PENYAKIT AFRICAN HORSE SICKNESS, TEKNIK PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN KETENTUAN VAKSINASINYA

Deskripsi Penyakit: African Horse Sickness (AHS) adalah penyakit virus menular tetapi tidak bersifat kontagius yang dapat menginfeksi semua spesies kuda /equidae yang disebabkan oleh Orbivirus dari famili Reoviridae dan ditandai oleh perubahan fungsi pernapasan dan peredaran darah. AHS ditularkan oleh setidaknya dua spesies Culicoides. Sembilan serotipe yang berbeda telah dijelaskan.

Semua serotipe AHS telah mewabah di Afrika timur dan selatan. AHS serotipe 9, 4 dan 2 telah ditemukan di Afrika Utara dan Barat dari mana mereka biasa menyebar ke negara negara di sekitar Mediterania. Contoh wabah yang terjadi di luar Afrika adalah: di Timur Tengah (1959-1963), di Spanyol (serotipe 9, 1966, serotipe 4, 1987-1990), dan di Portugal (serotipe 4,1989).

Diagnosis laboratorium terhadap AHS adalah penting. Meskipun gejala klinis dan lesinya bersifat karakteristik, namun bisa membingungkan dengan gejala penyakit kuda lainnya.

Sebagaimana penyakit virus, diagnosis laboratorium AHS dapat didasarkan pada identifikasi virus infeksius, virus asam nukleat, antigen virus atau antibodi spesifik. Selama beberapa tahun terakhir, berbagai tes laboratorium telah disesuaikan untuk mendeteksi kedua virus AHS (AHSV) dan antibodi spesifik.

ldentification Agen: Sangat penting untuk melakukan isolasi virus dan melakukan serotyping setiap kali wabah terjadi di luar daerah enzootic untuk memilih serotipe homolog untuk vaksin.

AHSV dapat diisolasi dari darah yang dikumpulkan selama tahap awal demam. Untuk isolasi virus, jaringan lain sebagai pilihan untuk diagnosis adalah limpa, paru-paru, dan kelenjar getah bening, dikumpulkan saat nekropsi. Sampel yang dipreparasi dapat diinokulasi dalam kultur sel, seperti baby hamster kidney-21 (BHK-21), monkey stable (MS), African green monkey kidney (Vero) atau insect cells (KC), intravena dalam telur berembrio, dan intracerebrally di tikus yang baru lahir. Beberapa tes enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs) untuk deteksi cepat AHSV antigen dalam darah, jaringan limpa dan supernatan dari sel yang terinfeksi telah dikembangkan. Identifikasi AHSV RNA juga telah dicapai dengan menggunakan metode polymerase chain reaction reverse-transkripsi. Isolat virus dapat diserotykan dengan tes serologi tipe-spesifik seperti virus netralisasi (VN) dan dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RTPCR) dan sequensing.

Tes Serologi: Kuda yang bertahan karena infeksi alami mengembangkan antibodi terhadap serotipe yang menginfeksi dari AHSV dalam waktu 8 -12 hari setelah infeksi. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa metode serologis, seperti complement fixation test (CFT), ELISA, imunoblotting dan VN. Tes terakhir ini digunakan untuk serotipe.

Persyaratan untuk vaksin: Vaksin hidup yang dilemahkan (monovalen dan polivalen) digunakan untuk kuda, bagal dan keledai, saat ini tersedia secara komersial. vaksin subunit secara telah dievaluasi.

A. PENDAHULUAN
African horse sickness (AHS) (Peste equina africana, Peste equine) adalah penyakit menular, non kontak arthopod-borne diseases dari Equidae, disebabkan oleh untai ganda RNA Orbivirus familia Reoviridae. Genus Orbivirus juga termasuk diantaranya penyakitt virus Bluetongue dan virus Epizootic hemoragik, yang memiliki sifat yang mirip morfologi dan biokimianya dengan sifat patologis dan sifat antigeniknya serta jumlah hospesnya. Sembilan serotipe antigen yang berbeda dari AHSV telah diidentifikasi dengan neutralisasi virus; beberapa reaksi silang telah diamati antara 1 dan 2, 3 dan 7, 5 dan 8, dan 6 dan 9, tapi yang terjadi diketahui tidak ada reaksi silang dengan orbiviruses lainnya.

Virion adalah partikel tak beramplop dengan ukuran sekitar 70 nm. Genom virus AHS (AHSV) terdiri dari sepuluh segmen untai ganda RNA, yang mengkodekan tujuh protein berstruktur (VP1-7), sebagian besar yang telah benar-benar disequencing /diurutkan pada AHSV serotipe 4, 6 dan 9 (Roy et al., 1991; Venter et al, 2000;.. Williams et al, 1998) dan empat protein takberstruktur (NS1, NS2, NS3, NS3A) (Grubman & Lewis, 1992;. Laviada et al, 1993). Protein VP2 dan VP5 membentuk kapsid luar virion, dan protein VP3 dan VP7 adalah protein kapsid dalam utama. Protein VP1, VP4 dan VP6 merupakan protein kapsid dalam minor. Protein NS3 adalah protein AHSV paling bervariabel kedua (Van Niekert et al., 2001), Yang paling bervariabel menjadi protein kapsid luar utama, VP2. Protein ini, VP2, adalah penentu serotipe AHSV dan, bersama-sama dengan VP5, target untuk aktivitas netralisasi virus (Martinez-Torrecuadrada et al., 2001). Setidaknya dua vektor lapangan yang terlibat dalam penularan virus: imicola Culicoides dan C. bolitinos.

AHS adalah enzootic di sub-Sahara Afrika, meskipun wabah sesekali terjadi di Afrika utara (1965, 1989-1990), Timur Tengah (1959-1961), dan di Eropa (Spanyol, 1966, 1987-1990 dan Portugal, 1989) (Sanchez-Vizcaino, 2004).

Ada empat bentu klinis klasik AHS: Paru, Jantung, Campuran, dan horse  sickness  fever. Bentuk Paru, Perakut terjadi pada hewan yang sangat rentan dan penularan yang cepat, sering hanya beberapa jam, dan tingkat kematian yang tinggi. Hewan menunjukkan gangguan pernapasan, kepala dijulurkan dengan lehernya, dan berkeringat banyak. Kesakitan parah, buih keluar dari lubang hidung. Bentuk Jantung, edema subakut dengan angka kematian mencapai 50%. Kepala dan leher mungkin terlihat membengkat parah yang dapat mencapai dada. Pembengkakan fossae supraorbital adalah karakteristik dan mungkin disertai kebengkakan dan petekie konjungtiva. Kelumpuhan kerongkongan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan pendarahan sublingual sebagai tanda prognosa yang buruk. Bentuk Campuran, bersifat akut yang paling sering terlihat dan memiliki gejala dari kedua bentuk gejala jantung dan bentuk paru. Mortalitas dapat mencapai 70%. Bentuk Horse sickness fever (demam kuda) sering diabaikan, gejala ringan dari penyakit dan terlihat pada Equidae yang resisten seperti zebra dan keledai (Coetzer & Guthrie, 2005).

Penyakit ini terjadi dalam dua musim (akhir musim panas /musim gugur) dan siklus kejadian epizootik di Afrika Selatan saat ketika fase hangat (Baylis et al., 1999). Kematian akibat AHS berhubungan dengan spesies Equidae yang terkena dan strain atau serotipe virus. Di antara Equidae, kuda yang paling rentan terhadap AHS dengan angka kematian antara 50 - 95%, kemudian keledai dengan angka kematian sekitar 50%. Di daerah enzootik Afrika, keledai sangat tahan terhadap AHS dan dari pengalaman hanya terinfeksi subklinis. Di negara-negara Eropa dan Asia, namun demikian, keledai cukup rentan dan memiliki tingkat kematian 10%. Zebra ternyata tahan tanpa tanda tanda klinis, kecuali demam, dan mungkin viremia yang lama (sampai 40 hari).

Diagnosis laboratorium sangat penting untuk konfirmasi dan menegakkan diagnosa yang benar. Meskipun beberapa tanda-tanda klinis dan lesi sangat karakteristik, AHS dapat dibingungkan dengan penyakit lain. Misalnya, pembengkakan supraorbital, yang sering terlihat pada kuda dengan subakut AHS, adalah, Ketika dikombinasikan dengan sejarah yang tepat, cukup untuk diagnosis tentatif. Tanda-tanda dan lesi lainnya kurang spesifik untuk AHS, dan penyakit lain seperti equine encephalosis, equine infectious anaemia, equine morbillivirus pneumonia, equine viral arteritis, babesiosis dan purpura haemorrhagica harus dikecualikan (OIE Technical Disease Cards: http://www.oie.int/en/animal-health-in- the-world/technical-disease-cards/).

Vaksin hidup yang dilemahkan (monovalen dan polivalen) digunakan untuk kuda, bagal dan keledai, saat ini tersedia secara komersial.

Tidak ada bukti bahwa manusia dapat terinfeksi oleh strain lapangan virus AHS, baik melalui kontak secara alami atau hewan percobaan yang terinfeksi atau dengan manipulasi virus di laboratorium.


B. TEKNIK DIAGNOSA

Beberapa teknik sudah ada untuk identifikasi virus AHS mulai dari rapid capture (indirect sandwich) enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), menggunakan polyclonal antibodies (PAbs)  atau monoclonal antibodies (MAbs), sampai dengan menggunakan tes polymerase chain reaction (PCR), termasuk reverse-transcription (RT) PCR untuk diskriminasi dari sembilan serotipe AHSV atau kultur sel dan inokulasi tikus yang baru lahir. Jika memungkinkan lebih dari satu tes harus dilakukan untuk mendiagnosis wabah AHS, terutama kasus utama. Tes awal bisa menjadi tes cepat seperti ELlSA atau PCR, diikuti oleh isolasi virus dalam kultur jaringan. Netralisasi virus (VN) untuk identifikasi serotipe atau RT-PCR dengan sequencing harus dilakukan sebisanya di awal wabah sehingga serotipe dapat diidentifikasi dan vaksin yang benar bisa dipilih.

Saat ini, tidak ada standar internasional untuk virus atau reagen diagnosanya, dan tidak ada metodologi standar untuk identifikasi virus AHS. Namun, virus dan panel antibodi telah dinilai, dan studi komparatif berbeda antara ELISA untuk antigen virus AHS dan antibodi determinasi telah dilakukan di laboratorium yang berbeda, termasuk di Laboratorium Referensi Uni Eropa untuk AHS. Hasil telah diperlihatkan korelasi tingkat tinggi untuk kedua antigen dan antibodi determinasi dengan di tempat pengujian dan kit komersial (Rubio et al, 1998;. Villalba, 2009). penelitian serupa telah dilakukan dengan beberapa tes RT-PCR (Aquero, 2009) juga terlihat korelasi yang tinggi.

Aspek yang sangat penting dari diagnosis adalah pemilihan sampel dan transportasi sample ke laboratorium yang aman.
1. Identifikasi terhadap agen penyakit
           
1.1. Isolasi Virus

Darah (whole blood) beku diambil ketika tahap demam awal penyakit dari hewan yang sakit, serta potongan-potongan kecil (2-4 g) limpa, paru-paru dan kelenjar getah bening dari hewan yang telah mati, adalah sampel pilihan untuk diagnosis. Sampel harus disimpan pada suhu 4 ° C selama transportasi dan penyimpanan jangka pendek sebelum diproses.

1.1.1. Kultur Sel

Isolasi langsung yang sukses terhadap virus AHS telah dilakukan pada ginjal bayi hamster /baby hamster kidney (BHK-21), monyet /monkey stable (MS) dan ginjal monyet hijau afrika /African green monkey kidney (Vero) sel line mammalia dan pada Culicoides dan sel line serangga nyamuk. Sampel darah yang dikumpulkan dalam antikoagulan yang tepat dapat digunakan tanpa diencerkan sebagai inokulum. Setelah 15-60 menit dari adsorpsi pada suhu sekitar atau pada suhu 37 °C, kultur sel dicuci dan media pemeliharaan ditambahkan. Atau dan lebih umum, darah dicuci, dilisiskan dan diencerkan 1/10. Prosedur ini menghilangkan antibodi yang tidak diinginkan, yang bisa menetralisir virus bebas, dan meningkatkan pelepasan virus yang terkait dengan membran sel darah merah. Ketika sampel jaringan, seperti limpa, paru-paru, dll, yang digunakan, suspensi jaringan 10% disiapkan dalam phosphate buffered saline (PBS) atau media kultur sel, yang mengandung antibiotik.

Efek sitopatik /cytopathic effect (CPE)  mungkin muncul antara 2 dan 10 hari pasca-infeksi dengan sel mamalia. Tiga kali pasase harus dilakukan sebelum sampel bisa menjadi negatif. Tidak ada CPE teramati dalam sel serangga namun keberadaan virus dapat dideteksi dalam supernatan setelah 5-7 hari dengan real-time RT-PCR. Supernatan dari sel serangga yang terinfeksi kemudian dapat diteruskan ke sel mamalia, yang akan menampilkan CPE setelah satu atau dua pasase.

1.1.2. Bayi Tikus (baby mice)

Metode ini dari isolasi virus AHSV termasuk inokulasi intraserebral dari dua famili tikus umur 1-3 hari. Dalam kasus positif, hewan memunculkan gejala gejala saraf antara 3 dan 15 hari pasca inokulasi. Otak dari hewan yang sakit dapat dikumpulkan, dihomogenasi dan kembali diinokulasi secara intracerebral menjadi setidaknya enam tikus umur 1-3 hari. Bagian (pasase) kedua ini harus menunjukkan periode singkat inkubasi (2-5 hari) dan mortalitas 100%. Virus dapat golongkan langsung dari otak tikus dengan netralisasi konvensional (VN) atau dengan ekstraksi RNA dan sequencing.

1.2. Metode asam nukleat

1.2.1. Reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)

Reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) adalah teknik yang sangat sensitif yang memungkinkan deteksi jumlah yang sangat rendah dari salinan molekul RNA, tapi ini tidak selalu menunjukkan adanya virus infeksius. Strand RNA adalah yang pertama ditranskripsikan terbalik.

Dalam DNA komplementer (cDNA), diikuti oleh amplifikasi yang dihasilkan DNA menggunakan polymerase chain reaction. Teknik ini telah meningkatkan deteksi AHSV-RNA dengan meningkatkan sensitivitas deteksi dan memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk diagnosis.

Beberapa agarose gel-based RT-PCR assays untuk mendeteksi spesifik AHSV RNA telah dijelaskan ditargetkan pada segmen viral 3, 7 atau 8 (Aradaib, 2009; Bremer et al., 1998; Laviada et al., 1997; Sakamoto et al., 1994; Stone-Marschat et al., 1994; Zientara et al., 1994).  Metode yang paling banyak digunakan menggunakan primer sesuai dengan ujung 5' (nukleotida 1-21) dan ujung 3' (nukleotida 1160-1179) dari RNA segmen 7 menjelaskan segmen virus lengkap.

Metode Real-time RT-PCR (RRT-PCR) untuk deteksi yang sangat sensitif dan spesifik virus AHS RNA baru-baru ini telah dikembangkan berdasarkan penggunaan sepasang primer dan probe TaqMan dari rangkaian virus segmen 5 atau 7  (Aguero et al.. 2008; Fernandez-Pinero et al., 2009; Rodriguez-Sanchez et al., 2008).  Sebuah RRT-PCR duplex juga telah dijelaskan bahwa menargetkan segmen 8 dan 9 dari genom dan menggunakan Taqman® probe (Quan et al., 2010). Meskipun kedua prosedur gel-based dan RRT-PCR dapat mendeteksi strain dari serotipe sembilan virus, RRT-PCR memberikan keuntungan dibandingkan metode agarose gel-based RT-PCR, dengan waktu analisis lebih cepat, sensitivitas yang lebih tinggi, dan sesuai untuk otomatisasi yang tinggi. Namun demikian gel-based RT-PCR, khususnya untuk memperkuat fragmen RNA panjang (Laviada et al, 1997;.. Zientara et al, 1994), dapat sangat berguna dalam karakterisasi genetik virus lebih lanjut dengan sekuensing amplikon.

AHSV agarose gel-based RT-PCR dan real-time RT-PCR secara rinci diberikan di bawah.

a)  Ekstaksi RNA Virus

Untuk menjamin reaksi yang baik perlu untuk mengekstrak dari sampel suatu AHSV RNA berkualitas tinggi. Ekstraksi asam nukleat dari sampel klinis dapat dilakukan dengan berbagai metode biasa (in-house) dan metode yang tersedia komersial.

Contoh ekstraksi RNA biasa (in-house) diberikan di bawah ini:
i) 1 g sampel jaringan dihomogenasi dalam 1 ml larutan terdenaturasi (4 M guanidin tiosianat, 25 mM natrium sitrat, 0,1 M 2-mercaptoethanol, 0,5% sarkosyl)....

ii) Setelah sentrifugasi, 1 µg ragi RNA, 0,1 ml 2 M natrium asetat pH 4, 1 ml fenol dan 0,2 ml campuran kloroform /alkohol isoamil (49/1) ditambahkan ke supernatan.

iii) Suspensi dikocok dengan kuat dan didinginkan di atas es selama 15 menit.

iv) Setelah sentrifugasi, RNA dalam fase air adalah ekstraksi fenol, presipitasi etanol dan diresuspensi dalam air steril.

Kit komersial menggunakan pendekatan yang berbeda untuk isolasi RNA. Sebagian besar didasarkan pada salah satu dari prosedur berikut:

a)   Ekstraksi fenol-kloroform asam nukleat;
b)   Adsorpsi asam nukleat pada sistem filter;
c)   Adsorpsi asam nukleat pada sistem alat magnetik.

1.2.2. Prosedur agarose gel-base RT-PCR (Laviada et al., 1997; Zientara et al., 1994)

Denaturasi dari ekstrak RNA harus dilakukan sebelum prosedur RT-PCR. Urutan dari primer PCR yang digunakan adalah 5'-GTT-AAA-ATT-CGG-TTA-GGA-TG-3', yang sesuai dengan polaritas messenger  RNA, dan 5'-GTA-AGT-GTA-TTC-GGT-ATT-G-3', yang merupakan pelengkap untuk polaritas messenger RNA. Semua komponen yang diperlukan untuk transkripsi terbalik dan PCR termasuk dalam tabung reaksi yang mengandung RNA terdenaturasi. Langkah satu RT-PCR dilakukan dengan menginkubasi di thermocycler sebagai berikut: 45 menit sampai 1 jam pada 37-55 °C, 5-10 menit pada 95 °C, kemudian 40 siklus: 94-95 °C untuk 1 menit, 55 °C selama 1-1,5 menit, 70-72 °C selama 2-2,5 menit, diikuti dengan perpanjangan langkah terakhir dari 7-8 menit pada 70-72 °C.  Analisis produk PCR dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa. Sampel AHS positif akan selesai dalam pasangan basa band 1179 yang dapat digunakan sebagai template dalam reaksi sekuensing, mengunakan primer PCR mandiri, untuk memperoleh Urutan nukleotida segmen 7 virus.


1.2.3. Prosedur Real-Time RT-PCR (Aguero et al., 2008)

Kelompok-spesifik real-time RT-PCR ini telah digunakan dengan hasil yang baik oleh laboratorium rujukan nasional yang berpartisipasi dari anggota negara Uni Eropa (UE) dalam uji kemampuan yang diselenggarakan oleh laboratorium rujukan Uni Eropa untuk AHS (Aguero, 2009). RRT-PCR dilakukan sebagai berikut:

i) 2 µl dari isolat RNA dicampur dengan maju (5'-CCA-GTA-GGC-CAG-ATC-AAC-AG-3 ') dan mundur (5'-CTA-ATG-AAA-GCG-GTG-ACC-GT- 3 ') primer (2,5 ml masing-masing primer pada 8 µM) dan RNAse bebas air hingga 7 µl.

ii) Campuran ini didenaturasi dengan pemanasan pada 95 °C selama 5 menit, diikuti dengan pendinginan cepat di atas es.

iii) Sintesis cDNA dan amplifikasi hot-start PCR dilakukan dalam satu langkah, dalam volume 20 µl mengandung campuran RNA-primer terdenaturasi, 0,1 µl dari probe fluorogenik MGB-TaqMan (5'-FAM-GCT-AGC-AGC -CTA-CCA-CTA-MGB-3', probe berlabel 5' dengan 6-carboxyfluorescein, FAM, dan 3' dengan non-fluorescent quencer terikat ke grup MGB) dalam 50 µM (konsentrasi akhir: 0,25 M), penyangga yang memadai dan enzim (RTase dan DNA polimerase pada konsentrasi yang direkomendasikan oleh produsen).

iv) Kondisi amplifikasi terdiri dari langkah pertama reverse-transkripsi pada 48 °C selama 25 menit, diikuti oleh 10 menit pada 95 °C ('mulai panas')  dan 40 siklus 15 detik pada 95 °C, 35 detik pada 55 °C dan 30 detik pada 72 °C (atau 40 siklus pada 97 °C selama 2 detik dan 55 °C selama 30 detik jika reagen dan thermocycler memungkinkan reaksi cepat yang digunakan). Data fluoresensi diperoleh pada 55 °C akhir langkah.

v) Sampel dianggap positif jika fluoresensi naik signifikan di atas level dasar. Jika tidak ada fluoresensi terdeteksi selama seluruh real-time RT-PCR, sampel dianggap negatif.

Virus yang dilemahkan serotipe 1-9 strain referensi dapat diperoleh dari Laboratorium Referensi OIE di Spanyol untuk mensetup metode deteksi RT-PCR.

1.3. Virus AHS (AHSV)
Sampai saat ini, tes VN telah menjadi metode pilihan untuk menentukan tipe serta uji standar 'emas' untuk mengidentifikasi virus AHS yang diisolasi dari lapangan dengan menggunakan antisera tipe-spesifik (Verwoerd, 1979). Teknik ini membutuhkan waktu 5 hari atau lebih sebelum hasil yang diperoleh. Pengembangan tipe spesifik gel-based RT-PCR (Sailleau et al., 2000), dan real-time RT-PCR menggunakan hybridisasi probes (Koekemoer,2008) untuk identifikasi dan diferensiasi genotipe AHSV, ada metode menentukan tipe secara cepat untuk AHSV dalam sampel jaringan dan darah. Ada korelasi yang baik antara hasil yang diperoleh dengan tipe tertentu RT-PCR dan tes VN, bagaimanapun, sensitivitas tes ini lebih rendah dari pada yang diperoleh dengan diagnostik kelompok tertentu real-time RT-PCR  (Aguero et al., 2008). tipe spesifik tes rRT-PCR berdasarkan penggunaan probe TaqMan-MGB telah dikembangkan baru-baru ini (Tena, 2009) dan memiliki kepekaan yang sama dengan kelompok-spesifik rRT-PCR. Namun, variasi genetik yang mungkin muncul dari waktu ke waktu dalam genom AHSV, khususnya di VP2 kode daerah, di mana primer spesifik /probe untuk penentuan tipe harus dirancang, membuat deteksi semua varian genetik dalam setiap serotipe oleh jenis teknik yang sulit (Koekemoer, 2008). Oleh karena itu, meskipun metode molekuler dapat dengan cepat mentipekan AHSV di banyak sampel lapangan yang positif, VN harus disimpan sebagai standar emas untuk serotipe isolate AHSV.

Penentuan tipe dari sembilan jenis AHSV juga telah dilakukan dengan probe dikembangkan dari satu set gen full-length kloning VP2 (Koekemoer et al., 2000). Teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk PCR amplifikasi genom segmen 2.

2. Tes Serologis
Teknik indirect dan blok kompetitif ELISA menggunakan larutan antigen AHSV atau protein rekombinan VP7 (Hamblin et al, 1990;. Laviada et al, 1992b;. Maree & Paweska, 2005) telah terbukti menjadi metode yang baik untuk mendeteksi anti-AHSV kelompok antibodi -reactive, terutama untuk investigasi skala besar (Rubio et al., 1998). Kedua tes ini telah diakui oleh Komisi Eropa (2002). Teknik blok kompetitif ELISA juga dapat digunakan untuk menguji satwa liar sebagai spesies-spesifik anti-globulin adalah tidak diperlukan dengan metode ini. Tes immunoblotting juga telah diadaptasi untuk penentuan antibodi anti-AHS (Laviada et al., 1992b), which is especially suitable for small numbers of sera. The complement fixation (CF) test has been widely used, but some sera are anti-complementary, particularly donkey and zebra sera. yang sangat cocok untuk sejumlah kecil sera. Complement Fixation (CF) tes telah banyak digunakan, tetapi beberapa sera adalah anti-complementer, terutama sera keledai dan zebra.

2.1. Bloking Enzyme-linked immunosorbent Asssay (Tes diresepkan untuk perdagangan internasional)

Teknik blok kompetitif ELISA bertujuan mendeteksi antibodi spesifik terhadap HSV, untuk setiap spesies kuda. VP7 adalah protein antigenik utama dalam struktur molekul AHSV dan itu dilestarikan di sembilan serotipe AHSV. MAb diarahkan terhadap VP7 digunakan dalam tes ini, memungkinkan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Selain itu, spesies lain selain kuda (seperti keledai, zebra, dll) dapat diuji sehingga mencegah masalah kekhususan yg dialami sesekali pada penggunaan indirect ELISAs. VP7 antigen rekombinan adalah non-reaktif, yang menyediakan tingkat keamanan yang tinggi (European Commission, 2002).

Prinsip dari tes ini adalah untuk memblokir reaksi spesifik antara rekombinan VP7 protein diserap di plate ELISA dan MAb terkonjugasi terhadap VP7 antibodi AHSV dalam sampel serum tersangka akan memblokir reaksi ini. Penurunan jumlah warna merupakan bukti adanya antibodi AHSV dalam sampel serum.

2.1.1. Prosedur Pengujian (Tes)

i) Fase padat: plate coat ELISA (misalnya kapasitas adsorpsi tinggi Nunc Maxisorb) dengan 50-100 ng rekombinan AHSV-4 VP7 diencerkan dalam carbonate /bicarbonate buffer, pH 9,6. Inkubasikan semalam pada suhu 4 ° C.

ii) Cuci plate tiga kali dengan PBS  0,1x yang mengandung 0,135 M NaCl dan 0,05% (v/v) Tween 20 (larutan pencuci). Tekan dengan lembut plate ke bahan penyerap untuk menghilangkan residu cucian.

iii) Uji sampel: sampel serum untuk diuji, dan positif dan serum control negatif (jika tidak siap gunakan kit dari produsen), diencerkan 1/5 di pengencer mengandung 0,35 M NaCl, 0,05% Tween 20; dan 0,1% Kathon, 100 ml per sumur (well). Inkubasikan selama 1 jam pada 37 °C.

iv) Cuci plate lima kali dengan PBS 0,1x yang mengandung 0,135 M NaCl dan 0,05% (v/v) Tween 20 (larutan pencuci). Tekan dengan lembut plate ke bahan penyerap untuk menghilangkan residu cucian.

v) Konjugat: keluarkan 100 ml /well horseradish peroxidise-terkonjugasi MAb anti-VP7. MAb ini harus diencerkan sebelumnya 1/5000 - 1/15000 dalam 1/1 larutan StabiliZyme Select® Stabilizer (SurModics Referensi: SZ03) dalam air suling. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu 37 °C.

vi) Cuci plate seperti yang diuraikan pada langkah iv.

vii) Substrat /chromogen: tambahkan 100 µl/well 1/10 diencerkan pada larutan substrat ABTS, 5 mg/ml substrate  buffer (0.1  M  phosphate/citrate  buffer pH 4, yang mengandung 0,03% H202) dan inkubasikan selama 10 menit pada suhu kamar. perkembangan warna dihentikan dengan menambahkan 100 µl/well 2% (w/v) SDS.

viii) Baca plate pata 405 nm.

ix) Interpretasi hasil: menentukan persentase blocking (BP) dari masing-masing sampel dengan memakai rumus berikut:

                                                Abs (control-) – Abs (sampel)
                                    BP =                                                                x 100
                                                Abs (control-) – Abs (control+)

Sampel menunjukkan nilai BP lebih rendah dari 45% dianggap negatif untuk antibodi terhadap AHSV. Sampel menunjukkan nilai BP yang lebih tinggi dari 50% dianggap positif untuk antibodi untuk AHSV. Sampel dengan nilai BP antara 45% dan 50% dianggap diragukan dan harus diuji ulang. Jika hasilnya adalah sama, resample dan uji 2 minggu kemudian.

2.2. Inderect enzyme-linked immunosorbent assay (uji yang diresepkan untuk perdganagn internasional)

Protein VP7 rekombinan telah digunakan sebagai antigen untuk penentuan antibodi AHSV dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tinggi (Laviada et al., 1992b; Wade-Evans et al., 1993). Keuntungan lain dari antigen ini adalah stabilitas dan kurangnya infektivitas. Konjugat yang digunakan dalam metode ini adalah horseradish peroksidase anti-kuda gamma-globulin bereaksi dengan kuda, bagal dan keledai. Metode ini dijelaskan oleh Maree & Paweska (2005) menggunakan protein G sebagai konjugat yang juga bereaksi dengan serum zebra.

2.2.1. Prosedur Pengujian

i) Fase padat: piring coat ELISA (misalnya kapasitas adsorpsi tinggi Nunc Maxisorp) dengan rekombinan HSV-4 VP7 diencerkan dalam karbonat /penyangga bikarbonat, pH 9,6. Inkbasikan semalam pada 4 °C.

ii) Cuci plate lima kali dengan air suling yang mengandung 0,01% (v/v) Tween 20 (larutan pencuci).  Tekan dengan lembut plate ke bahan penyerap untuk menghilangkan residu cucian.

iii) Plate di blok dengan PBS, pH 7.2 + 5% (w/v) susu skim, 200 µl/well, selama 1 jam pada suhu 37 °C.

iv) Buang larutan pemblok dan tekan dengan lembut plate ke bahan penyerap.

v) Pengujian sampel: Sampel serum yang akan di uji, dan serum control positip dan negatip, diencerkan dalam 1/25 PBS + susu skim 5% (w/v) + Tween 0.05% (v/v), 100 µl per well. Inkubasikan selama 1 jam pada susu 37 °C. Untuk Titrasi, tambahkan pengenceran dua kali lipat dari 1/25 (100 µl/well), satu serum setiap kolom plate, dan kerjakan dengan cara yang sama untuk control posistip dan negatipnya.

vi) Cuci plate seperti yang dijelaskan pada langkah ii.

vii) Konjugat: keluarkan 100 ml /well dari horseradish peroxidase terkonjugasi anti-horse gamma- globulin encerkan dalam PBS + 5% susu + 0,05% Tween 20, pH 7,2 Inkubasikan selama 1 jam pada 37 °C atau protein A peroksidase (Maree & Paweska, 2005).

viii) Cuci plate plate seperti yang dijelaskan pada langkah ii

ix) Substrat: Tambahkan 200 µl/well larutan substrat (10 ml DMAB + 10 ml MBTH + 5 ml H202). perkembangan Warna dihentikan dengan menambahkan 50 µl 3 N H2S04 setelah approximately menit 5-10 menit (sebelum kontrol negatif mulai berwarna). Substrat lain seperti ABTS (2,2'-azino-di-[3-ethyl-benzothiazoline]-6-sulphonic acid),, TMB (tetramethyl benzidine), atau 0PD (orthophenyldiamine) juga dapat digunakan.

x) Baca plate plate pada 600 nm (or 620 nm).

xi) Interpretasi hasil: Hitung nilai cut-off dengan menambahkan 0,6 dengan nilai kontrol negatif. (0.06 adalah standar deviasi berasal dengan sekelompok 30 negatif sera) sampel Uji memberikan absorbansia nilai lebih rendah dari cut-off dianggap sebagai negatif. Sampel uji memberikan absorbansia nilai lebih besar dari cut-off + 0,15 dianggap sebagai positif. sampel uji memberikan nilai absorbansia menengah yang diragukan maka teknik kedua harus digunakan untuk mengkonfirmasi hasilnya.

2.3. Complement Fixation (resep uji  untuk perdagangan internasional)

Tes CF telah digunakan secara luas di masa lalu, namun saat ini penggunaannya menurun dan telah digantikan di banyak laboratorium dengan ELISA sebagai teknik skrining. Penggantian secara progresif ini adalah karena sensitivitas yang lebih tinggi dan tingkat standarisasi ELISA serta sejumlah besar sera dengan aktivitas anticomplementer. Namun demikian tes CF adalah alat yang berguna di daerah endemik untuk demonstrasi dan titrasi kelompok-spesifik IgM antibodi terhadap AHSV terutama setelah infeksi baru atau vaksinasi.

2.3.1. Reagen

i)  Veronal buffer saline yang mengandung 1% gelatin (VBSG).

ii) Serum samples, free from erythrocytes, must be heat inactivated: horse serum at 56°C, zebra serum at 60°C and donkey serum at 62°C, for 30 minutes. Sampel serum, bebas dari eritrosit, harus panas tidak aktif: serum kuda pada 56 °C, serum zebra pada 60 °C dan serum keledai pada 62 °C, selama 30 menit.

iii) Antigen adalah sukrosa / aseton ekstrak otak tikus yang terinfeksi HCV. Antigen kontrol yang tidak terinfeksi otak tikus, diekstraksi dengan cara yang sama. Dengan tidak adanya sebuah serum standar internasional, antigen harus dititrasi disiapkan secara lokal terhadap serum kontrol positif. Dalam tes, empat sampai delapan unit yang digunakan. antigen juga dapat diperoleh dengan inokulasi virus pada kultur sel yang cocok (lihat Bagian B.1 di atas).

iv) Komplemen adalah serum hamster normal

v) Hemolisin adalah serum kelinci hyperimmune terhadap domba sel darah merah (sel darah merah).

vi) SRBCs diperoleh dengan tusukan aseptik dari vena jugularis dan diawetkan di larutan Alsever (1) atau natrium sitrat.

vii) Sistem hemolitik (HS) yang dibuat dengan mengencerkan hemolisin yang mengandung dua dosis hemolitik dan menggunakan ini untuk pencucian sensitive SRBCs. SRBCs terstaandar pada konsentrasi 3%.

viii) Serum kontrol: Serum kontrol positif diperoleh secara lokal dan divalidasi. Serum dari kuda antibodi-negatif yang sehat digunakan sebagai serum kontrol negatif. 
_____________
 (1) 20,5 g dekstrosa (114 mM), 7,9 g natrium sitrat 2H20 (27 mM), 4,2 g NaCl (71 mM), H2O untuk 1 liter. Sesuaikan dengan pH dengan 1 M asam sitrat


2.3.2. Prosedur Uji

i) Reaksi dilakukan dalam 96 well di dasar plate mikrotiter pada volume akhir 100 µl/well atau dalam tabung jika makro-teknik yang digunakan, pada 4 °C selama 18 jam.

ii) Semua sera, sampel dan kontrol diencerkan 1/5 di VBSG dan 25 µl setiap serum ditambahkan dalam duplikatnya. Serangkaian pengenceran ganda masing-masing serum dilakukan dari 1/5 ke 1/180.

iii) Tambahkan 25 µl antigen encerkan menurut titrasi sebelumnya.

iv) Tambahkan 25 µl komplemen encerkan sesuai dengan titrasi sebelumnya.

v)  Inkubasikan pada suhu 4°C selama 18 jam.

vi) Tambahkan HS 25 25 µl pada semua well pada micrp plate.

vii) Plate inkubasikan pasa suhu 37 °C selama 30 menit.

viii) Pelat kemudian disentrifugasi pada 200 g, dan well mencatatan kehadiran hemolisis. Sera kontrol, komplemen, antigen dan HS yang digunakan

ix) Hasil dibaca menggunakan 50% hemolisis sebagai titik akhir. Kebalikan dari pengenceran tertinggi serum khusus cocokan komplemen dengan antigen CF disebut titer.

x) Titer 1/10 atau lebih adalah positif, di bawah 1/10 negatif.

2.4. Virus Netralisasi (VN)

Antibodi serotipe spesifik dapat dideteksi menggunakan tes VN (house dkk., 1990) tes VN seharusnya sebagai nilai tambah dalam surveillance epedemiologi dan studi penularan, di dareah endemik ada banyak serotipe yang didapatkan.

2.4.1. Prosedur uji VN

i) Stok virus diencerkan untuk menghasilkan 100 TCID50 (50% dosis infektif kultur jaringan), dalam kisaran 30-300 TCID50, per 25 µl, dan 25 µl ditambahkan ke masing-masing empat microtiter well mengandung 25 µl pengenceran serum. Untuk screening, pengenceran serum akhir digunakan 1/10. Penggandaan pengenceran digunakan untuk titrasi.

ii) Campuran serum /virus yang diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37 °C 5% C02 dan 95% kelembaban sebelum penambahan 0,1 ml suspensi sel Vero (200.000 sel /ml) untuk setiap well tes.

iii) Titrasi kembali stok virus yang dipersiapkan untuk setiap tes menggunakan empat well per sepuluh kali lipat pengenceran, 25 µl per well. Plate uji diinkubasi pada 37 °C, 5% C02, kelembaban 95% selama 4-5 hari, sampai titrasi kembali menunjukkan bahwa stok virus mengandung 30-300 TCID50.

iv) Plate kemudian difiksasi dan warnai dalam larutan 0,15% (w/v) Kristal violet dalam 2% (v/v) glutaraldehyde dan dibilas. Atau, mereka dapat difiksasi dengan 70 % etanol dan diwarnai dengan 1% basic fuschsin. 

v) 50% titer end-point serum dihitung dengan metode Spearman-Karber dan dinyatakan sebagai negatif log10.


C. PERSYARATAN UNTUK VAKSINASI

1. Latar belakang

1.1. Alasan dan tujuan penggunaan produk

Vaksin AHS hidup Polivalen atau monovalen yang dilemahkan, berdasarkan seleksi dalam kultur sel Vero dari macroplaques genetik yang stabil, telah digunakan untuk kontrol AHSV yang masuk dan keluar dari Afrika (Erasmus, 1976; Sanchez-Vizcaino, 2004). vaksin polivalen tersedia secara komersial.

Vaksin AHSV inaktif monovalen (serotipe 4) berdasarkan pemurnian virus dan inaktivasi dengan formalin diproduksi secara komersial di awal 1990-an (Rumah et al., 1992), tetapi tidak tersedia pada saat ini. Vaksin subunit AHSV berdasarkan serotipe 4 luar VP2 protein kapsid dan VP5 ditambah dalam VP7 protein kapsid, yang berasal dari rekombinan vektor tunggal dan ganda baculovirus telah digunakan secara eksperimental dalam kombinasi yang berbeda untuk mengimunisasi kuda (Martinez et al., 1996). Khasiat pelindung dari VP2 di subunit vaksin juga dievaluasi (Scanlan dkk., 2002). Namun, vaksin ini tidak tersedia secara komersial.

2. Garis besar produksi dan persyaratan minimum untuk vaksin konvensional

At present only the live attenuated AHS vaccines (polyvalent or monovalent) are commercially available. Guidelines for the production of veterinary vaccines are given
in Chapter 1.1.8 Principles of veterinary vaccine production. Saat ini hanya vaksin AHS hidup yang dilemahkan (polivalen atau monovalen) yang tersedia secara komersial. Pedoman untuk produksi vaksin hewan diberikan dalam Bab 1.1.8 Principles of veterinary vaccine production. Pedoman yang diberikan di sini dan dalam pasal 1.1.8 dimaksudkan untuk yang bersifat umum dan dapat dilaksanakan sebagai persyaratan nasional dan regional.

3. vaksin African Horse Sicknes Hidup Yang Dilemahkan  

3.1. Karakteristik Virus (Seed)

3.1.1. Karakteristik Biologi

Virus benih disiapkan dengan seleksi dalam sel Vero dari stebel plak besar secara genetik dari pasase tingkat rendah dari virus AHS.

3.1.2. Kriteria kualitas

Mutan plak kemudian dikalikan dengan tiga bagian dalam sel Vero. Sebuah jumlah besar antigen ini lipolisis dan disimpan pada -20 °C sebagai antigen benih. Virus benih harus ditunjukkan menjadi bebas dari kontaminasi virus, bakteri dan mycoplasma dengan teknik yang tepat. Identitas serotipe virus benih dikonfirmasi.

3.2. Metode pabrikan

3.2.1. Prosedur
Pada awal produksi, antigen bekerja diproduksi dari antigen benih baik BHK-21 atau kultur sel Vero. Antigen bekerja diuji sterilitasnya, kemurnian dan identitas dan harus berisi minimal 1 x 106 unit form plak (plaque-forming units /PFU) /ml virus infeksius.

3.2.2. Persyaratan substrat dan media

Botol Roller kultur dari Vero atau sel BHK-21 yang tumbuh menggunakan serum bovine gamma-iradiasi dalam medium pertumbuhan. Ketika kultur ketemu, media dituangkan dan sel-sel yang seeding dengan antigen yang bekerja. Setelah 1 jam, media pemeliharaan ditambahkan ke kultur. Inkubasi dilanjutkan pada 37 °C selama 2-3 hari. Ketika CPE matang, baik sel dan menengah supernatan dipanen. Produk dari serotip yang sama dikumpulkan dan disimpan pada suhu 4 °C.

3.2.3.  Poses kontrol

Panen yang dikumpulkan dari serotipe individu diuji sterilitas dan infektivitasnya dengan plak titrasi pada kultur sel Vero. Titer minimum diterima adalah 1 x 106 PFU/ml.

Pada akhirnya, dua vaksin quadrivalent yang dibentuk dengan mencampur volume yang sama dari serotipe 1, 3, 4, 5 dan 2, 6, 7, 8 berurutan. Selanjutnya, AHSV serotipe 5 ditarik dari vaksin ini. Jenis monovalen juga dapat disiapkan. Setelah penambahan stabilizer yang cocok, vaksin di distribusikani dalam volume 1,0 ml ke vvial kaca dan beku-kering.

3.2.4. Tes batch akhir produksi

i) Sterilitas
Setelah lipolisasi, lima botol vaksin yang dipilih secara acak dan diuji sterilitasnya dengan metode yang diterima secara internasional. Uji produk biologi untuk sterilitas dan bebas kontaminasi diberikan dalam bab 1.1.9.

ii) Keamanan
Keamanan vaksin ditentukan dengan inokulasi vaksin ke tikus (0,25 ml intraperitoneal), hamster (1.0 ml intraperitoneal), dan kuda (5.0 ml subkutan). Semua binatang diamati setiap hari selama 14 hari. Suhu rektal kuda diambil dua kali sehari selama 14 hari dan tidak boleh melebihi 39 °C.

iii) Batch Potensi batch
Potensi sebagian besar berdasarkan pada konsentrasi virus dalam vaksin.

Dosis minimum imunisasi untuk setiap serotipe sekitar 1 x 103 PFU/dosis. Infektivitas titer produk akhir diuji dengan titrasi plak pada kultur sel Vero dan harus berisi minimal 1 x 105 PFU/dosis. Kuda yang digunakan untuk pengujian keamanan juga digunakan untuk menentukan imunogenisitas vaksin.

Sampel serum dikumpulkan pada hari saat vaksinasi dan 21 hari kemudian, dan diuji untuk netralisasi antibodi terhadap masing-masing serotipe dengan uji plak-reduksi menggunakan pengenceran serum dua kali lipat dan sekitar 100 PFU virus. kuda harus mengembangkan titer netralisasi antibodi minimal 20 melawan setidaknya tiga dari empat serotipe dalam vaksin quadrivalent.

3.3 Persyaratan untuk otorisasi

Tidak ada pedoman tertentu yang dijelaskan untuk vaksin AHS. Namun pedoman dijelaskan di Uni Eropa untuk virus Bluetongue dalam keadaan luar biasa yang mungkin bisa digunakan untuk virus AHS. Pedoman ini mencakup persyaratan tanggal minimum untuk otorisasi di dalam keadaan luar biasa untuk produksi vaksin untuk penggunaan darurat terhadap virus bluetongue (Peraturan EC N ° 726/2004, khususnya Pasal 38, 39 dan 43 dari padanya dan Pasal 26 dari Direction 2001/82/EC), termasuk langkah-langkah petunjuk untuk memfasilitasi cepat masuknya serotipe virus baru atau berbeda.

3.  Vaksin berdasakan pada bioteknologi

3.1. Vaksin yang tersedia dan mafaatnya

None is available commercially. Experimental subunit vaccines have been described Tidak ada vaksin yang tersedia dipasaran. Sub unit vaksin percobaan telah diterangkan (Section C.1.1Rationale and intended use of the product).

3.2. Persayratan khusus untuk vaksin bioteknologi jika ada

Tidak ada.

******

Oleh: drh Giyono Trisnadi,

Disadur dari AFRICAN HORSE SICKNES, by OIE, CHAPTER 2.5.1., SECTION 2.5. EQUIDAE. OIE Terrestrial Manual 2017. NB: Version adopted by the Assembly of Delegates od The OIE in May 2012.

******


PENTING UNTUK PETERNAKAN: