Glanders adalah penyakit infeksius yang bersifat kronis yang dapat menyerang pada hewan berkuku satu (seperti kuda dll), dan jarang ditemukan pada hewan-hewan lainnya atau juga pada manusia. Nama lain penyakit ini adalah: Malleus, Boosaarddige Droes, Ingus Jahat.
A.
PENDAHULUAN
Penyakit ini mempunyai gejala penyakit yang spesifik
yaitu adanya formasi nodule fibrokaseous pada alat pernafasan bagian depan, paru-paru
dan kulit. Penyakit kebanyakan ditemukan di Asia, Eropa Timur, dan Afrika
Utara.
B. ETIOLOGI
Glanders disebabkan bakteri Pseudomonas mallei,
suatu bakteri Gram negatif, non motil, dan tidak membentuk spora, agak sedikit
resisten terhadap lingkungan, dan dapat bertahan hidup 2-3 bulan di luar tubuh.
Gambar 1. Pseudomonas mallei
(Original pictures from:
http://www.iranscs.blogfa.com/post-110.aspx)
Penyakit Glanders pernah dilaporkan di India,
Pakistan dengan tingkat insidensi rendah dan sporadik, serta di Mongolia telah
menyebar luas. Di Indonesia jarang terjadi.
C.
EPIDEMIOLOGI
1. Spesies
rentan
Bangsa
kuda umumnya terkena
dan kejadiannya kronik
tapi pada jenis keledai dan
Bagal (Mule) selalu berjalan akut. Kejadian pada manusia dan bangsa karnivora
jarang terinfeksi. Secara alami meskipun jarang terjadi bangsa sapi domba, babi
dan anjing dapat pula tertular. Untuk hewan-hewan percobaan jenis marmut dan
juga tikus putih amat rentan. Manusia bersifat rentan, pernah dilaporkan kematian
pada manusia akibat glanders, yaitu pada manusia-manusia yang terlibat secara
dekat dengan kuda yang tertular.
2. Pengaruh
Lingkungan
Bakteri Pseudomonas mallei
ada dalam eksudat
hidung dan ulserasi kulit dari
hewan yang terinfeksi, dan penyakit ini sering terjadi karena kontak atau
menelan makanan atau air yang terkontaminasi oleh cairan hidung hewan sakit.
Organisme ini rentan terhadap panas, cahaya, dan desinfektan, dan dapat
bertahan hidup di daerah tercemar selama lebih dari 1 tahun. Keadaan lembab,
dan kondisi basah mendukung kelangsungan hidup organisme. Kapsul polisakarida
yang dimilikinya merupakan faktor virulensi yang penting dan dapat meningkatkan
kelangsungan hidup di lingkungan.
3. Sifat
Penyakit
Pada keledai dan Bagal penyakit biasanya
berlangsung secara akut, dan berbentuk bronkopneumonia berat. Penularan ke
manusia hampir selalu berlangsung melalui kulit, dalam bentuk lesi lokal yang
nampak beberapa hari setelah penularan. Apabila penyakit berlanjut, biasanya
akan diikuti dengan adanya gejala intoksikasi, yang berupa demam yang tinggi
atau rendah, kehilangan napsu makan, kekurusan batuk, dan akhirnya terjadi
radang paru-paru yang kemudian diakhiri dengan kematian.
4. Cara
Penularan
Kuda yang tertular merupakan hewan reservoir
penyakit, dengan pola penularan melalui kontak langsung dan tidak langsung.
Penularan melalui kontak tidak langsung dapat terjadi melalui kantong pakan,
bak air minum, bahan pakan, tempat pakan, alas kandang, pakaian kuda, dan juga
pakaian kuda mempunyai peran penting dalam penyebaran penyakit.
Pada manusia, infeksi dapat terjadi melalui
kontaminasi pada saat pemotongan atau pencukuran bulu, atau juga dapat terjadi
pada mereka yang merawat secara langsung kuda-kuda yang sakit. Atau dengan kata
lain penularan terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi,
bakteri dapat masuk melalui lecet kulit, permukaan mukosa hidung dan mulut,
atau terhirup. Bangsa karnivora dapat terserang lewat makan karkas yang
terkontaminasi.
5. Faktor Predisposisi
Manusia
dapat terinfeksi ketika
mereka datang dan
kontak dengan hewan yang sakit
atau benda yang terkontaminasi. Penularan bakteri umumnya terjadi melalui luka
kecil di kulit. Kadang-kadang melalui menelan atau menghirup bakteri juga dapat
mengakibatkan terjadinya infeksi di antara manusia. Faktor predisposisi terjadinya
penyakit dapat disebabkan oleh
karena sanitasi dan hygiene yang kurang, adanya luka-luka pada kulit, dan kondisi
yang membuat kuda mudah terinfeksi seperti stres, kelelahan, dan juga
malnutrisi.
6.
Distribusi Penyakit
Penyebaran
penyakit pada umumnya
masuk ke sistem
pencernaan melalui pakan dan air yang terkontaminasi, dan dapat juga
masuk melalui sistem pernafasan. Penyebaran secara tidak langsung melalui gigitan
serangga atau berbagai perlengkapan peralatan pakan dan kandang.
D.
PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala
Klinis
Masa
inkubasinya amat bervariasi,
gejala klinis muncul
setelah beberapa hari setelah infeksi atau sekitar 1 - 2 minggu. Namun
demikian kadang-kadang masa tunas dapat pendek tetapi dapat juga sampai
beberapa bulan bahkan tahun, dan pada beberapa kasus infeksi berjalan
subklinis. Penyakit akan nampak muncul apabila hewan mengalami stres seperti
karena kerja keras yang berlebihan atau kekurangan pakan.
Pada
umumnya kuda penderita
glanders tidak menampakkan gejala penyakit, meskipun
sebenarnya kuda-kuda tersebut dapat merupakan sumber penularan untuk kuda-kuda
lainnya. Gejala pertama yang nampak merupakan gejala umum yang tidak spesifik.
Pada awalnya kuda nampak menurun kondisinya, bulu tidak mengkilat dan kasar,
mudah lelah, dan ada kalanya disertai batuk yang kering. Gejala pertama adalah
kelainan sebagai akibat adanya lesi di saluran nafas bagian atas atau kulit yang disertai dengan
demam naik turun dan hilangnya napsu makan dan minum. Gejala klinis penyakit
Glanders secara garis besar dapat dibedakan sebagai bentuk paru-paru, hidung,
dan kulit, penderita dapat pula termanifestasi dari ketiga bentuk tersebut.
Pada
bentuk akut penyakit
ditandai dengan demam,
batuk serta bersin (nasal
discharge), selanjutnya proses berjalan secara periodik terjadi penyempitan
cuping hidung. Kelenjar getah bening submaxillary membesar dan terasa sakit
jika dipegang. Juga terdapat gejala kegagalan respirasi (respiratory distress)
dan dapat terjadi kematian setelah 2 minggu. Bentuk akut biasanya umum terjadi
pada bangsa keledai dan Bagal, tetapi jarang pada bangsa kuda, dan jika terjadi
pada kuda biasanya adalah bentuk kronis dengan gejala stres.
Gambar 2. Nasal discharge penderita Glanders
(original picture by:
http://www.wormsandgermsblog.com/tags/glanders/)
Bentuk
kronis ditandai dengan
kelesuan, batuk, demam
yang berselang-seling serta juga
bentuk hidung dan
kulit juga dapat
terlihat, serta pembesaran kelenjar getah bening submaxillary. Dengan
istirahat dan pemberian pakan yang baik akan memberi perbaikan pada kondisi
tubuh.
Gejala
pertama pada lesi
hidung terjadi dengan
sekresi yang bening tipis
berasal dari salah satu atau kedua cuping hidung yang kemudian menjadi purulenta
serta kadang-kadang bersama
dengan darah. Nodul pada mukosa hidung dapat pecah dan
menyebabkan terjadinya luka yang ada area nekrosenya. Hal tersebut merupakan suatu
proses menyebabkan terbentuknya bintang pada septum nasal, yang dapat
terjadi pada kasus yang ekstrem. Pada
mukosa hidung mungkin
dapat ditemukan ulserasi dan
nodulasi, kelenjar limfe submaksiler mengalami pembengkakan, dan epistasis juga
dapat ditemukan pada penderita.
Pada bentuk kulit (farcy), salah satu atau kedua
kaki depan biasanya terinfeksi, selain di kaki lesi juga dapat terjadi di
tempat lain. Bentuk kulit biasanya ditemukan pada sepanjang garis lymphatik
yang ada di kulit. Nodul yang terjadi dengan bentuk seperti kue pea akan pecah
dan mengeluarkan sekresi berwarna kuning abu-abuan disertai nanah, dan meninggalkan luka di kulit. Bentuk kulit
merupakan metastase secara hematogen dari organ- organ tubuh bagian dalam, dan
jarang yang merupakan kejadian primer penyakit.
2. Patologi
Bentuk
paru-paru ditemukan pada
semua kasus glanders.
Pada kejadian yang bersifat fatal lesi-lesi banyak ditemukan di dalam
paru-paru, kelenjar limfe trakeal atau bronkhial, mukosa hidung dan kulit.
Dapat juga ditemukan limfangitis subakut atau kronis yang kebanyakan mengenai
pada kaki-kaki belakang. Lesi kadang ditemukan pada kelenjar limfe mesenterial,
limpa dan hati, jarang ditemukan di ginjal, dan kadang-kadang pada skrotum
hewan jantan.
Lesi di paru
hampir selalu ditemukan
pada kuda penderita
glanders. Pada gambaran potongan paru, ditemukan adanya nodul keras
dengan warna keabu-abuan. Nodul pada kejadian pertama berwarna merah tetapi
berikutnya akan berkembang dengan pesat berwarna kekuningan yang akan membesar
sampai terjadi bentukan yang menempel di paru dan tidak mudah untuk dilepaskan. Apabila nodul masih baru, pusat nodul
berwarna putih kotor, kuning dan bersifat seperti gelatin, bagian pusat terdiri
dari nanah yang mengental. Pada nodul yang tua, akan terdapat pusat nodul yang
berwarna abu-abu dikelilingi oleh bahan yang lunak dan kering, atau oleh kapsul
yang bersifat fibrous.
Lesi di dalam
hidung berbentuk sebagai
luka, dapat terbentuk
pada bagian mukosa tetapi yang paling banyak adalah pada sekat hidung.
Ulserasi dapat mengakibatkan tertembusnya sekat hidung. Lesi atau luka glanders
mungkin akan mengalami kesembuhan yang akan membekas berbentuk jaringan parut
berbentuk seperti bintang atau stelat.
Lesi
kulit yang tersifat
dikenal dengan nama
“Farcy bud”, pada
kulit atau jaringan bawah kulit ditemukan adanya pembengkakan dengan
diameter 2-3 cm atau lebih. Luka Farcy mempunyai lubang yang berbentuk seperti
bibir. Luka dapat meluas dan membesar, biasanya cenderung tidak sembuh dalam
waktu yang lama sehingga terbentuk jaringan parut. Tunas lesi atau Farcy bud kebanyakan ditemukan di kaki
belakang, pada bagian dalam dari tumit ke bawah. Namun lesi tersebut juga
mungkin dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain.
Bila
menyerang pada manusia
akan menimbulkan lesi
ulserasi yang ekstensif pada
kulit, kulit akan nampak edem dan hemoragi dengan lesi Farcy berhubungan dengan
pembuluh limfe membentuk “Farcy pipes”. Kulit mengelupas, mengalami penebalan,
berwarna kemerahan dengan eksudat ektensif yang bernanah (dapat dilihat pada
Gambar).
3. Diagnosa
Berbagai
metoda diagnosa untuk
glanders selain dengan
berdasar gejala klinis, hasil pemeriksaan bakteriologis, dapat juga
dilakukan secara serologis, dan uji mallein pada penyakit-penyakit yang
gejalanya tersembunyi atau tidak jelas.
Metode yang dipakai di lapangan selain melihat
gejala klinis, untuk menyeleksi ternak yang terkontaminasi dilakukan dengan
intradermo palpebral mallein test. Uji dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml
konsentrat mullein, disuntikkan 5 mm dibawah pelupuk mata. Reaksi positif
ditandai dengan adanya kebengkakan lokal dan mukopurulent discharge yang
terjadi dalam 24 jam sampai dengan 2-3 hari setelah pengujian. Pada hewan
normal dapat terjadi respon kebengkakan yang sangat ringan pada kelopak mata
yang mungkin terlihat 2-6 jam setelah penyuntikkan, dan akan menghilang dalam
waktu sekitar 12 jam. Cara penyuntikan selain melalui ophthalmik test juga
dapat dilakukan secara subkutaneus atau kutaneus.
4. Diagnosa
Banding
Kutaneus
klinis glanders dapat
dikelirukan dengan epizootik lymphangitis dan ulceratif
lymphangitis, serta akut glanders dapat dikelirukan dengan strangles.
5.
Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel dapat diambil dari lesi segar. Organisme
yang cukup banyak dapat diperoleh dari olesan lesi segar, jumlah organisme hanya sedikit ditemukan di
lesi yang lebih tua. Selanjutnya harus diwarnai dengan metilen biru atau
pengecatan Gram. Lebih baik pengambilan sampel dari lesi yang tidak terkontaminasi
(belum terbuka). Dalam sampel yang
diperoleh biasanya dalam kondisi yang tidak steril. Untuk menghindari perubahan
karakteristik yang dapat terjadi secara in vitro, maka isolat segar harus
digunakan dalam upaya identifikasi. Media kultur harus dikontrol kualitasnya dan
harus dapat mendukung pertumbuhan organisme dari inokulum kecil. Strain
referensi harus dibudidayakan secara paralel untuk memastikan bahwa tes bekerja
dengan benar. Untuk mengatasi kontaminasi, suplementasi media sampel dengan zat
yang menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dengan penambahkan kristal
violet atau proflavine telah terbukti bermanfaat.
E. PENGENDALIAN
1.
Pengobatan
Jika dipakai pada program eradikasi, maka
pengobatan sebaiknya tak dianjurkan. Di negara dengan kejadian penyakit
endemik, disebutkan bahwa pengobatan dengan sulphadimidine, nitrofurans dan
polymyxin memberikan hasil yang baik. Pengobatan pada kuda memakan waktu yang
lama, mahal, dan tidak dapat sembuh sepenuhnya. Perlu diingat bahwa pengobatan
dapat sangat berbahaya karena pengobatan
dapat menyebabkan bentuk carrier subklinis. Pengobatan dengan sulfadiazine pada
manusia dan hamster telah terbukti efektif untuk melawan glanders.
2.
Pencegahan dan Pengendalian
Tak
ada respon perkembangan kekebalan
yang baik akibat
infeksi glanders, dan vaksin yang pernah dibuat nampaknya tidak efektif.
pemotongan ternak pada kasus kIinis untuk eradikasi glanders tidak dapat sukses
karena adanya bentuk subklinis masih tetap ada dalam populasi.
Jika suatu
wabah terjadi, semua
ternak yang terkena
(kontak) sebaiknya dikarantina dan uji mallein dengan interval 28 hari
untuk mencari reaktor dan jika ditemukan langsung dipotong. Selain dilakukan
uji mullein secara rutin juga harus diikuti dengan program desinfeksi yang
baik, dan juga pengawasan lalu lintas hewan yang ketat.
Sebagai
mana penyakit ini
disebarkan oleh proses
penggigitan serangga, penjagaan juga lebih ditekankan pada managemen
kandang, juga pada tempat minum bersama, kandang, semua peralatan termasuk
tempat minum, dan berbagai alat perlengkapan hewan harus didesinfeksi.
F. DAFTAR PUSTAKA
- Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, IncRahway, New Jersey, USA.
- Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.
- Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
- Direktorat Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
- Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.
- Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.
- Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.
- Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
- Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
- Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.
***Di sadur dari Manual Penyakit Hewan Mamalia Diterbitkan
oleh: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3
Gedung C, Lantai 9, Pasar Minggu, Jakarta 12550
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar