Porcine
Reproductive dan Respiratory Syndrome (PRRS) adalah penyakit pada babi yang
disebabkan oleh virus yang ditandai
dengan dua penampakan gejala klinis yang tumpang tindih, gangguan /kegagalan reproduksi
pada pembibitan ternak, dan penyakit pernafasan pada babi di segala usia.
Porcine
Reproductive dan Respiratory Syndrome adalah penyakit yang besifat pandemi pada
babi. Sindrom ini menyebabkan kerugian yang signifikan dalam industri peternakan
babi akibat gangguan reproduksi dan keterlambatan /retardasi pertumbuhan.
Awalnya, beberapa nama yang digunakan untuk penyakit ini adalah: Mystery Swine
Disease; Blue Ear Disease; Porcine Epidemic Abortion and Respiratory Syndrome
(PEARS); Swine Infertility Respiratory Syndrome (SIRS).
EPIDEMIOLOGI
Kejadian
Penyakit
Penyakit
PRRS pertama kali diakui terjadi di Amerika Utara pada pertengahan hingga akhir
1980-an dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Di Eropa, penyakit yang
mirip disebabkan oleh genotipe yang berbeda dari virus ini juga menyebar dengan
cepat di wilayah itu antara tahun 1990 - 1992. Penyakit ini kini menyebar di
seluruh dunia, dengan pengecualian dari Australia, Selandia Baru, Finlandia,
Norwegia, Swedia, dan Swiss.
Daftar
(list oie) negara menurut situasi penyakit, dimana penyakit (Porcine
reproductive respiratory syndrome /sindrom pernafasan pada babi) tidak pernah
terjadi (dilaporkan pada 2013-2014): Afghanistan, Aljazair, Angola, Argentina,
Australia, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belize, Brazil, Brunei Darussalam ,
Bulgaria, Republik Afrika Tengah, Kuba, Djibouti, Ekuador, El Salvador, Guinea
Ekuatorial, Ethiopia, Kepulauan Falkland (Malvinas), Finlandia, Guyana Prancis,
Gabon, Georgia, Greenland, Guyana, Haiti, Islandia, Iran, Israel, Jamaika,
Jordan, Kiribati, Kuwait, Lebanon, Libya, Madagaskar, Maladewa, Mali,
Mauritania, Mauritius, Mikronesia (Negara Federasi), Namibia, Nepal, Kaledonia
Baru, Selandia Baru, Norwegia, Oman, Paraguay, Qatar, Reunion (Perancis) Samoa,
San Marino, Sao Tome dan Principe, Arab Saudi, Singapura, Vincent and the
Grenadines, Sudan, Suriname, Togo, Trinidad dan Tobago, Uni Emirat Arab,
Uruguay, Vanuatu, Yaman, Zimbabwe.
Penyakit
PRRS tidak terjadi (wabah) selama periode pelaporan (pada oie tahun 2013 – 2014):
Andorra, Armenia, Azerbaijan, Belgia 06/2013 (tanggal kejadian terakhir),
Bosnia dan Herzegovina 02/2009 (tanggal kejadian terakhir), Mesir, Eritrea,
Estonia, Fiji, Ghana , Yunani, Grenada1986 (tanggal kejadian terakhir), Kenya
Korea (Dem Rep Rakyat..), Kyrgyzstan, Liechtenstein, Lithuania, Malawi, Malaysia,
Malta, Moldova, Mongolia 06/2012 (tanggal kejadian terakhir), Montenegro,
Mozambik, Niger, Portugal, Serbia, Leone, Slovenia, Somalia, Afrika Selatan,
Lanka, Swedia, Suriah, Tunisia, Ukraina 11/2009 (tanggal kejadian terakhir),
Venezuela 12/2007 (tanggal kejadian terakhir pada hewan domestik) dan 12/2012
(tanggal kejadian terakhir pada hewan liar).
Negara
Negara di mana terjadi Infeksi penyakit PRRS (tanpa terlihat gejala klinis):
Bolivia Juli-Desember 2013, Kroasia Juli-Desember 2013, Republik Ceko
Januari-Juni 2014, Denmark Juli-Desember 2013, Polinesia Prancis Juli-Desember
2013, Guatemala Juli-Desember 2013, Latvia Juli-Desember 2013, Polandia
Januari-Juni 2014.
Negara
Negara di mana terjadi Infeksi PRRS, Dan terlihat gejala klinis: Canada Januari-Juni
2014, Cina Taipei Juli-Desember 2013, Kolombia Januari-Juni 2014, Kosta Rika
Januari-Juni 2014, Siprus Januari-Juni 2013, Republik Dominika Juli-Desember
2013 , Prancis, Juli-Desember 2013, Hong Kong (SAR - RRC), Januari-Juni 2014,
Jepang Juli-Desember 2013, Korea (Rep.) Januari-Juni 2013, Belanda Januari-Juni
2014, Filipina Januari-Juni 2013, Swiss Januari-Juni 2014, Thailand
Juli-Desember 2013, Inggris Juli-Desember 2013, Amerika Serikat Jan - (. Rep
Rakyat) Jun 2014, Cina, Juli-Desember, 2013, Rusia Juli-Desember 2013, Spanyol
Jul-Des 2013.
Penyakit
hanya terjadi terbatas pada zona tertentu dari wilayah dari negara: Chile
Juli-Desember 2013, Hungaria, Januari-Juni 2014, India Jul-Des 2013, Meksiko
Juli-Desember 2013.
Hospes
/Inang
Babi (Sus
scrofa), baik peliharaan /ternakan
maupun liar, merupakan satu-satunya spesies yang diketahui secara alami rentan
terhadap penyakit ini. Spesies lain dari babi hutan dan anggota keluarga Suidae
kemungkinan
juga rentan.
Penularan
Penularan
langsung: Virus PRRS (PRRSV) mudah menyebar melalui kontak langsung dan virus
dapat terdeteksi pada air liur, urin, susu, kolostrum, dan kotoran hewan yang
terinfeksi. Penularan melalui air mani juga dapat terjadi, baik melalui perkawinan
alami maupun inseminasi buatan.
Penularan
tidak lansung: Transportasi mekanik, Penularan melalui jarum terkontaminasi,
fomites (sepatu dan baju), personil pertanian (tangan), kendaraan transportasi
(trailer yang terkontaminasi), dan serangga (lalat dan nyamuk). Penyebaran (virus)
melalui udara /airborne dalam percobaan telah terbukti sepanjang 120 m dalam
kondisi meteorologi khusus, seperti angin yang kuat.
PRRSV
dapat menyebar dengan cepat pada daerah peternakan babi intensif. Faktor risiko
yang signifikan untuk penyebaran antara peternakan termasuk kedekatan dengan
kawanan tetangga yang terinfeksi, pembelian hewan ternak yang terinfeksi pada
masa inkubasi, dan pembelian semen dari babi di pusat AI yang terinfeksi.
Sumber
Penyakit
Sumber
infeksi: babi yang terinfeksi; semen yang terinfeksi; Penyebaran langsung
(truk, sepatu, pakaian dan lain-lain).
ETIOLOGI
Klasifikasi
Agen Penyebab Penyakit
Agen
etiologi dari PRRS merupakan virus RNA dari ordo Nidovirales, family
Arteriviridae, genus Arterivirus. Ada dua strain: genotipe 1, dengan prototipe virus
Lelystad, virus mendominasi di Eropa, dan genotipe 2, terwakili oleh VR 2332,
prototipe strain ini awalnya banyak ditemukan di Amerika Utara. Sebuah varian
genotipe 2 adalah penyebab penyakit yang parah di Asia.
Ketahanan
Terhadap Tantangan Fisik Dan Kimia
1. Suhu: Di lingkungan,
virus PRRS mati oleh panas, pengeringan, dan pH rendah. Virus bertahan terbaik
dalam dingin, lingkungan yang lembab, dan hampir tanpa batas ketika membeku.
Virus PRRS tetap menular selama 1 sampai 6 hari pada 68 º F (20 º C), 3 - 24
jam pada 98 º F (36,7 º C) dan 6 sampai 20 menit pada 132 º F (55,56 ºC).
Kemampuan virus untuk bertahan hidup di suhu dingin sebagian dapat menjelaskan
me ngapa virus ini tampaknya akan lebih mudah menular di musim dingin di cuaca
dingin.
2. pH: Virus PRRS
stabil pada pH 6,5-7,5 tetapi infektivitas cepat hilang pada pH di bawah 6 dan
di atas 7,5.
3. Bahan kimia /Desinfektan: Prosedur
pembersihan normal dengan desinfeksi dan pengeringan akan membunuh virus. Virus
PRRS rentan terhadap semua desinfektan yang umum digunakan termasuk
chlorhexidine, formaldehida, klorin, yodofor, natrium hidroksida, senyawa
surfaktan, dan fenolat.
4. Ketahanan
hidup: Jika kondisi benar (sekitar 4 º C,
pH 7,5) virus dapat bertahan hidup dari hari ke minggu. Namun, sangat rentan
terhadap kondisi buruk, terutama pengeringan, dan akan mati dalam beberapa jam sewaktu
kondisi berubah dari optimal. Dalam keadaan biasa pada fomites /material
terkait babi (plastik, baja, kayu, jerami, pakaian, bubur dll) pada suhu
lingkungan yang normal (25 – 27 º C) virus PRRS bertahan kurang sehari tetapi
dapat bertahan hidup di air sampai 11 hari.
DIAGNOSA
Gejala
Gejala
Klinis pada Babi betina dan anak babi:
Infeksi
PRRSV dapat menyebabkan kerusakan parah pada alat reproduksi: beranak prematur;
lahir mati atau mumifikasi babi; lemah, babi dengan PRRSV-positif (50%
meninggal segera setelah lahir); untukawin tertunda kembali.
Selain
kegagalan reproduksi, babi betina dapat menunjukkan gejala: Anorexia; demam; kelesuan;
pneumonia; susah menyusui; perubahan warna merah /biru telinga dan vulva; edema
subkutan, edema kaki belakang; tertunda kembali berahi setelah sapih; dalam
kasus yang jarang bisa terjadi kematian.
Gejala
klinis babi neonatal:
Babi
neonatal dapat menampilkan berbagai tanda-tanda klinis. Yang paling khas adalah
dyspnea, takipnea dan kematian.
Gejala
klinis pada babi grower dan babi siap potong:
Infeksi
virus PRRS tunggal sering subklinis. Meskipun demikian secara tidak langsung
bertanggung jawab atas kerugian ekonomi yang besar dalam ternak babi potong
karena peran utama multi factor akibat Porcine Respiratory Disease Complex
(PRDC).
Jika
tanda-tanda klinis teramati, biasanya bentuk pernafasan: Demam; bersin;
hiperpnea; dyspnea; batuk; pneumonia; letargi; edema periokular; leleran hidung
dan mata.
Lesi
Temuan
post-mortem: Tidak ada lesi spesifik terjadi pada babi betina, janin abortan
atau mumi janin. Lesi lebih jelas pada anak babi dari pada babi yang lebih tua,
termasuk: pneumonitis interstisial, pengabunga paru paru, broncho pneumonia,
chemosis, cairan di perut, dada dan ruang perikardial, limfadenopati, sianosis
pada kulit.
Diagnosa
Banding
Di
lapangan, dugaan PRRS didasarkan pada tanda-tanda klinis kegagalan reproduksi
dan tingginya tingkat kematian babi neonatal. Analisis dari catatan di
peternakan akan memberikan informasi yang berguna.
Penyakit
berikut harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding PRRS:
Penyakit
Reproduksi: Classical swine fever; African swine fever; Leptospirosis; Porcine
parvovirus; Porcine enterovirus; Haemagglutinating encephalomyelitis virus;
Aujeszky’s disease.
Penyakit
Pernapasan dan Postweaning: Swine influenza; Enzootic pneumonia; Proliferative
dan necrotising pneumonia; Infeksi Haemophilus parasuis; Virus Haemagglutinating
encephalomyelitis; Porcine respiratory coronavirus; Syncitial pneumonia dan
myocarditis; Porcine circovirus-associated disease; Infeksi virus Nipah
Diagnosa
Laboratorium
Sampel:
Spesimen
yang dibutuhkan untuk isolasi virus dan RT-PCR: whole blood (EDTA) dan juga
serum, paru-paru, saluran pernapasan, limpa dan tonsil hewan yang terkena.
Sampel dari mumi atau anak abortan sepertinya tidak menghasilkan virus, tetapi
masih dapat berguna untuk RT-PCR.
Untuk
tes antibodi (serologi): Serum sejumlah 20 atau lebih dari hewan yang terpajan
dalam kawanan.
Spesimen
sebaiknya didinginkan dan dikirim tidak beku pada es atau dengan gel pack beku.
Identifikasi
Agen Penyakit:
isolasi
virus: Buffy coat, serum, paru-paru, kelenjar getah bening, limpa dan tonsil
adalah spesimen pilihan. Virus bereplikasi dengan baik pada makrofag alveoli
paru babi dan beberapa strain terutama dari genotipe 2, pada Marc-145 sel. Efek
sitopatik yang jelas dalam 1 - 4 hari. Untuk sensitifitas maksimum perform dua
pasage 7-hari.
RT-PCR:
Whole blood (EDTA), buffy coat dan homogenat dari jaringan seperti di atas
adalah yang terbaik. Pada saat ini, tidak ada PCR sepenuhnya tervalidasi yang yang
diterima secara internasional.
Tes /Uji Serologi:
IgM
dapat terdeteksi dalam waktu 7 hari dari infeksi dan IgG dapat dideteksi dalam
waktu 14 hari. Titer antibodi humoral tercapai maksimum sekitar 5 - 6 minggu
setelah infeksi. Antibodi dapat dideteksi dengan ELISA dan dengan pewarnaan
tidak langsung indirect staining of pre-prepared monolayers dari sel yang
terinfeksi (IPMA dan IFA). Tingkat antibodi bisa turun cukup cepat tanpa adanya
virus yang beredar.
PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN
Pencegahan
Dengan Sanitasi
Pencegahan
masuknya PRRSV ke dalam kawanan:
Protokol
/tata cara biosekuriti untuk mengurangi risiko masuknya virus PRRS ke
peternakan dan di antara kawanan ternak termasuk karantina dan pengujian terhadap
bibit babi yang masuk, penggunaan semen dari pusat Inseminasi buatan yang
negatif PRRSV, sanitasi yang tepat dari kendaraan transportasi menggunakan
desinfektan dan periode pengeringan, pelaksanaan strategi untuk personil /kendaraan
/barang masuk ke luar dan antar peternakan, pengelolaan jarum, dan metode
pengendalian serangga. Selain itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa penerapan
sistem filtrasi udara secara signifikan dapat mengurangi risiko PRRSV masuk
melalui bio-aerosol ke peternakan yang terletak di daerah padat babi.
Pencegahan
masuknya virus PRRS ke dalam suatu negara:
Cara
utama masuknya PRRSV ke negara-negara yang sebelumnya bebas tidak diragukan
lagi melalui pergerakan babi. Impor semen /sperma babi juga telah memainkan
peran, dalam beberapa kasus. Sementara itu ada risiko teoritis yang ditimbulkan
oleh daging babi segar, namun belum ada kasus terdokumentasikan.
Sejak
pergerakan produk (babi) adalah kejadian biasa, bahkan ke negara-negara yang
tetap bebas, risiko ini dianggap kecil, asalkan bahaya paparan pada populasi
babi dari negara pengimpor diperbaiki. Hal ini dapat dicapai dengan melarang atau
memastikan bahwa babi daging tidak termasuk di dalamnya. Risiko yang
ditimbulkan oleh virus vaksin tidak boleh dilupakan, karena ada fakta tercatat bahwa
virus kembali ke bentuk yang lebih ganas di antara itu.
Tata
cara lokal, untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh babi hidup dan air
mani. Untuk babi hidup, ini meliputi sumber dari peternakan bersertifikat bebas
dari infeksi, penggunaan periode karantina dan monitorting secara serologi dan
virologi, baik pra-dan pasca-impor. Untuk semen, RT-PCR telah terbukti sebagai
alat yang berguna dalam mengidentifikasi adanya virus dalam batch semen /sperma,
tapi perawatan harus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap pemakaian cocok
dengan uji dimaksud.
Perbatasan
negara adalah jelas merupakan bentuk garis pertahanan pertama. Perpindahan babi
ilegal seharusnya selalu dicegah. Bila babi hutan mungkin ada, langkah langkah seharusnya
diambil untuk memastikan populasi babi ternakan terlindungi dari kontak.
Pelabuhan dan bandara juga dapat merupakan jalan yang potensial untuk mengintroduksi,
melalui sampah akhir, dalam kasus pelabuhan adanya penjualan ilegal babi atau daging
babi yang diangkut di atas alat angkut.
Pencegahan
Dan Pengobatan Secara Medis
Saat ini, tidak
ada program pengobatan yang efektif untuk PRRS akut. Upaya untuk mengurangi
demam menggunakan NSAIDș (aspirin) atau stimulan nafsu makan (vitamin B)
tampaknya memiliki manfaat sedikit saja. Penggunaan antibiotik atau bacterins autogenous untuk
mengurangi efek dari bakteri patogen oportunistik juga telah dilaporkan namun hasilnya
tidak jelas.
Pengendalian
dan pemberantasan:
Untuk
mengendalikan dan akhirnya menghilangkan virus PRRS, hal penting yang memungkinkan
untuk langgengnya peredaran virus PRRS dalam kawanan ternak harus dibenahi
termasuk eksistensinya isolate beragam secara genetis, keberadaan dari
subpopulasi pembibitan kawanan ternak, dan manajemen yang tidak tepat dari
pemasukan babi bakalan pengganti. Langkah-langkah pengendalian saat ini meliputi
penggunaan vaksin, pengelolaan pemasukan babi bakalan pengganti dan
implementasi tatacara biosekuriti divalidasi untuk mengurangi risiko virus PRRS
menyebar di dalam dan di antara kawanan ternak. Metode eliminasi virus dari
ternak endemik yang terinfeksi meliputi seluruh kawanan ternak depopulasi /repopulasi,
uji, penghapusan dan pengafkiran kawanan ternak.
***Penulis:
drh. Goyono Trisnadi – dari berbagai sumber
English Version
PORCINE
REPRODUCTIVE RESPIRATORY SYNDROME
Porcine
Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) is a viral disease characterized
by two overlapping clinical presentations, reproductive impairment or failure
in breeding animals, and respiratory disease in pigs of any age.
Porcine
Reproductive and Respiratory Syndrome is pandemic in pigs. The syndrome causes
significant losses in the pig industry due to reproductive disorders and growth
retardation. Initially, several names were used to refer to this disease: Mystery
Swine Disease; Blue Ear Disease Porcine Endemic Abortion and Respiratory
Syndrome (PEARS); Swine Infertility; Respiratory Syndrome (SIRS)
EPIDEMIOLOGY
Occurence
PRRS
was first recognised in North America in the mid to late 1980s and spread
rapidly throughout the world. In Europe, a similar disease caused by a distinct
genotype of the virus also spread rapidly in that region during 1990–92. The
disease is now present throughout the world, with the exception of Australia,
New Zealand, Finland, Norway, Sweden, and Switzerland.
List
of countries by disease situation, Disease (Porcine reproductive respiratory syndrome)
never occurred (reported in 2013 - 2014): Afghanistan, Algeria, Angola, Argentina,
Australia, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belize, Brazil, Brunei Darussalam, Bulgaria,
Central African Republic, Cuba, Djibouti, Ecuador, El Salvador, Equatorial
Guinea, Ethiopia, Falkland Islands (Malvinas), Finland, French Guiana, Gabon, Georgia,
Greenland, Guyana, Haiti, Iceland, Iran, Israel, Jamaica, Jordan, Kiribati, Kuwait,
Lebanon, Libya, Madagascar, Maldives, Mali, Mauritania, Mauritius, Micronesia
(Federated States), Namibia , Nepal, New Caledonia, New Zealand, Norway, Oman, Paraguay,
Qatar, Reunion (France) Samoa, San Marino, Sao Tome and Principe, Saudi Arabia,
Singapore, St. Vincent and the Grenadines, Sudan, Suriname, Togo, Trinidad and
Tobago, United Arab Emirates, Uruguay, Vanuatu, Yemen, Zimbabwe.
Disease
absent during the report period (to oie 2013 - 2014): Andorra, Armenia, Azerbaijan,
Belgium 06/2013 (Date of last occurrence), Bosnia and Herzegovina 02/2009 (date
last occurerrence), Egypt, Eritrea, Estonia, Fiji, Ghana, Greece, Grenada1986
(date last occurrence), Kenya Korea (Dem. People's Rep.), Kyrgyzstan, Liechtenstein,
Lithuania, Malawi, Malaysia, Malta, Moldova, Mongolia 06/2012 (date last
occurrence), Montenegro, Mozambique, Niger, Portugal, Serbia, Leone, Slovenia, Somalia,
South Africa, Lanka, Sweden, Syria, Tunisia, Ukraine 11/2009 (date last
occurrence), Venezuela 12/2007 (date last occurrence in domestic animal) and 12/2012
(date last occurrence in wild animal).
Infection
present (with no clinical disease): Bolivia Jul - Dec, 2013 , Croatia Jul - Dec, 2013, Czech Republic Jan
- Jun, 2014, Denmark Jul - Dec, 2013 , French
Polynesia Jul - Dec, 2013, Guatemala Jul - Dec, 2013, Latvia Jul - Dec, 2013, Poland
Jan - Jun, 2014 .
Infection,
Demonstrated clinical disease: Canada Jan - Jun, 2014, Chinese Taipei Jul -
Dec, 2013, Colombia Jan - Jun, 2014, Costa Rica Jan - Jun, 2014, Cyprus Jan -
Jun, 2013, Dominican Republic Jul - Dec, 2013, France, Jul - Dec, 2013, Hong
Kong (SAR - PRC), Jan - Jun, 2014, Japan Jul - Dec, 2013, Korea (Rep. of) Jan -
Jun, 2013, Netherlands Jan - Jun, 2014, Philippines Jan - Jun, 2013, Switzerland
Jan - Jun, 2014, Thailand Jul - Dec, 2013, United Kingdom Jul - Dec, 2013, United
States of America Jan - Jun, 2014, China (People's Rep. of), Jul - Dec, 2013, Russia
Jul - Dec, 2013, Spain Jul - Dec, 2013.
Disease
restricted to certain zone(s) / region(s) of the country: Chile Jul - Dec, 2013,
Hungary, Jan - Jun, 2014, India Jul - Dec, 2013, Mexico Jul - Dec, 2013.
Hosts
The
pig (Sus scrofa), whether domestic or feral, is the only species known to be
naturally susceptible to this disease. Other species of wild pig and members of
family Suidae may be susceptible.
Transmission
Direct
routes of transmission: PRRS virus (PRRSV) is easily spread following direct
contact and virus can be detected in saliva, urine, milk, colostrum, and faeces
of infected animals. Transmission by semen can also occur, both via natural
service and artificial insemination.
Indirect
routes of transmission: Mechanical transport and transmission has been reported
via contaminated needles, fomites (boots and coveralls), farm personnel
(hands), transport vehicles (contaminated trailers), and insects (houseflies
and mosquitoes). Airborne spread of the virus has been experimentally
documented out to 120m under specific meteorological conditions, i.e.
prevailing winds.
PRRSV
can spread rapidly through intensive pig-rearing regions. Significant risk
factors for spread between farms include proximity to infected neighbouring
herds, purchase of animals from herds incubating infection, and the purchase of
semen from boars at PRRS-infected AI centres.
Sources of
agent
The
sources of infection: infected pigs; infected semen; indirect spread (trucks,
boots, clothing etc.).
AETIOLOGY
Classification
Of The Causative Agent
The
aetiological agent of PRRS is an RNA virus of the order Nidovirales, family
Arteriviridae, genus Arterivirus. There are two related but antigenically and
genetically distinguishable strains: genotype 1, with the prototype Lelystad
virus representing the viruses predominating in Europe and genotype 2,
represented by VR 2332, the prototype of strains originally mostly found in
North America. A variant of genotype 2 is the cause of severe disease in Asia.
Resistance
To Physical And Chemical Action
1. Temperature:
In
the environment, PRRS virus is inactivated by heat, drying, and low pH. The
virus survives best in cold, moist environments, and almost indefinitely when
frozen. PRRS virus remains infectious for 1 to 6 days at 68° F, 3 to 24 hours
at 98° F and 6 to 20 minutes at 132° F. The ability of the virus to survive in
cold temperatures may partially explain why the virus seems to be more easily
transmitted in winter months in cold climates.
2. pH: The PRRS virus
is stable at pH 6.5 to 7.5 but infectivity is rapidly lost at pH below 6 and
above 7.5.
3. Chemicals /Disinfectants: Thus, normal
clean-up procedures with disinfection and drying will kill the virus. The PRRS
virus is susceptible to all the commonly used disinfectants including
chlorhexidine, formaldehyde, chlorine, iodophors, sodium hydroxide, quaternary
ammonium compounds, and the phenolics.
4. Survival: If conditions
are right (about 4oC, pH 7.5) the virus can survive from days to weeks.
However, it is very susceptible to adverse conditions, especially drying, and
will die off within hours as conditions change from optimum. On the usual
pig-associated fomites (plastic, steel, wood, straw, clothing, slurry etc.) at
normal environmental temperatures (25-27oC) PRRS virus survives less that a day
but it can survive in water for up to 11 days.
DIAGNOSIS
Signs
Sows and
piglets Clinical signs:
PRRSV infection
can cause severe reproductive damage: Premature
farrowings; stillborn or mummified piglets; weak PRRSV-positive piglets
(50% die soon after birth); delayed
return to service.
In addition to
reproductive failure, sows and gilts may show: Anorexia; fever; lethargy; pneumonia; agalactica; red/blue discolouration of the
ears and vulva; subcutaneous
and hind limb oedema; delayed
return to oestrus after weaning; in
rare cases death.
Neonatal
piglets Clinical sign:
Neonatal
piglets can display a variety of clinical signs. The most characteristic are
dyspnea, tachypnea and death.
Growers and
finishing pigs clinical sign:
PRRSV infection
alone is often subclinical. It is however indirectly responsible for huge
economic losses in finishing herds due to its major role in the multifactorial
Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC).
If clinical
signs are present, they are usually respiratory: Fever; sneezing; hyperpnea; dyspnea; coughing; pneumonia; lethargy; periocular edema; oculonasal discharge.
Lesions
Post-mortem
findings: No specific
lesions occur in sows, aborted or mummified foetuses. Lesions are more evident
on piglets than older pigs and include: Interstitial pneumonitis with
consolidation of the lungs and broncho-pneumonia evidences, Chemosis, Clear fluid in the abdomen,
thoracic and pericardial space, Lymphadenopathy,
Cyanosis of skin.
Differential
Diagnosis
In the field,
suspicion of PRRS is based on clinical signs of reproductive failure and high
levels of neonatal mortality. Analysis of farm records will provide helpful
information.
The following
diseases should be considered within the differential diagnosis of PRRS:
Reproductive
disease: Classical
swine fever; African
swine fever; Leptospirosis; Porcine parvovirus; Porcine enterovirus; Haemagglutinating
encephalomyelitis virus; Aujeszky’s
disease.
Respiratory and
postweaning disease: Swine
influenza; Enzootic
pneumonia; Proliferative
and necrotising pneumonia; Haemophilus
parasuis infection; Haemagglutinating
encephalomyelitis virus; Porcine
respiratory coronavirus; Syncitial
pneumonia and myocarditis; Porcine
circovirus-associated disease; Nipah
virus infection.
Laboratory
Diagnosis
Samples:
Specimens
required: For virus isolation and RT-PCR
— whole blood (EDTA) and also serum, lung, respiratory tract, spleen and
tonsils of affected animals. Samples from mummified or aborted litters are
unlikely to yield virus, but can still be useful for RT-PCR.
For
antibody testing (serology) — serum from
up to 20 exposed animals in the herd.
Specimens
should be chilled and forwarded unfrozen on water ice or with frozen gel packs.
Identification
Test Of The Agent:
Virus isolation
Buffy coat,
serum, lung, lymph nodes, spleen and tonsils are the specimens of choice. The
virus replicates well on swine pulmonary alveolar macrophages and some strains,
particularly those of genotype 2, on Marc 145 cells. Cytopathic effects are
evident in 1–4 days. Perform two 7-day passages for maximum sensitivity.
RT-PCR
Whole blood
(EDTA), buffy coat and clarified homogenates of the above tissues are best. At
this time, there is no fully validated PCR that has international
acceptability.
Serological
Tests:
IgM can be
detected within 7 days of infection and IgG can be detected within 14 days.
Humoral antibody titres reach a maximum about 5–6 weeks after infection.
Antibody can be detected by ELISA and by the indirect staining of pre-prepared
monolayers of infected cells (IPMA and IFA). Antibody levels can drop quite
quickly in the absence of circulating virus.
PREVENTION AND
CONTROL
Sanitary
Prophylaxis
Prevention
of introduction into a herd:
Biosecurity
protocols to reduce the risk of PRRSV entry into farms and between herds
include the quarantine and testing of incoming breeding stock, use of semen
from PRRSV-naïve AI centres, proper sanitation of transport vehicles using
validated disinfectants and drying periods, implementation of strategies for
personnel/fomite entry into and between farms, proper management of needles,
and methods of insect control. In addition, recent evidence suggests that the
application of filtration systems to the air inlets may significantly reduce
the risk of PRRSV entry via bio-aerosols into farms located in swine dense
regions.
Prevention
of introduction into a country:
The
main way in which PRRSV has been introduced into previously free countries is
undoubtedly via pig movements. The importation of semen has also played a part,
in some cases. Whilst there is a theoretical risk posed by fresh meat, there
has been no documented case of such. Since the movement of such products is a
regular occurrence, even to those countries which remain free, this risk is
considered small, provided the hazard of exposure to the pig population of the
importing country is ameliorated. This can be achieved by banning swill feeding
and/or ensuring that pig-meat is not included therein. The risk posed by
vaccinal virus should not be forgotten, since there is documented evidence of
circulation and reversion to more virulent form among such.
Protocols
are in place, to reduce the risk posed by live pigs and semen. For live pigs,
these include sourcing from farms certified free of infection, use of
quarantine periods and serological and virological monitoring, both pre- and
post-import. For semen, RT-PCR has proved a useful tool in demonstrating
absence of virus in semen batches, but care should be taken to ensure that any
extender is compatible with such tests.
The
borders of a country obviously form the first line of any defence. Illegal pig
movements should always be prevented. Where wild pigs may be present, steps
should be taken to ensure domestic populations are protected from contact.
Ports and airports may also provide a potential avenue for introduction, via
galley waste and, in the case of ports, the illegal sale of pigs or pigmeat
transported on board.
Medical
Prophylaxis
Currently,
there are no effective treatment programs for acute PRRS. Attempts to reduce
fever using NSAIDs (aspirin) or appetite stimulants (B vitamins) appear to have
minimal benefit. The use of antibiotics or autogenous bacterins to reduce the
effects of opportunistic bacterial pathogens has also been reported; however,
results have been mixed.
Control
and eradication:
In
order to control and eventually eliminate PRRSV, critical issues that allow for
maintained circulation of PRRSV within herds must be addressed including the
co-existence of genetically diverse isolates, the existence of naïve breeding
herd sub-populations, and improper management of gilt replacement pools.
Current control measures include the use of vaccines, the management of
incoming replacement gilts and implementation of biosecurity protocols
validated to reduce the risk of PRRSV spread within and between herds. Methods
of eliminating virus from endemically infected herds include whole herd
depopulation/repopulation, test and removal and herd closure.
*** By: Giyono
Trisnadi, DVM - From Many References.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar