jasad renik tersebut termasuk dalam genus Brucella.
Bakteri brucella bersifat Gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran panjang 0,5 - 2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan bersifat aerob. Brucella merupakan bakteri intraseluler, dan dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Pada saat ini genus Brucella diketahui mempunyai 6 species yaitu Brucella melitensis, B.abortus, B.suis, B.neotomae, B.ovis dan B.cans. Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3 species yaitu B.melitensis yang menyerang kambing, B.abortus yang menyerang sapi dan B.suis yang menyerang babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A sedangkan B.abortus dan B.suis sebaliknya. Brucella mempunyai antigen bersama (“Common antigen”) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan Yersinia enterocolobacter. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah, karena antibodi tidak terlalu berperan.
Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Sapi dan anjing dapat terinfeksi oleh B.abortus dan menunjukkan gejala keluron menular, kambing, kuda dan babi juga pernah diisolasi B.abortus.
Brucellosis pada babi terutama disebabkan oleh B.suis. Bakteri ini juga menyerang anjing, dan kelinci hutan (wild hares) dan kelinci hutan diduga merupakan ”carrier” bagi brucellosis babi yang bersifat enzootik di Denmark. Inang utama B.melitensis adalah kambing dan domba meskipun pernah dilaporkan adanya infeksi pada anjing, sapi dan kelinci hutan.
2. Pengaruh Lingkungan
B. abortus dapat disebarkan melalui konsumsi produk peternakan yang terkontaminasi seperti susu, selain itu juga melalui feses yang terkontaminasi, atau melalui kontak langsung terutama dengan ternak sakit yang sedang melahirkan, perkawinan alami dengan hewan yang terinfeksi.
Sapi terinfeksi dengan mudah dapat menularkan saat sapi melahirkan, karena banyaknya bakteri yang dikeluarkan. Kondisi yang memungkinkan kontak antar hewan dan atau kondisi setelah melahirkan akan menaikkan kecepatan penularan antar hewan. Jumlah kelompok ternak yang besar, tingkat jual beli dan lalu lintas tinggi serta pola pengembalaan adalah faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi yang tinggi.
3. Sifat Penyakit
Penyakit ini bersifat enzootik (dijumpai pada hewn sepanjang
masa dalam jumlah sedikit kasus) pada
daerah tertentu, hal ini penting, karena merupakan sumber penularan
untuk manusia (zoonosis).
4. Cara Penularan
4. Cara Penularan
Penularan
pada hewan terjadi
melalui saluran kelamin
(perkawinan maupun abortan), mukosa atau kulit yang luka, dan saluran pencernaan. Pada sapi dan kambing, penularan
melalui perkawinan sering terjadi, sehingga pemacek yang merupakan reaktor
harus dikeluarkan. Di Denmark pernah terjadi kerugian besar akibat penggunaan
semen yang dicemari Brucella untuk Inseminasi Buatan. Penularan melalui saluran
kelamin juga banyak terjadi pada babi dan anjing. Selain itu penularan dapat
juga terjadi secara mekanis melalui insekta.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penularan penyakit biasanya karena sanitasi yang kurang baik, dan hewan berdesak-desakan sehingga memudahkan terjadinya penularan dari hewan yang telah terinfeksi. Brucellosis merupakan penyakit berisiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya didesinfeksi agar tidak menjadi sumber penularan ke hewan atau manusia.
6. Distribusi Penyakit
Penemuan pertama kali adanya brucellosis di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Menurut Donker-Voet, pada tahun menjelang perang Dunia II, tingkat prevalensi penyakit ini berdasarkan uji serologis di Lembaga Penelitian Penyakit Hewan (LPPH)/ Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) adalah sekitar 5%. Daerah penyebarannya terutama di Pulau Jawa pada sapi perah.
Berdasarkan survey serologis pada manusia yang dilakukan oleh Dinas Zoonosis, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 ada ditemukan kasus brucellosis pada manusia yaitu pada pekerja rumah potong hewan di Denpasar.
Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa brucellosis menyerang peternakan sapi perah di Baturaden, dan juga menyerang sapi di beberapa kota di pulau Jawa.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Pada sapi gejala klinis yang utama ialah keluron (abortus) menular yang dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya produksi susu. Keluron yang disebabkan oleh brucella biasanya akan terjadi pada umur kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga).
Sapi dapat mengalami keluron satu, dua atau tiga kali, kemudian memberikan kelahiran normal, sapi terlihat sehat walaupun mengeluarkan cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan janin yang keluar waktu terjadinya keluron berwarna keruh dan dapat merupakan sumber penularan penyakit.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penularan penyakit biasanya karena sanitasi yang kurang baik, dan hewan berdesak-desakan sehingga memudahkan terjadinya penularan dari hewan yang telah terinfeksi. Brucellosis merupakan penyakit berisiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya didesinfeksi agar tidak menjadi sumber penularan ke hewan atau manusia.
6. Distribusi Penyakit
Penemuan pertama kali adanya brucellosis di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Menurut Donker-Voet, pada tahun menjelang perang Dunia II, tingkat prevalensi penyakit ini berdasarkan uji serologis di Lembaga Penelitian Penyakit Hewan (LPPH)/ Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) adalah sekitar 5%. Daerah penyebarannya terutama di Pulau Jawa pada sapi perah.
Berdasarkan survey serologis pada manusia yang dilakukan oleh Dinas Zoonosis, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 ada ditemukan kasus brucellosis pada manusia yaitu pada pekerja rumah potong hewan di Denpasar.
Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa brucellosis menyerang peternakan sapi perah di Baturaden, dan juga menyerang sapi di beberapa kota di pulau Jawa.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Pada sapi gejala klinis yang utama ialah keluron (abortus) menular yang dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya produksi susu. Keluron yang disebabkan oleh brucella biasanya akan terjadi pada umur kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga).
Sapi dapat mengalami keluron satu, dua atau tiga kali, kemudian memberikan kelahiran normal, sapi terlihat sehat walaupun mengeluarkan cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan janin yang keluar waktu terjadinya keluron berwarna keruh dan dapat merupakan sumber penularan penyakit.
Gambar 1. Pedet abortus dan abnormalitas plasenta
pada brucellosis (Gambar asli oleh: Ida Tjahajati & Husniyati, Berbagai
Penyakit pada Sapi, dok. Prabowo. 2012 dan
http://keswankesmavtsulut.blogspot.com)
Pada kelenjar susu tidak menunjukkan gejala klinis meskipun di dalam susunya didapatkan bakteri brucella. Hewan jantan memperlihatkan gejala epididimitis dan orchitis. Gejala ini terutama terlihat pada babi yang dapat mengakibatkan kemajiran. Selain gejala-gejala di atas sering pula ditemukan kebengkakan pada persendian lutut (karpal dan tarsal). Masa inkubasi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada sapi berkisar antara 2 minggu - 8 bulan atau lebih lama.
2. Patologi
Perubahan yang terlihat adalah penebalan pada placsenta dengan bercak-bercak merah pada permukaan lapisan chorion. Cairan janin terlihat keruh berwarna kuning kecokelatan dan kadang-kadang bercampur nanah. Ada kalanya pedet mati dengan perkembangan yang tidak normal. Pada hewan jantan ditemukan nanah pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrosa.
Pada kelenjar susu tidak menunjukkan gejala klinis meskipun di dalam susunya didapatkan bakteri brucella. Hewan jantan memperlihatkan gejala epididimitis dan orchitis. Gejala ini terutama terlihat pada babi yang dapat mengakibatkan kemajiran. Selain gejala-gejala di atas sering pula ditemukan kebengkakan pada persendian lutut (karpal dan tarsal). Masa inkubasi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada sapi berkisar antara 2 minggu - 8 bulan atau lebih lama.
2. Patologi
Perubahan yang terlihat adalah penebalan pada placsenta dengan bercak-bercak merah pada permukaan lapisan chorion. Cairan janin terlihat keruh berwarna kuning kecokelatan dan kadang-kadang bercampur nanah. Ada kalanya pedet mati dengan perkembangan yang tidak normal. Pada hewan jantan ditemukan nanah pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrosa.
Gambar 2. Granuloma dan nekrosis hati marmut
yang terinfeksi Brucella suis (Original picture by: http://www.ask.com/wiki/Brucellosis)
3. Diagnosa
3. Diagnosa
Diagnosa
brucellosis pada hewan
didasarkan pada gejala klinis,
serologis, isolasi dan identifikasi
bakteri brucella. Dugaan adanya brucellosis timbul apabila ditemukan terjadinya
hewan yang mengalami abortus dalam kelompok ternak yang diikuti menghilangnya
penyakit itu. Keluron biasanya ditemukan pada trimester terakhir atau umur
pedet 6 bulan atau lebih.
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan secara langsung dengan pewarnaan Stamp atau Koster terhadap bahan tersangka.
Untuk pemeriksaan serologis dapat digunakan serum, darah, cairan vagina, susu atau semen. Reaksi serologis ini belum sempurna karena terdapatnya reaksi non spesifik dan adanya aglutinin di dalam darah akibat vaksinasi dengan strain 19 atau adanya infeksi laten.
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi cepat (slide/plate agglutination test) dan uji aglutinasi tabung (tube agglutination test). Uji aglutinasi cepat menggunakan antigen berwarna Rose Bengal atau Gentian violet dan Briliant green. Untuk peneguhan diagnosa perlu dilakukan uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test).
Milk Ring Test (MRT) yang merupakan modifikasi reaksi aglutinasi dilakukan pada sapi perah. Selain uji-uji tersebut dapat juga dilakukan uji Coob’s dan FAT (Fluorescence Antibody Technique).
ELISA merupakan salah satu cara untuk mendeteksi brucellosis pada sapi, dan lebih praktis serta sensitif untuk digunakan sebagai uji diagnostik. Saat ini telah berkembang uji diagnostik Brucellosis dengan metoda teknologi Biomolecular, yaitu Polimerase Chain Reaction (PCR) terutama di daerah dimana ada program vaksinasi dengan strain 19. Kit diagnostik brucellosis yang lebih praktis penggunaannya di lapangan dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dengan sampel darah atau serum juga telah dikembangkan.
4. Diagnosa Banding
Oleh karena bentuk bakterinya yang halus, maka Brucella dapat kelirukan dengan Campylobacter fetus, Bordetella bronchoseptica dan Yersinia enterolitica. Bakteri-bakteri tesebut bersifat Gram negatif seperti bakteri Brucella, C.fetus mempunyai bentuk koma, B.bronchiseptica bentuk batang dan Y.enterolitica bentuk kokoid.
Pada sapi keluron yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dikelirukan dengan C.fetus atau Trichomonas fetus. Keluron yang disebabkan C.fetus dapat terjadi setiap waktu, T.fetus terjadi pada kebuntingan sangat dini, sedang oleh Brucella terjadi pada Iebih dari 6 bulan kebuntingan.
Penyakit ini pada babi dapat dikelirukan dengan keluron yang disebabkan oleh Leptospira pomonai. Keduanya dapat dibedakan secara serologis, selain itu, L.pomona tidak menyebabkan orchitis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Semua specimen ditempatkan ke dalam wadah yang berisi bahan pendingin atau bila memungkinkan dibekukan dan segera dikirim ke laboratorium veteriner setempat. Bila keadaan tersebut tidak memungkinkan maka spesimen dapat dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan pengawet (phosphat buffer gliserin, larutan gliserin, garam faali 50%). Wadah tersebut harus tidak mudah pecah atau bocor.
Pada setiap specimen yang dikirimkan dalam surat pengantarnya harus disertai keterangan tentang status vaksinasi (kapan divaksinasi /tidak divaksinasi /tidak diketahui). Bahan yang diambil untuk pemeriksaan dapat berupa:
a. Sampel Susu: contoh susu harus diambil dari semua kwartir, karena tidak semua kwartir mengandung Brucella. Untuk masing-masing kwartir diambil 20 ml contoh susu. Sebelum pengambilan spesimen, seluruh ambing harus dicuci dengan bersih dan dikeringkan terlebih dahulu. Ujung puting susu kemudian disuci hamakan dengan alkohol menggunakan kapas bertangkai (cotton swab) dan dibiarkan kering. Puting yang terletak jauh dari operator disuci hamakan terlebih dahulu. Pengambilan contoh dilakukan pada puting yang paling dekat pengan operator.
Pancaran susu pertama dan kedua harus dibuang, baru kemudian pancaran berikutnya ditampung di dalam tabung atau botol plastik yang steril. Susu dikirimkan ke laboratorium dalam keadaan dingin.
b. Sampel vagina: Pengambilan contoh sampel dari vagina dilakukan 6 minggu setelah kelahiran atau keluron. Untuk pengambilan sampel dari vagina domba atau kambing digunakan kapas bertangkai (cotton swab). Kapas bertangkai tersebut dimasukkan kedalam tabung steril Perlu diusahakan agar bagian kapasnya dapat mengambil lapisan mukosa vagina.
c. Darah untuk kultur: Apabila mengambil darah dari hewan yang masih hidup perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencemaran. Darah biasanya diambil dari vena jugularis dan daerah itu harus dicukur bersih dan hilangkan lemak-lemak yang ada dengan cara menggosok dengan kapas yang dicelup didalam ether atau alkohol. Kemudian tempat itu disuci hamakan dengan larutan jodium tinctur. Dibiarkan beberapa menit sampai kering, kemudian sebanyak 10 ml darah diambil dari vena jugularis dengan ”vacutainer” atau spuit biasa. Darah dicampur dengan antikoagulan dan harus segera dipindahkan ke dalam media biakan.
d. Darah untuk pemeriksaan serologis: Untuk pemeriksaan serologis dapat diambil darah sebanyak 10 ml dengan perlakuan yang sama seperti poin c, dan dibiarkan membeku. Untuk mencegah pembusukan dapat ditambah larutan merthiolate 0,01 %.
e. Plasenta: Pada keluron yang disebabkan oleh brucellosis banyak ditemukan bakteri pada plasenta. Diusahakan untuk mengambil kotiledon yang terlihat mengalami perubahan yang sangat signifikan. Bahan ini dapat dibuat preparat ulas atau sentuh yang harus difiksasi dengan metanol.
f. Fetus abortus: Sampel fetus abortus yang paling baik untuk pemeriksaan antara lain isi lambung, paru, limpa dan mikonium (feses yang pertama keluar pada pedet). Isi lambung dapat diambil dengan pipet pasteur steril melalui permukaan dinding lambung kemudian ditempatkan ke dalam wadah steril atau ke media transport langsung dikirim ke laboratorium veteriner.
Sampel untuk masing-masing spesies hewan
a. Sapi: LgI. supramamaria, retropharyngealis, iliaca interna, dan lumbal, limpa, tenunan dari tiap kwarter ambing dan sepotong uterus.
b. Domba dan kambing :
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan secara langsung dengan pewarnaan Stamp atau Koster terhadap bahan tersangka.
Untuk pemeriksaan serologis dapat digunakan serum, darah, cairan vagina, susu atau semen. Reaksi serologis ini belum sempurna karena terdapatnya reaksi non spesifik dan adanya aglutinin di dalam darah akibat vaksinasi dengan strain 19 atau adanya infeksi laten.
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi cepat (slide/plate agglutination test) dan uji aglutinasi tabung (tube agglutination test). Uji aglutinasi cepat menggunakan antigen berwarna Rose Bengal atau Gentian violet dan Briliant green. Untuk peneguhan diagnosa perlu dilakukan uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test).
Milk Ring Test (MRT) yang merupakan modifikasi reaksi aglutinasi dilakukan pada sapi perah. Selain uji-uji tersebut dapat juga dilakukan uji Coob’s dan FAT (Fluorescence Antibody Technique).
ELISA merupakan salah satu cara untuk mendeteksi brucellosis pada sapi, dan lebih praktis serta sensitif untuk digunakan sebagai uji diagnostik. Saat ini telah berkembang uji diagnostik Brucellosis dengan metoda teknologi Biomolecular, yaitu Polimerase Chain Reaction (PCR) terutama di daerah dimana ada program vaksinasi dengan strain 19. Kit diagnostik brucellosis yang lebih praktis penggunaannya di lapangan dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dengan sampel darah atau serum juga telah dikembangkan.
4. Diagnosa Banding
Oleh karena bentuk bakterinya yang halus, maka Brucella dapat kelirukan dengan Campylobacter fetus, Bordetella bronchoseptica dan Yersinia enterolitica. Bakteri-bakteri tesebut bersifat Gram negatif seperti bakteri Brucella, C.fetus mempunyai bentuk koma, B.bronchiseptica bentuk batang dan Y.enterolitica bentuk kokoid.
Pada sapi keluron yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dikelirukan dengan C.fetus atau Trichomonas fetus. Keluron yang disebabkan C.fetus dapat terjadi setiap waktu, T.fetus terjadi pada kebuntingan sangat dini, sedang oleh Brucella terjadi pada Iebih dari 6 bulan kebuntingan.
Penyakit ini pada babi dapat dikelirukan dengan keluron yang disebabkan oleh Leptospira pomonai. Keduanya dapat dibedakan secara serologis, selain itu, L.pomona tidak menyebabkan orchitis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Semua specimen ditempatkan ke dalam wadah yang berisi bahan pendingin atau bila memungkinkan dibekukan dan segera dikirim ke laboratorium veteriner setempat. Bila keadaan tersebut tidak memungkinkan maka spesimen dapat dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan pengawet (phosphat buffer gliserin, larutan gliserin, garam faali 50%). Wadah tersebut harus tidak mudah pecah atau bocor.
Pada setiap specimen yang dikirimkan dalam surat pengantarnya harus disertai keterangan tentang status vaksinasi (kapan divaksinasi /tidak divaksinasi /tidak diketahui). Bahan yang diambil untuk pemeriksaan dapat berupa:
a. Sampel Susu: contoh susu harus diambil dari semua kwartir, karena tidak semua kwartir mengandung Brucella. Untuk masing-masing kwartir diambil 20 ml contoh susu. Sebelum pengambilan spesimen, seluruh ambing harus dicuci dengan bersih dan dikeringkan terlebih dahulu. Ujung puting susu kemudian disuci hamakan dengan alkohol menggunakan kapas bertangkai (cotton swab) dan dibiarkan kering. Puting yang terletak jauh dari operator disuci hamakan terlebih dahulu. Pengambilan contoh dilakukan pada puting yang paling dekat pengan operator.
Pancaran susu pertama dan kedua harus dibuang, baru kemudian pancaran berikutnya ditampung di dalam tabung atau botol plastik yang steril. Susu dikirimkan ke laboratorium dalam keadaan dingin.
b. Sampel vagina: Pengambilan contoh sampel dari vagina dilakukan 6 minggu setelah kelahiran atau keluron. Untuk pengambilan sampel dari vagina domba atau kambing digunakan kapas bertangkai (cotton swab). Kapas bertangkai tersebut dimasukkan kedalam tabung steril Perlu diusahakan agar bagian kapasnya dapat mengambil lapisan mukosa vagina.
c. Darah untuk kultur: Apabila mengambil darah dari hewan yang masih hidup perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencemaran. Darah biasanya diambil dari vena jugularis dan daerah itu harus dicukur bersih dan hilangkan lemak-lemak yang ada dengan cara menggosok dengan kapas yang dicelup didalam ether atau alkohol. Kemudian tempat itu disuci hamakan dengan larutan jodium tinctur. Dibiarkan beberapa menit sampai kering, kemudian sebanyak 10 ml darah diambil dari vena jugularis dengan ”vacutainer” atau spuit biasa. Darah dicampur dengan antikoagulan dan harus segera dipindahkan ke dalam media biakan.
d. Darah untuk pemeriksaan serologis: Untuk pemeriksaan serologis dapat diambil darah sebanyak 10 ml dengan perlakuan yang sama seperti poin c, dan dibiarkan membeku. Untuk mencegah pembusukan dapat ditambah larutan merthiolate 0,01 %.
e. Plasenta: Pada keluron yang disebabkan oleh brucellosis banyak ditemukan bakteri pada plasenta. Diusahakan untuk mengambil kotiledon yang terlihat mengalami perubahan yang sangat signifikan. Bahan ini dapat dibuat preparat ulas atau sentuh yang harus difiksasi dengan metanol.
f. Fetus abortus: Sampel fetus abortus yang paling baik untuk pemeriksaan antara lain isi lambung, paru, limpa dan mikonium (feses yang pertama keluar pada pedet). Isi lambung dapat diambil dengan pipet pasteur steril melalui permukaan dinding lambung kemudian ditempatkan ke dalam wadah steril atau ke media transport langsung dikirim ke laboratorium veteriner.
Sampel untuk masing-masing spesies hewan
a. Sapi: LgI. supramamaria, retropharyngealis, iliaca interna, dan lumbal, limpa, tenunan dari tiap kwarter ambing dan sepotong uterus.
b. Domba dan kambing :
Lgl. supramamaria, submaxilaris atau
retropharyngealis, dan iliaca interna, potongan dari uterus, ambing dari
tiap-tiap sisi, potongan limpa.
c. Babi: Lgl mandibularis, gastrohepatica, iliaca interna, dan suprapharyngealis. Untuk mengambil limfoglandula atau bagian dari organ, tenunan sekitar ambing disterilkan. Kemudian sampel dikirim ke laboratorium veteriner.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Belum ada obat yang efektif terhadap penyakit brucellosis.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan:
a. Pelaporan
c. Babi: Lgl mandibularis, gastrohepatica, iliaca interna, dan suprapharyngealis. Untuk mengambil limfoglandula atau bagian dari organ, tenunan sekitar ambing disterilkan. Kemudian sampel dikirim ke laboratorium veteriner.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Belum ada obat yang efektif terhadap penyakit brucellosis.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan:
a. Pelaporan
Pelaporan kejadian penyakit atau hasil pengujian
brucellosis harus dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku.
b. Pencegahan
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada tindakan sanitasi dan tata laksana :
(1) Faktor sanitasi merupakan unsur penting dalam program pencegahan brucellosis.
Tindakan sanitasi dilakukan sebagi berikut:
a) Sisa sisa abortus yang bersifat infeksius disuci hamakan dengan membakar fetus dan plasenta dan vagina yang mengeluarkan cairan harus diirigasi (disinfektan /antibiotik) selama 1 minggu, disinfektan yang dapat dipakai yaitu phenol, kresol, amonium kuaterner, biocid dan lisol.
b) Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami keluron. Apabila pejantan mengawini betina tersebut, maka penis dan preputium disucihamakan, anak yang lahir dari induk penderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ernak lain yang sehat. Kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicucihamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
(2) Ternak pengganti yang tidak punya sertifikat "bebas brucellosis” dapat dimasukkan apabila setelah dua kali uji serologis dengan waktu 30 hari memberikan hasil negatif.
Ternak pengganti yang mempunyai ”sertifikat bebas brucellosis” dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari setelah dimasukkan ke dalam kelompok ternak.
Pengawasan Ialu lintas ternak:
Pengawasan Ialu lintas ternak harus dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ke daerah lain yang lebih luas.
c. Pengendalian dan pemberantasan
Untuk melaksanakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis tindakan administrasi yang dijalankan oleh Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan adalah :
(1) Mengadakan klasifikasi kelompok ternak
(2) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemberantasan brucellosis
(3) Pemberian sertifikat bebas brucellosis
(4) Pemberian tanda pengenal bagi ternak yang divaksinasi dan reaktor
Klasifikasi kelompok ternak adalah sebagai berikut:
(1) Kelompok ternak bebas brucellosis
Kelompok ternak bebas brucellosis memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berada di bawah pengawasan dokter hewan berwenang
2. Bebas reaktor
3. Di dalam kelompok ternak tersebut tidak terdapat gejala brucellosis selama 6 bulan
4. Apabila ada pemasukan hewan baru, harus melalui 2 kali uji serologi dalam selang waktu 30 hari dan memberikan hasil negatif.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
Kelompok ternak tertular ringan yaitu apabila di dalam kelompok ternak ini didapatkan reaktor sebesar paling tinggi 5% dan berada di bawah pengawasan dokter hewan berwenang.
(3) Kelompok ternak tertular parah
Kelompok ternak tertular parah yaitu apabila di dalam kelompok hewan ternak ini didapatkan reaktor di atas 5% dan berada dibawah pengawasan dokter hewan berwenang.
Kelompok ternak dapat dikatakan bebas reaktor apabila telah dilakukan pengujian sebagai berikut:
a) Sapi perah
1) Dilakukan tiga kali Milk Ring Test (MRT) dengan selang waktu 4 bulan dan memberikan hasil negatif.
2) Dalam waktu 6 bulan setelah MRT terakhir dilakukan uji serologis dan memberikan hasil negatif.
b) Sapi potong
Dilakukan uji serologis dua kali dengan selang waktu 30 hari dan memberikan hasil negatif.
c) Babi
Dilakukan dua kali uji serologis dalam selang waktu 30-90 hari yang berlaku pada seluruh kelompok ternak, termasuk juga hewan- hewan berumur 6 bulan atau lebih yang tidak boleh memberikan titer aglunitasi 1 : 1000 atau lebih.
Dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit keluron menular diadakan tindakan sebagai berikut:
(1) Standarisasi diagnosa brucellosis baik metoda, reagen maupun cara diagnostiknya.
(2) Penentuan daerah-daerah tertular dan bebas brucellosis.
(3) Penentuan kelompok hewan bebas atau tertular brucellosis.
(4) Penentuan kebijakan penggunaan vaksin brucellosis.
(5) Pemberian sertifikat untuk kelompok ternak yang bebas brucellosis. (6) Pembebasan daerah sumber bibit dan daerah kelompok ternak yang
b. Pencegahan
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada tindakan sanitasi dan tata laksana :
(1) Faktor sanitasi merupakan unsur penting dalam program pencegahan brucellosis.
Tindakan sanitasi dilakukan sebagi berikut:
a) Sisa sisa abortus yang bersifat infeksius disuci hamakan dengan membakar fetus dan plasenta dan vagina yang mengeluarkan cairan harus diirigasi (disinfektan /antibiotik) selama 1 minggu, disinfektan yang dapat dipakai yaitu phenol, kresol, amonium kuaterner, biocid dan lisol.
b) Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami keluron. Apabila pejantan mengawini betina tersebut, maka penis dan preputium disucihamakan, anak yang lahir dari induk penderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ernak lain yang sehat. Kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicucihamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.
(2) Ternak pengganti yang tidak punya sertifikat "bebas brucellosis” dapat dimasukkan apabila setelah dua kali uji serologis dengan waktu 30 hari memberikan hasil negatif.
Ternak pengganti yang mempunyai ”sertifikat bebas brucellosis” dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari setelah dimasukkan ke dalam kelompok ternak.
Pengawasan Ialu lintas ternak:
Pengawasan Ialu lintas ternak harus dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ke daerah lain yang lebih luas.
c. Pengendalian dan pemberantasan
Untuk melaksanakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis tindakan administrasi yang dijalankan oleh Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan adalah :
(1) Mengadakan klasifikasi kelompok ternak
(2) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemberantasan brucellosis
(3) Pemberian sertifikat bebas brucellosis
(4) Pemberian tanda pengenal bagi ternak yang divaksinasi dan reaktor
Klasifikasi kelompok ternak adalah sebagai berikut:
(1) Kelompok ternak bebas brucellosis
Kelompok ternak bebas brucellosis memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berada di bawah pengawasan dokter hewan berwenang
2. Bebas reaktor
3. Di dalam kelompok ternak tersebut tidak terdapat gejala brucellosis selama 6 bulan
4. Apabila ada pemasukan hewan baru, harus melalui 2 kali uji serologi dalam selang waktu 30 hari dan memberikan hasil negatif.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
Kelompok ternak tertular ringan yaitu apabila di dalam kelompok ternak ini didapatkan reaktor sebesar paling tinggi 5% dan berada di bawah pengawasan dokter hewan berwenang.
(3) Kelompok ternak tertular parah
Kelompok ternak tertular parah yaitu apabila di dalam kelompok hewan ternak ini didapatkan reaktor di atas 5% dan berada dibawah pengawasan dokter hewan berwenang.
Kelompok ternak dapat dikatakan bebas reaktor apabila telah dilakukan pengujian sebagai berikut:
a) Sapi perah
1) Dilakukan tiga kali Milk Ring Test (MRT) dengan selang waktu 4 bulan dan memberikan hasil negatif.
2) Dalam waktu 6 bulan setelah MRT terakhir dilakukan uji serologis dan memberikan hasil negatif.
b) Sapi potong
Dilakukan uji serologis dua kali dengan selang waktu 30 hari dan memberikan hasil negatif.
c) Babi
Dilakukan dua kali uji serologis dalam selang waktu 30-90 hari yang berlaku pada seluruh kelompok ternak, termasuk juga hewan- hewan berumur 6 bulan atau lebih yang tidak boleh memberikan titer aglunitasi 1 : 1000 atau lebih.
Dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit keluron menular diadakan tindakan sebagai berikut:
(1) Standarisasi diagnosa brucellosis baik metoda, reagen maupun cara diagnostiknya.
(2) Penentuan daerah-daerah tertular dan bebas brucellosis.
(3) Penentuan kelompok hewan bebas atau tertular brucellosis.
(4) Penentuan kebijakan penggunaan vaksin brucellosis.
(5) Pemberian sertifikat untuk kelompok ternak yang bebas brucellosis. (6) Pembebasan daerah sumber bibit dan daerah kelompok ternak yang
bebas brucellosis.
Teknis pengendalian dan pemberantasan dilaksanakan sebagai berikut:
Teknis pengendalian pada sapi dan babi dapat dilakukan dengan pembagian dalam kelompok berdasarkan berat ringannya penyakit. Sapi dan babi masing-masing dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Sapi
(1) Kelompok ternak tertular parah
a) “Test and slaughter” tidak dianjurkan untuk kelompok ini.
b) Dilakukan program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu. Vaksinasi hanya dilakukan pada sapi dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
c) Pada akhir program vaksinasi dilakukan uji serologis. Bila ternyata masih terdapat reaktor, maka reaktor itu harus dikeluarkan dan dipotong.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
a) Dilakukan uji serologis untuk penentuan reaktor.
b) Reaktor harus dikeluarkan dan dipotong (test and slaughter)
c) Pengeluaran reaktor diikuti oleh program vaksinasi pada sapi dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
(3) Kelompok ternak bebas brucellosis
a) Dilakukan uji serologis setiap tahun.
b) Bila ternyata hasilnya negatif, tidak dilakukan vaksinasi.
c) Bila ditemukan reaktor, maka reaktor ini harus dikeluarkan dan diikuti oleh program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu.
Babi
(1) Kelompok ternak tertular ringan
a) Pada ternak tertular Dilakukan ”test and slaughter”.
b) Penggantian ternak bibit hanya terbatas pada babi dara pemacek dan dilakukan uji serologis selama 30 hari memberikan hasil negatif.
c) Hanya anak-anak babi yang berasal dari induk bebas brucellosis yang dapat digunakan sebagai ternak bibit.
(2) Kelompok ternak tertular parah
a) Untuk kelompok ternak dilakukan ”test and slaughter”.
b) Ternak pengganti yang dimasukkan harus berasal dari kelompok ternak bebas brucellosis.
c) Vaksinasi tidak dilakukan karena sampai saat ini belum ada vaksin yang dapat melindungi babi terhadap brucellosis.
Perlakuan Pemotongan Hewan Dan Daging:
Dari uji penyebaran penyakit dan terutama untuk aspek kesehatan masyarakat, maka hewan hewan yang telah ditentukan sebagai reaktor dalam program test and slaughter harus dipotong. Pemotongan tersebut harus memperhatikan faktor yang memungkinkan tercemarnya lingkungan harus dicegah, untuk daerah enzootik dilakukan pada tempat tertentu. Tempat pemotongan hewan harus segera dibersihkan dan disucihamakan.
Pada pemotongan hewan penderita atau tersangka perlu diperhatikan adanya cairan eksudat dan sarang nekrosa pada organ visceralnya. Dalam keadaan demikian seluruh organ visceral, limflogandula dan tulang harus dimusnahkan dan dagingnya boleh dijual setelah mengalami pelayuan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.
Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Direktur Kesehatan Hewan 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University. Press Ames.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Di sadur oleh Drh Giyono Trisnadi, Naskah Asli: Brucellosis dari MANUAL PENYAKIT HEWAN MAMALIA Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
Teknis pengendalian dan pemberantasan dilaksanakan sebagai berikut:
Teknis pengendalian pada sapi dan babi dapat dilakukan dengan pembagian dalam kelompok berdasarkan berat ringannya penyakit. Sapi dan babi masing-masing dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Sapi
(1) Kelompok ternak tertular parah
a) “Test and slaughter” tidak dianjurkan untuk kelompok ini.
b) Dilakukan program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu. Vaksinasi hanya dilakukan pada sapi dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
c) Pada akhir program vaksinasi dilakukan uji serologis. Bila ternyata masih terdapat reaktor, maka reaktor itu harus dikeluarkan dan dipotong.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
a) Dilakukan uji serologis untuk penentuan reaktor.
b) Reaktor harus dikeluarkan dan dipotong (test and slaughter)
c) Pengeluaran reaktor diikuti oleh program vaksinasi pada sapi dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
(3) Kelompok ternak bebas brucellosis
a) Dilakukan uji serologis setiap tahun.
b) Bila ternyata hasilnya negatif, tidak dilakukan vaksinasi.
c) Bila ditemukan reaktor, maka reaktor ini harus dikeluarkan dan diikuti oleh program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu.
Babi
(1) Kelompok ternak tertular ringan
a) Pada ternak tertular Dilakukan ”test and slaughter”.
b) Penggantian ternak bibit hanya terbatas pada babi dara pemacek dan dilakukan uji serologis selama 30 hari memberikan hasil negatif.
c) Hanya anak-anak babi yang berasal dari induk bebas brucellosis yang dapat digunakan sebagai ternak bibit.
(2) Kelompok ternak tertular parah
a) Untuk kelompok ternak dilakukan ”test and slaughter”.
b) Ternak pengganti yang dimasukkan harus berasal dari kelompok ternak bebas brucellosis.
c) Vaksinasi tidak dilakukan karena sampai saat ini belum ada vaksin yang dapat melindungi babi terhadap brucellosis.
Perlakuan Pemotongan Hewan Dan Daging:
Dari uji penyebaran penyakit dan terutama untuk aspek kesehatan masyarakat, maka hewan hewan yang telah ditentukan sebagai reaktor dalam program test and slaughter harus dipotong. Pemotongan tersebut harus memperhatikan faktor yang memungkinkan tercemarnya lingkungan harus dicegah, untuk daerah enzootik dilakukan pada tempat tertentu. Tempat pemotongan hewan harus segera dibersihkan dan disucihamakan.
Pada pemotongan hewan penderita atau tersangka perlu diperhatikan adanya cairan eksudat dan sarang nekrosa pada organ visceralnya. Dalam keadaan demikian seluruh organ visceral, limflogandula dan tulang harus dimusnahkan dan dagingnya boleh dijual setelah mengalami pelayuan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.
Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Direktur Kesehatan Hewan 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University. Press Ames.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.
Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Di sadur oleh Drh Giyono Trisnadi, Naskah Asli: Brucellosis dari MANUAL PENYAKIT HEWAN MAMALIA Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar