Betapa beratnya kehidupan di Indonesia sekarang ini, banyak dari
masyarakat
merasakan bahwa penghasilan (bagi yang bekerja) tidak sesuai jika
dibandingkan dengan biaya
pengeluaran sehari-hari. Mereka
merasakan bahwa penghasilan mereka untuk makan saja susah,
apalagi bila harus memikirkan biaya kesehatan dan pendidikan yang
sangat
mahal (terutama pendidikan tinggi).
Dan untuk bisa bertahan hidup di negeri ini orang harus "pintar", sehingga banyak pesan seperti ini "pintar-pintarlah agar gajimu cukup" Dan sebenarnya bila dipikir dengan akal sehat gaji itu tidak akan cukup sama sekali. Apalagi gaji Pegawai Negeri........
Jadi.........
Dan untuk bisa bertahan hidup di negeri ini orang harus "pintar", sehingga banyak pesan seperti ini "pintar-pintarlah agar gajimu cukup" Dan sebenarnya bila dipikir dengan akal sehat gaji itu tidak akan cukup sama sekali. Apalagi gaji Pegawai Negeri........
Jadi.........
Bagi fakir-miskin di negeri ini tentunya harus lebih
"pintar" lagi, ........
Dan benar.... Orang miskin di negeri ini memang sudah
pintar,........ untuk menghadapi biaya pendidikan yang tinggi,.....
gampang,..... mereka tahu caranya,..... menjadi "pintar" tapi tidak
usah sekolah,.........
Juga mereka sudah tahu.... bagaimana caranya untuk menghadapi
biaya kesehatan yang tinggi...., gampang...... yang diperlukan hanyalah harus
"pintar" menjaga kesehatan untuk tidak usah sakit sehingga tidak
perlu berobat atau ke rumah sakit, terkadang mereka tidak merasakan sakit (atau
sakit yang tidak dirasakan) namun tiba-tiba sudah sakit parah sehingga tinggal
menunggu ajal........
Untuk menghadapi susahnya cari kerjaan...., gampang....,
mereka juga sudah tahu caranya,.....
gak perlu cari kerjaan mereka bisa dapat gaji/penghasilan,........
pekerjaan preman, pelacur, pemulung, pengemis tidak perlu melamar ke siapapun.
Susahnya kehidupan di negeri ini diperparah dengan
terlalu tingginya harga pangan. Ya... memang aneh.... Di negeri yang (kata para
pujangga) subur makmur dimana orang dapat menanam sepanjang tahun, mempunyai
kekayaan alam yang melimpah ruah ini
harga pangannya mahal. Banyak impor sapi, daging sapi, daging
kambing/domba, daging bebek, susu, keju, tepung telur, beras, kentang, bawang,
sayuran, buah-buahan semuanya dari negeri yang katanya tidak subur seperti
Australia, New Zealand, Amerika, Belanda, Cina dll itu membuktikan bahwa harga
pangan (mentah) di negeri mereka lebih murah. Dan lagi gaji mereka tinggi,
sedangkan standard gaji di negeri ini tergolong rendah bila dibanding dengan
standard gaji mereka.
Memang apes.....,
Yah nasib-nasib........
Lalu kenapa ini bisa terjadi?..........
Apa karena kita terlanjur malas sebab terlena merasa
hidup di negeri yang subur makmur yang kaya raya sehingga tidak mau bekerja
apalagi di bidang pertanian?
Apa karena politik pertanian yang salah dari negara ini?
Apa karena strategi dan kebijakan yang salah dari
pemerintah?
Apakah disini kebijakan hal teknik murni menjadi masalah
teknik? Atau masalah teknik sudah dicampuradukan dengan bisnis apalagi politik? atau.... atau...?
.....?
Sudah banyak pakar yang membahas hal ini....., dan kita
tidak perlu membahas lagi. Bosen.....!
Yang diperlukan adalah tindakan nyata untuk mengatasi
keadaan tersebut. Oleh karena itu buat kita semua mari beternak dan mari
menanam. Jangan takut Flu burung, anthrax, sapi gila, wereng ijo, wereng coklat, kutu loncat, hawar
daun, lethal yellowing, CVPD dll. Jangan takut gagal usaha dibidang
pertanian/peternakan/pelihara hewan. Jangan takut gagal melakukan percobaan
untuk kemajuan teknologi pertanian/peternakan/kesehatan hewan. Ini harus
dipandang sebagai pengorbanan.
Kalau kita merindukan harga pangan yang murah, sebagai
bagian dari bangsa dan negara ini kita harus ikut berperan, karena ternyata dan
terbukti hal ini tidak bisa diatasi sendiri oleh pemerintah. Untuk mengurus
negara yang demikian besar ini diperlukan banyak pemikiran, banyak tenaga dan
banyak pengorbanan,... gotong royong dan persatuan.... agar bangsa ini bisa
tumbuh berkembang baik dan sehat.
Mari beternak mari menanam demi turunnya harga pangan
untuk kemaslahatan.
***Penulis drh Giyono Trisnadi