PENYAKIT SCABIES PADA KAMBING DAN PENANGANANNYA

Scabiosis adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei termasuk Ordo Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes. Penyakit ini menyerang kulit dan dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan dan dapat menular pada manusia (zoonosis).

******



Penanganan Penyakit Scabies pada Kambing Kacang
Oleh: Indrayati


BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing termasuk salah satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di pedesaan. Hampir setiap rumah tangga memelihara kambing. Sebagian dari mereka  menjadikan peternakan kambing sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga. Saat ini, pemeliharaan kambing bukan hanya di pedesaan, tetapi sudah menyebar ke berbagai tempat. Semakin banyak peternak kambing yang muncul disebabkan oleh permintaan daging dan susu kambing yang terus mengalami peningkatan. Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakan karena ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran pendek dan pertumbuhan anak atau pedet cepat. Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi agroekosistem suatu tempat (Sarwono,2011).

Prabowo (2010) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Kambing ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Morfologi tubuh kambing kacang adalah berbadan kecil, telinga pendek tegak, leher pendek, punggung meninggi, jantan dan betina bertanduk, tinggi badan jantan dewasa  rata-rata 60-65 cm, tinggi badan betina dewasa rata-rata 56 cm, bobot dewasa untuk betina rata-rata 20 kg dan jantan 25 kg. Selain itu kambing ini juga cocok sebagai penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Pamungkas dkk., 2009). Ditinjau dari aspek tingkah lakunya, kambing merupakan hewan gembalaan. Realitas ini disebabkan oleh sifat kambing yang lebih cocok dan senang hidup bebas sehingga sangat memungkinkan terjadinya perlukaan pada beberapa anggota tubuh kambing (Murtidjo, 1992).

Peternakan kambing khususnya di daerah-daerah terpencil kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah karena jarak transportasi yang jauh. Masyarakat hanya mengandalkan tradisi dan budaya yang telah turun-temurun dalam proses peternakan mereka. Peternakan yang ada di daerah kurang mengenali penyakit pada hewan ternak. Penyakit tersebut dapat mempengaruhi dan menghambat sistem perekonomian pada peternakan kambing  (Subekti, 2007).

Penyakit parasitik merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas ternak. Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan memakan jaringan tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian pada hospes. Ternak yang terinfeksi parasit biasanya mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai jual yang rendah (Khan dkk., 2008).

Scabies merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu kesehatan masyarakat. Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular pada manusia atau zoonosis  (Iskandar, 2000).

Parasit Sarcoptes scabiei telah lama dikenal dan pertama kali ditemukan sebagai penyebab penyakit scabies oleh Bonoma dan Cestoni pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya sebagai “lice in the Flesh”. Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak hewan kesayangan dan hewan liar.  Masalah scabies masih banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada negara-negara berkembang dan industri. Rendahnya tingkat higienitas dan sanitasi serta sosial ekonomi manjadi faktor pemicu penyakit ini. Kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, kekurangan makanan dan hidup berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit scabies dari penderita sehat ke yang sakit (Anonim, 2012).

Semua hewan ternak dapat terserang scabies, namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda pada kerbau di punggung, paha, leher, muka dan daun telinga sedangkan kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh apabila bersifat kronis dan kambing sekitar punggung, telinga dan seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Manurung et al., 1990).

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dari kegiatan ini adalah bagaimanakah cara mendiagnosa dan pengobatan penyakit scabies?

Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana cara melakukan diagnose, pencegahan dan penangana penyakit scabies pada kambing kacang.

Manfaat kegiatan
Manfaat dari kegiatan ini antara lain :
Bagi Profesi
Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan tambahan ilmu baik penerapan secara langsung maupun pengembangan dalam Penatalaksanaan di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Bagi Peternak dan Masyarakat
Hasil kegiatan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi yang berguna bagi semua masyarakat pada umumnya dan para peternak pada khususnya, khususnya peternak kambing mengenai cara penularan, pencegahan dan penanganan penyakit scabies.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kambing
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia Barat Daya, Turki dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya kambing mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas dan kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar tidak termasuk ekor adalah 1,3 meter - 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter-15 sentimeter. Bobot yang betina 50 kilogram - 55 kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram. Kambing berkembang biak dengan melahirkan. Kambing bisa melahirkan dua hingga tiga ekor anak dalam setahun, setelah bunting selama 150-154 hari. Dewasa kelamin dicapai pada usia empat bulan (Riwantoro,2010).

Kambing termasuk salah satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di pedesaan. Hampir setiap rumah tangga memelihara kambing. Sebagian dari mereka  menjadikan peternakan kambing sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga. Saat ini, pemeliharaan kambing bukan hanya di pedesaan, tetapi sudah menyebar ke berbagai tempat. Semakin banyak peternak kambing yang muncul disebabkan oleh permintaan daging dan susu kambing yang terus mengalami peningkatan. Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakan karena ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran pendek dan pertumbuhan anak atau pedet cepat. Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi agroekosistem suatu tempat. (Sarwono,2011).

Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun yang lalu. Habitat yang disukai kambing adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Waktu aktif mencari makan dominan siang hari dan kadang-kadang pada malam hari. Makanan utamanya adalah rumput-rumputan dan dedaunan (Chen, 2005).

Prabowo (2010) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Kambing ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Morfologi tubuh kambing kacang adalah berbadan kecil, telinga pendek tegak, leher pendek, punggung meninggi, jantan dan betina bertanduk, tinggi badan jantan dewasa  rata-rata 60-65 cm, tinggi badan betina dewasa rata-rata 56 cm, bobot dewasa untuk betina rata-rata 20 kg dan jantan 25 kg. Selain itu kambing ini juga cocok sebagai penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Pamungkas dkk., 2009).

Distribusi penyebaran kambing relatif merata di seluruh daerah. Satu dari lima rumah tangga petani memelihara 1-4 ekor kambing. Sebagian masyarakat pedesaan memperlakukan kambing sebagai pabrik kecil penghasil daging dan susu. Hasil lain yang bisa diperoleh dari ternak kambing adalah kulit dan kotorannya yang berfungsi sebagai pupuk kandang. Peternak di Jawa sangat menyukai kambing karena modal yang diperlukan untuk pemeliharaannya relative kecil (Rahayu, 2014).

Di Indonesia ada beberapa bangsa kambing yang fenotip sudah dikarakterisasi dan diternakan. Dari bangsa ternak kambing lokal Indonesia tersebut yang termasuk kategori besar adalah kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Muara, kambing kategori sedang adalah kambing Kosta, Gembrong dan kategori kecil adalah kambing Kacang, kambing Simosir dan kambing Marica (Batubara, 2007).

Scabiosis
Definisi
Scabiosis adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Animal,  Phylum Arthropoda, Class Arachnida, Order Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes dan Species Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala klinis gatal pada kulit. Parasit S. scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan mengganggu kesehatan masyarakat (Iskandar, 1982., Sardjono et al.,1998).

Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda. Pada kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Manurung et al., 1990).

Etiologi
Penyakit scabies terjadi karena adanya infestasi dari Sarcoptes scabiei. Flynn (2002), menyatakan bahwa scabies ada dalam semua populasi hewan. Varietas tungau penyebab scabies pada beberapa jenis hewan morfologinya sama, hanya berbeda dalam kesanggupannya memanfaatkan induk semang yang berlainan sehingga dari populasi tersebut timbul nama yang khas untuk masingmasing jenis

Ada tiga famili tungau yang sering menyerang hewan dan menyebabkan penyakit kudis, yaitu famili Sarcoptidae, Prosoptidae dan Demodicidae (Siregar, 2007).

Famili Sacoptidae
Genus Sarcoptes menyebabkan kudis pada kambing, domba, sapi, babi, kuda, anjing dan kelinci. Genus Notoedres menyebabkan kudis pada kucing dan kelinci. Genus Knemidocoptes menyerang unggas.

Famili Psoroptidae
Genus Psoroptes menyebabkan kudis pada domba, sapi dan kuda. Genus Otodectes menyebabkan kudis pada anjing dan kucing. Genus Chorioptes menyebabkan kudis pada sapi, anjing, kucing, kuda dan babi.

Famili Demodicidae
Genus Demodex menyebabkan kudis pada sapi, anjing, kambing, kucing, kuda dan babi.
Scabies pada kambing disebabkan oleh tungau yang bernama Sarcoptes scabiei dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Animal,  Phylum Arthropoda, Class Arachnid, Order Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes dan Species Sarcoptes scabiei.

Morfologi
Secara morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.  Sarcoptes scabiei  transparan, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine, 2000).

Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf ‘Y’ dan terletak diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001)


Gambar 1 : Gambaran bentuk tubuh Sarcoptes scabiei (Belding, 2001).

Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa kemudian menjadi jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang kelamin (Williams et al, 2000). Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Wahyuti, 2009).


Gambar 2 : Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Anonim, 2011).

Patogenesis
Sarcoptes scabiei menginfeksi ternak dengan menembus kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epidermis pada hewan. Scabies akan menimbulkan rasa gatal yang luar biasa sehingga kambing atau ternak yang terserang akan menggosokkan badannya pada kandang. Eksudat yang dihasilkan oleh penyakit scabies akan merembes keluar kulit kemudian mengering membentuk sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya terjadi keratinisasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi  jarang bahkan hilang sama sekali. Kambing muda lebih rentan terhadap penyait scabies. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan ternak lainnya dan juga tertular melalui peralatan pakan dan peralatan lain yang telah tercemar parasit scabies. Penyakit meningkat terutama pada musim penghujan (Subronto, 2008).

Gejala klinis
Scabies adalah salah satu penyakit menular yang sering ditemukan. Ditandai radang pada kulit dengan disertai keropeng dan bulu rontok pada daerah yang terserang penyakit. Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda; pada kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Pada kambing menyebabkan kerusakan pada kulit terutama di daerah muka dan telinga. Dalam keadaan yang parah seluruh bagian tubuh dapat terserang. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Kettle, 2004).

Menurut Colville (2000), pada kasus yang parah dapat terlihat gejala klinis yang lain yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang gatal ke tiang kandang atau pohon-pohon, menggaruk-garuk atau mencakar dan menggigit kulitnya  secara terus-menerus. Hewan menjadi kurus jika tidak segera diobati maka akan terjadi kematian.

Menurut Sungkar (2001), pada kambing yang terinfeksi terlihat: lesu, tidak ada nafsu makan, kulit tampak menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok, gatal-gatal atau Pruritis, Hyperemi pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh pada mukosa mulut dan terjadi Conjungtivitis.


  
Gambar 3 : Gejala yang di timbulkan pada kambing akibat infestasi  Sarcoptes
 scabiei  (Anonim, 2011).

Diagnosa
Dasar diagnosa scabies adalah dengan melihat  gejala klinis yang terjadi. Diagnosa scabies dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang persisten dengan gejala-gejala klinis seperti yang diuraikan di atas dan  konfirmasi agen penyebab Sarcoptes scabiei, larva, telur atau kotoran dengan pemeriksaan mikroskopis yakni membuat kerokan kulit dari hewan yang terinfeksi (David, 2002). Kerokan kulit diambil dari bagian kulit yang luka, kemudian dikerok dengan scalpel atau silet hingga berdarah. Kerokan kulit diambil dari beberapa tempat yang berbeda pada kulit yang berlesi (Colville, 2000).

Kerokan kulit yang berupa kerak, sisik, serta bekas luka ditampung ke dalam botol reagen kemudian dibersihkan dengan larutan KOH 10 %. Kemudian dilihat di bawah mikroskop untuk menentukan penyebab agen Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan kerokan kulit yang diperkirakan masih agak lama, hasil kerokan kulit disimpan atau ditampung ke dalam botol reagen berisi alkohol 70 %. Botol bagian dalam dan luar perlu diberi alkohol 70 % agar parasit Sarcoptes scabiei mati dan tidak mencemari lingkungan (Manurung, 2001).

Diagnosa Banding
Menurut Soulsby (1982), penyakit scabies dapat dikelirukan dengan beberapa penyakit kulit yang lain yaitu penyakit Ringworm, Demodex dan penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu. Pada penyakit Ringworm tidak menimbulkan ketebalan pada kulit dan ditemukan adanya spora jamur pada tangkai rambut. Pada penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu, terlihat adanya kerak pada kulit, rambutnya kusut tetapi kulit tidak menjadi tebal. Kedua penyebab penyakit tersebut umumnya menyerang daerah superficial atau permukaan kulit sedangkan Sarcoptes scabiei penyebab penyakit scabies menginfeksi ternak dengan membuat terowongan pada kulit.

Pencegahan scabies
Pencegahan bisa dilakukan dengan cara:
-Menghindari kontak lansung dengan kambing yang terkena penyakit ini
-Sanitasi kandang
-Bila salah satu kambing menunjukan gejala penyakit scabies, kambing tersebut segera isolasi.

Pengobatan Scabies.
Beberapa obat tradisional telah digunakan untuk pengobatan scabies seperti campuran belerang dan minyak kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan tungau Sarcoptes scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan minyak kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping berperan dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit. Pengobatan tradisional lainnya dengan menggunakan oli bekas yang dipanaskan dan dioleskan pada bagian kulit yang berlesi atau ke seluruh tubuh (Randu, 2002).

Hasil penelitian lain membuktikan bahwa campuran belerang dan minyak kelapa dapat menyembuhkan penyakit scabies pada ternak kambing. Selain obat obatan di atas, alternatif lain yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit scabies adalah dengan menggunakan pengobatan modern berupa Ivermectin yang merupakan obat anti parasit dan mempunyai efek terhadap berbagai jenis parasit pada hewan. Mekanisme kerja Ivermectin di dalam tubuh adalah mengganggu aktivitas aliran ion klorida pada system saraf Arthropoda. Preparat ini dapat terikat pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida, sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah pengeluaran neurotransmitter yang diperantarai GABA (Gama Amino Butiro Acid) pada syaraf perifer. Sebagai akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron akan terganggu, sehingga menyebabkan terjadinya kelumpuhan dari parasit dan akhirnya mati. Obat ini telah digunakan untuk mengobati penyakit scabies pada ternak kambing (Wardana, 2006).

Dosis yang diberikan umumnya 1 ml untuk 25 kg bobot badan kambing secara subkutan. Pengobatan dapat diulang kembali pada hari ke 10-14. Masa 10-14 hari adalah waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau Sarcoptes scabies yang mungkin masih tersisa untuk menetas (Manurung et al., 1986b ; Manurung et al., 1990). Penggunaan ivermectin secara subkutan untuk pengobatan kambing yang terserang skabies dilaporkan oleh Jagannath dan Yathiraj (1999).

BAB III MATERI DAN METODE

Materi Kegiatan
Alat-alat
1. Scalpel atau silet
2. Pinset
3. Mikroskop
4. Objeu glass
5. Spuit
6. Kamera digital

Bahan-bahan
1. Kambing
2. Minyak kelapa
3. Sampel kerokan kulit (Biopsy jaringan kulit)
4. Larutan KOH 10 %
5. Ivermectin
6. Vitamin B complex

Metode Kegiatan
3.2.1    Jenis Kegiatan
Jenis kegiatan yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu sinyalemen, anamnesa dan pemeriksaan fisik. Tahapan ini bertujuan untuk menemukan kondisi-kondisi patologis seperti trauma fisik, luka maupun nutrisi. Tahapan diagnosis penunjang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis suatu kasus.

Prosedur Kegiatan
Sinyalemen
Sinyalemen atau jati diri atau identitas diri atau ciri-ciri seekor hewan merupakan ciri pembeda yang membedakannya dari hewan lain sebangsa dan sewarna meski ada kemiripan satu sama lainnya (twin) (Widodo, 2011). Sinyalemen terdiri dari data pasien yang harus diketahui seperti nama/nomor, spesies, ras, kelamin, umur, bulu dan warna, berat badan dan tanda-tanda lain yang penting, dan data yang lain yang harus diketahui yaitu data klien yang berupa nama, alamat dan nomor telepon (Ikliptikawati, 2014).

Sinyalemen atau tanda-tanda khusus yang didapatkan pada hewan tersebut adalah:
Spesies : Kambing, Ras: Kambing kacang,   Jenis kelamin: Betina, Umur: 6 bulan, Warna bulu: Putih, coklat dan hitam, Berat badan: ± 10 kg., Tanda-tanda khusus: Bulu bagian kaki hitam dan luka di bagian siku.

Anamnesa
Anamnesa atau history atau sejarah hewan adalah berita atau keterangan atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa datang berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa keterangan tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika pemilik telah sering datang berkonsultasi (Widodo, 2011).
Anamnesa bertujuan untuk mendapatkan informasi yang detail mengenai keadaan yang sedang dialami hewan tersebut. Hal ini dilakukan oleh kooperator yang berkesempatan untuk komunikasi dengan pemilik hewan atau klien, mengumpulkan informasi yang berhubungan, catat perubahan berat, dan identifikasi pemilik hewan atau klien (Ettinger, 2010).

Dari anamnesa yang didapat, kambing tersebut dipelihara secara semi intensif, Sering berintraksi dengan kambing tetangga yang menunjukan gejala scabies, kambing tersebut terlihat menggaruk-garuk bahkan sampai menggosok-gosokkan badannya pada tiang kandang dan sebelumya terdapat 2 ekor kambing yang mati.

Pemeriksaan Fisik
Hal yang dilakukan setelah sinyalemen atau registrasi dan anamnesa maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan umum. Menurut Widodo (2011), tata cara pemeriksaan fisik hewan dapat dilakukan dengan catur indera pemeriksa, yakni  dengan penglihatan, perabaan, pendengaran, serta penciuman (pembauan) antara lain dengan cara inspeksi, palpasi atau perabaan, perkusi atau mengetuk, auskultasi atau mendengar, mencium atau membaui, mengukur dan menghitung, pungsi pembuktian, tes alergi, pemeriksaan laboratorium klinik serta pemeriksaan dengan alat diagnostik lain.
Inspeksi dari jauh dan dekat terhadap pasien secara menyeluruh dari segala arah dan keadaan sekitarnya. Diperhatikan pula ekspresi muka, kondisi tubuh, pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara hewan (Fowler, 2008).

Analisis data
Data yang diperoleh dalam kegiatan ini dianalisis secara deskriptif.


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Pemeriksaan Klinis
Hasil pengamatan pada tanggal 18 Maret 2016 di Desa Alun Naga, kambing memperlihatkan daerah permukaan tubuh yang terinfeksi adalah daerah kepala, muka, sekitar moncong, kuping, bagian leher, punggung dan kaki. Gejala klinis yang lain pada kambing terlihat adanya depresi yakni kambing tersebut tampak lesu, kurang nafsu makan, kulit tampak menebal, gatal-gatal dan hewan terlihat kurus. Selain itu, hewan terlihat menggesek-gesekkan daerah yang terinfeksi ke tiang kandang, menggaruk dan menggigit kulitnya.

Dari anamnesa yang didapat bahwa ada beberapa dari kambing milik warga yang lain terlebih dahulu memiliki gejala yang sama. Karena kambing tersebut di pelihara secara semi intensif jadi dengan mudah kambing tersebut terimpeksi Sarcoptes scabiei.

Pengerokan kulit selanjutnya dilalukan pada kambing yang diduga scabies untuk pemeriksaan laboratorium. Kerokan kulit diambil dengan cara mengambil lapisan epidermis kulit yang telah dibersihkan sebelumnya, dikerok sampai berdarah kemudian mengambil sedikit sampel kulit dibawahnya menggunakan scalpel atau silet yang telah diolesi minyak (David, 2002).

Untuk peneguhan diagnosis scabies pada kambing, maka sampel kerokan kulit diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x.

4.1.2    Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran mikroskopik pada kerokan kulit kambing menunjukkan bentuk Sarcoptes scabiei yang tumbuh dan berkembang biak di permukaan kulit kambing, sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosa pada kambing tersebut adalah scabiosis.

Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan yang  dilakukan dalam kegiatan ini adalah penyemprotan kandang menggunakan disinfectant dan pengobatan yang diberikan adalah dengan menyutikan Ivermectin secara subcutan dengan dosis 0,04 ml/kg BB dan vitamin B Complex dengan dosis 0,1 ml/kg BB secara intra muscular. Pengontrolan kambing dilakukan tiap 3 hari sekali. Pemberian Ivermectin kedua diberikan 2 minggu setelah pemberian pertama dengan tujuan untuk membunuh  telur tungau Sarcoptes scabiei yang mungkin masih tersisa untuk menetas.

Pembahasan
Scabies adalah salah satu penyakit menular yang sering ditemukan pada ternak kambing. Ditandai radang pada kulit dengan disertai keropeng dan bulu rontok pada daerah yang terserang penyakit. Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda; pada kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Pada kambing menyebabkan kerusakan pada kulit terutama di daerah muka dan telinga. Dalam keadaan yang parah seluruh bagian tubuh dapat terserang. Penyakit scabies ini lebih dominan dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Kettle, 2004).

Diagnosis scabies yang sering dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping) daerah yang menunjukan gejala klinis yakni krusta, keropeng dan terjadi allopesia. Gambaran Sarcoptes scabiei tidak selalu mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan kulit ditemukan positif sekitar 30%-50%. Pemeriksaan kerokan kulit secara laboratorium merupakan pemeriksaan lanjutan atau peneguhan diagnosa penyakit scabies serta untuk mengetahui kebenaran dari pemeriksaan klinis yang telah dilakukan sebelumnya (Ljunggren, 2005).

Berdasarkan data diatas dari hasil pemeriksaan klinis pada kambing terdapat keropeng, hiperemi dan kulit kelihatan jelek (Gambar 4).  Dasar diagnosis penyakit scabies adalah pemeriksaan fisik pada kulit dengan melihat gejala klinis yang terjadi pada permukaan kulit kambing seperti; keropeng, alopesia, papula, hiperemi dan kulit kelihatan jelek. Diagnosis scabies dipertimbangkan terdapat riwayat gatal yang persisten yang terjadi pada kambing dan pemeriksaan kerokan pada kulit kambing secara laboratoris (Sungkar, 2001).

Gambaran hasil pemeriksaan mikroskopik pada kerokan kulit kambing menunjukkan bentuk Sarcoptes scabiei yang tumbuh dan berkembang biak di permukaan kulit kambing (Gambar 6) sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosa pada kambing tersebut adalah scabiosis Secara morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.  Sarcoptes scabiei  transparan, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine, 2000).

Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf ‘Y’ dan terletak diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001)

Pengobatan scabies yang dilakukan menggunakan ivermectin secara subcutan dan diulangi 14 hari setelah penyuntikan pertama. Dosis yang diberikan umumnya 1 ml untuk 25 kg bobot badan kambing secara subkutan. Pengobatan dapat diulang kembali pada hari ke 10-14. Masa 10-14 hari adalah waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau Sarcoptes scabies yang mungkin masih tersisa untuk menetas (Manurung et al., 1986b; Manurung et al., 1990). Penggunaan ivermectin secara subkutan untuk pengobatan kambing yang terserang skabies dilaporkan oleh Jagannath dan Yathiraj (1999).

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN
1. Hasil diagnosa secara klinis ditemukan adanya keropeng, alopesia, papula, hiperemi, kulit kelihatan jelek dan hasil diagnosa causatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium penyebab penyakit tersebut adalah Sarcoptes scabiei.
2. Penanganan scabies dapat dilakukan dengan menyuntikkan Ivermectin secara subcutan dengan dosis 0,04 ml/kg BB dan dapat diulangi 10-14 hari setelah penyuntikan pertama.

SARAN
Perlu dilakukan penanganan yang cepat dan perawatan yang baik terhadap kambing yang terinfeksi Sarcoptes scabiei.

DAFTAR PUSTAKA

(Daftar Pustaka ada pada penulis /bila perlu bisa menghubungi penulis)

Drh. Indrayati
Adalah Dokter Hewan Pada Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Banda Aceh

Tanpa merubah maksud dan tanpa mengurangi isinya, tulisan telah diedit ulang oleh drh. Giyono Trisnadi


******

PENTING UNTUK PETERNAKAN: