Scabiosis
adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak dan
cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei termasuk Ordo Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes. Penyakit ini menyerang kulit dan dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan dan dapat
menular pada manusia (zoonosis).
******
Penanganan
Penyakit Scabies pada Kambing Kacang
Oleh:
Indrayati
BAB
I PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kambing
merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing termasuk salah
satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di pedesaan. Hampir setiap rumah
tangga memelihara kambing. Sebagian dari mereka
menjadikan peternakan kambing sebagai salah satu sumber penghasilan keluarga.
Saat ini, pemeliharaan kambing bukan hanya di pedesaan, tetapi sudah menyebar
ke berbagai tempat. Semakin banyak peternak kambing yang muncul disebabkan oleh
permintaan daging dan susu kambing yang terus mengalami peningkatan. Kambing
sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakan karena ukuran tubuhnya tidak
terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak per
kelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran pendek dan
pertumbuhan anak atau pedet cepat. Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi
yang tinggi dengan kondisi agroekosistem suatu tempat (Sarwono,2011).
Prabowo
(2010) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia.
Kambing ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Morfologi tubuh kambing
kacang adalah berbadan kecil, telinga pendek tegak, leher pendek, punggung
meninggi, jantan dan betina bertanduk, tinggi badan jantan dewasa rata-rata 60-65 cm, tinggi badan betina
dewasa rata-rata 56 cm, bobot dewasa untuk betina rata-rata 20 kg dan jantan 25
kg. Selain itu kambing ini juga cocok sebagai penghasil daging dan kulit,
bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan
baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan
yang sangat sederhana (Pamungkas dkk., 2009). Ditinjau dari aspek tingkah
lakunya, kambing merupakan hewan gembalaan. Realitas ini disebabkan oleh sifat
kambing yang lebih cocok dan senang hidup bebas sehingga sangat memungkinkan
terjadinya perlukaan pada beberapa anggota tubuh kambing (Murtidjo, 1992).
Peternakan
kambing khususnya di daerah-daerah terpencil kurang mendapatkan perhatian dari
pemerintah karena jarak transportasi yang jauh. Masyarakat hanya mengandalkan
tradisi dan budaya yang telah turun-temurun dalam proses peternakan mereka.
Peternakan yang ada di daerah kurang mengenali penyakit pada hewan ternak.
Penyakit tersebut dapat mempengaruhi dan menghambat sistem perekonomian pada
peternakan kambing (Subekti, 2007).
Penyakit
parasitik merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas
ternak. Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes dengan memakan jaringan
tubuh, mengambil nutrisi yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat,
penurunan daya tahan tubuh dan kematian pada hospes. Ternak yang terinfeksi
parasit biasanya mengalami kekurusan sehingga mempunyai nilai jual yang rendah
(Khan dkk., 2008).
Scabies
merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan
cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei yang ditandai dengan gejala khas yaitu gatal pada kulit dan akhirnya
mengalami kerusakan pada kulit yang terserang. Parasit Sarcoptes scabiei adalah
ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat
menurunkan produksi daging, kualitas kulit dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Penyakit ini di golongkan penyakit hewan yang menular pada manusia atau
zoonosis (Iskandar, 2000).
Parasit
Sarcoptes scabiei telah lama dikenal dan pertama kali ditemukan sebagai
penyebab penyakit scabies oleh Bonoma dan Cestoni pada tahun 1689. Literatur
lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan
Cicero dengan menyebutnya sebagai “lice in the Flesh”. Sejauh ini dilaporkan
terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo
mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak hewan kesayangan
dan hewan liar. Masalah scabies masih
banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada negara-negara berkembang dan
industri. Rendahnya tingkat higienitas dan sanitasi serta sosial ekonomi
manjadi faktor pemicu penyakit ini. Kondisi kekurangan air atau tidak adanya
sarana pembersih tubuh, kekurangan makanan dan hidup berdesakan semakin
mempermudah penularan penyakit scabies dari penderita sehat ke yang sakit
(Anonim, 2012).
Semua
hewan ternak dapat terserang scabies, namun predileksi serangan scabies pada
tiap-tiap hewan berbeda pada kerbau di punggung, paha, leher, muka dan daun
telinga sedangkan kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke
seluruh tubuh apabila bersifat kronis dan kambing sekitar punggung, telinga dan
seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing dibandingkan
pada domba (Manurung et al., 1990).
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dari kegiatan ini
adalah bagaimanakah cara mendiagnosa dan pengobatan penyakit scabies?
Tujuan
Kegiatan
Tujuan
dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana cara melakukan
diagnose, pencegahan dan penangana penyakit scabies pada kambing kacang.
Manfaat
kegiatan
Manfaat
dari kegiatan ini antara lain :
Bagi
Profesi
Hasil
kegiatan ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan tambahan ilmu baik penerapan
secara langsung maupun pengembangan dalam Penatalaksanaan di bidang Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
Bagi
Peternak dan Masyarakat
Hasil
kegiatan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi
yang berguna bagi semua masyarakat pada umumnya dan para peternak pada
khususnya, khususnya peternak kambing mengenai cara penularan, pencegahan dan
penanganan penyakit scabies.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Kambing
Kambing
merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra
aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di
Asia Barat Daya, Turki dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki
tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya kambing
mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas dan kebanyakan berbulu lurus
dan kasar. Panjang tubuh kambing liar tidak termasuk ekor adalah 1,3 meter -
1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter-15 sentimeter. Bobot yang betina 50
kilogram - 55 kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram.
Kambing berkembang biak dengan melahirkan. Kambing bisa melahirkan dua hingga
tiga ekor anak dalam setahun, setelah bunting selama 150-154 hari. Dewasa
kelamin dicapai pada usia empat bulan (Riwantoro,2010).
Kambing
termasuk salah satu jenis ternak yang akrab dengan usaha tani di pedesaan.
Hampir setiap rumah tangga memelihara kambing. Sebagian dari mereka menjadikan peternakan kambing sebagai salah
satu sumber penghasilan keluarga. Saat ini, pemeliharaan kambing bukan hanya di
pedesaan, tetapi sudah menyebar ke berbagai tempat. Semakin banyak peternak
kambing yang muncul disebabkan oleh permintaan daging dan susu kambing yang
terus mengalami peningkatan. Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk
diternakan karena ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, perawatannya mudah,
cepat berkembang biak, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu ekor,
jarak antar kelahiran pendek dan pertumbuhan anak atau pedet cepat. Selain itu,
kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi agroekosistem suatu
tempat. (Sarwono,2011).
Kambing
sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun yang lalu. Habitat
yang disukai kambing adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Waktu aktif
mencari makan dominan siang hari dan kadang-kadang pada malam hari. Makanan
utamanya adalah rumput-rumputan dan dedaunan (Chen, 2005).
Prabowo
(2010) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia.
Kambing ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Morfologi tubuh kambing
kacang adalah berbadan kecil, telinga pendek tegak, leher pendek, punggung
meninggi, jantan dan betina bertanduk, tinggi badan jantan dewasa rata-rata 60-65 cm, tinggi badan betina
dewasa rata-rata 56 cm, bobot dewasa untuk betina rata-rata 20 kg dan jantan 25
kg. Selain itu kambing ini juga cocok sebagai penghasil daging dan kulit,
bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan
baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan
yang sangat sederhana (Pamungkas dkk., 2009).
Distribusi
penyebaran kambing relatif merata di seluruh daerah. Satu dari lima rumah
tangga petani memelihara 1-4 ekor kambing. Sebagian masyarakat pedesaan
memperlakukan kambing sebagai pabrik kecil penghasil daging dan susu. Hasil
lain yang bisa diperoleh dari ternak kambing adalah kulit dan kotorannya yang
berfungsi sebagai pupuk kandang. Peternak di Jawa sangat menyukai kambing
karena modal yang diperlukan untuk pemeliharaannya relative kecil (Rahayu,
2014).
Di
Indonesia ada beberapa bangsa kambing yang fenotip sudah dikarakterisasi dan
diternakan. Dari bangsa ternak kambing lokal Indonesia tersebut yang termasuk
kategori besar adalah kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Muara, kambing
kategori sedang adalah kambing Kosta, Gembrong dan kategori kecil adalah
kambing Kacang, kambing Simosir dan kambing Marica (Batubara, 2007).
Scabiosis
Definisi
Scabiosis
adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan
cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Animal, Phylum Arthropoda, Class Arachnida, Order
Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes dan Species Sarcoptes scabiei yang
ditandai dengan gejala klinis gatal pada kulit. Parasit S. scabiei adalah
ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat
menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan mengganggu kesehatan masyarakat
(Iskandar, 1982., Sardjono et al.,1998).
Semua
hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi
serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda. Pada kerbau di punggung,
paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kambing dibandingkan pada domba (Manurung et al., 1990).
Etiologi
Penyakit
scabies terjadi karena adanya infestasi dari Sarcoptes scabiei. Flynn (2002),
menyatakan bahwa scabies ada dalam semua populasi hewan. Varietas tungau
penyebab scabies pada beberapa jenis hewan morfologinya sama, hanya berbeda
dalam kesanggupannya memanfaatkan induk semang yang berlainan sehingga dari
populasi tersebut timbul nama yang khas untuk masingmasing jenis
Ada
tiga famili tungau yang sering menyerang hewan dan menyebabkan penyakit kudis,
yaitu famili Sarcoptidae, Prosoptidae dan Demodicidae (Siregar, 2007).
Famili
Sacoptidae
Genus
Sarcoptes menyebabkan kudis pada kambing, domba, sapi, babi, kuda, anjing dan
kelinci. Genus Notoedres menyebabkan kudis pada kucing dan kelinci. Genus
Knemidocoptes menyerang unggas.
Famili
Psoroptidae
Genus
Psoroptes menyebabkan kudis pada domba, sapi dan kuda. Genus Otodectes
menyebabkan kudis pada anjing dan kucing. Genus Chorioptes menyebabkan kudis
pada sapi, anjing, kucing, kuda dan babi.
Famili
Demodicidae
Genus
Demodex menyebabkan kudis pada sapi, anjing, kambing, kucing, kuda dan babi.
Scabies
pada kambing disebabkan oleh tungau yang bernama Sarcoptes scabiei dengan
klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Animal,
Phylum Arthropoda, Class Arachnid, Order Acarina, Family Sarcoptidae,
Genus Sarcoptes dan Species Sarcoptes scabiei.
Morfologi
Secara
morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata.
Sarcoptes scabiei transparan,
berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330
– 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 –
240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga
berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine,
2000).
Bagian
mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang
bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya
terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat
penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk
celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk
huruf ‘Y’ dan terletak diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001)
Gambar
1 : Gambaran bentuk tubuh Sarcoptes scabiei (Belding, 2001).
Siklus
Hidup
Sarcoptes
scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa kemudian menjadi
jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang kelamin (Williams et al, 2000).
Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas
kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan
yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali
terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau
50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya
akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3
pasang kaki. Larva dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar.
Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan
betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai
bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Wahyuti, 2009).
Gambar
2 : Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Anonim, 2011).
Patogenesis
Sarcoptes
scabiei menginfeksi ternak dengan menembus kulit, menghisap cairan limfe dan
juga memakan sel-sel epidermis pada hewan. Scabies akan menimbulkan rasa gatal
yang luar biasa sehingga kambing atau ternak yang terserang akan menggosokkan
badannya pada kandang. Eksudat yang dihasilkan oleh penyakit scabies akan
merembes keluar kulit kemudian mengering membentuk sisik atau keropeng di
permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan selanjutnya terjadi keratinisasi
serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang terinfeksi parasit akan
menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah ini akan menjadi jarang bahkan hilang sama sekali. Kambing
muda lebih rentan terhadap penyait scabies. Penularan terjadi melalui kontak
langsung dengan ternak lainnya dan juga tertular melalui peralatan pakan dan
peralatan lain yang telah tercemar parasit scabies. Penyakit meningkat terutama
pada musim penghujan (Subronto, 2008).
Gejala
klinis
Scabies
adalah salah satu penyakit menular yang sering ditemukan. Ditandai radang pada
kulit dengan disertai keropeng dan bulu rontok pada daerah yang terserang
penyakit. Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh,
namun predileksi scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda; pada kerbau di
punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung,
jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Pada kambing menyebabkan kerusakan
pada kulit terutama di daerah muka dan telinga. Dalam keadaan yang parah
seluruh bagian tubuh dapat terserang. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kambing dibandingkan pada domba (Kettle, 2004).
Menurut
Colville (2000), pada kasus yang parah dapat terlihat gejala klinis yang lain
yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang gatal ke tiang kandang atau
pohon-pohon, menggaruk-garuk atau mencakar dan menggigit kulitnya secara terus-menerus. Hewan menjadi kurus
jika tidak segera diobati maka akan terjadi kematian.
Menurut
Sungkar (2001), pada kambing yang terinfeksi terlihat: lesu, tidak ada nafsu
makan, kulit tampak menebal, berkerak, turgor kulit jelek, bulu rontok,
gatal-gatal atau Pruritis, Hyperemi pada selaput lendir mulut, terdapat lepuh
pada mukosa mulut dan terjadi Conjungtivitis.
Gambar
3 : Gejala yang di timbulkan pada kambing akibat infestasi Sarcoptes
scabiei
(Anonim, 2011).
Diagnosa
Dasar
diagnosa scabies adalah dengan melihat
gejala klinis yang terjadi. Diagnosa scabies dipertimbangkan bila
terdapat riwayat gatal yang persisten dengan gejala-gejala klinis seperti yang
diuraikan di atas dan konfirmasi agen
penyebab Sarcoptes scabiei, larva, telur atau kotoran dengan pemeriksaan
mikroskopis yakni membuat kerokan kulit dari hewan yang terinfeksi (David, 2002).
Kerokan kulit diambil dari bagian kulit yang luka, kemudian dikerok dengan
scalpel atau silet hingga berdarah. Kerokan kulit diambil dari beberapa tempat
yang berbeda pada kulit yang berlesi (Colville, 2000).
Kerokan
kulit yang berupa kerak, sisik, serta bekas luka ditampung ke dalam botol
reagen kemudian dibersihkan dengan larutan KOH 10 %. Kemudian dilihat di bawah
mikroskop untuk menentukan penyebab agen Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan kerokan
kulit yang diperkirakan masih agak lama, hasil kerokan kulit disimpan atau
ditampung ke dalam botol reagen berisi alkohol 70 %. Botol bagian dalam dan
luar perlu diberi alkohol 70 % agar parasit Sarcoptes scabiei mati dan tidak
mencemari lingkungan (Manurung, 2001).
Diagnosa
Banding
Menurut
Soulsby (1982), penyakit scabies dapat dikelirukan dengan beberapa penyakit
kulit yang lain yaitu penyakit Ringworm, Demodex dan penyakit kulit yang
disebabkan oleh kutu. Pada penyakit Ringworm tidak menimbulkan ketebalan pada kulit
dan ditemukan adanya spora jamur pada tangkai rambut. Pada penyakit kulit yang
disebabkan oleh kutu, terlihat adanya kerak pada kulit, rambutnya kusut tetapi
kulit tidak menjadi tebal. Kedua penyebab penyakit tersebut umumnya menyerang
daerah superficial atau permukaan kulit sedangkan Sarcoptes scabiei penyebab
penyakit scabies menginfeksi ternak dengan membuat terowongan pada kulit.
Pencegahan
scabies
Pencegahan
bisa dilakukan dengan cara:
-Menghindari
kontak lansung dengan kambing yang terkena penyakit ini
-Sanitasi
kandang
-Bila
salah satu kambing menunjukan gejala penyakit scabies, kambing tersebut segera
isolasi.
Pengobatan
Scabies.
Beberapa
obat tradisional telah digunakan untuk pengobatan scabies seperti campuran
belerang dan minyak kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat mematikan
tungau Sarcoptes scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan minyak kelapa
dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena kegunaannya sebagai
pelarut untuk melarutkan belerang disamping berperan dalam proses reabsorbsi
obat ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit. Pengobatan tradisional lainnya
dengan menggunakan oli bekas yang dipanaskan dan dioleskan pada bagian kulit
yang berlesi atau ke seluruh tubuh (Randu, 2002).
Hasil
penelitian lain membuktikan bahwa campuran belerang dan minyak kelapa dapat
menyembuhkan penyakit scabies pada ternak kambing. Selain obat obatan di atas,
alternatif lain yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit scabies adalah
dengan menggunakan pengobatan modern berupa Ivermectin yang merupakan obat anti
parasit dan mempunyai efek terhadap berbagai jenis parasit pada hewan.
Mekanisme kerja Ivermectin di dalam tubuh adalah mengganggu aktivitas aliran
ion klorida pada system saraf Arthropoda. Preparat ini dapat terikat pada
reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida,
sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah pengeluaran
neurotransmitter yang diperantarai GABA (Gama Amino Butiro Acid) pada syaraf
perifer. Sebagai akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas
neuron akan terganggu, sehingga menyebabkan terjadinya kelumpuhan dari parasit
dan akhirnya mati. Obat ini telah digunakan untuk mengobati penyakit scabies
pada ternak kambing (Wardana, 2006).
Dosis
yang diberikan umumnya 1 ml untuk 25 kg bobot badan kambing secara subkutan.
Pengobatan dapat diulang kembali pada hari ke 10-14. Masa 10-14 hari adalah
waktu yang diperlukan untuk sebuah telur tungau Sarcoptes scabies yang mungkin
masih tersisa untuk menetas (Manurung et al., 1986b ; Manurung et al., 1990).
Penggunaan ivermectin secara subkutan untuk pengobatan kambing yang terserang
skabies dilaporkan oleh Jagannath dan Yathiraj (1999).
BAB
III MATERI DAN METODE
Materi
Kegiatan
Alat-alat
1. Scalpel
atau silet
2. Pinset
3. Mikroskop
4. Objeu
glass
5. Spuit
6. Kamera
digital
Bahan-bahan
1. Kambing
2. Minyak
kelapa
3. Sampel
kerokan kulit (Biopsy jaringan kulit)
4. Larutan
KOH 10 %
5. Ivermectin
6. Vitamin
B complex
Metode
Kegiatan
3.2.1 Jenis Kegiatan
Jenis
kegiatan yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu sinyalemen,
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Tahapan ini bertujuan untuk menemukan
kondisi-kondisi patologis seperti trauma fisik, luka maupun nutrisi. Tahapan
diagnosis penunjang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis suatu kasus.
Prosedur
Kegiatan
Sinyalemen
Sinyalemen
atau jati diri atau identitas diri atau ciri-ciri seekor hewan merupakan ciri
pembeda yang membedakannya dari hewan lain sebangsa dan sewarna meski ada
kemiripan satu sama lainnya (twin) (Widodo, 2011). Sinyalemen terdiri dari data
pasien yang harus diketahui seperti nama/nomor, spesies, ras, kelamin, umur,
bulu dan warna, berat badan dan tanda-tanda lain yang penting, dan data yang
lain yang harus diketahui yaitu data klien yang berupa nama, alamat dan nomor
telepon (Ikliptikawati, 2014).
Sinyalemen
atau tanda-tanda khusus yang didapatkan pada hewan tersebut adalah:
Spesies
: Kambing, Ras: Kambing kacang, Jenis
kelamin: Betina, Umur: 6 bulan, Warna bulu: Putih, coklat dan hitam, Berat
badan: ± 10 kg., Tanda-tanda khusus: Bulu bagian kaki hitam dan luka di bagian siku.
Anamnesa
Anamnesa
atau history atau sejarah hewan adalah berita atau keterangan atau lebih
tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa
datang berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa keterangan
tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika pemilik telah sering datang
berkonsultasi (Widodo, 2011).
Anamnesa
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang detail mengenai keadaan yang sedang
dialami hewan tersebut. Hal ini dilakukan oleh kooperator yang berkesempatan
untuk komunikasi dengan pemilik hewan atau klien, mengumpulkan informasi yang
berhubungan, catat perubahan berat, dan identifikasi pemilik hewan atau klien
(Ettinger, 2010).
Dari
anamnesa yang didapat, kambing tersebut dipelihara secara semi intensif, Sering
berintraksi dengan kambing tetangga yang menunjukan gejala scabies, kambing
tersebut terlihat menggaruk-garuk bahkan sampai menggosok-gosokkan badannya
pada tiang kandang dan sebelumya terdapat 2 ekor kambing yang mati.
Pemeriksaan
Fisik
Hal
yang dilakukan setelah sinyalemen atau registrasi dan anamnesa maka selanjutnya
dilakukan pemeriksaan umum. Menurut Widodo (2011), tata cara pemeriksaan fisik
hewan dapat dilakukan dengan catur indera pemeriksa, yakni dengan penglihatan, perabaan, pendengaran,
serta penciuman (pembauan) antara lain dengan cara inspeksi, palpasi atau
perabaan, perkusi atau mengetuk, auskultasi atau mendengar, mencium atau
membaui, mengukur dan menghitung, pungsi pembuktian, tes alergi, pemeriksaan
laboratorium klinik serta pemeriksaan dengan alat diagnostik lain.
Inspeksi
dari jauh dan dekat terhadap pasien secara menyeluruh dari segala arah dan
keadaan sekitarnya. Diperhatikan pula ekspresi muka, kondisi tubuh, pernafasan,
keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara hewan
(Fowler, 2008).
Analisis
data
Data
yang diperoleh dalam kegiatan ini dianalisis secara deskriptif.
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pemeriksaan
Klinis
Hasil
pengamatan pada tanggal 18 Maret 2016 di Desa Alun Naga, kambing memperlihatkan
daerah permukaan tubuh yang terinfeksi adalah daerah kepala, muka, sekitar
moncong, kuping, bagian leher, punggung dan kaki. Gejala klinis yang lain pada
kambing terlihat adanya depresi yakni kambing tersebut tampak lesu, kurang
nafsu makan, kulit tampak menebal, gatal-gatal dan hewan terlihat kurus. Selain
itu, hewan terlihat menggesek-gesekkan daerah yang terinfeksi ke tiang kandang,
menggaruk dan menggigit kulitnya.
Dari
anamnesa yang didapat bahwa ada beberapa dari kambing milik warga yang lain
terlebih dahulu memiliki gejala yang sama. Karena kambing tersebut di pelihara
secara semi intensif jadi dengan mudah kambing tersebut terimpeksi Sarcoptes
scabiei.
Pengerokan
kulit selanjutnya dilalukan pada kambing yang diduga scabies untuk pemeriksaan
laboratorium. Kerokan kulit diambil dengan cara mengambil lapisan epidermis
kulit yang telah dibersihkan sebelumnya, dikerok sampai berdarah kemudian
mengambil sedikit sampel kulit dibawahnya menggunakan scalpel atau silet yang
telah diolesi minyak (David, 2002).
Untuk
peneguhan diagnosis scabies pada kambing, maka sampel kerokan kulit diperiksa
dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x.
4.1.2 Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran
mikroskopik pada kerokan kulit kambing menunjukkan bentuk Sarcoptes scabiei
yang tumbuh dan berkembang biak di permukaan kulit kambing, sehingga dapat
disimpulkan bahwa diagnosa pada kambing tersebut adalah scabiosis.
Pencegahan
dan Pengobatan
Pencegahan
yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah
penyemprotan kandang menggunakan disinfectant dan pengobatan yang diberikan
adalah dengan menyutikan Ivermectin secara subcutan dengan dosis 0,04 ml/kg BB
dan vitamin B Complex dengan dosis 0,1 ml/kg BB secara intra muscular.
Pengontrolan kambing dilakukan tiap 3 hari sekali. Pemberian Ivermectin kedua
diberikan 2 minggu setelah pemberian pertama dengan tujuan untuk membunuh telur tungau Sarcoptes scabiei yang mungkin
masih tersisa untuk menetas.
Pembahasan
Scabies
adalah salah satu penyakit menular yang sering ditemukan pada ternak kambing.
Ditandai radang pada kulit dengan disertai keropeng dan bulu rontok pada daerah
yang terserang penyakit. Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada
seluruh tubuh, namun predileksi scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda; pada
kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar
mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Pada kambing
menyebabkan kerusakan pada kulit terutama di daerah muka dan telinga. Dalam
keadaan yang parah seluruh bagian tubuh dapat terserang. Penyakit scabies ini
lebih dominan dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Kettle, 2004).
Diagnosis
scabies yang sering dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala klinis dan
pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping) daerah yang
menunjukan gejala klinis yakni krusta, keropeng dan terjadi allopesia. Gambaran
Sarcoptes scabiei tidak selalu mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan kulit
ditemukan positif sekitar 30%-50%. Pemeriksaan kerokan kulit secara
laboratorium merupakan pemeriksaan lanjutan atau peneguhan diagnosa penyakit
scabies serta untuk mengetahui kebenaran dari pemeriksaan klinis yang telah
dilakukan sebelumnya (Ljunggren, 2005).
Berdasarkan
data diatas dari hasil pemeriksaan klinis pada kambing terdapat keropeng,
hiperemi dan kulit kelihatan jelek (Gambar 4).
Dasar diagnosis penyakit scabies adalah pemeriksaan fisik pada kulit
dengan melihat gejala klinis yang terjadi pada permukaan kulit kambing seperti;
keropeng, alopesia, papula, hiperemi dan kulit kelihatan jelek. Diagnosis
scabies dipertimbangkan terdapat riwayat gatal yang persisten yang terjadi pada
kambing dan pemeriksaan kerokan pada kulit kambing secara laboratoris (Sungkar,
2001).
Gambaran
hasil pemeriksaan mikroskopik pada kerokan kulit kambing menunjukkan bentuk
Sarcoptes scabiei yang tumbuh dan berkembang biak di permukaan kulit kambing
(Gambar 6) sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosa pada kambing tersebut
adalah scabiosis Secara morfologi Sarcoptes scabiei: berukuran kecil, berbentuk
oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Sarcoptes scabiei transparan, berwarna putih kotor, dan tidak bermata.
Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan
keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine, 2000).
Bagian
mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk kerucut yang
bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma. Anusnya
terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki alat
penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina berbentuk
celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan berbentuk
huruf ‘Y’ dan terletak diantara pasangan kaki empat (Belding, 2001)
Pengobatan
scabies yang dilakukan menggunakan ivermectin secara subcutan dan diulangi 14
hari setelah penyuntikan pertama. Dosis yang diberikan umumnya 1 ml untuk 25 kg
bobot badan kambing secara subkutan. Pengobatan dapat diulang kembali pada hari
ke 10-14. Masa 10-14 hari adalah waktu yang diperlukan untuk sebuah telur
tungau Sarcoptes scabies yang mungkin masih tersisa untuk menetas (Manurung et
al., 1986b; Manurung et al., 1990). Penggunaan ivermectin secara subkutan untuk
pengobatan kambing yang terserang skabies dilaporkan oleh Jagannath dan
Yathiraj (1999).
BAB
V PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hasil
diagnosa secara klinis ditemukan adanya keropeng, alopesia, papula, hiperemi,
kulit kelihatan jelek dan hasil diagnosa causatif berdasarkan pemeriksaan
laboratorium penyebab penyakit tersebut adalah Sarcoptes scabiei.
2. Penanganan
scabies dapat dilakukan dengan menyuntikkan Ivermectin secara subcutan dengan
dosis 0,04 ml/kg BB dan dapat diulangi 10-14 hari setelah penyuntikan pertama.
SARAN
Perlu
dilakukan penanganan yang cepat dan perawatan yang baik terhadap kambing yang
terinfeksi Sarcoptes scabiei.
DAFTAR
PUSTAKA
(Daftar
Pustaka ada pada penulis /bila perlu bisa menghubungi penulis)
Drh. Indrayati
Adalah Dokter Hewan Pada
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Banda Aceh
Tanpa merubah maksud dan
tanpa mengurangi isinya, tulisan telah diedit ulang oleh drh. Giyono Trisnadi
******