Toksoplasmosis (Toksoplasma) adalah
salah satu penyakit
zoonosis yang banyak
dijumpai di hampir seluruh
dunia dan menyerang
berbagai jenis mamalia,
termasuk satwa exotics dan hewan berdarah panas lainnya. Kasus
toxoplasmosis juga banyak terjadi pada manusia bahkan disebut sebagai
opportunistic diseases pada immuno- compromise patients.
Penyakit ini mempunyai dampak ekonomis yang penting karena mampu menimbulkan penuruan produksi, gangguan pertumbuhan dan fertilitas, termasuk abortus. Biaya pengobatan yang tinggi dan penurunan kualitas sumber daya manusia merupakan kerugian lain yang juga harus dipertimbangkan.
Sampai saat ini,
toxoplasmosis masih menjadi perhatian dikalangan dunia peternakan maupun
kesehatan manusia. Di Indonesia, kasus toxoplasmosis pada hewan berkisar antara
6 – 70%, sedangkan pada manusi lebih tinggi, yaitu antara 43-88%. Pemahaman
masa lalu yang diyakini bahwa penyakit ini hanya akan menimbulkan gejala klinis
pada individu yang memiliki respon imun yang rendah, tetapi anggapan ini
terbantahkan dengan adanya bukti bahwa pada individu yang immunokompeten
(sistem imun dapat berespon optimal) dapat menunjukkan manifestasi klinis yang
jelas. Kondisi ini dimungkinkan karena patogenitas agen penyakitnya sangat
variatif dan tergantung dari klonet atau tipenya.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit
toxoplasmosis adalah Toxoplasma gondii yang bersifat parasit intraselular
obligat (Gambar 1). Nama Toxoplasma berasal dari kata toxon (bahasa Yunani)
yang berarti busur (bow) yang mengacu pada bentuk sabit (crescent shape) dari
takizoit. Adapun gondii berasal dari kata Ctenodactylus gondii, seekor rodensi
dari Afrika utara dimana parasit tersebut pertama kali ditemukan pada tahun
1908. Toxoplasma gondii termasuk anggota filum Apicomplexa, kelas Sprozoa,
subkelas Coccidia, dan subordo Eimeria. Protoza ini mampu menginfeksi semua sel
berinti, termasuk makrofag yang seharusnya berfungsi memfagositosis dan
mengeliminasi pathogen.
Gambar 1. Takizoit yang
berada didalam sel (intraseluler, pembesaran 1000X)
(Sumber: Koleksi :
Tolibin Iskandar, Bbalitvet)
EPIDEMIOLOGI
1. Siklus hidup
Secara garis
besar, siklus hidup
T. gondii terbagi atas
dua siklus, yaitu seksual
(schizogoni) dan aseksual (gametogoni). Kedua siklus hidup ini terjadi pada
inang definitif (famili Felidae) sedangkan pada inang perantara (burung dan
mamalia, termasuk manusia) hanya terjadi siklus hidup secara aseksual. Siklus
hidup seksual terjadi karena adanya peleburan gamet yang masing-masing berisi
kromosom haploid, sedangkan pada siklus aseksual hanya terjadi pembelahan
vegetatif, yaitu organisme berkembang dengan membelah diri.
Perkembangan T.gondii
pada inang definitif
terjadi di enteroepitelial dan esktraintestinal. Adapun
pada mamalia dan inang antara lainnya, protoza ini hanya mengalami satdium
aseksual di enteroepitelial dan ekstraintestinal. Adanya bentuk enteroepitelial
mengindikasikan bahwa siklus hidup terjadi didalam sel epitel usus, sedangkan
bentuk ekstraintestinal menunjukkan adanya siklus hidup diluar sel epitel usus.
Di dalam sel epitel
usus induk semang definitif, protozoa mengalami proliferasi dan membentuk
oosista yang dikeluarkan bersama feses kucing. Dalam inang perantara, terdapat
dua stadium T.gondii, yaitu takizoit yang dapat menimbulkan infeski akut dan
bradizoit yang berada didalam sista jaringan inang serta akan menetap seumur
hidup atau dormant di dalam sel inang. Bradizoit atau sporozoit yang tahan
terhadap pH asam dan enzim pencernaan akan masuk ke dalam sel-sel epitel usus
dan beberapa jam kemudian menjadi takizoit.
Selanjutnya, enterosit atau limfosit intra epitel usus halus diinvasi
oleh takizoit dan kemudian menembus lamina propria dan pada akhirnya menginvasi
sel-sel lain disekitarnya.
2. Patogenitas
Walaupun takizoit
dilaporkan mampu menginfeksi hampir
semua jenis sel berinti dari berbagai jenis hewan dan manusia, bahkan
insekta, tetapi terdapat beberapa jenis sel dan organ yang paling sering
diinfeksi oleh takizoit ini, tergantung pada rute infeksi dan jenis inangnya.
Takizoit merupakan stadium parasit yang dapat membelah dengan cepat (sekitar 6-8 jam pasca infeksi)
dan selama fase akut mampu menginfeksi semua sel yang berinti, kemudian
berkembang biak dengan cara endodiogeni.
Infeksi akut
ditandai dengan replikasi
takizoit yang sangat
cepat. Takizoit dengan cepat akan menyebar melalui saluran limfe ke
kelenjar limfe atau melalui darah ke hati, menuju paru, dan kemudian beredar ke
seluruh tubuh. Adapun pada infeksi laten, replikasi takizoit melambat,
sedangkan bradizoit mengalami perkembangan dan terjadi pembentukan sista
jaringan yang merupakan awal dari dormansi parasit. Diferensiasi dari takizoit
ke bradizoit terjadi dengan dimulainya pembentukan kekebalan protektif.
Proses masuknya
takizoit ke dalam
sel target merupakan
proses yang aktif dan sangat singkat, yaitu sekitar 15-30 detik.
Sebaliknya, proses fagositosis memerlukan waktu 2-4 menit. Proses penetrasi ini
melibatkan tiga tahap yang berjalan secara integratif, yaitu perlekatan,
penetrasi aktif dan pembentukan vakuola parasitoforus yang akan membentuk
dinding sista. Selama proses invasi ke dalam sel tersebut, sejumlah protein ES
(excretory secretory) antara lain, roptri (ROP), mickronema (MIC) dan granula
(GRA) yang dicurahkan sejak dimulainya perlekatan.
Akibat adanya
infeksi dan invasi
T.gondii menyebabkan terjadinya kerusakan masif dari jaringan
atau organ target. Infeksi dengan dosis tinggi dan rendah menggunakan takizoit
T.gondii galur RH dilaporkan mampu menyebabkan kerusakan jaringan dalam waktu
yang singkat terutama pada leukosit. Diperkirakan awal terjadinya deplesi dan
destruksi masif tersebut dimulai sejak hari pertama infeksi dan terns berlanjut
sampai periode waktu tertentu. Proses destruksi jaringan ini disebabkan adanya
siklus litik (lytic cycle) selama perkembangan aseksual. Pada saat takizoit
menginfeksi set di dalam vakuola parasitoforus, maka proses perkembangan secara
vegetatif dimulai. Proses pembelahan diri takizoit dikenal dengan nama
endodyogoni ataupun poliendodyogoni. Saat ini dilaporkan bahwa dalam periode yang sama pada saat sel
hancur atau lisis jumlah takizoit yang dihasilkan dapat mencapai 256 takizoit
baru atau lebih. Periode tersebut sama dengan periode dimana satu sel akan
membelah secara mitosis menjadi dua sel. Oleh karena kecepatan replikasi
takizoit yang demikian cepat dibanding kemampuan sel untuk bermitosis maka
kerusakan yang terjadi semakin lama semakin berat dan meluas.
3. Spesies rentan
Semua spesies rentan
terhadap T.gondii termasuk manusia.
4. Pengaruh lingkungan
Oosista ditanah atau
lingkungan yang sesuai (shuhu 24oC) akan bersporulasi atau mengalami pemasakan
menjadi oosista infektif dalam
waktu 2 – 3 hari.
5. Sifat Penyakit
Dapat besifat
akut dan kronis
tergantung dari galur
T.gondii dan induk semangnya.
6. Cara Penularan
Bentuk infektif
dari T.gondii adalah
takizoit atau tropozoit
yang terdapat dalam cairan tubuh, bentuk kedua adalah bradizoit atau
sista yang terdapat didalam jaringan (Gambar 2) dan bentuk ketiga adalah
sporozoit yang terdapat didalam oosista (Gambar 3). Bentuk sista banyak
ditemukan pada organ, terutama otak, otot skelet dan jantung. Cacing
tanah,kecoa dan tikus dapat berperan sebagai sumber penular toxoplasma tanpa
kehilangan virulensinya.
Gambar 2. Kista dalam
jaringan (pembesaran 1000X) – (Sumber: koleksi Tolibin Iskandar, Bbalitvet)
Gambar 3. Oosista
T.gondii yang mengandung 2 sporozoit - (Sumber: Koleksi Tolibin
Iskandar-Bbalitvet)
Penyebaran toxoplasmosis dapat
disebabkan karena
pola hidup yang kurang higenis,
seperti kebiasaan makan dengan tangan dan makan daging setengah matang yang
mengandung sista, tertelannya oosista infektif atau infeksi transplasenta dari
induk ke fetus. Penularan dapat juga terjadi
melalui transfusi darah (tropozoit), transplantasi organ atau cangkok jaringan
(tropozoit, sista) dan kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan T.gondii
masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka. Hewan lain sebagai
inang perantara seperti burung, ayam, tikus, anjing, domba, kambing dan sapi
berpotensi untuk menularkan toxoplasmosis ke manusia.
Faktor resiko
yang dapat meningkatkan terjadinya
penularan pada manusia, antara
lain kebiasaan makan sayuran mentah dan buah-buahan yang dicuci kurang bersih,
kebiasaan makan tanpa cuci tangan terlebih dahulu, mengkonsumsi makanan dan
minuman yang disajikan tanpa ditutup, sehingga membuka jalan terjadinya
kontaminasi ookista.
7. Distribusi Penyakit
a. Kejadian di
Indonesia
Dinamika kasus
toxoplasmosis baik pada
hewan maupun pada manusia di Indonesia cukup sulit
diikuti secara tepat karena surveilen yang reguler tidak diprogramkan dengan
terencana. Data yang ada saat ini memperlihatkan bahwa kasus toxoplasmosis pada
hewan di Indonesia sangat bervariasi. Data-data tersebut tidak dapat digunakan
sebagai bahan komparatif antar
wilayah karena secara
teknis epidemiologis tidak
sebanding. Prevalensi toxoplasmosis pada kucing berkisar antara
5,56%-40%, pada kambing
23,5 – 60%, pada domba 32,18-71,97%, pada sapi 36,4%, pada kerbau 27,3%, pada
ayam 19,6-24%, pada itik
6,1% dan pada babi
28-32%. Secara kumulatif, kasus toxoplasmosis pada manusia secara serologis
diatas 40% (sangat tinggi). Laporan lain menyebutkan bahwa 60% dari pemeriksaan
antibodi pada donor darah di Jakarta mengandung antibodi terhadap T. gondii.
b. Distribusi geografis
Penyakit toxoplasmosis
tersebar luas diseluruh dunia. Di Asia, data prevalensi toxoplasmosis dari
kucing berdasarkan uji serologis sebagai berikut : Jepang 19%, Korea Selatan
13%, Taiwan 8%, Singapore 31% sedangkan di Indonesia belum memiliki data.
PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis
toxoplasmosis pada manusia
bersifat non spesifik
atau sering kali tidak menimbulkan manifestasi klinis yang jelas. Masa
inkubasi toxoplasmosis sekiatr 2-3 minggu. Gejala yang muncul merupakan gejala
umum biasa, antara lain demam, pembesaran kelenjar linfe di leher bagian
belakang. Apabila infeksi mengenai susunan syaraf pusat maka akan menyebabkan
encephalitis (toxoplasma ceebralis akut). Parasit yang masuk ke dalam otot jantung
mengakibatkan terjadinya peradangan. Adapun lesi pada mata akan mengenai
khorion dan rentina sehingga menimbulkan irridosklitis dan khorioditis
(toxoplasmosis ophithal mica akuta). Bayi dengan toxoplamosis kongenital akan
lahir sehat tetapi dapat pula timbul gambaran eritroblastosis foetalis dan
hidrop foetalis.
2. Patologi
Penderita toxoplasmosis umumnya
menunjukkan adanya nodul-nodul nekrosa dalam paru-paru, hati,
limpa, dan ginjal. Sel-sel disekitar nodul tersebut mengandung toxoplasmosis
yang tergabung dalam koloni-koloni terminal (Pseudo-cysts) atau parasit-parasit
itu terletak bebas dalam jaringan- jaringan. Parasit ini juga banyak dijumpai
didalam sel-sel pada pinggir ulkus- ulkus usus.
Didalam jaringan
otak, parasit-parasit ditemukan
didalam sel-sel glia atau neuron sebagai paraasit-parasit
intra selluler dalam bentuk koloni-koloni terminal (pseudo cysts). Umumnya
reaksi radang jelas terlihat, sebagai gliosis, mikroglia, atan
astrosit-astrosit. Disamping itu dijumpai sel-sel limfosit dalam ruang virchow
robin dan terjadi nekrosa lokal pada jaringan otak. Perubahan-perubahan ini
paling banyak terdapat dalam cortex cerebralis. Protozoa ini juga dapat
dijumpai pada selaput otak.
Hati memperlihatkan adanya
perdarahan lokal, yaitu
gambaran degenerasi dan reaksi seluler disamping sarang-sarang nekrosa
tersebut di atas. Parasit-parasit dapat ditemukan didalam makrofag atau didalam
sel-sel hati. Adapun didalam limpa kadang-kadang dijumpai sel-sel reticulum dan
makrofag-makrofag. Parasit- parasit terlihat didalam miokard yakni didalam
makrofag-makrofag atau didalam miofibril. Serabut-serabut otot mengalami
degenerasi.
Toxoplasmosis sekali-sekali ditemukan di
dalam mata anjing. Disamping itu juga memperlihatkan
gejala renitis, neuritis. Pada unggas, toxoplasmosis otak merupakan
perubahan-perubahan yang sering terlihat.
Umumnya pada
anjing yang menderita
toxoplasmosis ditemukan
eksudat serosanguinous pada
rongga tubuh, terdapat
nodul-nodul kecil pada paru-paru,
terjadi pembengkakan limfoglandula regional, pada usus terdapat tukak kecil
terutama pada duodenum dan anus. Perivascular cuffing ditemukan di serebrum dan
medula spinalis, sista ditemukan di otot, paru- paru, limps, dan jantung. Pada
kucing, pneumonia terjadi lebih intensif, rongga alveoli berisi fibroblast,
sehingga konsistensinya berubah menjadi seperti paru-paru janin. Dari luar,
paru-pans terlillat nekrotik yang tersebar dalam satu atau beberapa lobus.
Anak-anak kucing yang induknya diinokulasi Toxoplasma pada saat bunting
menunjukkan multifocal granulomatous encephalitis, miokarditis, miositis dan
pneumonia interstitialis. Pada domba, sista ditemukan dalam otak bersamaan
dengan adanya pembendungan dan infitrasi sel-sel perivascular cuffing.
Toksoplasmosis pada sapi menunjukkan pembesaran limfoglandula submaksillaris,
pneumonia hemorhagika dan kalsifikasi dinding pembuluh darah.
3. Diagnosa
Pengenal hewan
yang menderita toxoplasmosis
sangat sulit karena tidak memberikan gejala klinis yang
jelas. Diagnosis dini dapat ditegakkan dengan melakukan uji serologis untuk
mendeteksi adanya antibodi (IgM atau IgG) baik secara indirect haemaglutination
assay (IHA), direct ggutination test (DAT), inhibition fluorescent assay (IFA)
atau enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kit diagnosa cepat lainnya
untuk penyakit ini adalah Field ELISA (FELISA) dan PCR.
4. Diagnosa Banding
Keguguran yang
diakibatkan oleh toxoplasmosis pada
kambing dan domba seringkali sulit dibedakan dengan keguguran akibat
infeksi dengan Chlamydophila abortus, Coxiella burnetii, Brucella melitensis,
Caprine dan Ovine brucellosis, Campylobacter fetus fetus, Salmonella spp,
Border disease, Bluetongue, Wesselsbron’s disease dan penyakit akabane. Pada
babi, sering juga sulit dibedakan pada kasus abortus karena Brucella suis.
Beberapa litratur juga menyebutkan bahwa gejala toxoplasmosis mirip dengan
distemper (anjing dan kucing), sistemik mikosis (histoplasmosis,
cryptococcosis) dan Neospora caninum.
5. Pengambilan dan
Pengiriman spesimen
Sampel pada
kambing atau domba
yang keguguguran diambil dari kotiledon plasenta atau
jaringan otak. Sampel jangan disimpan dalam frezer karena dapat membunuh
parasitnya. Sebanyak 2-5 gr kotiledon atau jaringan otak per sampel,
selanjutnya dimasukkan ke dalam PBS (Phosphate Buffered Saline) dengan pH 7.4
yang ditambah antibiotik (100 IU/ml penicillin dan 745 IU/ml streptomycin).
Sampel dapat dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa dan diinokulasi ke mencit.
Pengambilan sampel
dapat juga dilakukan
di rumah potong
hewan (RPH) dengan cara melakukan pemotongan pada otot diagframa sekitar
10 gr. Potongan tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan di
termos dingin (6oC) atau lemari pendingin 4oC, selanjutnya dibawa ke
laboratorium.
Sampel juga
dapat diperoleh dari
tinja kucing. Sebanyak
10 gr tinja diambil dan dimasukkan ke plastik,
kemudian disimpan di lemari pendingin
4oC untuk pemeriksaan
lebih lanjut di laboratorium.
PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pada ternak
pengobatan yang dilakukan
adalah dengan pemberian preparat Clindamycin dengan dosis
25-50 mg/kg berat badan per hari dibagi menjadi 2 dosis, yaitu pagi dan sore
diberikan secara per oral. Pengobatan ini diberikan sampai 2 minggu setelah gejala
klinis hilang. Preparat yang lain adalah Sulfidazine dengan dosis 30 mg/kg berat
badan diberikan per oral setiap 12 jam . Bersama-sama dengan pemberian
pyrimethamine 0,5 mg/kg berat badan, dan untuk mengurangi gejala samping yang
timbul, maka pada waktu memberi makan perlu ditambahkan folinic acid 5 mg/hari
.
Obat toxoplasmosis yang
dilaporkan cukup efektif adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine yang mampu menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus
asam foist. Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari
selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama
sebulan. Namun demikian, obat ini mempunyai efek samping leukopenia dan
trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama
pengobatan. Trimetoprimn juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis
tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan
trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan
obat pilihan lain
walaupun kurang efektif tetapi efek sampingnya kurang bila
dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis spiramycin yang dianjurkan
ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa
peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan
spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2
minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga
ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang
lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
Vaksinasi Toxoplasmosis
yang saat ini
tersedia adalah vaksin
hidup untuk domba, misalnya di Belanda terdapa Toxovax, Intervet BV; di
New Zealand (Toxovax, Agvax, Ag Research). Saat ini vaksin-vaskin tersebut
telah mendapatkan lisensi untuk digunakan di UK, Irlandia, Perancis, Portugal
dan Spanyol. Vaksin ini akan menstimulasi immun protektif selama sekurang-
kurangnya 18 bulan pasca pemberian dosis tunggal dan mempunyai waktu efektif
yang pendek serta berpotensi mempunyai dampak immunosupresi.
2. Pelaporan,
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Tidak diperlukan laporan
kepada Dinas Peternakan maupun Dinas Kesehatan.
Namun dibeberapa negara
bagian Amerika wajib melaporkan
kejadian toksoplasmosis pada pihat terkait yang berfugsi untuk pemahaman lebih
lanjut terhadap epidemiologi penyakit ini. Hewan penderita tidak memerlukan
tindakan isolasi dan karantina. Imunisasi juga tidak diperlukan.
b. Pencegahan
Prinsip pencegahan
toxoplasmosis adalah dengan memutus rantai penularan, sehingga oosista maupun
sista tidak masuk ke dalam tubuh manusia maupun ternak. Dari cara penularan
toksoplasmosis ke manusia, dapat terlihat jelas bahwa jalan utama masuk
T.gondii ke dalam tubuh manusia adalah melalui mulut, atau dengan kata lain
melalui makanan
yang tercemar oleh
trofozoit, oosista atau sista. Adapun beberapa langkah pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain :
(1) Mencuci tangan
sebelum makan, menggunakan air dan sabun.
(2) Mencuci bersih
sayuran mentah, buah-
buahan, dan lalapan sebelum dikonsumsi. Usahakan mencuci
menggunakan air yang mengalir.
(3) Berkebun sebaiknya
memakai sarung tangan. Apabila terpaksa tidak memakai sarung tangan, sehabis
berkebun harus mencuci tangan dengan air dan sabun.
(4) Anak-anak sehabis
bermain dengan pasir/tanah harus mencuci tangan dengan air dan sabun.
(5) Mencegah kontaminasi
makanan terhadap lalat
dan kecoa. Usahakan makanan
selalu ditutup.
(6) Membiasakan diri
selalu cuci tangan dengan sabun setelah kontak dengan semua bahan yang mungkin
tercemari oleh ookista (daging, buah, sayur, dll).
(7) Setelah
membersihkan/mencuci daging, hati, otak mentah sebaiknya mencuci tangan dengan
sabun untuk menghindari kemungkinan ada trofozoit atau kista yang tertinggal
pada tangan.
(8) Ibu-ibu pemilik
kucing yang kebetulan
sedang mengandung sebaiknya
jangan membersihkan tempat kotoran kucing dan jangan membersihkan daging atau
jeroan yang akan dimasak.
(9) Tinja kucing dibakar
atau diberi antiseptic (tidak lebih dari 1-2 hari). (10) Kucing peliharaan sebaiknya
diberi makanan matang, untuk memotong siklus hidup T.gondii.
(11) Kepada pemilik
hewan terutama kucing hendaknya memeriksakan hewanya ke dokter hewan.
c. Pengendalian dan
Pemberantasan
Perlakuan Pemotongan
Hewan dan Daging
Daging hewan
yang menderita toksoplasmosis harus
dimasak dengan baik hingga matang untuk membunuh parasit ini, sehingga
aman untuk dikonsumsi,
DAFTAR PUSTAKA
- Artama WT 2007. Toxoplasmosis In Indonesia: Serologic and Biomolecular Diagnostic. Prosiding Simposium Nasional Parasitologi dan Penyakit Tropis, tgl. 25-26 Agustus 2007, Bali
- Artama WT, R Widayanti, A Haryanto, Sumartono, dan T Iskandar 2008.
- Prevalensi toxoplasmosis pada sapi, kambing dan domba di Indonesia.
- Artama WT 2009. Biologi molekuler Toxoplasma dan aplikasinya pada penanggulangan Toxoplasmosis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
- Iskandar T 1998. Pengisolasian Toxoplasma gondii dari otot diafragma seekor domba yang mengandung titer antibodi tinggi dan tanah-tinja dari seekor kucing. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (2): 111-116.
- Iskandar T, DT Subekti dan EF Diani 2006. Gambaran splenosit, limpa dan kekebalan pada mencit galur Balb/C yang diberi alantoin dan diinfeksi Toxoplasma gondii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 1074-1080.
- Iskandar T, A Husein dan S Widjajanti 2001. Isolasi penyebab Toxoplasma gondii dan Parasit lain dari feses kucing (Felidae). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 767-772.
- Iskandar T 2006. Pencegahan Toksoplasmosis melalui pola makan dan cara hidup sehat. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. 235-241.
- Iskandar T 2008. Penyakit Toksoplasmosis pada kambing dan domba di Jawa.
- Wartazoa. 18 (3): 157-166.
- Iskandar T 2009. Pengaruh pemberian alantoin dengan pirimetamin-sulfadoksin terhadap gambaran leukosit dan jumlah takizoit pada mencit yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 781-790.
- Lebrun M, Carruthers VB, and Cesbron-Delauw MF 2007. Toxoplasma secretory proteins and their roles in cell invasion and intracellular survival. In: Toxoplasma gondii the model apicomplexan: Perspectives and methods. Weiss, L.M. and Kim, K. (eds). Elsevier Ltd., Amsterdam.
- Mastra IK 2011. Prevalensi antibodi toxoplasmosis pada ayam buras di propinsi Bali. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner, Denpasar. 23 (79): 123-130.
- OIE. 2008. Toxoplasmosis.
- Pietkiewicz H, Hiszczynska-Sawicka E, Kur J, Petersen E, Nielsen HV, Paul M, Stankiewicz M, and Myjak P 2007. Usefulness of Toxoplasma gondii recombinant antigens (GRA1, GRA7 and SAG1) in an immunoglobulin G avidity test for the serodiagnosis of toxoplasmosis. Parasitol. Res. 100: 333–337.
- Priyana A 2000. Antibodi anti Toxoplasma pada ayam kampung (Gallus domesticus) di Jakarta. Maj. Kedokt. Indon. 50(11): 504-507.
- Subekti DT, ESP Sari, DR Widyastuti, R Haerlani, EF Diani, T Iskandar dan DR Laksmitawati 2005. Efek pemberian ekstrak etanol buah mengkudu pada mencit setelah diinfeksi Toxoplasma gondii galur RH. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (4): 305 – 314.
- Subekti DT dan NK Arrasyid 2006. Imunopatogenesis Toxoplasma gondii berdasarkan perbedaan galur. Wartazoa.16 (3): 128-145.
- Subekti DT, WT Artama, E Sulistyaningsih, SH Poerwanto, Y Sari dan F Bagaskoro 2008. Kloning dan analisis hasil kloning gen GRA1 dari Takizoit Toxoplasma gondii isolah lokal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 13 (1): 41 – 51.
- Subekti DT 2008. Tinjaun terhadap Toksoplasmosis dan resikonya pada manusia.
- Prosiding KIVNAS, Bogor 19-22 Agustus 2008. 369-373.
***Dari MANUAL PENYAKIT HEWAN
MAMALIA, Diterbitkan oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertanian. Alamat: Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu,
Jakarta 12550, Telp : (021)7815783, Fax: (021) 7815783
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar